• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan tentang Persepsi

Persepsi merupakan salah satu aspek kognitif manusia yang sangat penting. Hal ini memungkinkan manusia untuk mengetahui dan memahami dunia sekelilingnya. Persepsi diawali melalui sebuah penginderaan dan stimulus yang diterima seseorang, stimulus tersebut dilanjutkan sebagai sebuah proses yang dinamakan interpretasi. Dengan persepsi, manusia dapat menangkap dan memaknai berbagai fenomena, informasi atau data yang senantiasa mengitarinya. Riset mengenai persepsi menunjukkan bahwa individu yang berbeda dapat melihat hal yang sama namun memahaminya secara berbeda. Individu menginterpretasikan apa yang dilihat dan menyebutnya sebagai realitas.

Persepsi berasal dari bahasa Inggris yaitu kata perception, yang diambil dari bahasa Latin perception, yang berarti menerima atau mengambil. Menurut Leavitt dalam Bimo Walgito (2011:117) perception dalam pengertian sempit adalah penglihatan, yaitu bagaimana seseorang melihat sesuatu. Sedangkan dalam arti luas,

perception adalah pandangan yaitu bagaimana seseorang memandang atau

mengartikan sesuatu.

Manusia sebagai makhluk sosial yang sekaligus juga makhluk individual, memiliki perbedaan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Adanya perbedaan inilah yang antara lain menyebabkan mengapa seseorang berpandangan positif akan suatu objek sedangkan orang lain berpandangan negatif terhadap objek tersebut. Hal ini sangat tergantung bagaimana individu menanggapi objek tersebut dengan persepsinya. Yang pada kenyataannya sebagian besar sikap, tingkah laku dan penyesuaian ditentukan oleh persepsinya. Karena persepsi pada hakekatnya merupakan proses penilaian seseorang terhadap objek tertentu.

(2)

commit to user

Persepsi itu bersifat individual dan subjektif karena persepsi merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam individu, maka persepsi dapat dikemukakan karena perasaan dan kemampuan berpikir. Selain itu karena setiap orang memiliki kepekaan yang berbeda terhadap sebuah objek, setiap orang akan mendistorsi secara selektif dan memiliki rentang pemahaman yang berbeda. Pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsikan stimulus, hasil dari persepsi mungkin dapat berbeda satu dengan yang lain karena sifatnya yang sangat subjektif.

Menurut Siagian dalam Bimo Walgito (2011: 118) ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu:

1) Diri orang yang bersangkutan, dalam hal ini yang berpengaruh adalah karakteristik individual yang meliputi sikap, kepentingan, minat, pengalaman dan harapan.

2) Sasaran persepsi, yang menjadi sasaran persepsi dapat berupa orang, benda, peristiwa yang sifat sasaran dari persepsi dapat mempengaruhi persepsi orang yang melihatnya. Hal-hal lain yang ikut mempengaruhi persepsi seseorang adalah gerakan, suara, ukuran, tindak tanduk dan lain-lain dari sasaran persepsi.

3) Faktor situasi, dalam hal ini tinjauan terhadap persepsi harus secara kontekstual, artinya perlu dalam situasi yang mana persepsi itu timbul.

4) Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengkategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana.

Kemudian Alex Sobur (2009: 90) menambahkan salah satu faktor utama yang turut serta mempengaruhi terbentuknya persepsi yaitu:

Pembulatan, merupakan penarikan kesimpulan dan tanggapan terhadap informasi yang diterima. Persepsi yang diterjemahkan dalam bentuk tingkah

(3)

commit to user

laku sebagai reaksi yaitu bertindak sehubungan dengan apa yang telah diserap yang terdiri dari dari reaksi tersembunyi sebagai pendapat/sikap dan reaksi terbuka sebagai tindakan yang nyata sehubungan dengan tindakan yang tersembunyi atau pembentukan kesan.

Persepsi terjadi karena adanya seleksi terhadap stimulus yang diterima baik dari dalam maupun dari luar diri seseorang, yang kemudian akan diinterpretasikan agar dapat memberikan penarikan kesimpulan terhadap sesuatu yang dilihat atau dianutnya. Sehingga biasanya persepsi tiap individu akan berbeda, karena tergantung dari stimulus yang diterima dan cara interpretasinya.

Max Weber dalam Campbell (2001:204) secara implisit menyampaikan pendapat tentang persepsi, bahwa dalam memahami makna tindakan seseorang, seseorang tersebut tidak hanya sekadar melaksanakan, tetapi juga menempatkan diri dalam lingkungan berpikir dan perilaku orang lain. Hal ini mengarah pada suatu tindakan bermotif serta tujuan yang hendak dicapai atau in order to motive. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa tindakan yang dimunculkan seseorang memiliki makna subjektif untuk orang yang bersangkutan dan dapat dianalisis menurut maksud-maksud, motif-motif dan perasaan-perasaan sebagaimana mereka alami. Atau dengan kata lain sebuah tindakan atau tingkah laku menuntut suatu pemahaman ke dalam pikiran dan perasaan para pelakunya agar dapat menjelaskan motif serta maksud yang dituju. Karena tindakan yang muncul dari manusia dipengaruhi oleh motivasi yang sebelumnya telah dibentuk oleh konstruksi berpikir manusia itu sendiri.

