• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PENCEGAHAN PROLAPS ORGAN PANGGUL. Dr. dr. I Wayan Megadhana, SpOG (K)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UPAYA PENCEGAHAN PROLAPS ORGAN PANGGUL. Dr. dr. I Wayan Megadhana, SpOG (K)"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA PENCEGAHAN PROLAPS ORGAN

PANGGUL

Dr. dr. I Wayan Megadhana, SpOG (K)

BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA / RSUP SANGLAH

DENPASAR

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Prolaps organ panggul (POP) merupakan masalah kesehatan wanita yang umum terjadi di masyarakat terutama wanita pascamenopause dan usia lanjut. Penyebabnya kompleks dan bersifat multifaktorial.Hal ini erat kaitannya dengan penurunan kualitas hidup walaupun tidak mengancam jiwa, tetapi mempengaruhi sendi – sendi kehidupan seperti aktivitas fisik, pekerjaan, keadaan psikologi, hubungan sosial kemasyarakatan dan kualitas hubungan seksual karena menimbulkan dispareunia.Angka kejadiannya terus meningkat sejalan dengan peningkatan harapan hidup wanita.Untuk penanganannya dan perawatannya dibutuhkan biaya tinggi.Oleh karena itu dibutuhkan upaya pencegahan sebelum kejadian prolaps ini terjadi.

Prolaps organ panggul didefinisikan sebagai turunnya organ pelvis (kandung kemih, uterus dan rektum) dari posisi anatomis yang normal berupa penonjolan ke vagina bahkan sampai keluar vagina (Giarenis., 2014). POP terjadi disebabkan karena disfungsi dari otot dasar panggul, ligamentum dan fasia endopelvis. Organ - organ panggul yang dapat terlibat meliputi uterus (uterine prolapse) atau ujung vagina (apical vaginal prolapse), vagina anterior (cystocele), atau vagina posterior (rectocele) (Lazarou, 2010). POP terjadi sekitar 30 – 50% pada wanita usia diatas 50 tahun dan multipara (Tehrani., 2011; Filho., 2013). Berdasarkan pemeriksaan pelvis, didapatkan prevalensi POP bervariasi mulai dari

(3)

30 – 40%. Pada penelitian epidemiologi yang lebih besar didapatkan 6 – 8% wanita yang melaporkan adanya rasa penonjolan dari vagina (Giarenis., 2014). Derajat POP yang berat ditemukan pada wanita dengan usia yang lebih tua, yaitu, derajat I (28 – 32,3%), derajat II (35 – 65,5%), dan derajat III (2 – 6%) (Tsikouras., 2009).

Beberapa penelitian potong lintang secara epidemiologi menunjukkan faktor risiko POP berdasarkan demografi (usia, status pascamenopause), obstetri (paritas, persalinan pervaginam, instrumentasi pervaginam), operasi daerah pelvis (histerektomi, operasi POP), gangguan pencernaan (konstipasi kronik), gangguan jaringan penyokong (Ehlers-Danlos/Benign joint, hypermobility syndrome, Marfan syndrome). pola hidup (obesitas, merokok, penyakit gangguan pernafasan, olahraga yang berlebihan), genetik (riwayat keluarga, kulit putih). Penyebab tersering POP adalah persalinan pervaginam, yang disebabkan adanya trauma pada otot levator ani. Adanya trauma ini memberikan dampak klinis POP dua kali lipat (Giarenis., 2014) dan menurut studi metanalisis persalinan pervaginam penyebab utama POP (Rotveit., 2014).

Wanita yang teridentifikasi POP melalui pemeriksaan fisik, sering bersifat asimptomatis sehingga tidak perlu intervensi. Terapi untuk wanita dengan POPsimptomatis bergantung pada status kesehatan umum pasien, gejala yang dialami,keterbatasan kualitas hidup dan derajat prolaps. Pilihan terapi yang ada meliputi observasi,manajemen non-operatif, dan manajemen operatif. Manajemen operatif bertujuan untukmengembalikan anatomi fisiologis traktus urinarius bagian bawah, usus, dan fungsiseksual (Wu., 2010).

(4)

Mahalnya biaya operasi kasus POP menjadi kendala dalam memperbaiki kualitas hidup seseorang, selain itu dibutuhkan tenaga ahli yang profesional dibidangnya. Subramanian dkk, 2005 meneliti biaya operasi untuk POP mencapai sekitar 80.000 – 140.000 euro (Tehrani., 2011). Berdasarkan hal ini diperlukan upaya pencegahan yang lebih dini, agar POP tidak terjadi dan dapat meminimalkan dampaknya jika terjadi.

Upaya pencegahan terjadinya POP dapat dilakukan dengan berbagai cara. Merencanakan dilakukan operasi sectio cesarea (SC) terutama pada ibu – ibu yang memiliki resiko terjadinya POP, dengan menggunakan sistim skoring (UR-CHOICE) meliputi beberapa faktor risiko seperti: riwayat inkontinens urin sebelum hamil, usia anak pertama, indeks massa tubuh, suku, riwayat keluarga dengan disfungsi organ panggul, berat bayi, tinggi ibu. Pengurangan berat badan merupakan upaya preventif yang berhubungan dengan perbaikan secara subjektif tetapi tidak secara objektif dengan pelvic organ prolapse quantification (POP-Q) (Giarenis., 2014). Upaya menurunkan berat badan dan menjalani pola hidup sehat, menghindari mengangkat benda – benda berat dan mencegah konstipasi merupakan upaya pencegahan POP yang semuanya bertujuan mengurangi tekanan pada otot dasar panggul (Braekken., 2010).

Latihan otot dasar panggul merupakan salah satu upaya pencegahan yang berisiko rendah dan biaya murah, sehingga direkomendasikan. Adapun jenis latihannya adalah senam Kegel(Schorge., 2012; Filho., 2013). Tujuan latihan otot dasar panggul ini adalah meningkatkan resistensi / kekuatan otot dasar panggul, mencegah terjadinya POP, mengurangi gejala gangguan berkemih dan mencegah

(5)

atau mengurangi kebutuhan akan tindakan operasi (Hagen S., 2011). Keberhasilan latihan ini sangat tergantung dari motivasi tiap individu dan dukungan dari tim rehabilitasi. Latihan dasar otot panggul dapat memperbaiki derajat prolaps dan mengurangi keluhan POP (penonjolan vagina dan perasaan berat) (Braekken., 2010). Mouritsen (2005) dengan kelompok studinya memperkirakan sekitar 90.000 wnita di Amerika dapat terhindar dari disfungsi otot dasar panggul dengan angka prevalensinya 25% dengan keluhan utama berupa penonjolan vagina dan rasa berat di vagina. Cochrane review tahun 2011 menyimpulkan adanya bukti kuat sebesar 17% latihan otot dasar panggul memberikan hasil positif dalam pencegahan dan memperbaiki gejala POP (Hagen S., 2011).

