• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PRO 3C FOR 3P UPAYA PERLINDUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "METODE PRO 3C FOR 3P UPAYA PERLINDUNGAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

METODE PRO 3C FOR 3P

UPAYA PERLINDUNGAN HAK PETANI KELAPA SAWIT DAN PERKEBUNAN BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN BARAT

Created by: Felicia Putri

Hampir setengah dari populasi dunia bermata pencaharian sebagai petani, baik sebagai petani penggarap yang memiliki lahan sendiri dan lahan sewa, maupun buruh tani. Hasil tani dan kebun pun menjadi sangat penting karena menyangkut pangan dan keberlangsungan hidup umat manusia. Pangan bisa menjadi senjata (food weapon), ketika petani mogok memproduksi dan menolak mendistribusikannya. Hal ini sangat berbahaya mengingat perang pangan bisa terjadi dan mengancam keamanan dunia.

Hingga hari ini pun, Indonesia masih merupakan negara agraris dimana pertanian menjadi pilar penting kehidupan. Data BPS tahun 2013 menunjukkan bahwa dari 114 juta jiwa tenaga kerja Indonesia, 35% di antaranya bekerja di sektor pertanian. Pertanian bukan hanya memainkan peran sentral dalam kedaulatan pangan, namun juga mendominasi pemasukan devisa negara.

Namun, kenyataan pahit dirasakan oleh pahlawan pangan dunia. Fakta menyatakan bahwa 80% dari orang yang kelaparan ada di pedesaan, dan 50% adalah kaum tani. Secara historis dan geografis, petani juga menderita diskriminasi dan pelanggaran hak asasi yang berulang dan klasik. Pemerintah yang berdaulat kerap kali mempercayakan lahan kepada perusahaan besar dan mengorbankan petani kecil yang menggantungkan kehidupannya pada pertanian. Selain itu, konflik agraria tak pernah diusut sampai tuntas. Liberalisasi, deregulasi, dan korporatisasi didengungkan untuk mendukung efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, jutaan petani hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Semua bukan semata-mata karena jumlah pangan yang ada tidak cukup, tapi karena sumber pangan dan distribusinya didominasi oleh perusahaan transnasional yang mementingkan ekspor dibanding mencukupi kebutuhan dalam negeri.

(2)

memonopolinya. Masyarakat dan petani pun masih menjadi buruh di tanahnya sendiri. Petani perkebunan sawit hanya menjadi penyedia bahan baku industri dengan harga yang tidak bisa mereka tentukan.

Oleh karena itu, dengan melihat marginalisasi yang dialami oleh petani, kepedulian masyarakat terhadap hak-hak asasi petani yang dilanggar oleh pemerintah dan perusahaan besar menjadi sangat penting untuk diwujudkan. Pemerintah juga harus lebih pro aktif terhadap upaya perlindungan hukum hak-hak petani perkebunan dalam rangka pembangunan berkelanjutan.

Analisa dan Dukungan terhadap Perkebunan Kelapa Sawit sebagai Awal dari Sustainable Agriculture

Sejarah awal mula masuknya kelapa sawit ke Indonesia bermula dari 4 pohon sawit pertama yang dibawa Adrien Hallet, berkebangsaan Belgia dari Congo dan ditanam di Kebun Raya Bogor untuk mengukur kecocokan iklim dan tanah di Indonesia. Hasil kebun sawit ini kemudian menjadi cikal bakal perkebunan sawit pertama di Sumatera, SOCFINDO.

Hingga saat ini, pertumbuhan permintaan sawit dari pasar internasional sangatlah besar dan cenderung meningkat pesat. Pemerintah dan investor besar melihat potensi meraup keuntungan dari perkebunan sawit. Sehingga, isu pemerintah lebih pro kepada pihak swasta semakin kencang beredar. Bukti yang jelas pun terlihat dari IUP (Izin Usaha Perkebunan) yang diperjualbelikan, konversi lahan ke kebun sawit, sektor perkebunan kelapa sawit berorientasi ekspor untuk memperoleh devisa tanpa terlebih dahulu mencukupi kebutuhan domestik dan tarik ulur program PIR (Perusahan Inti Rakyat) yang tak kunjung usai, serta pendistribusian benih transgenik dan hibrida yang tidak bisa diproduksi ulang.

