Rencana Terpadu dan Program Investasi
Jangka Menengah (RPIJM)
Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2017-2021
BAB 4
IV - 1
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
4.1 Aspek Lingkungan dan Sosial
4.1.1 Aspek Lingkungan
Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang (UU 24/1992), yang kemudian diperbaharui
dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU 26/2007). Kebijakan
tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang
semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun
diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum
memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan
ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya
dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin
terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan
perdesaan.
Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk
pada aras global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif
terhadap paradigma pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan
hidup yang semakin luas di Indonesia dewasa ini, ditengarai karena antara
lain perencanaan pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi ketimbang
ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita
seperti menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran
hutan dan lahan, degradasi hutan dan keanekaragaman hayati, serta
pencemaran sungai, laut dan udara, datang silih berganti. Sebagai
akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan hidup yang harus ditanggung
oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat
(benefit) ekonomi yang diperoleh.
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut,
maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang
menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan
IV - 2
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan
baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh
rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian
Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental
Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan
kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk
mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan telah
ditetapkan sebagai landasan operasional pelaksanaan pembangunan,
sepertitercantum dalam RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dariitu, selain UUD
45, UU tentang Lingkungan Hidup, UUtentang Penataan Ruang serta UU
Otonomi Daerah telah menegaskan arti pentingnya lingkungan hidup.
Secara filosofis maupun fenomena riel, pendekatan konsep keruangan
sangat identik dengan fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan
sistemik.
Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan
hidup dalam konstelasi pelaksanaan pembangunan nasionaldan daerah
melalui implementasi UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses
perumusan visi, misi,tujuan, dan strategi pembangunan sampai dengan
pelaksanaannya yang memerlukan alokasi kegiatan disuatu lokasi atau
kawasan tertentu akan senantiasa mengandung kepentingan pelestarian
lingkungan hidup.
Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan,
perhatian pada lingkunganhidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal
proses penetapan strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi
dan upaya untuk mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup
strategis telahdilakukan sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatifKLH,
Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan tidak saja menyangkut
pembangunan regional dan pembangunan daerah tetapi juga
pembangunansektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode,dan
IV - 3
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini
baru pada tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan
satu alat kaji pada tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan nasional maupun daerah. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang
AMDAL dinyatakan bahwa salahsatu instrumennya yaitu AMDAL Regional
telah dihapuskan, sehingga sebuah format kajian mengenai lingkungan
hidup pada aras strategis dalam konteks pembangunan semakin diperlukan.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara
internasional dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA),
dalam satu dekade terakhir dapat dikatakan masih dalam tahap awal
pengembangan di Indonesia. Yang dimaksud dengan tahap awal adalah
bahwa KLHS baru dalam tahap penapisan (screening) dan pelingkupan
(scoping) serta masih dalam bentuk kajian yang belum diimplementasikan
secara riel. Dengan kata lain, KLHS belum menjadi bagian dari kebijakan
pembangunan nasional. Namun dari pengalaman selama ini, dapatditarik
satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai padataraf sangat dibutuhkan,
dan perlu segera diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks
kebijakan nasional maupun daerah.
Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka
sejumlah alternatif mekanisme penerapannya dalam konteks substansi,
konstitusi, kelembagaan maupun pendekatan, metode,dan teknis
pelaksanaannya telah dicoba untuk dirumuskan. Tentunya alternatif -
alternatif ini perlu di uji coba pula, khususnya dalam konteks kebijakan
penyelenggaraannya.
Memahami permasalahan dan tantangan di atas,maka sasaran
pembangunan lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci
sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai,danau, dan situ),
sekaligus pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor.
2. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui usaha konservasi
IV - 4
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui
kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.
4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap.
5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global.
6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara
berkelanjutan sesuai dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy
and Action Plan) 2003–2020.
7. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan
menempatkan faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.
8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.
9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap
kerusakan lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa
bumi,tsunami, dan lainnya).
10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup
yang inovatif.
11. Meningkatkan diplomasi internasional.
12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi
lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus
diarahkan untuk:
1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.
2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat
nasional dan daerah.
3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan
dan penegakannya secara konsisten terhadap pencemaran
lingkungan.
4. Meningkatkan upaya pengendalian dampaklingkungan akibat kegiatan
pembangunan.
5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik di
IV - 5
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
permasalahan yang bersifat akumulatif, fenomena alam yang musiman,
dan bencana.
6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas
lingkungan hidup; dan
7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk
informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan
informasi kewaspadaan dini terhadap bencana.
Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam
program-program pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan
hidup dan pengelolaan sumber daya alam, sebagaimana tercantum dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Program ini
bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai
penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik. Kegiatan pokok
yang tercakup antara lain penyusunan tata ruang dan zonasi untuk
perlindungan sumber daya alam, terutama wilayah-wilayah yang rentan
terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan,serta
bencana alam lainnya;
4.1.1.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM
2004-2009 serta UU Otonomi Daerah berikut arahan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Dirjen PUOD, konsep
KLHS secara filosofis dan konseptual sangat relevan menjadi
bagian pokok arah kebijakan pembangunan, dengan mengingat
bahwa pembangunan lingkungan merupakan dasar bagi
pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS memiliki kapasitas
untuk menjadi payung yang mengintegrasikan permasalahan riel
dan kebutuhan pembangunan dengan proses pengambilan
kebijakan pembangunan yang lebih bersifat holistik dan sistemik
IV - 6
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
konflik dan perilaku eksploitatif sumber daya alam. Bahkan dari
sisi kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki potensi
sebagai integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme dinamika partai politik, yaitu kampanye politik
dan sistem pemilihan umum.
Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi
perhatian untuk dicarikan terobosan solusinya dalam kondisi saat
ini adalah pada tatanan metode penerapannya, karena dalam
acuan struktur kebijakan khususnya dalam kaitannya dengan
institusionalisasinya masih ditemui inkonsistensi,serta belum
terdefinisi secara operasional dan sistematik. Belum lagi dengan
adanya kemungkinan ketidakserasian antar kebijakan sektoral
yang seringkali menimbulkan konflik, dimana masing-masing
kebijakan sektoral dipayungi oleh kekuatan hukum yang setara
tingkatannya (antar Undang-Undang, Peraturan Presiden hingga
Peraturan Daerah).
Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan
terobosan-terobosan kreatif untuk menghasilkan inovasi dalam
merancang kebijakan strategis pembangunan melalui
pemanfaatan instrumen peraturan perundangan yang berlaku
serta legitimasi kelembagaan, dimana keterlibatan rakyat yang
secara riel terkait langsung dengan fenomena lingkungan hidup
menjadi kuncinya. Pada prakteknya, sesuai dengan definisi yang
tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang (UU No. 26 tahun 2007),
di manapun ada kehidupan atau kegiatan manusia pasti terkait
secarasistem atau fungsional dengan permasalalan lingkungan
hidup. Oleh karena itu menjadi semakin mendesak untuk
dilakukan terobosan dalam merumuskan development
administration KLHS (terkait dengansistem politik,
sosial-budaya-ekonomi dan birokrasi) mengikuti konteks perkembangan
IV - 7
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang
berskala regional ataupun nasional bahkan lintas negara, dan
tidak cukup memadainya instrumen AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek, kini telah dikembangkan satu
instrumen yang berskala regional sampai internasional pada
tataran strategis. Instrumen ini kemudian dipopulerkan dengan
istilah Strategic Environment Assessment (SEA), yang kemudian
diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga
telah ditetapkan sebagai mandatory atau directive di sejumlah
negara di Asiadan Afrika, Australia, dan Selandia Baru, serta
beberapa badan dunia seperti Uni Eropa, World Bank, dan Asian
Development Bank.
Mengikuti perkembangan ini, KLH telah berinisiatif untuk
mengembangkannya sejak lebih dari lima tahun lalu.
Sebagaimana tahap inisiasi pada umumnya, kegiatan yang terkait
dengan pemikiran KLHS ini masih lebih dikonsentrasikan pada
studi dan pengenalan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan
tersebut belum dapat dikatakan sebagai kegiatan KLHS
seutuhnya, sehingga dapat dikatakan masih “nearly SEA”.
Namun, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan
kebutuhan penyelesaian masalah lingkungan hidup pada tataran
regional dan strategis di Indonesia, maka instrumen KLHS ini
dituntut untuk segera menjadi acuan dasar dalam mengkaji
kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi pembangunan
nasional maupun daerah.
Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UUSPPN (Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional) dan RPJM 2004 – 2009.
Sesuai dengan perannya masing-masing, maka KLH, Bappenas,
dan Depdagri semakin intensif bekerja untuk merumuskan KLHS
ini sebagai satu instrumen nasional dan regional. Bahkan KLHS
IV - 8
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
merumuskan setiap strategi pembangunan berikut monitoring dan
evaluasinya,baik dalam konteks kewilayahan maupun sektoral.
Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang menekankan pada pendekatan telaah dampak lingkungan
(EIA-driven) dan pendekatan keberlanjutan (sustainability-driven).
Pada definisi pertama, KLHS berfungsi untuk menelaah efek
dan/atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau
program pembangunan. Sedangkan definisi kedua, menekankan
pada keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.
Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan
sebagai proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh
lingkungan hidup dari, dan menjamin diintegrasikannya
prinsip-prinsip keberlanjutan dalam, pengambilan keputusan yang
bersifat strategis SEA is a systematic process for evaluating the
environmental effect of, and for ensuring the integration of
sustainability principles into, strategic decision-making].
KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam
menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek
negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan
secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP].
Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh
karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk
pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka
manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki
rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan
substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan
evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrumen
metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan
(suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari
beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas.
Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat
IV - 9
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen
pengelolaan lingkungan lainnya, menciptakan tata pengaturan
yang lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif, kerjasama
lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan
kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut
“bio-region” dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu KLHS yang bersifat
instrumental, transformatif, dan substantif. Tipologi ini membantu
membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS
terhadap berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya,
baik dari sudut langkah-langkah prosedural maupun teknik dan
metodologinya.
Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada
kerangka bekerja dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan
literatur terkait, sampai saat ini ada 4 (empat) model pendekatan
KLHS untuk penataan ruang, yaitu :
1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe)
KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan
telaah pada efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap
lingkungan hidup. Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan
tekanan analisis telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.
2. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan
Hidup(Environmental Appraisal)
KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk
memastikan KRP RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan
hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai sebuah telaah khusus
IV - 10
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
3. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan
(Integrated AssessmentSustainability Appraisal)
KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin
keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya
merupakan paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan
lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS kemudian lebih
ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang
menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan
lingkungan hidup secara terpadu.
4. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan
Sumberdaya Alam(Sustainable Natural Resource
Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya
(Sustainable Resource Management) KLHS diaplikasikan dalam
kerangka pembangunan berkelanjutan, dan a) dilaksanakan
sebagai bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem
perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau b)
sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya
alam. Model a) menekankan pertimbanganpertimbangan kondisi
sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi RTRW,
sementara model b) menekankan penegasan fungsi RTRW
sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan cadangan
sumberdaya alam.
Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam
bentuk kombinasi, sesuai dengan : hirarki dan jenis RTRW yang
akan dihasilkan/ditelaah, lingkup isu mengenai sumberdaya alam
dan lingkungan hidup yang menjadi fokus, konteks kerangka
hukum RTRW yang dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan
sumberdaya manusia aparatur pemerintah selaku pelaksana dan
pengguna KLHS, serta tingkat kemauan politis atas manfaat
IV - 11
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN Tabel 4.1 Pengaruh KLHS dalam RTRW
Prosedur penyelenggaraan KLHS untuk setiap pendekatan
berbeda, namun secara generik hubungan antara
komponen-komponen kerja KLHS dapat dijelaskan sebagai berikut :
IV - 12
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya
dilakukan KLHS terhadap sebuah konsep/muatan rencana tata
ruang. Langkah ini diperlukan atas alasan-alasan : a) memfokuskan telaah pada KRP yang memiliki nilai strategik, b)
memfokuskan telaah pada KRP yang diindikasikan akan
memberikan konsekuensi penting pada kondisi lingkungan hidup,
dan c) memberikan gambaran umum metodologi pendekatan
yang akan digunakan. Karena penyusunan RTRW wajib
dilakukan maka tahap penapisan tidak diperlukan, sementara
penyusunan RTR dengan tingkat kerincian Kawasan bisa ditapis
terlebih dulu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
Apakah rancangan RTR berpotensi mendorong timbulnya percepatan kerusakan sumber daya alam (hutan, tanah, air
atau pesisir) dan pencemaran lingkungan yang kini tengah
berlangsung di suatu wilayah atau DAS dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi meningkatkan intensitas bencana banjir, longsor, atau kekeringan di wilayah-wilayah
yang saat ini tengah mengalami krisis ekologi? dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi menurunkan mutu air dan udara termasuk ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh
suatu wilayah yang berpenduduk padat? dan/atau
Apakah rancangan RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk golongan miskin sebagai akibat adanya
pembatasan baru atas akses dan kontrol terhadap
sumber-sumber alam yang semula dapat mereka akses? dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi mengancam keberlanjutan penghidupan (livelihood sustainability) suatu komunitas atau
IV - 13
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah
cukup untuk memberikan alasan bahwa rancangan RTR tersebut
memiliki potensi efek penting dan perlu dipertimbangkan untuk dilengkapi dengan KLHS.
