• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN FILOSOFIS PERADILAN MILITER

C. Masa Kemerdekaan Indonesia

1. Dalam Masa Perang Kemerdekaan 1945 sampai dengan 1949

a. Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1946.

Berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang bunyinya: “Segala badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. Ketentuan inilah yang merupakan dasar hukum yang terpenting dari praktek peradilan di Indonesia pada masa setelah Proklamasi. Dengan adanya ketentuan tersebut Peradilan-Peradilan (terutama Peradilan Umum dan Peradilan Agama) yang sudah ada sejak pendudukan Jepang tetap berlaku termasuk Peradilan Ketentaraan, maka peradilan-peradilan yang telah ada pada zaman pendudukan Jepang dapat tetap berlangsung seperti sebelumnya, yaitu peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan ketentaraan. Akan tetapi kenyataan tidak demikian, maka hanya peradilan umum dan peradilan agama yang berjalan seperti sediakala. Sedangkan peradilan ketentaraan (militer) tidak/belum

45

diadakan, meskipun Angkatan perang Republik Indonesia telah dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945.

Periode antara 5 Oktober 1945 sampai dengan pembentukan Pengadilan Tentara, yaitu berdasarkan Undang-undang nomor 7 tahun 1946 tanggal 8 Juni 1946 seolah-olah tidak ada hukum dan keadilan serta penegakan hukum terhadap prajurit atau anggota tentara yang melakukan tindak pidana. Sesungguhnya tidak demikian karena para Komandan kesatuan selalu menegakkan peraturan melalui penerapan hukum disiplin.46

Peradilan Militer baru dibentuk setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 tentang Peraturan Mengadakan Pengadilan Tentara di samping Pengadilan Biasa pada tanggal 8 Juni 1946, dan bersamaan dengan itu diundangkan pula Undang-undang No. 8 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Acara Pidana Guna Pengadilan Tentara. Dengan dikeluarkan kedua Undang- undang yang mengatur tentang peradilan militer, maka Negara Republik Indonesia baik secara formil maupun materiil tidak memberlakukan ketentuan- ketentuan di bidang peradilan tentara yang ada sebelum proklamasi kemerdekaan.

Susunan dari Pengadilan Tentara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 tahun 1946, hanya terdiri dan dua badan (tingkatan), yaitu:

1) Mahkamah Tentara, dan 2) Mahkamah Tentara Agung.

46

Di samping kedua badan atau mahkamah tersebut berdasarkan pasal 22 Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 bila perlu Presiden berhak membentuk Pengadilan Tentara Luar Biasa.

Undang-undang nomor 7 tahun 1946 berlaku hingga tahun 1948, kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/ Kejaksaan dalam lingkungan Peradilan Ketentaraan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1948. Demikian juga sebagai akibat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948 maka Hukum Acara Pidana Militer diadakan perubahan dan Undang-undang nomor 8 tahun 1946 menjadi peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1948.

Wewenang yang dipergunakan sebagai dasar pergantian suatu undang- undang hanya dengan peraturan Pemerintah yang menurut Undang-undang Dasar adalah lebih rendah tingkatannya adalah didasarkan pada wewenang Presiden pada saat itu sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1948 diberi kekuasaan penuh (plein pouvoir) kepada presiden untuk menjalankan tindakan-tindakan dan peraturan-peraturan yang menyimpang dan undang-undang dan peraturan yang ada guna menjamin keselamatan Negara dalam menghadapi keadaan bahaya yang memuncak.47

Undang-undang tersebut ditetapkan pada tanggal 20 September 1948, dan hanya terdiri dan suatu pasal yang berbunyi :

47

Selama tiga bulan terhitung mulai tangga1 15 September 1948, kepada Presiden diberikan kekuasaan (plein Pouvoir) untuk menjalankan tindakan- tindakan dan mengadakan peraturan-peraturan dengan menyimpang dan Undang-undang dan Peraturan-peraturan, guna menjamin keselamatan Negara dalam menghadapi keadaan bahaya.

