• Tidak ada hasil yang ditemukan

CRITICAL POLICY ANALYSIS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KOTA TANGERANG - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "CRITICAL POLICY ANALYSIS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KOTA TANGERANG - FISIP Untirta Repository"

Copied!
327
0
0

Teks penuh

(1)

HIV/AIDS DI KOTA TANGERANG

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Oleh

Maria Lusyana Br. Ginting NIM.6661132667

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)
(3)
(4)
(5)

dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan

Allah dari awal sampai akhir.

-Pengkhotbah 3: 11

PERSEMBAHAN:

(6)

Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Tangerang. Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen Pembimbing I Leo Agustino, Ph.D. Dosen Pembimbing II Maulana Yusuf, M.Si.

HIV/AIDS merupakan isu yang sensitif di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Pemerintah Indonesia merespon isu tersebut dengan mencoba menyelesaikannya dengan penanggulangan HIV/AIDS, dengan cara mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013. Masalah-masalah dihadapi dalam penanggulangan HIV/AIDS khususnya di kota Tangerang. Kota Tangerang memiliki kasus HIV/AIDS tertinggi di Provinsi, dengan berbagai masalah dalam penanggulangan HIV/AIDS, seperti belum maksimalnya layanan di RSUD Kota Tangerang, masih ada stigma dan diskriminasi, terbatasnya SDM yang terlatih, terbatasnya fasiltas pelayanan, dan terbatasnya anggaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengkritisi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 di kota Tangerang. Teori yang digunakan untuk mengkritisi adalah Critical System Thinking, menggunakan 4 dimensi Critical System Thingking dari Ulrich yaitu Sumber Motivasi, Sumber Kekuasaan, Sumber Pengetahuan, dan Sumber Pengesahan. Metode yang digunakan adalah kualitatif ekspolratif. Teknik analisi data dalam penelitian ini menggunakan analisis dari Miles dan Huberman. Hasil dari penelitian ini adalah analisis kritis dalam Permenkes Nomor 21 Tahun 13 di kota Tangerang baik dalam dimensi sumber motivasi dan sumber pengesahan, walaupun terdapat beberapa hal yang perlu dibenahi, dan belum baik dalam sumber kekuatan, seperti sumber daya yang terbatas, terdapat beberapa aspek yang berada diluar kontrol pembuat dan pelaksana kebijakan, dan berdasarkan world view juga belum baik dalam pembebasan dan saksi seperti pihak yang harusnya dilibatkan, dan tidak dilibatkannya secara optimal seperti komunitas LGBT dan sejenisnya.

(7)

Faculty of Social and Political Sciences. University of Sultan Ageng Tirtayasa. 1st AdvisorLeo Agustino, Ph.D. 2nd Advisor II Maulana Yusuf, M.Si.

HIV / AIDS is a sensitive issue in many parts of the world including in Indonesia. The Government of Indonesia responded by trying to resolve it with HIV / AIDS control, by issuing Regulation of the Minister of Health Number. 21 of 2013. The Problems of HIV / AIDS especially in Tangerang city. Tangerang City has the highest number of HIV / AIDS cases in the Province, with various problems in the control of HIV / AIDS, such as the lack of service at Tangerang District Hospital, stigma and discs, limited human resources trained, limited service facilities, and budget constraints. This research is appropriate to criticize the Minister of Health Regulation No. 21 of 2013 in the city of Tangerang. The theory used to criticize is Critical System Thinking, using 4 dimensions of Thingking Critical System from Ulrich that is Source of Motivation, Source of Power, Source of Knowledge, and Source of Legalization. The method used is qualitative expolrative. Data analysis technique in this research use analysis from Miles and Huberman. The result of this research is a critical analysis in Regulation of the Minister of Health Number 21 Year 13 in Tangerang City, both in the source dimension of motivation and source of ratification, although there are some things that need to be addressed, and not good in resources, such as limited resources, there are several aspects are beyond the control of policy makers and implementers, and based on world views are also not good in liberation and relationships such as those who should be involved, and are not involved as optimally as LGBT communities and the like.

(8)

i

limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini yang berjudul Critical Policy Analysis Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Tangerang. Penelitian skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat tugas akhir Studi Strata Satu

(S1) untuk mendapat gelar kesarjanaan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Peneliti meyadari sepenuhnya bahwa keberhasilan dan kesempurnaan pada penyusunan penelitian ini tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu dalam memberikan motivasi dan masukan untuk

menambah wawasan terkait bidang yang diteliti oleh Peneliti. Oleh sebab itu, maka pada kesempatan ini Peneliti menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Kedua Orang tuaku tercinta yaitu Ayahanda Juaras Ginting, SE dan Ibunda Kota Bertha Ulina Br. Surbakti yang senantiasa mendoakan, mendidik, membantu baik materil maupun non-materil dengan sentuhan kasih sayang dan

saudara-saudariku yaitu Ayu Junita Br. Ginting, Diana Beatrice Br. Ginting, dan Josua Ginting.

(9)

ii

Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

5. Bapak Iman Mukhroman, S.Sos., M.Si Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

6. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S.Sos., M.Si Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

7. Ibu Listyaningsih, M.Si Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

8. Bapak Riswanda, Ph.D Sekretaris Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

9. Bapak Ismanto, M.M sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah

memberikan waktu, tenaga, arahan dan motivasi dalam proses kegiatan akademik peneliti.

10.Bapak Leo Agustino, Ph.D sebagai Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah

memberikan waktu, tenaga, arahan dan motivasi dalam menyelesaikan penelitian ini.

(10)

iii

informasi selama proses perkuliahan.

13.Kepada informan peneliti di Dinas Kesehatan Kota Tangerang, KPA Provinsi Banten, dan KPA Kota Tangerang, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian

Penyakit, LSM Lentera Edelwies, RSUD Kota Tangerang, Puskesmas Tanah Tinggi, Tribun Banten, dan Satelit News yang telah memberikan izin untuk

melakukan penelitian.

14.Kepada para sahabat seperjuanganku Kabinet Tokek yang menjadi partner dalam memperoleh Gelar S1 yang selalu ada disaat suka maupun duka yaitu,

Ahmad Fathoni, S.H, Asep Faturahman, Evi Setyowati, Galuh Melati NJ, Rezki Handoyo Wati, Suci Riskianingrum, Vevi Martina, dan Wildan Wirdaus.

15.Kepada teman-temen seperjuangan Angkatan 2013, khususnya kelas D Administrasi Negara yang telah menjadi sumber kebahagiaan dan selalu ada selama menjalani perkuliahan.

16.Kepada teman-teman sekelas dan seorganisasi Galuh, Fita, Firda, Nindi, Rahmi, Rima, Jakper, Jamal, dan semua yang tidak bisa peneliti sebutkan satu

persatu.

17.Kepada kawan-kawan HIMANE 2014 dan HIMANE 2015 yang telah memberikan semangat dan memberikan pengalaman organisasi kepada

(11)

iv

memberikan pengalaman organisasi kepada peneliti.

20.Kepada para bapak, ibu, kakak, dan teman di GKII yang selalu memberikan dukungan semangat dan doa.

21.Serta semua pihak yang terlibat dalam membantu peneliti untuk memberikan arahan, bimbingan, semangat, dan doa yang tidak dapat disebutkan satu

persatu.

Peneliti menyadari bahwa sebagai manusia yang tak luput dari kesempurnaan yang tentunya memiliki keterbatasan yang terdapat kekurangan dalam

penyusunannya. Oleh sebab itu, Peneliti meminta maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam penelitian ini. Peneliti mengharapkan segala masukan baik kritik

maupun saran dari pembaca yang dapat membangun demi penyempurnaan skripsi ini.