Sama halnya ketika terjadi suatu penyimpangan perilaku di kalangan pelajar, tentu akan menciptakan persepsi dan pemaknaan yang berbeda dari individu yang bersangkutan. Dimana persepsi itu sendiri berhubungan dengan tindakan atau sikap sebagai tindak lanjut atas pemahaman suatu hal. Sebab persepsi pada umumnya berlangsung tidak sadar dan berangsur - angsur perlahan. Maka berlangsunglah proses interpretasi dari tingkah laku menyimpang. Berlangsung pula pembentukan pola tingkah laku yang kemudian dirasionalisasikan secara sadar untuk kemudian dikembangkan menjadi tindakan atau kebiasaan - kebiasaan yang normal ataupun

(4)

commit to user

kebiasaan yang menyimpang dari pola tingkah laku umum tergantung dari persepsi individu tersebut.

Menurut Heider dalam Agus Abdul Rahman (2013:174), persepsi bersumber dari dua kebutuhan. Yaitu kebutuhan untuk memahami (need of cognition) dan kebutuhan untuk mengendalikan (need of control). Berkaitan dengan fenomena tentang perilaku menyimpang di kalangan pelajar, maka penting bagi para pelajar untuk memiliki kebutuhan dalam memahami lingkungannya, utamanya lingkungan sekolah. Sebab, lingkungan sekolah yang memiliki karakteristik dan motivasi perilaku yang berbeda-beda dari setiap warga sekolahnya secara tidak langsung akan memberi dampak pada kehidupan kita (Zainal Aqib, 2011:120). Selain itu karena kebutuhan memahami lingkungan termasuk kebutuhan untuk memahami oraang-orang yang ada di sekitar kita. Selanjutnya kebutuhan untuk mengendalikan, maksud dari kebutuhan tersebut adalah sebagai tindak lanjut dari kebutuhan untuk memahami. Pemahaman mengenai karakteristik dan motivasi perilaku orang lain akan membuat kita lebih mudah dalam memprediksi dan menentukan apa yang sebaiknya kita lakukan. Seperti halnya saat ada siswa yang berperilaku menyimpang, maka baik siswa yang lain maupun pihak sekolah dan orang tua melalui kebutuhan ini dapat menentukan sikap dan perilaku yang paling tepat dan tidak akan menimbulkan kesulitan. Sebab biasanya kebingungan dalam menangani siswa berperilaku menyimpang bersumber dari ketidaktahuan dan ketidakmampuan mengendalikan lingkungan yang ada di sekitar kita. Oleh karena itu, supaya dapat memenuhi kedua kebutuhan tersebut, kita kemudian melakukan persepsi sehingga lingkungan sosial menjadi lebih bisa dipahami dan diprediksi.

Kesimpulannya, ketika terjadi interaksi sosial, secara sadar ataupun tidak kita biasanya berusaha untuk membangun pemahaman mengenai orang-orang yang ada di sekitar kita. Dalam penelitian ini, batasan persepsi berada pada interpretasi hasil pengamatan dan penilaian siswa terhadap perilaku menyimpang di sekolah. Persepsi itu bisa menganggap positif atau negatif terhadap perilaku menyimpang. Pengamatan dan interpretasi tersebut sangat dipengaruhi oleh perhatian kepada stimulus yang

(5)

commit to user

diterimanya, pengalaman serta motif-motif yang ada dalam diri siswa serta informasi yang diperoleh mengenai perilaku menyimpang. Sehingga memungkinkan mereka akan memberikan penilaian kesan atau pendapat yang berbeda-beda tentang perilaku menyimpang.

2. Tinjauan tentang Perilaku Menyimpang

Tingkah laku seseorang ditentukan oleh sikapnya (attitude) dalam menghadapi suatu situasi tertentu (B. Simandjuntak, 1984:333). Sikap ini dibentuk oleh kesadaran subyektifnya akan nilai dan norma dari masyarakat. Nilai dan norma ini diterima dan dihayati oleh individu dari dan dalam kebudayaan dimana ia dilahirkan dan dibesarkan.

Banyak sosiolog mempersamakan tingkah laku yang menyimpang dengan tingkah laku abnormal atau maladjusted (tidak mampu menyesuaikan diri). Untuk memberikan definisi abnormalitas itu, perlu dikemukakan terlebih dahulu definisi dari keduanya. Menurut Kartini Kartono (2005:13) tingkah laku normal ialah perilaku yang sesuai dengan pola kelompok masyarakat tempat dia tinggal, sesuai dengan norma sosial yang berlaku pada saat dan tempat itu, sehingga tercapai relasi personal dan interpersonal yang memuaskan serta bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya. Sedangkan tingkah laku abnormal/menyimpang ialah tingkah laku yang tidak adekuat, tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya dan tidak sesuai dengan norma sosial yang ada.

