• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN FILOSOFIS PERADILAN MILITER

F. Periode 5 Juli 1959 sampai dengan 11 Maret 1966

Tanggal 5 Juli 1959, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Dekrit yang antara lain menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya Undang-undang Dasar 1945. Meskipun demikian, berdasarkan Ketentuan Ketentuan Peralihan UUD 1945, Peradilan Militer sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.6 Tahun 1950 serta perubahannya dalam Undang-undang Darurat No.1 tahun 1958 masih tetap/1angsung berlaku.

Setelah berlakunya UUD 1945, maka untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ditetapkan Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai kekuasaan

66

Kehakiman sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1964 yang diundangkan pada tanggal 31 Oktober 1964, dan Pasal 7 menetapkan: 1) Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan: a) Peradilan Umum

b) Peradilan Agama c) Peradilan Militer

d) Peradilan Tata Usaha Negara

2) Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua peradilan.

3) Peradilan-peradilan tersebut secara teknis ada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, tetapi secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan Departemen Departemen da1am lingkungan Angkatan Bersenjata.

Dalam pasal ini istilah Angkatan Bersenjata, mempunyai arti yang sama dengan Angkatan Perang, karena hingga diundangkannya UU NO.19 Tahun 1964, yang menyelenggarakan Peradilan Militer adalah Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sedangkan Kepolisian Negara pada waktu itu sebenarnya juga sudah disebut Angkatan Kepolisian, sehingga merupakan Departemen tersendiri juga berstatus Menteri, tetapi terhadap anggota Angkatan Kepolisian belum diberlakukan Hukum Pidana Militer dan Hukum Disiplin Militer, sehingga anggota Angkatan Kepolisian belum masuk kekuasaan Peradilan Militer tetapi masih berada di bawah kekuasaan Peradilan Umum.67

67

Berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 1961 yang mulai berlaku tanggal 31 Jun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian, Pasal 3 menyatakan, bahwa Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata. Inilah awal Polri berintegrasi dengan TNI. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden No. 290 Tahun 1964, Angkatan Kepolisian sejajar dengan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Berdasarkan Penetapan Presiden No.3 Tahun 1965, maka Hukum Pidana Tentara dan Hukum Disiplin Tentara dinyatakan berlaku bagi Tamtama, Bintara dan Perwira Angkatan Kepolisian, sehingga apabila ada anggota Angkatan Kepolisian yang melakukan tindak pidana tidak lagi diadili oleh peradilan umum (negeri) tetapi oleh Peradilan Mi1iter.

Penetapan Presiden No.3 Tahun 1965 Pasal 2, menetapkan bahwa Tamtama, Bintara dan Perwira Angkatan Kepolisian yang melakukan tindak pidana, diadili oleh :

1) Badan peradilan dalam lingkungan Angkatan Laut, apabila tindak pidana itu dilakukan di daerah Tingkat II Riau Kepulauan.

2) Badan peradilan dalam Lingkungan Angkatan Darat, apabila tindak pidana itu dilakukan di luar daerah tersebut, kecuali kalau ada ketentuan-ketentuan khusus.

Selanjutnya Pasal 2 Undang-undang No.3 PNPS Tahun 1965, mengalami perubahan dan tambahan dengan UU No.23 PNPS Tahun 1965 yang mengatur tentang dimungkinkan Angkatan Kepolisian mempunyai badan peradilan tersendiri untuk memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama terhadap tamtama, bintara dan perwira yang melakukan tindak pidana.

Berdasarkan instruksi. MEN/PANGAK No. 44/ Instr/SK/1966 tanggal 19 Nopember 1966, dibentuk Pengadilan Tinggi AKRI (LANAKTI) dan Pengadilan AKRI (LANAK) . LANAK berkedudukan di tiap KOMDAK (Komando Daerah Kepolisian) sedangkan LANAKTI ditingkat DEPAK (Departemen Kepolisian) atau pada eselon KOMDAK yang tidak memiliki garis komando terhadap LANAK. LANAK bersidang pertama kali di KOMDAK I/Aceh pada tanggal 8 Nopember 1966, sedangkan di KOMDAK Jawa Timur (Surabaya) pada tanggal 22 dan 1967.68

Dengan demikian, pengadilan dalam lingkungan Paradilan Militer terdiri dari :

1) Peradilan Militer untuk lingkungan AD. 2) Peradilan Militer untuk lingkungan AL. 3) Peradilan Militer untuk lingkungan AU. 4) Peradilan Militer untuk lingkungan AK.