Serang, September 2017

Peneliti,

(12)

v

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITIAS ... i

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 18

1.3 Batasan Masalah ... 18

1.4 Rumusan Masalah ... 18

1.5 Tujuan Penelitian ... 19

1.6 Manfaat Penulisan ... 19

(13)

vi

BAB II DESKRIPSI TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN

2.1 Deskripsi Teori ... 22

2.1.1. Teori Kebijakan Publik ... 22

2.1.2. Critical System Thinking ... 27

2.1.3. Pengertian HIV/AIDS ... 31

2.1.4. Pelayanan Kesehatan ... 33

2.1.5. Hak Kesehatan ... 35

2.1.6. Hak Asasi Manusia dan HIV/AIDS ... 36

2.1.7. Kesetaraan Sosial ... 38

2.1.8. Keadilan Sosial ... 39

2.2 Penelitian Terdahulu ... 39

2.3 Kerangka Berfikir ... 43

2.4 Asumsi Dasar ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 47

3.2 Fokus Penelitian ... 47

(14)

vii

3.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 56

3.6.1 Teknik Pengolahan Data ... 51

3.6.2 Uji Keabsahan Data ... 61

3.8 Jadwal Penelitian ... 62

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 63

4.1.1 Gambaran Umum Kota Tangerang ... 63

4.1.2 Dinas Kesehatan Kota Tangerang ... 66

4.1.3 Gambaran Umum Permenkes No 21 Tahun 2013 ... 73

4.2 Deskripsi Data ... 74

4.2.1 Deskipsi Data Penelitian ... 74

4.2.2 Data Informan Penelitian ... 78

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian ... 80

4.3.1 Sumber Motivasi ... 80

4.3.2 Sumber Kekuasaan ... 95

4.3.3 Sumber Pengetahuan ... 118

(15)

viii

5.1 Kesimpulan ... 164

5.2 Saran ... 167

DAFTAR PUSTAKA

(16)

ix

Gambar 1.1 Jumlah Kasus HIV/AIDS yang Dilaporkan Tahun 2005-September

2014 ... 4

Gambar 1.2 11 Provinsi Terbanyak Kasus AIDS 2014 ... 7

Gambar 1.3 Sebaran Kasus HIV/AIDS di Kota Tangerang ... 9

Gambar 1.4 Diskriminasi pada Odha ... 11

Gambar 1.5 Bentuk-Bentuk Diskriminasi ... 14

Gambar 1.6 Dukungan Hibah APBD bagi 8 Kab/Kota Provinsi Banten ... 17

Gambar 2.1 The Eternal Triangle of Boundary Judgments ... 28

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Boundary Judgments ... 45

Gambar 3.1 Analisis Data Miles dan Huberman ... 59

Gambar 4.1 Struktur Dinas Kesehatan Kota Tangerang ... 68

Gambar 4.2 Ruangan Pengganti VCT RSUD Kota Tangerang ... 107

Gambar 4.3 Layanan HIV/AIDS Tidak Dimiliki RSUD Kota Tangerang ... 108

Gambar 4.4 Ruangan Pengganti VCT Puskesmas Tanah Tinggi ... 109

Gambar 4.5 Kerangka Pemikiran ... 144

(17)

x

Tabel 1.1 Kumulatif Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Kab/Kota Tahun 1998 s/d

Oktober 2016 ... 8

Tabel 1.2 Rumah Sakit Rujukan Odha Kota Tangerang ... 13

Tabel 1.3 Tempat Layanan HIV/AIDS Kota Tangerang ... 15

Tabel 2.1 Boundary Categories ... 30

Tabel 3.1 Deskripsi Informan Penelitian ... 50

Tabel 3.2 Pedoman Wawancara Penelitian ... 53

Tabel 3.3 Jadwal Penelitian ... 62

Tabel 4.1 Distribusi Penyakit Berdasarkan Kecamatan ... 65

Tabel 4.2 Penemuan Kasus Berdasarkan Pekerjaan ... 66

Tabel 4.3 Sepuluh Provinsi Kasus Terbanyak ... 76

Tabel 4.4 Kumulatif AIDS yang Hidup dan Meninggal ... 76

Tabel 4.5 Tempat Layanan Rujukan ... 77

Tabel 4.6 Layanan HIV/AIDS Provinsi Banten ... 77

Tabel 4.7 Daftar Informan ... 79

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan sesuai cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melalui pembangunan nasional. Menurut

WHO, kesehatan adalah kondisi dinamis meliputi kesehatan jasmani, rohani, sosial, dan tidak hanya terbebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. (Purwoastuti

dan Walyani 2015: 18). Kesehatan di Indonesia juga merupakan bentuk Hak Asasi Manusia, yang diwujudkan melalui perlindungan hukum, di mana Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 4 menyebutkan

bahwa setiap orang berhak atas kesehatan.

Kebijakan pemerintah dengan upaya pemberian fasilitas pelayanan

kesehatan kepada seluruh lapisan masyarakat juga harus diperhatikan sungguh-sungguh karena negara bertanggungjawab untuk pemenuhan kebutuhan fasilitas pelayanan, di mana dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 34 Ayat (3)

menyebutkan: “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Pernyataan tersebut juga

(19)

“Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk kesehatan rakyatnya yang bisa dipenuhi hanya dengan adanya ketetapan mengenai ukuran-ukuran yang cukup dalam hal kesehatan dan sosial.”

Berangkat dari hal itu sudah seharusnya pemerintah melakukan upaya

yang sungguh-sungguh dalam mewujudkan hal pembangunan kesehatan di Indonesia, karena sudah jelaslah bahwa kesehatan adalah hal penting yang berhak

diperoleh oleh setiap individu, serta menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjamin warganya untuk mau dan mampu hidup sehat dan bisa memanfaatkan pelayanan kesehatan tanpa ada diskriminasi. Tujuan diselenggarakannya

pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

masyarakat yang optimal. Keberhasilan pembangunan kesehatan berperan penting dalam meningkatkan mutu dan daya saing manusia Indonesia, untuk itu diperlukan upaya dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya ialah dengan menyelenggarakan pelayanan

kesehatan. Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih menghadapi problematika kesehatan yang memberikan dampak sosial yang kompleks dan menjadi kendala pembangunan yang harus segera diselesaikan, terutama pada masalah kesehatan

dalam penyakit menular yang berdampak pada kehidupan sosial, budaya, agama bahkan ekonomi. Penyakit yang dimaksud dari hal tersebut adalah HIV dan

(20)

HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang masih mengkhawatirkan di

Indonesia bahkan negara-negara lain di dunia.

HIV/AIDS merupakan isu kesehatan yang cukup sensitif untuk dibicarakan. Hal ini berkaitan dengan sifat yang unik dari penyakit ini, selain

kasusnya yang seperti fenomena gunung es, yakni penyebaran kasusnya tidak dapat diprediksi pada fase awal. HIV menjadi masalah yang kompleks yang

terjadi di seluruh dunia, dimana HIV merupakan penyakit menular yang di seluruh dunia dikaitkan dengan kesehatan yang buruk, pemusnahan komunitas tertentu,

terapi tinggi biaya dan perawatan, kematian signifikan dan kemiskinan. (French 2015: 63). HIV/AIDS merupakan salah satu komponen MDG 6 di mana hal itu dianggap sebagai masalah global karena penyakit tersebut sangat mempengaruhi

kualitas hidup dan produktivitas penderita, dan belum ada obatnya, namun sesungguhnya hal tersebut dapat dicegah (French 2015: 78).

Penyebaran HIV dan AIDS di Indonesia dalam 10 tahun terakhir secara umum meningkat, di mana data kasus HIV Juli sampai September 2015 terdapat 6.779 kasus, dan kasus AIDS sampai September 2015 sejumlah 68.917 kasus, dan

dihitung sampai September 2015 pula, kasus AIDS tersebar di 381 (77 %) dari 498 kabupaten, kota di seluruh provinsi di Indonesia. (Metro TV News 2015,

Jumlah Kasus HIV & AIDS di Indonesia Meningkat, diakses tanggal 2 November 2016). Terdapat peningkatan terhadap jumlah kasus HIV dan AIDS di Indonesia, dan ada penurunan namun penurunannya tidak signifikan. Berikut data HIV/AIDS

(21)

Gambar 1.1

Jumlah Kasus HIV-AIDS di Indonesia yang Dilaporkan Tahun 2005 – September 2014

Sumber: KPA Kota Tangerang (2016)

Saat ini strategi terbaru diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI

Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS, karena langkah penanggulangan selama ini yang berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.

1285/Menkes/SK/X/2002 tentang Pedoman Penanggulangan HIV dan AIDS dan Penyakit Menular Seksual dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Tujuan dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 dimuat

dalam Pasal 3, yaitu:

a. Menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV/AIDS

b. Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS

c. Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA d. Meningkatkan kualitas hidup ODHA

e. Mengurangi dampak sosial ekonomi dari penyakit HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarkat.

