• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Relasi Agen dan Struktur dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dinamika Relasi Agen dan Struktur dalam"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

Dinamika Relasi Agen dan Struktur dalam

Persoalan Agraria di Indonesia. Studi pada

Empat Kasus

Oleh: Tantan Hermansah1

(email: tantan.hermansah@ui.ac.id dan tantanhermansah@yahoo.com)

ABSTRAK

Dinamika persoalan keagrariaan di Indonesai yang sangat kompleks, telah membuat banyak ahli melihatnya dari berbagai perspektif. Dengan melandaskan pada hasil studi di empat tempat, paper ini mencoba memasukkan pendekatan struktural dalam sosiologi untuk memahami dinamika persoalan agraria ini. Manfaat memahami dengan pendekatan ini kita bisa melacak bagaimana perubahan-perubahan struktural terjadi pada setiap titik interaksi antara pihak yang berkepentingan pada pengelolaan sumberdaya agraria ini. Selain itu, pendekatan ini juga bisa mengungkapkan bagaimana dinamika komunitas yang berhubungan dengan sumberdaya agraria ini memberikan pemaknaan baru atas perubahan yang terjadi pada kehidupan sosial mereka.

Keyword: Agraria. Agen-Struktur. Petani. Komunitas.

A. Latar Belakang

Kompleksitas persoalan agraria di Indonesia selalu menarik untuk dicermati. Analisis berbasis kesejarahan (Achdian, 2009; Fauzi, 2009; Wiradi, 2009; Lutfi, 2010); Soetarto,2010), ekonomi (Siregar, 2007; Winoto, 2010), politik (Winoto, 2009,2010; Soetarto, 2010), hukum (Sumardjono, 2010), sosiologis, (Lawang, 2010) dan yang lainnya terus dilakukan. Semua mengrucut kepada sebuah kesimpulan yang hampir serupa bahwa kepekatan persoalan agraria di Indonesia di satu

(2)

2

merupakan sumur kekayaan ilmu pengetahuan yang seakan tidak akan habis digali, dan di sisi lain dipahami sebagai arena masalah yang harus dibahas agar bisa dicari cara yang cukup jitu untuk menyelesaikannya.

Tulisan singkat ini akan memotret masalah agraria dari persoalan sosiologis, terutama dengan melihat dinamika agen dan struktur yang berkontestasi dalam suasana yang dinamis. Kadang-kadang penuh ketegangan, namun tidak jarang tersublimasi dalam nuansa yang adem ayem.

Dengan menggunakan pendekatakan yang saat ini sedang trend di kalangan sosiolog, serta membasiskan pada data primer yang digali dalam sebuah penelitian dengan tema yang berbeda, maka bisa dilihat bagaimana dinamia agen dan struktur dalam konteks penguasaan dan pengelolaan sumberdaya agraria menjadi sangat dominan. Hasilnya adalah meski banyak gagasan ideal yang dikemukakan para peneliti, aktivis, pemikir, dan birokrat, tetap saja di lapangan, persoalan agraria memiliki dinamikanya sendiri.

Relasi dinamika agen dan struktur sendiri menarik dibahas karena memperhatikan beberapa hal berikut; Pertama, terjadinya diferensiasi pada masyarakat modern yang—jika meminjam istilah Sosiolog Elias— semakin panjangnya rantai tindakan sosial dan kesalingtergantungan. Dari sini maka diperlukan analisis atas dinamika yang terjadi pada setiap presisi momentum ini. Sebab kompleksitas persoalan di setiap titik momentum, bisa berpengaruh kepada realitas yang terjadi kemudian.

Kedua, keagenan (agency) dalam kehidupan sosial tidak bisa dihilangkan atau dihapuskan. Setiap orang/pihak bisa menjadi agen bagi sesuatu. Contoh, mantri desa bisa menjadi agen bagi warga desa dalam hal akses. Mantri kesehatan akses kepada keringanan pembayaran tindakan atas sakit yang dialami masyarakat; Mantri tani menjadi agen para petani yang ingin mendapatkan bantuan KUR dari pemerintaha, dan sebagainya. Begitu juga kelompok lain seperti tokoh agama, aktivis sosial, ketua koperasi, dan sebagainya.

(3)

3

Giddens misalnya, merupakan praktik yang ditata di sepanjang ruang dan waktu (Giddens, 1984:2). Dari sini maka kita bisa menjelaskan dualitas hubungan dialektik antara agensi dan struktur.

B. Agen dan Struktur dalam Dinamika Agraria

Pertanyaan awal yang harus jelas dijawab dalam konteks ini adalah, siapakah agen dalam konteks agraria di Indonesia? Dan bagaimana struktur agraria di Indonesia ini berrelasi dengan agennya? Apakah sumbangan yang bisa diberikan oleh pendekatan ini pada permasalahan agraria di Indonesia.

1. Agen

Agen dalam konteks agraria bisa diposisikan dan dirujukkan kepada beberapa pihak berikut. (a) Aparat pemerintahan (eksekutif dan legilatif); (b) masyarakat pemilik atau penguasa tanah; (c) swasta atau pihak yang berkepentingan terhadap tanah untuk kepentingan tertentu.

Ketiga kelompok yang disebutkan di atas memenuhi kriteria sebagai agen (setidaknya seperti yang dikriteriakan Giddens), karena mereka memiliki peran menciptakan tindakan sosial yang karena fasilitas atau kekuatan yang dimilikinya, memungkinkan tindakan tersebut berulang dan membuat kondisi yang akhirnya memosisikan dia sebagai aktor.

Contoh sederhana jika seorang aparat pemerintah selalu meminta uang pelicin dari masyarakat yang ingin menguruskan sumberdaya agraria yang dikuasainya, dan aparat tersebut memiliki fasilitas untuk menekan (koersif) kepada mereka. Maka yang terjadi pada momentum berikutnya adalah kejadian tersebut dipahami sebagai legal. Sehingga masyarakat pun akhirnya membangun persepsi bahwa jika sebuah kepentingan/ urusan ingin lancar maka harus menggunakan uang pelicin.

Begitu juga yang terjadi pada swasta atau pemilik kapital. Dengan kapital yang mereka miliki mulai dari kapital material seperti uang yang banyak, kapital sosial seperti jaringan, dan kapital simbolik seperti gelar kesarjanaan yang menunjukkan keilmuan tertentu, maka pihak yang berhubungan dengan dia (entah itu aparat atau masyarakat) akan membangun persepsi tertentu mengenai hubungan-hubungan ini. Misalnya jika dia ingin ‗mencaplok‘ tanah, maka lewat seluruh kapital yang dimilikinya, maka tindakan tersebut kemudian seperti menjadi pembenar bagi peristiwa-peristiwa lain kemudian.

2. Struktur

(4)

4

aturan, namun kareka praktik ini kemudian dilakukan dalam ruang kesadaran yang penuh dan bahkan—jika mengikuti argumen Giddens— refleksif, maka struktur ini yang berlaku. Sebab ―struktur dihasilkan di dalam dan melalui suksesi praktik yang diorganisasi olehnya‖ (Giddens, 1989: 7).

Dengan demikian, eksistensi struktur tidak bisa dilepaskan dari interaksi para agen. Sehingga bisa dilihat level kedalaman interaksi mereka akan melahirkan struktur seperti apa. Struktur menyerupai sistem sosial, yang oleh Giddens disebutkan sebagai mereproduksi praktik sosial, atau ―mereproduksi hubungan antara aktor dengan kolektivitas yang diatur sebagai praktik sosial terorganisasi‖ (Giddens,1984: 17, 25).

