PERLINDUNGAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERKOSAAN
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarajana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh:
Nama
: Nur Hafizal Hasanah
Nim : 20120610188
Bagian : Pidana
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
HALAMAN PERNYATAAN ... x
DAFTAR ISI ... xii
ABSTRAK ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Tinjauan Pustaka ... 5
E. Metode Penelitian ... 18
F. Sistematika Penulisan ... 22
BAB II TINJAUAN UMUM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 23 A. Pengetian dan Penjelasan Sistem Peradilan Pidana Anak.. 23
B. Pengaturan Sistem Peradilan Pidana Anak ... 30
D. Diversi dan Restoratif Justice... 37
BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA ... 49
A. Pengertian dan Pengaturan Perlindungan Hukum Anak. .... 49
B. Bentuk-Bentuk Perlindungan hukum Terhadap Anak ... 54
C. Perlindungan Hukum Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana 66 1. Perlindungan Hukum Dalam UU NO. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak... 67
a. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam UU No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak ... 69
b. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan dalam KUHP 72 2. Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Dalam UU NO.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 82
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 85
A. Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dalam Tindak Pidana Perkosaan ... 85
B. Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Perkosaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak ... 103
BAB V PENUTUP ... 108
A.Kesimpulan ... 108
B.Saran ... 111
DAFTAR PUSTAKA... ... 112
LAMPIRAN ... 115
i
ABSTRAK
Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan terhadap perlindungan hukum dalam sistem peradilan pidana anak sebagai pelaku tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anak. Tujuan dalam penulisan skripsi ini untuk mengetahui pelaksanaan sistem peradilan pidana terhad anak sebagai pelaku dalam tindak pidana perkosaan yang di lakukan oleh anak dan mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagi pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan, sedangkan pengumpulan data melalui studi pustaka dan wawancara serta analisis data secara deskriptif-kualitatif, yaitu data yang telah diperoleh baik yang secara tertulis maupun wawancara dipilih secara kualitatif untuk memperoleh hasil obyektif dan konkret, kemudian di analisis secara
Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa pelaksanaan sistem peradilan pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana perkosaan diatur dalam hukum acara peradilan pidana anak terdapat terdapat tahap-tahap proses beracaranya yaitu penyidikan, dalam melakukan penyidikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan, Penuntutan terhadap anak melakukan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP yang ancaman hukumanya 12 Tahun penjara dan di dalam Undang- Undang No 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak diancam hukuman 15 Tahun penjara, yang berarti diatas 7 (tujuh) tahun maka tidak dapat dilakukan diversi dan pemeriksaan persidangan yang pada prinsipnya anak disidangkan dalam ruang sidang khusus anak serta ruang tunggu sidang anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa. Bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak yaitu adanya diversi, dalam menangani perkara anak, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahtraan sosial, penyidik, penuntut umum, hakim dan advokat atau pemberi bantuan hukum lainya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan Setiap tingkat pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan
1 BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa yang merupakan bagian dari generasi muda yang menjadi sumber daya pencapaian tujuan pembangunan nasional
Indonesia. Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Dengan peran anak yang penting ini, hak anak secara tegas di nyatakan dalam konstitusi Pasal 28 B ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945, bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kita semua selalu berupaya jangan sampai anak menjadi korban kekerasan, maupun anak terjerumus melakukan perbuatan-perbuatan jahat atau perbuatan tidak terpuji lainya.
Dewasa ini kenakalan remaja semakin meningkat baik secara kualitas maupun kuantitasnya yang memprihatinkan lagi kenakalan yang dilakukan oleh remaja
tersebut bukan kenakalan biasa, tetapi cenderung mengarah pada tindakan kriminal, yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat (khususnya tindak pidana kesusilaan). Secara real situasi anak di Indonesia masih dan terus memburuk
dunia anak yang seharusnya di warnai oleh kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan relitasnyaa di warnai data
2 sering mengalami kekerasan seksual (33%) dan emosional (28,8%), di bandingkan dengan kekerasan yang bersiftat fisik (24,1%).1 Pada tahun 2012 media di hebohkan
dengan adanya kejadian tiga anak di daerah tangerang yang masih terbilang usia sangat belia meniru sebagian adegan film dewasa yang tidak selayakanya mereka
tonton, yang pada saat itu dua gadis cilik anak tetangga yang menjadi korban tindakan mereka,2 Oleh karena itu memberikan perlindungan hukum pada anak adalah sesuatu hal yang wajar dan realistis, yang selain merupakan tuntuan hak asasi
mereka adalah juga merupakan tanggung jawab segenap komponen bangsa Indonesia. Hal-hal yang merupakan kepentingan anak mencakup aspek yang sangat luas,
mencakup kepentingan fisik maupun psikis yang untuk perlindungan hukumnya tentunya terkait aturan hukum dari segala cabang hukum secara interdispliner. Dalam hal ini prinsip kepentingan yang terbaik untuk anak adalah dalam semua tindakan
yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi yang
utama.
Saat ini sudah ada satu kerangka kerja hukum yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak. Perkembangan dalam bidang hukum yang paling penting
adalah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Perlindungan Anak ini merupakan perangkat yang ampuh dalam
3 melaksanakan Konvensi Hak Anak (KHA) di Indonesia. Undang-Undang ini dibuat berdasarkan empat prinsip Konvensi Hak Anak: non-diskriminasi, kepentingan
terbaik sang anak, hak untuk hidup, bertahan dan berkembang dan hak untuk berpartisipasi.3 Di dalamnya diatur hak-hak dasar anak untuk memperoleh identitas,
kebebasan, pendidikan, layanan kesehatan, hiburan dan perlindungan.
