• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Stigma Sosial

Stigma adalah penyimpangan yang mengarah ke dalam situasi dimana orang-orang tidak dapat menyesuaikan diri dengan standar masyarakat normal. Mereka didiskualifikasi dari kehidupan sosial, mereka mengalami stigmatisasi individu. Dikucilkan dari yang lainnya sehingga harus terus berusaha menyesuaikan diri dengan identitas sosial masyarakat diamana mereka tinggal. Mereka sendiri harus menghadapi hinaan setiap harinya yang direfleksikan kembali kepada mereka.

Sosiolog Erving Goffman mendefinisikan stigma sebagai proses dinamis dari devaluasi yang secara signifikan mendiskredit seorang individu di mata individu lainnya. Berbagai kualitas pada individu yang ditempeli oleh stigma bias sangat acak mulai dari warna kulit, cara berbicara, preferensi seksual, hingga karena tinggal bersama penyalahguna narkoba. Stigmatisasi terhadap penyalahguna narkoba disebabkan oleh sejarah asosiasinya dengan sub-kelompok yang mengalami marginalisasi seperti pengangguran dan keluarga yang broken home (Goffman, 1963: 1)

Berdasarkan beberapa literatur penelitianmenyebutkan faktor-faktor mendasar yang menyebabkan stigma berkaitan dengan Penyalahguna Narkoba muncul disebabkan oleh (1) Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang Narkoba, (2) Miskonsepsi tentang penyalahguna narkoba, (3) Kurangnya akses terhadap layanan pemulihan bagi korban penyalahgunaan narkoba, (4) Bagaimana media membentuk dan melaporkan kasus-kasus penyalahgunaan narkoba, (5)Karakteristik

(2)

penyalahgunaannarkoba sebagai “penyakit” yang tidak dapat disembuhkan, dan (6) Prasangka dan rasa takut terhadap kelompok tertentu.

Gambar 2.1

Konstruksi Perspektif Stigma penyalahguna narkoba

Dianggap bertanggung jawab atas

Dipandang sebagai

2.1.1 Stigma Internal

Stigma internal sebagai rasa takut baik sungguhan maupun yang diimajinasikan terhadap sikap sosial dan potensi tindak diskriminasi yang akan muncul sebagai dampak dari atribut atas penyalahgunaan narkoba yang dilakukan. Salah satu cara untuk memahami stigma internal berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba adalah dengan melihatnya sebagai hasil dari interaksi kompleks antara faktor sobural (sosial-budaya-struktural, akses terhadap sumber-sumber ekonomi dan pasar, jaringan komunitas pendukung, sumber informasi, serta tingkat stigma dan diskriminasi di lingkungan sekitar); faktor kontekstual (keadaan hidup penyalahguna narkoba, penggunaan narkotika dan alkohol, kekuatan hubungan penyalahguna narkoba dengan pasangan dan

Penyalahguna Narkoba

Pengangguran, Keluarga Broken Home Keluarga Miskin, Kelompokmarginal

lainnya

(3)

keluarganya); dan faktor diri (keadaan mood, system kepercayaan, resiliensi dan coping skill, tingkat pengetahuan, pengalaman hidup, life skill, serta harga diri dan self-awareness).

Kerangka dimensi stigma internal yaitu : 1. Perception of self

Penyalahguna narkoba memiliki perasaan bahwa mereka telah mengecewakan orang lain dan mempermalukan keluarga dan komunitas mereka. Mereka merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan menderita karena berstatus penyalahguna narkoba. Mereka merasa tidak berguna dan takut menjerumuskan orang lain.

2. Self-Exclusion

Karena status mereka sebagai penyalahguna narkoba, mereka memilih untuk menarik diri dari berbagai aktivitas sosial dan pelayanan-pelayanan masyarakat yang berbasis support group maupun program bantuan materil.

3. Subterfuge

Stigma internal mempengaruhi penyalahguna narkoba untuk menjaga perilaku mereka untuk menghindari stigmatisasi atau mencegah agar status penyalahguna narkoba mereka tidak diketahui orang lain. Hal ini dilakukan dengan menyembunyikan status penyalahguna narkoba mereka pada orang lain. Hal ini juga menyebabkan penyalahguna narkoba untuk terus melakukan penyalahgunaan narkoba karena mereka merasa takut perubahan perilaku dapat menimbulkan kecurigaan dan stigma.

(4)

4. Social Withdrawal

Merupakan isolasi yang dibebankan pada dirinya sendiri oleh penyalahguna narkoba, menyebabkan mereka menarik diri dari hubungan interpersonal dan menghindari beragam setting sosial.

5. Over Compensation

Terdapat kebutuhan pada penyalahguna narkoba untuk membuktikan bahwa mereka adalah orang yang „baik‟ dengan melakukan hal-hal yang dinilai baik berdasarkan standard moral yang berlaku.Beberapa merasa harus bisa membuktikan bahwa mereka tetap dapat berkontribusi meski berstatus penyalahguna narkoba.

6. Fear of disclosure

Penyalahguna narkoba merasa sulit untuk mengungkapkan status mereka karena merasa takut terhadap penilaian dan penolakan dari masyarakat sekitar.

2.1.2 Stigma Eksternal

Dikenal juga sebagai enacted stigma merupakan bentuk lain dari stigma. Stigma eksternal dideskripsikan sebagai proses yang bergerak melebihi sekedar persepsi dan sikap sehingga mencapai bentuk tindakan. Stigma eksternal secara konsisten mengikuti pola tiga langkah yaitu : (1) Mengidentifikasi penyalahguna narkoba, (2) Membuat jarak dengan orang tersebut, dan (3) Membatasi atau tidak mengikutsertakan orang-orang tersebut.

Enacted stigma merujuk pada sanksi yang secara individual maupun kolektif diberikan kepada seseorang berdasarkan keanggotaan atau anggapan sebagai anggota dari kelompok tertentu (Morris, 2003).Enacted stigma dapat mengambil bentuk

(5)

diskriminasi halus seperti gosip, tidak memperlakukan penyalahguna narkoba dengan hormat, atau menjauhi mereka.

Sedangkan Bunn, Solomon, Miller, dan Forehand (2007) menyatakan bahwa enacted stigma merujuk pada pengalaman aktual berkaitan dengan prasangka, pemberian stereotip, maupun diskriminasi misalnya kehilangan hubungan pertemanan, atau mengalami penghinaan dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan status penyalahguna narkoba mereka.

2.2 Aspek-Aspek Yang Mempengaruhi Stigma Sosial 2.2.1.Nilai-Nilai Sosial

Nilai-nilai sosial merupakan hasil dari proses interaksi yang terjadi dalam suatu masyarakat tertentu. James W. Vander Zanden merumuskan nilai-nilai sebagai kriteria atau konsepsi yang digunakan untuk mengevaluasi berbagai hal (termasuk objek, ide, perilaku dan kejadian) ataupun berbagai hal yang disenangi, jasa atau kebenaran. Nilai-nilai sosial didefinisikan sebagai apa yang baik, indah, bermoral dan berfaedah. Dengan demikian, nilai-nilai sosial merupakan suatu penilaian terhadap suatu tingkah laku sosial dalam masyarakat. Ini berarti, nilai-nilai sosial merupakan pedoman bagi masyarakat untuk bertingkah laku (yang baik) sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat.