Secara lebih rinci, mengikuti apa yang dikerangkakan oleh Giddens bahwa, studi ini kemudian akan setidaknya melihat pada: (1) tatanan dan perubahan institusi sosial dalam dimensi melintasi ruang dan waktu; (2) kepemimpinan yang melakukan perubahan pada institusi sosial; dan (3) bagaimana hasil dari studi ini bagi kehidupan sosial yang lebih besar. (Ritzer, 2004: 512).

Dalam ruang yang lebih praksis, terutama yang sering kita temukan sehari-hari, struktur itu tampak pada beberapa gambaran dinamis seperti kehadiran para broker tanah yang kadang lebih berkuasa daripada pemilik tanah. Atau tidak jarang para pengembang (properti), dengan desain usahanya mampu mendikte aparat sehinga merubah RTRW sebuah wilayah.

C. Metodologi

Tulisan ini bersumber pada data catatan lapangan yang dihasilkan dari sebuah penelitian untuk kepentingan yang berbeda. Penelitian yang bertema ―Study on Supportive Policies of Maximizing Agricultural Investment in Indonesia‖ ternyata meninggalkan banyak data lain yang bisa dianalisis melalui perspektif yang berbeda. Namun demikian bagian ini tetap harus menjelaskan bagaimana proses pengambilan data lapangan tersebut dilakukan.

(5)

5

sistem distribusi, pola-pola penguasaan, dan tentu saja persepsi atas hubungan-hubungan sosiologis antara mereka dengan sumberdaya agraria.

Setelah FGD dilakukan, tim peneliti melakukan pemetaan data. Hal ini dimaksudkan untuk melihat keragaman data, serta memastikan data-data mana yang perlu didalami di pelaku/subyek yang diwawancarai, atau data yang kurang logis sehingga harus dikonfirmasi ulang, dan sebagainya.

Kemudian tim peneliti melakukan pendalaman melalui dua model penggalian data. Yang pertama wawancara menggunakan instrumen tertulis, di mana di dalamnya termasuk ada pencatatan data-data kuantitatif seperti pengeluaran rumahtangga, dan sebagainya. Serta pendalaman lebih lanjut mengenai beberapa fakta yang harus digali lebih jauh.

Selain melalui wawancara, tim peneliti juga melakukan observasi lapangan. Antara lain tim melihat lokasi tempat para petani/ narasumber itu melakukan aktivitas produksi, dan bagaimana kondisi ekologi yang mempengaruhi sistem produksi mereka.

Data-data lapangan tahap pertama ini kemudian dikumpulkan untuk dilakukan analisis awal. Setelah diketahui gambaran utuhnya, maka tim peneliti kemudian melaksanakan lagi proses serupa pada kunjungan berikutnya, kecuali komunitas keempat. Khusus komunitas keempat, yakni para petani organik Gapoktan Tasikmalaya, frekwensi kunjungannya hanya dilakukan satu kali saja meski dengan tahapan yang sama.

Jadi dari data-data hasil studi inilah paper ini ditulis, direfleksikan, dan dilakukan analisis ulang atas temuan-temuan tadi. Sehingga meski tahapan pengambilan datanya persis dengan penelitian yang sudah disebutkan di atas, namun paper ini sama-sekali berbeda dengan studi di atas.

1. Paradigma Studi

(6)

6

sesuatu, termasuk di dalamnya berkaitan dengan dasar-dasar perilaku ekonomi.

Begitu ke level makro, nilai-nilai yang sifatnya individu kemudian menjadi sistem yang lebih besar, seperti agama, keyakinan, dan sebagainya. Sedangkan perilaku ekonomi akan mendorong kuat atau tidaknya sistem kapitalisme atau sistem ekonomi lain yang berlaku dalam masyarakat.

Selain itu, paradigma struktural juga melihat bahwa nilai dan norma dalam kehidupan manusia begitu sentral, sehingga hal ini mendinamisasi kehidupan masyarakat, terutama berkaitan dengan struktur yang dihasilkannya. Alhasil, dalam prosesnya kemudian, masyarakat diasumsikan sebagai entitas yang dalam seluruh perjuangan kehidupannya berusaha menciptakan, melahirkan, membangun, menjaga, dan memperkuat struktur. Jika kemudian ada proses yang mengkritisi struktur tersebut, hal itu terjadi semata-mata karena struktur tersebut butuh untuk disesuaikan dengan tuntutan perubahan yang ada.

2. Sumber Data

Sumberdata untuk paper ini dibagi dua bagian. Pertama, sumberdata sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Di mana sifat dari sumberdata sekunder ini difungsikan sebagai data konfirmatif atas temuan-temuan lapangan. Kedua, sumberdata primer yang diperoleh langsung dari lapangan tempat penelitian ini dilakukan.

3. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data dilakukan secara kualitatif. Di mana setiap narasumber atau informan diwawancarai secara mendalam dan terstruktur. Selain itu untuk menguji keabsahan data naratif tersebut peneliti melakukan proses konfirmasi dalam setiap FGD yang dilakukan.

4. Lokasi Studi

Adapun lokasi studi ini ada di empat lokasi, yaitu: (1) Desa Cipelang Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor. Desa Cipelang mewakili desa pegunungan dengan komoditas utama pertanian holtikultur dan sayur mayur. Selain itu para petani di sana juga mengembangkan pertanian tanaman keras seperti kayu sengon dan jabon.

(7)

7

sawah tadah hujang dan rata-rata musim tanam pertahun maksimal 2 kali saja.

(3) Kampung Tonjong adalah komunitas petani pinggir hutan. Terletak di Desa Tenjolaya, Kecamatan Tapos Kabupaten Bogor. Kelompok ini mewakili komunitas petani hutan, dengan keragaan tanaman homogen.

(4) Komunitas kelompok petani padi organik, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik Tasik. Kelompok ini mewakili komunitas petani khusus padi yang cukup mapan karena mereka menggunakan pendekatan organik dalam sistem produksi dan sistem ekonominya.

5. Mekanisme Analisis Data

Proses analisis data mengikuti prosedur studi kualitatif. Di mana sejak proses penggalian awal, data sudah dianalisis. Setelah itu data yang diperoleh akan terus dikonfirmasi dengan nara sumber dan informan di lapangan. Sehingga intervensi peneliti hanya terjadi ketika menggunakan teori sosiologi untuk menganalisis data.

Selain itu, untuk membangun kedalaman, meski berbeda dengan perspektif awal penelitian, hasil analisis ini juga didiskusikan di tingkat internal peneliti. Hal ini semata-mata untuk melakukan konfirmasi akhir dari data yang dipergunakan sebagai bahan baku paper ini. Setelah kualitas datanya bisa dipertanggungjawabkan, penulis kemudian melakukan tahapan reduksi data, di mana data yang kurang relevan tidak dipergunakan dalam proses analisisnya. Sedangkan data-data yang cocok, terus diuji dengan cara terus menerus melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan data tersebut.

Proses analisis yang tidak bisa diabaikan adalah refleksif. Refleksif adalah metode analisis yang dikemukakan oleh Ginddes dalam membangun apa yang dinamakannya sebagai strukturasi. Metode ini dikonstruksi dalam tiga fase, yaitu signifikasi, dominasi, dan legitimasi. Signifikasi adalah struktur yang berhubungan dengan realitas-realitas simbol, pemaknaan dan wacana; lalu dominasi berhubungan dengan masalah penguasaan, terutama pada pengusaan politik dan ekonomi; sedangkan legitimasi yaitu hal-hal yang berkaitan dengan peraturan normatif, terutama dalam dimensi hukum.

D.Gambaran Dinamika di Aras Mikro-Komunitas

(8)

8

komunitas didekati pada level keagenan (agency) dan strukturnya masing-masing.