Dari kedua definisi di atas, terlihat bahwa ukuran suatu perilaku dikatakan normal atau menyimpang terletak pada norma sosial yang ada. Pedoman untuk mengatur pengalaman dan tingkah laku individu manusia dalam bermacam-macam situasi sosial disebut dengan norma oleh Dr.W.A Gerungan dalam (B.Simandjuntak, 1984:15). Kemudian lebih lanjut James Henslin (2007:48) mengatakan bahwa norma merupakan penggambaran harapan atas aturan perilaku yang berkembang dari nilai-nilai suatu kelompok. Sehingga bisa dikatakan bahwa norma dalam masyarakat mempunyai aturan yang menentukan tingkah laku mana yang dianggap wajar dan

(6)

commit to user

tidak wajar sesuai dengan harapan dari masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh (Kartini Kartono,2005:14) bahwa norma merupakan kaidah, aturan pokok, ukuran, kadar atau patokan yang diterima secara utuh oleh masyarakat guna mengatur kehidupan dan tingkah laku sehari-hari. Tidak ada kehidupan manusia yang dapat berlangsung tanpa norma, karena norma memungkinkan adanya kehidupan sosial dengan cara membuat suatu perilaku dapat diprediksikan. Seseorang individu yang melanggar norma mempunyai sikap tertentu terhadap situasi yang diatur oleh norma yang bersangkutan. Sikap tertentu dimana membuat seseorang tidak perlu untuk menaati norma yang bersangkutan dan dikatakan bahwa sikap ini adalah hasil dari proses sosialisasi seorang individu. Jika dalam masyarakat primitif yang terisolasi dan sedikit jumlahnya, masyarakatnya secara relatif terintegrasi dengan baik, norma-norma untuk mengukur tingkah laku menyimpang atau abnorma-normal itu terlihat jelas dan tegas. Sedangkan tingkah laku menyimpang itu sendiri mudah dibedakan dengan tingkah laku normal pada umumnya. Akan tetapi, dalam masyarakat urban di kota besar dan masyarakat teknologi-industri yang serba kompleks, dengan bermacam-macam sub-kebudayaan yang selalu berubah, norma sosial yang dipakai sebagai standar kriteria pokok untuk mengukur tingkah laku individu sebagai normal dan abnormal/menyimpang itu menjadi tidak jelas. Dengan kata lain, konsep tentang normalitas dan abnormalitas menjadi sangat samar batasnya. Sebab, kebiasaan, tingkah laku dan sikap hidup yang dirasakan sebagai normal oleh suatu kelompok masyarakat bisa dianggap sebagai abnormal oleh kelompok kebudayaan lain.

Sejalan dengan hal di atas, Maswardi Amin (2011: 61) menjelaskan bahwa sekolah merupakan kelompok masyarakat kecil yang terdiri dari sebagian besar siswa-siswa, guru-guru dan anggota lainnya yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu diperlukan adanya sebuah penyesuaian diri baik dengan lingkungan maupun masyarakat sekitar agar tercipta komunikasi, kerjasama serta suasana kehidupan yang harmonis. Dimana dalam proses interaksi antar warga sekolah tersebut pasti ada nilai-nilai dan norma-norma yang diatur dalam tata tertib sekolah guna memantau segala tingkah laku setiap siswa yang memiliki potensi untuk

(7)

commit to user

melakukan penyimpangan, meskipun tidak semua pernyimpangan perilaku yang dilakukan siswa diatur dalam aturan tata tertib.

Dalam Jurnal Internasional tentang Perilaku Menyimpang dan Kekerasan di Sekolah yang ditulis oleh Steffgen Georges, University of Luxembourg pada tahun 2009 juga menyebutkan bahwa:

“In the perspective of absolutist definitions, deviant behaviour constitutes a violation of principles and values that are assumed to be universal. Finally, a normative definition tautologically describes deviance as a violation of a norm, namely of a standard conduct to which most people feel they have to conform” (Pengertian secara mutlak atau

absolut melihat bahwa menyimpang sebagai perilaku yang melanggar prinsip-prinsip nilai yang berlaku secara universal. Kemudian dalam aspek normatif mendefinisikan bahwa penyimpangan adalah pelanggaran norma dari perilaku standar yang telah disepakati bersama)

Hal serupa juga diungkapkan oleh Carol Hayden dari University of Portsmouth dalam Jurnal tentang Kekerasan di Sekolah pada tahun 2009, bahwa:

“It should also be emphasised that some of the behavior that is viewed as problematic or „deviant‟ in a school (such as „disruptive‟ behaviour) may not be viewed in quite the same way in other settings. This section will review the evidence and indicators about a number of problem behaviours”. (Hal yang perlu ditekankan bagi sekolah adalah

melihat bagaimana perilaku menyimpang yang terjadi sebagai suatu gejala yang tidak boleh disamakan dengan peristiwa lainnya dan perlu dicari indikator untuk melihat penyimpangan yang terjadi)

Dari kedua jurnal tersebut, memandang bahwa penyimpangan merujuk pada tindakan pelanggaran nilai dan norma yang berlaku secara universal. Sehingga tanpa norma, kita akan mengalami kekacauan sosial. Sebab norma sendiri menentukan panduan utama mengenai bagaimana kita harus memainkan peran kita dan berinteraksi dengan orang lain. Singkatnya, norma menciptakan tatanan sosial agar manusia hidup teratur dan tidak melakukan pelanggaran. Dan sekolah dapat dijadikan sebagai salah satu tempat untuk melakukan fungsi pengendalian sosial untuk menegakkan norma-norma, karena perilaku menyimpang yang terjadi di sekolah

(8)

commit to user

berbeda dengan peristiwa lainnya dan memerlukan indikator atas penyimpangan yang terjadi.