Salah satu upaya cara pencegahan dan penanggulan kenakalan anak (politik Kriminal anak) saat ini melalui penyelenggara sistem peradilan anak. Tujuan
penyelenggara sistem peradilan anak tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, tetapi lebih di fokuskan pada dasar
pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejatraan anak pelaku tindak pidana. Dasar pemikiran atau titik tolak prinsip ini, merupakan ciri khas penyelenggara sistem peradilan pidana anak. Dengan adanya ciri
khas di dalam penyelenggara proses peradilan pidana anak bagi anak ini, maka aktivitas pemeriksaan yang di lakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan pejabat lainya,
tidak meninggalkan pada aspek pembinaan dan perlindungan, serta di dasarkan pada prinsip kepentingan anak atau melihat kriterium apa yang paling baik untuk kesejatraan anak yang bersangkutan, tanpa mengurangi perhatian kepada kepentingan
masyarakat.4 Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah di tentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum
4 acaranya, dari mulai saat penyidikan hingga proses pemeriksaan perkara anak pada sidang pengadilan anak.5
Lembaga peradilan dalam hal ini mempunyai peranan penting dalam menjamin perlindungan hak-hak anak, baik anak sebagai pelaku maupun anak
sebagai korban. Hakim sebagai pejabat yang mempunyai wewenang dalam memeriksa dan memberikan putusan atas tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan anak terhadap anak di bawah umur, harus dapat memberikan putusan yang tegas dan
dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat pada umumnya serta hak-hak yang menjadi pelaku dan hak-hak anak yang menjadi korban pada khususnya6.
Hakim juga harus memperhatikan faktor-faktor mengenai hak asasi manusia, serta menjadikan pidana secara oprasional yang dapat diterima baik dari posisi korban (anak) pelaku (anak). Walaupun dalam menjalankan tugas kewenangnya, hakim
banyak menemui kendala khusunya terhadap tindak pidana pemerkosaan terhadap anak yang dilakukan oleh anak yang memiliki perlindungan hukum yang sama,
namun hakim yang memeriksa perkara harus dapat mempertimbangkan dalam putusanya untuk mengatur tentang hak-hak anak sebagai pelakunya.
5 Wagiati Soetdjo,Hukum Pidana Anak,Bandung : PT Rafika Aditama,2005. Hal :3 6Hosianna,”Perlindungan hukum Terhadap Anak korban Tindak Pidana perkosaan yang
5 B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pelaksanaan sistem peradilan pidana terhadap anak sebagai
pelaku dalam tindak pidana perkosaan ?
2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak ? C. Tujuan Penelitian
Penulisan ini secara umum bertujuan untuk memenuhi kewajiban sebagai
mahasiswa Fakultas Hukum yang akan menyelesaikan pendidikan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum, sedangkan jika dilihat dari rumusan masalah yang telah
dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem peradilan pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana perkosaan.
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak
D. Tinjauan Pustaka
1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Pengertian perlindungan hukum menurut kamus besar bahasa Indonesia
adalah perbuatan (hal atau peraturan) untuk menjaga dan melindungi subyek hukum atau perbuatan yang merugikan subyek hukum, berdasarkan peraturan
6 kepentingan sendiri maupun di dalam hubungan dengan manusia lain.7 Sehingga anak sangat perlu dilindungi dari berbagai bentuk kejahatan yang dapat
mempengaruhi perkembangan fisik, mental, serta rohaninya, Oleh karena itu, diperlukan adanya peraturan yang dapat melindungi anak dari berbagai bentuk
kejahatan.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (2) bahwa Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah kepada anak yang dalam situasi darurat adalah perlindungan khusus sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai
berikut: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat,
anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan , anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak
korban perlakuan salah dan penelantaran, anak dengan perilaku sosial menyimpang,
7 dan anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.
2. Sistem Peradilan Pidana Anak
Sistem peradailan pidana anak merupakan sistem peradilan pidana, maka
dalam memberikan pengertian sistem peradilan pidana anak terlebih dahulu dijelaskan mengenai sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana ( criminal justice system) menunjukkan mekanisme kerja dalam penaggulangan kejahatan
denagn mempergunakan dasar “ Pendekatan sistem”. M.Nasir Djamil dalam bukunya
anak bukan untuk dihukum mengutip pendapat dari Muladi yang mengemukakan
bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.8
Sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah The juvenile
system, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan sejumlah institusi yang
tergabung dalam pengadilan, yang meliputi, jaksa, penuntut umum, penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.9 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak memberikan definisi berupa keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.
8
M. Nasir djamil,,Loc.cit, Hal :45
8 Kritikan terhadap efektifitas penjara telah melahirkan pemikiran-pemikiran baru dalam mencari alternatif hukuman untuk anak selain penjara. Kebutuhan akan
adanya alternatif hukuman selain pemenjaraan anak telah menjadi perbincangan panjang di berbagai negara termasuk Indonesia. Untuk menjawab kebutuhan itu, di
banyak negara dimulai dengan perubahan pendekatan keadilan ke arah pendekatan kesejahteraan. Perampasan kebebasan atau pemenjaraan anak dianggap tidak mengedepankan kepentingan terbaik untuk anak lantaran menyangkut stigmatisasi
yang muncul di masyarakat dan dampak digunakannya pendekatan pemenjaraan. Pendekatan-pendekatan dalam menangani anak yang bermasalah dengan hukum telah
banyak dieksplorasi dan dibandingkan antara pendekatan satu dengan lainnya. Berbagai pendekatan alternatif pun muncul dewasa ini dan sudah banyak digunakan oleh beberapa negara dalam menangani juvenile delinquency. Pendekatan alternatif
penanganan anak yang bermasalah dengan hukum telah menggunakan pendekatan antara lain :10
a. Diversi
Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal
dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi diatur dalam Bab II Pasal 5, 6,7,8,9,10,11,12,13,14,dan 15 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
bertujuan memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum.
9 Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana.
Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia diskresi.
Ada tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu: 11
1. Pelaksanaan kontrol secara social (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau
pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak
diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat. 2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation),
yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan
menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.
3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative
justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan
pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan
membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama
mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.
