• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN FILOSOFIS PERADILAN MILITER

H. Tahun 1997 sampai dengan sekarang

a. Peradilan Militer Berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1997.

Berdasarkan undang-undang ini, maka semua peraturan, undang-undang yang berkaitan dengan Peradilan Militer maupun hukum acaranya dinyatakan tidak berlaku. Undang-Undang ini selain mengatur tentang susunan dan

kekuasaan pengadilan serta oditurat (kejaksaan) di lingkungan Peradilan Militer juga memuat hukum acara pidana militer. Hal yang paling baru yang belum pernah diatur sebelumnya adalah masalah sengketa Tata Usaha ABRI dan menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana.

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari : 1) Pengadilan Militer;

2) Pengadilan Militer Tinggi; 3) Pengadilan Militer Utama; dan

4) Pengadilan Militer Pertempuran (pasal 12)

Kekuasaan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama hampir sama dengan kekuasaan pengadilan sebagaimana diatur dalam ketentuan sebelumnya, hanya ditambahkan dengan sengketa Tata Usaha dan menggabungkan gugatan ganti rugi.

Sedangkan Pengadilan Militer Utama, sebelumnya Mahkamah Militer Agung dengan kekuasaan hampir sama, hanya ditambahkan kekuasaan untuk memutus perbedaan pendapat antar Perwira Penyerah Perkara dan Oditur berkaitan dengan diajukannya perkara kepengadilan.

Sedangkan Pengadilan Militer Pertempuran memiliki kekuasaan memeriksa Pidana oleh prajurit (militer) di daerah pertempuran serta bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan, berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran (pasal 45 dan pasal 46) pidana yang dilakukan oleh prajurit ABRI atau yang dipersamakan berdasarkan undang-undang atau seseorang yang

berdasarkan Keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh pengadilan militer juga memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata serta menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana dalam satu putusan.

Undang-undang Nomor. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer selain mengatur susunan, organisasi peradilan juga mengatur hukum acaranya, hukum acara yang diatur dalam Undang-undang ini hampir sama dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan berbagai kekhususan, seperti kewenangan Komandan (Atasan yang Berhak menghukum/Ankum) melakukan penyidikan, penahan serta peran Perwira Penyerah Perkara dalam penyerahan perkara (pasal 69 sampai dengan pasal 131)

b. Pemisahan Polri dari ABRI

Berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Ketetapan MPR RI nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli 2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan yang terpisah dengan kedudukan yang setara.

Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 89 tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri ditetapkan berada langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPR RI nomor VII / MPR / 2000, khususnya Pasal 7 ayat (2).

Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 29 ayat (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan umum. Pada ketentuan peralihan pasal 43 (b) mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum.

Berkaitan dengan peradilan mana yang memeriksa dan memutus tindak pidana yang dilakukan anggota Militer, pasal 65 ayat (2) mengatur Prajurit TNI (militer) tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa perubahan yang mendasar, sebab Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer pasa1 9 mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang ditentukan oleh Perundang- undangan tunduk kepada Peradilan Militer dan koneksitas. Dalam arti Peradilan Militer sampai saat ini mengadili dan memeriksa berdasarkan pada pelaku tindak pidana.

Perkembangan selanjutnya guna mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen, berbagai pihak terutama hakim meyakini perlunya memberlakukan sistem satu atap (one roof system) bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia.72 Satu atap dalam arti satu sistem yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis

72

Departemen Hukum Dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Reformasi Lembaga Perdi1an 2006, halaman 83.

yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis yudisial dan kewenangan pengelolaan aspek organisasi, administrasi dan finasial peradilan, berada di Mahkamah Agung RI, lepas dari campur tangan pemerintah (Mabes TNI) untuk Peradilan Militer.