Kajian tentang penyimpangan juga dibahas oleh Robert K. Merton dalam Soerjono Soekanto (2012:191) yang melihat bahwa penyimpangan selain dipandang dari sudut struktur sosial dan budaya juga dapat dilihat dari dua unsur lainnya yaitu kerangka aspirasi dan unsur-unsur yang mengatur kegiatan untuk mencapai aspirasi tersebut. Dengan kata lain, ada nilai sosial budaya yang merupakan rangkaian konsep abstrak yang ada di dalam pikiran manusia tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Sekaligus ada kaidah yang mengatur kegiatan manusia untuk mencapai cita-cita tersebut. Dimana nilai-nilai sosial budaya berfungsi sebagai pedoman dan acuan perilaku manusia di dalam hidupnya. Apabila terjadi ketidakserasian antara aspirasi dengan tujuan yang hendak dicapai, maka terjadilah perilaku menyimpang atau deviant behavior. Perilaku menyimpang tadi akan terjadi apabila manusia mempunyai kecenderungan untuk lebih mementingkan suatu nilai sosial budaya daripada kaidah-kaidah yang ada untuk mencapai cita-cita tersebut. Pudarnya pegangan pada kaidah-kaidah menimbulkan keadaan yang tidak stabil dan keadaan tanpa kaidah yang oleh Emile Durkheim dalam Kuntowijoyo (2006:109) disebut dengan anomie. Dimana saat anomie terjadi, perubahan struktural dan perubahan kultural di dalam masyarakat menjadi tidak sejalan. Sehingga memungkinkan masyarakat bertindak di luar nilai dan norma yang telah disepakati bersama. Sama halnya dengan jika suatu masyarakat tidak berhasil menyesuaikan diri dengan perubahan, maka organisasi dan fungsinya relatif tidak stabil atau bisa dikatakan tidak terjadi keseimbangan dalam masyarakat (B. Simandjuntak, 1984:23). Artinya perubahan tertentu di dalam masyarakat yang terjadi begitu cepat dan tidak seimbang akan menimbulkan suatu adjustment yang kurang atau ketidaksanggupan masyarakat untuk melakukan kontrol.

Dengan begitu pengertian perilaku menyimpang secara umum adalah apabila tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dalam skala yang lebih kecil, perilaku menyimpang juga

(9)

commit to user

termasuk pelanggaran terhadap kebiasaan atau kepantasan, seperti siswa yang tidak berada di sekolah pada jam-jam sekolah atau jam pelajaran (Kun dan Juju,2007:120). Bentuk-bentuk perilaku menyimpang yang terjadi di sekolah menurut Paulus Hadisuprapto.(2004).“Studi Jurnal Kriminolog Indonesia”. Vol (3) , No III, 9-18 adalah sebagai berikut:

1) Terlambat datang ke sekolah

2) Pakaian tidak rapi dan atribut tidak lengkap ( tidak disesuaikan dengan ketentuan sekolah)

3) Siswa (laki-laki) berambut panjang

4) Siswa (laki-laki) memakai tindik, anting dan bertatto 5) Siswa (perempuan) memakai rok di atas lutut

6) Siswa (perempuan) berdandan dan memakai aksesoris dengan berlebihan 7) Mengecat rambut bagi siswa laki-laki maupun perempuan

8) Ke kantin saat jam pelajaran berlangsung tanpa izin 9) Membolos atau tidak masuk tanpa keterangan

10) Keluar saat jam pelajaran masih berlangsung hingga pelajaran usai

11) Tidak mengikuti upacara bendera serta perngatan hari besar tanpa keterangan 12) Melompat pagar (tidak lewat pintu gerbang)

13) Mencoret-coret dinding dan merusak fasilitas sekolah 14) Membuang sampah sembarangan

15) Perkelahian antar pelajar

16) Merokok dan memakai NAPZA 17) Mencuri dan memalak

18) Menyalakan handphone saat pelajaran tanpa izin 19) Menyimpan dan menonton video porno

20) Mengolok-olok guru dan atau kepala sekolah

21) Memalsukan tanda tangan guru dan atau kepala sekolah

Kartini Kartono (2005:35) menyatakan bahwa perubahan tingkah laku dari normal menjadi abnormal yang berlangsung dengan tiba-tiba dan drastis itu jarang

(10)

commit to user

terjadi. Sebab, ada serangkaian transformasi persiapan yang mengawali berlangsungnya perubahan tingkah laku penyimpangan tadi. Jadi ada pertumbuhan dari potensi-potensi cadangan, dan ada kecenderungan -kecenderungan yang berlangsung dari hari ke hari. Karena ternyata banyak orang normal yang memiliki potensi-potensi untuk mengembangkan tingkah laku abnormal dengan cara demikian. Begitu kondisi sosialnya memungkinkan, maka dengan mudahnya orang-orang tersebut berubah menjadi abnormal dan bertingkah laku menyimpang dari norma-norma umum.