Pada POP yang berhubungan dengan atrofi urogenital, sangat memungkinkan diberikan terapi sulih hormon / Hormone Replacement Therapy (HRT) untuk memperbaiki kekuatan ligamentum, otot dan mukosa vagina. Dari beberapa penelitian tampaknya HRT tipe lokal estrogen lebih menjanjikan efeknya (Giarenis., 2014). Kesemua upaya pencegahan POP memberikan hal yang positif dalam menjaga dan mempertahankan kualitas hidup seorang wanita.

(6)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Prolaps Organ Panggul

2.1.1 Definisi Prolaps Organ Panggul

Prolaps Organ Panggul (POP) atau disebut dengan prolaps urogenital adalahturunnya organ pelvis (kandung kemih, uterus dan rektum) dari posisi anatomis yang normal berupa penonjolan ke vagina keluar maupun penekanan dinding vagina. (ACOG., 2007; Kuncharapu., 2010; Giarenis., 2014). POP terjadi disebabkan karena disfungsi dari otot dasar panggul, ligamentum dan fascia. POP menurut Bump, 1996 dibagi menjadi uterus (uterine prolapse) atau ujung vagina (apical vaginal prolapse), vagina anterior (cystocele), atau vagina posterior (rectocele) (Hagen S, 2011).

Gambar 2.1 Organ panggul normal dan tipe prolaps organ panggul. (Woman’s Health Queensland., 2011)

(7)

Gambar 2.2 Tipe prolaps organ panggul sistokel dan rektokel (Woman’s Health Queensland., 2011)

POP terjadi sekitar 30 – 50% pada wanita usia diatas 50 tahun dan multipara (Tehrani., 2011; Filho., 2013). Berdasarkan pemeriksaan pelvis, Women;s Health Initiavite study mendapatkan prevalensi POP 41,1% pada wanita pascamenopause usia 60 tahun keats yang belum histerektomi (Kuncharapu., 2010). Pada penelitian epidemiologi yang lebih besar didapatkan 6 – 8% wanita yang melaporkan adanya rasa penonjolan dari vagina (Giarenis., 2014). Derajat POP yang berat ditemukan pada wanita dengan usia yang lebih tua, yaitu, derajat I (28 – 32,3%), derajat II (35 – 65,5%), dan derajat III (2 – 6%) (Tsikouras., 2009).

Walaupun etiologi POP kompleks dan multifaktorial, beberapa penelitian potong lintang secara epidemiologi menunjukkan faktor risiko POP berdasarkan demografi (usia, status pascamenopause), obstetri (paritas, persalinan pervaginam, instrumentasi pervaginam), operasi daerah pelvis (histerektomi, operasi POP), gangguan pencernaan (konstipasi kronik), gangguan jaringan penyokong ( Ehlers-Danlos/Benign joint, hypermobility syndrome, Marfan syndrome). pola hidup (obesitas, merokok, penyakit gangguan pernafasan, olahraga yang berlebihan), genetik (riwayat keluarga, kulit putih). Penyebab tersering POP adalah persalinan

(8)

pervaginam, yang disebabkan adanya trauma pada otot levator ani. Adanya trauma ini memberikan dampak klinis POP dua kali lipat (Giarenis., 2014) dan menurut studi metanalisis persalinan pervaginam penyebab utama POP (Rotveit., 2014).

Selain persalinan pervaginam, faktor lain yang banyak menyebabkan POP adalah menopause dimana terjadi defisiensi estrogen karena berhubungan dengan usia lanjut. Lang dkk (2009) menemukan secara signifikan menurunnya serum estrogen dan reseptor estrogen di ligametum sakrouterina dan kardinale pada wanita premenopause dengan POP. Pada wanita menopause dan pascamenopause reseptor estrogen bertambah berbanding terbalik dengan kadar serum estrogennya. (Machin., 2011)

2.1.2Anatomi Panggul Wanita

Kekuatan otot dasar panggul sangat bergantung dari kekuatan jaringan penyambung (fasia endopelvis, ligamentum sakrouterina dan ligamentum kardinale) dan persyarafan yang baik (Borello-France., 2007). Kerangka panggul dibentuk oleh tulang sakrum, coccyx dan sepasang tulang panggul, yangmenyatu dibagian depan membentuk simfisis pubis.

(9)

Gambar 2.3 Tulang - tulang panggul beserta ligamen (Barber., 2005) Sakrum dan coccyx merupakanvetebra coccygeal. Kedua vertebra ini bergabung melalui artikulasi simfisial (sendi sakrokoksigeal), yang memungkinkan beberapa gerakan. Pada saat wanita berdiri, spina iliaka anterior superior (SIAS) dan tepi depansimfisis pubis berada pada bidang vertikal.

(10)

Sebagai konsekuensi,pintu atas panggul miring ke arah anterior dan ramus ischiopubis dan hiatus genitalis sejajardengan tanah. Pada posisi tegak, lengkungan tulang pintu atas panggul berada dalam bidangmendekati vertikal. Pada arah ini, tekanan di dalam abdomen dan panggul lebih mengarah ke tulang -tulang panggul dan bukan ke otot-otot atau fasia endopelvic. Otot-otot skeletal dasar panggul meliputi otot-otot levator ani, koksigeus, sfingter ani eksternus, sfingter uretra, dan otot perineum dalam dan superfisial. Otot-ototdasar panggul, khususnya otot-otot levator ani, memiliki peran penting dalam menyokongorgan-organ panggul. Selain itu, otot-otot levator ani berperan juga padasaat buang air kecil(BAK), buang air besar (BAB) dan aktivitas seksual.