Pelingkupan merupakan proses yang sistematis dan terbuka
untuk mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi
lingkungan hidup yang akan timbul berkenaan dengan rencana
KRP RTR Wilayah dan Kawasan. Berkat adanya pelingkupan ini,
pokok bahasan dokumen KLHS akan lebih difokuskan pada
isu-isu atau konsekuensi lingkungan dimaksud.
Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi,
deskripsi, dan evaluasi mengenai konsekuensi dan efek
lingkungan akibat diterapkannya RTRW; serta pengujian
efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip-prinsip
keberlanjutan. Telaah dan analisis teknis mencakup : a) pemilihan
dan penerapan metoda, serta teknik analisis yang sesuai dan
terkini, b) penentuan dan penerapan aras rinci (level of detail)
analisis agar sesuai dengan kebutuhan rekomendasi, dan c)
sistematisasi proses pertimbangan seluruh informasi, kepentingan
dan aspirasi yang dijaring. Jenis-jenis kerangka telaah yang
lazim dibutuhkan, antara lain:
Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,
Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi ekosistem.
Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim dan bencana lingkungan.
Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a)
substansi pokok/dasar RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola
ruang), b) program atau kegiatan penerapan muatan RTRW
IV - 14
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
kegiatan-kegiatan operasional pengelolaan efek lingkungan hidup
(misalnya: penerapan kode bangunan yang hemat energi).
Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang bisa dilaksanakan yang dipercaya dapat
mewujudkan tujuan penataan ruang dalam kurun waktu yang
ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial akan tetapi juga dapat
menjamin terpeliharanya fungsi lingkungan secara terus menerus.
Berbagai metodologi yang lazim diterapkan dalam pengambilan
keputusan, antara lain: compatibility [internal dan eksternal]
appraisal, benefit-cost ratio, analisis skenario dan multikriteria,
analisis risiko, survai opini untuk menentukan prioritas, dll.
Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan
tindak lanjut dapat diatur berdasarkan peraturan perundangan
yang berlaku. Pada dasarnya efektivitas penerapan rekomendasi
KLHS berkaitan langsung dengan efektivitas RTRW bagi wilayah
rencananya, sehingga tata laksananya bisa mengikuti aturan
pemantauan efektivitas RTRW.
Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif. Semua
komponen kegiatan diwarnai berbagai bentuk partisipasi dan
konsultasi masyarakat. Namun demikian, tingkat keterlibatan
atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi bergantung pada
aras (level of detail) RTRW, peraturan perundangan yang
mengatur keterlibatan masyarakat, serta komitmen dan
keterbukaan dari pimpinan organisasi pemerintahan baik di
tingkat pusat maupun daerah. Secara umum boleh dikatakan bila
KLHS diaplikasikan pada tingkat nasional atau provinsi, maka
keterlibatan atau partisipasi masyarakat harus lebih luas dan
intens dibanding KLHS pada tingkat kabupaten atau kota. Bila
KLHS diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau kawasan,
maka proses pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus
IV - 15
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
muatan RTRW yang bersifat operasional memiliki ragam
penerapan yang variatif dan bersinggungan langsung dengan
kegiatan masyarakat.
Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup
bagi masyarakat untuk menelaah, memberikan masukan, dan
mendapatkan tanggapan dalam proses KLHS. Kegiatan ini juga
mensyaratkan adanya tata laksana penyaluran aspirasi
masyarakat, termasuk pada tahap pengambilan keputusan.
Komponen-komponen kerja KLHS dilaksanakan dengan
memperhatikan proses formal yang berjalan. Kombinasi berbagai
alternatif pelaksanaannya sangat ditentukan oleh kekhususan
proses pengambilan keputusan yang sedang terjadi pada
masing-masing RTRW. Dalam kasus dimana proses perencanaan RTRW
belum terbentuk atau dilaksanakan, seluruh komponen kerja
KLHS bisa dijadikan bagian yang tak terpisahkan dari
langkah-langkah pekerjaan penyusunan RTRW. Pada situasi dimana
KLHS hadir sebagai kebutuhan untuk mendukung proses
pengambilan keputusan di tahap akhir proses perencanaan,
proses kerjanya bisa terpisah (stand alone). Banyak kondisi
dimana kombinasi antara kedua hal diatas akan terjadi, misalnya
pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap
tertentu dan memisahkannya pada tahap yang lain. Dapat pula
terjadi situasi dimana tidak semua komponen kerja perlu
dilaksanakan atas alasan-alasan tertentu tanpa mengurangi nilai
penting dari pelaksanaan KLHS itu sendiri.
Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait
dengan tata ruang wilayah sebagai produk dari rangkaian proses
penataan ruang, yang diawali tahapan perencanaan tata ruang,
oleh karena itu, perbaikan kuaitas rencana tata ruang wilayah
menjadi mutlak dan sangat strategis untuk segera direalisasikan
guna menghambat laju penurunan kualitas lingkungan dan daya
IV - 16
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
memperbaiki kualitas rencana tata ruang wilayah melalui
perbaikan kerangka berfikir perencanaan tata ruang, yang
berimplikasi pada perbaikan prosedur/proses dan metodologi/muatan perencanaan.
