• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA MELALUI DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA SKRIPSI OLEH:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA MELALUI DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA SKRIPSI OLEH:"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

PIDANA DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

ARMEI FINDY NIM. 160200134

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)

menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini dengan rendah hati, saya mempersembahkan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak Melalui Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia” kepada dunia pendidikan untuk memperluas pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan hukum.

Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi- tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

1. Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Dr. OK Saidin, S.H., M.H, selaku Wakil Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Bapak alm Dr. M. Hamdan, S.H., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

(4)

yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum, selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

9. Para Dosen serta staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu oenulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Kedua orangtua terkasih dan para adik yang bersama-sama berjuang untuk melengkapi segala kekurangan dalam pengerjaan skripsi ini.

11. Kepada teman-teman seperjuangan Grup E stambuk 2016.

12. Kepada Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana, yang telah mendukung dan membantu dalam pengerjaan skripsi ini.

13. Kepada Dita Aprillya Wulandari, Erwita Aanggreni Surbakti, Rani Syahputri, Syarifathul Azhari Batubara serta adik-adik satu kost yang juga turut memberikan semangat dan dukungan dalam pengerjaan skripsi ini.

14. Kepada pauwo Anhar Darwis, S.E., AK., S.H, yang telah memberikan dukungan materil maupun imateril sejak awal masa perkuliahan berlangsung sampai pengerjaan skripsi selesai.

(5)

pembaca dan perkembangan hukum di Indonesia.

Medan, Maret 2021 Hormat Saya,

Armei Findy (NIM. 160200134)

(6)

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10

a. Tujuan Penulisan ... 10

b. Manfaat Penulisan ... 11

D. Keaslian Penulisan ... 12

E. Tinjauan Kepustakaan ... 12

a. Pengertian Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana ... 12

b. Pengertian Diversi ... 13

c. Jenis-Jenis Diversi ... 15

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II : PENGATURAN MENGENAI DIVERSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Sejarah Penerapan Konsep Diversi di Indonesia ... 21

B. Tujuan dan Objek Diversi ... 24

a. Tujuan Diversi ... 24

b. Objek Diversi ... 30

C. Perkara yang Diupayakan Diversi ... 34

D. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Pelaksanaan Diversi pada Tahap Penuntutan ... 37

1. Penuntut Umum Anak ... 38

2. Anak dan Orangtua / Walinya ... 39

3. Korban atau Anak Korban dan Orangtua / Walinya ... 40

(7)

6. Masyarakat ... 45

BAB III : SISTEM PERADILAN PIDANA TENTANG ANAK SEBAGAI PELAKU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN ANAK A. Penyidikan Pada Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Pelaku ... 48

B. Tahap Penuntutan Pada Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Pelaku ... 62

C. Tahap Persidangan Pada Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Pelaku ... 69

D. Tahap Lembaga Pembinaan Khusus Anak Pada Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Pelaku ... 73

BAB IV : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM HAL MELINDUNGI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA A. Diversi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Anak ... 88

1. Diversi Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) ... 88

2. Proses Diversi Terhadap Tersangka Anak ... 92

B. Pendekatan Restoratif Justice ... 97

C. Penerapan Prinsip Ultimum Remedium ... 98

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA

(8)

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Melalui Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, maka dalam hal ini perlu adanya upaya pencegahan dan penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu upaya pencegahan dan penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum saat ini melalui penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak merupakan payung hukum bagi peradilan pidana anak, dalam Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa proses diversi harus diterapkan dalam berbagai tahapan, yang salah satunya adalah pada tahapan penuntutan yang dilakukan oleh Penuntut Umum Anak. Penuntut Umum Anak harus dapat memahami tentang kondisi anak dan harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak. Keberhasilan dan kesepakatan di dalam proses diversi tergantung kepada para pihak yang berperkara tersebut, maka diperlukan perubahan pola pikir masyarakat yang selama ini mengarah kepada keadilan retributif (pembalasan) menuju keadilan restoratif (misyawarah).

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan mengenai diversi menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bagaimana sistem peradilan anak sebagai pelaku dalam hukum pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan apa saja kebijakan hukum pidana dalam hal melindungi anak sebagai pelaku tindak pidana. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah normatif disebut juga dengan penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.

Hasil analisis ini menunjukkan bahwa upaya diversi yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan peraturan pelaksanaan lainnya telah menjadi alternatif telah menjadi alternatif penyelesaian untuk menangani anak yang berkonflik dengan hukum melalui mekanisme non formal yang melibatkan Penuntut Umum Anak sebagai fasilitator, Pembimbing Kemasyarakatan, pelaku, korban dan orang tua.

Penerapan konsep diversi wajib dilakukan disetiap tahap, khususnya pada tahap penuntutan oleh Penuntut Umum Anak. Faktor-faktor yang menjadi penghambat penerapan proses diversi pada lembaga Kejaksaan adalah faktor internal yang berasal dari lembaga itu sendiri, dimana masih kurangnya Penuntut Umum Anak dan faktor eksternal yang berasal dari masyarakatr yang masih mempunyai sifat balas dendam dalam menyelesaikan masalah di persidanagan serta tidak terlihatnya keseriusan pemerintah dalam menjalankan proses diversi tersebut.

Kata Kunci : Tindak Pidana Anak Melalui Diversi.

* Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum yang berpedoman pada Pancasila sebagai ideologinya dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusinya. Hukum merupakan objek pembahasan bagi orang yang ingin mempelajarinya sebagai suatu ilmu, maka dari itu hukum perlu kita ketahui guna untuk mendapat suatu rumusan atau definisi yang dapat dijadikan sebagai suatu pedomana dalam rangka pembahasan dan pengkajian hukum itu lebih lanjut.1

E. Utrecht dalam pendapatnya mengatakan bahwa hukum adalah petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengataur tata tertib dalam masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat itu, oleh huku pelanggaran terhadap petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah masyarakat itu”.2 Pengertian tersebut secara nyata adalah wujud dari penerapan hukum di Indonesia, terlihat dari adanya bentuk perintah dan larangan yang di konsep negara dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang dengan dinyatakan dan harus ditegakkan.

Konsep negara hukum yang ada di Indonesia memiliki fungsi penegakan hukum yang memiliki peranan penting, karena merupakan bagian dari proses kegiatan hukum nasional. Penegakan hukum merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma dan sekaligus nilai-nilai yang ada dibalik norma tersebut.

1 Syahruddin Husein, 1998, Pengantar Ilmu Hukum,(Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat. Fakultas Hukum USU) Hal. 5

2 Ibid. Hal. 7

(10)

Penegakan hukum bukan hanya sekedar menyangkut aturan-aturan dan pasal- pasal yang ada dalam perundang-undangan, tetapi juga mengenai banyak faktor, antara lain perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya seperti pelaku kejahatan, korban kejahatan, para penegak hukum yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system).

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.3 Penanggulangan yang dimaksud adalah usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas- batas toleransi dengan 4menyelesaikan sebagian besar laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah, serta mendapat pidana dan disamping itu yang paling penting adalah untuk mencegah pelaku agar tidak mengulangi kejahatan.

Indonesia memiliki beberapa komponen dalam sistem peradilan pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang diharapkan dapat bekerja secara integratif sesuai dengan fungsi dan tugas masing- masing dalam mekanisme peradilan pidana.5 Kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan ini memiliki tugas, wewenang dan hak yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menciptakan kehidupan yang tentram dalam masyarakat dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat.

Terjadinya suatu perbuatan yang melawan hukum atau tindak pidana dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan lain sebagainya.

3 Bahan kuliah Mahmud Mulyadi, Hukum Acara Pidana, hal. 3

4

5 Ibid

(11)

Salah satunya yaitu orang yang belum dewasa atau anak-anak baik sebagai pelaku, saksi maupun sebagai korban tindak pidana. Setiap anak berhak untuk dapat hidup,tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan ataupun diskriminasi.6

Anak memiliki karakteristik yang spesifik dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak anak menjadi penting untuk diprioritaskan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.7

Anak adalah sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa yang telah disadari oleh masyarakat internasional yang melahirkan sebuah konvensi yaitu Konvensi Anak (Convention of the Rights of the Child) yang pada dasarnya menekankan pada posisi anak harus mendapatkan hak-hak yang dimilikinya.8 Perhatian internasional terhadap hal ini telah menjadikan banyak negara melakukan reformasi hukum terkhusus yang berkaitan dengan anak.

Indonesia dalam perkembangan hukumnya pun melakukan ratifikasi terhadap Konvensi Anak ini, dilakukan dengan di keluarkannya Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Anak (Convention

6 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

7 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 38B ayat (2)

8 Romli Atmasasmita, dkk., 1997, Peradilan anak di Indonesia (Bandung: Mandar Maju,) Hal.8 Dalam preambul konvensi yang kemudian secara normatif dijabarkan dalam batang tubuhnya, mengandung norma-norma antara lain tentang:

a. Penegakan bahwa demi perkembangan anak secara penuh dan harmonis, maka anak harus dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarganya dengan penuh kasih sayang dan pengertian

b. Anak dengan berbagai kekurang matagan fisik dan mental, membutuhkan perhatian dan penjagaan serta secara khusus termasuk kebutuhan akan perlindungan hukum;

(12)

of the Rights of the Child). Pengesahan terhadap konvensi ini merupakan awal lahirnya berbagai peraturan unuk membuat kebijakan khusus penegakan hukum bagi anak.

Pemerintah kemudian menerbitkan beberapa peraturan perundang- undangan mengenai perlindungan anak, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Pelindungan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang sekarang sudah berubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut diatas, setiap anak yang berhadapan dengan hukum berhak untuk mendapatkan perlindungan baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Aparat penegak hukum dan instansi yang terkait dalam menjalankan tugasnya perlu memperhatikan Konvensi Anak dan Undang- Undang Perlindungan Anak yaitu prinsip non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, dan kelangsungan hak untuk berkembang bagi si anak.

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya dan bahwa anak juga sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.9

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi

9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bagian menimbang

(13)

secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.10

Aspek perlindungan anak dalam peradilan anak ditinjau dari segi psikologis, bertujuan agar anak terhindar dari kekerasan, ketelantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh, kecemasan dan sebagainya.11 Anak harus mendapatkan pembinaan dan bimbingan sejak usia dini dan perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang baik fisik, mental maupun psikis.

Anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mantal, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan, maka anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Terkhusus dalam pelaksanaan peradilan pidana anak yang asing bagi dirinya, anak perlu mendapat perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan kerugian mental, fisik dan sosial. Perlindungan anak semacam ini disebut perlindungan hukum / yuridis.

