• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori belajar behavioristik humanistik k

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori belajar behavioristik humanistik k"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

A. Pendahuluan

Pengembangan kurikulum untuk negara yang besar, penuh ragam, dan miskin, seperti Indonesia, bukanlah suatu pekerjaan mudah. Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi memberikan tekanan yang sama, kalau tidak dapat dikatakan lebih kuat dibandingkan perbedaan filosofi, visi, dan teori yang dianut para pengambil keputusan mengenai kurikulum. Perbedaan filosofi, visi, dan teori para pengambil keputusan seringkali dapat diselesaikan melalui jenjang otoritas yang dimiliki seseorang walaupun dilakukan dalam suatu proses deliberasi yang paling demokratis sekali pun. Ketika perbedaan filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses pengembangan dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi, dan teori yang sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan dikembangkan sebagai konten kurikulum.

Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai objek periferal dalam proses pengembangan kurikulum nasional. Posisi sebagai objek ini tidak menguntungkan karena ia seringkali diabaikan oleh para otoritas pengembang kurikulum. Sayangnya, kedudukannya yang menjadi objek berubah menjadi subjek dan penentu dalam implementasi kurikulum tetapi tetap tidak dijadikan landasan ketika guru mengembangkan kurikulum. Padahal keragaman itu berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Artinya, keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses (curriculum as observed, curriculum as experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality) tetapi juga kurikulum sebagai hasil.

Selintas sejarah yang melatarbelakangi perkembangan kurikulum di tanah air.

Perkembangan kurikulum secara nasional tidak dapat dipisahkan dari perkembangan

pendidikan dari dulu hingga sekarang. Sekolah atau lembaga pendidikan di Indonesia telah

ada sejak jaman kolonial Belanda, ini artinya pendidikan secara formal pendidikan telah

ada sejak lama dan tentu saja ada kurikulum yang dijadikan sebagai pedoman dalam

menyelenggarakan pendidikan tersebut.

(2)

Pendekatan yang diperlukan dalam pengembangan kurikulum adalah teori belajar yaitu teori tentang bagaimana siswa belajar. Selama ini, orang berbicara tentang teori belajar yang dikembangkan terutama dari psikologi. Teori belajar seperti yang dikenal dalam literatur dikembangkan dari berbagai aliran dan teori dalam psikologi seperti behaviorisme (stimulus-response, conditioning, operant conditioing, modelling, dan sebagainya), kognitif (skemata, akomodasi, dan asimilasi dari Piaget, meaningful learning dari Ausubel, dan sebagainya).

Teori belajar yang dikembangkan dari pandangan ini tentu saja sangat berguna dan dikembangkan berdasarkan hasil studi yang mendalam dan dalam waktu yang cukup panjang. Sayangnya, teori belajar yang dikembangkan berdasarkan pandangan psikologi ini sering memiliki asumsi bahwa siswa belajar dalam suatu situasi yang value free atau lebih tepat dikatakan cultural and societal free. Teori-teori belajar itu tidak memperhitungkan bahwa siswa yang belajar adalah suatu pribadi yang hidup dan bereaksi terhadap stimulus (apakah dikembangkan berdasarkan teori behaviorisme atau kognitif) yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial dan budaya di mana ia hidup.

Dalam bukunya yang berjudul sociocultural origins of achievement, Maehr (1974) mengatakan bahwa keterkaitan antara kebudayaan dan bahasa, kebudayaan dan persepsi, kebudayaan dan kognisi, kebudayaan dan keinginan berprestasi, serta kebudayaan dan motivasi berprestasi merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap belajar siswa.

B. Pengembangan Kurikulum Dengan Pendekatan Kognitif

(3)

■ Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)

Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan

untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks

bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget

berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman

spatial penting dalam enam sub-tahapan:

1) Sub-tahapan

skema refleks

, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan

berhubungan terutama dengan refleks.

2) Sub-tahapan

fase reaksi sirkular primer

, dari usia enam minggu sampai empat bulan

dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.

3) Sub-tahapan

fase reaksi sirkular sekunder

, muncul antara usia empat sampai sembilan

bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan

pemaknaan.

4) Sub-tahapan

koordinasi reaksi sirkular sekunder

, muncul dari usia sembilan sampai

duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu

yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda

(permanensi objek).

