• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN FILOSOFIS PERADILAN MILITER

B. Sistem Peradilan Pidana Militer

3. Komponen Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM)

Selanjutnya di bawah ini akan dijelaskan peran atau kewenangan Ankum, Papera, Polisi Militer, oditur, dan hakim serta pemasyarakatan militer, sebagai berikut:

a. Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum).

Berdasarkan pasal 74 UU No.31 Tahun 1997, atasan yang berhak menghukum (Ankum) mempunyai wewenang

1) Melakukan penyidikan terhadap prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf C, yaitu Polisi Militer atau oditur.

2) Menerima laporan pelaksanaan penyelidik dan penyidik polisi militer atau oditur.

3) Menerima berkas perkara hasil penyidikan dan penyidikan Polisi Militer atau Oditur.

4) Melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada dibawah wewenang komandonya.

Berhubung tidak semua Atasan memiliki waktu atau kesempatan untuk melakukan penyidikan terhadap anak buahnya yang telah melakukan tindak pidana maka berdasarkan Penjelasan Pasal 74 tersebut, kewenangan Atasan Yang

Berhak Menghukum (Ankum) untuk melakukan penyelidikan, pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik Polisi militer atau Oditur.

Selesai melakukan penyelidikan, polisi militer atau oditur melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada Atasan Yang Berhak Menghukum (Pasal 71 ayat (2) huruf b) juga apabila anak buahnya disidik tanpa sepengetahuan komandannya, maka penyidik segera melaporkannya kepada Atasan yang berhak menghukum tersangka (Pasal 99 ayat (3)). Selain itu juga, penyidik (polisi militer) selesai melakukan penyidikan, wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Ankum (Papera), dan berkas aslinya kepada Oditur yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 101 ayat (1).

Dengan demikian, dalam proses penyidikan ini, Ankum mempunyai peranan yang sangat penting dalam menegakkan hukum di lingkungan militer, karena polisi militer maupun oditur tidak secara mutlak dapat melakukan pemeriksaan pendahuluan, dan pemeriksaan tersebut hanya dapat dilakukan atas ijin/sepengetahuan Atasan tersangka, kecuali tertangkap tangan atau penyerahan tersangka (Pasal 102), dan pada dasarnya Atasan yang berhak menghukum yang melakukan pengusutan dan pemeriksaan permulaan atas seorang militer yang menjadi anak buahnya. Ia adalah pengusut, dan sebagai pengusut ia tidak lagi berkedudukan di bawah pimpinan/perintah Jaksa Tentara.213

Apabila pemeriksaan pendahuluan dan suatu perkara pidana di bawah pimpinan Jaksa (dalam SPP) sudah selesai, artinya apabila menurut pendapat jaksa, ketereangan-keterangan sudah cukup terkumpul untuk bahan-bahan

213

Moch. Faisal Salam, Peradilan Militer Indonesia, Cet. 1, Bandung: Bandar Maju, 1994, hal.99.

pemeriksaan di muka sidang pengadilan, maka sudah saatnya bagi jaksa untuk menyerahkan perkaranya kepada hakim pengadilan negeri yang berwenang, tetapi dalam sistem peradilan pidana militer, jaksa/oditur militer bukan yang menentukan apakah suatu perkara pidana perlu diadakan pemeriksaan pendahuluan yang lebih lanjut, artinya, ia tidak dapat memeriksa langsung seorang tersangka tanpa turut campur Ankum/Komandan langsung tersangka tersebut.

Penentu terakhir mengenai perkara pidana diserahkan atau tidak ke pengadilan, bukan terletak pada oditur militer, meskipun oditur yang mempersiapkan segala sesuatu mengenai perkara hingga selesai, juga walaupun sebelumnya Papera/Komandan menentukan suatu perkara pidana diminta pendapat oditur terlebih dahulu, tetapi karena sifat dan suatu pendapat atau nasehat hukum dari oditur tentang penyelesaian suatu perkara tidak mengikat, pada akhirnya Ankum/Komandan yang menentukan.

Setelah diketahui wewenang Ankum sebagai salah satu komponen dalam SPPM, maka selanjutnya akan dijelaskan kewenangan komponen lain SPPM, yaitu Perwira penyerah Perkara (Papera), sebagai berikut :

b. Perwira Penyerah Perkara (Papera).