Berbeda dengan Vander Zanden, R.M. William Jr. Merumuskan nilai-nilai sebagai:

1. Abstraksi dari pengalaman-pengalaman pribadi sebagai akibat dari proses interaksi sosial yang terus menerus.

(6)

2. Senantiasa harus diisi dan bersifat dinamis, oleh karena didasarkan pada interaksi yang dinamis pula.

3. Sesuatu yang menjadi penggerak manusia kearah pemenuhan hasrat hidupnya, sehingga nilai-nilai merupakan faktor yang sangat penting dalam pengarahan kehidupan sosial maupun kehidupan pribadi manusia.

Berdasarkan uraian tersebut, maka nilai-nilai sosial merupakan konsep abstrak yang bersifat dinamis, yang menilai apakah sesuatu perbuatan itu dianggap baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral, yang diarahkan untuk mencapai tujuan kehidupan bersama dalam masyarakat. Dengan demikian, nilai-nilai sosial tersebut bersifat dinamis sehingga penilaian terhadap tingkah laku dalam masyarakat pun bersifat dinamis pula.Ini berarti, tingkah laku dan nilai-nilai sosial dapat berubah sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.

Nilai-nilai sosial dalam masyarakat tertentu merupakan suatu pedoman bagi setiap orang untuk berperilaku. Kenyataannya tidak setiap orang dapat berperilaku seperti yang diharapkan. Kenyataan ini disebabkan adanya kepentingan-kepentingan yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya.

Apabila hal ini dibiarkan terus maka dapatmengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Untuk itulah maka dikeluarkan norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan pergaulan antar individu dalam masyarakat. Dengan demikian, norma-norma atau kaidah-kaidah merupakan aturan-aturan yang menentukan bagaimana seseorang harus bertindak.Keharusan bertindak ini meliputi dua hal, yaitu keharusan untuk berbuat sesuatu dan keharusan untuk menghindari perbuatan tertentu. Hal ini diterangkan oleh Vander Zanden demikian:

(7)

Norma-norma dapat didefinisikan sebagai aturan-aturan yang berisikan kelayakan dan ketidaklayakan dari suatu perilaku. Norma pada umumnya diterima, suatu ramuan, atau larangan terhadap sesuatu, berbagai tipe perilaku. Memberitahukan kita apa yang harus, sebaliknya, dan harus atau tidak harus, tidak semestinya, dan harus tidak dilakukan.

Agar norma-norma yang ada dalam masyarakat ditaati oleh semua warga, maka diperlukan sanksi.Sanksi ini dapat bersifat negatif dan dapat pula bersifat positif. Sanksi yang bersifat negatif dapat berupa pidana dalam berbagai bentuk, misalnya pidana denda, penjara dan sebagainya; sedangkan sanksi yang bersifat positif dapat berupa hadiah-hadiah atau penghargaan-penghargaan bagi mereka yang mentaati norma-norma yang ada dalam masyarakat.

Dalam kaitan dengan uraian-uraian di atas, maka nilai-nilai sosial dapat dibedakan dengan norma-norma. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Agar kita tidak bingung membedakan antara nilai dengan norma, mari kita melihat beberapa perbedaan antara keduanya. Pertama, nilai merepresentasikan konsepsi individu maupun kelompok tentang apa yang disebut sebagai layak/patut.

Ia merupakan apa yang kita dan/atau orang lain rasakan dan berpikir bahwa itu sesuatu yang patut untuk diingini. Ia merepresentasikan kriteria untuk mengevaluasi hal-hal yang pantas/baik. Norma, disisi lain, didasari atas aturan-aturan dalam berperilaku. Kedua, nilai dapat diterapkan oleh individu; norma tidak. Ketiga, norma-norma memiliki sanksi, nilai-nilai sosial tidak.

(8)

2.2.2. Faktor Struktural

Faktor struktural yang mendasari konsep sobural (sosial-budaya-struktural) tampaknya berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh beberapa sarjana sosiologi, yang membahas masalah faktor struktural.Banyak dari mereka yang membicarakan struktur sosial tetapi tidak memberikan pengertian struktural secara definitif.Hal ini dapat dimengerti mengingat yang dibahas dalam teori-teori struktural sangat luas, yaitu yang berkaitan dengan segala struktur yang terdapat dalam masyarakat.Misalnya, struktur ekonomi, struktur politik dan sebagainya.Beberapa teori sosial mengaitkan faktor struktural dengan adanya kelas-kelas atau stratifikasi yang terdapat dalam masyarakat. Adanya kelas-kelas disebabkan bermacam-macam faktor, akan tetapi pada umumnya dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor ekonomi, politik, dan pengaruh kedudukan dalam masyarakat.

Faktor struktural yang ditandai dengan adanya kelas-kelas bukan merupakan monopoli paham Marxis. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh J.E Sahetapy sebagai berikut:Teori-teori struktural melihat masyarakat dengan kacamata di mana dalam masyarakat itu ada kelompok-kelompok atau dikelompokkan sedemikian rupa sehingga selalu dipakai istilah „kelas sosial‟, yang mana istilah tersebut tidak selalu harus bernada dan bernapaskan paham Marxisme. Atau dengan perkataan lain, strata sosial yang mencerminkan kelompok-kelompok tertentu dengan ciri-ciri tertentu yang dapat dipandang sebagai adanya suatu ciri homogenitas.

Dengan demikian jelaslah bahwa istilah “kelas sosial” tidak menjadi monopoli milik paham Marxis. Ada beberapa perbedaan pengertian istilah kelas yang dipergunakan oleh teori-teori sosiologi dengan paham Marxis.Pertama, istilah kelas oleh paham Marxis dikaitkan dalam rangka ekonomi saja. Ini berarti terdapat dua kelas, yaitu

(9)

kelas yang memiliki alat-alat produksi dan kelas yang hanya menyumbangkan tenaganya dalam proses produksi. Kedua, menurut Marxis, selalu terdapat pertentangan antara kelas yang satu dengan yang lainnya untuk perebutan kekuasaan, sedangkan dalam pengertian sosiologi, kelas tidak selalu bertentangan.

Ketiga, menurut teori sosiologi, kelas-kelas yang terdapat dalam masyarakat senantiasa ada sepanjang waktu, sedangkan menurut teori Marxis, kelas-kelas tersebut kemungkinan akan lenyap sehingga dalam masyarakat tidak terdapat lagi kelas-kelas (classless society).

Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah bahwa dalam teori-teori sosiologi terdapat pengertian struktur sosial yang harus dibedakan dengan faktor struktural.Yang dimaksud dengan faktor struktural, dalam pendekatan struktural, dibatasi hanya dalam kaitannya dengan adanya kelas-kelas atau pengelompokan-pengelompokan yang terdapat dalam masyarakat, yang dipengaruhi oleh sistem sosial masyarakat yang bersangkutan.