Kesimpulannya, saat perilaku menyimpang telah terorganisasi secara subjektif dalam diri pribadi, maka akan ditransformasikan atau diubah dalam bentuk peranan-peranan aktif tertentu. Selanjutnya dijadikan kebiasaan atau kriteria sosial yang menetap guna mendapatkan status sosial. Individu yang menyimpang itu menyadari betul peranan patologis yang dilakukannya. Peranan tersebut dianggap wajar oleh pribadi yang bersangkutan, namun dianggap menyimpang oleh sebagian besar anggota masyarakat lainnya. Sehingga penyimpangan bersifat relatif, karena apa yang merupakan penyimpangan dalam suatu kelompok dapat merupakan konformitas dalam kelompok lain. Sebagai konsekuensinya, kita harus memandang penyimpangan dari dalam kerangka berpikir kelompok itu sendiri, karena makna merekalah yang mendasari perilaku mereka.

3. Perspektif Interaksionis Simbolik George Herbert Mead

Perspektif interaksionis simbolik mengenai penyimpangan memulai dengan suatu pengakuan bahwa penyimpangan tidak hanya sekadar suatu manifestasi suatu ciri pembawaan sejak lahir atau cacat kepribadian, sebaliknya penyimpangan itu dihasilkan sebagai akibat dari suatu proses interaksi tertentu. Terlebih lagi definisi tentang penyimpangan ada hubungannya dengan standar-standar normatif tertentu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Standar normatif dan peraturan dalam suatu kelompok atau masyarakat tersebut biasanya bersifat umum dan harus diinterpretasi supaya dapat diterapkan pada situasi-situasi tertentu (Robert M.Z. Lawang,1990:40).

(11)

commit to user

Jadi selalu ada kemungkinan bahwa tiap individu bisa berbeda dalam mengintepretasikan mengenai standar normatif atau peraturan pada situasi tertentu. Padahal tidak semua standar normatif dan peraturan yang dibuat sesuai dengan harapan dan kepentingan kita. Melihat adanya perbedaan dalam interpretasi mengenai pandangan tersebut, banyak sekali ketegangan yang terjadi antara tuntutan normatif dan kepentingan dan keinginan individu, sehingga banyak orang yang menyimpang dari norma-norma atau paling tidak, menyimpang dari interpretasi seseorang mengenai norma-norma yang telah disepakati.

Bentuk paling sederhana dan paling pokok dalam komunikasi dilakukan melalui isyarat (Watson dalam I.B Wirawan,2012:111). Hal ini disebabkan karena manusia mampu menjadi objek untuk dirinya sendiri (dan juga sebagai subyek yang bertindak) dan melihat tindakan-tindakannya sebagaimana orang lain dapat melihatnya. Lebih khusus lagi, komunikasi simbolis manusia itu tidak terbatas pada isyarat-isyarat fisik. Sebaliknya, ia menggunakan kata-kata, yakni simbol yang mengandung arti dan dipahami bersama dan bersifat standar. Aplikasi simbol kata-kata ini dapat kita temui dalam tata tertib sekolah. Dimana dalam setiap kata-kata-kata-kata yang digunakan terdapat penggunaan simbol secara tidak kelihatan (covert) yang menginspirasi pikiran atau kesadaran. Suatu segi yang penting disini adalah bahwa intelegensi manusia mencakup kesadaran tentang diri (self consciusness). Dan secara bertahap, individu memperoleh kesadaran tentang konsep diri dalam interaksinya dengan orang-orang lain sebagai bagian dari proses yang sama dengan proses pemunculan pikiran. Jika proses berpikir itu terdiri dari suatu percakapan internal, maka konsep diri itu didasarkan pada individu yang secara tidak kasat mata menunjuk pada identitas dirinya yang dinyatakan oleh orang lain. Seperti yang dikatakan oleh Blumer dalam (Ian Craib,1994:114) bahwa simbol signifikan mengakibatkan reaksi yang sama dalam diri saya sendiri seperti yang dilakukannya terhadap orang lain. Dan ia memampukan saya untuk melihat diri daya sendiri seperti orang lain memperhatikan saya. Dengan kata lain, manusia dapat membayangkan dirinya secara sadar dalam perilakunya dari sudut pandang orang lain. Sebagai akibatnya, mereka

(12)

commit to user

dapat mengkonstruksikan perilakunya dengan sengaja untuk membangkitkan tipe respons tertentu dari orang lain. Misalnya dalam kasus perilaku menyimpang di sekolah, siswa menunjukkan rasa kebebasan dalam berseragam dengan tidak menggunakan dasi saat di sekolah. Kemudian respon yang ditunjukkan sekolah adalah dengan dengan memberikan siswa tersebut point atau teguran atas pelanggaran yang dilakukan. Tidak harus ada suatu maksud di pihak individu itu untuk mengkomunikasikan pesan. Individu itu hanya memulai dengan tindakannya sendiri yang merangsang orang lain untuk merespons atau menyesuaikan dengan tindakan-tindakan tersebut.