4.1.1.2 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan
digunakan untuk pengambilan keputusan. Hal -hal yang dikaji
dalam proses AMDAL : aspek fisikkimia, ekologi, sosial
-ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai
pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi
merupakan bagian studi kelayakan untuk mel aksanakan suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain merupakan syarat
yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui
secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingk
ungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang
akan timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat
dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan
mengembangkan dampak positif.
Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan
penting tersebut di antaranya digunakan kriteria mengenai :
Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
Luas wilayah penyebaran dampak;
Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
Banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena dampak;
IV - 17
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1 Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi :
Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam
Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharu
Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, Pencemaran dan keru sakan lingkungan hidup,
serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial
dan budaya;
Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempe ngaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau
perlindungan cagar budaya;
Introduksi jenis tumbuh -tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik;
Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) di
Indonesia diberlakukan berdasar PP 51 tahun 1993 (sebelumnya
PP 29 tahun 1986) sebagai realisasi pelaksanaan UU no. 4 tahun
1982 tentang Lingkungan Hidup yang saat ini telah direvisi
menjadi UU no. 23 tahun 1997. AMDAL merupakan instrumen
pengelolaan lingkungan yang diharapkan dapat mencegah
kerusakan lingkun gan dan menjamin upaya-upaya konservasi.
Hasil studi AMDAL merupakan bagian penting dari perencanaan
pembangunan proyek itu sendiri. Sebagai instrumen pengelolaan
lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL harus dibuat pada
tahap paling dini dalam perencan aan kegiatan pembangunan.
Dengan kata lain, proses penyusunan dan pengesahan AMDAL
IV - 18
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
Dengan cara ini proyek -proyek dapat disaring seberapa jauh
dampaknya terhadap lingkungan. Di sisi lain studi AMDAL juga
dapat memberi masukan bagi upaya -upaya untuk meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut.
Dalam PP 51 Tahun 1993 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL,
yaitu :
1. AMDAL Proyek , yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu
kegiatan yang berada dalam kewenangan satu instansi
sektoral. Misalnya rencana kegiatan pabrik tekstil yang
mempunyai kewenangan memberikan ijin dan mengevaluasi
studi AMDALnya ada pada Departemen Perindustrian.
2. AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang
berlaku bagi suatu rencana kegiatan pembangunan yang
bersifat terpadu, yaitu adanya keterkaitan dalam hal
perencanaan, pengelolaan dan proses produksi, serta berada
dalam satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan
lebih dari satu instansi. Sebagai contoh adalah satu kesatuan
kegiatan pabrik pulp dan kertas yang kegiatannya terkait
dengan proyek hutan tanaman industri (HTI) untuk
penyediaan bahan bakunya, pembangkit tenaga listrik uap
(PLTU) untuk menyediakan energi, dan pelabuhan untuk
distribusi produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan
lebih dari satu instansi, yaitu Departemen Perindustrian,
Departemen kehutanan, Departemen Pertambangan dan
Departemen Perhubungan.
3. AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada satu
rencana kegiatan pembangunan yang berlokasi dalam satu
kesatua n hamparan ekosistem dan menyangkut kewenangan
satu instansi. Contohnya adalah rencana kegiatan
pembangunan kawasan industri. Dalam kasus ini masing
IV - 19
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
AMDALnya, karena sudah tercakup dalam AMDAL seluruh
kawasan.
4. AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi
rencana kegiatan pembangunan yang sifat kegiatannya saling
terkait dalam hal perencanaan dan waktu pelaksanaan
kegiatannya. AMDAL ini melibatkan kewenangan lebih dari
satu instansi, berada dal am satu kesatuan ekosistem, satu
rencana pengembangan wilayah sesuai Rencana Umum Tata
Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional adalah
pembangunan kota -kota baru.
Secara teknis instansi yang bertanggung jawab dalam
merumuskan dan memantau penyusunan AMDAL di In donesia
adalah BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan).
Sebagaimana diatur dalam PP 51 tahun 1993, kewenangan ini
juga dilimpahkan pada instansi -instansi sektoral serta
BAPEDALDA Tingkat I. Dengan kata lain BAPEDAL Pusat hanya
menangani studi -studi AMDAL yang dianggap mempunyai
implikasi secara nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan lagi
penyempurnaan ini adalah untuk memberikan kewenangan
proses evaluasi AMDAL pada daerah. Materi baru dalam PP ini
adalah diberikannya kemungkinan partisipasi masyarakat di
dalam proses penyusunan AMDAL Sebagaimana telah dievaluasi
oleh banyak pihak, proses AMDAL di Indonesia memiliki banyak
kelemahan , yaitu :
1. AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam proses
perijinan satu rencana kegiatan pembangunan, sehingga
tidak te rdapat kejelasan apakah AMDAL dapat dipakai untuk
menolak atau menyetujui satu rencana kegiatan
pembangunan.
2. Proses partisipasi masyarakat belum sepenuhnya optimal.
IV - 20
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
AMDAL, akan tetapi suaranya belum sepenuhnya diterima
didalam proses pengambilan keputusan.
3. Terdapatnya berbagai kelemahan didalam penerapan studi -studi AMDAL. Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa
berbagai rekomendasi yang muncul dalam studi AMDAL serta
UKL dan UPL akan dilaksanakan oleh pihak pemrakarsa.
4. Masih lemahnya metode -metode penyusunan AMDAL,
khusunya aspek “sosial budaya”, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan yang implikasi sosial –budayanya penting,
kurang mendapat kajian yang seksama.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan teknologi
pembuatan perencanaan dan keputusan yang berasal dari barat,
negara industri yang demokratis dengan kondisi budaya dan
sosial berbeda, sehingga ketika program ini diterapkan di negara
berkembang dengan kondisi budaya dan sosiopolitik berbeda,
kesulitanpun muncul. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
atau AMDAL di Indonesia telah lebih dari 15 tahun diterapkan.
Meskipun demikian berbagai hambatan atau masalah selalu
muncul dalam penerapan AMDAL, seperti juga yang terjadi pada
penerapan AMDAL di negara-negara berkembang lainnya.
Hambatan tersebut cenderung terfokus pada faktor-faktor teknis,
seperti :
Tidak memadainya aturan dan hukum lingkungan,
Kekuatan institusi ,
Pelatihan ilmiah dan profesional,
Ketersediaan data.
