• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Regulasi Emosi

A.1 Definisi Regulasi emosi

Regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi fisiologis, kognisi yang berhubungan dengan emosi, dan reaksi yang berhubungan dengan emosi (Shaffer, 2005).

Sementara itu, Gross (2007) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah strategi yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Selain itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif.

Sedangkan menurut Gottman dan Katz (dalam Wilson, 1999) regulasi emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Walden dan Smith (dalam

(2)

Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie 2000) menjelaskan bahwa regulasi emosi merupakan proses menerima, mempertahankan dan mengendalikan suatu kejadian, intensitas dan lamanya emosi dirasakan, proses fisiologis yang berhubungan dengan emosi, ekspresi wajah serta perilaku yang dapat diobservasi.

Thompson (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie 2000) mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan.

Aspek penting dalam regulasi emosi ialah kapasitas untuk memulihkan kembali keseimbangan emosi meskipun pada awalnya seseorang kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakannya. Selain itu, seseorang hanya dalam waktu singkat merasakan emosi yang berlebihan dan dengan cepat menetralkan kembali pikiran, tingkah laku, respon fisiologis dan dapat menghindari efek negatif akibat emosi yang berlebihan (Sukhodolsky, Golub & Cromwell dalam Gratz & Roemer, 2004).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara berpikir seseorang, dan respon emosi (ekspresi wajah, tingkah laku dan nada

(3)

suara) serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakan.

A.2. Ciri-ciri regulasi emosi

Individu dikatakan mampu melakukan regulasi emosi jika memiliki kendali yang cukup baik terhadap emosi yang muncul. Kemampuan regulasi emosi dapat dilihat dalam lima kecakapan yang dikemukakan oleh Goleman (2004), yaitu :

a. Kendali diri, dalam arti mampu mengelola emosi dan impuls yang merusak dengan efektif.

b. Memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain. c. Memiliki sikap hati-hati.

d. Memiliki adaptibilitas, yang artinya luwes dalam menangani perubahan dan tantangan.

e. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi.

f. Memiliki pandangan yang positif terhadap diri dan lingkungannya.

Menurut Martin (2003) ciri-ciri individu yang memiliki regulasi emosi ialah :

a. Bertanggung jawab secara pribadi atas perasaan dan kebahagiaannya.

b. Mampu mengubah emosi negatif menjadi proses belajar dan kesempatan untuk berkembang.

c. Lebih peka terhadap perasaan orang lain. d. Melakukan introspeksi dan relaksasi.

(4)

f. Tidak mudah putus asa dalam menghadapi masalah.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang dapat melakukan regulasi emosi ialah memiliki kendali diri, hubungan interpersonal yang baik, sikap hati-hati, adaptibilitas, toleransi terhadap frustasi, pandangan yang positif, peka terhadap perasaan orang lain, melakukan introspeksi dan relaksasi, lebih sering merasakan emosi positif daripada emosi negatif serta tidak mudah putus asa.

A.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi

Bbeberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan regulasi emosi seseorang, yaitu :

a. Usia.

Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya usia seseorang dihubungkan dengan adanya peningkatan kemampuan regulasi emosi, dimana semakin tinggi usia seseorang semakin baik kemampuan regulasi emosinya. Sehingga dengan bertambahnya usia seseorang menyebabkan ekspresi emosi semakin terkontrol (Maider dalam Coon, 2005). Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya lansia memiliki kemampuan regulasi emosi yang semakin baik.

b. Jenis Kelamin.