10 b. Restorative Justice
Restorative justice sendiri mempunyai manfaat antara lain untuk
meningkatkan keterlibatan masyarakat dan kesadaran publik dalam upaya menyelesaikan persoalan anak yang bermasalah dengan hukum, membuat pelaku
bertanggung jawab atas tindakannya dan membuat pelaku memahami dampak atas tindakannya serta berusaha memperbaiki kerusakan yang telah dilakukan membantu meminimalkan tingkat kejahatan karena tujuan utama restorative justice adalah
pemulihan sedangkan pembalasan adalah tujuan kedua.12 Restorative justice sendiri diataur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
berbunyi ”sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan
restoratif”, dan diatur pula dalam Pasal 8 yang berbunyi ”proses diversi dilakukan
melalaui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban
dan/atau anak orang tua/walinya,pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif ”.
Restorative justice adalah suatu proses ketika semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu, duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat dimasa mendatang. Keadilan untuk anak,
adalah bagaimana restorative justice itu diterapkan”. Definisi tersebut mensyaratkan
adanya suatu kondisi tertentu yang menempatkan keadilan restorative sebagai nilai
dasar yang dipakai dalam merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta
11 memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat. Karena kelemahan dari peradilan pidana yang ada saat ini adalah pada
posisi korban dan masyarakat yang belum mendapatkan posisinya sehingga kepentingan keduanya menjadi terabaikan. Sementara dalam model penyelesaian
perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative peran aktif kedua pihak ini menjadi penting disamping peran pelaku.
Terdapat lima macam pendekatan yang bisa digunakan dalam menangani
pelaku pelanggaran hukum usia anak, yaitu: 13
1) Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak.
2) Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum.
3) Pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem peradilan pidana semata
4) Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman dan 5) Pendekatan penghukuman yang murni bersifat retributif.
3. Tindak Pidana Perkosaan
Sebelum membahas apa itu perkosaan, akan disinggung telebih dahulu arti dari kata perkosaan. Perkosaan menurut kamus besar bahasa Indonesia diartikan
dengan paksa, kekerasan, gagah ,kuat, perkasa. Sedangkan memeperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar dengan kekerasan.
Menurut KBHI menunjukkan bahwa unsur utama yang melekat pada tindakan perkosaan adalah adanya perilaku kekerasan yang terkait dengan hubungan seksual,
13
12 yang dilakukan dengan melanggar hukum,14 dan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana juga mengatur mengenai tindak pidana perkosaaan yaitu dalam Pasal
285,286,287,288,294 dan 297 KUHP, salah satu isi Pasal 285 KUHP yang berbunyi
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Menurut Soetandyo Wignojoesoebroto perkosaan adalah suatu usaha
melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang melanggar.15 Pengertian lainya di
kemukakan oleh R. Sugandhi yang di tuliskan dalam buku Wahid abdul dan Irfan Muhammad yang berjudul Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, yang dimaksud dengan perkosaan adalah seorang pria yang
memaksa pada seorang wanita bukan isterinya untuk melakukan persetubuhan denganya dengan ancaman kekerasan, yang mana di haruskan kemaluan pria telah
masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani.16
Menurut Arief Gosita perkosaan itu dirumuskan melalui beberapa bentuk perilaku
berikut:17
14Wahid abdul dan Irfan Muhammad,Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan,Bandung: PT Refika Aditama,2011. Hal 40
13 1. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek). Sedangkan
ada juga seorang laki-laki yang di perkosa oleh wanita
2. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan
perilaku.
Persetubuhan di luar ikatan perkawinan adalah tujuan yang ingin di capai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita
4. Faktor –Faktor Penyebab Perkosaan
Perkosaan merupakan kejahatan kesusilaan yang bisa disebabkan oleh berbagi
faktor. Kejahatan ini cukup kompleks penyebabnya dan tidak berdiri sendiri. Penyebabnya dapat dipengaruhi oleh kondisi yang mendukung, keberadaan korban yang secara tidak langsung mendorong pelakunya dan bisa jadi karena ada
unsur-unsur lain mempengaruhinya. Menurut Lidya suryani dan sri wurdani perkosaan dapat terjadikarena berbagai macam sebab, seperti adanya rasa dendam pelaku pada
korban, karena rasa dendam pelaku pada seseorang wanita sehingga wanita lain menjadi sasaran kemarahannya. 18
Dari definisi diatas dapat dijelaskan bahwa faktor penyebab perkosaan
setidak-tidaknya adalah sebagai berikut19:
18
Lidya suryani dan sri wurdani,Loc,cit. hal 72
14 a. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak mengahargai etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lian untuk
berbuat senonoh dan jahat.
b. Gaya hidup atau mode pergaulan di antara laki-laki dengan perempuan yang
semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakn dengan yang dliarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan.
c. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagaman yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin
terkikisdi masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makinmeniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong sesorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
d. Tingkat control masyarakat (social control) yang rendah artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma
keagmaan kurang mendapatakn response dan pengawasan dari unsure-unsur masyarakat.
e. Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan
terhadap pelaku. Hal ini di mungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak
15 f. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan menggembara dan menuntutnya untuk dicarikan
kompensasi pemuasnya.
g. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap
sikap, ucapan (keputusan ) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikanya.
5. Macam-macam Perkosaan
Menurut Resna dan darmawan bahwa tindakan penganiayaan seksual dapat dibagi atas tiga kategori perkosaan,incest, dan eksploitasi termasuk prostitusi dan
pornografi yaitu:20 a) Perkosaan
Pelaku tindakan perkosaan biasanya pria, perkosaan seringkali terjadi pada
suatu saat di mana pelaku lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak.
b) Incest
Didefinisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang mana perkawinan di antara mereka di larang
oleh hukum maupun kultur. c) Eksploitasi
Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi, dan hal ini cukup unik karena seing meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi. Hal ini dapat terjadi
16 sebagai sebuah keluarga atau di luar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual.