Pubococcygeus berawal dari ramus pubis posterior inferior dan berakhir pada organviseral bagian tengah dan anococcygeal raphe. Puborectalis juga berawal dari tulang pubis,tetapi serabut-serabutnya mengarah ke posterior dan membentuk sebuah lembaran yangmengelilingi vagina, rektum, dan badan perineum, membentuk sudut anorektal dan penutuphiatus urogenitalis. Iliococcygeus berawal dari arcus tendineus levator ani (ATLA), yangmerupakan sebuah penebalan berbetuk garis dari fasia yang menutupi obturator internusdari spina ischiaka ke permukaan posterior dari ramus pubis superior ipsilateral. Otot iniberakhir pada garis tengah sampai anococcygeal raphe. Celah antara otot-otot levator ani

Kompleks otot-otot levator ani terdiri dari pubococcygeus (puboviseral), puborectalis, dan iliococcygeus,dimana terdapat uretra, vagina, dan

(11)

rektum disebut dengan hiatus urogenitalis.Penggabungan otot-otot levator ani pada garis tengah disebut dengan levator plate.

Gambar 2.5 Ilustrasi otot-otot dasar panggul. (Barber, 2005)

Sistem penyokong organ panggul terdiri dari fasia endopelvis, otot levator ani (puborektalis, pubokoksigeus dan iliokoksigeus), badan perineum atau perineal body (Lee., 2009).

Pada wanita normal dengan posisi berdiri, letak uretra, dua pertiga atas vagina dan rektum berada dalam aksis horizontal, terutama saat adanya tekanan pada dasar panggul seperti saat persalinan kala II, atau peningkatan tekanan intra-abdominal. Lempeng levator (Levator plate) yang dibentuk oleh otot pubokoksigeus dan otot iliokoksigeus, terletak paralel terhadap organ-organ tersebut dan berfungsi menarik rektum, vagina dan uretra ke anterior dan sebagai penyokong utama organ panggul. Trauma terhadap otot levator ani merupakan awal dari mekanisme terjadinya prolaps uterus (Freeman, 2013).

(12)

Tulang dan jaringan ikat merupakan struktur utama panggul. Jaringan ikat dapat berupaligamentum dan fasia. DeLancey membagi dasar panggul atas 3 level yaitu:

1. Jaringan penyokong panggul proksimal (De Lancey I)

Level I ini merupakan aksis vertikal atas, yang menghubungkan apeks vagina dan serviks pada dinding panggul. Level I terdiri atas komplek ligamentum sakrouterina, ligamentum kardinale dan fasia puboservikal. Kerusakan pada penyokong ini menyebabkan penurunan apeks vagina, uterus, prolaps puncak vagina dan enterokel.

2. Jaringan penyokong panggul tengah (De Lancey II)

Level II berlokasi pada mid-vagina, merupakan aksis horisontal dan tersusun dari ligamentum pubouretra, hubungan jaringan ikat fasia endopelvis dengan arkus tendinea fasia panggul serta superior fasia dengan otot levator ani. Jaringan penyokong panggul tengah berjalan dari spina iskhiadika ke aspek posterior tulang pubis, yang menyokong vesika urinaria, dua pertiga atas vagina dan rektum. Ligamentum pubouretra berasal dari ujung bawah permukaan posterior simfisis pubis dan meluas seperti kipas ke medial yaitu ke mid-uretra dan ke lateral ke dalam otot pubokoksigeus dan dinding vagina. Arkus tendinea fasia panggul merupakan ligamentum horizontal yang berasal dari superior ligamentum pubouretra pada simfisis pubis dan meluas ke spina iskhiadika. Vagina

(13)

dipertahankan pada fasia pelvis arkus tendinea oleh fasianya. Kerusakan pada penyokong mid-pelvis ini menyebabkan sistokel. 3. Jaringan penyokong panggul distal (De Lancey III)

Level III ini merupakan aksis vertikal bawah, yaitu vagina dan uretra dipertahankan pada posisinya oleh fasia endopelvis yang menghubungkan arkustendinea fasia panggul dengan fasia medial otot levator ani (ligamentum uretra eksternal). Otot levator ani (pubokoksigeus dan iliokoksigeus), membran perineum dan perineal body menyusun diafragma penyokong yang menaikkan organ-organ ini. Jaringan penyokong panggul distal berjalan tegak lurus dengan bidang hiatus levator, segitiga urogenital dan anal ikut serta menyokong orientasi vertikal sepertiga bawah vagina, uretra dan anal kanal. Ligamentum uretra eksternal mempertahankan meatus uretra eksternal pada permukaan anterior ramus pubis desenden. Ligamentum ini meluas ke atas menuju klitoris dan ke bawah menuju ligamentum pubouretra.

(14)

Gambar 2.6Ilustrasi axis vagina normal(Ewies dkk., 2006)

2.1.3Faktor risiko prolaps organ panggul

Beberapa faktor risiko yang meningkatkan kejadian POP. Secara garis besarnya faktor risiko dapatdikelompokkan menjadi 2 yaitu faktor risiko yang sudah pasti meningkatkan kejadian POP dan faktor risiko yang berpotensi menyebabkan POP.

Tabel 2.1 Faktor risiko prolaps organ panggul.

Faktor Risiko Pasti Faktor Risiko Potensial

1. Persalinan Pervaginam 2. Peningkatan Usia 3. Obesitas

1. Faktor obstetri

 Kehamilan (terlepas dari cara persalinannya)

 Persalinan forsep

 Perpanjangan pada kala 2 persalinan

 Melahirkan pertama pada usia yang masih muda

 Melahirkan bayi dengan berat > 4500 gram 2. Bentuk dan kecenderungan tulang panggul 3. Riwayat POP dalam keluarga

(15)

5. Pekerja berat 6. Konstipasi

7. Gangguan jaringan ikat

2.1.4 Gejala klinis prolaps organ panggul

Perempuan dengan POP akan mengalami lebih dari satu gejala. Prevalensi simptomatik POP dilaporkan sekitar 3 – 28% (Braekken., 2010). Gejala yang timbul digambarkan dengan adanya rasa menonjol atau terasa berat seketika didalam vagin, perasaan tertekan pada daerah panggul, serta keluhan lain termasuk keluhan pada kandung kemih dan perut. Beberapa kasus POP menunjukkan keluhan gangguan berkemih jika karena sistokel, konstipasi jika rektokel dan dispareunia serta vagina yang kering jika prolaps uterus pada wanita pascamenopause. Gejala – gejala ini menurunkan kualitas hidup seorang wanita dengan POP (Lee., 2009; Braekken., 2010; Kuncharapu., 2010).