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:12 a. Non diskriminasi

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan

10 Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

11 Agung Wahyuno dan Siti Rahayu, 1993, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia

(Jakarta: Sinar Grafika) Hal. 10

12 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(14)

d. Penghargaan terhadap anak

Perlindungan anak merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh negara maupun masyarakat. Bentuk-bentuk perlindungan anak ini pun dilakukan dari segala aspek, mulai dari pembinaan pada keluarga, kontrol sosial terhadap pergaulan anak dan penanganan yang tepat melalui peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara.

Seorang anak belum memiliki daya nalar yang cukup untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada umumnya merupakan proses meniru ataupun terpengaruh oleh tingkah laku atau rayuan oleh orang dewasa.

Sistem peradilan pidana formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam pengaruh pertumbuhan dan perkembangan anak. Proses penghukuman yang diberikan pada seorang anak melalui sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak kedalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan kejahatan dan memberikan dampak negatif bagi psikis anak.

Permasalahan berkaitan dengan perlindungan yang harus diberikan kepada seorang anak yang berkonflik dengan hukum, tentu harus ada upaya dari berbagai pihak untuk menyelamatkan anak. Pemerintah telah menyadari akan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan anak, maka pemerintah memperbaharui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang dinilai belum efektif untuk diterapkan dalam kasus tindak pidana yang

(15)

dilakukan oleh anak dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak menjadi salah satu sikap pemerintah dalam mewujudkan perlindungan bagi anak.

Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyekesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.13 Peradilan pidana anak meskipun sebagai peradilan khusus, namun bukan berarti peradilan itu berdiri sendiri, melainkan keberadaan peradilan anak akan tetap dalam lingkungan peradilan umum.14

Penjelasan umum di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan agar diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Menghindari dampak negatif proses peradilan pidana terhadap anak, United Nations Standart Minimum Rules For The Administrator of Juvile (the Beijing Rules) telah memberikan pedoman sebagai upaya menghindari dampak negatif tersebut, yaitu dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum mengambil tindakan atau kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggaran anak dan tidak mengambil jalan formal, anatara lain

13 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

14 Bambang Waluyo, 2014, Pidana dan Pemidanaan (Jakarta:Sinar Grafika) hal. 103

(16)

menghentikan atau tidak meneruskan atau melepaskan dari proses pengadilan atau mengembalikan atau menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya.15

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Diversi dilakukan sebagai suatu bentuk penyelesaian yang win-win solution16. Tujuan diterapkannya diversi dalam sistem peradilan pidana anak untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.17

Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam penanganan perkara tindak pidana anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pendekatan Restorative Justice yang dilaksanakan dengan cara pengalihan (diversi). Restorative Justice atau yang sering disebut keadilan restoratif adalah bentuk keadilan yang berpusat pada kebutuhan korban, pelaku kejahatan dan masyarakat.18 Tujuan utama Restorative Justice adalah perbaikan atau penggantian kerugian yang diderita oleh korban,

15 R. Wiyono, 2016, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Jakarta: Sinar-Grafika) hal. 46

16 Marlina, 2011, Hukum Penitentiere (Bandung: Rafika Aditama) hal.73

17 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

18 Yoachim Agus, 2015, Keadilan Restoratif (Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka) hal. 27

(17)

pengakuan pelaku terhadap luka yang diderita oleh masyarakat atas tindakannya, konsiliasi dan rekonsiliasi pelaku, korban dan masyarakat.19

Pelaksanaan diversi di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini berlatarbelakang atas keinginan untuk menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatan dengan sistem peradilan pidana. Diversi wajib dilaksanakan baik pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri.20 Syarat dilakukannya diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum adalah bahwa anak tersebut diancam dengan pidana dibawah 7 tahun penjara dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.21

Sesuai dengan pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. POLRI sebagai penyidik memiliki waktu 30 hari untuk melakukan proses diversi pada anak yang melakukan tindak pidana tersebut, apabila diversi dinyatakan gagal ataupun dari pihak keluarga tidak setuju maka dilanjutkan ke tahap penuntutan. Diversi dilaksanakan pada tahap penuntutan dikarenakan tidak berhasilnya proses diversi pada tahap penyelidikan oleh pihak POLRI.

Berdasarkan uraian diatas, Penulis pada akhirnya tertarik untuk membuat skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana

19Elisabeth,dkk., 2014, Diversi dan Keadilan Restoratif: Kesiapan Aparat Penegak Hukum dan Masyarakat, (Medan: Pustaka Indonesia) hal. 42

20 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

21 Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(18)

Anak Melalui Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia”

yang kemudian akan dibahas pada bab-bab selanjutnya dalam skripsi ini.

B. Perumusan Masalah

Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi

“Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak Melalui Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia” adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan mengenai diversi menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

2. Bagaimana sistem peradilan anak sebagai pelaku dalam hukum pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

3. Apa saja kebijakan hukum pidana dalam hal melindungi anak sebagai pelaku tindak pidana?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai diversi menurut Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

b. Untuk mengetahui sistem peradilan anak sebagai pelaku dalam hukum pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

(19)

c. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam hal melindungi anak sebagai pelaku tindak pidana anak .