1. Komunitas Masyarakat Petani Kampung Cibungur

Masyarakat petani Kampung Cibungur yang menjadi subyek studi ini adalah para petani padi sawah dataran dekat dengan pantai. Sawah-sawah mereka berjarak kurang dari setengah kilometer dari pantai, dan tadah hujang. Sehingga dinamika variansi pola pertanian mereka terdiri dari: padi-padi-menganggur, padi-buah/kacang-menganggur, atau jika sedang musim hujan cukup panjang, padi-padi-kacang. Bisa diperhatikan bahwa kebanyakan dari proses produksi sangat bergantung kepada kehadiran air untuk mengairi lahan mereka.

Adapun luasan dari lahan pertanian mereka beragam. Mulai dari 1400 m2, sampai hampir dua hektar. Namun dari sisi produktivitas, hasil panen dari sawah mereka hanya 4,1 ton perhektar, yang berarti masih dibawah rata-rata kapasitas produksi nasional.

Meski rata-rata hasil produksi di bawah kapasitas produksi nasional, untuk menopang kebutuhan mereka melakukan usaha lain. Bagi kebanyakan petani di Cibungur, hasil produksi padi dari sawah mereka sudah dioptimalkan untuk mengamankan kebutuhan subsistensi mereka, yaitu: beras untuk kebutuhan dapur, dan jaminan atau pembayaran utang kepada saudara/ tetangga, atau sebagai modal awal untuk mengelolal padi sawah kembali di musim berikutnya.

Sedangkan untuk kebutuhan lainnya, mereka melakukan berbagai usaha lain seperti berdagang, bekerja kepada pemilik lahan lain yang lebih besar, bekerja ke luar daerah, dan sebagainya. Akan tetapi satu hal yang menjadi sangat penting dari temuan hasil studi ini adalah bahwa motivasi untuk menjual lahan padi sawah mereka cukup rendah. Artinya mereka akan berusaha mempertahankan lahan padi sawah mereka, bahkan jika mungkin berusaha menambah luasannya.

Dalam alam pikiran para petani di Cibungur ini, mengamankan kebutuhan subsisten mereka sangat penting selain untuk melanjutkan kehidupan juga sebagai dasar dari seluruh aktivitas produksi mereka. Dengan sawah yang dimiliki, mereka memiliki peluang untuk tetap mendapatkan pinjaman (jika pertanian mereka merugi, misalnya), atau menjual hasil produksi untuk memulai kembali aktivitas pertanian mereka.

(9)

9

alat produksi mereka. Jika mereka terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidup harian mereka, sementara kondisi saudara dekat dan tetangganya sudah tidak bisa lagi membantu, maka yang mereka lakukan adalah menggadaikan sawah mereka ke orang luar daerah2. (Seperti ditemukan dalam penelitian ini, di Cibungur hampir tidak ada yang menyewakan lahan sawah) Namun dengan perikatan bahwa mereka sendiri tetap menggarap lahan sawah mereka.

Dari hasil menggadaikan sawah itu, mereka mendapatkan modal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang besar itu, dan juga untuk modal pertanian mereka sendiri. Termasuk di dalamnya mereka juga melakukan gadai kepada petani lain yang memiliki kebutuhan serupa.

Hasil dari menggarap sawah yang telah digadaikan tersebut adalah 50 persen. Misalnya jika ia mendapatkan penghasilan kotor sebesar Rp. 10 juta, maka sebagai penggarap akan mendapatkan Rp. 5 juta. Lalu dari pertanian hasil menggadai kepada petani lain, iajuga mendapatkan hasil (misalnya) 5 juta. Maka dari satu periode musim tanam dengan mekanisme seperti itu, ia sebenarnya bisa mendapatkan penghasilan cukup—tentu dengan asumsi produksi moderat—yang kemudian mereka tabung untuk menebus lagi sawahnya yang digadaikan tersebut.

Harga gadainya sendiri sebenarnya tidak ada patokan. Disesuaikan dengan kapasitas yang dimiliki oleh petani sendiri. Sebab dalam bayangan petani, jika menggadaikan dengan harga tinggi khawatir tidak bisa ditebus kembali.

Hal menarik yang terjadi di Cibungur adalah kisah masuknya investasi besar-besaran ke daerah tersebut. Investasi itu dalam bentuk tambak udang seluas 500 hektar. Tambak yang sempat ‗membuai‘ warga itu hanya sekitar 14 tahun saja beroperasi produktif. Saat ini tambak 500 Ha itu akhirnya menganggur.

Sekedar gambaran, meski secara geografi masuk pada kawasan wisata, tidak kemudian menjadikan Desa Cibungur menjadi daerah tujuan

(10)

10

wisata. Persepsi umum bahwa kawasan wisata itu denyut nadinya diwarnai dengan aktivitas jasa wisata, tidak tampak sama sekali. Yang ada adalah rumah-rumah yang sangat biasa, ladang dan sawah yang juga biasa saja, serta beberapa industri rumahan yang juga sangat biasa. Semua itu seperti tidak ada hubungannya sama sekali dengan area wisata. Seorang warga menceritakan bahwa betapa berat label daerah wisata itu kepada mereka. Terutama kepada mekanisme dan harga pajak tanah. Misalnya, Bu Anah, pemilik 1,5 Hektar tanah di situ, setiap tahun harus membayar pajaknya hampir satu juta. Padahal penghasilan dari tanah yang sudah kena rembesan air laut itu pertahun paling antara 2-3 juta.

Di sebelah tanahnya itula, posisi tambak udang yang 500 hektar itu berada. Terdapat banyak cerita seiring dengan hadirnya tambak tersebut. Misalnya—dan ini yang paling umum—ada banyak warga yang dijanjikan akan mendapatkan banyak peluang: pekerjaan, modal, pendapatan, dan sebagainya. Sehingga banyak petani yang merasa punya harapan bahwa dengan menjual tanahnya akan lebih produktif ketimbang hanya menjadi sawah. Selain tentu saja banyak yang menjual karena ingin naik hajji, menikah dengan ‗wah‘, dan keinginan konsumtif lainnya.

Penduduk memang dilibatkan secara intensif di awal-awal pengerjaan proyek. Sebab selain alat-alat berat, juga pekerjaan fisik dibutuhkan. Akan kondisi terkini dari tambak itu sungguh menyedihkan. Setelah 20 tahun berlalu lahan-lahan tambak yang dibangun puluhan miliar tersebut kini menganggur hanya menjadi kolam-kolam raksasa tempat para warga menjala ikan darat. Beberapa malah menganggur saja tidak produktif. Mungkin satu-satunya yang masih produktif itu, beberapa lahan sekitar kolam tambak yang sudah menjadi tegalan (padang rumput) itu kini menjadi tempat para pemilik kebo menggembalakan kerbau yang mereka miliki.

Dalam konteks masyarakat Cibungur ini, jelas sekali bahwa dinamika relasi agen dan struktur demikian dinamis. Hal ini disebabkan banyak faktor, seperti sistem budaya, penetrasi modal ke desa, dan sebagainya.

2. Komunitas Mayarakat Kampung Tonjong

(11)

11

diparkir di kawasan wisata, dan kemudian kita menuruni tebing terjal dengan kemiringan hampir 45 derajat. Setelah melalui ini, kemudian kita akan sampai ke sebuah sungai yang bernama sungai Ciomas. Dari sini perjalanan tidak jauh lagi.

Kemudian jalur kedua melalui kampung lain. Memang tidak seterjal melalui Gunung Bunder. Tapi tetap saja jauh dan harus menyebrangi sungai. Meski jauh dari kampung yang beraspal dan berjalanraya besar, Kampung Tonjong sudah berlistrik dan tampak di jendela rumah kacanya tertempel stiker sensus penduduk. Tapi jangan salah, meski berlistrik, jarang rumah dengan meterannya cukup jauh, sekitar 2,5 km. Hal ini terpaksa dilakukan warga karena banyak petugas PLN tidak mau mengecek meteran jika meterannya disimpan di Kampung Tonjong.