2.2.3.Aspek Budaya

Yang dimaksud dengan “budaya” dalam pendekatan sobural (sosial-budaya-struktural) adalah kultur.Beberapa penulis membedakan pengertian “kebudayaan” dan “budaya”.Budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk “budidaya” yang berarti daya dari budi, yang berupa cipta, rasa, dan karsa. Dalam Antropologi budaya, perbedaan pengertian antara “kebudayaan” dan “budaya” ditiadakan. Kata “budaya” hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari kebudayaan, yang mempunyai arti yang sama.

(10)

Oleh karena yang dimaksud dengan budaya dalam pendekatan sobural ini adalah kultur, maka dalam penulisan ini tidak akan dibedakan pengertian “kebudayaan” dan “budaya”. Hal ini ditunjang oleh beberapa penulis yang menerjemahakan kultur sebagai “kebudayaan”.

Pengertian kultur, oleh Vander Zanden dirumuskan sebagai standard sosial yang meliputi cara merasa, berpikir, dan berperilaku yang diperlukan sebagai anggota masyarakat. Ini berarti bahwa budaya merupakan pedoman-pedoman bagi seseorang untuk berperilaku dalam dalam kehidupan bermasyarakat.Sebagai suatu perbandingan, perlu dikemukakan pula pendapat para sarjana Indonesia yang berkaitan dengan kebudayaan.

Menurut Selo Sumardjan, kebudayaan adalah hasil karya, cipta, dan rasa manusia yang hidup bersama. Karya menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan yang diperlukan dan dipergunakan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya.Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir manusia yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan.Sedangkan rasa, meliputi jiwa manusia yang mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan yang diperlukan untuk mengatur masyarakat.

Berbeda dengan Selo Sumardjan, Koentjaraningrat secara singkat mengemukakan bahwa kebudayaan mempunyai tiga wujud yaitu: (1) sebagai kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2) sebagai kompleks dari aktivitas kelakuan berpola dari dalam masyarakat; (3) sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan aspek budaya dalam penulisan ini adalah hasil akal budi manusia dalam proses interaksi social

(11)

masyarakat tertentu yang berwujud pedoman-pedoman atau patokan-patokan tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat. Sebagai suatu hasil dari proses interaksi menyebabkan segala aspek yang terdapat dalam masyarakat akan ikut pula berinteraksi.

2.3. Harga diri

William James pertama kali memperkenalkan topik mengenai harga diri pada buku teks psikologi Amerika pertama lebih dari satu abad lalu, hal tersebut membuat harga diri menjadi salah satu tema paling tua dalam ilmu sosial (Mruk, 2006).Maslow dalam teori hirarki kebutuhannya menyatakan bahwa harga diri adalah salah satu motivasi dasar manusia untuk mencapai aktualisasi diri (dalam Huitt, 2007).

APA dictionary of Psychology (2007, hal. 830) mendefinisikan harga diri sebagai tahapan dimana kualitas dan karakteristik self-concept yang dimilikiseseorang dianggap positif.Harga diri merefleksikan gambaran citra diri, kemampuan, pencapaian, dan nilai yang dimiliki serta sejauh mana seorang individu sukses menerapkannya.

Rosenberg (dalam Mruk, 2006) mendefinisikan harga diri sebagai sikap positif atau negatif terhadap objek spesifik, yaitu diri sendiri.Harga diri merupakan sikap yang didasari oleh persepsi atau perasaan seseorang tentang kemampuan atau nilainya sebagai seorang individu.

Harga diri seperti yang terefleksi pada item dalam skala kami, mengekspresikan perasaan bahwa seseorang merasa dirinya “cukup baik”. Individu tersebut merasa dirinya sebagai orang yang berharga; ia menghargai dirinya sebagaimana adanya, namun tidak kagum terhadap dirinya sendiri maupun mengharapkan orang lain untuk kagum terhadap dirinya.

(12)

Individu tersebut kemudian tidak selalu memiliki anggapan bahwa dirinya lebih baik dari orang lain (Rosenberg dalam Mruk, 2006). Harga diri merupakan salah satu kualitas unik pada diri individu yang aktif dalam situasi, pengalaman, dan keadaan positif maupun negatif sehingga relevan terhadap beragam perilaku (Mruk, 2006).

2.3.1. Bentuk Harga diri

Berdasarkan kajian literatur mengenai harga diri yang dilakukan beberapa ahli Brown dan Marshall (2006) membagi bentuk harga diri kedalam tiga kategori :

a) Global self-esteem

Harga diri sering digunakan sebagai istilah yang merujuk pada variabel kepribadian yang mewakili bagaimana perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri.Peneliti menamai bentuk harga diri yang demikian sebagai, global self-esteem atau trait self-esteem, karena relatif bertahan dalam berbagai situasi dan waktu.

Jika seseorang memiliki harga diri yang tinggi atau rendah ketika kanak-kanak maka kemungkinan besar individu tersebut akan memiliki tingkat harga diri yang sama ketika dewasa.

b) Feeling of self-worth

Harga diri juga sering dirujuk sebagai reaksi emosi evaluatif terhadap kejadian tertentu.Contohnya seseorang mungkin merasa harga dirinya naik setelah mendapat promosi jabatan dan harga dirinya turun setelah menjalani perceraian.Self-worth adalah perasaan bangga terhadap diri sendiri (dalam sisi positif) dan malu terhadap diri sendiri (dalam sisi negatif).

(13)

Harga diri yang demikian disebut juga sebagai state self-esteem, yaitu harga diri yang bersifat dinamis dan dapat dirubah bergantung pada perasaan seseorang terhadap dirinya di waktu tertentu.

c) Self-Evaluations

Disebut juga sebagai domain spesific self-esteem, yaitu harga diri digunakan untuk merujuk cara seseorang mengevaluasi kemampuan dan atribut bervariasi yang ada pada dirinya. Contohnya seorang individu yang memiliki keraguan atas kemampuannya di sekolah dapat disebut memiliki academic self-esteem yang rendah sedangkan individu yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang baik dalam bidang olah raga dapat dikatakan memiliki athletic self-esteem yang tinggi.

2.4.2. Sumber Harga diri

Epstein (dalam Mruk, 2006) menambahkan sumber harga diri yang dikemukakan oleh Coopersmith sehingga lebih dinamis dengan alasan apabila kesuksesan (hal positif) terlibat dalam pembentukan harga diri maka kemungkinan akan adanya kegagalan (hal negatif) juga harus dilibatkan. Keempat sumber harga diri tersebut adalah :

a) Acceptance vs Rejection

Penerimaan dan penolakan dalam hubungan interpersonal seorang individu dengan orang tua, saudara, teman, pasangan, dan rekan kerja dapat mempengaruhi perasaan seorang individu atas dirinya. Bentuk penerimaan seperti rasa peduli, pengasuhan, perasaan tertarik, respek, serta kagum dan bentuk penolakan seperti tidak dihiraukan, direndahkan, atau dimanfaatkan dapat mempengaruhi harga diri seseorang.