2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis

1) Diharapkan menjadi bahan untuk pengembangan wawasan dan untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi ilmiah serta memiliki kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak Melalui Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia;

2) Diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin mengkaji secara mendalam tentang proses diversi pada tahap penuntutan.

b. Secara Praktis

1) Mengetahui dan memahami tentang Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak Melalui Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia;

2) Memberikan sumbangan pikiran dan kajian kepada para pembaca dan masyarakat tentang diversi dan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak Melalui Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia

(20)

D. Keaslian Penulisan

Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman dari apa yang telah Penulis pelajari selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Demi menghindari kesamaan dalam penelitian ini, berikut kajian terdahulu yang ditemukan:

1. Nama : Hikmah Faradila, Nim : 14340064, Fakultas Syari’ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dan Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Pidana” Adapun rumusan masalah dalam skripsi tersebut adalah:

a. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana dan Korban Tindak Pidana dalam sistem pidana?

b. Bagaimana Proses pemeriksaan peradilan dalam sistem peradilan?

Oleh karena itu penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sebab penyusunan skripsi ini menghormati etika penulisan sebagaimana dalam asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka untuk saran-saran dari pihak pembaca yang akan menambah ilmu penulis dan penyempurnaan penelitian dimasa yang akan datang.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Anak sebagai pelaku tindak pidana atau disebut juga dengan anak yang berhadapan dengan hukum ialah seorang anak yang sedang terlibat dengan masalah hukum, sementara anak tersebut belum dianggap mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, mengingat usianya yang

(21)

belum dewasa dan sedang dalam bertumbuh kembang , sehingga berhak untuk dilindungi sesuai dengan undang-undang.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 2 (dua) Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga terdapat pengertian mengenai Anak yang berhadapan dengan Hukum yaitu anak yang berkonflik dengan Hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang di duga melakukan tindak pidana.22

Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam perkembangannya tidak hanya dapat diselesaikan melalui proses peradilan akan tetapi juga dapat diselesaikan diluar proses peradilan pidana atau yang dikenal dengan diversi yang mana penyelesaiannya melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku dan keluarga korban serta melibatkan pihak terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaiannya secara adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan yang dikenal dengan pendekatan keadilan restorative justice, yang terdapat pada Pasal 1 ayat 6 (enam) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Pengertian Diversi

Pengertian Konsep Diversi menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah pengalihan perkara anak dari proses peradilan

22 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(22)

pidana anak ke proses di luar peradilan pidana.23 Diversi dalam peradilan pidana merupakan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana yang dilakukan oleh anak dari mekanisme formal ke mekanisme yang informal.24

Pengertian diversi juga dikemukakan oleh beberapa ahli diantaranya, Jack E. Bynum dalam bukunya “Juvenile delinquency a sociological approach” Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana (Jack E Bynum, William E. Thompson, 2002;430).25 Menurut Romli Atmasasmita, Diversi yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan dimuka sidang.26 Diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian yang win-win solution.27

Pengertian diversi yang dapat disimpulkan adalah wewenang yang ada di dalam para penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana anak untuk mengambil keputusan apakah suatu perkara diteruskan atau dihentikan.

Melihat dari beberapa pengertian Konsep Diversi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konsep ini lebih dikenal dalam proses peradilan pidana anak. Tujuan diterapkannya konsep ini dalam pasal 6 UU No. 11

23 Pasal 1 angka ke-7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

24 Marlina, Op. Cit. hal. 73

25 www.repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 03 Januari 2020 pukul 16.20 Wib

26 http:/pm-bangil.go.id/data/?p=207. Diakses pada tanggal 03 Januari 2010 pukul 17.00 Wib

27 Marlina, Op. Cit. hal 73

(23)

tahun 2012 disebutkan, bahwa diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dengan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan tanggungjawab kepada anak.28

3. Jenis-Jenis Diversi

Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan mengerti tentang pentingnya perlindungan seorang anak yang terlibat dengan hukum.

Pelaksanaannya harus tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali, akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang tetap mentaati hukum.

Terdapat tiga jenis pelaksanaan diversi, yaitu:29

a. Berorientasi kontrol sosial (social control orientation). Dalam hal ini aparat penegak hukum menyerahkan anak pelaku kepada pertanggungjawaban dan pengawasan masyarakat;

b. Berorientasi pada social service atau pelayanan sosial pada masyarakat dengan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan dan menyediakan pelayanan bagi pelaku dan keluarganya;

c. Berorientasi pada restorative justice, yaitu memberi kesempatan pada pelaku untuk bertanggungjawab atas perbuatannya kepada

28 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

29 Marlina, Op. Cit. hal 73-74

(24)

korban dan masyarakat. Semua pihak yang terlibat dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan, apa tindakan terbaik untuk pelaku ini.

Proses diversi dilakukan dalam upaya melakukan kesempatan untuk mengeluarkan atau mengalihkan suatu kasus tergantung landasan hukum atau kriteria yang ada dalam prakteknya. Di lingkungan penegakan hukum juga terlihat ada suatu model informal yang tidak meletakkan kasus satu persatu secara formal (seperti polisi memutuskan untuk tidak melanjutkan penyidikan, berpikir untuk berdamai) keadaan ini merupakan satu tindakan untuk melakukan perubahan, pengembalian, penyembuhan pada korban dan pertanggungjawaban pelaku.