Penduduknya sendiri menggantungkan hidup dari usaha pertanian. Ada 3 jenis pertanian utama yang dijadikan basis kehidupan masyarakat Kampung Tonjong ini. Pertama, tanaman Kucay, di mana mereka menjadi penyuplai utama kebutuhan Kucay di Bogor. Mereka menanam dan menjadikan Kucay sebagai penyangga kebutuhan ekonomi utama. Bahkan luasan lahan yang mereka tanami untuk Kucay ini jauh lebih luas daripada lahan komoditas lain yang mereka garap. Kedua, lahan padi sawah dengan jumlah luasan lebih kecil daripada kebun Kucay. Meski lebih kecil, namun luasan yang rata-rata dimiliki para petani ini mampu menjadikan lahan sawahnya sebagai penyangga kebutuhan dasar (primer) rumah tangga. Sehingga warga Kampung Tonjong kebanyakan bisa dikatakan tidak pernah membeli beras. Ketiga, kebun kayu. Mereka menjadikan komoditas kayu keras ini sebagai ‗tabungan‘ untuk masa depan. Biasanya tabungan ini dipergunakan untuk mendanai acara-acara yang memerlukan dana besar atau untuk menyewa/ gadai tanah sebagai bentuk ekstensifikasi aset.

Kampung Tonjong memiliki sejarah agraria yang cukup heboh. Keberasaan mereka yang berada di pinggir dan di dalam kawasan taman nasional menyebabkan riwayat hidup mereka diwarnai konflik agraria. Konflik agraria yang berlangsung cukup lama ini terjadi karena klaim pemerintah atas tanah/ sumberdaya agraria yang dikuasai oleh warga sekian tahun. Sampai akhirnya tercapai kesepakatan di mana warga Kampung Tonjong dipersilahkan untuk mengelola tanah/lahan yang selama ini mereka garap, namun mereka tidak bisa memperjualbelikan atau menambah luasan lahan yang mereka garap.3

Hubungan-hubungan produksi para petani di Kampung Tonjong saat ini bisa dipetakan sebagai berikut. Pertama mereka memaknai tanah

(12)

12

sebagai sumber penghidupan yang tidak bisa lagi tidak dipilih mereka. Keterikatan mereka dengan sumebrdaya agraria demikian mendalam karena selama ini mereka bisa mendapatkan banyak hal: ekonomi, sosial, dan budaya dari relasi mereka dengan tanah.

Kedua mereka telah menjadikan tanah sebagai tempat membangun kebudayaan sosial-ekonomi. Kucay misalnya, yang selama ini menjadi sumber ekonomi paling produktif bagi mereka, menjelma tidak hanya sebagai sumber ekonomi an sich, tapi juga sebagai kapital yang dipergunakannya untuk keperluan lainnya.

Selain itu, karena komunitas ini sudah dikerangkengi oleh sebuah kesepakatan formal dengan pihak TNHS, maka modus kelembagaan yang terjadi dalam sistem produksi cenderung solid dan mapan. Apa yang oleh Durkheim dikatakan sebagai solidaritas, pada warga Kampung Tonjong terjadi dengan sangat nyata. Para warga saling membantu, meski bukan saudara karena didasarkan kepada satu garis perjalanan sejarah dan perjuangan yang sama.

Namun demikian, sistem pengupahan dalam proses pengelolaan tanah pertanian terjadi dalam berbagai tingkat. Pada tahap awal, ketika lahan yang digarap selesai dipanen, biasanya proses penggarapan dilakukan secara borongan. Sedangkan pada masa pemeliharaan kebanyakan digarap sendiri. Kemudian pas panen, baru warga lain turut gabung kembali membantu petani memanen hasil.

Dalam kehidupan sehari-hari, penyangga modal untuk memenuhi kebutuhan hidup atau kebutuhan acara lain yang memerlukan dana yang cukup besar, para petani di Tonjong tidak bisa menjadikan tanahnya sebagai jaminan. Perjanjian yang mengikat mereka menyebabkan mereka hanya bisa melakukan perjanjian over garapan saja. Tetapi karena tingkat produksi mereka yang selama ini cukup baik, studi ini tidak menemukan ada gadai atau over garapan yang tidak tertebus oleh pemiliknya.

Meskipun demikian, bukan berarti pergantian kepemilikan lahan tidak terjadi. Meski tidak massif, namun beberapa warga yang merasa bisa ‗keluar‘ dari kampung banyak yang kemudian menjual tanahnya kepada warga kampung asli.

(13)

13

warga. Hal ini penting karena setiap saat sebenarnya mereka terancam terusir dari kampung tempat mereka tinggal selama ini.

3. Komunitas Masyarakat Kampung Cipelang

Narasumber yang ditemui di Cipelang mayoritas memiliki lahan pertanian. Lahan pertanian mereka bisa dibagi menjadi dua kategori: pertama lahan milik sendiri dan kedua lahan garapan yang sebenarnya berstatus milik pihak lain.

Dari hasil FGD dan wawancara kepada mereka diperoleh gambaran bahwa meski memiliki lahan yang subur, namun tata produksi pertanian mereka belumlah seoptimal petani lain di kawasan lain seperti Lembang. Istilah warga ―tani heureuy‖ atau pertanian (agak) bercanda. Hal ini dikarenakan pertanian bukan menjadi mata pencaharian utama dan satu-satunya.

Kebanyakan warga Cipelang memiliki alat produksi yang tidak tunggal. Mereka kebanyakan mengkombinasikannya dengan pekerjaan lain. Misalnya pertanian dengan dagang. Pertanian dengan pegawai. Pertanian dengan peternakan. Pertanian dengan kontraktor bangunan di kota, dan sebagainya. Artinya daya dukung subsisten sudah lama dilampaui warga Cipelang. Sehingga kebanyakan kebutuhan warga berkutat pada investasi dan pengembangan aset.

Sistem produksi pertanian warga Cipelang memang tidak bisa dilepaskan dari hadirnya sebuah kawasan yang ‗tidak jelas‘. Kawasan tersebut seluas kurang lebih 250 hektar. Dahulu lahan tersebut dimiliki oleh sebuah perusahaan pengembang proverti. Namun, menurut warga, kemudian perusahaan tersebut mengalihkan rencana pengembangan tersebut ke kawasan Puncak. Sementara tanah itu sendiri sudah ditukargulingkan dengan tanah di kawasan Puncak tersebut.

Warga yang sebelumnya dijanjikan akan dilibatkan dalam pembangunan kawasan perumahan elit tersebut, akhirnya memanfaatkan lahan tersebut untuk usaha pertanian. Namun yang pertama-tama dilakukan adalah mematok batas-batas penguasaan sumberdaya agraria tersebut. Selain itu ada kesepakatan di antara mereka bahwa tanah itu hanya boleh dikuasai oleh warga Cipelang saja. Sehingga warga di luar Cipelang hanya berstatus meminjam, menyewa, atau bagi hasil dengan penggarap.

Relasi agraria

(14)

14

cukup besar dan akses yang mudah. Saat ini, mereka yang menguasai dengan jumlah luasan cukup besar (di atas 2 hektar) tinggal beberapa saja. Sisanya rata-rata dibawah 1 hektar saja. Bahkan ada beberapa petani yang ditemui membiarkan tanahnya menganggur. Alasannya tidak cukup punya modal (modal dana dan skill), sehingga ia membiarkan tanahnya ditumbuhi rumput-rumput untuk makanan hewan ternak yang dimilikinya.