Sesuai Pasal 123 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997, Perwira Penyerah Perkara (Papera) mempunyai wewenang :

1) Memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan. 2) Menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan. 3) Memerintahkan dilakukan upaya paksa.

4) Memperpanjang penahanan sebagaimana dimaksud dalam (Pasal 78).214

5) Menerima atau meminta pendapat .hukum dan Oditur tentang penyelesaian suatu perkara.

6) Menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili.

7) Menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit; dan 8) Menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan

umum/militer.

Khusus berkaitan dengan menutup perkara dimana asas oportunitas tersebut hanya dimiliki oleh Jaksa Agung (Pasal 14 huruf h KUHAP).

Selain itu, apabila pendapat oditur bertentangan dengan pendapat atau putusan Papera berkaitan dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan militer atau pengadilan di lingkungan peradilan umum, sedangkan oditur berpendapat bahwa untuk kepentingan peradilan, perkara perlu diajukan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, dan apabila oditur tetap pada pendiriannya, maka oditur mengajukan permohonan dengan disertai alasan-alsannya kepada Papera tersebut, supaya perbedaan pendapat diputuskan oleh Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama) dalam sidang. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 127 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997.

214

Pasal 78 ayat (2) Undang-undang No. 31 tahun 1997 Apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan, dapat diperpanjang oleh Perwira Penyerah Perkara yang berwenanag dengan keputusannya untuk setiapkali 30 (tiga puluh) hari dengan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari.

Menurut Hakim Agung Iskandar Kamil dengan adanya pasal 127 ayat (1) ini maka jelaslah kalau Papera tidak boleh semena-mena dalam hal menentukan penyelesaian perkara untuk diselesaikan di luar pengadilan atau dalam peradilan militer/umum karena pada akhirnya perbedaan pendapat ini akan diputus oleh Pengadilan Militer Utama yang berada dibawah Mahkamah Agung baik secara organisasi, administrasi maupun finansial. 215

Menurut Moch. Faisal Salim, dalam praktek, penyelesaian perkara kesempatan untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Militer Utama sebagaimana tersebut di atas jarang atau tidak pernah sama sekali dipergunakan oleh oditur, karena:

Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan, bahwa mungkin yang bersangkutan, karena kebijakannya ditentang oleh bawahannva, sehingga unsur subyektif dan komandan akan membawa akibat kurang/tidak menguntungkan bagi Jaksa Tentara atau Oditur Tentara dalam karirnya di kesatuan itu selanjutnya atau dengan kata lain, bahwa untuk keamanan pribadi Jaksa Tentara atau Oditur Militer itu sendiri dalam Angkatan/Kesatuan itu, menerima saja putusan-putusan komandan, walaupun diketahuinya/disadarinya bahwa untuk kepentingan justisi suatu perkara harus mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya.216

c. Polisi Militer

Polisi Militer sebagai salah satu subsistem peradilan pidana militer memiliki kewenangan melakukan penyidikan yang dirinci dalam pasal 71 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997 memiliki wewenang selain melakukan penyidikan, adalah: 1) Menerima laporan atau pengaduan dan seseorang tentang terjadinya suatu

yang diduga merupakan tindak pidana;

215

Wawancara dengan Hakim Agung Iskandar Kamil, Jakarta, 6 Desernber 2007, Ibid., hal. 107.

216

2) Melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian; 3) Mencari keterangan dan barang bukti;

4) Menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya;

5) Me1akukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat;

6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

7) Memanggil seseorang untuk untuk didengar den diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

8) Meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, dan

9) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan, selain memiliki wewenang sebagaimana di atas, penyidik Polisi Militer juga memiliki wewenang:

1) Melaksanakan perintah atasan yang berhak menghukum untuk melakukan penahanan tersangka, dan

2) Melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada Atasan Yang Berhak Menghukum.

d. Oditur Militer.