F. Metode Penelitian

Sistematika penulisan yang baik dan benar, haruslah menggunakan metode penelitian yang benar. Penelitian yang digunakan penulis dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran yang sistematik, metodologis dan konsisten.30 Metode penelitian pada dasarnya adalah suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, sehingga dalam suatu penelitian yang akan dilakukan, harus bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,

30 Kata “penelitian” sebenarnya merupakan terjemahan dari istilah reaserch yang di Negeri Belanda baru digunakan secara umum sekitar tahun 1930-an. Semula pengertian reaserch juga hanya digunakan untuk penelitian dibidang etnik dan ilmu alam. Kemudian istilah reaserch juga mulai digunakan dalam ilmu ekonomi, ilmu-ilmu sosial dan yang terakhir dalam ilmu hukum serta politik. Lihat Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal 96

(25)

metodologis dan konsisten.31 Peter Mahmud Marzuki menjelaskan pengertian penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.32

Adapun penulisan skripsi ini adalah menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, penelitian hukum normatif atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.33

2. Jenis dan Sumber Data

Adapun data penyusunan skripsi ini menggunakan data sekunder antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku dan hasil- hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya.34

Data sekunder didapatkan melalui tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundan-undangan yang mengikat seperti Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1981 tentang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan

31 Zalnuddin Ali, Metode Penelitian Hukum , (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 17

32 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 35

33 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010) hal. 13-14

34 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 12

(26)

Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan hukum tersier, yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder, seperti: kamus hukum, jurnal ilmiah, dan bahan-bahan lain yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini.

3. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan untuk penelitian hukum normatif ini adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Data dari analisis kualitatif diperoleh dari berbagai sumber dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi).35

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa bagian sub bab. Urutan bab-bab tersebut tersusun secara sistematik dan saling berkaitan satu dengan yang lain. Uraian singkat bab-bab dan sub-sub bab tersebut adalah:

35 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung, Alfabeta, 2013, hal. 87

(27)

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN MENGENAI DIVERSI MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Dalam bab ini akan dibahas tentang pengaturan mengenai menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dimana bab ini terdiri dari sub bab, antara lain:

Sejarah penerapan konsep diversi di Indonesia, tujuan dan objek diversi, perkara yang diupayakan diversi serta pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan diversi.

BAB III SISTEM PERADILAN ANAK SEBAGAI PELAKU DALAM HUKUM PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Pada bab ini akan dibahas tentang sistem peradilan anak sebagai pelaku dalam hukum pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dimana bab ini terdiri dari sub bab, anatara lain: Penyidikan pada sistem peradilan pidana anak sebagai pelaku, tahap penuntutan pada

(28)

sistem peradilan pidana anak sebagai pelaku, tahap persidangan pada sistem peradilan pidana anak sebagai pelaku dan tahap lembaga pembinaan khusus anak pada sistem peradilan pidana anak sebagai pelaku.

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM HAL MELINDUNGI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

Pada bab ini akan dibahas tentag kebijakan hukum pidana dalam hal melindungi anak sebagai pelaku tindak pidana. Dimana bab ini terdiri dari sub bab, anatara lain: diversi sebagai alternatif penyelesaian perkara anak, pendekatan restoratif justice dan penerapan prinsip ultimum remedium.

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan disajikan kesimpulan dan saran dari seluruh hasil penelitian atas permasalahan yang menjadi pokok pembahasan.

(29)

BAB II

PENGATURAN MENGENAI DIVERSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA

ANAK

A. Sejarah Penerapan Konsep Diversi di Indonesia

Anak perlu dilindungi agar terhindar dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat perkembangannya, sehingga dalam penanganannya perlu dibuat hukum pidana anak secara khusus, baik menyangkut hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidananya. Pengesahan Konvensi Anak (Convention of the Rights of the Child) menjadi awal lahirnya berbagai peraturan untuk membuat kebijakan khusus berkaitan dengan perlindungan dan penanganan anak.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur secara materil mengenai perlindungan anak, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan secara formil serta pelaksanaan pidananya dibentuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang sekarang berubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dibentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak didasarkan pada kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai gejala umum yang harus diterima sebagai suatu fakta sosial, oleh karena itu

(30)

perlakuan terhadap anak nakal harus berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa sehingga perlu penanganan secara khusus.

Penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan: “ Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum, agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu mampu memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan dapat memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Namun, pada pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. Selain itu, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.36

Upaya untuk menghindari efek aau dampak negatif proses peradilan pidana terhadap anak telah dilakukan oleh United Nations Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile ( The Beijing Rules) yang telah memberikan pedoman yaitu dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan kebijakan dalam mennangani atau menyelesaikan masalah pelangggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal, melainkan menghentikan atau tidak meneruskan, melepaskan dari proses

36 Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(31)

pengadilan, mengembalikan atau menyerahkan kepada masyarakat dan juga dapat diubah menjadi bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya.

Tindakan-tindakan itu disebut diversi (diversion) sebagaimana tercantum dalam Rule 11.1, 11.2 dan 17.4 Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile ( The Beijing Rules) tersebut. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana sebagaimana yang dituliskan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Konsep Diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian yang win-win solution.37

Adanya tindakan diversi ini, diharapkan akan mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses pengadilan tersebut dan dapat menjamin masa depan anak. Pengertian lainnya, diversi dalam peradilan pidana merupakan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana yang dilakukan oleh anak dari mekanisme formal ke mekanisme yang informal.38

Pertimbangan dilakukannya diversi didasarkan pada alasan untuk memberikan keadilan kepada pelaku yang telah terlanjur melakukan tindak pidana serta memberikan kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki dirinya. Ketentuan mengenai diversi di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Bab II mulai dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 15, Pasal 29, Pasal 42, Pasal 52 dan Pasal 65.39

37 Marlina, Op. Cit., hal. 73

38 Ibid.

39 Elisabeth, dkk., Op. Cit, hal. 37

(32)

B. Tujuan dan Objek Diversi

1. Tujuan Diversi

Prinsip utama pelaksanaan diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.40

Penerapan ketentuan diversi merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”

karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum.

