• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS WACANA KRITIS SEBAGAI RAGAM PARADIGMA KAJIAN WACANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS WACANA KRITIS SEBAGAI RAGAM PARADIGMA KAJIAN WACANA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS WACANA KRITIS

SEBAGAI RAGAM PARADIGMA KAJIAN WACANA

Sakban Rosidi2

--- Abstract: One of the recent development in the sub-division of linguistics is critical discourse analysis which was inspired by the emergence of critical approach in human sciences. Locating the ciritical discourse analysis in the context of three dominant paradigms of inquiry, this paper identifies the main features of the analysis and its protocol in brief. In addition, the paper discusses the place of the analysis in the context of human liberation.

---

Sebagai pengguna bahasa, manusia memilih kata, membentuk frasa, dan menyusun kalimat, serta memilih topik pembicaraan secara tertentu. Praktik berwacana, karena itu, tidak hanya bertujuan menyampaikan pesan, tetapi juga untuk memperjuangkan kepentingan. Melalui praktik berwacana (discursive practice) seseorang tidak hanya mengarahkan, tetapi juga membatasi perhatian dan merekayasa

1

Makalah disajikan pada Sekolah Bahasa, atas prakarsa Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Bahasa, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 15 Desember 2007. Sebagian dari pokok-pokok pikiran bagian ini sudah pernah saya sajikan dalam berbagai kesempatan dan tulisan. Agar tak terasing dari tradisi penulisan karya keilmuan humaniora, penyajian mengikuti gaya penulisan Turabian (documentary-note system).

2

SAKBAN ROSIDI, lahir di Kediri, 1 Oktober 1963. Kini pembina matakuliah

Schools of Linguistics, Current Issues in Linguistics, dan English Cultural Backgound,

(2)

batin khalayak sasaran. Tak pelak, tindak berbahasa bisa bertujuan mempengaruhi, menguasai, menundukkan, dan bahkan menjinakkan manusia lain.3

Diletakkan dalam konteks teori pemerolehan kekuasaan, praktik berwacana merupakan bagian dari upaya penguasaan hegemonik. Berbeda dari upaya penguasaan koersif yang bertolak dari matra keragaan manusia, upaya hegemoni justru bertolak dari matra kejiwaan manusia. Bukan meruda-paksa lahir orang lain, melainkan merekayasa batin orang lain. Perbincangan seputar praktik berwacana sebagai siasat hegemonik menjadi lebih menarik karena justru dengan modalitas yang sama, khalayak sasaran siasat itu bisa melakukan perlawanan. Aneka ragam bahasa plesetan, misalnya, bagi peminat kajian analisis wacana bisa ditafsir sebagai salah satu bentuk perlawanan simbolik kaum lemah terhadap hegemoni penguasa.4

Sebagai sekedar penggoda bagi para peminat kajian bahasa agar lebih tertarik pada pesona analisis wacana kritis, sajian ini bermaksud menelusuri asal-muasal, kekhususan, dan protokol analisis wacana kritis. Upaya penelusuran asal-muasal dilakukan dengan menempatkan analisis wacana kritis dalam konteks tiga paradigma kajian. Upaya penelusuran kekhususan dilakukan dengan menemukenali ciri-ciri utama analisis wacana kritis. Agar sajian tidak berhenti sebagai sekedar wawasan, tetapi menawarkan seperangkat kecakapan, maka disajikan pula protokol ringkas teknik analisis wacana kritis.

3

Kenneth Burke. 1966. Language as symbolic action. Berkeley: University of California Press

4

Sakban Rosidi. 1996. Plesetan, Kiat Hidup Jiwa Merdeka . Surabaya Post, 26 Agustus 1996.

(3)

Secara ontologik, ilmu bahasa mengkaji berbagai gejala bahasa, dan tali-temali bahasa dengan gejala lain. Lazimnya, bahasa dicandra dalam lima wujud. Pertama, karena kelahiran bahasa bermula dari ujaran (speech), maka gejala terkecil bahasa adalah bunyi (sound, phone). Gejala bahasa terkecil kedua berupa morfem (morpheme) dan kata (word). Berikutnya, gejala bahasa berupa kelompok kata dengan susunan terpola (patterned order of words), baik frasa (phrase) maupun kalimat (sentence). Karena bahasa niscaya digunakan untuk bertukar pesan, maka unsur sangat penting bahasa berikutnya adalah makna (meaning).