Oditur dalam SPP diposisikan sebagai Jaksa yang memiliki kewenangan melakukan penuntutan, tetapi dalam SPPM, oditur tidak saja melakukan penuntutan tetapi oditur juga memiliki kewenangan melakukan penyidikan. Meskipun memiliki kewenangan melakukan penuntutan, tetapi oditur tidak

memiliki kekuasaan untuk menyerahkan perkara ke pengadilan, dan kewenangan Oditur dalam SPPM diatur dalam Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi:

1) Melakukan Penuntutan dalam perkara pidana yang terdakwanya: a) Prajurit yang berpangkat kapten ke bawah;

b) Mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” kapten ke bawah;

c) Mereka yang didasarkan pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh pengadilan Militer;

2) Melaksanakan penetapan hakim atau putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan Militer atau pengadilan lingkungan peradilan umum;

3) Melakukan pemeriksaan tambahan.

Ayat (2) selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer dapat melakukan peniyidikan.

Sedangkan bagi prajurit yang berpangkat Mayor ke atas, maka yang melakukan penuntutan adalah Oditurat Militer Tinggi, sebagaimana diatur dalam pasal 65 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 UU Nomor 31 tahun 1997.

e. Hakim

Komponen-komponen lain dan sub-sistem peradilan pidana militer adalah pengadilan. Pengadilan dalam lingkungani peradilan Militer, sebagaimana terdapat dalam pasal 15 UU nomor 31 tahun 1997 terdiri dan:

1) Pengadilan Militer dan pengadilan militer tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang hakim ketua dan 2 (dua) orang Hakim anggota.

2) Pengadilan militer tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan bersenjata pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota. 3) Pengadilan Militer tinggi dan Pengadilan Militer Utama bersidang untuk

memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota.

4) Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota. Mengenai sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pengadilan militer, penerapannya akan diatur dengan peraturan pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak UU Nomor 31 tahun 997 diundangkan (pasal 353), tetapi sampai saat ini, peraturan pemerintah dimaksud belum ada, sehingga pengadilan militer sampai saat ini hanya mengadili tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (1).

Secara umum pengadilan (hakim) lebih merdeka dan pada sub-sistem lainnya karena telah diberi jaminan dalam melaksanakan tugas terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh lainnya, dengan beralihnya organisasi dan administrasi dan finansial berada dibawah Mahkamah Agung memberi jaminan

dalam melaksanakan tugas terlepas dan pengaruh pemerintah dan pengaruh lainnya.

f. Pemasyarakatan Militer (Masmil)

Sub-sistem terakhir dan SPPM, adalah pemasyarakatan militer. Secara umum sistem pembinaan narapida umum di lembaga pemasyarakatan tidak berbeda jauh, yaitu ada tahapan-tahapan, juga pembinaan untuk kembali atau menjalani kehidupan bermasyarakat, dan untuk militer yaitu dapat kembali menjadi prajurit yang baik, berjiwa pancasila dan sapta marga.

Hal yang membedakan dengan nara pidana di Lembaga Pemasyarakatan, adalah berkaitan dengan perawatan nara pidana, khususnya makan. Apabila di lembaga pemasyarakatan narapidana mendapat makan dan negara, tidak demikian halnya dengan narapidana militer yang menjalani pidana di pemasyarakatan militer, menggunakan ransumorganik atau uang lauk pauknya sendiri dengan kata lain napi membayar uang makannya selama menjadi narapidana militer sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) per hari.217

Dengan demikian apabila dalam sistem peradilan pidana sub-sistemnya secara administrasi berdiri sendiri, maka dalam sistem peradilan pidana militer, sub-sistem untuk Polisi Militer dibawah pembinaan Komandan Pusat Militer, Oditur dan Pemasyarakatan Militer dibawah pembinaan Badan Pembinaan Hukum Militer (Bahinkum) sedangkan Hakim Militer dibawah Pembinaan Mahkamah Agung.

217

Wawancara dengan Kepala Pemasyarakatart Militer, Mayor Chk Jumali, Medan, 7 April 2009.

g. Perbedaan wewenang Komponen SPP dengan SPPM.

