• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDLIKAN PERILAKU KRIMINAL DALAM PERILAKU MENYIMPANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KEDUDLIKAN PERILAKU KRIMINAL DALAM PERILAKU MENYIMPANG"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEDUDLIKAN PERILAKU KRIMINAL DALAM PERILAKU MENYIMPANG A Pengertian Perilaku Menyimpang

Pada bagian ini akan dikemukakan serangkaian uraian mengenai fenomena perilaku yang sejak dahulu hingga saat ini dan mungkin sampai saat-saat mendatang selalu sulit untuk dilenyapkan dari kehidupan manusia. Sekalipun di dalam kehidupan manusia sudah didapati berbagai sarana pengendali kehidupan sosial yang berujud kebudayaan, nilai-nilai sosial dan norma sosial, namun yang namanya penyimpangan atau perilaku menyimpang itu selalu saja terjadi.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan penyimpangan atau perilaku menyim-pang, dapat kiranya dikemukakan beberapa pengertian sebagai berikut :

Dalam konteks Sosiologi, perilaku menyimpang diartikan sebagai : Perilaku yang belum dan atau tidak disepakati bersama, atau merupakan perilaku yang belum atau tidak mencapai kesepakatan umum.

Delos H. Kelly dan kawan-kawan, dalam tulisannya berjudul "DEVIANT Behavior A Texts-Reader in the Sociology of Deviance : 1989), menyatakan bahwa ada dua pendapat mengenai penyimpangan atau perilaku menyimpang. Pertama,

adalah beberapa pendapat yang menyatakan bahwa penyimpangan atau perilaku menyimpang itu meliputi perilaku pembunuhan dan pemerkosaan. Sedangkan yang

Kedua,adalah sebagaian lain yang berpendapat bahwa penyimpangan atau perilaku menyimpang meliputi pelacuran, penganiayaan terhadap anak-anak, pemukulan terhadap istri dan homoseksual.

Dengan memperhatikan motivasi dibalik perilaku menyimpang, beberapa di antara kita menempatkan kesalahan pada keluarga, sementara pihak lain mengutamakan faktor genetik atau faktor lingkungan sebagai pemicunya, khususnya kemiskinan.

Sementara itu Skipper beserta kawan, Skipper; dalam Deviance, Voices from the margin, 1981, mengawali tulisannya dengan pernyataan aksiomatik, bahwa sangatlah tidak mungkin, suatu kelompok dapat bertahan hidup tanpa keberadaan peraturan atau norma-norma tertentu, baik bagi kelompok kecil seperti : Keluarga maupun kelompok besar setingkat bangsa.

Mengapa demikian, karena norma-norma akan menjadi pentunjuk bagi anggota masyatakat untuk berperilaku, dan norma-norma akan mengarahkan

(2)

mengenai perilaku macam apa yang patut dilakukan dan perilaku macam apa yang tidak patut dilakukan.

Sudah barang tentu, untuk sebagian, norma-norma tersebut disertai dengan sangsi-sangsi, agar segenap anggota masyarakat bersedia untuk mematuhinya. Inilah yang dimaksudkan sebagai fungsi norma sebagai faktor penguat keberadaan kelompok.

Untuk memahami mengenai perilaku macam apa yang patut dinyatakan sebagai perilaku menyimpang, atau faktor-faktor apa yang diyakini sebagai penyebab penyimpangan, haruslah lebih dulu di fahami mengenai konsep penyimpangan atau perilaku menyimpang, dalam kaitannya dengan proses interaksi sosial yang berkesinambungan, sehingga penyimpangan menjadi kenyataan umum.

Untuk itu, ada beberapa hal berikut ini yang perlu dicatat : (1) Beberapa faktor penentu kategori menyimpang (seperti : Ussages, Folkways, Mores dan Law) haruslah diciptakan; (2) setiap orang harus dipandang sebagai subyek potensial pelaku perilaku menyimpang atau perilaku yang tergolong kategori pelanggaraan dan (3) seseorang harus mencoba untuk memperkuat diri untuk menghindarkan diri dari pelanggaran yang tergolong dalam kategori penyimpangan.

Apabila hal di atas tidak terpenuhi atau apabila kemauan individual berhasil meniadakan kekuatan-kekuatan di sarana pengendali sosial di atas, maka disitulah perilaku pelanggaran atau penyimpangan sosial telah tumbuh.

Untuk dapat menentukan apakah sesuatu perilaku itu tergolong ke dalam perilaku menyimpang ataukah bukan, sangatlah berkaitan dengan keberadaan faktor pembatasnya, dalam hal ini adalah keberadaan: norma sosial, apakah berupa Law, Mores, Folkways maupun Usages.