(14)

b) Virtue vs Gult

Virtue menurut Epstein adalah kepatuhan terhadap standard moral dan etika yang berlaku, sedangkan guilt merujuk pada kegagalan untuk mematuhi standard moral dan etika yang berlaku. Saat seorang individu bertindak sesuai dengan nilai moral dan etika yang berlaku maka mereka akan merasa sebagai individu yang „layak‟ dan akan mempengaruhi harga diri mereka secara positif. Sebaliknya saat individu tersebut gagal mengikuti standadr moral yang berlaku maka akan mempengaruhi harga dirinya secara negatif.

c) Power vs Powerlessness

Epstein mendefinisikan power sebagai kemampuan untuk mengatur atau mengontrol lingkungannya atau dengan kata lain kemampuan untuk memberi pengaruh. Kemampuan seorang individu untuk berinteraksi dengan lingkungan dan individu sekitarnya dengan cara-cara yang dapat membentuk atau mengarahkan interaksi tersebut mencerminkan kompetensi dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan dan akan mempengaruhi harga diri secara positif.

d) Achievement vs Failure

Syarat agar achievement mempengaruhi harga diri seseorang adalah ketika seorang individu mengalami kesuksesan pada dimensi-dimensi tertentu yang berhubungan dengan identitas diri mereka. Contohnya menyikat gigi bukanlah pencapaian signifikan bagi sebagian besar orang, namun dapat menjadi pencapaian personal yang besar bagi individu dengan cacat fisik maupun mental. Saat seorang individu mencapai tujuan dengan menghadapi permasalahan atau rintangan dalam kehidupan dan hal tersebut mempengaruhi harga dirinya secara positif.

(15)

2.4.3. Tingkat Harga diri

Mruk (2006) menyimpulkan tingkat harga diri berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli menjadi tiga kategori, yaitu :

a) Low Self-esteem

Karakteristik individu dengan harga diri rendah meliputi hipersensitivitas, ketidakstabilan, rasa canggung, dan kurang percaya diri. Individu dengan harga diri rendah lebih berfokus pada melindungi diri dari ancaman dibanding berusaha untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki dan menikmati hidup. Individu dengan harga diri rendah juga tidak memiliki gambaran identitas yang jelas dan sensitif terhadap isyarat sosial yang dianggap relevan dengan dirinya, mereka menggunakan strategi self-handicapping dan menurunkan ekspektasi untuk menghindari perasaan inferior lebih lanjut.

b) High self-esteem

Harga diri berkorelasi positif dengan rasa bahagia, mereka yang memiliki harga diri tinggi memiliki pandangan yang baik atas diri mereka, kehidupan, dan masa depan. Individu dengan harga diri tinggi lebih mampu menghadapi stress dan menghindari rasa cemas sehingga mereka tetap mampu bertindak dengan baik saat berhadapan dengan stress dan trauma.

Terdapat dukungan empiris mengenai hubungan antara harga diri tinggi dan hubungan interpersonal. Individu yang memiliki harga diri tinggi meiliki karakteristik interpersonal yang disukai serta memiliki standard moral dan kesehatan yang baik. Harga diri yang tinggi juga dapat membantu meningkatkan kinerja berkaitan dengan

(16)

kemampuan pemecahan masalah dalam situasi tertentu yang membutuhkan inisiatif dan presistensi.

c) Medium self-esteem

Coopersmith (dalam Mruk, 2006) menyatakan bahwa individu dengan tingkat harga diri sedang merupakan hasil dari tidak tereksposnya seorang individu pada faktor-faktor yang mendukung kepemilikan tingkat harga diri yang tinggi, namun memiliki sebagian faktor sehingga menghindarkan mereka dari tingkat harga diri yang rendah.

2.5. Deviasi dan Norma

Pembahasan mengenai situasi orang yang terkena stigma dan tanggapannya terhadap titik di mana dia masuk untuk menempatkan kerangka kerja yang dihasilkan dalam konteks konseptual yang tepat, akan berguna untuk mempertimbangkan dari sudut pandang yang berbeda dari konsep penyimpangan.Ini menjadi sebuah Jembatan yang menghubungkan studi stigma dengan studi tentang seluruh dunia sosial.

Sangat jarang untuk memikirkan dan mendramatisir apa yang paling sesuai dalam menganalisi masalah ini. Namun, tampaknya perbedaan aneh itu paling berguna sebagai sarana untuk membuat seseorang mengasumsikan identitas yang lain guna menghindari kesadaran seseorang. Juga dimungkinkan untuk berpikir bahwa kelompok minoritas yang didirikan seperti negro dan Yahudi dapat memberikan objek terbaik untuk analisis semacam ini. Hal ini dapat dengan mudah menyebabkan ketidakseimbangan perilaku. Secara sosiologis, isu utama mengenai kelompok ini adalah tempat mereka dalam struktur sosial; Kontingensi yang dihadapi orang-orang ini dalam interaksi tatap muka hanyalah satu bagian dari masalah, dan sesuatu yang tidak

(17)

dapat sepenuhnya dipahami terhadap sejarah, perkembangan politik, dan kebijakan kelompok saat ini.

Untuk membatasi analisis orang-orang yang memiliki cacat yang melumpuhkan hampir semua situasi sosial mereka, menyebabkan ketidakberuntungan ini dari sebagian besar konsepsi diri mereka secara merata, dalam hal tanggapan mereka terhadap situasi ini. Laporan ini membantah dengan berbeda. Orang yang paling beruntung akan mengalami kegagalan normal, dan untuk setiap kegagalan kecil ada kesempatan sosial saat akan berkembang pesat, menciptakan kesenjangan memalukan antara identitas sosial virtual dan aktual. Untuk itu kadang-kadang bentuk genting dan terus-menerus genting satu kontinum, situasi mereka dalam kehidupan dapat dianalisis oleh kerangka kerja yang sama. Ini tersirat, maka tidak berbeda, kita harus mencari pengertian tentang perbedaan kita, tapi yang biasa. Pertanyaan tentang norma sosial tentu sangat penting, tapi perhatiannya lebih sedikit daripada penyimpangan biasa dari biasanya daripada penyimpangan biasa dari yang biasa.

Dapat diasumsikan bahwa kondisi yang diperlukan bagi kehidupan sosial yaitu adanya seperangkat norma yang diperlukan oleh semua peserta. Norma-norma tersebut dipertahankan sebagiannya dan digabungkan dengan yang lainnya. Ketika sebuah peraturan gagal dijalankan, maka diambillah langkah-langkah perbaikan; Kerusakan terssebut diakhiri dan diperbaiki, baik oleh agen kontrol atau lembaga sosial ataupun oleh pelakunya sendiri.

2.6. The Normal Deviant

Stigma merupakan ciri umum dari masyarakat, sebuah proses yang terjdi ketika adanya hubungan antara identitas dan norma. Fitur yang sama dilibatkan apakah

(18)

perbedaan utama dipertanyakan, jenisnya yang secara tradisional didefinisikan sebagai perbedaan stigmatis, atau perbedaan picayune, yang oleh orang malu malu karena malu. Oleh karena itu, seseorang dapat menduga bahwa peran normal dan peran stigmatisasi adalah bagian dari kompleks yang sama, memotong dari kain standar yang sama. Tentu saja, siswa berpendidikan psikiatri sering menunjukkan konsekuensi patologis penggusuran diri, sama seperti mereka berpendapat bahwa prasangka terhadap kelompok stigmatisasi dapat menjadi bentuk penyakit.