Sesuai Pasal 72 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Militer Kehakiman mengatur, Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan Peradilan Militer tanggal 30 Juni 2004. Ketentuan ini tidak dapat dilaksanakannya Keputusan Presiden Nomor 56 tahun 2004 tanggal 9 Juli 2004 namun pengalihan berlaku sejak 30 Juni 2004 vide pasal 2 ayat (1), bahkan secara phisik penyerahan baru terjadi pada tanggal 1 September 2004.73 Akibat yuridis dari peralihan tersebut, semua pegawai negeri sipil di lingkungan Peradilan Militer beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil Mahkamah Agung, khusus untuk pembinaan personil militer sesuai dengan peraturan yang mengatur tentang personil militer.

c. Teori Fungsi Negara

Menurut Goodnow yang membagi dua fungsi pokok dalam negara yakni :

making and eksekuting. Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah benturan

bantuan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator. Mengenai pengertian tentang ketertiban bahwa baik negara maupun hukum muncul dari kehidupan manusia karena keinginan bathinnya untuk memperoleh tata tertib berdasarkan

73

keadilan, sedangkan suatu masyarakat yang menetapkan tata hukumnya bagi masyarakat dan oleh senidri dalam sikap itu sudut soal sendiri dalam berlakunya tata hukum itu. Dengan demikian ketertiban adalah kualitas atau kondisi yang dapat diwujudkan melalui tata hukum dalam suatu masyarakat hukum, tetapi ketertiban adalah hanya satu aspek hukum saja, karena hukum bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang damai melalui tugas-tugas mencapai kepastian hukum dan keadilan.

Dalam teori fungsi negara disebutkan agar diketahui, untuk apa organisasi negara itu dibentuk, atau dengan kata lain apa yang menjadi tugas daripada negara. Hal ini dapat diuraikan oleh Teori-teori fungsi negara yang dikenal dalam lima faham. Hal ini sangat penting guna dapat memilih dan memilah aliran dari ke lima faham yang sesuai dengan faham dan falsafah bangsa Indonesia yakni Pancasila dan UUD 1945. Adapun ke lima faham tersebut adalah :

1. Fungsi negara pada abad ke XVI di Prancis. 2. Fungsi negara menurut Jhon Locke

3. Fungsi negara menurut Montesquieu 4. Fungsi negara menurut Van Vollen Hoven 5. Fungsi negara menurut Goodnow74

ad.1. Fungsi negara pada abad ke XVI di Prancis.

Fungsi negara pertama kali dikenal pada abad ke XVII di Prancis yaitu :

a. Diplomacie

Di Indonesia sama dengan Departemen Luar Negeri, tugasnya adalah penghubung antar negara, dalam penghubung antar raja.

74

b. Difencie

Di Indonesia sama dengan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Tugas yang dijalankannya adalah masalah keamanan dan pertahanan. TNI sudah tepat dibawah Departemen HANKAM sebagai penegak Kedaulatan, menjaga keutuhan NKRI dan menjaga Keselamatan Bangsa dan Negara.

c. Financie

Di Indonesia sama dengan Departemen Keuangan yang bertugas menyediakan keuangan negara.

d. Justicie

Di Indonesia sama dengan Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri, tugasnya menjaga ketertiban perselisihan antar warga negara dan urusan dalam negara. Polisi hendaknya dibawah Departemen ini, yakni Depkeh atau Depdagri sesuai teori fungsi negara. Sebagaimana negara-negara di dunia. Hal ini sangat perlu perhatian pemerintah dalam rangka pengawasan dan pencegahan pelanggaran Ham yang lebih banyak. e. Policie

Bertugas mengurusi kepentingan negara yang belum menjadi wewenang dari Departemen lainnya (keempat departemen diatas).

ad.2. Fungsi Negara menurut Jhon Locke

a. Fungsi Legislatif untuk membuat perwakilan

b. Fungsi Eksekutif untuk melaksanakan peraturan (termasuk urusan mengadili).

c. Fungsi Fedaratif untuk mengurusi urusan luar negeri dan keadaan perang dan damai.

ad.3. Fungsi negara menurut Montesquieu disebut Trias Politika a. Fungsi legislatif, membuat undang-undang

b. Fungsi Eksekutif, melaksanakan undang-undang dan

c. Fungsi Yudikatif, untuk mengawasi agar semua peraturan ditaati (fungsi mengadili).