Beberapa penelitian menemukan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam mengekspresikan emosi baik verbal maupun ekspresi wajah sesuai dengan gendernya. Perempuan menunjukkan sifat feminimnya dengan

(5)

mengekspresikan emosi sedih, takut, cemas dan menghindari mengekspresikan emosi marah dan bangga yang menunjukkan sifat maskulin. Perbedaan gender dalam pengekspresian emosi dihubungkan dengan perbedaan dalam tujuan laki-laki dan perempuan mengontrol emosinya. Perempuan lebih mengekspresikan emosi untuk menjaga hubungan interpersonal serta membuat mereka tampak lemah dan tidak berdaya. Sedangkan laki-laki lebih mengekspresikan marah dan bangga untuk mempertahankan dan menunjukkan dominasi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa wanita lebih dapat melakukan regulasi terhadap emosi marah dan bangga, sedangkan laki-laki pada emosi takut, sedih dan cemas (Fischer dalam Coon, 2005).

c. Religiusitas.

Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005).

d. Kepribadian.

Orang yang memiliki kepribadian ‘neuroticism’ dengan ciri-ciri sensitif, moody, suka gelisah, sering merasa cemas, panik, harga diri rendah, kurang dapat mengontrol diri dan tidak memiliki kemampuan coping yang efektif terhadap stres akan menunjukkan tingkat regulasi emosi yang rendah (Cohen & Armeli dalam Coon, 2005).

(6)

e.Pola Asuh.

Beberapa cara yang dilakukan orang tua dalam mengasuh anak dapat membentuk kemampuan anak untuk meregulasi emosinya. Parke (dalam Brenner & Salovey, 1997) mengemukakan beberapa cara orang tua mensosialisasikan emosi kepada anaknya diantaranya melalui: pendekatan tidak langsung dalam interaksi keluarga (antara anak dengan orang tua); teknik teaching dan coaching; dan mencocokkan kesempatan dalam lingkungan.

f. Budaya.

Norma atau beliefyang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat mempengaruhi cara individu menerima, menerima, menilai suatu pengalaman emosi, dan menampilkan suatu respon emosi. Dalam hal regulasi emosi apa yang dianggap sesuai atau culturally permissible dapat mempengaruhi cara seseorang berespon dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam cara ia meregulasi emosi.

g.Tujuan dilakukannya regulasi emosi (Goals).

Merupakan apa yang individu yakini dapat mempengaruhi pengalaman, ekspresi emosi dan respon fisiologis yang sesuai dengan situasi yang dialami (Gross, 1999).

h.Frekuensi individu melakukan regulasi emosi (Strategies).

Merupakan seberapa sering individu melakukan regulasi emosi dengan berbagai cara yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan (Gross, 1999). i. Kemampuan individu dalam melakukan regulasi emosi (Capabilities).

(7)

Jikatraitkepribadian yang dimiliki seseorang mengacu pada apa yang dapat individu lakukan dalam meregulasi emosinya (Gross, 1999).

A.4. Aspek-aspek regulasi emosi

Menurut Gross (2007) ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :

a. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.

b. Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.

c. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat.

d. Acceptance of emotional response (acceptance)ialah kemampuan individu untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut.

(8)

A.5. Strategi regulasi emosi

Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi emosi. Menurut Gross (2007) regulasi emosi dapat dilakukan individu dengan banyak cara, yaitu:

a. Situation selection

Suatu cara dimana individu mendekati/menghindari orang atau situasi yang dapat menimbulkan emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang lebih memilih nonton dengan temannya daripada belajar pada malam sebelum ujian untuk menghindari rasa cemas yang berlebihan.

b. Situation modification

Suatu cara dimana seseorang mengubah lingkungan sehingga akan ikut mengurangi pengaruh kuat dari emosi yang timbul. Contohnya, seseorang yang mengatakan kepada temannya bahwa ia tidak mau membicarakan kegagalan yang dialaminya agar tidak bertambah sedih.

c. Attention deployment

Suatu cara dimana seseorang mengalihkan perhatian mereka dari situasi yang tidak menyenangkan untuk menghindari timbulnya emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang menonton film lucu, mendengar musik atau berolahraga untuk mengurangi kemarahan atau kesedihannya.

d. Cognitive change

Suatu strategi dimana individu mengevaluasi kembali situasi dengan mengubah cara berpikir menjadi lebih positif sehingga dapat mengurangi

(9)

pengaruh kuat dari emosi. Contohnya, seseorang yang berpikir bahwa kegagalan yang dihadapi sebagai suatu tantangan daripada suatu ancaman.