859

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014*

(22)

Adanya tujuan tersebut, baik pemerintah pusat, provinsi dan

kabupaten/kota mempunyai peran yang sangat penting dalam penanggulangan HIV/AIDS ini dan itu sudah menjadi tanggungjawab pemerintah. Desentralisasi di Indonesia membuat fungsi kantor kesehatan provinsi menjadi berkurang,

sementara fungsi kantor kesehatan kabupaten dan kota menjadi sangat penting (Wibowo dan Tim 2015: 68). Menurut Wibowo juga, secara sederhana, model

desentralisasi melibatkan pelayanan kesehatan pada tiga tingkatan, yaitu:

1. Pelayanan kesehatan primer yang terdiri dari pelayanan tingkat masyarakat dan rumah sakit rujukan setempat.

2. Pelayanan kesehatan tingkat daerah (provinsi atau negara bagian di bagian geografis yang ditentukan negara).

3. Kementerian kesehatan sebagai pemerintah pusat.

Maka dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 21 Tahun 2013

tentang Penanggulangan HIV dan AIDS mengatur peran pemerintah kota. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 Pasal 8 menyebutkan tugas

dan tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota, yakni sebagai berikut: a. Melakukan penyelenggaraan berbagai upaya pengendalian dan

penanggulangan HIV/AIDS.

b. Menyelenggarakan penetapan situasi epidemik HIV tingkat kabupaten/kota.

c. Menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer dan rujukan dalam melakukan penanggulangan HIV dan AIDS sesuai dengan kemampuan.

d. Menyelenggarakan sistem pencatatan, pelaporan dan evaluasi dengan memanfaatkan sistem informasi.

Penanggulangan HIV/AIDS di dalam Permenkes nomor 21 tahun 2013 memuat 5 kegiatan pokoknya, yaitu promotif, preventif, diagnosis, kuratif, dan

(23)

dikatakan oleh Bapak Arif Mulyawan sebagai Pegiat Kebijakan HIV/AIDS

Provinsi Banten, bahwa penanggulangan mencakup pertama adalah layanan, yang di dalamnya terdapat pengobatan, sistem rujukan, dan diagnosa penyakit, kedua adalah perawatan yang di dalamnya terdapat stigma dan dikriminasi, sehingga

hasilnya adalah memutuskan mata rantai HIV/AIDS dan terdapat perubahan perilaku pada odha.

Gambaran umum kebijakan penanggulangan HIV/AIDS dalam Permenkes nomor 21 tahun 2013 terkait layanan dan perawatan adalah mencakup prinsip dan

strategi dalam Pasal 4 poin a, b, c, g, h yang memuat tentang nilai-nilai yang diterapkan, menghormati HAM, keadilan dan kesetaraan, memperkokoh kesejahteraan keluarga, melibatkan populasi kunci, dan mempertahankan

kehidupan ekonomi yang layak dan produktif. Poin-poin tersebut yang peneliti angkat dalam penelitian ini karena masih terdapat kekurangan dalam pelaksanaan

poin-poin tersebut.

Masalah dalam penanggulangan HIV/AIDS secara Permenkes nomor 21 tahun 2013 mencakup masalah dalam pelayanan dan nilai-nilai yang diterapkan.

Pelayanan yang baik sudah diamanatkan dalam Permenkes 21 tahun 2013 sehingga tujuan-tujuan kebijakan dalam penanggulangan HIV/AIDS dapat

tercapai. Pada kenyataannya pemerintah Indonesia belum bisa melayani ODHA dengan baik karena kurangnya komitmen dari pemerintah itu sendiri dan kasus HIV/AIDS ini belum menjadi isu yang strategis untuk ditangani. Oleh karena itu

(24)

Peran pemerintah daerah dalam era otonomi daerah, sangat dibutuhkan

dalam memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat, karena bidang kesehatan merupakan urusan pemerintah daerah wajib yang tertuang dalam UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Otonomi daerah memberi keluasan

penuh terhadap daerah untuk memberikan pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan dalam penanggulangan HIV/AIDS. Provinsi Banten merupakan salah

satu provinsi di Indonesia, dan seperti yang diketahui Provinsi Banten terdiri dari 4 kota dan 4 kabupaten antara lain:

1. Kota Serang 2. Kota Cilegon 3. Kota Tangerang

4. Kota Tangerang Selatan 5. Kabupaten Lebak 6. Kabupaten Pandeglang 7. Kabupaten Tangerang 8. Kabupaten Serang

Provinsi Banten tidak lepas dari kasus HIV/AIDS. Provinsi Banten masuk dalam sebelas besar kasus terbanyak HIV/AIDS di 34 Provinsi di Indonesia,

seperti yang tertuang dalam gambar berikut.

Gambar 1.2

11 Provinsi Terbanyak Kasus AIDS 2014

(25)

Kota Tangerang merupakan salah satu daerah otonom yang terdapat di

Provinsi Banten. Secara geografis kota Tangerang berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta yang merupakan daerah sub urban dan menjadi skala prioritas pembangunan. Sebagai kota metropolitan yang berdekatan dengan

ibukota Indonesia sekaligus juga sebagai kota industri, kota Tangerang mengalami masalah kesehatan menular yakni HIV dan AIDS, dan menjadi kota peringkat

pertama kasus HIV/AIDS terbesar di Provinsi Banten. Alasan besarnya kasus HIV/AIDS di kota Tangerang adalah karena sebagai kota lintasan dengan adanya

bandara udara, kota Tangerang sebagai perbatasan Jakarta, banyaknya industri sehingga menaikkan jumlah pendatang, dan adanya gaya hidup yang tidak baik dalam masyarakat. (Wawancara dengan Bapak Arif Mulyawan, Tia Suryaningsih

dan Ari Luki).

Tabel 1.1

Kumulatif Kasus HIV-AIDS Berdasarkan Kabupaten/Kota Tahun 1998 s.d Oktober 2016

Kabupaten/Kota HIV AIDS

Kota Tangerang 838 485

Kabupaten Tangerang 747 385

Kabupaten Serang 416 143

Kota Cilegon 325 163

Kota Tangerang Selatan 217 116

Lebak 113 98

Kota Serang 85 156

(26)

Kota Tangerang merupakan kasus terbanyak HIV/AIDS dengan perincian HIV 838 dan AIDS 485 kasus, oleh karena itu peneliti mengambil lokus

penelitian di Kota Tangerang karena kota Tangerang paling tinggi kasus HIV/AIDS dengan berbagai masalah yang dihadapi. Pada 2016, lebih spesifiknya

pencapaian kasus HIV di kota Tangerang sampai Oktober adalah sebagai berikut.

Gambar 1.3

Sebaran Kasus HIV/AIDS di Kota Tangerang

Sumber: KPA Kota Tangerang, 2016

Berdasarkan banyaknya kasus tersebut, sudah seharusnya pelayanan kesehatan yang ada di kota Tangerang semakin baik dan maju, namun masih terdapat masalah yang menyebabkan pelayanan kesehatan ini belum mencapai

57 66

(27)

titik yang maksimal. Sebagai contoh adalah RSUD Kota Tangerang yang belum

mampu melayani ODHA dengan baik, masih belum bisanya ODHA untuk berobat. Hal tersebut terjadi karena fasilitas pelayanan di RSU Kota Tangerang masih terbatas, yakni terbatasnya SDM atau dokter spesialis yang terlatih untuk

menangani ODHA dan seperti tidak adanya alat CD4, juga tidak adanya klinik Bougenville seperti di RSU Kabupaten Tangerang, sehingga ODHA memilih

untuk berobat ke RSU Kabupaten Tangerang (Wawancara dengan pendamping ODHA dan ODHA pada saat layanan HIV/AIDS di RSU Kabupaten Tangerang,

pada 28 Februari 2017).

Salah satu penyebab lain kurang efektifnya program penanggulangan HIV/AIDS adalah masih ada stigma dan diskriminasi kepada orang dengan

HIV/AIDS (ODHA) dan populasi yang beresiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS (umumnya dikenal dengan sebutan populasi kunci). Direktur Eksekutif UNAIDS

mengemukakan bahwa stigma merupakan tantangan terbesar yang menghambat kegiatan penanggulangan di tingkat masyarakat, nasional, dan global. (lbhmasyarakat.org, Diskriminasi HIV: Stigma Yang Mewabah, 2017).