ad. 4. Fungsi negara menurut Van Vollen Hovan a. Regeling (membuat peraturan)

b. Bestuner (menyelenggarakan pemerintahan) c. Rech poak (fungsi mengadili)

d. Politie (fungsi ketertiban dan keamanan).

ad. 5. Fungsi negara menurut Goodnow a. Making (membuat peraturan)

b. Eksekuting (melaksanakan aturan)

d. Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu

Kedaultan rakyat yang dikenal di Indonesia berbeda dengan kedaulatan rakyat versi Barat (menurut Montesquieu). Menurut versi Barat, kedaulatan rakyat dibagi menjadi 3 bagian kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan :

1. Legislatif (Pembuat Undang-Undang / Undang-Undang Dasar) : Parlemen 2. Eksekutif (Pelaksana Undang-Undang : Pemerintah

Di Indonesia pemisahan kekuasaan ini berlandaskan pada sila-sila Pancasila. Kedaulatan rakyat juga akan diartikan berbeda dengan demokrasi. Kedaulatan rakyat dipandang sebagai bagian dari istilah demokrasi.

Dalam negara yang menganut paham demokrasai, rakyat memiliki kedaulatan tertinggi. Tulisan ini menganalisis makna dari kedaulatan rakyat itu berdasarkan nilai-nilai bangsa Indonesia serta bagaimana kedaulatan rakyat itu diwadahi baik tersirat dan tersurat dalam Pancasila dan UUD Tahun 1945 di Indonesia sehingga memiliki ciri khas.

Sehubungan dengan pemisahan tersebut, diperlukan suatu persamaan pendapat berkaitan dengan kompetensi peradilan militer yang selalu dihubungkan dengan kondisi suatu negara, apakah negara tersebut dalam keadaan damai atau dalam keadaan perang, karena hal ini masing-masing membawa implikasi yang berbeda, baik mengenai obyek maupun subyek delik.

Prajurit TNI atau anggota militer di negara manapun merupakan warga negara yang memperoleh perlakuan khusus dibandingkan dengan warga sipil atau warga negara pada umumnya, dan kekhususan itu berkaitan dengan tugas dan wewenang yang dimiliki dalam rangka membela, menjaga dan mempertahankan negara.75

Kekhususan dimaksud antara lain; hak “membunuh” musuh. Sebagaimana dinyatakan oleh Jean Pictet, yaitu di dalam asas hukum humaniter yang terdapat

75

Soegiri, dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia, Cet. 1. Jakarta: Indra Djya, 1976 hal 6.

dalam Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan terhadap korban perang, dijelaskan bahwa hanya anggota angkatan bersenjatalah yang berhak menyrang dan menahan musuh.76

Hal ini berarti, seseorang militer di dalam pertempuran, selain dapat menahan musuh yang tentu saja masih hidup baik luka maupun tidak, juga memiliki hak untuk membunuh musuh sebagaimana dipersyaratkan dalam hukum humanitar. Anggota angkatan bersenjata atau militer dalam hukum humaniter dikategorikan sebagai kombatan. Menurut hukum humanitar, combatantas are members of the armed forces of a party to the conflict except medical and religious personnel.77 Dengan demikian, kombatan adalah anggota angkatan bersenjata yang terlibat konflik kecuali petugas kesehatan dan rohaniawan yang tidak boleh diserang atau dibunuh.

Selain itu, perlakuan hukum terhadap anggota militer berbeda dengan warga negara pada umumnya (warga sipil). Sebagai warga negara, militer tunduk pada hukum pidana umum yaitu KUHP yang merupakan ketentuan yang berlaku bagi warga negara, sedangkan selaku warga negara yang memiliki tugas wewenang khusus berlaku hukum yang bersifat khusus, yaitu Hukum Pidana Militer yang hanya berlaku bagi militer saja atau yang dipersamakan.