B. Terapi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) B 1. Pengertian

Rational Behaviour Emotive Therapy (REBT) merupakan suatu pendekatan yang mempunyai asumsi bahwa kognisi, emosi dan perilaku mempunyai interaksi satu sama lain dan mempunyai hubungan sebab akibat. Asumsi dasar dari REBT adalah setiap orang mempunyai kontribusi terhadap masalah psikologis mereka sendiri yang merupakan hasil dari intepretasi mereka terhadap situasi dan kejadian. Menurut Gonzalez & Nelson (2004) REBT merupakan suatu pendekatan kognitif dan perilaku yang dihasilkan bukan berasal dari kejadian yang dialami namun dari keyakinan – keyakinan yang tidak rasional. Keyakinan yang tidak rasional akan membawa individu pada emosi dan perilaku negatif yang tidak sehat.

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan REBT merupakan suatu metode yang menggunakan pendekatan kognitif dalam mengatasi masalah emosi dan perilaku yang berasal dari keyakinan yang irrasional.

B. 2 Konsep Dasar Terapi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) Terapi REBT menggunakan konsep ABC yaitu Activiting event(A), Belief (B) dan Emotion consequence (C). penjabran dari masing-masing komponen adalah sebagai berikut (Corey, 2006):

(10)

a. Activating event (A) adalah peristiwa, fakta, perilaku atau sikap orang lain yang terjadi di dalam maupun di luar diri individu. b. Belief (B) adalah keyakinan dan nilai individu terhadap suatu

peristiwa. Keyakinan terdiri atas dua bagian yaitu: pertama, keyakinan rasional (rB) yang merupakan keyakinan yang tepat, masuk akal dan produktif. Kedua, keyakinan irasional (iB) yang merupakan yang salah, tidak masuk akal, emosional dan tidak produktif.

c. Emotional consequence (C) adalah konsekuensi emosional baik berupa senang atau hambatan emosi yang diterima individu sebagai akibat reaksi dalam hubungannya dengan antecedent event (A). konsekuensi emosional ini bukanlah akibat langsung dari A, tetapi juga B baik dipengaruhi oleh iB maupun rB individu.

Ellis (dalam Corey, 2006) juga menambahkan bahwa setelah konsep A-B-C maka menyusul desputing(D) yang merupakan penerapan metode ilmiah untuk menantang keyakinan irasional. Desputing(D) merupakan dari proses terapi yang dijalankan m1oleh konselor dan klien melalui proses edukatif, dimana konselor menunjukkan berbagai prinsip logika dan dapat diuji kebenarannya untuk menyanggah keyakinan irasional klien. Setelah melakukan disputing diharapkan akan muncul filisofi rasional yang baru dan efektif (E). bila berhasil melakukan proses tersebut akan muncul perasaan atau emosi yang baru (F).

(11)

B.3. Keyakinan Irasional dalam REBT

Munculnya berbagai masalah dalam REBT disebabkan karena adanya pikiran yang irasioanal. Ada beberapa bentuk pikiran yang irasioanl dalam REBT diantaranya:

1. Demands

Pada tipe ini orang sering mengekspresikan keyakinannya yang rigid dalam bentuk harus, mutlak harus.

2. Awfulizing/catastrophizing

Keyakinan ini timbul bila seseorang tidak mendapatkan apa yang ia inginkan maka ia akan menyimpulkan kejadian tersebut sangat menyakitkan, sangat buruk.

3. Low frustration tolerance

Keyakinan ini timbul bila seseorang tidak mendapatkan apa yang ia inginkan maka ia akan menyimpulkan kejadian tersebut sangat berat, ia sudah tidak tahan lagi.