Petugas dalam melaksanakan diversi menunjukkan pentingnya ketaatan kepada hukum dan aturan. Petugas melakukan diversi dengan cara pendekatan persuasif yang menghindari penangkapan dengan menggunakan kekerasan dan/atau pemaksaan untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses informal. Proses pengalihan ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:41

a. Anak tidak boleh dipaksa untuk mengakui bahwa ia telah melakukan tindakan tertentu

40 http:/doktormarlina.htm Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Diakses pada tanggal 27 Februari 2020 pukul 20.27 WIB

41 Elisabeth,dkk., Op. Cit., hal 39

(33)

b. Program diversi hanya digunakan terhadap anak yang mengakui bahwa ia telah melakukan kesalahan

c. Pemenjaraan tidak dapat menjadi bagian dari diversi.

Mekanisme dan struktur diversi tidak mengizinkan pencabutan kebebasan dalam segala bentuk

d. Adanya kemungkinan penyerahan kembali ke pengadilan e. Adanya hak untuk memperoleh persidangan atau

peninjauan kembali. Anak harus dapat mempertahankan haknya untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali

f. Tidak ada diskriminasi

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa substansi yang paling mendasar adalah pengaturan secara tegas mengenai restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan, sehingga dapat mencegah stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar.42

Diversi tersebut kemudian dijabarkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menentukan tujuan dari diversi itu, yaitu:43

a. Mencapai perdamaian anatar korban dan Anak;

b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

42 R. Wiyono, Op. Cit., hal 48

43 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(34)

c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggungjawab kepada Anak.

Selain dari tujuan yang terdapat di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat tujuan lain dari diversi yang disampaikan oleh Ridwan Mansyur, yaitu:44

a. Untuk menghindari anak dari penahanan;

b. Untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;

c. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak;

d. Agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;

e. Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;

f. Menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.

Perampasan kemerdekaan terhadap anak baik dalam bentuk pidana penjara maupun dalam bentuk perampasan yang lain melalui mekanisme peradilan pidana, memberi pengalaman traumatis terhadap anak, sehingga anak terganggu perkembangan dan pertumbuhan jiwanya, oleh karena itu, diterapkanlah alternatif pemidanaan berupa diversi bagi anak yang memiliki lebih banyak nilai kebaikan.

Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restoratif yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahan, bukan

44 http://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4085, Diakses pada Tanggal 1 Maret 2020 Pukul 14.01

(35)

sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dengan teori retributive dalam hukum pidana.45 Teori pemidanaan yang bersifat retributive kemudian diarahkan pada keadilan restorative yang memulihkan anak.

Diversi akan memberikan 2 (dua) keuntungan sekaligus terhadap individu anak, yaitu:46

a. Anak tetap dapat berkomunikasi dengan lingkungannya sehingga tidak perlu beradaptasi sosial pasca terjadinya kejahatan.

b. Anak terhindar dari dampak negatif yang seringkali merupakan sarana transfer kejahatan

Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat.

Terdapat tiga jenis pelaksanaan program diversi, yaitu:47

a. Berorientasi kontrol sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan.

Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan

45 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 2013) hal. 138

46 Elisabeth,dkk., Op. Cit., hal 115

47 Marlina, Op. Cit., hal. 73

(36)

tidak diharapkan adanya kesmpatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

b. Berorientasi pada sosial service, yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan bagi pelaku dan keluarganya.

Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

c. Berorientasi pada restorative justice, yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku tanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban, pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.

Program diversi pada satu sisi harus bertujuan memberdayakan anak, namun pada sisi lain harus mampu mengembangkan sikap anak untuk menghargai orang lain. Diharapkan setelah melalui proses diversi anak memiliki kemampuan untuk memahami kesalahannya dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.48

Menurut Levine konsep diversi dimulai dengan pendirian peradilan anak pada abad ke-19 yang bertujuan untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa, agar anak tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa. Prinsip utama pelaksanaan diversi yaitu tindakan persuasif atau

48 Elisabeth, Op. Cit., hal 41

(37)

pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.

Tindakan kekerasan saat penangkapan membawa sifat keterpaksaan sebagai hasil dari penegakkan hukum. Penghindaran penengkapan dengan kekerasan dan pemaksaan menjadi tujuan dari pelaksanaan diversi. Tujuannya adalah menegakkan hukum tanpa melakukan tindakan kekerasan dan menyakitkan dengan memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai otoritas penuh.

Penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan. Selain itu, terlihat bahwa perlindungan anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat, sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan maka tidak perlu diproses ke polisi.

Anak yang melakukan pelanggaran sudah terlanjur ditangkap oleh polisi dalam setiap pemeriksaan peradilan untuk dapat melakukan diversi dalam bentuk menghentikan pemeriksaan demi perlindungan terhadap pelaku anak.

Tidak berhasilnya proses diversi di kepolisian maka dilanjutkan pada tahap penuntutan yang juga wajib menerapkan diversi oleh lembaga kejaksaan terhadap anak, apabila upaya diversi tidak berhasil maka didilanjutkan ke pengadilan.