Walaupun sangat disadari bahwa sarana pengendali di atas, pada satu sisi ada yang bersifat general, dalam arti berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, dengan tidak mengenal tempat dan waktu, akan tetapi di sisi lain ada juga yang bersifat kedaerahan atau hanya berlaku untuk daerah-daerah tertentu saja. Dengan demikian, apa yang dimaksudkan sebagai perilaku menyimpang itupun, sangat mungkin antara tempat yang satu dengan tempat yang tidak selalu sama.

Telah dikemukakan di bagian muka, bahwa suatu perilaku, baru dapat dinyatakan tergolong menyimpang ataukah tidak, sangatlah berkaitan dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat.

Apabila norma yang berlaku di dalam masyarakat menyatakan bahwa .perilaku tertentu itu tergolong menyimpang maka perilaku tertentu itu dapat dinyatakan sebagai

(3)

menyimpang, akan tetapi apabila norma dari masyarakat yang bersangkutan tidak menggolongkannya sebagai perilaku menyimpang, maka perilaku tertentu itu akan dianggapnya sebagai perilaku yang biasa.

Kelemahannya adalah : Norma itu sendiri ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat kedaerahan, sehingga apa yang dinyatakan sebagai menyimpang di daerah tertentu belum tentu menyimpang bagi daerah lain, demikian pula sebaliknya, apa yang dianggap wajar bagi daerah tertentu, mungkin di daerah lain dianggap sebagai perilaku yang menyimpang.

Dengan demikian ukuran menyimpang atau tidak menyimpang sangatlah ditentukan oleh norma atau peraturan yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Penyimpangan dalam konteks ini diartikan sebagai perilaku yang berbeda atau bertentangan dengan pola perilaku yang telah disepakati bersama, atau denga kata lain penyimpangan merupakan perilaku yang tidak atau belum mencapai tingkat kesepakatan umum. Horton and Horton menyatakan bahwa :

"Deviation (or deviance) is defined as behavior that contrary to the generally accepted norms of society (1971 : 23).

Untuk memperjelas pengertian di atas, pada bagian berikut ini akan ditampilkan beberapa cara yang dapat mempermudah pendefinisian perilaku menyimpang.

Marshall B. Clinard dan Robert F. Meier mengilustrasikan permasalahan ini dengan menggambarkan 4 (empat) jalan pendefinisian penyimpangan.

Pertama, definisi absolut, yaitu pendefinisian yang menganggap norma sebagai sesuatu yang bersifat universal dan nyata, sehingga dapat diketahui oleh setiap orang mengenai adanya perilaku-perilaku yang salah atau buruk, dan apabila ada orang yang melakukannya, hal itu disebabkan oleh adanya nilai kemasyarakatan yang memaksa seseorang untuk melakukannya. Misalnya, karena takut menanggung malu, maka seseorang terpaksa membunuh atau bunuh diri, walaupun yang bersangkutan tahu bahwa hal itu salah.

Kedua, definisi statistikal, yaitu suatu pendefinisian yang didasarkan pada lazim atau tidak lazimnya suatu perilaku dilakukan. Apabila suatu perilaku itu telah umum dilakukan oleh banyak orang, atau mendasar statistik

(4)

grafiknya "normal", maka perilaku itu dianggap sebagai penyimpangan. Akan tetapi jika tidak "normal", maka perilaku itu dinyatakan sebagai penyimpangan.

Ketiga, definisi label, yaitu suatu pendefinisian yang mirip dengan definisi statitiskal. Definisi label berusaha meminimalkan pentingnya norma-norma. Seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku penyimpangan, atau dapat menjadi pelaku penyimpangan, bermula dari label yang diberikan orang lain kepadanya. Keempat, definisi relatif, yaitu pendefinisian yang dasarkan pada norma, nilai dan

budaya dari lingkungan masyarakat tertentu, artinya tidak " bebas" dari tempat dan waktu. Melainkan justru sebaliknya, yaitu mengenal tempat dan waktu, maksudnya adalah : suatu perilaku itu dapat dinyatakan menyimpang atau tidak, sangatlah tergantung pada norma, nilai dan budaya masyarakat tertentu. Menyimpang ditempat tertentu, belum tentu dianggap menyimpang ditempat lain, demikian sebaliknya.