Namun, prasangka ekstrem ini tidak memperhatikan kita, karena pola respons dan adaptasi yang dipertimbangkan dalam esai ini tampaknya sangat dapat dipahami dalam kerangka psikologi normal. Kita dapat mengasumsikan terlebih dahulu bahwa orang-orang dengan stigma berbeda berada dalam situasi yang sama dan merespons dengan cara yang serupa. Apoteker tetangga mungkin akan berbicara dengan tetangga, oleh karena itu toko obat lingkungan telah dihindari oleh orang-orang yang mencari segala peralatan dan pengobatan. Orang yang sangat beragam yang tidak memiliki apa-apa selain kebutuhan untuk mengendalikan; informasi.

Kedua, seseorang dapat mengasumsikan bahwa stigmatisasi dan normal memiliki susunan mental yang sama, dan ini tentu saja merupakan standar dalam masyarakat kita. Dia yang dapat memainkan peranan ini, Dan kedua, seseorang dapat mengasumsikan bahwa stigmatisasi dan normal memiliki susunan mental yang sama, dan ini tentu saja merupakan standar dalam masyarakat kita. Kemudian, memiliki peralatan yang tepat untuk bermain di luar yang lain, dan sebenarnya berkenaan dengan satu stogma atau lainnya mungkin telah mengembangkan beberapa pengalaman dalam melakukannya. Yang terpenting, gagasan tentang perbedaan memalukan mengasumsikan kesamaan dalam hal kepercayaan penting, identitas yang terkait.

(19)

Bahkan di mana dan individu memiliki perasaan dan keyakinan yang cukup abnormal, dia cenderung memiliki masalah yang cukup normal dan menerapkan strategi yang cukup normal dalam usaha menyembunyikan kelainan ini dari orang lain.

2.7. Stigma dan Realita

Sampai sekarang telah diperdebatkan bahwa peran sentral harus diupayakan untuk perbedaan antara identitas sosial virtual dan aktual. Manajemen ketegangan dan manajemen informasi telah ditekankan-bagaimana individu yang stigmatisasi dapat hadir kepada orang lain adalah diri yang genting, mengalami penyalahgunaan dan diskresi. Tapi untuk membiarkannya pada saat ini menciptakan perspektif yang bias, menyiratkan kenyataan yang solid terhadap apa yang lebih shakier dari itu. Stigmatisasi dan normal adalah bagian satu sama lain; Jika seseorang bisa terbukti rentan, pasti harus yang lain juga bisa. Karena dalam menyiratkan identitas kepada individu, tidak dapat diterima atau tidak, pengaturan sosial yang lebih luas dan penghuninya memiliki cara untuk mengkompromikan diri mereka sendiri. Mereka telah menetapkan diri untuk dibuktikan orang bodoh.

Semua ini telah tersirat dalam pernyataan bahwa kadang-kadang dilakukan untuk apa yang dilihat sebagai kesenangan. Orang yang kadang-kadang sering melewati sering menceritakan kejadian tersebut kepada rekan-rekannya sebagai bukti kebodohan norma-norma normal dan fakta bahwa semua argumen mereka tentang perbedaannya dari mereka hanyalah penjatahan rasialisasi. Kesalahan identifikasi ini tergeletak di atas, dilipat oleh orang yang lewat dan teman-temannya.

Demikian pula, orang menemukan bahwa mereka yang pada saat ini secara rutin menyembunyikan identitas pribadi atau pekerjaan mereka mungkin akan senang

(20)

menggoda iblis, dalam membawa percakapan dengan orang-orang normal yang tidak menaruh curiga ke tempat orang-orang normal tanpa sadar menyebabkan orang menipu tema dengan mengekspresikan gagasan yang mana kehadiran orang yang lewat berkepribadian mendiskreditkan. Dalam kasus seperti itu, apa yang telah terbukti salah bukanlah perbedaan orang, melainkan siapa pun dan semua orang yang berada dalam situasi dan berusaha menerapkan pola pengobatan konvensional.

Tapi tentu saja ada kejadian langsung dari situasinya, bukan orangnya yang menjadi terancam. Orang cacat fisik, misalnya, karena harus menerima tawaran simpati dan pertanyaan dari orang asing, terkadang dapat melindungi privasi mereka dengan menjalankan sesuatu selain kebijaksanaan. Dengan demikian, seorang gadis berkaki satu, rentan terhadap banyak pertanyaan oleh orang-orang yang mengalahkannya, mengembangkan sebuah permainan yang dia sebut "ham dan legs" di mana permainan itu menjawab pertanyaan dengan penjelasan yang masuk akal secara dramatis. Seorang gadis yang berbeda dengan situasi yang sama melaporkan strategi serupa.

Dimulai dengan gagasan yang sangat umum dari sekelompok individu yang memiliki beberapa nilai dan mematuhi seperangkat norma sosial mengenai perilaku dan atribut pribadi, seseorang dapat merujuk pada anggota individu yang tidak mematuhi norma sebagai penyimpangan, dan untuk Keunikannya sebagai penyimpangan. Saya tidak berpikir semua deviator memiliki cukup kesamaan untuk menjamin analisis khusus; Mereka berbeda dalam banyak cara daripada yang serupa, sebagian karena perbedaan, karena ukuran, kelompok di mana penyimpangan dapat terjadi. Namun, seseorang dapat membagi wilayah tersebut menjadi petak yang lebih kecil, beberapa di antaranya layak untuk dipelihara.

(21)

2.8. Deviance dan Deviation

Begitu dinamika perbedaan yang memalukan dipandang sebagai ciri umum kehidupan sosial, seseorang dapat terus melihat hubungan studi mereka dengan studi tentang masalah neighbering yang terkait dengan istilah "penyimpangan". Sebuah kata yang saat ini modis yang telah agak dihindari di sini sampai sekarang, terlepas dari kenyamanan labelnya.

Dimulai dengan pengertian yang sangat umum dari sekelompok individu yang memiliki beberapa nilai dan mematuhi seperangkat norma sosial mengenai perilaku dan atribut pribadi, seseorang dapat merujuk pada setiap anggota individu yang tidak mematuhi norma sebagai penyimpangan, dan kepada Pecualiarity sebagai penyimpangan Deviator memiliki cukup kesamaan untuk mendapatkan analisis khusus, namun berbeda dengan banyak cara daripada persamaannya, sebagian karena perbedaan menyeluruh, karena ukuran, kelompok di mana penyimpangan dapat terjadi. Namun, seseorang dapat membagi wilayah tersebut menjadi petak yang lebih kecil, beberapa di antaranya layak untuk dipelihara.

Diketahui bahwa posisi tinggi yang dikonfirmasi pada beberapa kelompok rajutan kecil dapat dikaitkan dengan lisensi untuk menyimpang dan karenanya menjadi penyimpangan. Hubungan antara penyimpangan semacam itu dengan kelompok, dan anggota konsepsi darinya, seperti restrukturisasi berdiri berdasarkan penyimpangan (jika kelompoknya besar, bagaimanapun, yang terkemuka mungkin merasa harus sepenuhnya menyesuaikan diri dengan semua yang terlihat Cara).