Sedangakan menurut kriminologi Mulyana W.Kusuma menyebutkan macam-macam perkosaan,yaitu:21
a) Sadistic Rape
Perkosaan sadistria artinya, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak.
b) Angea Rape
Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk
menyaratkan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. c) Dononation Rape
Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas
kekuasaan dan superioritas terhadap korban. d) Seduktive Rape
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang , yang tercipta oleh kedua belah pihak.
e) Victim Precipitatied Rape
Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
f) Exploitation Rape
21
17 Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang
berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung kepadanya secara ekonomi dan sosial.
6. Akibat Tindak Pidana Perkosaan
Perkosaan merupakan kejahatan yang serius dan bukti pelanggran HAM, meningangat apa yang dilakukan pelaku telah mengakibatkan munculnya berbagai
persoalan buruk yang dihadapi oleh korban perkosaan. Wahid Abdul dan Irfan Muhammad dalam bukunya Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas
Hak Asasi Perempuan mengut pendapat dari Lidya suryani dan Sri wurdani yang menyatakan bahwa Korban pemerkosaan berbeda dengan korban kejahatan konvensional lainnya, korban perkosaan mengalami penderitaan lahir maupun batin.
Akibat Perkosaan dapat menyebabkan22 :
a. Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi berharga akibat
kehilanagan perawanan (kesucian) di mata masyarakat.penderitaan psikologis lainya dapat berupa kegelisahan, kehilangan rasa percaya diri, sering menutup diri atau menjauhi kehidupan ramai,tumbuh rasa benci terhadap lawan jenis dan
curiga berlebihan terhadap pihak-pihak yang bermaksud baik kepadanya.
b. Kehamilan yang di mungkinkan dapat terjadi. Hal ini dapat berakibat fatal lagi
bilamana janin yang ada tumbuh menjadi besar (tidak ada keinginan untuk di abortuskan)
18 c. Penderitaan fisik, artinya akibat perkosaan akan menimbulkan luka pada diri korban. Luka ini bukan hanya terkait dengan alat vital (kelamin perempuan) yang
robek, namun tidak menutup kemungkinan ada organ tubuh yang lain luka. d. Tumbuh rasa kurang percaya pada penanganan aparat praktisi hukum, bilamana
kasus yang di tanganinya lebih banyak menyita perhatianya, sedangkan penaganan kepada tersangka terkesan kurang sungguh-sungguh.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian
yang meletakkan hukum sebagai sebuah sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas hukum, norma, kaidah dari peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.23
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
Perundang-undangan hal ini dimaksudkan bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Serta menggunakan pendekatan perbandingan yang digunakan untuk memperbandingkan suatu isu hukum di lihat dari
berbagai sistem hukum. Dalam pendekatan perbandingan biasanya akan dilakukan perbandingan unsur-unsur hukum seperti subtansi, struktur dan budaya antar sistem
hukum dengan suatu sistem hukum lainya.
19 3. Sumber dan Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder yaitu data
yang diperoleh dari studi dokumen berupa bahan kepustakaan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yang mencakupperaturan perundang-undangan terkait dengan topik masalah yang dibahas yaitu :
a) Undang-undang Dasar Tahun 1945 b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
e) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
f) Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer meliputi buku-buku teks, bahan-bahan hukum yang bersumber dari literatur-literatur, jurnal ilmiah dan lain-lain, yang relevan dengan materi
skripsi ini
20 hukum, kamus besar Bahasa Indonesia, ensiklopedia, surat kabar, tabloid dan artikel-artikel dari internet yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas
dalam penulisan ini.
4. Narasumber
Untuk melengakapi data sekunder tersebut diatas penelitian ini dibutuhkan narasumber dari :
a. Penyidik Anak pada Polisi Resort Kota Yogyakarta yaitu Bripka Dian Sugiandari
b. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Yogyakarta yaitu Ibu Eyeis R.SH c. Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta yaitu Ibu Donna H Simaora.SH.MH
5. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 1) Pengumpulan Data :
a) Studi Kepustakaan
Untuk mendapat data sekunder, penulis akan melakukan pengkajian terhadp bahan-bahan kepustakaan atau sumber data lainya. Selain itu
mencatat mengutip dan meresume teori-teori dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan obyek penelitian.
b) Wawancara
Dengan cara melakukan penelitian langsung pada instansi yang terkait dengan metode wawancara yaitu mengajukan pertanyaan secara langsung
21 2) Pengolahan Data
Pengolohan data dilakukan setelah data terkumpul baik melalui studi
kepustakaan, studi di lapangan, dan dokumentasi diolah kembali dengan cara memeriksa terhadap kelengkapan dan relevansinya pada permasalahan yang ada
dalam skripsi ini, kemudian data tersebut di klsifikasikan secara sistematis sehingga dengan jelas dapat diketahui data yang mana dipergunakan untuk dapat menjawab permasalahan yang ada.
6. Metode Analisis Data
Hasil penelitian ini akan disusun secara sistematis untuk di analisis untuk
menjawab permasalahn kesatu menggunakan deskriptif dengan pendekatan kualitatif sedangkan untuk menjawab permasalahan yang kedua digunakan analisis perspektif dengan pendekatan konsep perundang-undangan berkaitan dengan perlindungan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak terhadap perkara tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anak.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Menguraikan dan menjelaskan tentang : Latar Belakang Permasalahan, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metodologi
Penelitian, Sistematika Penulisan
22 Pada bab ini akan di uraikan mengenai pengertian dan penjelasan sistem peradilan pidana anak, pengaturan sistem peradilan pidana anak,
prinsip-prinsip sistem peradilan pidana anak, restoratif justice, diversi dalam sistem peradilan pidana anak
BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
Bab ini menerangkan mengenai pengertian perlindungan hukum,
bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak, dan perlindungan hukum anak sebagai pelaku tindak pidana.
BAB IV : HASIL DAN ANALISIS DATA
Bab ini menjelaskan mengenai pelaksanaan sistem peradilan pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana perkosaan. Serta perlindungan hukum
terhadap anak sebagi pelaku tindak pidana perkosaan dalam sistem peradilan pidana anak.
