• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

57

A. Sinkronisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Dalam Hal Pemberian Ganti Rugi

Di Indonesia, perlindungan terhadap konsumen dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, salah satunya yaitu dalam bentuk perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi konsumen merupakan perlindungan yang paling penting, hal tersebut dikarenakan, hukum dapat mengakomodir berbagai kepentingan konsumen, selain itu hukum memiliki daya paksa sehingga bersifat permanen karena sifatnya yang konstitusional yang diakui dan ditaati keberlakuannya dalam kehidupan masyarakat.

Perlindungan hukum dapat diartikan perlindungan hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Menurut Wahyu Sasongko dalam bukunya seperti yang dikutip oleh Dwi Widhi Nugroho dalam tesisnya yang berjudulPerlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Jasa Angkutan Udara dalam Hal Ganti Rugi (2012: 18), ada beberapa cara perlindungan secara hukum, antara lain sebagai berikut: 1. Membuat peraturan (by giving regulation) yang bertujuan untuk:

a. Memberikan hak dan kewajiban; b. Menjamin hak-hak para subyek hukum

2. Menegakkan peraturan (by the law enforcement) melalui:

a. Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan perijinan dan pengawasan;

b. Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative, recovery), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian

(2)

c. Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, dengan cara menegakkan sanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan pengertian mengenai konsumen adalah setiap orang pemakai barang/jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dari pengertian Konsumen tersebut dapat dijabarkan unsur-unsurnya sebagai berikut (Shidarta, 2000:4-9):

1. Setiap orang; 2. Pemakai;

3. Barang dan/atau jasa;

4. Yang tersedia dalam masyarakat;

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain makhluk hidup lain; 6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan.

Pengguna jasa angkutan udara merupakan konsumen yang memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen menjelaskan mengenai beberapa hak yang dimiliki oleh konsumen, salah satu hak konsumen yang erat kaitannya dengan kegiatan penerbangan yaitu hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Pemberian ganti rugi bagi konsumen yang mengalami kerugian akibat adanya peristiwa yang diakibatkan oleh perusahaan penerbangan merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi konsumen. Dimana terdapat 5 asas dan tujuan perlindungan konsumen diantaranya:

(3)

1. Asas manfaat; 2. Asas keadilan; 3. Asas keseimbangan;

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen; dan 5. Asas kepastian hukum.

Kelima asas perlindungan hukum konsumen diatas yang paling erat dengan pemberian ganti rugi sebagai bentuk upaya perlindungan konsumen ialah Asas Keadilan, Asas Keamanan dan Keselamatan serta Asas Kepastian Hukum.

Pemberian ganti rugi bagi pengguna jasa angkutan udara yang disini juga menjadi bagian dari konsumen secara umum diatur didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Kemudian pemberian ganti kerugian bagi penumpang angkutan udara diatur secara lebih spesifik didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Berikut penjabaran mengenai pemberian ganti kerugian bagi penumpang/konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

1. Pemberian ganti rugi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur mengenai pemberian ganti rugi bagi pengguna jasa penerbangan, yang mana diatur didalam Pasal 141, Pasal 144, Pasal 145, Pasal 146, dan Pasal 147. Adapun beberapa jenis kerugian yang diatur didalam perundang-undangan tersebut antara lain:

a. Pemberian ganti rugi terhadap kerugian fisik penumpang.

Pemberian ganti kerugian yang menyebabkan kerugian fisik bagi penumpang seperti halnya meninggal dunia, cacat tetap atau luka diatur

(4)

didalam Pasal 141 Undang-Undang Nomor 1 Tahu 2009 tentang Penerbangan;

b. Pemberian ganti rugi bagi penumpang atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut. Hal tersebut diatur didalam Pasal 144 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;

c. Pemberian ganti rugi bagi kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut. Pemberian ganti rugi mengenai kargo ini diatur didalam Pasal 145 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; d. Pemberian ganti rugi yang diderita karena adanya keterlambatan pada

angkutan penumpang, bagasi, atau kargo; dan

e. Pemberian ganti rugi atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara. Pemberian ganti rugi yang diderita karena adanya keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo dan Pemberian ganti rugi atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara diatur dalam Pasal 146 dan Pasal 147 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