Faktor-faktor tersebut menjadikan perkebunan kelapa sawit dibenci dan ditentang oleh masyarakat pertanian. Lahan pertanian petani pangan dirampas oleh swasta dengan bantuan pemerintah. Sebenarnya, bila pemerintah daerah mampu mengakomodir dua pihak yang berseteru ini, perkebunan kelapa sawit dan pertanian dapat dipertahankan tanpa ada yang merasa dikorbankan.

(3)

(Green House Gases) khususnya CO2 melalui pengurangan BBF (Bahan Bakar Fosil),

berfungsi sebagai hutan, penyumbang devisa negara melalui industri hilir CPO (Crude Palm Oil) dan penyerap netto CO2.

Pertama, sawit sebagai penghasil energi yang bisa diperbaharui. Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menyerap energi matahari – yang merupakan sumber energi abadi bagi Bumi dan disimpan dalam energi biomass – dua kali lipat lebih besar dari hutan tropis. Dikutip dari buku Comparative Eco-Physiology of Palm Oil and Tropical Forest, efisiensi perkebunan kelapa sawit dalam fotosintesis dan konversi radiasi sebesar 3,18% dan 1,68g/m. Sedangkan hutan tropis hanya 1,73% dan 0,86g/m. Kelapa sawit bisa menyerap sampah emisi CO2 dan menukarnya dengan Bahan Bakar Nabati (BBN) dari minyak sawit yang menjadi

alternatif energi murah dan ramah lingkungan. Konsumsi BBF (Bahan Bakar Fosil) dapat direduksi secara perlahan.

Kedua, perkebunan kelapa sawit berfungsi sebagai hutan. Kelapa sawit memiliki perakaran padat dan berlapis serta permukaan tanah mengandung banyak bahan organik (batang, pelepah) yang berfungsi sebagai konservasi tanah dan air seperti mengurangi aliran air permukaan (water run-off). Kemampuan fotosintesis dan respirasi tanaman dalam mendaur ulang CO2, O2 dan H2O pun lebih baik dibanding hutan tropis – sebagaimana dijabarkan

dalam poin pertama -.

Ketiga, sebagai penyumbang devisa negara melalui industri hilir CPO (Crude Palm Oil). Hasil panen kelapa sawit mengalami peningkatan pesat di pasar internasional dan hal ini menjadi pendapatan potensial bagi negara sebagai cadangan devisa. Namun, pemerintah tetap harus menjaga kuota ekspor, agar konsumsi domestik terpenuhi dulu, barulah mengekspor kelebihannya. Selain itu, pemerintah sudah seharusnya lebih cerdas dalam kebijakan ekspor. Selama ini, proses produksi hanya sampai industri hulu, kemudian minyak mentah dipasarkan. Fakta kronis menunjukkan bahwa Indonesia menjual minyak mentah pada importir dan kemudian mengimpor minyak siap pakai dari pengimpor tersebut. Bila produsen dan pemerintah mau mengolah sampai industri hilir dengan produk CPO siap pakai, negara dapat meraup devisa yang lebih besar.

Keempat, sebagai penyerap netto CO2. Penghitungan penyerapan netto CO2 (Henson:1999)

(4)

pertumbuhan biomas kelapa sawit sampai umur 25 tahun. Hutan alam tropis biasa hanya sekitar 7-10 tahun (umur dewasa), kemudian fotosintesisnya akan berhenti atau mengecil. Dengan ini, konversi hutan dewasa menjadi perkebunan bersifat afforestasi, yakni membangun fungsi ekologis hutan di luar kawasan hutan.

Perkebunan sawit telah menjadi solusi implisit untuk berbagai masalah global dan nasional. Dengan alternatif biofuel lewat minyak nabatinya dan kemampuan menyerap netto CO2

terbesar, serta fungsi hutan sebagai sumber daya alam diperbaharui, perkebunan kelapa sawit sangat mendukung kelangsungan sustainable agriculture yang dicanangkan oleh Indonesia. Namun, pemerintah perlu menjaga kuota perkebunan kelapa sawit agar keseimbangan dengan pertanian tetap terjaga. Karena, pada dasarnya, bukan seberapa besar lahan yang ada, tapi seberapa tinggi kemampuan sumber daya manusianya dalam hal menciptakan kelestarian dan keselarasan dengan alam demi menjaga keseimbangan ekosistem.

Namun, empat fungsi alternatif ini tidak menjadi alasan bagi perusahaan kelapa sawit melakukan ekspansi besar-besaran. Karena, lahan masih dibutuhkan untuk produk pertanian. Bilamana pemerintah tidak berperan sentral dalam pembatasan konversi lahan, konflik agraria klasik akan terulang tanpa solusi pemecahan yang jelas. Kedaulatan pangan juga terancam, karena kelapa sawit tidak berfungsi sebagai pasokan pangan global.