Belakangan, alih-alih hanya mempersoalkan unsur-unsur bahasa, pertanyaan tentang cara-cara bahasa digunakan juga semakin sering diajukan. Bagaimana para pengguna bahasa saling menafsirkan maksud? Bagaimana pula seseorang bisa ikut ambil bagian dalam kegiatan percakapan?

In the study of language, some of most interesting questions arise in connection with the way language is used , rather than what is components are. ... We were, in effect, asking how it is that language-users interpret what other language-users intend to convey. When we carry this investigation further and ask how it is that we, as language-users, make sense of what we read in text, understand what the speakers mean despite what they say, recognize connected as opposed to jumble or incoherent discourse, and successfully take part in that complex activity called conversation, we are undertaking what is known as discourse analysis.

Sebegitu jauh, kritik introspektif terhadap arah perkembangan ilmu bahasa tidak pula surut. Sejak muncul hingga menyurutnya gerakan linguistik modern

5

George Yule. 1985. The Study of Language. Cambridge: Cambridge University Press.

(4)

(modern linguistics), para ahli bahasa cenderung menatap bahasa dalam status ontologiknya sendiri. Kendati pemberian status ontologik tersendiri ini memungkinkan analisis lebih mendalam terhadap unsur-unsur bahasa, ada harga yang harus dibayar dengan mahal. Sebagai gejala manusiawi, bahasa telah diceraikan dari peristiwa nyata komunikasi antar manusia.

The language science of the 20th century, known as modern linguistics, resolved to disconnect language and study it by itself. But in the world of human beings, you won t find a language by itself. You only find

discourse, that is, real communicative events. So ever since, linguists have

been trying to reconstruct language disconnected from discourse, believing that it should be done to create a proper science and not seriously question whether it actually could be done.

Let s watch what happened in the story of language science during the first half of the 20th century. Language got divided up into various domains to be studied separately, starting with the ones that are easier to disconnect from discourse. Linguistics made a fine start by describing the simplest language

sounds in the domain of phonology.6

Mudah dinalar apabila kemudian muncul sorotan sangat tajam terhadap kecenderungan tersebut. Setelah puluhan tahun penelitian tentang sintaksis, misalnya, tidak satu pun sistem dan aturan terpola yang mendasari bahasa berhasil dirumuskan. Masalahnya sederhana, tetapi tetap saja sulit dipecahkan, yaitu karena para ahli ilmu bahasa mengabaikan kenyataan bahwa susunan kata-kata dalam frase dan kalimat hanya sebagian yang ditentukan oleh sintaksis. Sebagian lainnya ditentukan oleh wawasan pengguna bahasa tentang dunia dan masyarakatnya.

6

Robert de Beaugrande. 1996. The Story of Discourse Analysis . In Teun van Dijk (ed.). Introduction to Discourse Analysis. London: Sage, 35-62.

(5)

But here our story begins to look bleak. After three decades of research on syntax, no such system of underlying patterns and rules has yet been produced for any natural language. All we have is a pile of fragments such a system might contain, but no idea how they fit together and how we can supply the rest. The problem is simple and, I am convinced, unsolvable: the arrangement of words in phrases and sentences is decided only partly by syntax, and partly by speakers knowledge of the world and of their society.

Tidak ada pilihan lain, para ilmuwan bahasa harus mengaitkan kembali bahasa dengan pengetahuan manusia. Usaha-usaha untuk hanya memaparkan bahasa dalam dirinya sendiri harus dihentikan sementara. Ini berarti bahwa para ahli bahasa ditantang untuk menghentikan kegiatan terhadap data yang sudah ditemukan, dan mulai bekerja dengan data autentik. Analisis wacana dihadirkan di hadapan khalayak peminat kajian bahasa untuk memenuhi tantangan tersebut.

To explain the arrangement, we must language with that knowledge and

. And we must quit

and start

These prospects are precisely what discourse analysis intends to achieve.

Kendati belakangan begitu banyak disebut, lebih-lebih dalam media massa cetak, istilah wacana tidak selalu dipahami dalam makna, dan dihayati dalam cita-rasa yang sama.9 Para pejabat pemerintah dan penulis populer, misalnya, mengartikan wacana sebagai gagasan yang masih dibicarakan dan belum merupakan keputusan.10

7

Robert de Beaugrande. 1996. The Story of Discourse Analysis , pp. 35-62.