5) Sub-tahapan

fase reaksi sirkular tersier

, muncul dalam usia dua belas sampai delapan

belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk

mencapai tujuan.

6)

Sub-tahapan

awal representasi simbolik

, berhubungan terutama dengan tahapan awal

kreativitas.

■ Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)

Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati

urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang

secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori

Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari

tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam

tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan

kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut

pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti

mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan

semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.

(4)

kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan

logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat

memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain.

Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring

pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak

memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak

hidup pun memiliki perasaan.

■ Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)

Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam

sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai.

Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:

Pengurutan

—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri

lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya

dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.

Klasifikasi

— kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian

benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa

serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut.

Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua

benda hidup dan berperasaan)

Decentering

— anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan

untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir

lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.

Reversibility

— anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah,

kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan

bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.

Konservasi

— memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah

tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda

tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama

banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air

di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.

(5)

akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak

walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.

■ Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)

Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam

teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan

terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan

untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi

yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti

logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun

ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat

pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia

dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan

perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai

tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan

tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.

Informasi umum mengenai tahapan-tahapan

Keempat tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi urutannya selalu

sama. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.

Universal (tidak terkait budaya)

Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri seseorang

berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan

Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis

Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan

sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi)

Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan

(6)

Isu dalam perkembangan kognitif

Isu utama dalam perkembangan kognitif serupa dengan isu perkembangan psikologi secara

umum.

Tahapan perkembangan

Perbedaan kualitatif dan kuantitatif

,

Terdapat kontroversi terhadap pembagian tahapan

perkembangan berdasarkan perbedaan kualitas atau kuantitas kognisi.

Kontinuitas dan diskontinuitas, Kontroversi ini membahas apakah pembagian tahapan

perkembangan merupakan proses yang berkelanjutan atau proses terputus pada tiap

tahapannya.

Homogenitas dari fungsi kognisi

,

Terdapat perbedaan kemampuan fungsi kognisi dari

tiap individu

Natur dan nurtur

Kontroversi natur dan nurtur berasal dari perbedaan antara filsafat nativisme dan filsafat

empirisme. Nativisme mempercayai bahwa pada kemampuan otak manusia sejak lahir telah

dipersiapkan untuk tugas-tugas kognitif. Empirisme mempercayai bahwa kemampuan

kognisi merupakan hasil dari pengalaman.

Stabilitas dan kelenturan dari kecerdasan

Secara relatif kecerdasan seorang anak tetap stabil pada suatu derajat kecerdasan, namun

terdapat perbedaan kemampuan kecerdasan seorang anak pada usia 3 tahun dibandingkan

dengan usia 15 tahun.

C. Pengembangan Kurikulum Dengan Pendekatan Behavioristik

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

(7)

yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: 1) Reinforcement and Punishment;

2) Primary and Secondary Reinforcement; 3) Schedules of Reinforcement;

4) Contingency Management;

5) Stimulus Control in Operant Learning;

6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).

Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

(8)

relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:

 Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;

 Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;

 Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran

(9)

semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

(10)

Teori Belajar Menurut Thorndike

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

Teori Belajar Menurut Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Teori Belajar Menurut Clark Hull

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar.

(11)

yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

D. Pengembangan Kurikulum Dengan Pendekatan Humanistik

Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psokologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalisis (Misiak dan Sexton, 2005 ).

(12)

Psikologi humanistik dapat dimengerti dari tiga ciri utama, yaitu …

1) psikologi humanistik menawarkan satu nilai yang baru sebagai pendekatan untuk memahami sifat dan keadaan manusia

2) psikologi humanistik menawarkan pengetahuan yang luas akan kaedah penyelidikan dalam bidang tingkah laku manusia

3) psikologi humanistik menawarkan metode yang lebih luasakan kaedah-kaeah yang lebih efektif dalam dalam pelaksanaan psikoterapi

Latar Belakang Psikologi Humanistik

Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme seta dipandang sebagai ” kekuatan ketiga ” dalam aliran psikologi.

Psikoanalisis ” Sigmun Freud ” : berusaha memahami tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Psikoanalisis berkeyakinan bahwa prilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dalam diri . – Behaviorisme ”Ivan Pavlov” : meyakini bahwa semua prilaku dikendalikan oleh faktor eksternal

dari lingkungan .

– Humanistik ”Abraham Maslow ” : memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi yang dimiliki manusia, hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang .

Tokoh Humanistik, salah satunya adalah Maslow

Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada dua hal, yaitu;  suatu usaha yang positif untuk berkembang

 kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu

Menurut Maslow, setiap orang memiliki rasa takut, seperti takut untuk berusaha atau berkembang, takut mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah dimiliki, dsb. tetapi hal itu mendorongnya untuk bisa maju ke arah kesempurnaan, kepercayaan diri dan pada saat itu juga dia dapat menerima diri sendiri.

Mengenahi kebutuhan manusia, Maslow membaginya menjadi bermacam-macam hierarki.

Kebutuhan Fisiologis ; Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia seperti, makan, minum, menghirup udara, dan sebagainya. Termasuk juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit, dan, seks.

Kebutuhan akan Rasa Aman ; Ketika kebutuhan fisiologis seseorang telah terpenuhi secara layak, kebutuhan akan rasa aman mulai muncul. Keadaan aman, stabilitas, proteksi, dan keteraturan akan menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak terpenuhi, maka akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat pemenuhan kebutuhan lainnya.

(13)

sepakbola, klub peminatan, dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi, maka perasaan kesepian akan timbul.

Kebutuhan akan Harga Diri ; Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan akan harga diri. Menurut Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan higher one. Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status, atensi, dan reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul perasaan rendah diri dan inferior.

Kebutuhan akan Aktualisasi Diri ; Kebutuhan terakhir menurut hirarki kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Jenis kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri.

Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan

tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi

dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan

menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan

pemaknaan.

Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama

dari psikologi humanistik, yaitu:

(1)

keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen;

(2)

manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya;

(3)

manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan

orang lain;

(4)

manusia memiliki pilihan dan dapat bertanggung jawab atas

pilihan-pilihanya; dan

(14)

E. Kesimpulan

Ada empat hal yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan kurikulum sebagai proses, yaitu:

– posisi siswa sebagai subjek dalam belajar,

– cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya,

– lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior kultural siswa,

– lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar.

Pengembangan kurikulum masa depan dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut:

– Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Untuk tingkat pendidikan dasar, filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme haruslah dapat diubah ke filosofi yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan kemanusiaan peserta didik baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan dunia. Filosofi kurikulum yang progresif seperti humanisme, progresivisme, dan rekonstruksi sosial dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum. – Teori kurikulum tentang konten (curriculum content) haruslah berubah dari teori yang

mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada pengertian yang mencakup pula nilai, moral, prosedur, proses, dan keterampilan yang harus mimiliki generasi muda.

– Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang bersifat individualistik dan menempatkan siswa dalam suatu kondisi value free, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia.

– Proses belajar yang dikembangkan untuk siswa haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses belajar yang mengandalkan siswa belajar secara individualistis dan bersaing secara kompetitif individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi positif. Dengan cara demikian maka perbedaan antar-individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan siswa terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan aspirasi politik.

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan bahwa desentralisasi dan sistem akuntansi manajemen baik digunakan dalam pengambilan keputusan untuk meningkatkan kinerja pada perusahaan.. Kata

Beberapa studi mengenai pengambilan keputusan konsumen pada pembelian beras seperti yang dilakukan oleh Yunita dan Muhammad (2019) yang meneliti karakteristik

Beberapa penambahan perbaikan dalam fasilitas restorasi tentunya akan semakin meningkatkan kenyamanan berkendara pada perjalanan kereta api, beberapa perbaikan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan ekstrakurikuler pramuka penggalang di SD Jaranan Banguntapan Bantul dapat dilihat dari 1) perencanaan pihak

Jika dikemudian hari ternyata terdapat perubahan Kofisien Luas Bangunan (KLB) atau Kofisien Dasar Bangunan (KDB) pada bangunan tersebut, dan tidak sesuai dengan

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 ini ialah keanekaragaman lingkungan, dengan judul Kajian Degradasi Ekosistem

memiliki nilai 42,588 Mpa > 41,038 Mpa dibandingkan dengan metode standart dengan selang kepercayaan 95% rata-rata kuat tekan metode fuzzy logic terletak antara

Klasifikasi agregat menjadi kasar, halus dan filler adalah berdasarkan ukurannya yang ditentukan menggunakan saringan. Mutu agregat mempengaruhi kekuatan dan ketahanan konkrit. Adapun