Sistem penyakapan seperti gadai hampir tidak ditemui. Petani di Cipelang lebih senang—dan hampir semua mengatakan demikian— untuk disewa saja. Pertimbangan-pertimbangan rasional ekonomi (Colleman) begitu dalam keputusan tersebut. Selain itu, keputusan ini juga mencerminkan bahwa strategi petani untuk meminimumkan resiko kerugian maksimum memang ada dalam benak dan alam pikir mereka.

Akibatnya adalah proses transformasi budaya bertani tidak segencar di daerah atau kawasan lain, seperti yang mereka katakan (di Lembang). Sehingga subtitusi sumberdaya agraria yang bisa mereka akses tidak memberikan peningkatan kesejahteraan yang signifikan kepada warga yang mengelolanya. Bahkan ketika akhirnya mereka ―mentok‖ yang dilakukan oleh para petani tersebut adalah menyewakan lahan yang mereka kuasai kepada orang lain.

Dengan menyewakan lahan-lahan yang mereka kuasai tersebut, mereka bisa mendapatkan uang cash antara 10-12 juta/hakter persewa 5 tahun. Bagi mereka dana sebesar itu lumayan untuk menjadi tambahan modal bagi sawah atau membeli ternak.

Dari pola seperti di atas, akhirnya para pemilik kapital besarlah yang kemudian menjadi pengendali relasi-relasi produktif. Apalagi dalam beberapa hal, petani besar yang menjadi agen itu kemudian juga menjadi ‗penentu‘ bagi terbangunnya struktur relasi dalam kultur mereka.

4. Komunitas Petani Simpatik

(15)

15

Terasa mulia dan terlalu ideal, namun demikian adanya.Cita-cita dan harapan itu memang terdengar indah, namun bukan merupakan pekerjaan mudah. Para penggagas dan garda depan kelompok tani harus berkutat dengan banyak hal sebelum akhirnya sampai kepada titik di mana akhirnya—seperti terjadi saat ini—banjir dukungan.

Berdasarkan penjelasan dari hasil FGD, setidaknya mereka memberikan enam penanda momentum perubahan yang sangat mendasar pada gabungan kelompok Simpatik (demikian mereka menamakan diri) mereka. 4

Momentum pertama dan kedua berlangsung antara Tahun 2001 – 2004. Di mana masa ini merupakan periode penemuan, ujicoba dan pengembangan. Cerita diawali ketika penggagas sistem pertanian organik ini, Aep Saefudin dari Desa Sukapada Kecamatan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya pada awalnya melihat fakta di lapangan, di mana terjadinya penurunan tingkat kesuburan tanah dan stagnasi peningkatan produktivitas padi. Sementara di sisi lain, ia juga menemukan bahwa Rumput Jajagoan ( E.Crusgali ) tumbuh subur menempel disekitar tanaman padi. Dari sini Asep mendapatkan inspirasi yang selanjutnya dilaksanakan dalam bentuk ujicoba kepada tanaman padi. Proses ujicoba yang dilaksanakan oleh Asep itu sebenarnya sederhana saja. Ia menanam padi dengan bibit tunggal dan ditanam secara dangkal. Hasilnya sungguh mencengangkan karena padi tersebut pertumbuhannya subur dan dapat sekaligus bisa meningkatkan produktivitas. Teknologi ini kemudian diekpose di FAO dan dikenal dengan ―AEP DEET (Tanam Tunggal dan dangkal).

Hasil dari percobaan itu, dikaji lebih lanjut oleh Alik Sutaryat (seorang insinyur dari LP2HPT Tasikmalaya) tahun 2002 dengan beberapa perbaikan aspek/komponen teknologi yaitu Pengelolaan Tanah (pemupukan dengan pupuk organik), Pengelolaan Air dan Pengelolaan Tanaman. Kelak ketika metode ini sudah mapan, pendekatan tersebut dikenal sebagai metoda SRI Organik.

Hasil dari ujicoba tingkat lanjut itu kemudian diimplementasikan dalam sistem pertenian yang mereka sebar di beberapa kecamatan. Maka kemudian diperoleh hasil tahap pertama ini dengan hasil panen yang signifikan.

(16)

16

No Varietas Perolehan Perhektar

1 Varietas IR 64 6,5 – 7,0 ton GKG

2 Varietas Sintanur 7,1 – 10,15 Ton GKG

3 Varietas Ciherang 7,0 – 12,0 Ton GKG

Dengan hasil sebesar itu, maka kelompok tani yang berorientasi kepada penyelamatan ekologi dan penanaman nilai-nilai kesadaran kepada para petani semakin optimis bisa menjadikan SRI sebagai pendekatan yang tepat.

Momentum berikutnya adalah masa penyadaran dan masa pengembangan kawasan SRI. Masa ini berlangsung dari tahun 2004 sampai tahun 2006. Bisa dikatakan bahwa momentum ketiga dan keempat ini merupakan tahapan paling kritis karena agendanya adalah melakukan penumbuhan kesadaran kepada masyarakat mengenai apa itu SRI, Organik, penyelamatan lingkungan, dan sebagainya.

Menurut sekretaris Gapoktan, setidaknya ada 4 (empat) pihak penting dalam proses penyadaran,dalam penerapan pertanian organik yaitu : (1) Pengelolaan tanah yang sehat; (2) Pengeloaan potensi tanaman secara optimal; (3) Pengelolaan air yang baik dan teratur; dan (4) Pengeloaan bahan organik.

Sesudah tahapan ini bisa dikatakan berhasil. Tahapan berikutnya adalah tahap pengembangan kawasan. Di mana tahapan ini berlangsung dari tahun tahun 2005-2006 . Dari sini kegiatan pemasyarakatan sudah mulai mendapatkan dukungan publik dan pemerintah. Terbukti Gubernur Jawa Barat pada tanggal 3 Januari 2005 melakukan ‖ Pencanangan Gerakan Pemupukan Organik di Jawa Barat (Jabar Go Organik)‖.

(17)

17

Beberapa kegiatan yang menjadi penanda gerakan ini adalah (1) Penerapan SRI dalam Satu Daerah Irigasi (865 ha). Hal ini bisa dilakukan melalui kerja sama antara Balai Irigasi Departemen Pekerjaan Umum, Deptan (Dirjen PLA) dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya direncanakan dilaksanakan kajian Usaha Tani Hemat Air melalui Metode SRI dalam kawasan Daerah Irigasi Ciramajaya seluas 865Ha. Kemudian (2) Penumbuhan Desa Organik; (3) Pembangunan Rumah Kompos tingkat kecamatan dan tingkat desa; dan (4) Pembangunan Rumah Kompos Tingkat Kelompok

E. Analisis

Permasalahan terbesar dalam dinamika relasi agen dan struktur dalam konteks agraria terletak pada aspek tenurial. Sebab bisakah dinamika yang ada pada setiap kasus tersebut memberikan jaminan (garantee) kepada warga pengakses sumberdaya agraria ini pada aspek tenurial. Lawang (2010) misalnya menjelaskan bahwa hak tenurial ini harus hadir di level ekonomi, fisik, dan hukum. Di mana tenurial secara ekonomi memungkinkan pemilik/ penguasa tanah atau sumberdaya agraria itu memperoleh kepastian dari usaha atau aktivitas ekonomi di dan dari tanahnya. Sedangkan tenurial secara fisik memungkinkan pemilik bisa bekerja dengan bebas dan tanpa gangguan apapun. Serta tenurial hukum menjamin si pemilik tanah, terutama petani berlahan sempit, memiliki perasaan kepastian hukum atas tanahnya tersebut.