8

Robert de Beaugrande. 1996. The Story of Discourse Analysis , pp. 35-62.

9

Periksa Sara Mills. 1997. Discourse. London: Routledge.

10

Periksa P. Nurwandono. 2004. Pinjaman Daerah, Perlu Wacana Kehati-hatian , dalam Kompas 22 November 2004.

(6)

Istilah wacana (discourse) yang berasal dari Bahasa Latin, discursus, telah digunakan baik dalam arti terbatas maupun luas. Secara terbatas, istilah ini menunjuk pada aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang mendasari penggunaan bahasa baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Secara lebih luas, istilah wacana menunjuk pada bahasa dalam tindakan serta pola-pola yang menjadi ciri jenis-jenis bahasa dalam tindakan.

Discourse is a term used in linguistics to describe the rules and conventions underlying the use of language in extended stretches of text, spoken and writen. (Such an academic study is referred to as discourse analysis ). The term is also used as a convenient general term to refer to language in action and the patterns which characteristise particular types of language in action.11 Analisis wacana, dalam arti paling sederhana adalah kajian terhadap satuan bahasa di atas kalimat. Lazimnya, perluasan arti istilah ini dikaitkan dengan konteks lebih luas yang mempengaruhi makna rangkaian ungkapan secara keseluruhan. Para analis wacana mengkaji bagian lebih besar bahasa ketika mereka saling bertautan. Beberapa analis wacana mempertimbangkan konteks yang lebih luas lagi untuk memahami bagaimana konteks itu mempengaruhi makna kalimat.

Discourse analysis is sometimes defined as the analysis of language 'beyond the sentence'. This contrasts with types of analysis more typical of modern linguistics, which are chiefly concerned with the study of grammar: the study of smaller bits of language, such as sounds (phonetics and phonology), parts of words (morphology), meaning (semantics), and the order of words in sentences (syntax). Discourse analysts study larger chunks of language as they

11

Ronald Carter, et al. 1997. Working with Texts: A core book for language analysis. London: Routledge.

(7)

flow together. Some discourse analysts consider the larger discourse context in order to understand how it affects the meaning of the sentence.

Sebagai pendekatan analitik yang sedang berkembang (in status ascendi), analisis wacana tidak hanya mengemuka dalam kajian bahasa, tetapi juga dalam berbagai lapangan kajian lain. Kalau dalam linguistik, analisis wacana menunjuk pada kajian terhadap satuan bahasa di atas kalimat yang memusatkan perhatian pada aras lebih tinggi dari hubungan ketata-bahasaan (grammatical), dalam sosiologi, analisis wacana menunjuk pada kajian hubugan konteks sosial dengan pemakaian bahasa. Kalau dalam psikologi sosial, analisis wacana menunjuk pada kajian terhadap struktur dan bentuk percakapan atau wawancara, dalam ilmu politik, analisis wacana menunjuk pada kajian terhadap praktik pemakaian bahasa dan tali-temalinya dengan kekuasaan. Tampak jelas, digunakan dalam lapangan kajian apa pun, istilah analisis wacana niscaya menyertakan telaah bahasa dalam pemakaian.

Seperti dialami oleh semua cabang kajian dalam ilmu-ilmu kemanusiaan (human sciences), pendekatan analisis wacana juga terpilah berdasarkan paradigma kajian (paradigm of inquiry) yang mendasarinya. Secara umum ada tiga paradigma kajian yang berkembang dan saling bersaing dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Masing-masing adalah analisis wacana positivisme (positivist discourse analysis), analisis

12

Deborah Tannen. 2004. Discourse Analysis. Working Paper. Georgetown University.

(8)

wacana interpretivisme (interpretivist discourse analysis), dan analisis wacana kritisisme (critical discourse analysis).13

Bersandar pada paradigma positivisme, bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Terkait dengan analisis wacana, para peneliti bahasa tidak perlu mengetahui makna-makna atau nilai subjektif yang mendasari suatu pernyataan. Analisis wacana positivistik memperhatikan dan mengutamakan pemenuhan seperangkat kaidah sintaksis dan semantik. Kebenaran semantik dan ketepatan sintaksis menjadi takaran utama dalam aliran ini. Karena itu, analisis wacana positivistik diarahkan pada penggambaran tata-aturan kalimat dan paragraf beserta kepaduan makna yang diasumsikan berlaku umum. Bagaimana kalimat yang baik harus disusun? Bagaimana paragraf yang baik harus ditulis? Bagaimana pula wacana yang baik harus dikembangkan? Bertolak dari masalah-masalah ini, kohesi dan koherensi menjadi tolok-ukur utama dalam setiap analisis wacana positivistik.14