Kasus anak yang sudah sampai di pengadilan, maka hakim juga dapat mengimplementasikan ide diversi demi kepentingan pelaku anak tersebut yang sesuai dengan prosedurnya dan diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana

(38)

penjara. Apabila anak sudah terlanjur berada didalam penjara, maka petugas penjara dapat memberikan kebijakan diversi terhadap anak sehingga dapat dilimpahkan ke lembaga sosial atau diberikan sanksi alternatif yang berguna bagi perkembangan dan masa depan anak tapi diversi untuk mengeluarkan dari sistem peradilan.

Implementasi diversi ini harus dilakukan secara selektif setelah melalui berbagai pertimbangan. Kenakalan anak yang dapat dipertimbangkan dalam hal ini dilihat dari kategori kenakalan atau kejahatan yang dilakukannya tersebut.

Kejahatan dapat dikategorikan dalam tiga kategori yaitu tingkat ringan, sedang dan berat. Secara umum anak-anak yang melakukan kenakalan ringan sedapat mungkin diarahkan untuk memilih diversi dilakukan, sedangkan untuk kejahatan berat maka diversi bukanlah pilihan.

2. Objek Diversi

Anak semestinya ditangani secara berbeda dengan orang dewasa.

Melihat dari model penanganan yang berlaku melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Pidana Anak adalah sama, sebagaimana penanganan orang dewasa dengan model Retributive Justice, yaitu penghukuman sebagai pilihan utama atau pembalasan atas tindak pidana yang dilakukan.49

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lahir untuk menangani permasalahan tentang model penanganan hukum yang berlaku bagi anak, yaitu dengan adanya diversi. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan

49 M. Nasir Djamil, Op, Cit., hal 4

(39)

tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, pembimbing masyarakat anak, Polisi, Jaksa, Hakim.50

Objek diversi adalah anak. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.51 Diversi hanya dapat dilakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seorang anak telah melewati batas ketentuan umur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka anak tersebut menjalani proses peradilan pidana pada umumnya.

Apabila seorang anak yang menjadi pelaku kejahatan belum berumur 12 (dua belas) tahun, maka penyelesaian perkara anak sebaiknya diselesaikan ditingkat penyidikan dan terhadap anak yang berusia 12 (dua belas) tahun yang diajukan ke pengadilan sebagai terdakwa, maka berdasarkan Undang- Undang, anak tersebut belum boleh ditahan.

Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delpan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

50 Ibid. hal 13

51 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(40)

Proses diversi wajib dilakukan baik dalam proses tahap penyidikan, penuntutan maupun dalam proses pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses diversi, yaitu:52 a. Kepentingan korban;

b. Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;

c. Penghindaran stigma negatif;

d. Penghindaran pembalasan;

e. Keharmonisan masyarakat; dan

f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum

Ide diversi dalam konseptual akan lebih sesuai dalam melakukan upaya penindakan dan penjatuhan sanksi terhadap anak nakal dalam kerangka perlindungan anak terhadap stigma (label/cap jahat) ketika seorang anak melakukan tindakan kejahatan atau pelanggaran hukum, namun dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia, ide diversi tersebut tidak mudah untuk diimplementasikan.

Secara garis besar terdapat tiga bentuk diversi, yaitu:53

a. Diversi dalam bentuk peringatan, ini akan diberikan kepada Polisi untuk pelanggaran ringan. Sebagai bagian dari

52 Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

53https://ferli1982.wordpress.com/2013/03/05diversi-dalam-sistem-peradilan-pidana- anak-di-indonesia Ferli Hidayat, Diversi dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia/. Diakses pada Tanggal 1 Maret 2020 pukul 14.56 Wib

(41)

peringatan, si pelaku akan meminta maaf kepada korban.

Peringatan seperti ini telah sering dilakukan.

b. Diversi informal, yangditerapkan terhadap pelanggaran ringan dimana dirasakan kurang pantas jika hanya sekedar memberi peringatan kepada pelaku, dan kepada pelaku diperlukan rencana intervensi yang lebih komperhensif.

Pihak korban harus diajak untuk memastikan pandangannya tentang diversi informal dan apa yang mereka inginkan di dalam rencana tersebut. Diversi informal harus berdmpak positif kepada korban, keluarga dan anak yaitu dipastikan bahwa pelaku anak akan cocok diberikan diversi informal.

Rencana diversi informal ini, anak akan bertanggung jawab, mengakui kebutuhan-kebutuhan korban dan anak dan kalau mungkin orang tua dimintai pertanggungjawaban atas kejadian tersebut.

c. Diversi formal, yang dilakukan jika diversi informal tidak dapat dilakukan, tetapi tidak memerlukan intervensi pengadilan. Beberapa korban akan merasa perlu mengatakan pada anak betapa marah dan terlukanya mereka, atau mereka ingin mendengarkan langsung dari anak. Permasalahannya muncul dari dalam keluarga anak, maka ada baiknya ada anggota keluarga lainnya yang hadir untuk mendiskusikan dan menyusun rencana diversi yang baik untuk semua pihak yang terkena dampak dari

(42)

perbuatan itu. Proses diversi formal dimana pelaku dan korban bertatap muka, secara internasional ini disebut sebagai “Restoratif Justice”.

Anak yang menjadi objek diversi sangat dilindungi, baik anak yang berkonflik dengan hukum maupun anak korban. Pada prinsipnya para pihak yang hadir ataupun ikut serta dalam proses diversi diharapkan menemukan kesepakatan yang dapat diterima oleh para pihak, sehingga teori tujuan pemidanaan dengan pendekatan restoratif dapat diwujudkan.54 Sebuah hubungan yang awalnya tidak baik akibat perbuatan pidana dari anak pun dapat diperbaiki sejalan dengan perwujudan konsep diversi dan restorative justice.