Perbedaan antara kewenangan hakim dengan hakim militer antara lain hakim militer tidak berwenang memeriksa dan memutus gugatan praperadilan, karena keberadaan asas-asas yang bersifat khusus dalam Hukum Acara Pidana Militer, dimana kekuasaan penyidikan termasuk penahanan ada pada Atasan/Komandan praperadilan tidak dikenal serta tidak mengadili anak-anak. Hakim berwenang menyatakan sidang tertutup selain untuk perkara kesusilaan juga perkara yang menyangkut rahasia militer dan/atau rahasia negara (pasal 141 ayat (3 ) UU nomor 31 tahun 1997, dan khusus untuk perkara desersi dapat diadili secara in absensia (pasal 143) dan terakhir dalam hal terdakwa diputus bebas dan segala dakwaan atau diputus lepas dan segala tuntutan hukum tetapi menurut penilaian hakim perbuatan terdakwa tidak layak terjadi dalam ketertiban atau disiplin prajurit, hakim memutus perkara dikembalikan kepada Perwira Penyerah Perkara (Papera) untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Militer (pasal 189 ayat (4) UU nomor 31 tahun 1997)218

Realita lain yang tidak bisa dibantah, adalah bahwa baik Peradilan Umum maupun Peradilan Militer belum bebas dan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) - Dengan kata lain, Peradilan Militer masih rentan terhadap intervensi yang dapat mempengaruhi jalan/proses peradilan itu sendiri termasuk dalam hal penjatuhan pidana yang kemudian dirasakan oleh masyarakat sebagai tidak fair. Padahal

218

Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No.2 tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI mengatur Hukum Disisplin prajurit ABRI adalah serangkaian peraturan dan norma untuk mengatur, menegakkan, dan membina disiplin atau tata kehidupan prajurit ABRI agar setiap tugas dan kewajibannya dapat berjalan dengan sempurna.

undang-undang melarang adanya intervensi atau tekanan dan fihak-fihak luar yang akan mempengaruhi pengadilan.

Menurut penulis, Peradilan Militer tetap diperlukan dan harus tetap dipertahankan, karena selain dicantumkan dalam pasal 2 dan pasal 10 ayat 2 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, juga dicantumkan dalam konstitusi, yaitu terdapat dalam Pasal 24 ayat (2) Undang- undang Dasar RI 1945 setelah Amandemen Ketiga Tahun 2001 yang berbunyi; Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Lebih dari itu adalah untuk penegakan hukum dan pembinaan personil (Prajurit) sehingga militer dapat melakukan tugas pokoknya, yaitu di bidang pertahanan negara yang pada akhirnya diharapkan TNI menjadi kuat.

Kekhususan itulah sebagai alasan untuk mempertahankan keberadaan Peradilan Militer di Indonesia. Hanya saja kewenangannya perlu diatur lebih jelas tindak pidana mana/bagaimana yang menjadi tindak pidana militer dan sisanya merupakan pidana umum. Dalam menyusuri tindak pidana militer yang menjadi kewenangan peradilan militer perlu dibahas secara mendalam tentang kriteria apa saja yang masuk dalam tindak pidana militer, misalnya tugas-tugas atau jabatan kemiliteran, dan yang tidak ada kaitan dengan tugas-tugas dan jabatan kemiliteran tetapi dilakukan di suatu tempat yang khusus, seperti di

dalam markas, barak, kesatrian, pangkalan atau tempat-tempat lain yang dikuasai militer.

Oleh karena itu pada era reformasi ini, ketika hukum ingin dijadikan sebagai panglima (supremasi hukum), merupakan kesempatan bagi para komponen (sub-sistem) Sistem Peradilan Pidana Militer untuk penunjukan kepada masyarakat (rakyat sipil), bahwa peradilan militer mampu mewujudkan kembali tujuannya, yaitu terwujudnya masyarakat militer tertib hukum, dan menjadikan militer yang kuat. Lagi pula sudah tidak dimungkinkan lagi militer untuk berpolitik, sehingga energinya dapat disalurkan kepada profesionalisme militer saja.

Salah satu usaha yang mendorong terwujudnya independensi peradilan militer, yaitu ada atensi atau perhatian masyarakat secara terus menerus sehingga intervensi fihak lain dapat dihindari. Selain itu harus diingat pula bahwa SPPM, seperti halnya SPP, bukanlah berdiri sendiri, tetapi bagian dan sistem yang lebih luas, yaitu masyarakat. Perubahan-perubahan seperti ekonomi, teknologi serta politik dalam masyarakat dapat mempengaruhi.

Dokumen terkait