Penganjur paradigma interpretivisme menolak pemisahan manusia sebagai subjek dengan objek. Bahasa tidak dapat dipahami terkecuali dengan memperhatikan subjek pelakunya. Subjek manusia diyakini mampu mengendalikan maksud-maksud tertentu dalam tindak berwacana. Karena itu, setiap pernyataan pada hakikatnya adalah tindak penciptaan makna. Dalam perspektif ini pula berkembang teori

13

Mohammad AS.Hikam.1999. Bahasa, Politik dan Penghampiran Discursive Practice : Sebuah Catatan Awal , dalam Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.

14

Gillian Brown and George Yule. 1989. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.

(9)

tutur, serta keberlakuan kaidah-kaidah kejasama dalam percakapan.15 Analisis wacana dimaksudkan untuk mengungkap maksud-maksud dan makna-makna tertentu dari subjek. Dalam perspektif ini, bila berkehendak memahami suatu wacana, maka tidak ada jalan masuk lain kecuali pengkaji mampu mengembangkan empati terhadap subjek pelaku wacana.

Penganjur paradigma kritisisme menilai bahwa baik paradigma positivisme maupun paradigma interpretivisme tidak peka terhadap proses produksi dan reproduksi makna. Kedua paradigma tersebut mengabaikan kehadiran unsur kekuasaan dan kepentingan dalam setiap praktik berwacana. Karena itu, alih-alih mengkaji ketepatan tata-bahasa menurut tradisi positivisme atau proses penafsiran sebagaimana tradisi interpretivisme, paradigma kritisisme justru memberi bobot lebih besar terhadap pengaruh kehadiran kepentingan dan jejaring kekuasaan dalam proses produksi dan reproduksi makna suatu wacana. Baik sebagai subjek maupun objek praktik wacana, individu tidak terbebas dari kepentingan ideologik dan jejaring kekuasaan.

The basic structures and functions of ideologies are the same in these cases, namely to self-represent the group, to organize the social practices and identification of its members, and to promote the interests of the group and its members.

It follows that it is theoretically inconsistent and unproductive to reserve the notion of ideology and ideological critique only for dominant ideologies. Indeed, it is a characteristic of ideological discourse to attribute ideologies

15

J. L. Austin. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge, Mass.: Harvard University Press. Periksa pula H. P. Grice. 1989. Studies in the Way of Words. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.

(10)

only to our opponents and truth to ourselves. In the same way as we need a general notion of power, which may also include forms of resistance or counter-power, we need a general notion of ideology. Critical discourse analysis may then very well focus especially on the dominant groups and their ideologies.16

Meskipun ada banyak ranting aliran (variance) dalam paradigma ini, semuanya memandang bahwa bahasa bukan merupakan medium yang netral dari ideologi, kepentingan dan jejaring kekuasaan.17 Karena itu, analisis wacana kritis perlu dikembangkan dan digunakan sebagai piranti untuk membongkar kepentingan, ideologi, dan praktik kuasa dalam kegiatan berbahasa dan berwacana. Dua di antara sejumlah ranting aliran analisis wacana kritis yang belakangan sangat dikenal adalah buah karya Norman Fairclough dan Teun van Dijk.18 Dibanding sejumlah karya lain, buah pikiran van Dijk dinilai lebih jernih dalam merinci struktur, komponen dan unsur-unsur wacana. Karena itu, model analisis wacana kritis ini pula terkesan mendapat tempat tersendiri di kalangan analis wacana kritis.

Ada banyak teknik analisis wacana kritis. Beberapa di antaranya sama sekali tidak memberikan panduan penyelenggaraan. Ini berarti bahwa kaidah menemukan

16

Teun A. van Dijk. 2003. Ideology and discourse: A Multidisciplinary Introduction. Internet Course for the Oberta de Catalunya (UOC).

17

Periksa Sakban Rosidi. "Violence Discourse or Discursive Violence? Toward a Reciprocal Model of Relationship between Language and Violence", Poetica Journal of

Language and Literature, Volume 1, No. 1 August 2001. Periksa pula Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoriter: Dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni. Yogyakarta:

Insist.