2. Pemberian ganti rugi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pemberian ganti rugi juga diatur didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, utamanya Pasal 19.Didalam Pasal 19 ayat (1) diatur mengenai tanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(5)

Jenis pemberian ganti rugi yang diberikan bagi konsumen juga dijelaskan dalam ayat berikutnya yang mana Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pemberian ganti kerugian bagi konsumen pengguna jasa angkutan udara diatur dalam kedua peraturan tersebut, baik dalam peraturan penerbangan maupun dalam peraturan konsumen.Akan tetapi terdapat perbedaan jenis kerugian didalamnya. Seperti contohnya, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan lebih secara spesifik menjabarkan mengenai jenis kerugian yang diderita oleh penumpang, seperti kerugian fisik penumpang akibat kecelakaan, kerugian bagasi, kargo hingga kerugian akan keterlambatan dan tidak terangkutnya penumpang. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hanya memberikan penjabaran mengenai jenis kerugian yaitu kerugian yang diderita atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Peraturan penerbangan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tidak secara jelas dijabarkan mengenai bentuk pemberian ganti rugi bagi penumpang atau pengirim barang (pihak ketiga) ketika mereka mengalami salah satu bentuk kerugian seperti yang telah dijabarkan diatas, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan hanya terbatas menjelaskan mengenai jenis kerugian apa saja yang menjadi tanggung jawab pengangkut atau yang selanjutnya dapat disebut sebagai perusahaan penerbangan, sedangkan didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang diatur didalam Pasal 19 menjabarkan mengenai jenis ganti rugi yang diberikan bagi konsumen seperti, pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau

(6)

setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Sinkronisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Dalam Hal Pemberian Ganti Rugi.

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. (Maria Farida I. S, 1998: 3)

Menurut Maria Farida, sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1998: 3):

a. Sinkronisasi Vertikal

Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain.

Di samping harus memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dalam sinkronisasi vertikal, harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

b. Sinkronisasi Horisontal

Sinkronisasi Horisontal dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga harus dilakukan secara

(7)

kronologis, yaitu sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Sinkronisasi secara horizontal bertujuan untuk menggungkap kenyataan sampai sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara horizontal, yaitu mempunyai keserasian antara perundang-undangan yang sederajat mengenai bidang yang sama (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003 :74).

Berbicara mengenai sinkronisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam hal pemberian ganti rugi bagi penumpang/konsumen dilakukan melalui cara sinkronisasi secara horizontal. Cara tersebut digunakan karena, kedua peraturan tersebut merupakan peraturan yang sederajat yang sama sama mengatur mengenai ganti rugi bagi penumpang/konsumen. Berdasarkan hasil analisis penulis pada sub-bab sebelumya, menyatakan bahwa kedua peraturan tersebut sama-sama mengatur mengenai pemberian ganti rugi bagi penumpang dan/atau konsumen.Terdapat sedikit perbedaan mengenai jenis kerugian dan jenis ganti rugi yang diatur didalam kedua peraturan tersebut, akan tetapi perbedaan pengaturan mengenai ganti rugi yang diatur di kedua pertauran tersebut tidak saling bertentangan satu sama lain. Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Artinya kedua peraturan undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam hal pemberian ganti rugi bagi penumpang dan/atau konsumen sinkron atau selaras.

(8)

B. Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan PT Lion Mentari Airlines Dalam Hal Pemberian Ganti Kerugian

Tanggung jawab (liability) dapat diartikan kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita (Dr. H. K. Martono & Ahmad Sudiro, 2010: 217), misalnya dalam perjanjian transportasi udara, perusahaan penerbangan bertanggung jawab atas keselamatan penumpang dan/atau barang kiriman, karena itu apabila timbul kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengiriman barang maka perusahaan penerbangan harus bertanggung jawab.