4. Self, other and life-depreciation beliefs

Bila seseorang tidak mendapatkan apa yang ingin didapatnya dan ia membuat atribut terhadap dirinya bahwa ia telah gagal, ia tidak menyukai dirinya.

(12)

B.4. Tahapan Pelaksanaan Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) Menurut Dryden & Branch (2008) ada tiga tahapan yang harus dilaksanakan terapis dalam pelaksanaan terapi, antara lain:

a. Fase awal

Tugas dasar terapis dalam fase ini adalah menajalin hubungan yang terapetik dengan klien. Konsep dasar yang harus dikembangkan adalah; 1. Mendorong klien untuk menceritakan masalahnya

2. Memberikan gambaran tentang REBT kepada klien 3. Mulai menetapkan masalah klien.

4. Menerangkan tentang konsep ‘ABCs daam REBT 5. Mengatasi keraguan klien

b. Tahap pertengahan

Pada tahapan ini proses disputting dimulai dan pada tahapan ini terapis bisa memberikan tugas kepada klien untuk membantu mereka mengembangkan kemampuan disputing dan menemukan cara agar berfikir lebih rasional.

Kosep dasar yang harus dikembangkan dalam tahap ini adalahl 1. Menindak lanjuti target dari masalah.

2. Mendorong klien untuk mengerjakan tugas-tugas yang mendukung. 3. Mengidentifias dan merubah keyakinan irasional klien.

4. Mengatasi hambatan untuk berubah dari klien

5. Mendorong klien untuk menjadi dan meningkatkan kemajuan dalam proses terapi

(13)

c. Tahap penutup

Tugas utama terapis ketika kan mengakhiri terapi adalah meminta persetujuan dengan klien untuk mengakhiri terapi dengan cara yang terbaik. Beberapa ha yang perlu diperhatikan diantaranya;

1. Memutuskan kapan dan bagaimana mengakhiri terapi.

2. Mendorong klien untuk menyimpulkan apa yang telah dipelajari. 3. Memberikan penghargaan terhadap peningkatan yang dicapai klien. 4. Mengatasi hambatan dalam mengakhiri terapi.

5. Klien setuju untuk melakukan follow up dan menyimpulkan hasil terapi.

B.5. Teknik-teknik yang digunakan dalam REBT

Rational Emotive Behavior Therapy dalam proses terapinya menggunakan beberapa teknik yang bervariasi baik dengan teknik kognitif, behavioral, maupun afektif. Berikut beberapa teknik yang bisa dipakai di dalam pelaksanaan REBT (Corey, 2006):

a. Teknik kognitif

Beberapa teknik kognitif yang biasa digunakan antara lain; 1. Disputting irasional belief

Metode kognitif yang palin umum adalah disputing iraional belief dari klien dan mengajarkan mereka bagaimana menantang pikiran mereka sendiri. Terapis menantang irasional belief mereka dengan menanyakan beberapa pertanyaan seperti apa bukti dari keyakinan

(14)

anda tersebut?, dimana buktinya anda tidak bias menghadapi situasi terebut?, akankah menjadi malapetaka besar apa yang anda bayangkan terjadi?

2. Tugas Rumah

Klien diharapkan membuat daftar masalahnya, mencari keyakinannya yang absolute dan dispute belief. Tugas rumah yang diberikan berisikan penerapan dari teori A – B – C untuk berbagai masalah yang dihadapinya shari-hari. Klien didorong untuk mengambil resiko dari sebuah situasi yang akan menantang batas bawah dari beliefnya. 3. Mengubah bahasa yang digunakan

REBT berpendapat bahwa bahasa yang tidak tepat merupakan salah satu yang merusak proses berpikir. Klien belajar bahwa “ harus,” seharusnya” bias diganti dengan “lebih disuka”. Bukan mengatakan “ itu akan benar-benar mengerikan jika……”, mereka bisa belajar dengan mengatakan “itu akan menjadi tidak menyenangkan jika….” 4. Menggunakan humor.