18

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LkiS. Periksa pula Stephen W. Littlejohn. 1996. Theories of Human Communication. Belmont: Wadsworth Publishing Company.

(11)

sendiri metode (discovering method) sebagaimana berlaku dalam kebanyakan analisis kualitatif harus dilakukan oleh pengkaji wacana. Karena itu, sebagai sekedar pengantar, saya memilihkan varian analisis wacana kritis yang memiliki kepraktisan untuk dilakukan, yaitu: varian analisis wacana kritis menurut van Dijk.

Sebagai semacam penyegar, alih-alih menyebutnya pembelot, strukturalisme, Teun van Dijk memperlakukan wacana sebagai entitas berstruktur. Karena itu, pendekatan yang ditawarkan pun bertolak dari pencermatan atas tiga tingkatan struktur wacana, yaitu: struktur makro, struktur supra, dan struktur mikro (macro

structure, superstructure, and micro structure). Struktur makro menunjuk pada

makna keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari tema atau topik yang diangkat oleh suatu wacana.

The meaning of discourse is not limited to the meaning of its words and sentences. Discourse also has more 'global' meanings, such as 'topics' or 'themes'. Such topics represent the gist or most important information of a discourse, and tell us what a discourse 'is about', globally speaking. We may render such topics in terms of (complete) propositions such as 'Neighbors attacked Moroccans'. Such propositions typically appear in newspaper headlines.19

Struktur supra menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat wacana.

19 Teun A. van Dijk. 2003. Ideology and discourse: A Multidisciplinary

(12)

Overall meanings, i.e. topics or macrostructures, may be organized by conventional schemata (superstructures), such as those that define an argument, a conversation or a news report. As is the case for all formal structures, schematic structures are not directly controlled by ideological variation. A reactionary and a progressive story are both stories and should both feature specific narrative categories to be a story in the first place.20 Struktur mikro menunjuk pada makna setempat (local meaning) suatu wacana. Ini dapat digali dari aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika. Aspek semantik suatu wacana mencakup latar, rincian, maksud, pengandaian, serta nominalisasi.

Once a topic is being selected, language users have another option in the realization of their mental model (= what they know about an event): To give many or few details about an event, or to describe it at a rather abstract, general level, or at the level of specifics. We may simply speak of 'police violence', that is, in rather general and abstract terms, or we may 'go down' to specifics and spell out what precisely the police did. And once we are down to these specifics, we may include many or few details.21

Aspek sintaksis suatu wacana berkenaan dengan bagaimana frase dan atau kalimat disusun untuk dikemukakan. Ini mencakup bentuk kalimat, koherensi, serta pemilihan sejumlah kata ganti (pronouns).

Ideological discourse structures are organized by the constraints of the context models, but also as a function of the structures of the underlying ideologies and the social representations and models controlled by them. Thus, if ideologies are organized by well-known ingroup-outgroup polarization, then we may expect such a polarization also to be coded in talk and text. This may happen, as suggested, by pronouns such as us and them, but also by

20 Teun A. van Dijk. 2003. Discourse analysis as Ideology analysis. Internet Course for the Oberta de Catalunya (UOC).

21 Teun A. van Dijk. 2003. Ideology and discourse: A Multidisciplinary

(13)

possessives and demonstratives such as our people and those people, respectively.

Thus, we assume that ideological discourse is generally organized by a general strategy of positive self-presentation and negative other-presentation (derogation). This strategy may operate at all levels, generally in such a way that our good things are emphasized and our bad things de-emphasized, and the opposite for the Others whose bad things will be enhanced, and whose good things will be mitigated, hidden or forgotten. This general polarizing principle may be applied both to forms as well as to meanings.22

Aspek stilistika suatu wacana berkenaan dengan pilihan kata dan lagak gaya yang digunakan oleh pelaku wacana. Dalam kaitan pemilihan kata ganti yang digunakan dalam suatu kalimat, aspek leksikon ini berkaitan erat dengan aspek sintaksis.