Blumer dalam Poloma (2007:259) menyatakan bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimiliki benda itu, dimana makna dari simbol-simbol itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat itu sendiri. Hal ini mengandung maksud bahwa interaksi antarmanusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, penafsiran, dan kepastian makna dari tindakan-tindakan orang lain. Diantara stimulus dan respons ada penyisipan proses penafsiran yang menentukan respons terhadap stimulus, yaitu respons untuk bertindak berdasarkan simbol-simbol yang diinterpretasikan dalam interaksi sosial. Oleh karena itu, interaksi sosial dalam masyarakat itu sendiri merupakan interaksi simbolik. Dengan kata lain, interaksi simbolik memandang manusia bertindak bukan semata-mata karena stimulus respons, melainkan juga didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan tersebut.

Aktor memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokan dan mentransformir makna dalam hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan dan arah tindakannya (Mead dalam Ritzer, 2012: 605-606). Dari pernyataan Mead tersebut, dapat dikatakan bahwa siswa yang bertindak sebagai aktor dalam hal ini menginterpretasikan norma atau tata tertib sekolah secara berbeda. Dan hal ini berpengaruh terhadap pengarahan dan pembentukan tindakan yang dilakukan karena makna yang diterima aktor tidak sama. Perilaku menyimpang bisa juga merupakan akibat dari salah menafsirkan pesan. Karena menurut Blumer, tindakan yang

(13)

commit to user

ditunjukkan individu dihubungkan dengan konteks dimana hal itu disampaikan dan pengalaman sebelumnya, menilai ,memberi makna kemudian memberi tanggapan berdasarkan makna. Sehingga tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. .

Menurut Mead dalam (Poloma,2007:256), manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannya sebelum ia memulai tindakan yang sebenarnya. Sebelum melakukan tindakan yang sebenarnya, seseorang mencoba terlebih dahulu berbagai alternatif tindakan itu melalui pertimbangan pemikirannya. Karena itu, dalam proses tindakan manusia terdapat suatu proses mental yang tertutup yang mendahului proses tindakan yang sebenarnya. Selain itu juga Mead melihat bahwa persepsi tentang dunia luar dan kesadaran subyektif sling memeilliki ketergantungan. Bahwa pikiran merupakan suatu proses, dengan proses itu individu menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya, dan kemudian pikiran atau kesadaran muncul dalam proses tindakan. Dari sini, bagian terpenting dari pembahasan Mead terkait dengan penelitian ini adalah konsep hubungan timbal balik antara diri sebagai objek dan diri sebagai subjek. Diri sebagai subjek ditunjukkan oleh Mead melalui konsep “I”. dalam konteks ini “I” yaitu bagian yang memperhatikan diri saya sendiri, sebagai suatu proses pemikiran dan proses tindakan yang aktual. Atau bisa dikatakan bahwa “I” merupakan aspek diri yang bersifat non reflektif. Dia tidak mencakup ingatan-ingatan dari tindakan-tindakan masa lampau atau antisipasi di masa yang akan datang. Dia merupakan respons perilaku aktual dari individu pada momen eksistensinya sekarang ini terhadap tuntutan situasi yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan atau rencana-rencana sekarang ini. Sedangkan konsep

“me” yang memandang diri sebagai objek berarti bahwa individu itu memperoleh

makna-makna yang diartikan oleh orang lain di sekelilingnya. Dalam proses reflektif ini, individu akan menilai tindakan yang sudah dilaksanakan dari titik pandangan orang lain (M.Z. Lawang, 1990:18). Sesuai dengan fenomena tentang perilaku menyimpang, maka konsep “I” dan “me” ini berlaku pada individu yang melakukan penyimpangan sebagaimana saat diri dari individu tersebut melakukan penyimpangan

(14)

commit to user

perilaku (“I”) dan saat diri dari individu itu menggambarkan dirinya sebagai orang lain yang melihat atas penyimpangan yang dilakukan (“me”). Atau bisa dikatakan bahwa manusia bukan hanya sebagai organisme yang memberikan tanggapan, tetapi juga sebagai organisme yang bertindak (Poloma, 2007:269)

Mead juga menyebutkan bahwa seseorang itu dalam membentuk konsep dirinya dengan jalan mengambil peran perspektif orang lain dan melihat dirinya sendiri sebagai objek melalui sosialisasi. Yang melewati tahapan mulai dari play

stage, atau tahap pengambilan peran dari orang-orang yang dianggap penting di

sekelilingnya misalnya ayah, ibu (keluarga). Kemudian tahapan kedua adalah games

stage yaitu tahapan dimana terjadi proses pembentukan konsep tentang diri dengan

melibatkan individu lain atau masyarakat dan sesuatu yang impersonal seperti aturan atau norma. Pada tahapan yang terakhir adalah generalized others, merupakan tahapan yang mengarahkan tingkah laku individu agar sesuai harapan, norma dalam kehidupan masyarakat. Sehingga konsep diri dalam individu itu tidak berlangsung dengan spontan. Ada tahapan yang melatarbelakangi hingga akhirnya seorang individu mampu menyesuaikan dirinya dan bertindak sesuai dengan harapan dan norma yang ada. Ketika terjadi penyimpangan perilaku, pendapat bahwa proses atau tahapan sosialisasi yang terjadi dalam individu tersebut tidak sempurna juga sering muncul.