Dalam angkutan udara terdapat tiga macam prinsip dasar tanggung jawab hukum (legal liability concept) masing-masing prinsip tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability), prinsip tanggung jawab hukum atas dasar praduga bersalah (presumption of liability), dan prinsip tanggung jawab hukum tanpa bersalah (liability without fault) atau tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) (Dr. H. K. Martono & Ahmad Sudiro, 2010: 219)

Prinsip tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan (based on fault liability) terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal tersebut yang dikenal sebagai tindakan melawan hukum (onrechtsmatigdaad) berlaku umum terhadap siapapun. Menurut pasal tersebut mengharuskan pemenuhan unsur-unsur untuk menjadikan suatu perbuatan melanggar hukum dapat dituntut ganti rugi, yaitu antara lain adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat, perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya, dan adanya kerugian yang diderita akibat kesalahan tersebut. Akan tetapi didalam perkembangannya prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan ini tidak dapat diterapkan didalam angkutan udara, hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan kedudukan antara penumpang dan/atau pengirim barang dengan perusahaan penerbangan, sehingga ketika penumpang dan/atau pengirim barang harus membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan hal tersebut

(9)

tidak akan berhasil. Maka dari itu munculah prinsip tanggung jawab hukum atas dasar praduga bersalah (presumption of liability).Berdasarkan prinsip ini, tergugat yang selanjutnya disebut sebagai pihak perusahaan penerbangan dianggap selalu bersalah kecuali pihak perusahaan dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau dapat mengemukakan hal-hal yang dapat membebaskan dari kesalahan, jadi beban pembuktian ada pada perusahaan penerbangan.Sedangkan prinsip tanggung jawabhukum tanpa bersalah atau tanggung jawab mutlak merupakan bentuk tanggung jawab yang menyatakan bahwa pihak yang menimbulkan kerugian dalam hal ini pihak perusahaan penerbangan selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidaknya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah.

Shidarta menambahkan dalam bukunya (2000: 59-65) terdapat satu prinsip tanggung jawab dalam pengangkutan yaitu prinsip praduga untuk selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability).Prinsip praduga untuk selalu tidak bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dari penerapan prinsip tanggung jawab ini ialah pada pengangkutan utamanya pada bagasi kabin/bagasi tangan.Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang atau konsumen adalah tanggung jawab dari penumpang.Dalam hal ini, perusahaan penerbangan tidak dapat diminta pertanggung jawabannya.

Dalam pelaksanaan pemberian ganti rugi oleh maskapai kepada penumpang untuk lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011. Dalam peraturan menteri perhubungan tersebut dijelaskan kepada siapa sajakah ganti rugi tersebut diberikan, jenis kerugian dan bentuk dari ganti rugi itu sendiri.Pasal 2 huruf a menjelaskan bahwa

(10)

pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka. Sedangkan jenis kerugian yang juga diatur didalam Pasal 2 huruf (c), huruf (d), huruf (e) dan huruf (f) ialah hilang, musnah atau rusaknya bagasi tecatat, hilang, musnah atau rusaknya kargo, keterlambatan angkutan udara dan kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.

Untuk selanjutnya jumlah ganti kerugian yang seharusnya diberikan oleh pengangkut ketika pengangkut menimbulkan kerugian bagi penumpangnya baik ganti rugi yang menimbulkan kerugian terhadap fisik penumpang, maupun kerugian non-fisik diatur juga dalam Peraturan Menteri Perhubungan. Dalam Pasal 3 diatur mengenai ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka yang berbunyi sebagai berikut:

Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a ditetapkan sebagai berikut:

a) Penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang;

b) Penumpang yang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang sematamata ada hubungannya dengan pengangkutan udara pada saat proses meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara atau pada saat proses turun dari pesawat udara menuju ruang kedatangan di bandar udara tujuan dan/atau bandar udara persinggahan (transit) diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per penumpang;

(11)

c) Penumpang yang mengalami cacat tetap, meliputi :

penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebesar Rp 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang; danpenumpang yang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalamjangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejakterjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebagaimana termuatdalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

d) Cacat Tetap Total sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 1 yaitukehilangan penglihatan total dari 2 (dua) mata yang tidak dapatdisembuhkan, atau terputusnya 2 (dua) tangan atau 2 (dua) kaki atausatu tangan dan satu kaki pada atau di atas pergelangan tangan ataukaki, atau Kehilangan penglihatan total dari 1 (satu) mata yang tidakdapat disembuhkan dan terputusnya 1 (satu) tangan atau kaki pada ataudi atas pergelangan tangan atau kaki.

e) Penumpang yang mengalami luka-Iuka dan harus menjalani perawatan dirumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap dan/atau rawat jalan, akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per penumpang.