Tabel 2.2 Gejala klinis wanita dengan POP.

Vagina

 Adanya perasaan penonjolan dan penurunan organ panggul  Rasa berat dan tekanan di daerah vagina

Saluran kencing

 Inkontinensia urin  Sering kencing

 Tidak bisa menahan kencing

(16)

 Rasa tidak tuntas saat kencing  Retensio urin

Saluran pencernaan

 Inkontinensia flatus dan feses yang lembek atau cair  Rasa tidak tuntas saat BAB

 Peneranan selama BAB  Evakuasi manual selama BAB  Sensasi obstruksi selama defekasi

Seksual

 Dispareunia

2.1.5Standarisasi stadium prolaps uterus berdasarkan klasifikasiPelvic Organ Prolapse Quantification(POP-Q)

The International Continence Society, The American Urogynecologic Society, dan The Society of Gynecologic Surgeons (1996), telah menyepakati bahwa, Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q) sebagai suatu sistem terstandarisasi untuk mendiskripsikan prolaps uterus (Chen, 2007; Schorge dkk., 2012). Stadium beratnya prolaps uterus diukur dalam sentimeter dengan himen sebagai titik pandang. Titik di proksimal himen diperhitungkan negatif (misal -3), di distal himen diperhitungkan positif (misal +3), dan titik setinggi himen merupakan 0 cm. Sistem POP-Q terdiri dari 6 titik penting.

(17)

Gambar 2.7Standarisasi stadium prolaps uterus berdasarkan klasifikasi POP-Q. Diagram ini menunjukkan posisi anatomi POP-Q termasuk enam tempat yang meliputi kompartemen anterior (Aa, Ba), pertengahan (C, D), dan posterior (Ap,

Bp) dengan hiatus genitalia (gh), perineal body (pb), dan panjang vagina secara keseluruhan (tvl)

POP-Q adalah hasil adaptasi dari sistem Baden dan Walker dengan mengukur 9 tempat untuk membentuk sebuah profil vagina. Titik pandangnya adalah himen dan pengukurannya dalam sentimeter ditentukan dengan ketegangan maksimal. Dipilihnya himen sebagai titik pandang karena pengukuran dari himen lebih tepat dibandingkan dengan pengukuran dari introitus. Pengukuran dalam sentimeter ke dalam vagina digambarkan dengan nilai negatif, atau jika prolaps meluas ke luar cincin himen, digambarkan dengan bilangan positif (Schorge dkk., 2012).

(18)

Gambar 2.8Skema POP-Q(Schorge., 2012).

Dua titik yang berbeda diukur di anterior, apikal, dan posterior vagina dan juga pada perineum. Titik pertama pada dinding anterior vagina (titik Aa) adalah 3 cm di sebelah proksimal meatus uretra eksterna dan titik kedua (titik Ba) adalah titik yang mewakili sebagian besar bagian dinding anterior vagina. Titik pertama pada dinding posterior (titik Ap) adalah 3 cm di sebelah proksimal dari himen posterior dan titik kedua (titik Bp) mewakili sebagian besar dinding posterior vagina. Penurunan serviks (titik C) dan forniks posterior (titik D) diukur dari himen. Jika telah dilakukan histerektomi total, hanya penurunan vaginal cuffyang diukur. Pada perineum, dilakukan pengukuran titik tengah dari jarak antara meatus uretra eksterna dengan himen posterior, yang diistilahkan dengan hiatus genitalia (gh), dan diukur juga titik tengah dari jarak antara himen posterior dengan pembukaan mid-anal yang diistilahkan dengan perineal body (pb). Panjang vagina (tvl) diukur dengan prolaps reduced dan hanya diukur pada keadaan relaksasi.Kesembilan ukuran tersebut dapat ditulis dalam sebuah stadium

(19)

dan untuk menyederhanakan serta mendeskripsikan hasil yang didapat maka populasi kemudian dikelompokkan kedalam stadium 0-4.Sistem klasifikasi POP-Q sudah divalidasi dan dapat digunakan sebagai standar pemeriksaan prolaps uterus (Chen, 2007; Schorge dkk., 2012).

Tabel 2.3 Stadiumprolaps organ panggul (Chen, 2007; Schorge dkk., 2012). Stadium 0 Tidak terlihat adanya prolaps. Titik Aa, Ap, Ba, Bp semuanya

-3cm dan titik C antara panjang vagina secara keseluruhan (TVL) dan (TVL -2) cm

Stadium I Bagian yang paling distal dari prolaps > 1cm di atas himen Stadium II Bagian yang paling distal dari prolaps ≤ 1cm di bagian

proksimal atau distal terhadap himen

Stadium III Bagian yang paling distal dari prolaps >1cm di bagian bawah himen, namun tidak lebih dari 2cm dibandingkan dengan panjang vagina secara keseluruhan

Stadium IV Eversi vagina komplit sampai dengan hampir komplit. Bagian yang paling distal dari prolaps mengalami protrusi sampai (TVL -2) cm

(20)

2.2 Metode Skrining POP

Skrining POP menjadi hal yang penting dalam menunjang upaya pencegahan POP. Dengan skrining yang akurat maka pencegahan dapat dilakukan lebih dini dan tepat. Konsensus metode skrining sampai saat ini belum ada yang baku menurut WHO (WHO., 1989). Metode yang disarankan dari WHO meliputi empat pertanyaan, yaitu: 1. Apakah anda merasakan penonjolan pada vagina ? 2. Apakah anda merasa ada yang membebani ? 3. Apakah anda merasa tidak nyaman BAB ? 4. Apakah anda perlu memanipulasi BAB atau BAK ? Adapun metode lain yaitu: oleh Tehrani dkk (2011) dengan Pelvic Organ Prolapse Simple Screening Inventory (POPSSI). Metode ini memiliki sensitivitas 45,5% dan spesifisitas 87,4% dapat mengidentifikasi POP pada populasi umum. Tegerstedt dkk (2005) melakukan metode skrining dimana sensitivitasnya 66,5% pada pupolasi umum dengan pertanyaan skrining yang memberikan nilai valid tinggi mengenai penonjolan vagina. Lukacz dkk (2005) pertanyaan skrining dengan validitas tinggi berkaitan sensasi adanya sesuatu yang keluar dari vagina. Dengan metode skrining ini dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap POP.