Tinjauan Kasus Pelanggaran Hak – Hak Petani Perkebunan Kelapa Sawit di Kal-Bar Kesadaran akan pentingnya kualitas sumber daya manusia dalam mengolah SDA menjadi tamparan bagi pemerintah dan perusahaan swasta yang kerap kali melanggar hak asasi petani. Akibatnya, ratusan juta kaum tani hidup dalam kemelaratan dan malnutrisi. Hal ini disebabkan oleh kapitalisasi, deregulasi dan korporatisasi yang juga didukung oleh WTO. Sumber perkebunan banyak dikuasai oleh petani inti dan perusahaan transnasional. Petani plasma tidak lagi memiliki nilai tawar dalam menentukan kehidupan dan haknya. Neoliberalisme pun secara tidak langsung diwujudkan oleh orang kita sendiri.

(5)

Petani sawit kehilangan benih lokal karena dipaksa untuk membeli benih yang dihasilkan perusahaan multinasional demi keuntungan mereka semata. Perusahaan menjual benih transgenik dan hibrida yang bermutu buruk, merusak tanah, dan tidak bisa diproduksi ulang. Mereka memaksakan perkebunan monokultur yang menyebabkan punahnya berbagai spesies dan keanekaragaman hayati. Hal ini didasari orientasi keuntungan agar semakin banyak benih yang bisa dijual pada petani plasma. Sadar akan hal ini, pemerintah tak kunjung turun tangan, namun malah lebih percaya kepada perusahaan transnasional.

Dalam Deklarasi Hak Asasi Petani Menuju Kovenan Internasional, FSPI (Federasi Serikat Petani Indonesia) merumuskan hak asasi petani yang disetujui dalam Konferensi Regional Asia Tenggara dan Asia Timur, yaitu sebagai berikut:

1. Hak atas Kehidupan yang Layak, 2. Hak Atas Tanah dan Teritori,

3. Hak Atas Kebebasan Budidaya Tanaman, 4. Hak Atas Modal dan Sarana Produksi, 5. Hak Atas Akses Informasi dan Teknologi,

6. Hak Atas Kebebasan Menentukan Harga dan Pasar Produksi, 7. Hak Atas Perlindungan Nilai – Nilai Budaya,

8. Hak Atas Keanekaragaman Hayati, 9. Hak Atas Kelestarian Lingkungan, 10. Hak Atas Kebebasan Berorganisasi.

Namun, Deklarasi ini tidak dipatuhi oleh sejumlah negara. Jumlah kasus pelanggaran HAP (Hak Asasi Petani) meningkat dari 51 di tahun 2010 menjadi 144 di tahun 2011 dan 169 di tahun 2012. Semisalnya kasus di Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kal-Bar, yang melibatkan petani/masyarakat dengan PT. Sintang Raya, menyebabkan akses hak atas tanah rakyat sekitar untuk penghidupan tidak terpenuhi untuk lahan 1.000 hektar. Ada pula kasus di Ketapang pada Februari 2011, PT. Bangun Nusa Mandiri merusak wilayah adat 350 ha dan 2 orang dikriminalisasi. Hal yang sama pun terjadi di Kabupaten Bengkayang dimana PT. CP mengambil 70 ha lahan petani plasma secara paksa.

(6)

dioptimalkan secara produktif. PT. BKP juga tidak adil dalam pembagian hasil panen, yaitu 80% untuk perusahaan dan 20% untuk petani. Itu pun setelah dikurangin biaya operasional. Petani ingin mengambil alih lahan namun selalu terbentur masalah IUP, walau sebenarnya PT. BKP tidak memiliki HGU (Hak Guna Usaha). Tapi, mereka berhasil menguasai tanah dan mendapat bekingan dari aparatur pemerintah daerah.