Karakter budaya serta perilaku sosial dan politik orang
Indonesia sangat mempengaruhi bentuk penerapan AMDAL.
Inisiatif program dan kebijakan lingkungan di Indonesia sangat
bersifat “top down” oleh pemerintah sendiri. Inisiatif “top down”
IV - 21
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
dampak, tetapi sebagai tanggapan terhadapa perkembangan
barat. Tekanan perkembangan barat untuk menanggapi masalah
lingkungan terutama melalui konferensi lingkungan internasional di Stockholm tahun 1972 dan Rio De Janiero tahun 1992 .
Berbeda dengan di negara barat, program dan kebijakan
lingkungan dibuat karena adanya kebutuhan masyarakat,
sehingga inisiatif bersifat “ bottom up ”.
Penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah di negara
barat, karena kondisi masyarakat yang berbeda, yang tidak dapat
sepenuhnya memberi dukungan terhadap tindakan pemerintah.
Walaupun banyak isu lingkungan dalam agenda sosial, tetapi isu
tersebut masih dianggap kurang penting. Masyarakat juga
cenderung lebih mempertahankan hidup dengan
menggantungkan pada sum berdaya alam daripada melakukan
tindakan untuk melindungi kehidupan liar, spesies langka dan
keanekaragaman hayati. Agenda sosial untuk perlindungan
lingkungan tersebut juga lemah dan mempunyai sedikit
kesempatan untuk diangkat menjadi agenda politik. Kemi skinan,
buta huruf, kurangnya informasi, sangat berkuasanya elit politik
dan ekonomi, rejim politik yang terlalu mengontrol dan otoriter,
merupakan faktor adanya situasi tersebut.
Pengelolaan lingkungan sebenarnya merupakan kegiatan
yang dilakukan antar instansi , karena mencakup multi disiplin.
Untuk efektifitas AMDAL, seharusnya instansi lingkungan dan
sektoral pemerintah harus melakukan koordinasi, berbagi
informasi dan bekerjasama untuk menerapkan AMDAL dalam
siklus proyek, melakukan evaluasi terhadapa usaha penilaian dan
perencanaan lingkungan, serta mneyusun rekomendasi.
Kerjasama ini tampaknya kurang terjadi pada pelaksanaan
AMDAL di Indonesia. Dalam penyusunan rancangan program,
komisi AMDAL, yang berada di masing -masing sektor kementrian
IV - 22
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
laporan AMDAL tanpa adanya konsultasi dengan departemen lain
yang bertanggung jawab terhadap lokasi proyek, kontrol
gangguan dan ijin egiatan. Jadi program AMDAL hanya menyediakan sedikit atau tidak sama sekali kesempatan secara
resmi bagi staf pemerintah untuk bekerjasama menghindari atau
mengurangi dampak lingkungan selama perancangan proyek dan
selama proses kesepakatan pelaksanaan proyek.
Pada umumnya pelaksanaan AMDAL tidak mengikutsertakan
partisipasi masyarakat dalam perencanaan proyek dan
pengambilan keputusan. Konsultasi dengan masyarakat secara
resmi pada proyek-proyek yang diusulkan biasanya hanya
dilakukan pada waktu survei untuk mengumpulkan informasi.
Konsultasi masyarakat dianggap tidak penting, karena dianggap
semua telah sepakat. Kalaupun ada keinginan masyarakat untuk
menolak usulan proyek, karakter budaya yang ada akan
menghambat pengungkapan keinginan tersebut. Sebaliknya di
negara barat, pemerintah justru mensponsori diadakannya
konsult asi masyarakat dalam setiap usulan pembangunan, yang
mana pertikaian dan perdebatan dapat terjadi, dan semuanya
adalah untuk tujuan atau kepentingan bersama.
Dalam kondisi pelaksanaan AMDAL di Indonesia tersebut,
faktor budaya seharusnya menjadi perhatian utama disamping
faktor teknis, ketika mengkaji kesulitan yang timbul dalam
pelaksanaan kebijakan atau program seperti AMDAL, yang
berasal dari Barat dan diterapkan di negara dengan budaya yang
berbeda.
Tidak adanya lagi Komisi Analisis Dampak Lingkungan
(Amdal) sektoral dan ditetapkannya satu Komisi Amdal Pusat di
bawah Kementerian Negara Lingkungan Hidup di mana semua
stakeholders (para pihak terkait) duduk di dalamnya, baik wakil
dari departemen terkait, pakar dari perguruan tinggi, lembaga
IV - 23
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
kemajuan penting. Demikian penegasan Menteri Negara
Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan (Bapedal) Sonny Keraf saat membuka Workshop Nasional "Pengembangan Kapasitas Desentralisasi Proses
Amdal", Senin (31/7 /2000), di Jakarta. Seiring desentralisasi,
proses Amdal akan diserahkan ke daerah. Di pusat hanya akan
ada satu komisi Amdal yang menilai kegiatan yang mempunyai
potensi berdampak negatif secara nasional. Sementara di masing
-masing propinsi dan kabupaten/kota akan dibentuk satu komisi
Amdal yang menangani proses Amdal di daerah bersangkutan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 27/1999, semua
kebijakan dan proses mengenai Amdal hanya satu pintu. Dengan
demikian tidak ada lagi egosektoral yang selama ini mungkin
terjadi, di mana sektor lebih menekankan kegiatan produksi dan
pertumbuhan ekonomi, sementara Amdal hanya dipandang
sebagai dokumen formal yang bisa digarap sambil jalan .
Dalam peraturan pemerintah yang akan diberlakukan
November 2000 itu dinyatakan, penilaian Amdal menjadi syarat
mutlak pemberian izin usaha. Dengan demikian, tidak akan ada
izin usaha sebelum Amdal dianggap memenuhi syarat. Dengan
masuknya pelbagai pakar terkait dari perguruan tinggi,
diharapkan Amdal bisa menjadi dokumen ilmiah yang
berdasarkan kebenaran dan kejujuran. "Kepentingan untuk
menjadikan Amdal sebagai rekomendasi murni, tidak dibelenggu
kepentingan politis dan ekonomis, harus dikedepankan.