Anggota yang didefinisikan sebagai orang sakit secara fisik dalam situasi yang agak sama, jika dia benar-benar menangani status sakitnya, dia dapat menyimpang dari standar kinerja tanpa dianggap sebagai cerminan dia atau hubungannya dengan

(22)

kelompok tersebut. Yang terkemuka dan yang sakit bisa bebas, kemudian, menjadi penyimpang justru karena penyimpangan mereka dapat sepenuhnya diabaikan, sehingga tidak ada identifikasi ulang, situasi khusus mereka menunjukkan bahwa mereka hanyalah penyimpangan - dalam pengertian umum istilah itu.

Dalam banyak kelompok dan komunitas yang erat ada beberapa contoh anggota yang menyimpang, baik dalam akta maupun atribut yang dimilikinya, atau keduanya, dan akibatnya memainkan peran khusus, menjadi simbol kelompok dan pelaku Fungsi clownish tertentu, bahkan saat dia ditolak, penghargaan diberikan kepada anggota penuh. Karakteristik individu ini berhenti memainkan permainan jarak sosial, mendekat dan mendekati sesuka hati. Dia sering menjadi fokus perhatian untuk mengelas orang lain ke dalam lingkaran yang berpartisipasi di sekelilingnya, bahkan saat itu menggandakan beberapa status partisipannya. Ia berfungsi sebagai maskot bagi kelompok meski berkualifikasi dengan cara tertentu untuk menjadi anggota normal.

Orang idiot desa, kota kecil yang mabuk, dan badut peleton adalah contoh tradisional, anak laki-laki bersaudara itu adalah orang lain. Orang akan mengira hanya menemukan satu dari orang-orang semacam itu kepada sebuah kelompok, karena yang pertama adalah semua yang dibutuhkan, contoh lebih lanjut hanya menambah beban masyarakat. Dia mungkin disebut kelompok sesat yang menyimpang untuk mengingatkannya bahwa dia menyimpang relatif terhadap kelompok konkret, bukan hanya norma, dan bahwa penyertaannya yang intensif jika ambivalen dalam kelompok membedakannya dari jenis penyimpangan lain yang terkenal - kelompok tersebut mengisolasi yang terus-menerus dalam situasi sosial dengan kelompok tapi bukan salah satu dari mereka sendiri.

(23)

Saat penyerang di kelompok diserang oleh pihak luar, kelompok tersebut mungkin akan mendapat dukungan, ketika kelompok tersebut diserang, dia kemungkinan besar harus melakukan pertempuran sendiri. Perhatikan bahwa semua jenis deviator yang dipertimbangkan di sini tetap berada dalam lingkaran di mana informasi biografi yang luas tentang mereka - identifikasi pribadi sepenuhnya - tersebar luas. Telah disarankan bahwa dalam kelompok bertubuh kecil penyimpangan kelompok dapat dibedakan dari penyimpangan lain, karena tidak seperti orang-orang lain ini, ia berada dalam hubungan yang condong ke kehidupan moral yang dipertahankan rata-rata oleh anggota.

Memang, jika seseorang ingin mempertimbangkan peran sosial lainnya bersamaan dengan penyimpangan dalam kelompok, mungkin berguna untuk beralih ke peran yang pemainnya tidak sejalan dengan moralitas biasa, meski tidak dikenal sebagai deviator. Karena seseorang mengubah "sistem referensi" dari kelompok kecil seperti keluarga ke kelompok yang dapat mendukung spesialisasi peran yang lebih besar, dua peran semacam itu menjadi nyata. Salah satu peran salah menyelaraskan secara moral ini adalah pendeta atau pendeta, pelaku diwajibkan untuk melambangkan kehidupan yang benar dan menjalaninya lebih dari normal; Yang lainnya adalah petugas hukum, pemain harus melakukan rutinitas sehari-hari dari pelanggaran orang lain yang cukup berarti.

Ketika "sistem referensi" digeser lebih jauh dari komunitas tatap muka ke dunia metropolitan yang lebih luas (dan wilayah berafiliasi, resor dan tempat tinggal mereka), perubahan yang sesuai ditemukan dalam keragaman dan makna penyimpangan. Salah satu penyimpangan tersebut penting di sini, jenis yang ditunjukkan oleh individu yang dipandang mengalami kemunduran secara sukarela dan terbuka untuk menerima tempat

(24)

sosial sesuai dengan mereka, dan yang bertindak tidak beraturan dan agak memberontak sehubungan dengan institusi dasar kita - keluarga, sistem kelas usia , Pembagian peran stereotip antara jenis kelamin, pekerjaan penuh waktu yang sah yang melibatkan pemeliharaan satu identitas resmi yang diratifikasi pemerintah, dan pemisahan berdasarkan kelas dan ras. Ini adalah '' disaffiliates '. Orang-orang yang menganggap ini berdiri sendiri dan mereka sendiri dapat disebut eksentrik atau "karakter".

Mereka yang aktivitasnya kolektif dan terfokus dalam beberapa bangunan atau tempat (dan seringkali pada suatu kegiatan khusus) mungkin disebut cultists mereka yang datang bersama ke dalam sub-komunitas atau lingkungan dapat disebut penyimpang sosial, dan kehidupan korporat mereka merupakan komunitas yang menyimpang, yang merupakan tipe khusus, tapi hanya satu jenis, penyimpangan. Jika ada bidang penyelidikan yang disebut "penyimpangan", penyimpangan sosial seperti yang didefinisikan di sini mungkin merupakan intinya. Pelacur, pecandu narkoba, nakal, penjahat, musisi jazz, bohemian, gipsi, pekerja karnaval, hobos, winos, menunjukkan orang, penjudi purna waktu, penghuni pantai, homoseksual, dan orang miskin perkotaan yang tidak bertobat - ini akan disertakan.

Inilah orang-orang yang dianggap terlibat dalam semacam penolakan kolektif tatanan sosial. Mereka dianggap gagal menggunakan kesempatan yang tersedia untuk kemajuan di berbagai landasan pacu yang disetujui masyarakat; Mereka menunjukkan ketidaksenonohan terhadap betters mereka; Mereka tidak memiliki kesalehan; Mereka mewakili kegagalan dalam skema motivasi masyarakat.

Begitu inti penyimpangan sosial terbentuk, seseorang dapat melanjutkan ke kasus perifer: radikal politik berbasis masyarakat yang tidak hanya memilih dengan cara yang berbeda namun menghabiskan lebih banyak waktu dengan kebutuhan mereka

(25)

sendiri daripada yang secara politis diperlukan. Orang kaya bepergian yang tidak diarahkan ke minggu kerja eksekutif, dan menghabiskan waktu mereka hanyut dari satu tempat yang panas ke tempat yang lain. Ekspatriat, dipekerjakan atau tidak, yang secara rutin mengembara setidaknya beberapa langkah dari PX dan American Express.

Penunggang asimilasi etnis yang dibesarkan di dua dunia masyarakat orang tua dan masyarakat orang tua mereka, dan dengan tegas berpaling dari jalur mobilitas konvensional yang terbuka bagi mereka, melapisi sosialisasi sekolah mereka dengan banyak hal normal yang akan dilihat sebagai sesuatu yang aneh Kostum ortodoksi agama; Metropolitan tidak menikah dan hanya menikah yang tidak memiliki kesempatan untuk membesarkan keluarga, dan malah mendukung masyarakat samar yang memberontak, meski ringan dan berumur pendek, melawan sistem keluarga.