Intentions are no more or less mysterious than interpretations they are two of a kind, namely subjective mental models of participants. And only then are we able to address more detailed questions such as which properties of discourse can be consciously controlled, and which not, or less so. Thus, choice of overall topics is obviously more intentional than the detailed syntactic structure or intonation of a sentence. Selection of words falls in between lexicalization is largely automatic given underlying mental models

and the lexicon as a basis, but often specific words are chosen deliberately, and depending on genre and context quite well controlled, especially in written communication. There is no doubt that in an important political speech of a president or presidential candidate each word is chosen as a function of its ideologically and communicative presuppositions and implications. That is, when overall communicative control is strict, also ideological discourse expression will become more conscious. In some contexts, on the other hand, both discourse control and ideological control will be largely automatized.23

22 Teun A. van Dijk. 2004. Ideology and Discourse Analysis. Ideology Symposium Oxford, September 2004.

23 Teun A. van Dijk. 2004. Ideology and Discourse Analysis. Ideology Symposium Oxford, September 2004.

(14)

Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Ini mencakup penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang digunakan.

In the production of news, event models (personal knowledge, etc), context models (situation knowledge) and semantic representations form the input for the various levels of expression or formulation: (i) lexicalization, (ii) syntactic structures, (iii) phonological and graphical/visual expression, and (iv) overall discourse schemata for overall ordering of text or talk. Thus, lexicalization will depend, e.g., on the knowledge about the assumed lexical knowledge of the recipients (represented in the context model), on the assumed object knowledge of the recipients, on the assumed context knowledge of the recipients (in formal contexts, more formal words will be used), and so on. Even the production of syntactic structures may depend on the knowledge of the speaker about the linguistic knowledge of the recipients, as well as about recipient's knowledge about the communicative situation.24

Dengan menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat diungkap kognisi sosial pembuat wacana. Secara teoretik, pernyataan ini didasarkan pada penalaran bahwa cara memandang terhadap suatu kenyataan akan menentukan corak dan struktur wacana yang dihasilkan. Bila dikehendaki sampai pada ihwal bagaimana wacana tertentu bertali-temali dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat, maka analisis wacana kritis ini harus

24 Teun A. van Dijk. 2001. Knowledge and News. Paper for the Cuadernos de Filología Valencia). University of Amsterdam. Universitat Pompeu Fabra, Barcelona. February, 2001.

(15)

dilanjutkan dengan analisis sosial.25 Tentu saja analisis lanjutan demikian

memerlukan piranti dan tenaga ahli berbagai bidang ilmu.

Signifikansi Analisis Wacana Kritis

Melalui analisis wacana kritis menjadi kentara bagaimana bahasa telah digunakan sebagai piranti kepentingan. Wacana publik, lebih-lebih pada kasus yang melibatkan kepentingan yang saling berbenturan, terbukti telah dijadikan sebagai senjata, baik bagi yang kuat maupun bagi yang lemah. Satu pihak menggunakan wacana sebagai sarana untuk mengendalikan dan merekayasa batin yang lain. Sebaliknya, pihak lain, dengan piranti wacana pula untuk melakukan perlawanan, atau sekurang-kurangnya melakukan pembakangan.

Melalui analisis wacana kritis, menjadi mudah memahami wacana dan kontra-wacana sebagai setali-tiga-uang dengan hegemoni dan kontra-hegemoni. Ini berati bahwa cabang kajian bahasa yang menautkan unsur-unsur bahasa dengan peristiwa nyata komunikasi ini telah menyumbang cukup besar dalam upaya kita memahami siasat penguasaan hegemonik sekaligus siasat melakukan perlawanan terhadapnya.

Dilekatkan dalam diri pengguna bahasa, ternyata entitas makna memiliki beberapa ciri penting, yaitu: kerentanan dan kepirantian. Karena bersifat rentan dan atau mudah rusak ini, makna-makna diperlakukan secara hati-hati oleh kelompok pendukungnya, dan dipertahankan bila ada serangan terhadapnya.

25 Teun A. van Dijk. 2003. Ideology and discourse: A Multidisciplinary

(16)

Meanings are fragile and precarious and therefore treated gingerly by most people and defended when attacked. Meanings are devices by means of which advantaged people defend and legitimate their privileged circumstances and the less advantaged accommodated themselves to their disadvantaged positions -- that is meaning are self-serving.26

Setiap makna juga bermatra kepirantian. Kelompok yang diuntungkan akan menerapkan politik makna --- yang dalam praktik berupa politik wacana --- untuk mempertahankan dan membenarkan kedudukan istimewa mereka. Sebaliknya, kelompok yang dirugikan akan mengembangkan makna tandingan untuk mengakomodasi diri dalam memberikan perlawanan terhadap bentuk penguasaan ini. Bisa disimpulkan, bila melalui praktik wacana suatu kelompok berhasil menguasai dunia makna manusia lain, maka jalan mereka untuk menguasai dunia batin kelompok lain itu menjadi lebih mulus. Kekuasaan bisa dibangun tidak hanya dengan senjata, tetapi juga bisa dengan praktik berwacana.