BAB V : PENUTUP
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANGSISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
A. Pengertian dan Penjelasan Sistem Peradilan Pidana Anak
Di dalam kata “sistem peradilan pidana anak” terkandung unsur sistem peradilan pidana
dan unsur anak. Kata “anak” dalam kata “sistem peradilan pidana anak” mesti dicantumkan, karena untuk membedakan dengan sistem peradilan pidana dewasa, sehingga sistem peradilan pidana anak adalah sistem peradilan pidana bagi anak. Anak dalam sistem peradilan pidana anak
adalah anak yang berkonflik dengan hukum.1
Sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah The juvenile system, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan sejumlah institusi yang tergabung dalam
pengadilan, yang meliputi, jaksa, penuntut umum, penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak. 2 Dengan demikian, pihak-pihak
terkait dalam Thejuvenile system, pertama : polisi sebagai institusi formal ketika anak berkonflik dengan hukum yang pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga
pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebesakan atau diproses ke pengadilan anak, tahapan ketiga anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari
dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman, yang terakhir institusi penghukuman.3
Sistem peradilan pidana anak merupakan sistem peradilan pidana, maka di dalam memberikan pengertian sistem peradilan anak, terlebih dahulu menguraiakan sistem peradilan
pidana. Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Remington dan Ohlin mengemukakan:4
“Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme adminstrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik adminstrai dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung impilikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efeisien untuk
memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasanya”.
Menurut Mardjono Reksodiputro memberikan batasan sistem peradilan pidana adalah sistem pengenadalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan pemasyarakatan.5 Sedangkan Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana, atau sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana. Sistem peradilan/sistem penegakan hukum pidana
ataupun sistem kekusaan kehakiman di bidang hukum pidana, terpadu di impimentasikan dalam 4 (empat) sub-sietem kekusaan, yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan
mengadili/menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi/pelaksanaan pidana. Sebagai sistem penegakan hukum pidana maka di dalam sistem peradilan terdapat aspek sistem penegakan hukum pidana materiel, aspek hukum pidana formal dan aspek sistem penegakan hukum pelaksanaan
pidana.6
Sudarto mengemukakan bahwa di dalam peradilan pidana anak terdapat aktivitas
pemeriksaan dan pemutusan perkara yang tertuju pada kepentingan anak, yaitu segala aktivitas
4 Setya Wahyudi.,op,cit, Hlm 15 5Mardjono Reksodiputro,Ibid,Hlm 16 6
yang dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan pejabat lain, harus didasarkan pada suatu prinsip ialah demi kesejahtraan anak dan kepentingan anak.7 Dengan beranjak pada pendapat-pendapat tersebut,
maka sistem peradilan pidana anak adalah suatu sistem penegakan hukum pidana anak yang dilaksanakan secara terpadu oleh 4 (empat) sub-sistem kekuasaan, yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili/menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi/
pelaksanaan pidana, berdasar hukum pidana materiil anak, hukum pidana formal anak dan hukum pelaksanaan pidana. Anak dan aktivitas dalam penegakan hukum pidana anak ini lebih
menekankan pada kepentingan perlindungan anak dan tujuan kesejahtraan anak.
Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mendefinisikan sistem peradilan pidana anak itu sendiri adalah keseluruhan proses penyelesaian
perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimingan setelah menjalani pidana.
Soerjono Soekanto memberikan pengertian sistem peradilan pidana adalah merupakan suatu keseluruhan yang terangkai yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan secara
fungsional.8 Mardjono Reksodiputro mengartikan sistem peradilan pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan terpidana, dengan tujuan antaranya mencegah masyarakat menjadi
korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan mengusahakann agar mereka yang
pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.9
7Sudarto,Ibid,Hlm16 8
Soerjono Soekanto, Ibid 9
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu:10
1. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa
tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah.
2. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang
dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk11:
a. Resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pida
b. Pemberantasan kejahatan
c. Untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial).
Kemudian fungsi yang seharusnya dijalankan oleh sistem peradilan pidana terpadu adalah 12: 1) Melindungi masyarakat melalui upaya penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi
pelaku kejahatan, dan melakukan upaya inkapasiti terhadap orang yang merupakan ancaman
terhadap masyarakat.
2) Menegakkan dan memajukan the rule of law dan penghormatan pada hukum, dengan
menjamin adanya due process of law dan perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa, dan
10 Nasir Djamil,op,cit ,hal 33 11 Mappi FHUI, op. cit
12Yayasan Pemantau hak anak menulis refrensi dari internet, 6 Oktober 2010,
terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan.
3) Menjaga hukum dan ketertiban.
4) Menghukum pelaku kejahatan sesuai falsafah pemidanaan yang dianut. 5) Membantu dan memberi nasihat pada korban kejahatan.
Gordon Bazemore menyatakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana anak (SPPA) berbeda-beda, tergantung pada paradigma sisitem peradilan pidana anak yang dianaut. Terdapat
tiga paradigma peradilan anak yang terkenal, yaitu:13 a) Paradigma Pembinaan Individual
Yang dipentingkan adalah penekanan pada permasalahan yang dihadapi pelaku, bukan
pada perbuatan/kerugian yang diakibatkan. Tanggung jawab ini terletak pada tanggung jawab sistem dalam memenuhi kebutuhan pelaku. Penjatuhan sanksi dalam sistem peradilan pidana anak
dengan paradigm pembinaan individual, adalah tidak relevan, incidental dan secara umum tak layak. Pencapaian tujuan sanksi ditonjolkan pada indikator hal-hal berhubungan dengan apakah
pelaku perlu diidentifikasi, apakah pelaku telah dimintakan untuk dibina dalam program pembinaan khusus dan sejauhmana program dapat diselesaikan. Putusan ditekankan pada perintah pemberian program untuk terapi dan pelayanan. Fokus utama untuk pengidentifikasi pelaku dan
pengembangan pendekatan positifis untuk mengkoreksi masalah. Kondisi delikuensi ditetapkan dalam rangka pembinaan pelaku. Pelaku dianggap tak berkompeten dan tak mampu berbuat
rasional tanpa campur tangan terapitik. Pada umumnya pelaku perlu dibina, karena pelaku akan memperoleh keuntungan dari campur tangan terapitik.