Pelibatan wakil LSM dan masyarakat sangat penting,
sehingga tidak ada lagi keluhan bahwa masyarakat harus
menerima dampak suatu kegiatan tanpa memiliki suara untuk
menyetujui atau menolak. Hal ini dikuatkan dengan Keputusan
Kepala Bapedal No 8/2000, yang mensyaratkan par tisipasi
masyarakat dalam proses penilaian Amdal. "Desentralisasi
IV - 24
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
yang paling strategis untuk menyerap aspirasi masyarakat,
penyederhanaan prosedur Amdal, peningkatan efektivitas
pelaksanaan dan keterp aduan serta ketepatan perencanaan daerah.
Penyerahan wewenang proses Amdal dan perizinan ke
daerah menimbulkan pelbagai implikasi, antara lain masalah
sumber daya manusia. Karena itu, kelembagaan di daerah perlu
diperkuat khususnya di level pemerintah.
Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan
lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah
pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan
yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut SPPL,
adalah pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha
dan/atau kegiatannya di luar usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal atau UKL-UPL.
UKL-UPL merupakan salah satu persyaratan yang wajib
dipenuhi dalam pelaksanaan penerbitan izin lingkungan, sehingga
bagi usaha dan/atau kegiatan yang UKL-UPLnya ditolak maka
pejabat pemberi izin wajib menolak penerbitan izin bagi usaha
dan/atau kegiatan bersangkutan. UKL-UPL dinyatakan berlaku
sepanjang usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan perubahan
lokasi, desain, proses, bahan baku dan/atau bahan penolong.
Bagi UKL-UPL yang telah dinyatakan sesuai dengan isian formulir
atau layak, maka UKLUPL tersebut dinyatakan kadaluarsa
apabila usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka
IV - 25
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
Prosedur Operasional Standar (Standard Operating
Procedure) selanjutnya disingkat SOP adalah upaya yang
dilakukan untuk meminimalkan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha dan/ atau kegiatan sesuai prosedur
operasional yang berlaku.
4.1.2 Aspek Sosial
Komponen pengamanan sosial adalah bagian paling penting untuk
memahami upaya pencegahan terhadap munculnya dampak sosial di masyarakat.
Pelaksanaan upaya pengamanan sosial adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan
untuk melihat dan memastikan bahwa pelaksanaan program telah sesuai dengan kaidah-kaidah pengamanan sosial. Secara garis besar mekanisme penerapan
pengamanan sosial dilaksanakan dengan alur sebagai berikut:
Wajib melakukan sosialisasi upaya pengamanan lingkungan di setiap tahapan kegiatan/siklus program, dimulai dari kegiatan sosialisasi,
perencanaan, pengusulan kegiatan, pelaksanaan konstruksi sampai
dengan tahapan pemanfaatan dan pemeliharaan.
Menyiapkan usulan kegiatan berdasarkan format standar yang telah disediakan yang memuat spesifikasi teknis, anggaran dan rencana kerja,
termasuk dalam hal ini kesesuaiannya dengan ketentuan pengamanan
sosial.
Semua usulan kegiatan dari masyarakat akan dikaji oleh tenaga ahli dari segi kelayakan, teknis, dan kesesuaian dengan pedoman.
Menapis usulan kegiatan dari sisi dampak lingkungan berdasarkan tabel kriteria penapisan lingkungan. Serta jika diperlukan juga melakukan
penapisan khusus untuk semua usulan kegiatan masyarakat yang
membutuhkan tanah dan perubahan penggunaan air (misal reklamasi,
irigasi); proyek ekonomi yang berdampak lingkungan untuk memastikan
alignment, air larian, dsb. memenuhi standar praktek yang baik.
Memastikan adanya langkah-langkah mitigasi yang memadai.
Sebagai acuan pelaksanaan maka keberhasilan dalam pelaksanaan
IV - 26
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
Masyarakat memahami pentingnya tindakan pengamanan sosial.
Masyarakat tidak mengalami kerugian dengan adanya pelaksanaan program.
Tidak terjadi konflik di masyarakat selama dan setelah pelaksanaan program.
Infrastruktur dibangun di atas lahan yang status pemanfaataan lahannya sudah jelas.
Menghindari/meminimalkan terjadinya ganti rugi lahan.
Masyarakat adat tidak melakukan protes terhadap pelaksanaan program.
Tidak terjadi perselisihan/konflik diantara masyarakat adat selama pelaksanaan program.
Tidak terjadi/menghindari terjadinya penggusuran.
Tidak terjadi /menghindari terjadinya pemukiman kembali.
Tidak terjadi pencemaran lingkungan (genangan, banjir, timbulan sampah padat/cair, kebisingan,bau, dll) di lokasi sasaran.
Dilaksanakannya langkah mitigasi dan pemantauan dampak lingkungan.
Masyarakat tidak melakukan protes atas infrastruktur terbangun.
4.1.2.1 Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta
Karya
Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab
sosial mencakup 7 isu pokok yaitu: pengembangan masyarakat, konsumen,
praktek kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, hak
asasi manusia, dan governance organisasi.
Meskipun belum ada standar baku tanggung jawab sosial, unsur-unsur
tanggung jawab sosial terus mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan masyarakat, globalisasi, dan pasar bebas. The World Bank
Institute menjabarkan komponen tanggung jawab sosial sebagai berikut.
a. Proteksi Lingkungan
Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada menemukan cara
penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan untuk
IV - 27
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
b. Jaminan Kerja
Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengenalan
secara efektif terhadap hak dan kewajiban pekerja, khususnya hak untuk berunding secara kolektif.
c. Hak Asasi Manusia
Pengembangan tempat kerja yang bebas dari diskriminasi dengan
mengedepankan etika professional yang memperhatikan kreativitas
dan pembelajaran, dan keseimbangan antara pekerjaan terhadap
aspek lain di luar pekerjaan.
d. Keterlibatan dalam komunitas
Merupakan tindakan untuk mengoptimalkan dampak dari donasi uang,
waktu, produk, jasa,pengaruh, pengetahuan manajemen dan sumber
daya lainnya pada masyarakat di mana infrastruktur tersebut dibangun.
e. Standar bisnis
Standar ini meliputi aktifitas secara luas seperti etika, imbalan
keuangan, perlindungan lingkungan, standar kerja, dan HAM.
f. Pasar
Mencakup aktivitas bisnis secara luas yang menggambarkan hubungan
antara perusahaan dengan konsumen, yang antara lain meliputi etika
pemasaran, penetapan harga, pengenalan produk, kualitas dan
keamanan produk.
g. Pengembangan ekonomi dan badan usaha
Dalam menjalankan usahanya, perusahaan harus memperhatikan daya
saing, pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) lokal,
kewiraswastaan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan keuangan
mikro.
h. Proteksi Kesehatan
Di banyak negara industri, tempat kerja dikenal sebagai tempat
penting untuk melakukan promosi kesehatan, sehingga perusahaan
dapat berperan sebagai mitra pemerintah dalam pengembangan
kesehatan.