2.3 Upaya Pencegahan POP

Kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan disfungsi otot dasar panggul meningkat seturut dengan bertambahnya usia harapan hidup pada wanita. Upaya pencegahan terjadinya POP menjadi hal yang terbaik karena biaya rekonstruksi menurut beberapa penelitian sangat mahal dan tidak menutup

(21)

kemungkinan akan berulang kejadian POP, serta memerlukan tenaga ahli yang profesional.

Faktor etiologi utama terjadinya POP diduga kuat karena persalinan pervaginam yang menciderai otot dasar panggul serta trauma neuropatik melalui peregangan yang maksimal baik saat mengandung dan melahirkan (Jelovsek., 2007; Lee., 2009; Braekken., 2010; Freeman., 2013; Giarenis., 2014; Rortveit., 2014). Sebuah Family Planning Study tahun 1997, dengan mengikuti perjalanan 17.000 wanita selama 17 tahun, didapatkan wanita yang melahirkan satu anak memiliki risiko empat kali menderita POP, wanita dengan dua anak risiko menjadi delapan kali dan tiga anak menjadi sepuluh kali menderita POP, sehingga upaya pencegahan dengan merencanakan sectio cesarean menjadi salah satu upaya yang dapat ditempuh, walaupun masih menuai kontroversi (Machin., 2011; Ecker., 2013).

Pada penelitian Swift., dkk (2005) menyatakan bahwa obesitas dengan BMI > 25 memiliki risiko dua kali terjadinya POP karena menyebabkan peningkatan tekanan intrabdominal sehingga menyebabkan disfungsi otot dasar panggul. Wanita dengan overweight Indeks Massa Tubuh (IMT) 25 – 20 kg/m2 memiliki risiko 2,5 kali menderita POP serta wanita dengan obese IMT > 30 kg/m2 memiliki risiko 2,56 kali menderita POP (Jelovsek., 2007; Greer., 2008). Angka ini sama dengan risiko peningkatan tindakan operasi POP. Upaya menurunkan berat badan dan menjalani pola hidup sehat, menghindari mengangkat benda – benda berat dan mencegah konstipasi merupakan upaya pencegahan POP yang semuanya bertujuan mengurangi tekanan pada otot dasar

(22)

panggul (Braekken., 2010). Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan latihan otot dasar panggul dengan senam Kegel dan menggunakan hormone replacement therapy(HRT) / terapi sulih hormon.

2.3.1Latihan otot dasar panggul

Latihan otot dasar panggul merupakan salah satu upaya pencegahan yang berisiko rendah dan biaya murah, sehingga direkomendasikan.Adapun jenis latihannya adalah senam Kegel, yang diperkenalkan pertama kali oleh Arnold Kegel tahun 1948. (Schorge., 2012; Filho., 2013). Tujuan latihan otot dasar panggul ini adalah meningkatkan resistensi / kekuatan otot dasar panggul, mencegah terjadinya POP, mengurangi gejala gangguan berkemih dan mencegah atau mengurangi kebutuhan akan tindakan operasi (Hagen S., 2011). Keberhasilan latihan ini sangat tergantung dari motivasi tiap individu dan dukungan dari tim rehabilitasi.

Pada beberapa pusat penelitian randomised control trials (RCTs) pada wanita prolaps stadium I – III dengan latihan otot dasar panggul one-to-one selama 16 minggu sampai 6 bulan menunjukkan hasil yang positif memberikan perbaikan gejala dan stadium POP-Q sekitar 19 – 27% (Braekken., 2010). Penilaian kemajuan latihan otot dasar panggul ini dinilai melalui ultrasonografi dan disimpulkan terjadi peningkatan volume otot, berkurangnya hiatus otot levator ani dan meningkatnya resting position rektum dan kandung kemih. Latihan dasar otot panggul dapat memperbaiki derajat prolaps dan mengurangi keluhan POP (penonjolan vagina dan perasaan berat) (Braekken., 2010).

(23)

Mouritsen (2005) dengan kelompok studinya memperkirakan sekitar 90.000 wnita di Amerika dapat terhindar dari disfungsi otot dasar panggul dengan angka prevalensinya 25% dengan keluhan utama berupa penonjolan vagina dan rasa berat di vagina. Menurut Cochrane review tahun 2011 menyimpulkan adanya bukti kuat sebesar 17% latihan otot dasar panggul memberikan hasil positif dalam pencegahan dan memperbaiki gejala POP (Hagen S., 2011).

2.3.1.1Tehnik latihan otot dasar panggul Kegel / Kegel Exercise

Latihan otot dasar panggul pertama kali dikembangkan tahun 1948 oleh Dr. Arnold Kegel untuk perbedaan kekuatan kontraksi otot dasar panggul sesudah mengatasi stres inkontinensia, dapat digunakan untuk menguatkan otot dasar panggul. Latihan tersebut berupa latihan otot dasar panggul otot levator ani yang bekerja dibawah kontrol yang selanjutnya dikenal sebagai Kegel exercise. Latihan ini berhubungan dengan berbagai perubahan yang terjadi pada kekuatan otot dasar panggul seperti sphincter uretra.Proses ini meningkatkan tekanan atau tahanan untuk menutup uretra sehingga dapat mencegah pengeluaran urin di luar kontrol. Keistimewaan latihan ini adalah sangat mudah, tidak memerlukan ruang yang luas, dapat dilakukan dalam berbagai posisi, saat perjalanan, bekerja atau istirahat (IUGA., 2011; Filho., 2013).

(24)

Gambar 2.10 Keuntungan senam Kegel.