Berlaku KUHP dan perundang-undangan pidana lainnnya di lingkungan TNI didasarkan pada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 KUHPM sebagaimana telah

76

Arlina Permatasari, dkk, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: International Committee of the Red Cross, 1999, hal. 75.

77

Anthony P.V. Rogers and Paul Marherbe, Fight It Right Chapters 1-9 Model Manual on

the Low of Armed Conflict for Armed Forces, Geneva: International Committee of The Red

diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara.78 Berdasarkan ketentuan tersebut, bagi seoang prajurit TNI selain tunduk pada KUHPM, juga tunduk pada perundang- undangan pidana umum yang kesemuanya merupakan tindakan pidana militer dalam arti tindak pidana yang dilakukan prajurit TNI.

Dasar negara Pancasila dan menurut UUD 1945, secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Lembaga MPR negara ini diberi wewenang utama mengubah dan menetapkan dan melantik Kepala Negara (Presiden) serta memberhentikan Presiden menurut UUD dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Di samping itu, terdapat pula lembaga-lembaga tinggi negara lainnya yang setingkat dengan Presiden. Masing-masing lembaga mempunyai tugas mengemban kedaulatan rakyat pula. Kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini secara lebih konkret dilaksanakan melalui berbagai produk hukum, seperti UU, dan peraturan lainnya rnulai dan undang-undang sampai dengan keputusan Kepala Dati II. Masalahnya tentu saja, kedaulatan rakyat sebagai bagian dan demokrasi Pancasila tersebut, tidak cukup hanya dituangkan secara konsepsional dan perlu dilengkapi dengan segi operasionalnya. Dua segi tersebut secara simultan harus dijadikan indikator untuk menilai kadar demokrasi suatu negara, termasuk negara kita. Secara garis besar bahwa kedaulatan rakyat yang dikenal bangsa kita itu berbeda dengan bangsa lain di dunia. Kedaulatan rakyat di Indonesia berlandaskan pada UUD 1945 dan Pancasila. UUD 1945 terdiri atas:

78

E. Utrect, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Emas, 2000, hal. 71.

1. Pembukaan dengan 4 alinea.

2. Batang tubuh dengan XVI Bab dan 37pasal.

3. Penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.

Dalam Pembukaan saja terdapat kata kedaulatan rakyat yang tersurat dalam alma IV, dan ditemukan pula di Pokok Pikiran ke-3 Pembukaan UUD 1945, sedang Kedaulatan Rakyat menurut Pancasila terdapat di sila ke-4. Pada batang tubuh UUD 1945 kedaulatan rakyat terdapat di pasal 1 ayat 2, pasal 2 ayat 3, sedang pelaksanaan kedaulatan rakyat diatur pasal 3 (MPR), pasal 19-22 B (DPR), pasal 37 (perubahan UUD). Secara implisit sistem pemerintahan negara berpegang kepada tujuh prinsip (dalam penjelasan UUD 1945) yang dapat menunjukkan keterkaitannya dengan konsep kedaulatan Rakyat bagi negara Republik Indonesia.

Sebagai uraian akhir dapat ditegaskan di sini, bahwa Pancasila dan UUD 1945 telah secara jelas dan lengkap memuat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat atau lebih luas lagi prinsip-prinsip demokrasi termasuk di dalamnya pengakuan kedaulatan rakyat sebagai bagian dan hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini rakyat tidak menyerahkan hak-haknya kepada (penguasa) negara. Hak-hak itu tetap utuh ada pada rakyat. Dengan perkataan lain, hak asasi manusia di Indonesia dipertahankan melalui kedaulatan rakyat. Rakyat ikut serta dalam sistem pemerintahan negara, yaitu melalui wakil-wakilnya. Apa saja kekuasaan/ wewenang rakyat itu dan bagaimana tata caranya, itulah yang disebut dengan demokrasi, tepatnya demokrasi Pancasila. Apabila dikaitkan dengan teori kedaulatan, jelas bahwa kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