Diskriminasi ODHA dilakukan oleh masyarakat, keluarga, bahkan petugas kesehatan (Wawancara dengan Arif Mulyawan, Tia Suryaningsih, Pengelola KPA

Kota Tangerang). Diskriminasi itu terjadi adalah karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas terkait sepeti Dinas Kesehatan dan juga oleh KPA sendiri bahwa penularan HIV itu tidak mudah, jika kita duduk, makan, berpelukan

(28)

Gambar 1.4

Diskriminasi pada ODHA

Sumber: Radar Banten, 2016

Stigma dan diskriminasi seolah menjadi hukuman sosial masyarakat

terhadap ODHA yang bisa terjadi dalam beragam bentuk, seperti penolakan dan pengasingan terhadap ODHA. Stigma dan diskriminasi seringkali dirujuk sebagai suatu kesatuan. Stigma yang diterima oleh ODHA umunya diikuti dengan

(29)

dan dilindungi oleh pemerintah dan masyarakat khususnya pada Kota Tangerang,

karena ODHA ini masalahnya terdapat pada psikologi dan sosial mereka.

Dampak yang ditimbulkan HIV/AIDS merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap pembangunan sosial ekonomi, stabilitas dan keamanan. HIV dan

AIDS menyebabkan keterpurukan masalah sosial dan ekonomi. Selain dari beberapa masalah diatas, masalah yang dihadapi dalam penanggulangan

HIV/AIDS adalah kurangnya SDM di rumah sakit dan puskesmas, terbatasnya akses dan pemanfaatan terhadap layanan serta anggaran yang diberikan untuk kota

Tangerang belum maksimal, karena anggaran untuk kabupaten Tangerang lebih besar dibanding kota Tangerang, padahal kasus HIV/AIDS tertinggi terletak di kota Tangerang, sehingga belum maksimalnya penanggulangan HIV/AIDS di

kota Tangerang. Apabila pemerintah daerah tidak ambil bagian dalam usaha penanggulangan HIV/AIDS tentu saja akan berimplikasi pada meluasnya

penyebaran HIV/AIDS secara nasional.

Kasus HIV/AIDS harus segera ditangani secara maksimal, karena jika tidak diambil respon yang cepat akan berdampak pada aspek sosial ekonomi,

kesehatan maupun kesejahteraan sosial, bahkan bisa sampai pada dampak jangka panjang yang berupa keresahan di bidang sosial dan politik, bertambahnya

kemiskinan, disintegrasi sosial, keruntuhan aspirasi dan terganggunya ekonomi. Berdasarkan paparan diatas, Peneliti beranggapan bahwa masih ada masalah dan kekurangan pemerintah kota Tangerang dalam melakukan penanggulangan

(30)

Pertama, belum maksimalnya pelayanan kepada ODHA oleh layanan

kesehatan di RSUD Kota Tangerang. Berdasarkan wawancara dengan Tia Suryaningsih sebagai Pengelola Program KPA Kota Tangerang, mengatakan bahwa masih ada penolakan ODHA dari rumah sakit, hal ini didukung dengan

pernyataan salah satu anggota KPA Kabupaten Tangerang bahwa kebanyakan ODHA dari kota Tangerang berobat ke Kabupaten, beliau mengatakan bahwa

rumah sakit pemerintah belum siap, hal tersebut terjadi karena fasilitas pelayanan di RSUD Kota Tangerang masih terbatas, yakni SDM atau dokter spesialis yang

terlatih terbatas untuk menangani ODHA dan seperti tidak adanya alat CD4, juga tidak adanya klinik Bougenville seperti di RSU Kabupaten Tangerang, serta tidak adanya akses obat ARV.

Permenkes nomor 21 tahun 2013 dalam pasal 34 ayat 3 dan 4 menjelaskan bahwa rumah sakit harus menyediakan obat ARV untuk dapat diakses oleh odha,

namun hal tersebut belum terealisasi di RSUD Kota Tangerang. Berikut daftar rumah sakit rujukan odha Kota Tangerang, yang menunjukkan bahwa rumah sakit pemerintah belum siap untuk melayani dan merawat odha.

Tabel 1.2

Rumah Sakit Rujukan ODHA Kota Tangerang

No. Rumah Sakit/Puskemas Keterangan

1. RS Usada Insani

2. RSUD Kota Tangerang Belum siap (masi proses)

3. Puskesmas Cibodasari (satelit) Sedang proses mandiri

4. Puskesmas Karawaci Baru (satelit)

(31)

Kedua, masih terdapat stigma dan diskriminasi pada ODHA oleh keluarga,

masyarakat hingga petugas kesehatan. Berdasarkan yang dikatakan oleh Arif Mulyawan, dan Tia Suryaningsi, masih ada diskriminasi pada odha oleh perawat, dokter, dan juga keluarga odha yang kurang mendukung dan memperhatikan

odha. Hal ini menunjukkan adanya masalah yang harus diselesaikan, padahal dalam penanggulangan HIV/AIDS mempunyai strategi yaitu salah satunya adalah

meningkatkan upaya penanggulangan HIV/AIDS yang berkeadilan dimuat dalam Pasal 5 poin d.

Gambar 1.5

Bentuk-Bentuk Diskriminasi

Sumber: LBH, 2017

(32)

adalah berdasarkan wawancara dengan anggota KPA Kota Tangerang, Tia, dan

dari materi yang beliau berikan mengatakan bahwa terbatasnya unit layanan kesehatan yang memiliki kemampuan kompherensif mendeteksi dan menangani HIV/AIDS. Pada Permenkes Nomor 21 Tahun 2013 Pasal 5 mengatakan bahwa

salah satu strategi penanggulangan HIV/AIDS adalah adanya ketersediaan dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang, menjamin, dan lainnya.

Pasal 5 poin h menyebutkan meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang HIV/AIDS serta menjamin keamanan,

kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan. Tangerang hanya terdapat 2 rumah sakit yang menerima ODHA, yaitu: RS Usada Insani, dan RS Siloam Gleneagles, dan Rumah Sakit yang ada tersebut tidak memiliki tempat

khusus seperti Care Support Treatment (CST), sedangkan RSUD Kota Tangerang belum mampu untuk melayani rujukan ODHA. Berikut merupakan tempat

layanan HIV/AIDS di Provinsi Banten.

Tabel 1.3

Tempat Layanan HIV/AIDS di Kota Tangerang

No. Jenis Layanan Jumlah

1. Voluntary Counselling and Testing (VCT) 5 2. Care Support Treatment (CST) 1 3. Prevention of Mother To Children Transmission

(PMTCT)

2

(33)

Keempat, terbatasnya SDM di Rumah Sakit dan Puskesmas untuk

melayani dan merawat ODHA. Terbatasnya tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan komprehensif mendeteksi dan menangani HIV/AIDS, di mana hal tersebut juga hasil wawancara peneliti dengan Sekretaris KPA Provinsi Banten,

Dr. H. Encep Mukardi, Mars pada 28 Desember 2016. Beliau mengatakan SDM di kab/kota terbatas dan juga wawancara dengan Pengelola Program HIV,

Ernawati mengatakan bahwa kurangnya SDM tertutama di Puskemas.

Kelima, terbatasnya ketersediaan anggaran penanggulangan HIV/AIDS di

kota Tangerang. Berdasarkan hasil wawancara kepada anggota KPA Kota Tangerang, Tia, mengatakan bahkan sampai pada pertengahan tahun 2016 anggaran penanggulangan HIV/AIDS di Kota Tangerang belum juga turun, dan

dari data yang diberikan oleh KPA Provinsi Banten dan KPA Kota Tangerang, mengatakan masih ada keraguan pemerintah daerah dalam memberikan dukungan

operasional hibah bagi Sekretariat KPA Kab/Kota, dukungan operasional untuk petugas penjangkau dan pendamping yang belum terakomodir di APBD Provinsi, dan Kabupaten/Kota, dan dukungan bantuan biaya kesehatan bagi ODHA belum

optimal (BPJS dan JAMKESDA), serta dukungan anggaran untuk kabupaten Tangerang lebih besar daripada kota Tangerang, padahal dukungan dana yang

(34)

Gambar 1.6

Dukungan Hibah APBD bagi 8 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten

Sumber: KPA Provinsi Banten, 2016

Berdasarkan Gambar 1.5 terdapat penurunan anggaran di tahun 2015 pada

Kota Tangerang, padahal pada strategi penanggulangan HIV/AIDS ini pada Pasal 5 (f) mengatakan meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS.