Ellis menggunakan humor sebagai salah satu cara dalam menyerang pikiran yang terlalu berlebihan yang akan menimbukan masalah dengan klien.

(15)

b. Teknik emotif

Praktisi REBT menggunakan prosedur yang bervariasi diantaranya: 1. Rational-emotive imagery

Teknik ini merupakan suatu bentuk latihan mental untuk membentuk pola emosi yang baru. Klien membayangkan dirinya sedang berpikir, merasakan dan berperilaku persis seperti pikiran, perasaan dan perilaku mereka dalam kehidupan nyata.

2. Role Playing

Di dalam bermain peran terdapat dua komponen yaitu komponen perilaku dan emosi. Terapis sering melakukan interupsi untuk menunjukkan kepada klien apa yang mereka ceritakan tentang dirinya yang akan menimbulkan masalah terhadap dirinya dan apa yang bisa mereka kerjakan untuk mengubah perasaan mereka yang tidak sesuai. 3. Shame-attacking exercise

Latihan ini dikembangkan untuk membantu mengurangi rasa malu yang irasional. Kita bisa menolak rasa malu dengan kuat dengan cara mengatakan pada diri kita sendiri Poin utama dari latihan ini adalah klien berlatih untuk tidak mau ketika yang lain tidak menyetujui mereka

4. Use of force and vigor

Klien mengarahkan dirinya dengan untuk mengekspresikan keyakinan yang tidak rasional dan secara paksa menentangnya.

(16)

c. Teknik Behavioristik

REBT juga menggunakan banyak teknik behavioritik dalam proses terapi. Teknik yang digunakan contohnya operant conditioning, self-management, systematic densitilization, relakasasi dan modeling, melakukan hal yang menyenangkan.

C. Kekerasan Seksual Pada Remaja C. 1. Definisi kekerasan Seksual

Sexual abuse adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban (Tricket, Noll & Putnam, 2011). Sedangkan menurut Wahid da Irfan (dalam Abu Huraiah, 2007) istilah ini menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Briere (dalam Bautista, 2001) menambahkan semua kontak seksual dengan anak meskipun anak tidak mengerti.

Kilgore (dalam Murphy, 2001) mengatakan sexual abuse pada anak adalah kekerasan seksual yang dapat mencakup kontinum perilaku seksual dari paparan alat kelamin melalui kontak fisik invasif seperti penetrasi pada anus atau vagina. Kekerasan seksual pada anak dan remaja biasanya melibatkan orang dewasa, dimana pelaku umumnya memiliki kedekatan atau keterikatan dengan anak yang

(17)

dengan otoritasnya dapat melakukan pemaksaan kepada si anak untuk melakukan aktivitas seksual. Selanjutnya perilaku memberikan berbagai ancaman ataupun bujukan kepada korbannya agar tidak buka mulut kepada siapapun (Malchiodi, dalam Murphy, 2001).

Berdasarkan pemaran diatas dapat disimpulkan kekerasan seksual adalah segala bentuk aktivitas aktivitas seksual yang dilakukan oleh lain dimana perilaku tersebut tidak diharapkan oleh korban.

C.2. Klasifikasi Kekerasan Seksual

Menurut Resna dan Darmawan (dalam Hurairah, 2007), kekerasan seksual dapat dibagi atas tiga kategori yaitu perkosaan, incestdan eksploitasi. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Perkosaan

Pelaku tindakan perkosaan biasanya pria. Perkosaan seringkali terjadi dengan diawali terlebih dahulu dengan ancaman. Jika korban diperiksa dengan segera setelah pemerkosaan, maka akan ditemukan bukti fisik seperti air mani, darah dan luka memar. Apabila kasus perkosaan dengan kekerasan terjadi kepada anak, akan menimbulkan resiko besar karena perkosaan sering berdampak pada tidak stabilnya emosi anak.