tidak mengacu kepada salah satu teori yang ada, tetapi merupakan gabungan dan teori kedaulatan hukum. Hal ini disebabkan oleh motivasi yang melatar belakangi berdirinya bangsa dan negara Indonesia, yang muncul melalui proses perjuangan yang panjang dengan titik kulminasinya pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Bahwa setelah ditetapkannya UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana Peradilan Militer berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, yang sebelumnya sepenuhnya berada di bawah kendali Markas Besar TNI, membuat peradilan militer semakin independen dan imparsial, terbebas dan campur tangan komando. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengadilan umum tidak tepat untuk mengadili tindak pidana (baik pidana umum maupun pidana militer) yang dilakukan oleh prajurit. Untuk itu dibutuhkan suatu pengadilan militer yang terpisah untuk menegakkan standard disiplin militer secara khusus di dalam Angkatan Bersenjata karena militer dianggap sebagai komuniti khusus, yang mempunyai disiplin khusus, yang mempertaruhkan nyawanya dan dipersiapkan untuk mempertahankan kedaulatan negara.

Bahwa asas-asas peradilan militer yaitu asas kesatuan komando, asas komandan bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer merupakan asas yang harus ada dalam sistem peradilan militer selain asas umum yang terdapat dalam peradilan umum. Apabila asas tersebut tidak berlaku maka fungsi komandan selaku Ankum/Papera juga tidak berlaku lagi atau peranannya akan berkurang. Dengan demikian juga, fungsi pembinaan yang

dilakukan oleh komandan selaku Pembina disiplin akan berkurang atau sama sekali hilang dan ketaatan prajurit akan berkurang terhadap komandan. Selanjutnya apabila ketaatan berkurang maka disiplin prajurit juga akan berkurang. Dan apabila disiplin berkurang maka efisiensi, kesiapan dan efektifitas pasukan akan sulit dicapai. Konsekuensi logisnya adalah bahwa hal tersebut akan mengganggu stabilitas keamanan negara yakni Pertahanan Keamanan (Hankam),

Bahwa sistem peradilan militer yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia adalah sistem peradilan militer yang sesuai dengan budaya militer Indonesia dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Jo. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dimana Peradilan Militer masih tetap mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kejahatan militer dan kejahatan umum.

Mengingat peradilan militer sudah berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, baik bersifat teknis yuridis maupun organisasi, administrasi dan finansial sehingga membuat peradilan militer sudah semakin bersifat independen dan akuntabel.

e. Teori Benhard Grose Fedd Dalam Bukunya The Strength and Weaknese of Comparative

Bahwa tiap negara mempunyai sejarah dan culture yang berbeda, demikian juga historis yuridis kemerdekaan yang berbeda pula. Dikatakan dalam

teori ini bahwa tiap kebudayaan mempunyai hukumnya sendiri (Every culture has

its particular law, and every law has an unique individuality).

Tentang ketentuan Perundang-undangan dapat mengakomodir penundukan militer pada peradilan umum dalam melakukan tindak pidana umum.

Tentangkompetensi mengambil tindak pidana yang dimaksud dalam Paal 65 ayat (2) UURI No. 24 Tahun 2004 tentang TNI. Hal ini tentunya kembali kepada historis, yuridis dan sosiologis TNI dan Palsafah Bangsa yang mengandung Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan tercetus dalam sumpah Pemuda.

Peradilan Militer tetap dipertahankan karena merupakan fungsi strategis nilai-nilai dan semangat juang 1945. Hal ini merupakan pertahanan keamanan nasional yang jika tidak diberlakukan terjadi gaps atau kekosongan hukum sebagaimana diuraikan dalam pendapat Hans Kelsen. Dikatakan berlaku dalam segala situasi dan Eskalase Nasional baik dalam keadaan aman, terjadi perubahan adanya ancaman, gangguan yang dapat merongsong kewibawaan Pemerintah atau Negara meningkat menjadi darurat, darurat militer dan darurat perang.