Pasal 3 yang yang terdapat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 secara keseluruhan telah mengakomodir kerugian penumpang/konsumen yang mengalami kerugian secara fisik dengan diberikannya ganti rugi sejumlah uang. Walaupun mungkin nominal uang yang diberikan oleh perusahaan penerbangan terhadap penumpang yang

(12)

mengalami kerugian secara fisik tersebut tidak sebanding dengan apa yang telah dialami oleh penumpang yang mungkin nantinya dapat menimbulkan akibat yang berkepanjangan.

Untuk selanjutnya bentuk ganti rugi bagi penumpang/konsumen yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat diberikan ganti rugi sejumlah uang sebesar Rp 200.000 (dua ratus ribu rupiah) per/kg dengan jumlah maksimal Rp 4.000.000 (empat juta rupiah) per/penumpang dengan batas waktu dinyatakan hilang 14 hari kalender terhitung sejak penumpang tiba dibandara tujuan. Sedangkan untuk kehilangan, musnah atau rusaknya kargo, penumpang/konsumen diberikan ganti rugi juga dalam bentuk sejumlah uang dengan nominal Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) per/kg dengan batas waktu yang sama yaitu 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak seharusnya tiba di tempat tujuan.

Bentuk ganti kerugian bagi penumpang yang mengalami keterlambatan angkutan udara juga diatur didalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011. Pasal 9 Peraturan Menteri Perhubungan memberikan pengertian mengenai keterlambatan angkutan udara yang terdiri dari:

1. keterlambatan penerbangan (flight delayed);

2. tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passenger);

3. pembatalan penerbangan (cancelation of flight).

Pemberian ganti kerugian bagi penumpang yang mengalami keterlambatan penerbangan (flight delayed) diatur dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa:

(13)

1. keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang;

2. diberikan ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari ketentuan huruf a apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang (re-routing),dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara;

3. dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik Badan Usaha Niaga Berjadwal lain, penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan (up gradingclass)atau apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli.

Dalam hal pemberian ganti kerugian bagi penumpang/konsumen yang mengalami keterlambatan penerbangan (flight delayed) diatur secara lebih rinci dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia. Pengelompokan Kategori keterlambatan tersebut berdasarkan rentan waktu tertentu, seperti:

1. kategori 1, keterlambatan 30 menits/d 60 menit; 2. kategori 2, keterlambatan 61 menit s/d 120 menit; 3. kategori 3, keterlambatan 121 menit s/d 180 menit; 4. kategori 4, keterlambatan 181 menit s/d 240 menit; 5. kategori 5, keterlambatan lebih dari 240 menit; dan 6. kategori 6, pembatalan penerbangan.

(14)

Sedangkan Kompensasi atau ganti rugi yang wajib diberikan Badan Usaha Angkutan Udara akibat keterlambatan penerbangan itu berupa:

1. keterlambatan kategori 1, kompensasi berupa minuman ringan;

2. keterlambatan kategori 2, kompensasi berupa minuman dan makanan ringan (snack box);

3. keterlambatan kategori 3, kompensasi berupa minuman dan makanan berat (heavy meal);

4. keterlambatan kategori 4, kompensasi berupa minuman, makanan ringan (snack box), dan makanan berat (heavy meal);

5. keterlambatan kategori 5, kompensasi berupa ganti rugi sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah);

6. keterlambatan kategori 6, badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refundticket); dan

7. keterlambatan pada kategori 2 sampai dengan 5, penumpang dapat dialihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refundticket)

Kemudian dalam hal pemberian ganti rugi terhadap tidak terangkutnya penumpang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011pengangkut/perusahaan penerbangan wajib memberikan ganti kerugian berupa mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan dan/atau memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.