Konsep tentang self (diri) juga dikemukakan oleh Charles Horton Cooley (Bernard Raho,2007:105) dalam looking-glass self yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melihat dirinya sebagaimana ia melihat objek yang berada di luar dirinya. Hal ini berarti bahwa pertama kita harus bisa membayangkan bagaimana kita tampil di hadapan orang lain, kedua kita bisa membayangkan bagaimana penilaian orang lain terhadap penampilan kita tersebut dan yang ketiga kita bisa mengembangkan perasaan tertentu sebagai akibat dari bayangan kita terhadap penilaian orang lain tersebut. Hal ini didukung hakekat diri (self) Goffman yang mengatakan bahwa self yang mereka tampilkan dapat membuat penonton memberikan definisi tentang diri mereka (aktor) sesuai dengan keinginan aktor itu

(15)

commit to user

sendiri. Sama halnya dengan kalangan siswa SMA yang masuk dalam kategori remaja, menginginkan adanya pengakuan dari lingkungan sekitarnya atas eksistensi mereka. Aktor (siswa SMA) mengingkinkan orang lain melihat dirinya sebagaimana ia melihat objek yang berada di luar dirinya, memberikan definisi tentang diri mereka sesuai dengan yang mereka inginkan. Sehingga banyak dari mereka yang melakukan tindakan atau perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian dan reaksi dari lingkungan dan masyarakat sekitarnya, salah satunya melalui penyimpangan perilaku.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pertama, karya ilmiah yang berjudul “ Analisis Makna Perilaku Menyimpang

Siswa Kelas X pada SMA Negeri 1 Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya”. Karya Iip Priyanto, S.Pd (2013) Program Studi Pendidikan Sosiologi, FKIP Untan Pontianak. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui perilaku menyimpang yang dilakukan siswa di SMA Negeri 1 Rasau Jaya, serta bagaimana siswa tersebut memaknai perilaku menyimpang yang terjadi, kemudian upaya sekolah dalam menanggulangi perilaku menyimpang. Metode penelitiannya yaitu metode deskriptif kualitatif.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa perilaku menyimpang yang dilakukan siswa di SMA Negeri 1 Rasau Jaya yaitu baju dikeluarkan, datang terlambat, alfa, mencontek, bergurau saat pelajaran, bermain handphone saat pelajaran, sepatu tidak hitam, ikat pinggang tidak sesuai, kaos kaki tidak sesuai, kuku panjang, rambut panjang (siswa laki-laki), ke kantin saat pelajaran, bolos saat upacara hari Senin. Kemudian siswa yang melakukan perilaku menyimpang memaknai perilaku tersebut sebagai suatu cara untuk menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi terhadap teman-temannya, dan juga sebagai cara mempertahankan harga diri mereka di depan teman-teman satu sekolah. Upaya yang diberikan oleh sekolah yaitu memberi peringatan, memberikan sanksi yang mendidik, sanksi dalam penilaian, melakukan razia, penahanan barang pelanggaran, dicatat di buku pelanggaran,

(16)

commit to user

membuat surat pernyataan, menguatkan peran guru BK, pemanggilan orang tua siswa.

Kedua, jurnal Sosiatri-Sosiologi yang berjudul “ Analisis Sosiologis Terhadap

Perilaku Menyimpang Siswa Pada SMA Pembangunan Kabupaten Malinau”. Karya Jonaidi pada tahun 2013. Tujuan Penelitian adalah untuk mengindentifikasi dan mengklasifikasi apa bentuk-bentuk perilaku menyimpang siswa, menggali faktor penyebab serta bagaimana cara yang digunakan sekolah dalam meningkatkan kedisiplinan siswa. Penelitiannya menggunakan pendekaan kualitatif.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk perilaku menyimpang siswa yang terjadi pada SMA Pembangunan adalah berkelahi, membolos, terlambat, membawa barang yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan sekolah, merokok, minum minuman keras, mengkonsumsi obat Dextro, dan menghisap lem. Adapun faktor yang mempengaruhi siswa berperilaku menyimpang berasal dari faktor lingkungan keluarga, sekolah, dan teman sebaya. Kemudian cara yang digunakan sekolah dalam meningkatkan kedisiplinan siswa adalah dengan pendekatan dari konselor atau pihak guru yang ditunjuk oleh sekolah dalam hal menangani siswa yang berperilaku menyimpang, kemudian dengan memperketat aturan tata tertib sekolah dan memberikan sanksi bagi para siswa yang melanggar.