IV - 28
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
Perusahaan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar
dengan memberikan akses pendidikan, sehingga perusahaan dapat
memberikan dampak positif pada proses pemberdayaan melalui standar pengembangan kepemimpinan dan pendidikan dalam
perusahaan dan menularkan praktek-praktek terbaik kepada mitra
perusahaan yang masih berada dalam tingkat perekonomian
berkembang atau transional.
j. Bantuan bencana kemanusiaan
Perusahaan bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan LSM
memegang peran penting dalam mendukung operasi bencana
kemanusiaan. Perusahaan diharapkan dapat menerapkan konsep
“respon proaktif” dan memusatkan pada tindakan pencegahan melalui
upaya pemberdayaan.
4.1.2.2 Aspek Sosial pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta
Karya
Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas merupakan salah satu
faktor penentu daya tarik suatu kawasan/wilayah, di samping faktor kualitas
lingkungan hidup, image, dan masyarakat (budaya). Sementara itu, kinerja
infrastruktur merupakan faktor kunci dalam menentukan daya saing global,
selain kinerja ekonomi makro, efisiensi pemerintah, dan efisiensi usaha.
Salah satu isu strategis yang dihadapi adalah bagaimana
pembangunan infrastruktur dapat membantu mengatasi besarnya
kesenjangan antar-kawasan nusantara: antara Kawasan Barat Indonesia
dengan Kawasan Timur Indonesia, antara Pulau Jawa dan pulau-pulau
lainnya, antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, antara kota
Jakarta dan kota-kota lainnya. fenomena yang terkait adalah urbanisasi
yang cukup tinggi dengan laju antara 1% hingga 1,5% per tahun akibat
tingginya mobilitas penduduk. Secara teoritik, kota merupakan mesin
pertumbuhan ekonomi (the engine of economic growth), sehingga proses
pengembangan wilayah terjadi karena adanya perkembangan kota sebagai
IV - 29
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
pertumbuhan ekonomi di kawasan sekitarnya. Diperkirakan dalam 20 hingga
25 tahun ke depan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia akan mencapai
65% (Pustra, 2007), dan pada akhir tahun 2014 jumlah penduduk perkotaan diperkirakan mencapai 53 – 54%.
Tingkat urbanisasi yang relatif tinggi belum disertai oleh kamampuan
untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur yang disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk oleh urbanisasi tersebut maupun “backlog” yang
telah ada sebelumnya. Demikian juga ketersediaan infrastruktur belum
merata ke semua golongan masyarakat, terutama masyarakat miskin.
Menghadapi tantangan di atas, maka diperlukan pendekatan
pembangunan yang bersifat kewilayahan dan direncanakan dengan matang
sesuai dengan tingkat kebutuhan dan perkembangan ekonomi dan sosial
serta ketersedian infrastruktur suatu wilayah agar infrastruktur pekerjaan
umum dan permukiman dapat mendukung pengembangan ekonomi dan
wilayah secara efisien dan efektif.
Tantangan penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan
permukiman ke depan juga erat terkait dengan pembangunan berkelanjutan
yang menjadi bagian dari 3 (tiga) pilar pembangunan (ekonomi, sosial, dan
lingkungan) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Tantangan
pembangunan berkelanjutan di Indonesia ialah menjaga kawasan dan
lingkungan hunian yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan tanpa
mengakibatkan degradasi lingkungan. Isu ini di Indonesia semakin penting
sejalan dengan meningkatnya kesadaran ekologi yang dipicu oleh
keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan yang semakin parah dan
serius dan sudah pasti apabila tidak ditangani dengan baik akan
memberikan dampak yang buruk terhadap kehidupan sosial ekonomi
masyarakat sekarang dan di masa mendatang.
Pelayanan infrastruktur dasar di Indonesia saat ini kondisinya relatif
tertinggal dibandingkan beberapa negara Asia lainnya. Pembangunan dan
IV - 30
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
terakhir belum dilakukan secara baik, sebagaimana ditunjukkan oleh
pendanaan infrastruktur yang masih under-investment (< 2% PDB).
Anggaran pemeliharaan terbatas, demand lebih besar dari supply terutama untuk daerah-daerah cepat tumbuh, dan Standar Pelayanan Minimum
(SPM) belum sepenuhnya terpenuhi.
Sementara di sisi lain kesepakatan MDGs untuk memenuhi sasaran
mutu pelayanan infrastruktur terutama penyediaan air bersih dan sanitasi
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sudah tidak bisa ditunda lagi.
Selain itu, tidak dapat diabaikan pula berbagai kesepakatan pembangunan
infratruktur bersama, seperti pada kesepakatan kerjasama ekonomi regional:
APEC, AFTA, BIMP-EAGA, IMT-GT, SIJORI, Program ASEAN Highway,
dan Asia Railway yang akan menuntut upaya sungguh-sungguh dari
segenap pelaku pembangunan infrastruktur ke-PU-an. Karena itu upaya
untuk memobilisasi berbagai sumber pembiayaan perlu terus dilakukan dan ditingkatkan dengan mengembangkan skema pembiayaan melalui kerja
sama pemerintah-swasta (KPS), bank, dan dari lembaga non bank khusus
infrastruktur, serta dana preservasi jalan.
Dari sisi penyelenggaraan, banyaknya daerah pemekaran baru serta
delivery system yang diterapkan, termasuk adanya tugas pembantuan dan
dekonsentrasi menuntut adanya pemantapan tugas umum pemerintahan
berupa pengaturan, pembinanan, pengawasan, dan fasilitasi bantuan teknis
dalam dalam penguatan kapasitas kelembagaan ke-PU-an di daerah.