1. Dinamika Agen dalam Masalah Agraria

Dengan melihat keempat kasus yang diangkat, kita bisa menemukan bawa agen dalam konteks komunitas masyarakat petani bisa sangat berlapis. Di Cipelang, agen bisa diklasifikasi berdasarkan beberapa kriteria. Dari aspek luasan lahan yang dikuasai, maka agen utama adalah mereka yang menguasai sumberdaya agraria paling luas, paling bagus, paling produktif. Petani-petani yang menguasai lahan di atas 0,5 hektar bisa menjadi agen karena mereka memungkinkan untuk merekrut orang lain bekerja kepadanya. Dengan fasilitas yang dimiliki membuat dia bisa membangun kapitalnya dengan relatif lebih mudah.

Dari sini kemudian kita bisa melihat bahwa, jikapun ada penetrasi modal ke pedesaan, belum tentu akan memberikan keuntungan kepada rakyat. Kembali kita melihat kejadian di Cipelang, misalnya. Penetrasi capital di pedesaan ini malah berakibat berubahnya sistem hidup dan nilai-nilai kehidupan sosial, meluruhnya daya kohesifitas, dan mengendurkannya ikatan solidaritas.

(18)

18

infrastruktur—terutama jalan—ke sana cukup baik. Sehingga wajar jika ada perusahaan property berminat untuk membangun kawasan semacam real estate di sana. Selain ditunjang oleh pemandangan yang bagus dan indah.

Transformasi

Awalnya, sebagaimana cerita indah jika ada investasi masuk ke desa, banyak penduduk yang ‗terbuai‘ dengan akan hadirnya perusahaan tersebut di sekitar kehidupan social-ekonomi mereka. Namun kemudian, setelah secara resmi perusahaan tersebut menguasai asset masyarakat, ternyata proyek yang dijanjikan tersebut tidak kunjung berlangsung. Penduduk tetap seperti sebelum rencana pengembangan proyek tersebut berjalan.

Akibatnya beredar desas desus bahwa proyek tersebut dihentikan atau bangkrut, atau tukar guling, dan sebagainya. Yang jelas hasilnya adalah terjadinya proses transformasi di lingkungan masyarakat sendiri. Mereka berbondong-bondong membuat patok sebagai tanda penguasaan lahan milik perusahaan tersebut. Luasnya penguasaan tersebut beragam, disesuaikan dengan kemampuan mereka ketika pertama menguasai area tersebut.

Beberapa orang kaya, dan kebanyakan kelompok petani besar, menguasai lahan lebih besar dan strategis. Sementara mereka yang tergolong biasa, menguasai lahan cukup luas tapi tidak strategis. Ada beragam model dengan kombinasi macam-macam. Namun yang jelas, penduduk sementara mengalami shock yang cukup besar. Karena seolah-oleh mereka mendapatkan durian runtuh atau rejeki yang tumpah dari langit.

Di sini, kita mendapatkan banyak pelajaran berharga, yaitu: Pertama, saat ada kesempatan untuk melakukan penguasaan atas bidangan lahan, ternyata bisa dikatakan tidak ada proses kerjasama yang terjadi dan berlaku di antara mereka. Para petani besar yang membawa pekerja untuk menguasai area, mendatangkan pekerja di luar Desa Cipelang. Sebab jika dari Cipelang dipastikan mereka juga berhasrat untuk mendapatkan tanah. Kedua, peluruhan dan persaingan atas kehidupan social-ekonomi sudah terjadi sejak lahan-lahan tersebut dikuasai oleh pemilik modal. Banyak warga berusaha mendekat dan melupakan basic kehidupan social mereka sebagai petani. Ketiga, terjadi transformasi di antara sesame petani terutama pada material produk pertanian mereka sendiri.

(19)

19

kehidupan social ekolomi warga pedesaan, tetapi ternyata hal tersebut saja tidak cukup. Seiring berjalannya waktu, mereka yang memiliki kuasa atas modal yang kemudian bertahan. Banyak lahan-lahan garapan itu sekarang dialihtangankan melalui berbagai mekanisme: sewa, gadai, bahkan jual. Semuanya terjadi dari kelompok petani yang biasa atau kurang memiliki skill dan modal, kepada petani yang memiliki modal dan skill yang memadai.

Ketika studi ini dilaksanakan, saat ini konsolidasi penguasaan tanah garapan sudah terjadi sangat massif. Beberapa petani yang dulu cuma menguasai 0,5 hektar, saat ini kemudian ada yang sudah memiliki hampir empat hektar. Begitu juga mereka yang tadinya menjadi penggarap sendiri di area garapan mereka itu, kini mereka menjadi buruh pada tanah yang dulu mereka perjuangkan.

Jadi investasi material saja tanpa investasi skill menjadi sangat sia-sia untuk kasus petani dan pertanian di Cipelang. Hal ini disetujui ketika dalam sesi FGD yang diadakan para petani menyebutkan bahwa system pertanian mereka masih heureuy (bercanda; bahasa Sunda) sebab apa yang mereka lakukan pada system usaha pertanian mereka belum ‗seserius‘ petani lain di kawasan lain seperti di Lembang, atau Garut.

Kami juga mendengar info bahwa lahan garapan tadi akan habis HGU/ HGB-nya sekitar 5-6 tahun ke depan. Artinya bahwa mereka yang selama ini menggantungkan hidup dari mekanisme garapan pada tanah yang bukan miliknya tersebut bisa terusir jika saatnya tiba ketika ada pihak lain yang memang berwenang kepada sumberdaya agrarian tersebut.

Sementara potensi konflik yang sekarang terpendam sehubungan dengan system yang berlaku di antara mereka, seperti sewa, gadai, bahkan jual itu, juga tidaklah kecil. Sebab banyak lahan yang disewakan oleh mereka sebagai penggarap kepada pihak lain itu, tidak dilengkapi dengan berbagai kebutuhan semestinya seperti mekanisme administrasi, maupun ketidakmemahaminya mereka mengenai system pertanahan di Indonesia. Lalu bagaimana jika mereka, sebagaimana banyak dilakukan saat ini, sudah sampai pada tahun penghabisan luas garapan tersebut, sementara transaksi yang dilakukan antar individu justru melampaui batas waktu yang sudah ada.

(20)

20

kemapanan luasan tempat mereka melakukan penetrasi usaha di sector pertaniannya.

Kampung Tonjong memang cukup mapan dari sisi kelembagaan sosiologisnya. Namun demikian, secara social-ekonomi, masyarakat menghadapi dilemma investasi karena beberapa hal berikut: Pertama, kawasan kampong berada di daerah yang berbatas dengan hutan. Dan mereka sudah terikat suatu kontrak social bahwa tidak akan ada lagi ekspansi lahan ke kawasan hutan.

Kedua, skill para petani sangat terbatas. Meski mereka saat ini ada dalam kondisi menjadi hampir satu-satunya suplayer utama komoditas pertanian untuk jenis kucay, tapi dari sisi produksi hampir bisa dikatakan tidak mengalami peningkatan berarti sejak sepuluh tahun terakhir.

2. Dinamika Struktur Masyarakat Agraria

Masyarakat di keempat lokasi penelitian melakukan ekspresi-ekspresi simbolik sebagai wujud visualisasi tertentu. Di Cibungur ekspresi simbolik terwujud dalam bentuk pembangunan/ pembuatan mendadak kelompok tani yang menjadi wadah aktivitas ekonomi dan sosial mereka. Wadah, entah namanya itu kelompok tani, kelompencapir seperti di jaman Orde Baru, atau Kelompok Koperasi peneriam KUT di Orde Reformasi awal, dan sebagainya adalah bentuk-bentuk simbolik sebagai penyampai pesan kepada pihak lain akan keberadaan mereka.