13
Pencapaian tujuan diketahui dengan melihat apakah pelaku bisa menghindari pengaruh jelek dari orang/lingkungan tertentu, apakah pelaku mematuhi aturan dari Pembina, apakah pelaku
hadir dan berperan serta dalam pembinaan, apakah pelaku menunjukkan kemajuan dalam sikap dan self control, apakah ada kemajuan dalam interaksi dengan keluarga. Menurut sistem peradilan pidana dengan paradigama pembinaan individual, maka segi perlindungan masyarakat secara
langsung, bukan bagian fungsi peradilan anak. b) Paradigma Retributif
Ditentukan pada saat pelaku telah dijatuhi pidana. Tujaun penjatuhan sanksi tercapai dilihat dengan kenyataan apakah pelaku telah dijatuhi pidana dan dengan pemidanaan yang tepat, pasti, setimpal serta adil. Bentuk pemidanaan berupa penyekapan, pengawasan elektronik, sanksi
punitive, denda dan fee. untuk menciptakan perlindungan masyarakat dilakukan dengan pengawasan sebagai strategi terbaik, seperti penahanan, penyekapan, dan pengawasan elektronik.
Keberhasilan perlindungan masyarakat dengan dilihat pada keadaan apakah pelaku telah ditahan, apakah residivis berkurang dengan pencegahan atau penahanan.
c) Paradigma Restoratif
Ada asumsi dalam sistem peradilan pidana anak dengan paradigma restoratif, bahwa di dalam mencapai tujuan penjatuhan sanksi, maka diikutsertakan korban untuk berhak aktif terlibat
dalam proses peradilan. Indikator pencapaian tujuan penjatuhan sanksi tercapai dengan dilihat pada apakah korban telah direstorasi, kepuasan korban, besar ganti rugi, kesadaran pelaku atas
Pada penjatuhan sanksi mengikutsertkan pelaku, korban, masyarakat dan para penegak hukum secara aktif. Pelaku bekerja aktif untuk merestore kerugian korban, dan menghadapi
korban/wakil korban. Korban aktif dalanm semua tahapan proses dan akan membantu dlam penentuan sanksi bagi pelaku. Masyarakat terlibat sebagai mediator, membantu korban dan mendukung pemenuhan kewajiban pelaku, penegak hukum memfasilitasi berlangsungnya
mediasi.
Fokus utama dalam peradilan restorative untuk kepentingan dan membangun secara
positif, maka anak dan keluarga merupakan sumber utama. Anak dianggap berkompeten dan mempunyai kemampuan positif bersifat preventif dan proaktif.
B. Pengaturan Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak(UU SPPA) yang mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya, yang merupakan pengganti
dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak) yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan
terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-Undang Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
Berikut hal-hal penting yang diatur dalam Undang-Undang SPPA14:
14Tri Jata Ayu menulis referensi dari internet, Senin, 25 Agustus 2014,
1. Definisi Anak di Bawah Umur
Undang-Undang SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah
berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA)
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban)(Pasal 1 angka 4 UU SPPA) c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi)(Pasal 1 angka 5 UU SPPA)
Sebelumnya, Undang-Undang Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak
dilaporkan karena anak cenderung ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.
2. Penjatuhan Sanksi
Menurut Undang-Undang SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69
ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas. a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA):
1) Pengembalian kepada orang tua/Wali
2) Penyerahan kepada seseorang 3) Perawatan di rumah sakit jiwa
4) Perawatan di LPKS
5) Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta
7) Perbaikan akibat tindak pidana. b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA):
a) Pidana Pokok terdiri atas:
1) Pidana peringatan
2) Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan
masyarakat, atau pengawasan 3) Pelatihan kerja
4) Pembinaan dalam lembaga
5) Penjara.
b) Pidana Tambahan terdiri dari:
1) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau 2) Pemenuhan kewajiban adat.
Undang-Undang SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a) Menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b) Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di
instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga
melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
4. Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban
Undang-Undang SPPA memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam
memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing
Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga
diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi
oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya [Pasal 58 ayat (3) UU SPPA].
1. Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
Undang-Undang SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah dilakukan.
Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh orang tua/Wali, orang yang
tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib mendampingi (Pasal 23 Ayat (3)UU SPPA).
6. Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan
ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak.
Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh
satu) tahun (Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak).
C. Prinsip-Prinsip Sistem Peradilan Anak
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan prinsip sesuai dengan Pasal 2
Undang-Undang SPPA yaitu :15 1. Perlindungan
Meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang
membahayakan anak secara fisik dan/ atau psikis. 2. Keadilan
Setiap penyelesaian perkara anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak. 3. Nondiskriminasi
Tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, serta kondisi
fisisk dan atau/ mental.
4. Kepentingan Terbaik bagi Anak
Segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan
tumbuh kembang anak.
5. Penghargaan Terhadap Pendapat Anak
Penghormatan atas hak anak untuk berpartisispasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi kehidupan
anak.
6. Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak
Hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.
7. Pembinaan dan Pembimbingan Anak
Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, professional, serta
kesehatan jasmani dan rohani anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana. Sedangkan pembimbingan adalah pemberian tuntutan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan,
8. Proporsional
Segala perlakuan terhadap anak harus memperhatikan batas keperluan, umur dan kondisi
anak.
9. Perampasan Kemerdekaan dan Peminadaan Sebagai Upaya Terakhir
Pada dasarnya anak tidak dapat diramapas kemerdekaanya, kecuali terpaksa guna
kepentingan penyelesaian perkara.