Pelaksanaan pembangunan juga masih diwarnai praktik-praktik Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) walaupun melalui kebijakan selama ini telah
pula dilakukan pembenahan cukup signifikan untuk menghapus
praktik-praktik tersebut.
Isu lainnya yang juga memerlukan perhatian serius untuk lima tahun
yang akan datang adalah pentingnya seluruh jajaran ke-PU-an untuk terus
meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas yang didukung secara
optimal oleh jajaran birokrasi melalui reformasi birokrasi yang
mengedepankan transparansi dan akuntabilitas birokrasi serta mewujudkan
IV - 31
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
Dengan demikian, tantangan pembangunan infrastruktur ke depan
adalah bagaimana untuk terus meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang
berkualitas dengan kinerja yang semakin dapat diandalkan agar daya tarik dan daya saing Indonesia dalam konteks global dapat terus meningkat.
Demikian pula dengan infrastruktur yang berperan dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah diharapkan akan dapat
terus mendorong percepatan peningkatan pertumbuhan ekonomi secara
berkelanjutan, sekaligus mewujudkan kesejahteraan sosial dan kenyamanan
lingkungan.
Tantangan umum lainnya yang dihadapi dalam pembangunan
infrastruktur, khusunya bidang PU dan permukiman di Indonesia adalah
kendala alamiah berupa struktur wilayah geografis; disparitas dan distribusi
penduduk di Jawa dan luar Jawa; menurunnya kinerja infrastruktur yang
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah seperti jalan provinsi/kabupaten/kota; serta sulitnya pembebasan tanah untuk
pembangunan infrastruktur yang menyebabkan terhambatnya kelancaran
pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya.
Selanjutnya tantangan dan isu strategis masing-masing sub-sub bidang
ke-Cipta Karya-an diuraikan di bawah ini.
Tantangan pembangunan
Perlunya menetapkan target-target kinerja yang lebih jelas untuk meningkatkan kinerja TPA yang berwawasan lingkungan di kota
metro/besar yang sampai saat ini masih belum menuai hasil yang
optimal. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah
yang masih rendah, sementara konflik sosial yang berkaitan dengan
pengelolaan TPA sampah sampai saat ini masih sering terjadi di
samping ketersediaan sarana dan prasarana persampahan masih
belum memadai.
Meningkatkan keterpaduan penanganan drainase dari lingkungan terkecil hingga wilayah yang lebih luas dalam satu wilayah administrasi
IV - 32
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
Makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap aspek kesehatan akan menuntut pelayanan sanitasi sesuai dengan kriteria kesehatan
dan standar teknis.
Memperluas akses pelayanan sanitasi dan peningkatan kualitas fasilitas sanitasi masyarakat yang akan berpengaruh terhadap kualitas
kehidupan dan daya saing sebuah kota dan sebagai bagian dari jasa
layanan publik dan kesehatan.
Mendorong dan meningkatkan keterlibatan dunia usaha (swasta) dalam pendanaan pembangunan prasarana air minum.
Mengembangkan kemampuan masyarakat dalam penyediaan air minum baik dalam pengolahan maupun pembiayaan penyediaan air
minum.
Setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat penambahan keluarga baru, rata-rata sekitar 820.000 unit rumah,
terdapat backlog perumahan sebesar 6 juta unit.
Meningkatkan keandalan bangunan baik terhadap gempa maupun kebakaran melalui pemenuhan persyaratan teknis dan persyaratan
administrasi/perizinan.
Meningkatkan kesadaran masyarakat agar dalam membangun bangunan gedung memperhatikan daya dukung lingkungan sehingga
dapat meminimalkan terjadinya banjir, longsor, kekumuhan, dan rawan
kriminalitas.
Mendorong penerapan konsep gedung ramah lingkungan (green building) untuk mengendalikan penggunaan energi sekaligus
mengurangi emisi gas dan efek rumah kaca dalam kerangka mitigasi
dan adaptasi terhadap isu pemanasan global.
Meningkatkan pengendalian pemanfaatan ruang khususnya pemanfaatan ruang bagi permukiman.
Menyelaraskan pertumbuhan pembangunan kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil mengacu pada sistem pembangunan
perkotaan nasional.
Melanjutkan program pengembangan kawasan agropolitan.
IV - 33
KEMENTRIAN PUPR DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA DIREKTORAT KETERPADUAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DINAS TATA RUANG & PERMUKIMAN PROV. SULAWESI SELATAN
Keterlibatan swasta dalam penanganan sampah khususnya untuk kawasan perkotaan sudah cukup tinggi namun pihak swasta lebih
mengutamakan mengelola persampahan pada kawasan elit dengan kemampuan membayar dari konsumen yang sudah cukup tinggi.
Potensi swasta dan masyarakat yang sangat besar dalam
pengembangan kawasan belum dikelola dengan optimal.
Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan persampahan dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai
sumber daya.
Penanganan sistem drainase perkotaan di Indonesia masih bersifat parsial, sehingga belum dapat menyelesaikan permasalahan banjir dan
genangan secara tuntas.
Melengkapi peraturan perundang-undangan yang lebih operasional sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah di tingkat pusat dan daerah dan meningkatkan
law enforcement-nya.
Masih rendahnya kapasitas SDM maupun kelembagaan penyelenggaraan air minum di daerah; perlunya perubahan mindset
penyelenggaraan, tugas, dan kewenangan dalam pelayanan air
minum; makin sulitnya penyediaan air baku; serta masih rendahnya
cakupan dan kualitas pelayanan penyelenggaraan air minum.
Intervensi swasta yang sulit dibendung kadang berakibat pada tidak konsistennya pembangunan dengan rencana tata ruang dan tata
bangunan yang ada.
Memperkuat instrumen pengaturan mulai dari perencanaan sampai dengan pengendalian dalam pembangunan dan pemanfaatan
bangunan gedung dan lingkungan, serta mendorong daerah untuk
lebih optimal dalam pengelolaan gedung dan penataan lingkungan
dengan melengkapi Perda tentang Bangunan Gedung; Ruang Terbuka
Hijau; Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK); Rencana