Dalam perspektif ini pula, pemikiran teoretik tentang kekuasaan hegemonik menjadi terjembatani. Sebagaimana diteorikan, ada dua cara penguasaan terhadap orang lain, yaitu melalui dominasi-koersif, dan melalui kepemimpinan ideologik-hegemonik. Pada jenis penguasaan pertama, pengendalian sosial dilakukan melalui kekuatan eksternal, misalnya hukuman dan sanksi fisik. Sedangkan pada jenis penguasaan kedua, pengendalian sosial dilakukan secara internal dengan membentuk

(17)

seperangkat cara pandang serta keyakinan atas norma-norma yang disosialisasikan. Kekuasaan jenis kedua ini yang dalam sosiologi politik disebut hegemoni.27

Dalam penguasaan hegemonik, masyarakat digiring untuk menyikapi aneka permasalahan sosial menurut acuan penguasa. Tingkat penguasaan hegemonik ditakar berdasarkan proporsi warga masyarakat yang secara sukarela mau menggunakan kerangka acuan penguasa. Semakin banyak warga masyarakat yang setuju dengan ukuran-ukuran penguasa, berarti semakin besar kekuasaan hegemonik penguasa atas masyarakat tersebut.

Reaksi terhadap dua jenis pengendalian itu pun berbeda. Pada dominasi dan koersi, kepatuhan timbul karena ketakutan mendapat hukuman atau sanksi yang diberikan oleh penguasa. Sedangkan pada penguasaan hegemonik, kepatuhan timbul karena kelompok penguasa dipercaya sebagai yang memiliki keabsahan. Walau bersifat semu (superficial), pada hegemoni kepatuhan menjadi dasar legitimasi kekuasaan.

Namun demikian harus dicermati, bahwa kepatuhan dalam hegemoni pada hakikatnya bersifat, karena tidak tumbuh dari kesadaran kritis manusia. Ini seperti kepatuhan kaum tani terhadap berbagai keharusan yang dikenakan kepada mereka. Mulai dari keharusan menanam jenis dan bibit tanaman, menggunakan pupuk dan obat-obatan, mengikuti pola pengairan, menjadi anggota koperasi, hingga menjual hasil kepada pihak, dan dengan harga tertentu, semua hampir tidak pernah mereka

27 Yoseph Femia. 1981. Gramsci's Political Thought: Hegemony, Consciousness

(18)

tentang secara terang-terangan. Karena itu, tidak mengherankan bila kaum tani sering dicitra sebagai sosok berdunia dua, lahir dan batin.

Dunia perilaku lahir kaum tani bisa saja dikuasai pihak lain. Namun, dunia batin mereka tetap terjaga sebagai milik mereka sendiri. Manakala mereka dihadapkan dengan kekuasaan yang menindas, perlawanan mereka tidak lebih berbentuk kekerasan simbolik (symbolic violence). Gejala ini yang kemudian dicandra sebagai senjata kaum lemah (weapons of the weak). Hanya itu yang mereka mereka miliki dan andalkan untauk bisa bertahan menghadapi kekuasaan. Nggrundel,

ngrasani, mlesetke, atau nggih-nggih mboten kepanggih. 28

Berkenaan dengan kemungkinan kontra-wacana sebagai piranti melawan kekuasaan hegemonik, ternyata tidak semudah sebagaimana dihipotesiskan oleh para pendukung analisis wacana kritis. Meskipun secara teoretik aneka kontra-wacana bisa ditafsir sebagai siasat untuk melawan kekuasaan hegemonik, keberdayaannya tergantung pada pertumbuhan kesadaran kritis (critical consciousness). Hanya dengan kesadaran kritis, kaum lemah bisa mengembangkan kemampuan dan keberanian untuk mempertanyakan penggunaan kewenangan dan sumberdaya yang dipercayakan kepada siapa pun, termasuk pemerintah. Tanpa penumbuhan kesadaran kritis, apa pun siasat sosial yang diperkenalkan akan terhenti tidak lebih sebagai pengimbang kejumawaan (arrogance) dan kesantunan semu (euphimism) bahasa kekuasaan.