10. Pengindaran Pembalasan
Prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.
D. Diversi dan Restoratif Justice 1. Diversi
Kata diversi berasal dari bahasa inggris Diversion yang berarti “Pengalihan”. Berdasarkan
pedoman umum bahasa Indonesia yang disempurnakan dan pedoman umum pembentukan Istilah, disesuaikan dalam bahasa indonesia menjadi diversi.16 Menurut Romli Atmasasmita diversi yaitu
kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan dimuka sidang.17. Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan Diversi adalah pengalihan
penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak telah mengatur tentang diversi yang
berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Penggunaan mekanisme diversi tersebut diberikan kepada para penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, lembaga lainnya) dalam menangani pelanggar-pelanggar hukum
16
Setya wahyudi, Loc.Cit, hlm.14
17Romli Atmasasmita,.
yang melibatkan anak tanpa menggunakan pengadilan formal. Penerapan Diversi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam suatu proses peradilan.
Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau
masyarakat, pembimbing kemasyarakatan anak, polisi, jaksa, atau hakim. Oleh karena itu tidak semua perkara anak yang berkonflik dengan hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan
formal, dan memberikan alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif maka, atas perkara anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan diversi dengan kepentingan terbaik bagi anak dan dengan mempertimbngkan keadilan bagi korban.18
a. Tujuan Diversi
Pada Pasal 6 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan tujuan diversi,
yakni antara lain:
1) Mencapai perdamaian antara korban dan anak
2) Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan 3) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan 4) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
5) Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak
Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restorative yang berupaya
mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahan, bukan sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dalam hukum pidana.
18
Diversi mempunyai relevansi yang sama terkait tujuan pemidanaan anak. Tujuan pemidanaan adalah untuk memenuhi rasa keadilan dalam hukum pidana, teori pemidanaan dibagi
dalam 3 (tiga) golongan yaitu :19
a) Teori absolut (vergeldingstheorien) yang dianut oleh Immanuel Kant berpandangan tujuan pemidanaan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan
kejahatan yang mengakibatkan kesengasaraan terhadap orang lain atau anggota Masyarakat b) Teori relatif (doeltheorien) dilandasi tujuan (doel) sebagai berikut :
(a) Menjerakan dengan penjatuhan hukuman diharapkan pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak lagi mengulangi perbuatannya dan bagi masyarakat umum dapat mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan tersebut akan mendapatkan hukuman
yang serupa.
(b) Memperbaiki pribadi terpidana dalam perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatan dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan
berguna.
c) Teori Gabungan/modern (Vereningingstheorien) yang penganutnya adalah Van
Bemmelen dan Grotius yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam
pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.
Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukurdan ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
19Sri Sutatiek,Rekonstruksi Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Anak Di Indonesia,Yogyakarta: Aswaja
Berdasarkan teori-teori pemidanaan diatas, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya diversi mempunyai relevansi dengan tujuan pemidanaan anak, yang mana nampak dari hal-hal
sebagai berikut :20
(a) Diversi sebagai proses pengalihan dari proses yustisial ke proses non yustisial, bertujuan menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana yang seringkali menimbulkan pengalaman
yang pahit berupa stigmatisasi (cap negatif) berkepanjangan, dehumanisasi (pengasingan dari masyarakat) dan menghindarkan anak dari kemungkinan terjadinya prisionisasi yang menjadi
sarana transfer kejahatan terhadap anak.
(b) Perampasan kemerdekaan terhadap anak baik dalam bentuk pidana penjara maupun dalam bentuk perampasan yang lain melalaui meknisme peradilan pidana, memberi pengalaman
traumatis terhadap anak, sehingga anak terganggu perkembangan dan pertumbuhan jiwanya. Pengalaman pahit bersentuhan dengan dunia peradilan akan menjadi bayang-bayang gelap
kehidupan anak yang tiak mudah dilupakan.
(c) Dengan diversi tersebut maka anak terhindar dari penerapan hukum pidana yang dalam
banyak teori telah didalilkan sebagai salah satu faktor kriminogen, berarti juga menghindarkan anak dari kemungkinan menjadi jahat kembali (residive), menghindarkan masyarakat dari kemungkinan menjadi korban akibat kejahatan.
(d) Dengan diversi akan memberikan 2 (dua) keuntungan sekaligus terhadap individu anak. Pertama; anak tetap dapat berkomunikasi dengan lingkungannya sehingga tidak perlu
beradaptasi sosial pasca terjadinya kejahatan. Kedua; anak terhindar dari dampak negatif prisionisasi yang seringkali merupakan sarana transfer kejahatan.
20Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM
b. Pelaksanaan Diversi
Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara
anak di Pengadilan Negeri, dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:21 1. Diancam dengan pidaan penjara di bawah 7 (tujuh) tahun
2. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana
Ketentuan ini menjelaskan anak yang melakukan tindak pidana yang ancamanya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah pengulangan maka tidak wajib diupayakan diversi. Proses
diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyrakatan, dan pekerja sosial professional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Selain itu juga, dalam hal diperlukan, musyawarah
tersebut juga dapat melibatkan tenaga kesejatraan sosial, dan/atau masyarakat. Proses diversi wajib memperhatikan:
a. Kepentingan korban
b. Kesejahtraan dan tanggung jawab anak
c. Penghindaran stigma negative d. Penghindaran pembalasan e. Keharmonisan masyarakat, dan
f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan diversi harus
mempertimbangkan:
1) Kategori tindak pidana 2) Umur anak
21
3) Hasil penelitian kemasyarakatan dari balai pemasyarakatan, dan 4) Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat
Keputusan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan keluarganya serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali tindak pidana berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat. Bentuk-bentuk hasil kesepakatn diversi: a) Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian
b) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali
c) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan, atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan
d) Pelayanan masyarakat
Dalam hal proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak
dilaksanakan, maka proses peradilan pidana dilanjutkan.
c. Jenis-Jenis Diversi
Jenis-jenis diversi secara garis besar, terdiri dari tiga jenis atau tipe diversi yaitu :22 1. Peringatan
Diversi dalam bentuk peringatan, ini akan diberikan oleh polisi untuk pelanggran ringan.