Cara melakukan senam Kegel mudah dan dapat dilakukan dalam berbagai posisi baik terlentang, duduk atau berdiri dan di tempat manapun. Apabila dilakukan dengan posisi berdiri maka berdirilah dengan tegap, tulang punggung lurus dan jaga bahu tidak lunglai. Jika melakukan dengan posisi terlentang, berbaringlah dalam posisi yang rileks, letakkan tangan dilantai, pastikan pikiran dalam keadaan santai. Cara melakukan senamnya persis saat menahan air seni dan menahan buang angin pada waktu bersamaan. Fokuskan pikiran pada area vagina dan anus lalu rapatkan/jepit, tahan selama 5 detik lalu lepaskan sambil membuang nafas. Lakukan hal tersebut berulang – ulang dengan frekuensi lama menahan semakin ditingkatkan hingga 10 detik. Awali dengan frekuensi latihan kecil, yaitu dua kali seminggu dengan tiga kali tiap harinya, sebanyak 3 set dengan 8 – 12x kontraksi setiap seri. Semakin rutin melakukan senam Kegel, maka semakin cepat dirasakan manfaatnya (IUGA., 2011).

Kegel exercise sering dikombinasi dengan teknik biofeedback dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Teknik biofeedback dapat merubah suatu

(25)

kejadian kedalam bentuk signal visual ataupun auditori kemudian signal ini dikembalikan kepada pasien. Dengan teknik biofeedback pasien dapat belajar bagaimana cara memanipulasi dan mengembalikan pada keadaan fisiologis dalam tubuhnya sendiri. Tingkat keberhasilan latihan otot dasar panggul berbeda-beda antara 40 sampai 90% (Braekken., 2010).

Gambar 2.11 Alat Biofeedback

2.3.2Hormone replacement therapy (Terapi sulih hormon)

Hormone replacement therapy (HRT)adalah suatu terapi yang umumnya diberikan pada pasien yang sudah menopause dengan keluhan gejala menopause. Disisi lain menurut Ismail Sl dkk (2010) penggunaan HRT dapat diberikan sebagai upaya pencegahan POP, karena POP erat hubungannya dengan atrofi urogenital, sehingga memungkinkan estrogen dan konjugasinya digunakan untuk memperbaiki dan menguatkan ligamen, otot dan mukosa dari vagina.

Gejala menopause seperti:Hot flushes, keringat malam hari, kekeringan vagina, menurunnya libido, Stress Urinary Incontinence, osteoporosis. Pada

(26)

pasien yang akan menggunakan terapi sulih hormon, terlebih dahulu dianjurkan dilakukan pemeriksaan ginekologi dan melakukan pap smear, serta pemeriksaan USG payudara dan mammografi (Baziad A., 2008)

Kontraindikasi terapi sulih hormon (Smith., 2010) : 1. Kanker payudara atau riwayat kanker payudara 2. Kanker endometrium

3. Perdarahan pervaginam yang belum diketahui sebabnya. 4. Hipertensi

5. Kerusakan hati / Cirrhosis 6. Riwayat stroke

7. Tromboemboli, tromboflebitis aktif. 8. Hiperlipidemia herediter

9. Meningioma (untuk progesteron)

Terapi sulih hormon memerlukan perhatian terhadap beberapa hal berikut (Smith., 2010) :

1. Hipertensi dengan / tanpa pengobatan 2. Migrain

3. Varises 4. DM 5. Obesitas

6. Tumor hati atau batu empedu 7. Mioma

(27)

9. Endometriosis 10. Herpes gestational 11. Keganasan ovarium 12. Epilepsi

13. Anemia Sickle Cell

14. Asma bronkiale, MS, SLE, tetanus.

Kelebihan terapi sulih hormon: 1. Meminimalisasi kejadian patah tulang 2. Mengurangi risiko kanker colon / rectum Kekurangan / risiko: 1. Meningkatkan kejadian stroke

2. Meningkatkan kejadian emboli / kekentalan darah 3. Meningkatkan kejadian serangan jantung

4. Meningkatkan kejadian kanker payudara Prinsip dasar pemberian terapi sulih hormon adalah (Baziad A., 2008) :

1. Wanita yang masih memiliki uterus, pemberian estrogen harus selalu disertai dengan progesteron dengan tujuan penambahan untuk mencegah kanker endometrium.

2. Untuk wanita yang sudah tidak memiliki uterus, cukup hanya dengan estrogen saja dan diberikan kontinu (tanpa jeda).

3. Pada wanita perimenopause yang masih haid dan masih menginginkan haid, terapi diberikan sekuensial. Pada pemberian sekuensial, progesteron harus diberikan 10 – 14 hari.

(28)

4. Pada wanita pescamenopause yang masih menginginkan haid, terapi diberikan sekuensial. Apabila dengan sekuensial tidak terjadi haid, maka pemberian diberikan secara kontinu saja.

5. Pada wanita pescamenopause yang tidak menginginkan haid, terapi dapat diberikan kontinu.

6. Jenis estrogen yang digunakan adalah jenis alamiah (Estradiol, Estron dan Estriol), jenis progesteron yang diberikan adalah yang mirip dengan progeterogen alamiah.

7. Mulailah selalu dengan dosis rendah.

8. Pada wanita dengan gangguan libido, estrogen dapat dikombinasikan dengan androgen, atau diberikan terapi sulih hormon yang salah satu komponennya bersifat androgenik.

Cara pemberian HRT dapat dilakukan berbagai cara, yaitu (Baziad., 2008): a. Pemberian secara oral.

Pemberian HRT yang paling dianjurkan adalah secara oeal.Sebaiknya pemberian ini bersamaan saat makan atau perut tidak kosong. Makan akan menstimilasi aktivitas empedu dan terjadi pengeluaran estradiol konjugasi ke dalam empedu. Dari empedu estradiol konjugasi masuk ke usus untuk dihidrolisis dan kemudian kembali lagi kedalam serum.Keuntungan pemberian oral adalah estrigen dapat memicu sintesis HDL di hati dan pemebntukan somatomedin yang berguna utnutk resorbsi kalsium di usus.Kerugiannya dapat membebani hati dan memicu sintesis fator

(29)

pembekuan darah di hati.Efek samping tersering yaitu keluhan gastrointestinal.

b. Pemberian secara transdermal.