Berdasarkan dari hal tersebut terdapat ketidaksesuaian atas rencana anggaran berdasarkan kebijakan yang berlaku.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan, maka

peneliti mengambil judul “Critical Policy Analysis Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV/AIDS di

Kota Tangerang.

Lebak PandeglangKabupaten KabupatenSerang KabupatenTangerang CilegonKota Kota Serang TangerangKota TangerangKota Selatan Dukungan Hibah APBD

Bagi 8 KPA Kab/Kota di Provinsi Banten (Dalam Satuan Juta)

(35)

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka terdapat masalah, yakni:

1. Belum maksimalnya pelayanan kepada ODHA oleh layanan kesehatan di RSUD Kota Tangerang

2. Masih terdapat stigma diskriminasi pada ODHA oleh keluarga, masyarakat hingga petugas kesehatan.

3. Terbatasnya fasilitas layanan kesehatan untuk mengobati, merawat dan mendukung Orang Dengan HIV/AIDS.

4. Terbatasnya SDM yang terlatih di Rumah Sakit dan Puskesmas untuk melayani dan merawat ODHA.

5. Terbatasnya ketersediaan anggaran penanggulangan HIV/AIDS.

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka peneliti membatasi permasalahan yang akan dibahas berfokus pada penanggulangan HIV/AIDS di Kota Tangerang.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan fokus penelitian yang telah ditetapkan, maka peneliti dapat merumuskan masalah penelitian adalah Bagaimana Critical Policy Analysis

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan

(36)

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara kritis mengenai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Tangerang.

1.6 Manfaat Penelitian

a) Secara Teoritis

1. Untuk mengetahui hubungan antara teori dengan praktik yang ada di

lapangan.

2. Untuk dapat memberikan input atau masukan mengenai kebijakan publik.

b) Secara Praktis

1. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan bagi Dinas

Kesehatan Kota Tangerang, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten dan Kota Tangerang, LSM, Layanan Kesehatan dan Media, serta masyarakat untuk mendukung dan mengawasi kegiatan

Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Tangerang.

2. Bagi peneliti, dapat memberikan input dan menambah pengetahuan

dan wawasan serta melatih kemampuan menganalisis khususnya di bidang kebijakan publik.

3. Manfaat bagi masyarakat adalah membangun kesadaran masyarakat

(37)

1.7 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini menjelaskan tentang latar belakang dalam penelitian

tersebut, lalu identifikasi masalah, batasan penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II DESKRIPSI TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

Pada bab ini, peneliti memaparkan teori-teori dari beberapa ahli

yang relevan terhadap masalah dalam penelitian. Setelah memaparkan teori, lalu membuat kerangka berpikir yang menggambarkan alur pikiran peneliti sebagai kelanjutan dari deskripsi teori terhadap permasalahan yang

diteliti.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tentang metode apa yang akan digunakan

dalam penelitian. Selain itu dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang instrument penelitian, teknik pengumpulan data, informan penelitian,

teknik analisis data, dan uji validitas.

BAB IV HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian mencakup deskripsi objek penelitian yang meliputi

lokasi penelitian secara jelas, struktur organisasi dari objek yang diteliti, serta hal lain yang berhubungan dengan objek penelitian. Selain itu juga

(38)

bab ini juga terdapat interprestasi hasil penelitian dan pembahasan lebih

lanjut terhadap hasil analisis data.

BAB V PENUTUP

Bab ini terbagi ke dalam dua bagian yaitu bagian kesimpulan dan

saran. Dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan dari analisis penelitian. Sedangkan pada bagian saran akan dikemukakan sarn demi

(39)

22

DASAR PENELITIAN

2.1 Deskripsi Teori

2.1.1 Teori Kebijakan Publik

Secara umum, kebijakan digunakan untuk menunjukkan perilaku seorang

aktor, misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah, atau juga sejumlah aktor dalam suatu bidang tertentu (Winarno 2014:

19). Kebijakan publik pada dasarnya merupakan keputusan yang bertujuan untuk mengatasi suatu permasalahan publik, untuk melakukan kegiatan tertentu yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan dan kebijakan publik mengikat banyak

orang. Banyak para ahli yang mengeluarkan pendapatnya mengenai arti dari kebijakan publik, masing-masing definsi tersebut memberi penekanan yang

berbeda. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli memiliki latar belakang yang berbeda. Salah satunya adalah Robert Eyestone mengatakan bahwa kebijakan publik sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya

(Winarno 2014: 20).

Menurut Carl Friedricih (dalam Winarno 2014: 20) memandang kebijakan

publik sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan

(40)

menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau

meralisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi yang diberikan Friedrich ini merupakan define yang sangat luas karena tidak hanya mencakup pemerintah saja, namun juga mencakup tindakan kelompok dan individu yang

memberikan dampak atau outcomes. Menurut Anderson (dalam Winarno 2014: 21) mengatakan pengertian kebijakan publik sebagai berikut: “Arah tindakan yang

mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan”. Konsep yang dikatakan

Anderson menurut Winarno sangat tepat karena memusatkan perhatiannya pada apa yang dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan.

Menurut Anderson, konsep kebijakan publik mempunyai beberapa

implikasi, yakni pertama, titik perhatian dalam membicaraka kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku serampangan. Kedua,

kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan keputusan-keputusan yang tersendiri. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur

perdagangan, mengendalikan inflasi, atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Keempat, kebijakan publik mungkin

dalam bentuknya bersifat positif atau negatif.

Beberapa konsep kunci yang dapat digunakan untuk memahami kebijakan publik yang dikemukakan oleh Young dan Quinn (dalam Ayuningtyas 2015: 8)

(41)

a. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah dan perwakilan lembga pemerintah yang meiliki kewenangan hukum, politis, dan finansial untuk melakukannya.

b. Kebijakan publik merupakan sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan konkret yang berkembang di masyarakat, oleh karena itu, pada umumnya kebijakan publik merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial.

c. Merupakan seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan.

d. Juga merupakan sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Menurut Nugroho kebijakan publik adalah suatu aturan yang mengatur

kehidupan bersama yang harus di taati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi dengan bobot pelanggarya yang dilakukan

dan sanksi dijatuhkan di depan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho 2004: 3). Sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami dalam beberapa kategori, yaitu adalah tuntutan-tuntutan

kebijakan, keputusan-keputuan kebijakan, pernyataan-pernyataan kebijakan, hasil-hasil kebijakan, dan dampak-dampak kebijakan.

2.1.1.1 Pelaksana/Implementor Kebijakan Publik

Ada lima implementor kebijakan publik, yaitu birokrasi, lembaga

legislative, lembaga peradilan, kelompok penekan, dan organisasi-organisasi masyarakat. (Winarno 2014: 221). Berikut penjelasan dari lima implementator

(42)

1. Birokrasi

Birokrasi mempunyai keleluasaan yang besar dalam menjalankan kebijakan-kebijakan publik yang berada dalam yuridiksinya, karena mereka bekerja berdasarkan mandate perundang-undangan yang luas. Oleh

karena kompleksitasnya isu yang dibahas, atau kurangnya waktu, perhatian, dan informasi, mereka yang berperan serta dalam proses

legislasi seringkai tidak mampu atau tidak berminat untuk membuat garis-garis pedoman yang tepat.