Sebagai bagian dari peringatan, si pelaku akan meminta maaf pada korban. Polisi mencatat detail kajadian dan mencatatkan dalam arsip di kantor polisi. Peringatan seperti ini telah sering di
praktekkan.
2. Diversi informal
Diversi informal diterapakan terhadap pelanggran ringan di mana dirasakan kurang pantas jika hanya sekedar memberi peringatan kepada pelaku, dan kepada pelaku membutuhkan rencana
intervensi yang komperehensif. Pihak korban harus diajak (dapat dilakukan melalui telepon) untuk memastikan pandangan mereka tentang diversi informal dan apa yang mereka inginkan di dalam rencana tersebut. Diversi informal harus berdampak positif kepada korban, anak dan keluarganya,
yaitu harus dipastikan bahwa anak akan cocok untuk diberi diversi informal. Rencana diversi informal ini akan bertanggung jawab, mengakui kebutuhan-kebutuhan korban dan anak, dan kalau
mungkin orang tua diminta bertanggung jawab atas kejadian tersebut. 3. Diversi Formal
Diversi formal dilakukan jika diversi informal tidak dapat dilakukan, tetapi tidak
memerlukan intervensi pengadilan. Beberapa korban akan merasa perlu mengatakan pada anak betapa marah dan terlukanya mereka, atau mereka ingin mendengarkan langsung dari anak karena
permasalahanya muncul dari dalam keluarga anak maka ada baiknya ada anggota keluarga lainya yang hadir untuk mendiskusikan dan menyusun rencana diversi yang baik untuk semua pihak yang
terkena dampak dari perbuatan itu. Proses diversi formal dimana korban dan pelaku bertemu muka, secara internasional hal ini disebut “Restoratif Juctice” .
2. Restoratif Justice
Restoratif justice atau keadilan resoratif adalah suatu proses penyelesaian melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana, secara
bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan dan bukan pembalasan.23
Restoratif justice menurut Tony Marshall adalah suau proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah dan bagaimana
menangani akibat dimasa yang akan datang/implikasinya dimasa depan,24 sedangkan menurut Agustinus Pohan restoratif justice adalah konsep keadilan yang sangat berbeda dengan apa yang kita kenal saat ini dalam sistem hukum pidana indonesia bersifat retributive, pendekatan yang
bersifat retributive, pendekatan yang bersifat rehabilitasi sekalipun belum cukup signifikan.25
Konsep keadilan restoratif dalam hukum pidana Islam. Dilihat pada mind ideas
diantaranya: 26
a. Mengedepankan victim oriented dibandingkan hanya offender oriented dengan jalan melibatan korban-keluarga dalam penyelesaian kasus pidana menunjukan adanya kemiripan
dengan esensi dalam qisas-diyat. Dalam Islam para ulama secara tegas menyebutkan bahwa hak dalam pidana Islam terbagi atas hak Allah dan hak manusia. Dalam jarimah qisas-diyat,
hak korban lebih besar dibandingkan hak Allah (hak negara/masyarakat), sehingga terdapat alternatif penyelesaian dengan pilihan qisas, diyat atau kafarat. Konsep qisas-diyat dilihat dalam pengaturan hukum pidana modern terhadap korban kejahatan termasuk kategori
model pelayanan.
b. Penyelesaian perkara dalam keadilan restoratif berada pada jalur non-penal. Upaya ini
dilakukan melalui proses perdamaian antara korban-pelaku. Risalah Al-Qadha Khalifah Umar Bin Khatab, perdamaian dapat diterapkan dengan berpatokan pada koridor yang jelas.
24
Tony Marshall.,op.cit, Hlm 34
25Agustinus Pohan,Ibid.,Hlm 34
26 Ila Latifa Fitriani, Islam Dan Keadilan Restoratif Pada Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, (skripsi
c. Keadilan restoratif mewujudkan keadilan bagi para pihak, tidak hanya mewujudkan legal justice, tetapi juga mempertimbangkan social justice, individual justice dan juga moral
justice. Keadilan dalam Islam mencakup keadilan individu (al-adalah al-fardiyah) dan keadilan sosial (al-adalah al-ijtimaiyah). Keadilan dalam hukum Islam selalu mempertimbangkan moralitas, dan bukan hanya sebataspenerapan legal justice.
Konsep restorative justice dari UNICEF menitikbertkan kepada keadilan yang dapat memulihkan, yaitu memulihkan bagi pelaku tindak pidana anak, korban dan masyarakat yang
terganggu akibat adanya tindak pidana tersebut. Restorative justice sebetulnya bukan merupakan halasing dalam penyelesaian tindak pidana indonesia. Proses ini pernah berlaku dan sampai saat ini masih berlaku di daerah-daerah tertentu, yaitu penyelesaian menurut hukum adat. Menurut
R.Soepomopenyelesaian menurut hukum adat menghendaki pengembalian keseimbangan di dalam masyarakat, atau pemulihan keadaan.27
Dengan menggunkan konsep restorative justice sebagaimana dikembangkan UNICEF, kiranya peradilan pidana anak dapat diharapkan menghasilkan hal-hal sebagai berikut:
1) Berkurangnya jumlah anak-anak yang dikenakan penahanan sementara dan divonis penjara. 2) Menghapuskan stigmasisasi dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga
diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari
3) Anak yang melakukan tindak pidana dapat menyadari kesalahanya dan bertanggung jawab, sehingga dapat diharapkan untuk tidak mengulangi lagi perbuatanya.
4) Mengurangi beban kerja pengadilan 5) Menghemat keuangan Negara
6) Meningkatkan dukungan orang tua dan peran masyarakat dalam mengatasi kenakalan anak.
27