Jika di Cibungur dengan kelompok tani, di Cipelang justru dengan kelompok penggarap dengan simbol-simbol aturan yang mereka buat dan disepakati. Sedangkan di Tonjong ekpresi simbolik ditampilkan dalam bentuk kelompok/ persekutuan warga yang memiliki kekuatan politik terutama di saat mereka berhadapan dengan aparat negara yang akan menegasikan mereka dari sumberdaya agraria yang mereka kuasai selama ini.

Lalu di Gapoktan Simpatik, simbolisasi sebagai wujud eksistensi sudah lebih modern. Mereka punya wadah khusus, ruangan khusus, dan pusat produksi khusus yang sangat mapan. Bahkan relasi-relasi kelembagaan mereka sudah sangat maju karena mampu menembus pasar eksport, lalu juga melakukan penataan agraria meski terbatas hanya kepada anggota mereka.

(21)

21

Model Struktur Signifikasi

No Kelompok Tani Struktur Signifikasi

1 Petani Cibungur

Pembentukan kelompok tani sesuai dengan arahan pemerintah

2 Petani Tonjong Pembentukan kelompok warga sebagai bentuk penjagaan dari pihak luar, terutama pada kasus penguasaan sumberdaya agraria

3 Petani Cipelang

Pembentukan sistem penyakapan tanah pada sumberdaya agraria yang dikuasai warga. Khususnya mereka menutup akses bagi selain warga Cipelang kecuali dengan mekanisme sewa-waktu

4 Petani Simpatik

Pembangunan kelompok tani yang modern, dengan stuktur jaringan yang kuat, dan tersistem. Relasi-relasi agraria diwujudkan dalam sistem perikatan kelompok dan kampanye identitas.

Di tingkat makro, struktur masyarakat di keempat lokasi studi tetap melihat bahwa keberperanan negara tetap demikian besar. Di Cibungur misalnya, harapan para petani sawah yang ingin setiap kali musim tanam pupuk bersubsidi itu mudah didapat di daerahnya, merupakan cermin bahwa penghargaan atas nilai-nilai luhur dari entitas yang sangat kuat dan besar seperti negara itu, justru bukan hanya diharapkan, tetapi diinginkan. Selain itu, lahan 500 hektar yang saat ini terbengkalai tidak jelas itu, dimaknai sebagai kepongahan pihak non-negara kepada masyarakat, dan non-negara dirasakan kurang berperan pada penyelesaian konflik agraria selama dan sesudah perusahaan itu beroperasi.

(22)

22

Hampir serupa tapi tidak sama di Kampung Tonjong maupun di Gapoktan simpatik. Kedua entitas ini, mewakili model struktur yang diformalisasi karena kesamaan atas nilai-nilai yang dibangun pada sebagian besar masyarakat. Jika menggunakan terminologi Giddens, tindakan-tindakan sosial yang dipilih oleh masyarakat atas apa yang mereka rasakan saat ini, akhirnya akan membentuk semacam perilaku otonom, yang dampaknya akan mengkritisi struktur lama dan membangun atau menawarkan struktur baru.

Sementara itu gambaran struktur dominasi terlihat sangat dinamis. Jika di Cibungur terlihat sangat merata, justru di Simpatik, Tonjong dan Cipelang dominasi terjadi dalam berbagai bentuk. Secara sederhana gambaran dominasi terlihat sebagaimana tabel berikut:

Model Struktur Dominasi

No Kelompok Tani Struktur Dominasi

1 Petani Cibungur

Relatif merata di masyarakat, karena dominasi lebih banyak dilakukan pihak pemerintah melalui program subsidi pertanian. Sehingga warga terkungkung oleh sistem pemerintah bukan sistem pertaniannya sendiri.

2 Petani Tonjong Dominasi di tingkat komunitas terjadi antara pemilik sumberdaya agraria yang lebih luas kepada para buruh, meski tidak sampai eksploitatif. Namun dominasi negara kepada komunitas sangat kuat.

3 Petani Cipelang

Dominasi tradisional, di mana petani kaya lebih menguasai sumberdaya agraria di komunitas mereka. Begitu juga dominasi akses atas sumber-sumber kapital yang kemudian bisa membuat mereka lebih dipandang di kalangan mereka.

4 Petani Simpatik

Dominasi terjadi terutama oleh pelopor gerakan ini kepada yang baru. Dominasi dipahami sebagai penjaga keseimbangan dan kelangsungan komunitas.

(23)

23

yang mereka bangun sendiri. Setelah sekian lama, keputusan itu diperkuat dengan diberlakukannya secara umum di antara mereka. Rembesan dari temuan selama perjalanan justru semakin memperkaya proses strukturasi tersebut. Kemudian jika kita mendapatkannya hari ini, maka semua itu akan dianggap sebagai kebenaran murni, bukan hanya hasil rumusan dan musyawarah.

Dalam realitas yang paling sederhana seperti yang didapatkan di Tonjong sekalipun, pada akhirnya struktur legitimasi dari masyarakat atas seseorang atau satu pihak, atau satu kesepakatan tetap diperlukan. Hal ini disadari sebagai kebutuhan yang lebih besar, terutama menjaga sustainalibitas masyarakat sendiri.

Adapun di ketiga lokasi lain: Cipelang, Cibungur, dan Gapoktan Simpatik Tasik, legitimasi sudah berjalan lebih dalam dan jauh. Bahkan beberapa membangun sistem dan mekanisme sendiri dalam mengoptimalisasikan sumberdaya agraria yang mereka kuasai untuk kebutuhan hidup, akumulasi kapital, dan tentu eksistensi komunitas itu sendiri. Jadi sepertinya, setelah sekian lama, relasi-relasi agraria antara petani dengan sumberdaya agrarianya sudah cukup dalam mengalami perubahan(bdk. Wiradi: 2009, 89). Secara lebih jelas model struktur legitimasi di keempat kasus yang diteliti itu tergambar sebagai berikut:

Model Struktur Legitimasi

No Kelompok Tani Struktur Legitimasi

1 Petani Cibungur

Dukungan kebijakan dan politik lokal yang kuat, yang ini berakibat kepada akses petani kepada sumberdaya kapital, termasuk di dalamnya akan berdampak kepada sustainabilitas penguasaan agraria di antara para petani sendiri.

2 Petani Tonjong Hasil perjanjian dengan pihak TNHS menjadi dasar yang kuat bagi kedua pihak untuk menahan diri. Akhirnya di dalam komunitas terjadi involusi akses, di mana pihak yang ‗kuat‘ secara kanibal ‗memakan‘ yang kurang kuat, atau di setiap pihak melakukan pengirisan pada sumberdaya yang kecil dan terbatas tersebut.

3 Petani Cipelang

(24)

24

‗tersembunyi‘ antara petani penggarap itu dengan pihak luar daerah.

4 Petani Simpatik

Semakin eratnya relasi mereka dengan pemerintah (negara), terlebih kelompok ini menjadi benckmark bagi kemajuan sistem pertanian dan kelompok tani. Bahkan difusi keilmuan mereka saat ini didukung sepenuhnya oleh pemerintah.

Dari gambaran di atas, kita menemukan bahwa proses rasionalisasi telah menjadi dasar pembangunan dari keputusan-keputusan masyarakat. Contoh: mengambilalih lahan milik perusahaan di Cipelang, menjual tanah sawah di Cibungur, bersepakat tidak konflik lagi dengan negara di Tonjong, maupun berkolaborasi dengan pemerintah untuk mengkampanyekan produk organik di Tasik. Selain itu, semuanya, seperti dijelaskan oleh Giddens bahwa dari rasionalisasi tersebut kemudian mereka sendiri membangun semacam kesadaran diskursif atas apa yang mereka putuskan tersebut.