B Jenis-Jenis Perilaku Menyimpang

Atas dasar pengertian di atas, penyimpangan dapat dibedakan menjadi beberapajenis sebagai berikut:

1. Berdasarkan sifatnya

Berdasar sifatnya, perilaku menyimpang dapat dibedakan menjadi: pertama, penyimpangan Positif, yaitu suatu perilaku menyimpang yang belum atau tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama, akan tetapi apabila dipandang dari sudut norma umum, perilaku tersebut tergolong positif. Sebagai contoh adalah perilaku menggunakan helm di atas mobil dengan bak terbuka, oleh seseorang yang hidup di lingkungan masyarakat yang belum lazim menggunakannya, atau perilaku pejalan kaki untuk menyeberang jalan di Zebra Cross, dalam suatu lingkungan masyarakat yang masih seenaknya menyeberang jalan di sembarang tempat.Perilaku itu sebetulnya positif, akan tetapi bagi masyarakat yang bersangkutan masih di anggap aneh, atau bahkan menyimpang. Kedua, penyimpangan negatif, yaitu suatu perilaku menyimpang yang belum atau tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama, dan memang ditinjau dari norma manapun, perilaku tersebut tergolong sebagai perilaku yang tidak patut dilakukan, atau bersifat negatif. Salah satu contohnya adalah: Perilaku Kriminal.

(5)

Berdasarkan jumlah pelakunya, penyimpangan dapat dibedakan menjadi: Penyimpangan individual dan penyimpangan kelompok. Ketika perilaku yang dianggap tidak lazim oleh masyarakat dilakukan oleh seseorang secara individual, maka penyimpangan itu dilakukan sebagai penyimpangan individual, sedangkan apabila dilakukan oleh beberapa orang, sepanjang masih belum menjadi kesepakatan bersama, maka akan dianggap sebagai melakukan penyimpangan kelompok.

CRagam Perspektif Perilaku Menyimpang

Telah dikemukakan di bagian muka. bahwa suatu perilaku, baru dapat dinyatakan tergolong menyimpang ataukah tidak, sangatlah berkaitan dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat.

Apabila norma yang berlaku di dalam masyarakat menyatakan bahwa perilaku tertentu itu tergolong menyimpang maka perilaku tertentu itu dapat dinyatakan sebagai menyimpang, akan tetapi apabila norma dari masyarakat yang bersangkutan tidak menggolongkannya sebagai perilaku menyimpang, maka perilaku tertentu itu akan dianggapnya sebagai perilaku yang biasa.

Kelemahannya adalah : Norma itu sendiri ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat kedaerahan, sehingga apa yang dinyatakan sebagai menyimpang di daerah tertentu belum tentu menyimpang bagi daerah lain, demikian pula sebaliknya, apa yang dianggap wajar bagi daerah tertentu, mungkin di daerah lain dianggap sebagai perilaku yang menyimpang.

Dengan demikian ukuran menyimpang atau tidak menyimpang sangatlah ditentukan oleh norma atau peraturan yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Adabeberapa perspektif yang menyatakan mengenai factor-faktor penyebab perilaku menyimpang.

1. Perspektif lama dan baru

Jack P. Gibbs, dalam rangka menjelaskan mengenai Konssepsi perilaku menyimpang : Perspektif "lama" dan "Baru", mengemukakan bahwa ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk memahami mengenai faktor penyebab terjadinya perilaku penyimpang.

Dalam perspektif lama, dikemukakan bahwa penyebab terjadinya perilaku menyimpang itu adalah : Faktor Internal, yaitu sesuatu yang muncul dan berasal dari

(6)

dalam diri individu pelaku itu sendiri. Seperti misalnya: Faktor genetis, faktor tipe fisik dan faktor psikis.

Sementara itu perspektif baru, justru mengemukakan hal yang sebaliknya, yaitu bahwa perilaku menyimpang itu disebabkan oleh: Faktor Eksternal, yaitu faktor-faktor yang muncul dan berasal dari individu pelaku penyimpangan, seperti misalnya: Faktor lingkungan.

2. Perspektif Fungsional

Perspektif ini dikembangkan oleh Erikson melalui pernyataannya ketika ia menjelaskan mengenai Sosiologi Penyimpangan. Suatu perilaku yang oleh suatu kelompok kecil seperti keluarga dinyatakan sebagai penyimpangan, belum tetntu dinyatakan sama oleh kelompok yang lebih besar, seperti masyarakat. Hal diatas dapat terjadi oleh karena adanya berbedaan standard mengenai perilaku. Perbedaan standard tersebut kadangkala ada manfaatnya bagi kehidupan manusia, sebab dengan demikian antara kelompok yang satu dengan yang lain dapat saling mengontrol dan mengevaluasi diri. Dengan demikian, perilaku menyimpang, bukannya dianggap sebagai sesuatu yang merugikan, akan tetapi justru dianggap menguntungkan, karena bisa menjadi alat untuk

mengontrol diri.

3. Perspektif konflik budaya

Hampir sama dengan penjelasan menganai keterkaitan antara keberadaan norma dan penyimpangan, perspektif ini juga menjelaskan bahwa suatu perilaku itu akan disebut sebagai penyimpangan ataukah bukan. Sangatlah tergantung dari budaya masyarakat ditempat perilaku itu terjadi. Terjadinya tindak-tindak menyimpang itu tak lain hanyalah oleh karena adanya konflik budaya. Anggota masyarakat tertentu dianggap bahwa perilaku itu wajar, akan tetapi anggota masyarakat lain sangat mungkin menganggap aneh.