Dalam hampir semua kasus ini, beberapa orang menunjukkan disaffiliation, seperti juga eksentrik dan pemuja agama, dengan cara ini memberi garis tipis yang bisa ditarik antara mereka semua dan deviator di sisi lain, yaitu orang-orang yang diam-diam tidak berafiliasi- Penggemar yang menjadi sangat menyukai avokasi mereka sehingga hanya sekam yang tersisa untuk keterikatan sipil, seperti pada beberapa kolektor perangko yang bersemangat, pemain tenis klub, dan penggemar mobil sport.

Penyimpang sosial, sebagaimana didefinisikan, memamerkan penolakan mereka untuk menerima tempat mereka dan untuk sementara ditolerir dalam pemberontakan gestur ini, dengan syarat bahwa hal itu dibatasi dalam batas-batas ekologi komunitas mereka. Seperti ghetto etnik dan rasial, komunitas ini merupakan pertahanan diri dan tempat penyimpangan individu secara terbuka dapat menerima bahwa setidaknya dia sama baiknya dengan orang lain.

(26)

Tapi selain itu, penyimpang sosial sering merasa bahwa itu tidak hanya sama dengan tapi lebih baik daripada normal, dan bahwa kehidupan yang mereka jalani lebih baik daripada yang dijalani oleh orang-orang yang seharusnya mereka dapatkan. Penyimpang sosial juga menyediakan model untuk orang normal yang gelisah, tidak hanya mendapatkan simpati tapi juga merekrut. (Penanam kayu juga bisa mendapatkan petobat, tapi fokusnya adalah pada program tindakan bukan gaya hidup). Orang bijak bisa menjadi sesama pelancong.

Secara teori, sebuah komunitas yang menyimpang bisa tampil untuk masyarakat pada sesuatu yang besar dari fungsi yang sama yang dilakukan oleh kelompok sesat yang menyimpang untuk kelompoknya, namun sementara ini dapat dipikirkan, belum ada yang menolak demostrasi kasus ini. Masalahnya adalah bahwa area yang luas dari mana orang-orang yang direkrut ke komunitas yang menyimpang ditarik bukanlah sistem, entitas, kebutuhan dan fungsi, seperti kelompok tatap muka kecil.

Dua jenis deviator telah dipertimbangkan di sini: penyimpangan kelompok dan penyimpangan sosial. Dua tipe sosial kategori tetangga harus disebutkan. Pertama, kelompok minoritas etnis dan ras: Individu yang memiliki sejarah dan budaya bersama (dan seringkali merupakan negara asal yang sama), yang mentransmisikan keanggotaan mereka di sepanjang garis keturunan, yang berada dalam posisi untuk menuntut tanda-tanda kesetiaan dari beberapa anggota, dan Yang berada dalam posisi yang relatif kurang beruntung di masyarakat. Kedua, ada anggota kelas bawah yang cukup memperhatikan tanda status mereka dalam pidato, penampilan, dan cara mereka, dan siapa, yang relatif terhadap institusi publik masyarakat kita, menganggap mereka adalah warga kelas dua.

(27)

Sekarang jelas bahwa penyimpangan dalam kelompok, penyimpangan sosial, anggota minoritas, dan orang kelas bawah kemungkinan besar akan mendapati diri mereka berfungsi sebagai individu yang mengalami stigmatisasi, tidak yakin dengan penerimaan yang menunggu mereka dalam interaksi tatap muka dan terlibat secara mendalam dalam Berbagai tanggapan terhadap situasi ini. Ini akan jadi jika tidak ada alasan lain selain bahwa hampir semua orang dewasa harus memiliki beberapa hubungan dengan organisasi layanan, baik komersial maupun sipil, di mana perlakuan sopan dan seragam seharusnya berlaku berdasarkan tidak lebih ketat daripada kewarganegaraan, namun di mana peluang akan muncul.

Untuk perhatian tentang penilaian ekspresif individual berdasarkan ideal kelas menengah virtual. Namun, seharusnya sama jelasnya, bahwa pertimbangan penuh dari salah satu dari keempat kategori ini mengarah ke luar, dan jauh dari, apa yang perlu dipertimbangkan dalam analisis stigma. Misalnya, ada komunitas menyimpang yang anggotanya, terutama saat jauh dari lingkungan mereka, tidak terlalu memperhatikan penerimaan sosial mereka, dan karena itu hampir tidak dapat dianalisis dengan mengacu pada manajemen stigma.

Sebuah contoh akan menjadi kejadian luar biasa di pantai-pantai hangat Amerika di mana dapat ditemukan orang-orang muda penuaan yang belum siap untuk terkontaminasi oleh pekerjaan dan yang secara sukarela mengabdikan diri mereka pada berbagai bentuk mengendarai ombak. Juga tidak boleh dilupakan bahwa terlepas dari empat kategori yang disebutkan, ada beberapa orang yang kurang beruntung yang sama sekali tidak distigmatisasi, misalnya seseorang yang menikah dengan pasangan yang jahat dan egois, atau seseorang yang tidak kaya dan harus membesarkan empat anak. Atau seseorang yang cacat fisiknya (misalnya, cacat pendengaran ringan) telah

(28)

mengganggu hidupnya, meskipun semua orang, termasuk dirinya sendiri, tetap tidak sadar bahwa ia memiliki cacat fisik.

Orang-orang yang memiliki stigmatisasi memiliki cukup banyak situasi dalam kehidupan yang sama untuk menjamin penggolongan semua orang ini bersama-sama untuk tujuan analisis. Oleh karena ekstraksi telah dibuat dari bidang tradisional masalah sosial, ras dan hubungan etnis, disorganisasi sosial, kriminologi, patologi sosial, dan penyimpangan - ekstraksi sesuatu yang dimiliki semua bidang ini. Kesamaan ini dapat diatur berdasarkan asumsi yang sangat sedikit mengenai sifat manusia. Apa yang tersisa di masing-masing bidang tradisional kemudian dapat diperiksa ulang untuk apa pun yang benar-benar istimewa untuk itu, sehingga membawa koherensi analitis ke kesatuan yang sekarang murni bersejarah dan tidak disengaja.

Mengetahui bidang apa seperti hubungan ras, penuaan, dan pembagian kesehatan mental, orang kemudian dapat melihat secara analitis, bagaimana perbedaannya. Mungkin dalam setiap kasus pilihannya adalah mempertahankan wilayah-wilayah substantif lama, tapi setidaknya akan jelas bahwa masing-masing hanyalah area dimana seseorang harus menerapkan beberapa perspektif, dan bahwa pengembangan salah satu dari perspektif analitik yang koheren ini tidak Kemungkinan datang dari mereka yang membatasi minat mereka secara eksklusif pada satu bidang substantif.

2.9. Ibu Rumah Tangga dan Penyalahgunaan Narkoba

Ibu rumah tangga merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang telah menikah serta menjalankan pekerjaan rumah. Merawat anak-anak,

(29)

memasak, membersihkan rumah, dan tidak bekerja diluar rumah. Seorang ibu rumah tangga sebagai wanita menikah yang bertanggung jawab atas rumah tangganya.