Perkembangan selanjutnya diundangkan Penetapan Presiden No.22 Tahun 1965 tanggal 30 Oktober 1965 tentang perubahan dan tambahan beberapa pasal dalam Undang-undang No.5 tahun 1950. Pasal-pasal yang mengalami perubahan, ialah Pasal 9, Pasal 15, Pasal 23 ayat (2) dan (6) serta Pasal 32. Sedangkan yang dicabut adalah Pasal 10 ayat (5) dan Pasal 16 ayat (4). Perubahan-perubahan tersebut adalah mengenai pengangkatan personel teras atau pejabat-pejabat utama pada badan-badan Peradilan Militer sehubungan telah tersedianya tanaga ahli dari kalangan Militer sendiri. Demikian juga

68

Jaksa tentara dari kalangan Militer harus sudah dapat melaksanakan penuntutan sendiri di sidang pengadilan tentara.69

b. Peradilan Militer Khusus.

Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang diundangkan pada tanggal 16 Desember 1959 telah mencabut Undang-undang. Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 telah membawa konsekuensi pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Penguasa Keadaan Bahaya berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya Tahun 1957.

Berkaitan dengan keadaan bahaya tersebut, Undang-undang No.. 23 Prp Tahun 1959 mengatur tiga keadaan bahaya, yaitu:

1) Keadaan Darurat Sipil 2) Keadaan Darurat Militer 3) Keadaan Perang.

Berdasarkan Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 yang mengatur tentang keadaan bahaya maka lahirlah Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 2 Tahun 1960 tentang Mahkamah Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara dalam keadaan perang. Tingkatan keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Undang-undang No. 23 Prp Tahun 1959 tersebut, adalah keberadaan Mahkamah sebagaimana diatur dalam Peraturan Penguasa Perang Tertinggi di atas, hanya ada pada tingkatan Keadaan Perang.

Keadaan bahaya dicabut dan seluruh wilayah RI pada tanggal 1 Mei 1963, dengan dihapusnya keadaan bahaya tersebut, maka Peraturan Penguasa

69

Ibid., hal..202. Hal ini didasarkan telah tersedianya tenaga Perwira ahli Hukum/sarjana hukum yang diperoleh melalui Akademi Hukum Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer (AHM/PTHM) dan juga dan Sarjana Hukum melalui wajib militer.

Perang Tertinggi No. 2 Tahun 1960 tersebut tidak berlaku lagi, sehingga sejak saat itu, Badan Peradilan Militer Khusus tidak ada/dihapus.70

c. Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB)

Berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1963 tanggal 24 Desember 1963 dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa sebagai pengadilan khusus, kemudian menjadi Undang-undang No. 16 Pnps Tahun 1963. Tempat kedudukan dan daerah hukum Mahkamah ini, adalah di Ibukota Negara RI yaitu Jakarta dan Daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara (pasal 2). Dengan demikian, persidangan dapat dilakukan di Ibu Kota Negara atau di luar Ibu Kota Negara.

MAHMILLUB telah bersidang di tempat kedudukannya di Jakarta dan di Luar Jakarta, yaitu Medan, Pekanbaru, Palembang, Padang, Bandung, Banjarmasin, dan Makassar.

Mahkamah Militer Luar Biasa memiliki kekuasaan memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir perkara-perkara khusus yang ditentukan oleh Presiden (pasal 1). Perkara-perkara khusus dimaksud, adalah mengenai perbuatan yang merupakan ancaman dan bahaya besar bagi keamanan bangsa dan negara, sehingga memerlukan penyelesaian yang sangat segera. Pelaku tindak pidana tersebut tidak dibatasi, baik militer maupun sipil.

70

Oleh karena itu, maka penentuan suatu perkara khusus dilakukan oleh Presiden.

Perkara G-30-S-PKI misalnya, hanya perkara para tokohnya saja yang dinyatakan sebagai perkara khusus dan diadili oleh MAHMILLUB. 71 Sedangkan perkara-perkara G-30-S/PKI lainnya yang bukan melibatkan tokoh, diperiksa dan diadili oleh :

1) Mahkamah Militer, apabila pelakunya anggota militer. 2) Pengadilan Negeri, apabila pelakunya sipil.

d. Mahkamah Bersama Angkatan Bersenjata (MAHSAMANTA)

Berkaitan peiaksanaan DWIKORA, dirasa perlu adanya penyelesaian yang cepat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Angkatan Bersenjata serta angota Hansip dan Sukarelawan untuk memelihara dan mempertahankan semangat dan disiplin yang tinggi, sehingga dengan Penetapan Presiden No.5 Tahun 1965 yang diundangkan pada tanggal 15 Maret 1965, dibentuk suatu Mahkamah Bersama Angkatan Bersenjata yang berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan Bersenjata anggota Angkatan Bersenjata anggota Hansip serta Sukarelawan dan meskipun telah dibentuk, kenyataan mahkamah ini belum pernah bersidang, bahkan sampai dicabutnya Penetapan Presiden no. 5 Tahun 1965 tersebut.

71

Dokumen terkait