Penelitian yang dilakukan peneliti juga berkisar pada perilaku menyimpang di kalangan pelajar. Meskipun demikian terdapat perbedaan dengan dua penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Kedua penelitian tersebut berusaha untuk menjelaskan mengenai bentuk perilaku menyimpang, faktor penyebab perilaku menyimpang dan alternatif penyelesaian perilaku menyimpang. Sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti lebih memfokuskan pada analisis konsep dari George Herbert Mead tentang

I and me terhadap fenomena perilaku menyimpang di kalangan pelajar yang berusaha

melihat dan mempelajari perilaku menyimpang sebagai suatu tindakan dengan menggunakan teknik introspeksi untuk dapat mengetahui sesuatu yang melatarbelakangi tindakan tersebut dari sudut pandang aktor yang terlibat di dalam permasalahan perilaku menyimpang di kalangan pelajar. Selain itu teori interaksionis

(17)

commit to user

simbolik ini memandang manusia dalam bertindak bukan semata-mata karena adanya stimulus dan respon, melainkan juga didasarkan atas penilaian dan makna yang diberikan terhadap tindakan tersebut. Sehingga dapat menjawab rumusan masalah dalam menggambarkan persepsi, faktor penyebab serta strategi penanggulangan perilaku menyimpang di kalangan pelajar SMA Negeri 8 Surakarta.

C. Kerangka Berpikir

Sejak jenjang pendidikan paling dini, kurikulum pendidikan di Indonesia telah mengajarkan karakter bangsa yang sesuai dengan jiwa Pancasila. Melalui lembaga sekolah, tujuan tersebut dibangun. Salah satunya dengan mewujudkan perilaku terpelajar melalui proses pendidikan dan pembelajaran.

Namun seiring perkembangan zaman, pendidikan di Indonesia mengalami banyak hambatan dan permasalahan yang krusial. Salah satunya adalah permasalahan tentang perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan pelajar. Hal ini cukup memprihatinkan, karena perilaku menyimpang pelajar hampir terjadi di seluruh wilayah negeri. Sekolah pun kini menjadi tempat yang digunakan pelajar untuk berperilaku menyimpang.

Ketidaksesuaian antara tujuan dari institusi sekolah dengan kenyataan yang terjadi menimbulkan berbagai macam respon dari guru maupun siswa (siswa yang berperilaku menyimpang maupun yang tidak). Karena definisi mengenai penyimpangan berbeda tiap kelompok dalam masyarakat, utamanya standar normatif atau peraturan yang diterapkan tiap kelompok berbeda-beda. Sehingga kebanyakan yang terjadi adalah orang lain mengharapkan kita mengikuti pola-pola normatif tertentu dalam situasi tertentu. Pemahaman dan interpretasi yang berbeda terhadap makna perilaku menyimpang inilah yang kemudian mengarahkan pada tingkah laku pelajar yang berbeda-beda. Dari sini, peneliti meneliti lebih jauh bagaimana persepsi siswa dan guru tentang perilaku menyimpang, kemudian faktor apa saja yang melatarbelakangi munculnya perilaku menyimpang tersebut dan yang terakhir adalah meneliti bagaimana strategi yang diterapkan sekolah dalam menangani perilaku

(18)

commit to user

menyimpang di kalangan pelajar dan membingkainya dalam konsep I and me George Herbert Mead yang berusaha melihat dan mempelajari perilaku menyimpang di kalangan pelajar dari sudut pandang aktor. Pemillihan konsep ini adalah yang paling sesuai dengan fenomena tersebut karena melalui pembahasan Mead memunculkan hubungan timbal balik antara diri sebagai subjek dan diri sebagai objek. Diri sebagai subjek ditunjukkan dalam dimensi “I”, sementara ketika sebagai objek ditunjukkan dalam dimensi “me”. Dan hal tersebut tidak dapat ditunjukkan oleh perspektif teori yang lain. Sehingga setelah mengetahui ketiga point tersebut, penelitian ini diharapkan dapat mengarahkan serta mewujudkan kembali tujuan sekolah dalam membentuk siswa agar berperilaku terpelajar.

Hambatan Tujuan

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Sekolah PPPerilaku Terpelajar PPPerilaku Menyimpang Persepsi Siswa Faktor Penyebab Perilaku Menyimpang Strategi Sekolah Konsep I and mee

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Sekolah   PPPerilaku Terpelajar PPPerilaku Menyimpang  Persepsi Siswa Faktor Penyebab Perilaku Menyimpang  Strategi Sekolah Konsep I and mee

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat disusun suatu pengertian umum mengenai probabilitas, yaitu sebagai berikut Probabilitas adalah suatu indeks atau nilai

Kriminal ditinjau dari aspek sosial ialah jika seseorang mengalami kegagalan dalam menyesuaikan dirinya atau berbuat menyimpang dengan sadar dari norma-norma yang berlaku

Definisi umum perilaku menyimpang adalah; Semua perilaku manusia yang dilakukan secara individu dan kelompok tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku

• Individu atau kelompok dalam masyarakat menyesuaikan tindakan- tindakannya dengan norma sosial dan nilai sosial yang berlaku..

Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif adalah bentuk tindakan tingkah laku sosial yang menyimpang, dengan maksud untuk menyakiti

Perilaku menyimpang adalah prilaku dari para warga masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku.. Secara sederhana memang

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku delinkuent merupakan suatu bentuk perbuatan anti sosial, melawan hukum negara, norma- norma masyarakat

10 harapan untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu (self-gain), ada nilai-nilai dan norma sosial yang berkaitan dengan tindakan prososial (personal values