Kesadaran ini penting dibangun di antara mereka karena dalam praktiknya tidak jarang apa yang diputuskan saat ini tidak dicemati sebagai nilai (bukan hanya kesepakatan) yang harus ditransformasi kepada anak-cucunya sebagai budaya, tetapi lebih dipahami sebagai kepentingan pragmatis yang sangat terbatas ruang dan waktu. Oleh karena itu, perlu dilakukan transformasi kesadaran melalui berbagai cara penumbuhan. Hal ini agar bisa memastikan bahwa ke depan apa yang menjadi keputusan ini tidak menjadi konflik yang berpeluang merugikan banyak pihak. Meski semua keputusan ini bukan tanpa resiko bagi keberlangsungan masyarakatnya sendiri, namun apa yang dibangun saat ini jelas bisa menjadi landasan kuat di masa-masa mendatang.

F. Manfaat Teori Strukturasi

Akhirnya tibalah saatnya kita menjawab—sebagaimana dianjurkan oleh Giddens sendiri—apa manfaat dari menggunakan teori strukturasi dalam konteks memahami dinamika agraria. Dengan merujuk kepada penjelasan di atas, kita bisa menemukan beberapa ‗mutiara‘ yang bisa diasah untuk tahapan analisis berikutnya:

(25)

25

dilakukan dengan menggunakan sosiologi yang dibangun Giddens ini bisa juga melacak persoalan-persoalan kelembagaan agraria yang selama ini memberikan pengaruh paling kuat pada dinamika perubahan relasional antara manusia dengan agraria. Dengan demikian kita bisa melacak juga mengapa misalnya di sebuah wilayah ada masyarakat yang sejak lama sangat militan ingin mendapatkan tanah atau sumberdaya agraria ini, namun begitu mereka mendapatkannya justru tanah itu diperjualbelikan untuk kepentingan pragmatis mereka.

Ketiga, dengan bisa menemukan bagaimana perubahan yang sifatnya terjadi pada kelembagaan di masyarakat maka kita juga bisa menganalisis dengan lebih tepat bagaimana sifat-sifat dari sebuah komunitas, terutama dalam konteks relasi mereka dengan agraria. Sehingga kita juga bisa mencari solusi yang lebih kaya lagi dalam menyelesaikan permasalahan agraria di Indonesia. Sebab sangat mungkin pendekatan berbasis konfrontatif saja, di beberapa tempat kurang relevan. Selain tentu kita harus keluar dari kebiasaan pendekatan tunggal yang kerap terjadi dalam mencari akar sebuah masalah.

G. Rekomendasi Kebijakan

Bercermin kepada empat kasus yang dibahas, beberapa hal patut dicatatkan sebagai bahan pertimbangan kebijakan, yaitu:

1. Dalam kondisi apapun, penetrasi kapital ke pedesaan harus dicermati dengan detil. Sebab alih-alih menyejahterakan, yang terjadi bisa sebaliknya justru memiskinkan warga, mendegradasi nilai-nilai kelokalan, dan meluruhkan sendi-sendi kehidupan sosial.

2. Penguatan kelembagaan masyarakat petani harus menjadi agenda pembangunan pedesaan. Terutama jika kerangka pembangunan itu mau dilekatkan pada agenda-agenda reforma agraria. Kelembagaan agraria sendiri harus diletakkan setidaknya dalam dua pemahaman kritikal yakni: dinamika relasi agen dalam struktur masyarakat, serta strukturnya itu sendiri.

(26)

26

H.Daftar Pustaka

Achdian, Andi. 2009. Tanah bagi yang tak bertanah. Land Reform pada masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965. Kekal Press:Bogor, dan STPN Press: Yogyakarta.

Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of Structuration. California Berkeley Press.

Giddens, Anthony. 1989. ―A Reply to My Critics‖. Dalam George Ritzer dan Douglas J Goodman. 2010. Teori Sosiologi. Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana: Yogyakarta.

Ritzer, George. Douglas J Goodman. 2010. Teori Sosiologi. Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana: Yogyakarta.

Hermansah. Tantan . 2007. Strategi Reforma Agraria Dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan. Jurnal Dakwah, Edisi Juni 2007.

Lawang, Robert MZ. (dkk). Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat (Kumpulan Paper dari Simposium Nasional di UI Depak 12 Mei 2010). Dewan Guru Besar UI.

Luthfi, Ahmad Nasih, Amien Tohari, Tarli Nugraha. 2010. Pemikiran Agraria Bulaksumur. Telaah awal atas pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto. STPN Press: Yogyakarta dan Sains Press: Bogor.

Rosset, Peter. (dkk). 2008. Reforma Agraria: Dinamika Aktor dan Kawasan. STPN Press: Yogyakarta.

Shohibuddin, Moh. (dkk.) 2007.Laporan Hasil Kunjungan Singkat Penelitian Pelaksanaan Uji Coba Program Pembaruan Agraria Nasional Di Provinsi Lampung Ke Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Tengah. Kerjasama: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Sajogyo Institute (SAINS).

Shohibuddin, Moh. Endriatmo Soetarto. Kebijakan Agraria Pada Sektor Kehutanan

(27)

27

Agricultural Policy Forum‖, 21-24 October 2003, Jeju Island,

Republic of Korea.

Soetarto, Endriatmo. Tantan Hermansah. 2007. Ekonomi Pedesaan, Dinamika Sumberdaya Alam dalam Pandangan Reforma Agraria di Indonesia. Dalam, Rudi Wibowo (dkk.) ―Mungkinkah Petani Sejahtera?‖ Brighten Press: Bogor.

Soetarto, Endriatmo. Tantan Hermansah. 2007. Peran RA dalam desa 2030: strategi untuk pertanian dan Kehutanan. Makalah dipresentasikan untuk Seminar dan Lokakarya Desa 2030 di Institut Pertanian Bogor tanggal 09 Mei 2007

Winoto, Joyo. Hermanto Siregar. 2007. Dinamika Penggunaan Lahan Pertanian dan Kaitannya dengan Kesejahteraan Petani dan Global Warming: Peran Ilmu Ekonomi Pertanian. Dalam, Rudi Wibowo (dkk.) ―Mungkinkah Petani Sejahtera?‖ Brighten Press: Bogor.

Winoto, Joyo. Reforma Agraria sebagai Jalan Keadilan. Paper.

Wiradi, Gunawan. 2009. Reforma Agraria: Dari Desa ke Agenda Bangsa (dari Ngandagan Jawa Tengah, sampai ke Porto Alegre, Brazil). IPB Press: Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Semakin rendah nilai densitas, atau semakin tinggi porositas biofoam, maka semakin banyak air yang akan terserap untuk mengisi rongga- rongga pada biofoam,

Dalam rangka mendukung pencapaian prioritas nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang dijabarkan dalam RPJMN periode

- Membuka penutup kotak APP, tanpa merusak segel, hal ini dimungkinkan karena ada kotak APP type lama yang engselnya mudah dilepas bila cara penyegelannya kurang baik. -

Dan pada penelitian lainnya oleh yang berjudul Sistem Pendukung Keputusan Penilaian Kinerja Dosen menggunakan metode Weighted Product (Studi Kasus: STMIK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa perbedaan tingkat depresi sebelum dan sesudah diberikan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) pada penderita

Berdasarkan hasil analisis deskripsi frekuensi perolehan siswa terhadap daftar cek list mengenai angket lingkungan sosial, pada faktor lingkungan sosial ini terdiri

1) Tantangan fiscal saat ini bisa kita bedakan antara tantangan fiscal jangka pendek dan tantangan fiscal jangka menengah panjang. Saya melihat persoalan covid

pada tahun 2017 berarti peningkatan aktiva ini tidak diiringi dengan perputaran aktiva secara keseluruhan sehingga tidak memberikan perubahan terhadap peningkatan