Selain itu alasan Presiden mengeluarkan Peraturan yang tidak sesuai ketentuan yang ada, karena:

Waktu itu kondisinya sangat kacau, ketentuan-ketentuan yang ada tidak diikuti atau tidak diindahkan. Periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1949, masih dipengaruhi suasana revolusi. Artinya, bentuk peraturan dan tata urutan peraturan perundang-undangan sama sekali tidak dijadikan pertimbangan untuk membuat peraturan, bahkan yang banyak dikeluarkan seperti Maklumat yang kadang kedudukannya sama seperti UUD.48

Dengan demikian dapat dipahami, apabila Presiden mengeluarkan peraturan yang menyimpang dari ketentuan yang ada, karena selain adanya undang-undang yang memberikan kekuasaan demikian juga karena kondisi yang dihadapi untuk bertindak cepat.

b. Peradilan Militer berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1948

Pasal 1 mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dalam Peradilan ketentaraan dilakukan oleh Pengadilan tentara, yaitu:

1) Mahkamah Tentara 2) Mahkamah Tentara Tinggi 3) Mahkamah Tentara Agung

Dengan demikian, maka sistem peradilan yang selama ini berlaku berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 terdiri dari 2 (dua) tingkatan,

48

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. I, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998, halaman 35, 45.

yaitu Mahkamah Tentara dan Mahkamah Tentara Agung, berubah menjadi 3 (tiga) tingkatan.

Pengadilan Tentara berwenang mengadili perkara-perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh:

1) Seorang yang pada waktu itu adalah prajurit Tentara Nasional Indonesia; 2) Seorang yang pada waktu itu adalah orang yang oleh Presiden dengan

Peraturan Pemerintah ditetapkan sama dengan prajurit Tentara Nasional Indonesia;

3) Seorang yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan atau jawatan yang dipersamakan atau dianggap sebagai tentara oleh atau berdasarkan undang-undang;

4) Seorang yang tidak termasuk golongan a, b dan c, tetapi atas ketetapan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Ketentaraan 49

Perlu dikemukakan bahwa Tentara Republik Indonesia (TRI), Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dan Tentara Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 sub a Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Tentara Nasional Indonesia. 50

Perkembangan selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 1946 menambahkan suatu pasal baru di antara pasal 3 dan 4, yang berbunyi:

49

Pasa1 2 angka 1 huruf a, b, c dan d Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948

50

“Pengadilan tentara mengadili pula perkara-perkara kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga jikalau kejahatan-kejahatan tersebut termasuk titel 1 atau titel 2 Buku II dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau termasuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara dan dilakukan dalam lingkungan yang dinyatakan dalam keadaan bahaya berdasarkan pasal 12 Undang-Undang Dasar”.51

Maksud diadakannya pasal ini, adalah memberi kewenangan kepada Pengadilan Tentara untuk mengadili perkara-perkara dalam lingkungan yang dinyatakan dalam keadaan bahaya berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945, karena hal ini berkaitan dengan kesulitan-kesulitan dalam penyelesaian perkara pemberontakan PKI Muso/Amr Cs (peristiwa Madiun) yang melibatkan pihak tentara dan pihak sipil, dimana penyelesaian perkara berdasarkan Peraturan Pemerintah No.37 tahun 1948 harus dipergunakan pemisahan (splitsing), dan diadakannya pasal tersebut maka kesulitan-kesulitan berkenan dengan pemisahan tadi dapat dihindarkan.52

c. Peradilan Militer Khusus

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 undang-undang Dasar 1945, tanggal 7 Juni 1945, Presiden menyatakan Daerah Jawa dan Madura dalam keadaan bahaya.53 Kemudian pada tanggal 28 Juni 1946, pernyataan tersebut diikuti dengan pernyataan berlakunya keadaan bahaya untuk seluruh wilayah Indonesia.54

Hal ini disebabkan oleh pertentangan politik yang meruncing di dalam negeri maupun disebabkan ancaman kekuatan bersenjata dan pihak Belanda yang

51

Pasa1 3 huruf a Peraturan Pemerintah nomor 74 tahan 1948.

52

Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 1948.

53

Undang-undang Nomor 6 tahun 1946 tanggal 27 September 1946.

54

AH. Nasution, Sejarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersenjata, Jakarta: Mega Book Store, 1966, hal.96.

menginginkan kembali menjajah Indonesia. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bahwa kondisi Indonesia saat itu dalam keadaan genting. Pertentangan Politik yang meruncing di dalam negeri kemudian meningkat pada tindakan melakukan coup d’etat pada tanggal 3 Juli 1946. Golongan yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan mendatangi Istana Kepresiden untuk memaksakan suatu konsep susunan kabinet baru sesuai dengan keinginan mereka. Percobaan coup d’etat ini ternyata gagal dan peristiwanya sendiri kemudian terkenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946.55

Ancaman kekuatan bersenjata dan pihak Belanda, bermula saat Belanda yang datang kembali ke Indonesia dengan cara membonceng tentara sekutu yang sebenarnya bertugas melucuti tentara Jepang.56 Selanjutnya pada tanggal 30 Nopember 1946, Inggris secara resmi menyerahkan pendudukan di Jawa dan Sumatera kepada Belanda dan pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer-I, maka setelah itu terjadi pertempuran di mana-mana, dan dalam keadaan demikian di bidang peradilan perlu diadakan peraturan-peraturan yang lebih sederhana dan praktis supaya peradilan mampu menjalankan fungsinya.57 Periode tahun 1946 -1948 diadakan peradilan-peradilan khusus yaitu Peradilan Tentara Luar Biasa yang terdiri dan:

1) Mahkamah Tentara Luar Biasa.