Premis dasar yang menggaris bawahi perspektif ini adalah pendapat bahwa karena pengaruh sosialisasi dan pengalaman yang beraneka ragam, manusia seringkali bertentangan dalam mendefinisikan situasi, termasuk mendefinikasi perilaku.

(7)

4. Teori peralihan budaya

Isu sentral dalam teori ini adalah bahwa seseorang mempelajari tradisi dan nilai kultural, dimaksudkan untuk menuju pada komunikasi simbolik. Ada simbol-simbol interaksi di dalam masyarakat yang perlu difahami oleh berbagai fihak. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa: Seseorang gadis yang "diam" saja ketika ditanya kesanggupannya untuk dinikahi oleh seorang pria, untuk lingkungan masyarakat tertentu, merupakan pertanda "setuju". Sementara itu apabila ada suatu keluarga yang faham ataukah tidak, telah, memberi suguhan "nasi" kepada rombongan tamu yang sedang melamar putrinya. Hal ini merupakan pertanda bahwa lamaran itu "ditolak".

Anggota masyarakat yang walaupun karena tidak tahu, telah melakukan hal-hal tertentu yang tidak lazim, akan dianggap sebagai telah melakukan penyimpangan.

5. Teori anomie dan kesempatan

Teori anomie memberikan penjelasan bahwa suatu perilaku menyimpang dapat terjadi oleh karena merasa dirinya tidak dikenal atau tidak mudah dikenali. Misalnya ketika seseorang sedang berada di dalam kerumunan, atau di tempat asing yang tidak ada satu orang pun yang mengenali dirinya.

Sementara itu teori kesempatan memberikan penjelasan, bahwa perilaku menyimpang dapat terjadi karena seseorang merasa memperoleh kesempatan untuk melakukan sesuatu. Misalnya melihat barang berharga yang dibiarkan berada ditempat terbuka, tanpa pengawasan, atau seorang pria yang diberi "lampu hijau" oleh seorang wanita untuk melakukan sesuatu yang mestinya tidak patut dilakukan.

6. Teori Kontrol

Hampir senada dengan teori kesempatan, teori kontrol ini pada dasarnya menjelaskan bahwa perilaku penyimpang dapat terjadi ketika kontrol sosial yang ada di dalam masyarakat dirasa lemah.

D Kedudukan Perilaku Kriminal Bagi Perilaku Menyimpang

Berdasarkan pengertian dan berbagai jenis perilaku menyimpang, maka dapat kiranya dikemukakan bahwa, perilaku kriminalitas merupakan salah satu jenis atau bentuk dari perilaku menyimpang, khususnya adalah perilaku menyimpang yang negatif.

(8)

Mengapa demikian ? Karena perilaku kriminalitas merupakan perilaku yang di satu sisi akan ditolak oleh masyarakat, dan di sisi lain juga merupakan perilaku yang sudah pasti akan merugikan anggota masyarakat yang lain.

Untuk mempermudah pemahaman, maka marilah disimak serangkaian uraian mengenai pengertian perilaku kriminalitas pada bab berikut ini.

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku sosial yang negatif terdiri dari perilaku yang menyimpang yang tidak sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku baik norma masyarakat, adat istiadat dan agama..

Pada dasarnya norma itu muncul mempertahankan atau memelihara nilainilai yang berlaku dalam masyarakat, karena nilai itu adalah gambaran mengenai apa yang baik, yang diinginkan,

Semua perilaku yang dilakukan oleh remaja yang kemudian itu bertentangan dengan norma dan hukum adat yang berlaku pada lingkungan sekitar dikatakan perilaku menyimpang, oleh

Perilaku sosial yang negatif terdiri dari perilaku yang menyimpang yang tidak sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku baik norma masyarakat, adat istiadat dan agama..

Adapun perbedaan bentuk perilaku seksual menyimpang dalam kedua novel ini adalah (1) perilaku seksual menyimpang karena kelainan pada objek, yaitu homoseksual

• Tingkah laku yang menyimpang dari norma norma tertentu dan dirasa mengganggu orang lain atau perorangan (Clerg, 1994). • Perilaku abnormal (King, 2012) : –

Adapun perbedaan bentuk perilaku seksual menyimpang dalam kedua novel ini adalah (1) perilaku seksual menyimpang karena kelainan pada objek, yaitu homoseksual

Dalam sosiologi, perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang dianut masyarakat.. Perilaku menyimpang adalah benturan