Dapat diberikan berupa plester / koyok atau berupa jel.Setiap plester mengandung 50 – 100 mcg estradiol.Ditempelkan pada kulit dan diganti tiap minggu.Pada wanita yang masih memiliki uterus digunakan yang mengandung progesteron juga. Bagian kulit yang dapat ditempelkan yaitu: daerah bokong atas dengan kondisi kulit bersih, kering dan tidak ada luka. Untuk jel, dapat dioleskan pada bagian perut, paha atas, tangan dan bahu.Jel digunakan setiap hari dan tunggu sekitar 2 menit sebelum mengenakan baju. Pemberian transdermal tidak terjadi metabolisme di hati dn di usus sehingga tidak membebani hati dan tidak menimbulkan keluhan gastroinstestinal. Pemberian ini cocok untuk pasien dengan kelainan hati, empedu, hipertensi atau DM.

c. Pemberian melalui semprot hidung.

Dosis pemberian yang dianjurkan adalah 300 mcg (2 kali semprot) per hari.Satu kali semprot pada setiap lubang hidung. Digunakan pada waktu sama setiap harinya. Setelah 2 sampai 3 kali pemakian tidak memberikan hasil, maka dosis dapat dinaikkan menjadi 450 mcg (3 kali semprot) ayau 600 mcg (4 kali semprot). Progesteron yang diberikan 10 – 14 hari.

d. Pemberian dengan susuk (Implan).

Terapi dengan susuk tidak diminati karena memerlukan tindakan invasif, sehingga jarang digunakan.

(30)

e. Pemberian pervaginam.

Pemberian dalam bentuk krim vagina mengandung estradiol maupun estriol atau cincin vagina. Dapat dijumpai kadar estradiol yang tinggi dalam serum karena estrogen tersebut diserap sangat cepat oleh mukosa vagina. Kadarnya jauh lebih tinggi dibandingkan pemberian dengan oral sehingga tetap memiliki efek sistemik.Pemberian krim dengan estriol, tidak memiliki efek sistemik dan tidak perlu kombinasi dengan progesteron.

f. Pemberian sublingual.

Pemberian melalui sublingual diperoleh kadar serum estradiol yang tinggi akibat resorpsi yang sangat baik oleh mukosa sublingual.

g. Pemberian intramuskular.

Pemberian dalam bentuk depoestrogen lebih dianjurkan bagi wanita yang tidak memiliki uterus.

Tabel 2.4 Jenis sediaan estrogen alamiah yang dianjurkan untuk HRT (Baziad., 2008).

(31)
(32)

Efek samping terapi sulih hormon (Baziad A., 2008., Smith., 2010) :

1. Nyeri payudara, disebabkan dosis estrogen yang terlalu tinggi atau dosis progesteron yang terlalu tinggi (jarang). Turunkan dosis estrogen dahulu, apabila masih nyeri turunkan progesteron, apabila masih nyeri hentikan pemberian. Berikan kalsium dan vitamin D3.

2. Peningkatan berat badan, bersifat sementara, apabila mengganggu dosis progesteron dapat diturunkan dan melakukan olahraga.

3. Keputihan dan sakit kepala, disebabkan dosis estrogen yang terlalu tinggi, menurunkan dosis, atau dosis estrogen tetap, tetapi dosis progesteron dinaikkan.

4. Perdarahan. Keluhan tersering yang menyebabkan pasien tidak mau atau memberhentikan penggunaannya. Pemberian sekuensial selalu terjadi

(33)

withdrawal bleeding (70 – 90%) merupakan hal normal, terkait dengan progesteronnya. dengan menaikkan dosis progesteron perdarahan dapat dicegah.

5. Penggunaan estrogen sistemik lebih dari 5 tahun dapat meningkatkan risiko kanker payudara, sehingga evaluasi harus terus dilakukan.

(34)
(35)

Table 2.7 Preparat progesteron.

Rute Obat Nama Dagang Nama Generik Dosis Tersedia Oral Apo-megestrol Megestrol acetate 40 mg

160 mg Gen-Medroxy Novo-Medrone Medroxyprogesterone acetate 2.5 mg 5 mg 10 mg Megace Megestrol acetate 40 mg 160 mg Micronor Norethindrone 0.35 mg Norlutate Norethindrone acetate 5 mg Prometrium Micronized progesterone 100 mg Provera Medroxyprogesterone acetate 2.5 mg 5 mg 10 mg

(36)

BAB III RINGKASAN

Prolaps organ panggul (POP) adalah turunnya organ – organ yang mengisi daerah panggul yaitu: uterus, kandung kemih dan rektum, dari posisi anatomis yang normal masuk ke vagina atau sebagian sekitar 2% sampai menonjol keluar dari vagina. Prevalensi prolaps organ panggul secara epidemiologi berkisar 30 – 45% pada wanita usia diatas 50 tahun atau dengan status pascamenopause. Prolpas organ panggul dapat dibagi menurut tipenya, yaitu: prolaps uterus, prolaps dinding anterior vagina yaitu kandung kemih (sistokel) dan prolaps dinding posterior vagina yaitu rektum (rektokel).

Kekuatan organ panggul terletak pada sistem penyokong organ panggul yang terdiri dari fasia endopelvis, otot levator ani (puborektalis, pubokoksigeus dan iliokoksigeus), ligamentum sakrouterina, ligamentum kardinal dan badan perineum atau perineal body.Penyebab terjadinya POP bersifat kompleks dan multifaktorial. Adapun faktor penyebabnya meliputi: demografi (usia, status pascamenopause), obstetri (paritas, persalinan pervaginam, instrumentasi pervaginam), operasi daerah pelvis (histerektomi, operasi POP), gangguan pencernaan (konstipasi kronik), gangguan jaringan penyokong ( Ehlers-Danlos/Benign joint, hypermobility syndrome, Marfan syndrome). pola hidup (obesitas, merokok, penyakit gangguan pernafasan, olahraga yang berlebihan), genetik (riwayat keluarga, kulit putih). Kendati demikian faktor utama penyebab POP sampai saat ini disebabkan persalinan pervaginam dimana terjadi trauma

(37)

pada otot – otot dasar panggul (muscle trauma) berupa peregangan maksimal dan penekanan keberadaan bayi dan cedera pada persyarafan (neuropathy injury) baik saat mengandung maupun saat persalinan dengan tindakan mengedan.