Peradilan Militer merupakan gerbang keamanan nasional karena merupakan sejarah (historis) perjuangan kemerdekaan dan kemudian lahirnya TNI dari sini lahirnya Keamanan Republik Indonesia. Perjuangan yang panjang dalam merintis kemerdekaan melalui pejuang-pejuang rakyat Indonesia yang bersatu padu membuat Barisan Keamanan Rakyat (BKR) untuk mengusir penjajah dari muka bumi Indonesia yakni dari BKR (Badan Keamanan Rakyat)

berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) kemudian TRI (Tentara Rakyat Indonesia) dan menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Maka hal ini senantiasa dipertahankan dan menjadi tradi. Dipertahankan dalam Sistim Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrat) yang merupakan pelibatan seluruh Rakyat Indonesia.

Pasal 27 UUD 1945 tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 30 UUD 1995 tentang kewajiban belanegara. Dalam historis yuridis merupakan perjuangan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang bersidang pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 dengan 3 orang pembicara sebagai putra-putri terbaik bangsa yaitu : Soepono, M. Jamin dan Soekarno. Mereka mengemukakan Dasar Negara Indonesia yang akhirnya diberi nama Pancasila. Dari sini PPKI merumuskan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Hasil pengkajian dan diskusi ini yang kemudian menjadi konsep kedaulatan Rakyat Indonesia menurut Pancasila dan UUD 1945.

Secara sosiologis hal ini diikuti, ditaati dan diyakini sebagai idiologi bangsa. Secara ideal sebagai satu kesatuan pandang dalam visi dan missi secara logis diterima oleh bangsa Indonesia dengan kesadaran bernegara, kesadaran hukum.

Pengalaman-pengalaman dalam negara kita sejak perang kemerdekaan, perang pembebasan (Irian) dan penumpasan-penumpasan pemberontakan sudah cukup banyak untuk dijadikan sebagai dasar penilaian apakah bagi kita perlu

mengadakan perundang-undangan agar supaya kekuasaan peradilan militer lebih diperluas lagi untuk dapat menanggulangi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh “orang-orang tertentu”/non militer dalam keadaan perang dan/atau dalam suatu bagian negara yang dinyatakan dalam suatu tingkatan keadaan bahaya tertentu, atau dilakukan di suatu daerah musuh/lawan yang telah dikuasai angkatan Perang kita. Mengingat perkembangan hakekat, sifat dan cara peperangan di dunia internasional dewasa ini, kiranya tidak salah lagi apabila kita mengakui kekurang-cepatan kita untuk membuat perundang-undangan yang setidak-tidaknya mirip dengan ketentuan yang telah ada di negeri Belanda (bukan di Hindia Belanda).

Kecenderungan ini lebih diperkuat lagi dengan perkembangan- perkembangan pelajaran-pelajaran atau doktrin-doktrin dalam Angkatan Perang kita mengenai taktik dan stragtegi perang seperti misal perang gerilya, perang lawan gerilya, penyerangan, pertahanan, gerak mundur dan lain sebagainya. Terutama di daerah-daerah gerilya sudah barang tentu sangat rawan bagi alat-alat penegak hukum umum (sipil) untuk menjalankan fungsinya, sementara di satu negara hukum tidak diharapkan gar suatu kejahatan dibiarkan begitu saja, atau akan diselesaikan secara “hukum rimba”.

Peradilan Militer mengadili tindak pidana militer dan pelanggaran disiplin militer, terhadap pelanggaran disiplin militer yang berulang-ulang dapat dilakukan (pemecatan/PDTH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat).

Bahwa hukum disiplin militer merupakan “sifat alamiyah ke dua” (tweede

natuur) dari seseorang militer dan tanpa (hukum) disiplin dalam kehidupan dan

penghidupan militer, maka mereka itu tiada lebih dari pada gerombolan liar. Oleh karena itu terhadap mereka yang diberlakukan hukum disiplin militer walaupun mereka itu tidak disamakan dengan seseorang militer, sebaiknya ditentukan bahwa mereka termasuk jurisdiksi peradilan militer, setidak-tidaknya dalam

Dokumen terkait