b. Inces

Inces didefinisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual antara individu yang mempunyai hubungan dekat, dimana perkawinan diantara mereka

(18)

dilarang oleh hukum maupun kultur. Inces biasanya terjadi dalam kurun waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.

c. Eksploitasi

Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi. Pada beberapa kasus khususnya prostitusi ikut terlibat di dalamnya seluruh anggota keluarga seperti ibu, ayah dan anak-anaknya. Hal inimerupakan situasi patologi dimana kedua orangtua sering terlibat kegiatan seksual bersama dengan anak-anaknya dan mempergunakan anak-anak untuk prostitusi dan pornografi. Eksploitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang banyak secara psikiatri.

C.3. Dampak Kekerasan Seksual

Faulkerner (dalam Zahra, R,P, 2007) memaparkan kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun dewasa. Dampak lain yang biasa muncul pada anak yang mengalami kekerasan seksual dapat menimbulkan kecemasan, depresi, citra diri yang buruk, isolasi, ledakan kemarahan dan permusuhan kepada orang lain. Rini ( dalam Zahra, 2007) mengatakan secara spesifik dampak kekerasan seksual pada anak dapat digolongkan dalam masalah relasional, emosional, kognisi dan perilaku. Kekerasan seksual juga akan mengakibatkan gejala khas dari PTSD (Finkelhor et al., Murphy, 2001).

Bagley dan Ramsay (dalam Christopher & Kathleen, 2004) menambahkan bahwa dampak lain dari kekerasan seksual pada anak-anak adalah adanya peningkatan dorongan untuk melakukan bunuh diri dan melakukan upaya merusak

(19)

diri sendiri. Selain itu, anak-anak yang mengalami kekerasan seksual juga berdampak pada perasaan marah. Ekspresi kemarahan dilakukan dalam berbagai bentuk variasi. Mereka menginternalisasi kemarahan tersebut pada diri sendiri yang berakibat depresi dan menyakiti diri sendiri atau mengeksternalisasi kemarahan dengan perilaku agresif terhadap orang lain. Beberapa penelitian menunjukkan kejadian traumatis bisa menyebabkan seseorang menunjukkan regulasi emosi yang tidak efektif seperti dalam mengeskpresikan emosi yang tidak tepat (Boden, 2013).

Putnam (2003) memaparkan anak dan remaja yang mengalami kekerasan seksual ada yang menunjukkan karakteristik: a). Memiliki masalah dalam regulasi perasaan dan emosinya seperti pikiran bunuh diri, mengontrol marah, b) Dalam hal hal kesadaran, c) Bermasalah dalam persepsi diri seperti merasa malu, bersalah dan tidak berdaya, d) Masalah hubungan dengan orang lain seperti menarik diri, tidak percaya, e) Gangguan somatic.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan dampak kekerasan seksual diantaranya berupa emosi, prilaku dan kognitif. Gangguan emosi seperti pada regulasi emosi, kecemasan. Malu, marah. Gangguan perilaku seperti menarik diri dari lingkungan, agresi sedangkan gangguan kognitif seperti merasa rendah diri, tidak berdaya.

(20)