Dasar hukum dibentuknya peradilan ini adalah Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1946 dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1947. Pengadaaan peradilan

55

Soegiri, dkk., op.cit., hal. 38

56

Moh. Mahfud, op.cit., hal.38.

57

ini memang dimungkinkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 Undang- Undang No. 7 Tahun 1946, yaitu bahwa jika perlu berhubung dengan keadaan, Presiden berhak membentuk Pengadilan Tentara Luar Biasa yang susunannya menyimpang dan ketentuan dalam Undang-Undang No.7 Tahun 194658

2) Mahkamah Tentara Agung Luar Biasa

Peradilan ini dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1946 yang berlaku sejak tanggal 19 Juli 1946. Dasar dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini adalah Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 tentang Mengadakan Pengadilan Tentara di samping Pengadilan Biasa.

3) Mahkamah Tentara Sementara.

Dengan tujuan untuk menyesuaikan jalannya Pengadilan Tentara baik dalam keadaan perang, maka berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1947, Makamah Tentara Sementara merupakan Pengadilan Negeri yang merangkap menjadi Pengadilan Tentara Luar Biasa.

4) Mahkamah Tentara Daerah Terpencil.

Didasarkan pada pemikiran setidak-tidaknya akan lebih baik jika ada Pengadilan daripada tidak sama sekali. Sekitar tahun 1947 keadaan perang atau keadaan bahaya, sehingga dibutuhkan penyelesaian perkara dalam suatu pasukan tentara yang mungkin sekali pada suatu saat berada dalam daerah terpencil yang tidak terjangkau Pengadilan Tentara Luar Biasa (Pasal 1)

58

Penjelasan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1947, Penyimpangan yang diperbolehkan hanya dalam hal susunan pengadilan saja, sedangkan perihal hak atau kekuasaan, kewajiban mengadili,cara mengadili dan pemberian pangkat militer (tituler), Undang-undang No7 tahunl96 tetap berlaku.

Sehubungan dengan kondisi tersebut, pada tanggal 18 Agustus 1947, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 1947 tentang pembentukan suatu pengadilan tentara yang disebut Mahkamah Tentara Daerah Terpencil.

d. Peradilan Militer masa Agresi Kedua

Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda melakukan agresi yang kedua kalinya terhadap Negara Republik Indonesia yang berakibat seluruh kota besar di Jawa dan Madura jatuh ke tangan Belanda, hal ini memaksa TNI dan pejuang Indonesia untuk menyingkir ke daerah yang tidak diduduki serta melancarkan perang gerilya terhadap Belanda. 59

Selanjutnya menurut Soegiri:

Kondisi tersebut memaksa pimpinan TNI memberlakukan Pemerintahan Militer di seluruh Jawa dan Madura, dan untuk menyelenggarakan keamanan dan ketertiban, diperlukan adanya kepolisian yang kuat dan adanya pengadilan untuk memeriksa dan mengadili para pengganggu keamanan dan ketertiban, tetapi dengan jatuhnya kota—kota besar ke tangan Belanda dimana tempat kedudukan pengadilan negeri berada, maka pengadilan dalam lingkungan peradilan umum menjadi lumpuh yang berarti lumpuh pula pengadilan tentara karena pejabat-pejabatnya berasal dan pengadilan- pengadilan dalam lingkungan peradilan umum”.60

Dikeluarkan Peraturan Darurat Tahun 1949 No. 46/MBDK/49 tanggal 7 Mei 1949 guna memenuhi kebutuhan yang pada waktu itu dihadapkan dengan keadaan genting dan hanya sedikit tenaga di daerah-daerah untuk menyelenggarakan peradilan sipil maupun militer. Sebenarnya berdasarkan Peraturan Darurat Nomor 3 tahun 1949 yang telah ada sebelumnya, di beberapa

59

AH. Nasution, op. cit., halaman 80 - 108.