2. Lembaga Legislatif

Badan-badan legislatif seringkali terlibat dalam proses implementasi kebijakan publik. Sekarang ini semakin meningkatnya keterlibatan

badan-badan legislatif dalam implementasi, dan dengan demikian, merancang undang-undang yang sangat spesifik ketika berkaitan dengan

implementasi. 3. Lembaga Peradilan

Keterlibatan lembaga peradilan yang paling penting adalah dalam konteks

mempengaruhi tata kelola/administrasi melalui interpretasi nyata terhadap perundang-undangan dan peraturan-peraturan administrasi dan regulasi,

dan pengkajian ulang terhadap keputusan-keputusan administrative dalam kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan. Lembaga peradilan bisa memfasilitasi, menghambat, atau secara luas mementahkan implementasi

(43)

4. Kelompok-Kelompok Penekan

Berdasarkan diskresi yang berlaku dalam banyak badan administrasi, sebuah kelompok yang berhasil mempengaruhi tindakan suatu badan administrasi mungkin mempunyai efek secara substansial pada arah dan

dampak dari kebijakan publik. 5. Organisasi-Organisasi Masyarakat

Pada tingkat lokal, organisasi-organisasi masyarakat seringkali terlibat dalam implementasi program-program publik, berbagai pemeran serta

mempengaruhi tata kelola suatu kebijakan tertentu.

2.1.1.2 Faktor Penentu Pelaksanaan Kebijakan

Ada beberapa faktor yang menentukan sebuah kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik, yang tercantum beriku ini:

1. Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan pemerintah. 2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan.

3. Adanya sanksi hukum. 4. Adanya kepentingan publik. 5. Adanya kepentingan pribadi.

2.1.1.3 Faktor Penentu Penolakan Kebijakan

Terdapat juga faktor penentu penolakan atau penundaan kebijakan, yakni sebagai berikut:

1. Adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai yang ada. 2. Tidak adanya kepastian hukum.

3. Adanya keanggotaan seseorang dalam organisasi.

(44)

2.1.2 Critical System Thinking

Untuk dapat memahami permasalahan pada sebuah kebijakan secara komprehensif dari berbagai sudut pandang atau kacamata yang berkaitan dengan aspek kebijakan tersebut, maka peneliti menggunakan pendekatan critical system

thinking. Critical system thinking ini akan menghasilkan suatu penelitian kebijakan yang baik dan relevan serta memberikan resolusi terhadap

permasalahan kebijakan yang ada. Menurut Ulrich (dalam Riswanda 2016: a,b) menyatakan bahwa critical system thinking adalah:

“Sebuah paradigma alternatif penggalian, pemahaman, pengolahan dan penafsiran data penelitian menggunakan rangka pikir „critical heuristics‟. Di mana critical system thinking sebagai sebuah proses berdialektika, berdiskusi, serta melakukan refleksi pada pencarian „meanings‟ alternatif diantara kemajemukan, dan sisi lainnya antara asumsi, nilai, dan sudut pandang dalam konteks penelitian kualitatif. Dengan sinergi penyajiannya pada kontruksi argument penelitian. Untuk kemudian dijadikan dasar membangun argument penelitian dan mendesain kerangka teoritis di dalamnya. Rangka pikir tersebut dapat digunakan di semua fase kajian kebijakan-formulasi, implementasi, dan evaluasi”.

Critical system heuristic adalah kerangka untuk praktik reflektif berdasarkan filsafat praktis dan berpikir sistem. Tujuannya adalah pertama, untuk

meningkatkan kritis (reflektif) kompetensi tidak hanya terlatih professional dalam pengambilan keputusan, melainkan juga orang-orang biasa. Kedua, praktik

reflektif tidak dapat dijamin dengan cara teori saja, tetapi memerlukan dukungan heuristik dalam bentuk pertanyaan dan argumentasi yang membuat perbedaan dalam praktik. Ketiga, berpikir kritis dapat memberikan kita dengan titik awal

(45)

CSH menjelaskannya dengan segitiga abadi sistem referensi, fakta, dan

nilai. Setiap kali mengajukan definisi atau solusi masalah, kita tidak dapat membantu untuk menegaskan relevansi beberapa fakta dan norma yang dibedakan dari yang lain. Fakta dan norma apa yang harus kita pertimbangkan bergantung

pada bagaimana kita mengikat sistem referensi, dan sebaliknya. Begitu kita mengubah penilaian batas kita, fakta dan norma yang relevan juga akan berubah

(Wulrich Com 2005, A Mini-Primer of Boundary Critique, diakses 2017). Berikut adalah gambar segitiga abadi (the eternal triangle of boundary judgments).

Gambar 2.1

The Eternal Triangle of Boundary Judgments

Sumber: Ulrich (dalam Riswanda 2016: 3)

Menurut Riswanda (2016: 3) menyatakan bahwa boundary judgments

memberikan pesan pada peneliti bahwa prinsip dasar metodologi penelitian

dengan pendekatan kualitatif merupakan refleksi dari konsep boundary judgments. Pemahaman sistem digunakan sebagai acuan rangka pikir dari sudut pandang seseorang yang membentuk kontuksi dasar dari kebijakan. Menurut

Ulrich (dalam Riswanda 2016: 3) menyatakan bahwa pada penelitian dengan

Boundary Judgments

“SISTEM”

“FAKTA-FAKTA” “NILAI-NILAI”

(46)

menggunakan the eternal triangle maka peneliti berpikir kritis dengan mengaitkan

dan memilah mana fakta dan mana nilai sehingga ketiganya tidak dapat dipahami secara terpisah, dan dapat menentukan bagaimana hasil penelitian dengan memetakan relevansi, keterhubungan, saling keterkaitan ataupun sebaliknya

diantara kedua hal tersebut.

Tujuan dari critical system thinking ini adalah voice of the voiceless.

Maksud voice menurut Riswanda (2016: 5) adalah para individu atau pihak tertentu dalam masyarakat yang selama ini terpinggirkan atau tidak mendapatkan

tempat dalam proses pembuatan kebijakan. Fenomena permasalahan selama ini hampir selalu menyisakan suara masyarakat yang selama ini terpinggirkan, sehingga dengan adanya hal tersebut maka ada tempat untuk menempatkan

kebijakan dengan mengindahkan unsur kelokalan tertentu, seperti unsur budaya, persepsi, dan juga kemajemukan cara pandang dalam masyarakat saat menyikapi

(47)

Tabel 2.1

Boundary Categories

Sumber:Ulrich (dalam Riswanda 2016: 9).

Terdapat empat dimensi yang menjadi fokus dalam kajian kebijakan publik. Dimensi tersebut adalah sources of motivation (sumber motivasi), sources of power (sumber kekuasaan), sources of knowledge (sumber pengetahuan), dan

sources of legitimation (sumber pengesahan). Keempat dimensi ini menurut Riswanda (2016: 9-10) membentuk policy circle yaitu lini garis lingkaran dari

kebijakan publik yang terdiri dari formulasi, analisis, implementasi, dan evaluasi.

Critically boundary questions menyediakan 12 panduan pertanyaan kritis yang dapat dijadikan sebagai arahan bagi peneliti kebijakan dalam melakukan

(48)

2.1.2.1 Critical System Thingking dalam Kebijakan Publik

Critical system thingking merupakah sebuah paradigma dan kerangka

berfikir dalam melakukan kebijkan publik yang menggunakan berbagai sudut pandang dalam melihat berbagai fenomena kebijakan publik, dan itu sebuah teori

dalam memahami suatu permasalahan publik yang dikategorikan berdasarkan beberapa kriteria yang ada dalam 4 batas kategori yang diturunkan menjadi 12

yang terdapat dalam batas kategori untuk dapat dilibatkan dalam pencarian sebuah resolusi. Suatu kebijakan itu sendiri adalah sebuah sistem yang dikenal sebagai

policy circle, jadi artinya tidak terputus, yang dapat kita samakan dengan segitiga

abadi dalam CST. Memakai segitiga abadi adalah karena dalam penelitian kualitatif ini mengedapankan prinsip boundary judgement untuk menemukan

fakta dan nilai yang sebenarnya dari suatu permasalahan kebijakan yang ada, sehingga bisa menjadi solusi dalam sebuah kebijakan yang sedang diteliti.