D. Terapi REBT dalam Meningkatkan Regulasi Emosi pada Remaja yang Mengalami Kekerasan Seksual

Masa remaja merupakan masa transisi yang ditandainya dengan banyaknya perubahan yang terjadi baik dari dalam maupun luar individu itu sendiri. Banyak peristiwa yang nantinya akan berpengaruh secara signifikan terhadap keberfungisan remaja itu sendiri seperti perubahan fisik, kognitif, emosional, perilaku dan sosial. Sangat disayangkan ada remaja yang menjadi korban kekerasna seksual. Kekerasan seksual merupakan peristiwa traumatik yang dialami remaja dan akan memberikan dampak yang serius bagi remaja. Remaja bisa mengalami masalah dalam perkembangan seperti masalah relasional, masalah emosi, kecemasan, masalah kognisi, masalah perilaku. Beberapa penelitian menunjukkan kejadian traumatis bisa menyebabkan seseorang menunjukkan regulasi emosi yang tidak efektif seperti dalam mengeskpresikan emosi yang tidak tepat (Boden, 2013). Kesulitan dalam regulasi emosi bisa meningkatkan simtom-simtom PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Munculnya perilaku internalizing dan externalizing juga berhubungan dengan kemapuan seseorang dalam meregulasi emosinya (Bowie, 2010). Korban kekerasan seksual serta korban maltreatmen yang lain menunjukkan perubahan regulasi emosi yang sangat hebat.

Regulasi emosi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya adalah memilih situasi, memodifikasi situasi, mengalihkan perhatian dan mengubah kognitif. Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam meregulasi emosi adalah adanya kesalahan dalam proses kognitif, adanya

(21)

kesalahan dalam menilai situasi. Berdasarkan konsep dasar dari REBT emosi dan perilaku merupakan hasil dari proses kognitif. Gangguan emosi berasal dari adanya kesalahan dalam berfikir terhadap suatau kejadian. Kesalahan dalam proses berfikir menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran yang irasional yang tidak masuk akal, menyalahkan diri sendiri serta menimbulkan masalah emosi.

(22)

Paradigma Penelitian

Gambar 1.1. Paradigma Penelitian Keterangan:

: menyebabkan

: diberikan perlakuan REBT : pengaruhnya

Kekerasan seksual terhadap remaja

Gangguan kognitif, fisik, emosi, sosial dan seksual

Kesulitan dalam Regulasi Emosi

Pemberian terapi REBT

Kemampuan regulasi emosi meningkat Irational Belief:

- Awfulizing

- Low frustration tolerance

- Demands

- Self, other and life-depreciation beliefs

-Rational Belief Kognitif:

- Disputing irrational belief - Tugas rumah Behavioristik: - Self management - reward Emotif: -Rational emotive imagey

(23)

F. Hipotesa Penelitian

Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada pengaruh terapi REBT untuk meningkatkan regulasi emosi pada remaja korban kekerasan seksual.

Gambar

Gambar 1.1. Paradigma Penelitian Keterangan:

Referensi

Dokumen terkait

Ampul dibuat dari bahan gelas tidak berwarna akan tetapi untuk bahan obat yang peka terhadap cahaya, dapat digunakan ampul yang terbuat dari bahan gelas

Menyusun kubus menyerupai stupa, digunakan untuk , mengenalkan warna mengenalkan jumlah motorik halus konsentrasi Harga Rp.45.000,- Menara Balok Digunakan untuk :

Dapat menjadi sumber ilmu tambahan untuk berbagai pihak misalnya Aparatur penegak hukum seperti Polisi, Hakim, dan Jaksa yang mengawal jalannya penyelesaian kasus-kasus

Pengujian kekerasan dilakukan dengan metode Vickers skala mikro untuk sampel hasil sintesis, hasil penempaan dan pengerolan paduan ZrNbMoGe pada posisi di dalam

Jenis program yang dilakukan BSR untuk Desa Suli Kabupaten Maluku Tengah adalah Bantuan Insidental, dimana Bank Indonesia memberikan Bantuan berupa fasilitas-fasilitas

Melaksanakan Pemberdayaan Masyarakat mengenai tuberkulosis yang dilaksanakan di Puskesmas harapan raya kota pekanbaru merupakan salah satu bentuk meningkatkan pengetahuan

Governance dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. 5) Direksi dalam penyelenggaraan tugas yang bersifat strategis

sumber data adalah perannya dalam pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan sastra Jawa modern. Adapun alasan pemilihan cerkak DPBLL sebagai objek penelitian adalah