Ketua Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Kakao Kalbar, Sy. Mochtaruddin mengungkapkan bahwa petani mengalami kemunduran, salah satu penyebabnya ialah infrastruktur yang tidak menunjang. Ia mengatakan bahwa petani sulit maju karena hasil perkebunan dijual melalui mata rantai, atau bertangga-tangga, baru sampai ke pembeli

Pemerintah pusat yang berkoordinasi dengan pemerintah daerah pun tidak serius dalam menjalankan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dan Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah). Praktis tidak ada upaya serius dan sistematis yang bersifat problem-solving. Sebab, kedua program tersebut bersifat administratif, dan sertifikasi yang dibagikan tidak disertai dengan tanah konkrit yang dijanjikan. Karenanya, SPI (Serikat Petani Indonesia) mendesak pelaksanaan program Pembaruan Agraria Sejati untuk kedaulatan pangan dan pengentasan kemiskinan dengan merealisasikan janji redistribusi tanah pada rakyat miskin. Kasus ini terjadi pada 50 petani transmigran asal Kal-Bar yang dijanjikan tanah pada program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) di era Soeharto, namun tanah tidak pernah dikonversi dan dialihtangankan, sehingga mereka melakukan protes di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Praktik manajemen satu atap yang mengombinasikan petani inti-plasma pun hanya jebakan agar perusahaan tidak mengeluarkan biaya investasi besar untuk penyediaan dan pengolahan lahan, terlepas dari kesibukan produksi utama, mendapat hak monopoli pada komoditas yang telah disepakati, dan isu pembangunan masyarakat. Jadi, seakan-akan, perusahaan agroindustri berupaya meningkatkan derajat kehidupan sehingga mendapat citra positif dan memudahkan mereka mendapat fasilitasi kredit lunak dari perbankan karena Corporate Social Responsibility (CSR) terpenuhi.

(7)

3, dimana dinyatakan bahwa cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fakta yang terjadi di lapangan bertolak belakang dengan ketentuan konstitusi, dimana 60% perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat dimiliki oleh asing. Masyarakat asli dijajah oleh perusahaan asing di rumahnya sendiri.

Ketika perkebunan kelapa sawit sedang menunjukkan perkembangan yang sangat bagus dengan peningkatan permintaan pesat dari pasar internasional dan memiliki nilai jual strategis di masa depan karena sumber daya alternatifnya, bagaimanakah nasib petani plasma yang berjuang memproduksi dan menghasilkannya? Dengan pengorbanan dan penderitaan yang dihadapi, semakin sejahtera dan makmurkah kehidupan mereka?

Metode PRO 3C for 3P – Solusi Perlindungan Hak Petani Sawit dan Perkebunan Berkelanjutan

Indonesia punya banyak peraturan dan perundang-undangan yang melindungi hak-hak petani, seperti Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria sebagai implementasi konstitusi Indonesia pasal 33 UUD 1945. Ada pula TAP MPR No. IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Yang terbaru, ada RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (RUU Perlintan) yang baru saja disahkan menjadi UU No. 19 Tahun 2013 oleh DPR RI di bulan Juli 2013 lalu.

Namun, tak banyak di antaranya yang berfungsi dengan baik. Banyak pelanggaran dan kasus yang hanya merujuk pada satu pihak sebagai korban, yaitu petani. Pengabaian peraturan oleh perusahaan besar tidak direspon oleh pemerintah berdaulat. Akibatnya, permasalahan selalu terkait persoalan klasik yang berulang. Sesungguhnya, 1 peraturan sudah cukup, bila mampu dioptimalkan dan dipatuhi dengan taat. Perundang-undangan yang terlalu banyak malah mengakibatkan tumpang tindih dan kebingungan pelaksanaan.

(8)

sewenang-wenang. Hasil panen sawit pun takkan langsung diekspor karena memprioritaskan kebutuhan domestik terlebih dahulu.

Oleh karena itu, Penulis merumuskan metode 3C sebagai langkah awal pemerintah untuk mengevaluasi diri dan melindungi hak petani sawit di Indonesia, yakni sebagai berikut:

Consistency, merujuk pada ketetapan dan keyakinan pemerintah untuk mempertahankan keselarasan kebijakan yang telah dirumuskan. Ketidakkonsistenan pemerintah terlihat dari banyaknya perundang-undangan yang disahkan, namun nihil hasilnya. Keseriusan dan kepedulian sangat diperlukan dalam problem-solving. Semisalnya, program Go Organic yang dicanangkan pemerintah di tahun 2010 dan PIR (Perkebunan Inti Rakyat) di Orde Baru. Kedua program ini hanya semarak di awal, tapi tak kedengaran lagi kabarnya hingga kini. Konflik agraria pun tak berujung pada penyelesaian dan rekonsiliasi, namun tergantung-gantung nasibnya. Pada awalnya, pelaksanaan berjalan baik, namun lama-kelamaan, pemerintah lepas tangan dan tidak memberikan kejelasan terhadap kelangsungan program. Seakan-akan hanya untuk pencitraan positif di tahun-tahun awal, dan kemudian mulai merubah orientasinya ke arah kepentingan pribadi dan golongan. Penulis menyarankan supaya pemerintah fokus pada 1 atau 2 program, namun bersungguh-sungguh mewujudkannya hingga tuntas.