Upaya pencegahan menjadi jawaban utama untuk mencegah terjadinya POP, ini dikarenakan biaya operasi POP sangat besar, memerlukan tenaga yang profesional serta rekurensi POP cukup besar sekitar 13% pasien akan kembali dioperasi dalam 5 tahun kemudian. Adapun upaya pencegahan dapat berupa perencanaan sectio cesarea pada pasien yang memiliki indikasi, mengurangi berat badan dengan menjalani pola hidup sehat karena dengan berat badan ideal maka akan mengurangi tekanan dan trauma pada otot dasar panggul, melakukan secara teratur senam Kegel untuk memperkuat otot dasar panggul dan pemberian terapi Hormone Replacement Therapy (HRT) berupa estrogen dan konjugasinya yang akan memperkuat ligament, otot dan mukosa vagina. Ada beberapa bentuk sediaan yang dapat digunakan terutama yang sesuai dengan kenyamanan penggunanya.

(38)

DAFTAR PUSTAKA

ACOG Committee on Practice Bulletins—Gynecology. ACOG Practice Bulletin No. 85: Pelvic organ prolapse. Obstet Gynecol. 2007; 110(3):717-729.

Baziad Ali., 2008. Pemberian Terapi Sulih Hormon. Endokrinologi Ginekologi. Edisi ketiga.Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 124-133.

Borello-France DF, Handa VL,Brown MB, et al; for the Pelvic FloorDisorders Network. Pelvic-floormuscle function in women with pelvicorgan prolapse. Phys Ther.2007;87:399–407.

Brækken IH, Majida M, Ellström Engh M, et al. Can pelvic floor muscle training reverse pelvic organ prolapse and reduce prolapse symptoms?An assessor-blinded, randomized, controlled trial. Am J Obstet Gynecol 2010;203:170.e1-7.

Brækken IH, Majida M, Ellstro¨m Engh M, Holme I, Bø K. Pelvic floor function is independently associated with pelvic organ prolapse. BJOG 2009;116:1706– 1714.

Chen B, Wen Y, Polan ML (2004) Elastolytic activity in women with stress urinary incontinence and pelvic organ prolapse. Neurourol Urogyn 23: 119-126.

Filho Silva et al. Pelvic floor: prolapse and urinary incontinence. Fisioter Pesq. 2013;20(1):90-96.

(39)

Freeman R. Can we prevent childbirth-related pelvic floor dysfunction?. BJOG 2013;120:137–140.

Giarenis I and Robinson D. Prevention and management of pelvic organ prolapse. F1000Prime Reports 2014, 6:77.

Greer W.J, Richter H.E, Bartolucci A.A, et al. Obesity and pelvic floor disorders: a review of theliterature. Obstet Gynecol. 2008 August ; 112(2 Pt 1): 341–349.

Hagen S, Stark D. Conservative prevention and management of pelvic organ prolapse in women. Cochrane Database ofSystematic Reviews 2011, Issue 12.

IUGA.Pelvic Floor Exercise. Available at: http://www.iuga.org. Last updated: 2011.

Jelovsek J.E, Maher C, Barber M. D. Pelvic organ prolapse. Lancet 2007; 369: 1027–38.

Kuncharapu I, Majeroni B.A, Johnson D. W. Pelvic organ prolapse.Am FamPhysician. 2010;81(9):1111-1117, 1119-1120.

Lazarou G. Pelvic Organ Prolapse.Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/276259-overview. Last Updated: Dec 24, 2014.

Lee J. The menopause: effects on the pelvic floor, symptoms and treatment options. Nursing Times. 2009; 105: 48, 22-24.

(40)

Machin S.E and Mukhopadhyay S. Pelvic organ prolapse: review of the aetiology, presentation, diagnosis and management. Menopause Int. 2011; 17: 132-136.

Rørtveit G dan Hannestad Y. S. Association between mode of delivery and pelvic floor dysfunction. Tidsskr Nor Legeforen nr. 19, 2014; 134: 1848 – 52.

Schorge JQ,Schaffer JI,Halvorson LM, Hoffman BL,Bradshaw KD, Cunningham FG. Williams Gynecology. In: Pelvic Organs prolapsed. The McGraw-Hill Companies,inc.2012;p. 633 – 655.

Smith A. L dan Wein A. J. Estrogen Replacement Therapy for the Treatment of Postmenopausal Genitourinary Tract Dysfunction.Discov Med 2010 (55):500-10.

Tehrani F.R, HashemiS, Simbar MdanShiva N. Screening of the pelvic organ prolapse without a physical examination; (a community based study). BMC Women’s Health 2011, 11:48.

Women’s Health Queensland Wide Inc. Genital Prolapse. Available at:

Gambar

Gambar 2.1 Organ panggul normal dan tipe prolaps organ panggul.
Gambar 2.2 Tipe prolaps organ panggul sistokel dan rektokel (Woman’s Health
Gambar 2.3 Tulang - tulang panggul beserta ligamen (Barber., 2005)
Gambar 2.5 Ilustrasi otot-otot dasar panggul. (Barber, 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu, ketika istilah fundamentalisme disematkan kepada gerakan Islam politik yang seringkali diwarnai dengan aksi kekerasan dan teror, maka tidak bisa secara

Untuk masuk ke rumah panggung, kita harus menggunakan tangga yang terbuat dari kayu atau batu bata.. Tangga utama berada di depan rumah dihubungkan ke serambi

memberi definisi tentang komunikasi antarbudaya sebagai satu bentuk komunikasi yang melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya cukup

- Kualitas audit tidak terbukti dapat mengurangi terjadinya praktik manajemen laba melalui clas- sification shifting dikarenakan tidak ditemukan- nya pengaruh positif operasi

Laba bersih BNI tersebut terbentuk berkat Pendapatan Bunga Bersih (NII) yang tumbuh 7.5% dari Rp21.87 triliun pada Kuartal III 2016 menjadi Rp23.51 triliun pada Kuartal III

Untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan, perseroan menganggarkan capex sebesar Rp5.8 miliar yang akan dibiayai dari hasil operasional perseroan.. Perseroan

Persamaan yang berikut menunjukkan tindak balas antara asid hidroklorik dengan natrium karbonat. Calculate the percentage of nitrogen by mass in

Guru pamong yang ditunjuk untuk membimbing praktikan selama melaksanakan PPL 2 di SMA Negeri 12 Semarang adalah guru mata pelajaran Bahasa Jepang yang berkompeten serta memiliki