C. Perkara yang Diupayakan Diversi

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri wajib diupayakan diversi. Perkara anak yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

Melihat dari rumusan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka diversi hanya terbatas

54 Penjelasan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan ada empat filsafat tujuan pemidanaan, yaitu: Teori Pembalasan (Vergeldings-Theori) yang menurut Emmanuel Kant, bahwa “Siapa membunuh harus dibunuh”, “Blood for blood, eyes for eyes), Teori Mempertakutkan (Afchrikkings-Theori) menurut Van Feurbach, hukuman yang dijatuhkan harus mempertakutkan orang agar tidak berbuat jahat, Teori Memperbaiki (Verbetering-Theori) dikemukakan oleh pujangga lain, bahwa hukum itu bermaksud pula untuk memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan, dan teori yang menggabungkan ketiganya (Teori Gabungan), bahwa dasar dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan, mempertakutkan, mempertahankan tata tertib kehidupa, dan memperbaiki orang yang telah berbuat tidak bisa diabaikan.

(43)

pada tingkat pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri saja, tetapi jika melihat kembali apa yang menjadi tujuan diversi yang disebutkan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan bahwa pemeriksaan di Pengadilan Tinggi sifatnya adalah devolutif. Sifat devolutif artinya seluruh pemeriksaan perkara dipindahkan dan diulang oleh Pengadilan Tinggi, maka ada alasan untuk membenarkan bahwa diversi dapat pula diupayakan pada tingkat pemeriksaan di Pengadilan Tinggi.55

Tidak setiap perkara yang dilakukan oleh anak dapat dilakukan diversi.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) dikaitkan dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka dapat diketahui bahwa perkara anak yang wajib diupayakan diversi pada waktu dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang di Pengadilan Negeri.

Tindak pidana yang wajib dilakukan diversi, yaitu:56

a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa ketentuan “pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun”

mengacu pada hukuman pidana

b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana

Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang melakukan tindak pidana yang

55 R. Wiyono, Op. Cit., hal 50

56 Ibid. hal. 51

(44)

ancamannya diatas 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah pengulangan, maka tidak wajib diupayakan diversi. Hal ini memang penting, mengingat jika acamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun tergolong pada tingkat pidana berat.57

Pengulangan tindak pidana (recidive) adalah kelakuan seseorang yang mengulangi perbuatan pidana sesudah dijatuhi dengan keputusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, karena perbuatan tindak pidana yang telah dilakukannya lebih dahulu. Seseorang yang sering melakukan tindak pidana dan kerana dengan perbuatan-perbuatannya itu telah dijatuhi pidana bahkan lebih sering dijatuhi pidana, maka recidive merujuk kepada orang yang melakukan pengulangan perbuatan pidana.58

Pengulangan tindak pidana dalam ketentuan ini diartikan bahwa anak sudah pernah melakukan tindak pidana baik tindak pidana yang sejenis maupun yang tidak sejenis termasuk tindak pidana yang pernah diselesaikan secara diversi.

Pengulangan tindak pidana oleh anak, menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai, yaitu menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindak pidana, maka upaya diversi terhadapnya bisa saja tidak wajib untuk diupayakan.59

57 Kualifikasi Tindak Pidana Berat dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang yang belum terkodifikasi namun berisi pengaturan mengenai perbuatan yang dikategorikan kejahatan dengan diberikan sanksi pidana penjara. Tindak pidana berat juga dapat dilihat dari nilai ketercelaannya dimata masyarakat dan beratnya sanksi yang diberikan.

58 Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika), hal. 139

59 R. Wiyono, Op. Cit., hal 51

Referensi

Dokumen terkait

Dari penjelasan gambar di atas diketahui bahwa korporasi berusaha membangun relasi yang lebih bermakna lagi melalui kegiatan atau upaya- upaya berikut: 1) Desain Program CSR

Beberapa tahun kemudian Desa Parakan mendapat bantuan dari pihak PERKIMSIH (Dinas Permukiman Bersih) berupa pembangunan tempat pembuangan sampah sementara (TPS) setelah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan karakter peduli lingkungan di SMA Negeri 1 Bringin melalui implementasi Hi-Pori memiliki rata-rata sebesar 75%

Seseorang anak yang telah termotivasi untuk belajar sesuatu, akan berusaha mempelajarinya dengan baik dan tekun, dengan harapan memperoleh hasil yang baik. Dalam hal

Obligasi ini tidak dijamin dengan suatu agunan khusus dan tidak dijamin oleh pihak ketiga manapun dan tidak termasuk dalam Program Jaminan Pemerintah Terhadap

Jakarta, March 23, 2008 – PT Indosat Tbk (“Indosat”) announced today that Moody's Investors Service (Moody’s), Standard & Poor's Ratings Services (Standard & Poor’s)

Dalam menyusun perancangan film animasi 2D sebagai media bantu pembelajaran tradisi lisan parikan Jawa ini untuk anak Sekolah Dasar dibutuhkan jalan cerita yang

Pemilihan bahan koagulan yang ramah lingkungan merupakan faktor penting dalam pemurnian air sehingga tidak mencemari lingkungan.Tujuan penelitian ini adalah