60

tempat telah dibentuk pengadilan Darurat, tetapi mengingat situasi perjuangan yang memerlukan waktu lama, maka Pengadilan Darurat tersebut perlu disempurnakan serta diperlukan peraturan yang mencakup seluruh pengadilan, baik sipil maupun militer.61

Berangkat dan keadaan yang genting ini, maka para komandan yang dalam berbagai hal memiliki peranan yang menentukan dalam lingkungan Peradilan Militer, dibebani tugas sebagai ketua pengadilan tentara tersebut, sedangkan untuk Peradilan Sipil, para kepala daerah diberi tugas sebagai ketua pengadilan sipil di daerahnya masing-masing.

Peraturan Darurat Nomor. 46/11BKD/49 tersebut mengatur tentang Pengadilan Tentara Pemerintah Militer untuk seluruh Jawa dan Madura, maka dengan adanya ketentuan ini maka pengadilan tentara di seluruh Jawa dan Madura yang diatur oleh Undang-undang Darurat Nomor 3 tahun 1949 dihapuskan serta diganti dengan Peraturan Darurat Nomor 46/MBKD/49 tentang Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer. Peraturan darurat ini memuat berapa hal yaitu:

1) Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer.

Sesuai pasal 2 Peraturan Darurat tersebut susunan peradilan tentara terdiri dari :

a) Mahkamah Tentara Onder Distrik Militer, disingkat MTODM dengan daerah kedudukan sama dengan kedudukan Komandan Onderdistrik Militer KDM) dan daerah hukumnya meliputi onderdistrik militer tersebut.

61

b) Mahkamah Tentara Distrik

Militer, disingkat MTDM dengan daerah kedudukan sama dengan kedudukan Komandan Distrik Militer dan daerah hukumnya meliputi Distrik Militer yang bersangkutan.

c) Mahkamah Tentara Daerah Gubernur Militer, disingkat MTG dengan daerah kedudukan sama dengan kedudukan Gubernur Militer yang bersangkutan. d) Mahkamah Tentara Istemewa.

2) Pengadilan Sipil Pemerintahan Militer tentang Mahkamah Luar Biasa

Pengadilan sipil di seluruh Jawa dan Madura dihapuskan serta diganti dengan Pengadilan Sipil Pemerintahan Militer. Pengadilan ini terdiri atas:

a) Pengadilan Kabupaten

Pengadilan ini ada di tiap-tiap kabupaten dan tempat kedudukannya sama dengan tempat kedudukan Bupati dengan daerah hukum meliputi daerah Kabupaten (Pasal 18). Di mana Bupati sebagai Ketua dan sedikit-dikitnya dua orang terkemuka yang diangkat CM (penguasa militer) sebagai anggota serta seorang pegawai yang ditunjuk oleh Bupati sebagai panitera dan sidang tersebut sah, apabila dihadiri Ketua, dua orang anggota dan panitera (pasal 19 dan 20)

b) Pengadilan Kepolisian

Sesuai Pasal 26, Pengadilan ini ada di tiap-tiap Kecamatan (Kaonderan, Kapanewon) dan tempat kedudukan sama dengan tempat kedudukan Camat serta daerah hukum meliputi daerah Kecamatan. Sedangkan susunan pengadilan terdiri dan Camat (Asisten Wedana, Panewu) sebagai Hakim dan

seorang pegawai yang ditunjuk oleh Bupati sebagai Fiscaalgriffier (Pasal 27 dan 28)

Cara menjalankan hukuman penjara sesuai Peraturan Darurat No.3 Tahun 1949, adalah hukuman penjara dan dapat diganti dengan membayar uang, dan apabila tidak mampu, maka harus menjalani kerja paksa.

c) Mahkamah Tentara Luar Biasa.

Bab III Peraturan Darurat tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang Mahkamah Luar Biasa dengan dasar pemikiran, sebagai berikut:

1) Suatu daerah dimana belum terbentuk pemerintahan Militer atau di mana Pemerintahan Militer Daerah yang ada oleh karena gerakan musuh telah meninggalkan daerah itu, tetapi daerah tersebut masih diduduki oleh pasukan sekecil-kecilnya satu Kompi dapat diadakan suatu Mahkamah Tentara Luar Biasa guna mengadili perkara pidana yang terdakwanya anggota angkatan perang atau orang sipil. Wewenang membentuk mahkamah tersebut menurut Pasal 1 dan Pasal 3 diberikan kepada Komandan Pasukan yang bersangkutan.

2) Apabila terdapat perkara yang terdakwanya berpangkat lebih tinggi dan pada komandan pasukan tersebut, maka terdakwa itu oleh Perwira Provost yang bersangkutan harus diserahkan kepada Komandan Batalyon dan kesatuan Perwira tesebut (Pasal 2 dan 4).

3) Mahkamah Tentara Luar Biasa diwajibkan harus berpedoman pada aturan- aturan yang tercantum Peraturan Darurat.

Dokumen terkait