Dalam masyarakat modern sekarang ini, termasuk di Indonesia sudah menjadi keadaan yang biasa, seorang ibu rumah tangga aktif melakukan kegiatan diluar rumah tangga atau keluarganya. Hal ini baik karena dorongan faktor kebutuhan ekonomis yang meningkat maupun oleh faktor lain seperti sosial psikologis karena banyaknya ibu rumah tangga yang berpendidikan yang mempunyai berbagai keterampilan untuk bekerja.

Dengan semakin banyaknya ibu rumah tangga beraktivitas diluar rumah, baik bekerja maupun dalam aktivitas lain sebagaimana halnya laki-laki, tentu juga mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Akibatnya ibu rumah tangga yang melakukan kejahatanpun semakin meningkat pula. Hal ini dapat dilihat di berbagai media massa tentang berita-berita kriminalitas yang dilakukan oleh ibu rumah tangga.

Bahkan dalam kehidupan sehari-hari bukanlah hal yang luar biasa bila keberadaan wanita (khususnya ibu rumah tangga) merupakan indikator meningkatnya kualitas kejahatan. Hal ini menunjukkan betapa tertekannya kondisi sosial kaum wanita (khususnya ibu rumah tangga) di satu sisi, yaitu mulai dari tekanan dalam keluarga sampai kepada masalah ekonomi yang semakin menghimpit, sehingga kontribusi ini menjadikan wanita (khususnya ibu rumah tangga) terlibat dalam peredaran narkoba.

Keterlibatan wanita (khususnya ibu rumah tangga) dalam peredaran narkoba baik itu sebagai pemakai atau pengedar atau sekaligus kedua-duanya untuk setiap tahunnya dari mulai tahun 2008 sampai dengan 2014 mnunjukkan angka yang bervariasi. Untuk tahun 2008 jumlah tindak kejahatan narkoba di Sumatera Utara adalah sebesar 2846 kasus dimana yang berjenis kelamin wanita sebanyak 142 kasus atau

(30)

sebesar 6,48 % dari semua kasus narkoba. Untuk tahun 2009 mengalami peningkatan dimana jumlah tindak kejahatan narkoba sebesar 2623 kasus dan yang dilakukan wanita sebanyak 164 kasus atau sebesar 6,72%. Untuk tahun 2010 ada sebanyak 883 kasus dimana yang melibatkan wanita sebanyak 57 kasus atau sebesar 6,34%.

Tahun 2011 ada sebanyak 1418 kasus kejahatan narkoba di Sumatera Utara sedangkan yang melibatkan wanita sebanyak 146 kasus atau sebesar 12,64%. Untuk tahun 2012 ada sebanyak 3096 kasus dimana yang melibatkan wanita sebanyak 182 kasus atau sebesar 8,76%. Untuk tahun 2013 ada sebanyak 2314 kasus kejahatan narkoba dan yang melibatkan wanita sebanyak 152 kasus atau sebesar 7,63%. Untuk tahun 2014 ada sebanyak 1864 kasus tindak kejahatan narkoba dimana yang melibatkan wanita sebanyak 94 kasus atau sebesar 8,22%.

2.10. Kerangka Pemikiran

Munculnya stigmatisasi terhadap penyalahguna narkoba (khususnya ibu rumah tangga) disebabkan oleh kostruksi sosial negatif yaitu, (1) dihubungkannya penyalahguna narkoba (ibu rumah tangga) dengan kelompok marginal; (2) Karakteristik penyalahguna narkoba sebagai orang yang berbahaya. Ditambah dengan kurangnya pengetahuan mengenai penyalahgunaan narkoba dan persepsi yang salah tentang penyalahguna narkoba menimbulkan respon antagonistik berupa stigma dari masyarakat terhadap penyalahguna narkoba (khususnya ibu rumah tangga).

Beragam aspek sosio-ekonomi dan kesejahteraan sosial (psikologis) yang mungkin dipengaruhi oleh stigma internal, penelitian ini secara spesifik ingin menyoroti hubungan antara stigma internal dan salah satu aspek kesejahteraan sosial (psikologis) yaitu, tingkat harga diri pada penyalahguna narkoba (khususnya ibu rumah tangga).

(31)

Karakteristik penyalahguna narkoba sebagai orang yang kental dengan isu stigma, sehingga tingkat harga diri yang baik dapat menjadi pendorong bagi mereka untuk mengapresiasi dan menghargai diri mereka agar bangkit dan tidak didera perasaan malu, bersalah yang mengakibatkan mereka kembali ke dunia hitam (penyalahgunaan narkoba).

(32)

Bagan Alur Pemikiran

Latar Belakang - Konstruksi sosial negatif

- Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai narkoba - Persepsi yang salah mengenai penyalahguna narkoba

Tindak Stigmatisasi oleh Masyarakat

Stigma Internal

Gangguan kesejahteraan sosial (psikologis) pada penyalahguna narkoba (ibu rumah tangga) seperti : Depresi, kecemasan, menurunnya tingkat self-efficacy, dan tingkat harga diri.

(33)

2.11. Definisi Konsep

Adapun yang menjadi batasan-batasan konsep yang dibuat peneliti ialah sebagai berikut :

1. Stigma merupakan proses dinamis dari devaluasi yang secara signifikan mendiskredit seorang individu di mata individu lainnya.

2. Harga diri merupakan tahapan dimana kualitas dan karakteristik self-concept yang dimilikiseseorang dianggap positif.Harga diri merefleksikan gambaran citra diri, kemampuan, pencapaian, dan nilai yang dimiliki serta sejauh mana seorang individu sukses menerapkannya.

3. Ibu Rumah Tangga merupakan seorang wanita menikah yang bertanggung jawab atas rumah tangganya.

4. Penyalahguna Narkoba merupakan orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

Referensi

Dokumen terkait

Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang. sangat jarang menberi dukungan dan memiliki peran yang

“Bimbingan sosial kelompok adalah suatu metode dimana individu- individu kelompok dari lembaga sosial dibantu oleh seorang pekerja sosial atau petugas yang membimbing

Nilai sosial merupakan nilai yang didapatkan dari kemampuan produk untuk meningkatkan konsep diri-sosial konsumen. Atribut-atribut dari nilai sosial tersebut meliputi

Peran merupakan perilaku yang dilakukan oleh individu yang memiliki kedudukan tertentu dalam sebuah sebuah komunitas sosial yang secara umum mencakup hal - hal

1) Norma, merupakan seperangkat kode perilaku yang didasari oleh asumsi, nilai dan terus menerus diabadikan ketika anggota kelompok menyaksikan norma tersebut. 2) Bahasa,

menunjuk pada suatu bentuk perilaku sosial anggota masyarakat dalam kehidupan bersama, sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-. norma

kelamin, melainkan lebih didasarkan pada atribut-atribut personalitas atau kepribadian anggota keluarga individu (Friedman, 2010). Peran-peran keluarga sangat penting dan

Dilihat dari beberapa definisi perilaku bully, dapat disimpulkan, perilaku bully adalah perilaku kekerasan secara verbal maupun fisik yang dilakukan oleh sekelompok