(9)

Creativity, artinya kemampuan pemerintah dalam mengakomodir aspirasi rakyat/ormas dan mewujudkan kebijakan revitalisasi perkebunan. Misalnya, melalui pertanian berkelanjutan berbasis keluarga yang dibeli oleh pemerintah dengan harga negosiasi tiap periodenya, sistem perkebunan agroekologi dan pasar pangan lokal yang berorientasi pada kecukupan konsumsi dalam negeri, kemudian konsep agrowisata sebagai salah satu kombinasi pariwisata dan perkebunan dalam upaya menyejahterakan masyarakat adat sekitar dan tambahan pemasukan negara, dimana perkebunan dirancang sedemikian rupa – tetap dalam basis perkebunan hijau - sehingga menarik untuk dikunjungi oleh turis. Kemudian, lebih kreatif dalam pengolahan kelapa sawit agar berlanjut sampai industri hilir dan pembatasan ha lahan untuk tiap KK dan perusahaan agroindustri. Dengan kreativitas kebijakan, hak-hak petani dalam berorganisasi, hidup yang layak, kelestarian lingkungan dan nilai – nilai kebudayaan dapat tetap terjaga.

Metode 3C diorientasikan untuk perkebunan berkelanjutan yang berbasis pada 3P, yaitu: 1. Profit, artinya kebijakan pemerintah tidak semata-mata hanya untuk perlindungan hak

asasi petani, tapi juga menyangkut hak ekonomi masyarakat sekitar yang menggantungkan kehidupannya pada perkebunan sawit. Selain itu, tambahan devisa dan pemasukan negara melalui ekspor produk industri hilir dan agrowisata juga menjadi pilihan cermat.

2. People, artinya metode 3C diterapkan dengan prinsip berkeadilan sosial yang memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat, khususnya petani plasma tak bertanah.

3. Planet, artinya ikut andil dalam pelestarian lingkungan hidup dan menjaga planet Bumi agar berlanjut untuk generasi berikutnya.

Metode 3C dalam perkebunan kelapa sawit berkelanjutan diyakini akan berfungsi sebagaimana mestinya bila semua pihak mengimplementasikannya dengan bijak dan jujur, niscaya akan berujung pada peningkatan kualitas profit, people dan planet kelak.

Penutup

(10)

perkebunan ditentang oleh banyak pihak karena permasalahan konversi lahan dan pemanasan global.

Konflik agraria kerap terjadi dan korban utama tentulah petani plasma yang tidak mempunyai posisi tawar di mata perusahaan agroindustri. Pelanggaran hak asasi petani berulang kali terjadi dan tidak menemukan solusi yang tepat. Bila hal ini terus dibiarkan, perang pangan dan demonstrasi anarkis oleh petani plasma bukan tak mungkin untuk terjadi.

Referensi

Dokumen terkait

This research obtained four species of kupang, namely Musculita senhousia (senhoue’s mussel or kupang renteng), Corbula faba (white clam or kupang putih), Corbula amurensis (asian

Ada perbedaan yang sangat signifikan pada prestasi belajar fisika antara yang diajar menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan yang diajar menggunakan

Oleh sebab itu, pada penelitian ini menggunakan atribut COCOMO II memiliki 17 atribut dengan cakupan yang lebih luas untuk memperkirakan usaha dan waktu

Saya berpikir bahwa membeli suatu produk dari toko online di masa yang akan datang merupakan sesuatu yang sangat inginkan.. Norma Subjektif (Pavlou and

(6) Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan interpretatif. Keterampilan atau kemampuan psikomotor yang akan dikembangkan

Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan eksperimental terhadap efek antimitosis dari ekstrak n-Heksan, dan Etanol 70% daun Botto’-botto’ ( Cromolaena odorata

Dari banyaknya hadis atau penjelasan diatas tentang batalnya puasa orang yang membekam dan yang dibekam penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa boleh berbekam asalkan

Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis litologi, fluida distribusi litologi, fasies dan nilai dari parameter petrofisik pada batuan reservoir