2.1.3 Pengertian HIV dan AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah penyakit yang menular

yang di seluruh dunia dikaitkan dengan kesehatan yang buruk, pemusnahan komunitas tertentu, terapi tingkat biaya dari perawatan, kematian signifikan, dan

kemiskinan. (French 2015: 63). Human Immunodeficiency Virus atau HIV ini

adalah virus dan seperti kebanyakan virus, HIV memerlukan sel inang untuk memperbanyak diri guna melakukan replikasi dan bertahan hidup. HIV

(49)

kemampuan unik untuk mengubah kode RNA mereka menjadi asam

deoksiribonukleat (DNA). Kemudian DNA retrovirus berintegrasi ke dalam DNA sel inang sehingga membuat sel inang menjadi pabrik HIV. Pada manusia, yang berperan sebagai sel inang adalah system imun dan dikenal sebagai sel cluster of

differentiation 4 (CD4). (French 2015: 64).

Sistem imun yang sehat mampu menghadapi virus, melindungi tubuh dari

penyakit atau infeksi yang memburuk, tetapi HIV menyerang sistem imun ini sehingga proses perlindungan tubuh tidak lagi dapat bekerja secara efektif, setelah

sel CD4 terinvasi oleh virus HIV, sel tersebut tidak dapat berfungsi secara normal sehingga terjadi kemunduran sistem imun secaea bertahap seiring dengan lebih banyak lagi sel CD4 yang dihancurkan. AIDS adalah sindrom yang disebabkan

oleh gangguan HIV. French mengataka, ketika orang yang hidup dengan HIV didiagnosis mengalami AIDS, hal ini berarti mereka memiliki lebih dari satu

penyakit yang terdapat dalam daftar penyakit ysng umumnya jarang terjadi yang diakibatkan oleh kerusakan system imun tubuh.

2.1.3.1 Transmisi HIV

Transmisi HIV dapar terjadi baik kontak seksual, via darah atau produk

darah, atau dari ibu ke bayinya.

1. Kontak seksual- Sebagian besar infeksi HIV terjadi melalui hubungan intim tanpa pelindung. hIV terdapat pada semen, pre-cum, cairan vagina,

(50)

pasangan yang terinfeksi, HIV dapat berpindah dari satu orang ke orang

lain melalui kontak dengan membrane mukosa.

2. Kontak darah dengan darah- HIV terdapat di dalam darah, setiap kontak dengan darah yang terinfeksi HIV berpotensi menyebabkan infeksi.

Metode infeksi yang paling umum adalah melalui berbagi peralatan injeksi di antara pengguna obat terlarang yang diinjeksikan.

3. Transmisi ibu ke anak- HIV dapat ditularkan ibu ke bayinya, baik sebelum atau selama pelahiran atau ketika menyusui. Semua ibu hamil ditawarkan

dan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan HIV karena jika HIV dikonfirmasi selama kehamilan, medikasi dapat diberikan ke ibu untuk mengurangi risiko infeksi HIV ditransmisika ke janin.

2.1.4 Pelayanan Kesehatan

Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, mengatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup prduktif secara sosial dan ekonomi (Azwar

1994: 11). Menurut Levey Loomba, pelayanan kesehatan adalah upaya yang dilakukan oleh suatu organisasi baik secara sendiri atau bersama-sama untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan perseorangan, kelompok, dan ataupun masyarakat (Azwar 1994: 42). Hodgetts dan Casio (dalam Azwar) menyatakan bahwa bentuk

(51)

a. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran (medical service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat berdiri sendiri (solo practice) atau secara besama-sama dalam suatu organisasi. Tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan keluarga.

b. Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Pelayanan kesehatan yang temasuk dalam kelompok pelayanan kesehatan masyarakat ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam satu organisasi. Tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit dan sasaran utamanya adalah untuk kelompok dan masyarakat.

Untuk mendapat kesehatan yang baik, keduanya harus memenuhi

beberapa persyaratan pokok sebagai berikut (Azwar 1994: 45): a. Tersedia dan berkesinambungan

Pelayanan tersebut harus tersedia di masyarakat dan bersifat berkesinambungan, artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat ada pada setiap saat yang dibutuhkan.

b. Dapat diterima dan wajar

Pelayanan tersebut tidak bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan masyarakat serta bersifat wajar.

c. Mudah dicapai

Pengertian tercapai disini terutama dari sudut lokasi. Untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja dan tidak ditemukan di daerah pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.

d. Mudah dijangkau

Pengertian keterjangkauan ini terutama dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan seperti ini harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.

e. Bermutu

(52)

2.1.5 Hak Kesehatan

Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH.02.UM.06.04 Tahun 2011 menyatakan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus

diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Reublik

Indonesia Tahun 1945. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 pada Pasal 1 Ayat (1) menerangan bahwa yang dimaksudkan dengan kesehatan adalah

keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial maupun ekonomis. Hak atas kesehatan adalah hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan

dan fasilitas kesehatan agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Mewujudkan derajat kesehatan adalah upaya meningkatkan kesehatan

lebih baik dari sebelumnya, oleh karena itu setiap upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non-diskriminasi, partisipatif, perlindungan dan berkesinambungan sangat

penting bagi pembangunan manusia Indonesia.

Upaya meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya

merupakan upaya penyembuhan penyakit, yang kemudian berkembang kearah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas. Hak atas kesehatan telah dijamin dan diatur di berbagai

(53)

konkrit bahwa negara selaku pihak yang memiliki tanggung jawab atas kesehatan

prinsip-prinsip yang harus ditaati oleh pihak negara dalam pemenuhan hak atas kesehatan mengandung empat unsur, yakni ketersediaan, aksesibilitas, kualitas, dan kesetaraan.

Ketersediaan dapat diartikan sebagai ketersediaan sejumlah pelayanan kesehatan seperti fasilitas berupa sarana (rumah sakit, puskesmas dan klinik) dan

prasarana kesehatan (obat-obatan, tenaga kesehatan dan pembiayaan kesehatan) yang mencukupi untuk penduduk secara keseluruhan. Aksesibilitas mensyaratkan

agar pelayanan kesehatan dapat terjangkau baik secara ekonomi atau geografis bagi setiap orang, dan secara budaya, agar menghormati tradisi budaya masyarakat. Kualitas mensyaratkan agar pelayanan kesehatan memenuhi standar

yang layak. Terakhir, kesetaraan mensyaratkan agar pelayanan kesehatan dapat diakses secara setara oleh setiap orang, khususnya bagi kelompok rentan di

masyarakat (Kontras.org. https://www.kontras.org/buletin/indo/bpjs.pdf/ 11 November 2016).

2.1.6 Hak Asasi Manusia dan HIV/AIDS

Istilah kesehatan dalam perspektif HAM kerap digunakan di tingkat PBB

adalah hak atas kesehatan. Upaya setiap individu untuk memperoleh kesehatan adalah hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam satu bagian The Universal Declaration Human Right (UNO-1948) sebagai berikut (Ayuningtyas 2015: 5):

(54)

the even unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control”.

Pada 1980-an, hubungan antara HIV / AIDS dan hak asasi manusia hanya dipahami karena melibatkan orang yang terinfeksi HIV dan AIDS dan

diskriminasi yang mereka terima. Bagi orang-orang yang terinfeksi HIV dan penderita AIDS, yang menjadi keprihatinan adalah bagi mereka

adalah pembatasan perjalanan internasional, hambatan untuk pekerjaan dan perumahan, akses ke pendidikan, perawatan medis, dan / atau asuransi kesehatan,

pemberitahuan pasangan, dan kerahasiaan yang disebarluaskan. Isu-isu ini serius, dan hampir 20 tahun menjadi epidemi, dan mereka belum mendapatkan solusinya. Ada juga isu-isu baru, dengan implikasi hak asasi manusia yang luar biasa, yang

telah dibangkitkan untuk orang yang terinfeksi HIV, khususnya kesenjangan besar yang berkembang dan ketidakadilan menyangkut akses ke terapi antiretroviral dan

bentuk lain dari perawatan.

Pentingnya hak asasi manusia sebagai faktor dalam menentukan kerentanan masyarakat terhadap infeksi HIV dan risiko akibat mereka tertular

infeksi HIV serta kemungkinan mereka mengakses perawatan dan dukungan yang tepat merupakan hasil dari peningkatan pemahaman terhadap HAM dan

HIV/AIDS. Interaksi antara HIV / AIDS dan hak asasi manusia yang paling sering digambarkan melalui dampak pada kehidupan individu kelalaian, penolakan, dan pelanggaran hak-hak mereka dalam konteks epidemi HIV / AIDS. Orang yang

(55)

pemerintah untuk akses ke kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Dalam

konteks ini, realisasi hak oleh orang-orang hidup dengan HIV akan memerlukan akses diskriminatif dalam lingkungan sosial yang mendukung.