28 James C.Scott. 1985. Weapon of the Weak: Everyday Forms of Peasant

(19)

Sampai di sini, analisis wacana kritis bisa diibaratkan sebagai lebah tanpa sengat. Boleh saja dia terus berdengung, tetapi tetap saja tidak dipedulikan, apalagi ditakuti.

Perlu pula ditambahkan, bahwa dalam menghadapi berbagai permasalahan masa kini, apa pun paradigma yang dipilih, semua analisis wacana tidak akan mampu membuat perubahan terkecuali para analisisnya mampu merangsang cara pandang kritis masyarakat. Guna mengemban amanat pembebasan manusia yang tanpa akhir itu, para analis wacana kritis harus mampu mendorong semua pihak, tidak hanya dengan sejumlah alasan dan wawasan, tetapi juga harus dengan keahlian.

We have stressed that, facing the real issues and problems of today's world, discourse analysis, whether critical or not, may not make much difference, unless we are able to contribute to stimulating a critical perspective among our students or colleagues. To do that, we should persuade them not merely by our views or arguments, but also with our expertise. Although many studies in critical discourse analysis have shown that our results so far are encouraging, our expertise is still very limited.29

Ini berarti bahwa bahwa analisis wacana harus dilakukan secara sistematik, didasarkan pada data autentik, dilandasi wawasan teoretik, disajikan secara eksplisit, disemangati sikap reflektif, dan ditutup dengan akhiran terbuka (open-ended). Keterbukaan adalah keberanian menerima pembenahan dari mana pun serta dari siapa pun.

Kesenjangan bahasa, wacana dan tentu saja makna antar dua kelompok kepentingan mencerminkan struktur kemasyarakatan yang masih terbelah, atau apa

29 Teun A. van Dijk. 1993. "Principles of critical discourse analysis". Discourse &

(20)

yang sering disebut dintegrasi vertikal.30 Sebagiannya, ini terjadi karena terdapat kesenjangan praksis bahasa dan wacana antara pejabat pemerintah dengan khalayak masyarakat. Analisis kritis terhadap wacana publik pun menggambarkan dengan jelas, betapa sulit mencapai makna bersama (shared meaning) serta pandangan bersama (shared perspective) tentang berbagai pesoalan. Namun demikian, saya berharap ada kehendak dan tekad untuk segera membangun jembatan emas menuju cara pandang dan pemaknaan bersama tersebut. Sekian.

30 Untuk telaah tipologi integrasi politik dan sosial, periksa Myron Weiner. 1970. Political and Social Integration: Forms and Strategies , in Eric A. Nordlinger. ed. Politics

and Society: Studies in Comparative Political Sociology. Engelewood Cliffs, New Jersey:

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan keterampilan menceritakan hasil pengamatan/kunjungan siswa dapat dilihat dari meningkatnya nilai rata-rata penilaian berbicara yang ditunjukkan dengan

Dengan menulis dan menyusun skripsi dengan judul “Pengaruh Motivasi, Gaya kepemimpinan, Social Capital, dan Human Capital terhadap Kinerja Perusahaan milik Wanita” penulis

Dwi Mahardika, Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share dengan metode resitasi terhadap hasil belajar matematika siswa SMP Negeri 1 Boyolangu tahun

Ketika kompetisi meningkat khususnya pada keahlian dan pengetahuan karyawan, maka efektivitas dan efisiensi dari manajemen penggajian dan fungsi manajemen sumber

Raya Cikreteg Km 3.5 Desa Pancawati... Niaga

pembangunan tahun berikutnya. e) Menyepakati daftar kegiatan prioritas pembangunan Provinsi dan sumber pendanaannya. f) Membagi peserta ke dalam beberapa kelompok berdasarkan

1) Sebagai bahan pembelajaran bagi peneliti dan sebagai bahan tambahan pengetahuan penulis dengan landasan dan kerangka teoritis yang ilmiah atau pengintegrasian

Pengujian hasil pembuatan sistem dilakukan secara langsung terhadap berbagai fitur yang telah dikembangkan seperti sistem pengentrian publikasi baru, pemberian tanda