Pemerintah bertanggung jawab untuk tidak melanggar hak-hak secara

langsung, serta untuk memastikan kondisi yang memungkinkan orang untuk menyadari hak-hak mereka semaksimal mungkin. Hal ini dimengerti bahwa,

untuk setiap hak asasi manusia, pemerintah memiliki tanggung jawab pada tiga tingkatan (hivinsite.ucsf.edu, Human Rights and HIV/AIDS, diakses pada 3

Februari 2017):

1. Mereka harus menghormati hak 2. Mereka harus melindungi hak 3. Mereka harus memenuhi hak

2.1.7 Kesetaraan Sosial

Kesetaraan sosial adalah tata politik sosial di mana semua orang yang berada dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu memiliki status yang

sama. Setidaknya, kesetaraan sosial mencakup hak yang sama di bawah hukum, merasakan keamanan, memperolehkan hak suara, mempunyai kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, dan sejauh mana hak tersebut tidak merupakan hak-hak

yang bersifat atau bersangkutan secara personal. hak-hak ini dapat pula termasuk adanya akses untuk mendapatkan pendidikan, perawatan kesehatan dan

(56)

2.1.8 Keadilan Sosial

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, keadilan mempunyai arti sifat ( perbuatan, perlakuan dsb ) yang tidak berat sebelah ( tidak memihak ). Sedangkan sosial berarti segala sesuatu yang mengenai masyarakat, kemasyarakatan atau

perkumpulan yang bersifat dan bertujuan kemasyarakatan (bukan dagang atau politik). Keadilan sosial pada dasarnya tidak lain daripada keadilan.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dijadikan sebagai penelitian terdahulu berkaitan dengan peneleitian peneliti tentang Critical Policy Analysis Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Tangerang

adalah penelitian yang berjudul Implementasi Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Tengah (Kajian Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah

Nomor 5 Tahun 2009 oleh Afriani Hanna Sagala, Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses implementasi kebijakan penanggulangan

HIV dan AIDS yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan untuk mendeskripsikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kebijakan

penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Jawa Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif.

Hasil penelitian dan pembahasan yang dapat peneliti simpulkan adalah

(57)

dengan kasus penyakit yang ada (pada ibu dan anak), ketetapan pelaksana

kebijakan masih ada yang belum terlibat secara aktif, ketetapan target di mana para penerima kebijakan belum semua mengetahui adanya upaya penanggulangan HIV dan AIDS, belum sinerginya program-program yang dilakukan tiap lembaga,

dan kesiapan agen pelaksana belum optimal dan perlu ditingkatkan, begitu juga dengan kesiapan masyarakat yang kurang. Perbedaan penelitian tersebut dengan

penelitian peneliti adalah fokus penelitian, dimana peneliti lebih menganalisis kritis kebijakan tentang penanggulangan HIV dan AIDS di kota Tangerang,

dengan melihat berbagai pandangan yang berbeda dari pemerintah, pemangku kepentingan, odha, dan pihak lainnya yang relevan, tidak hanya sebatas implementasi kebijakan.

Penelitian yang kedua adalah penelitian yang berjudul Manajemen Pelayanan Penanggulangan HIV/AIDS pada Komisi Penanggulangan AIDS

(KPA) Kota Surakarta oleh Joko Irwanto, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana manajemen pelayanan

penanggulangan HIV/AIDS pada KPA Kota Surakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif.

Hasil penelitian dan pembahasan yang dapat peneliti simpulkan adalah manajemen pelayanan KPA Kota Surakarta dalam penanggulangan HIV/AIDS secara umum sudah baik walaupun dalam pelaksanaannya masih menemui

(58)

yaitu strategi pelayanan, sumber daya pemberi pelayanan, dan system pelayanan.

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian peneliti adalah fokus penelitian, dimana peneliti lebih menganalisis kritis kebijakan tentang penanggulangan HIV dan AIDS di kota Tangerang, dengan melihat berbagai pandangan yang berbeda

dari pemerintah, pemangku kepentingan, odha, dan pihak lainnya yang relevan, sedangkan peneltian tersebut hanya berfokus pada manajemen pelayanan KPA

saja.

Penelitian yang ketiga adalah penelitian yang berjudul Analisis Kebijakan

Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Malang (Studi Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2018 Kabupaten Malang) oleh Diyan Purnomo. Moh. Saleh Soeaidy, Minto Hadi, Jurusan Administrasi Publik,

Fakultas Ilmu Adminitrasi, Universitas Brawijaya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis implementasi kebijakan penanggulangan HIV

dan AIDS di Kabipaten Malang, mendeskripsikan dan menganalisis pemangku kepentingan dan perannya dalam kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Malang, mendeskripsikan dan menganalisis faktor yang mendukung

dan menghambat kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Malang. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif.

Hasil penelitian dan pembahasan yang dapat peneliti simpulkan adalah kebijakan telah dijalankan dengan baik, dengan dukungan kondisi lingkungan yang kondusif, komitmen yang tinggi baik ekskutif, legilatif, dan masyarakat.

(59)

penghamabat yaitu kurangnya koordinasi antar stakeholder, minimnya

penggunaan kondom pada populasi kunci, tingkat mobilitas kelompok berisiko yang tinggi, dan terdeteksi PSK oleh KPA dan LSM melalui facebook dan jejaring sosial lainnya menyebabkan berkembangnya prostitusi secara terselubung.

Perbedaan penelitian dengan penelitian peneliti tersebut sebenarnya tidak lah banyak, bahkan terdapat beberapa persamaan, perbedaannya adalah fokus

penelitian, dimana peneliti lebih menganalisis kritis kebijakan tentang penanggulangan HIV dan AIDS di kota Tangerang, sedangkan penelitian tersebut

berfokus pada analisis kebijakan. Persamaannya adalah melihat kebijakan ini melalui banyak pandangan, tidak hanya satu pandangan oleh pemerintah saja.

Penelitian yang keempat adalah penelitian yang berjudul Analisis

Implementasi Kebijakan Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Sulawesi Utara, oleh Deasy Mangimbo,

Sulaemana Engkeng, Jane M. Pangemanan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sam Ratulangi Manado. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan yang dapat peneliti simpulkan adalah implementasi kebijakan program sosialisasi sudah baik, implementasi kebijakan

program pencegahan melalui transmisi seksual cukup baik, implementasi kebijakan program pengurangan dampak buruk narkoba suntik berjalan cukup baik, akan tetapi program ini bertentangan dengan aturan kepolisian karena

Gambar

Gambar 1.1 Jumlah Kasus HIV-AIDS  di Indonesia yang Dilaporkan Tahun  2005 –
Gambar 1.3
Gambar 1.4 Diskriminasi pada ODHA
Gambar 1.5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pernyataan ini diperjelas oleh Ihsan (2010) yang menyatakan bahwa penarikan kesimpulan secara induktif adalah suatu cara penarikan kesimpulan pada suatu proses

Definisi retribusi daerah menurut Mardiasmo (2011:14) yang juga diambil berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2009, Tentang perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun

kuis interaktif merupakan perangkat lunak yang khusus didesain untuk meningkatkan hasil belajar dengan membuat latihan soal dan di sajikan

Pada metode ini penulis melakukan wawancara secara langsung dengan para guru bidang studi dan para staf TU yang terkait serta dengan para peserta didik, bagaimana cara / metode

Karena nilai signifikansi 0,775 > 0,05 maka tidak terdapat pengaruh pelanggan PLN di kota yang signifikan dengan interaksi model fak- tor kebebasan, faktor kemudahan dan faktor

berjalan dengan efektif dan efisien, kegiatan yang harus dilakukan perusahaan diantaranya : (1) Mengadakan pelatihan pada semua karyawan yang berada di perusahaan

Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis wacana kritis Fairclough yang memadukan kombinasi tradisi analisis tekstual bahasa dalam ruang tertutup, dengan konteks masyarakat

Nilai kehidupan dalam seni merangkai Kembar Mayang ini ditampilkan sebagai media upacara tradisional yang berkaitan dengan daur kehidupan manusia, yang menggambarkan