Penerapan prinsip tanggung jawab oleh salah satu maskapai penerbangan niaga berjadwal yang ada di Indonesia, PT Lion Mentari Airlines yang selanjutnya disebut Lion Air mengacu pada peraturan perundang-undangan

(15)

yang ada di Indonesia. Perusahaan penerbangan Lion Air tidak secara khusus memiliki peraturan di dalam perusahaannya mengenai pengaturan pemenuhan tanggung jawab perusahaan terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang/konsumen.Sehingga beberapa peraturan seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, kemudian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia dijadikan sebagai acuan Lion Air dalam melaksanakan atau menerapkan prinsip tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan daripadanya.

Pemberian ganti kerugian merupakan bagian dari penerapan prinsip tanggung jawab salah satunya prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability). Hal tersebut dikarenakan, dalam pemenuhannya harus didasarkan pada kesalahan yang ada, yang mana beban pembuktian kesalahan tersebut ada pada diri perusahaan penerbangan, artinya pihak perusahaan penerbangan merupakan pihak yang dipersalahkan dalam prinsip tanggung jawab tersebut. Dengan adanya pemberian ganti rugi oleh perusahaan penerbangan artinya telah terjadi kesalahan yang dilakukan oleh pihak perusahaan penerbangan. Itulah mengapa pemberian ganti rugi bagi konsumen/penumpang merupakan bagian dari prinsip Presumption of Liability. Penerapan prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Presumption of Liability) dengan pemberian ganti rugi bagi konsumen yang mengalami kerugian akibat kelalaian Lion Air telah dijalankan oleh pihak Lion Air walaupun berdasarkan hasil penelitian terhadap beberapa peristiwa yang penulis angkat dalam penulisan hukum (skripsi) ini dapat dikatakan

(16)

sebagian besar belum dilaksanakan. Hal tersebut didasarkan pada hasil wawancara penulis dengan narasumber dan juga berdasarkan data keberangkatan dan/atau penerbangan periode bulan Februari 2016 di Bandara International Adi Soemarmo, Solo yang juga didukung oleh pengalaman para penumpang maskapai Lion Air yang mengalami kerugian.

Narasumber yaitu Muhammad Yuridio Tirta, sebagai Corporate Lawyer PT Lion Mentari Airlines, menjelaskan bahwa untuk secara keseluruhan pemberian ganti rugi tersebut telah sesuai dengan apa yang di atur didalam undang-undang, akan tetapi narasumber menyatakan bahwa memang dalam pemberian kompensasi tersebut belum maksimal. (Hasil wawancara dengan Muhammad Yuridio Tirta, Corporate Lawyer PT Lion Mentari Airlines, pada tanggal 13 Februari 2016 pukul 11.00 WIB)

Salah satu contoh kerugian yang sering dialami oleh konsumen ialah adanya keterlambatan penerbangan. Hal tersebut juga didukung oleh data kedatangan dan/atau keberangkatan pesawat periode Februari 2016 yang diperoleh dari Perum LPPNPI Distrik Solo Bandara International Adi Soemarmo Solo (Airnav Indonesia). Data yang diperoleh tersebut, menjelaskan bahwa selama jangka waktu satu bulan yaitu bulan Februari 2016, maskapai penerbangan Lion Air tercatat memiliki jumlah penerbangan 454 penerbangan domestik. Data tersebut juga menjelaskan mengenai dari (to from) dan ke mana (poin in) maskapai tersebut akan mendarat (tujuan akhir) dan juga menjelaskan mengenai waktu landing (time in) sekaligus take off (time out). Berdasarkan data kedatangan dan/atau keberangkatan dapat diketahui bahwa antara jadwal penerbangan yang telah ditentukan dengan jadwal keberangkatan dan/atau kedatangan mengalami perbedaan atau dapat dikatakan mengalami keterlambatan penerbangan dari jadwal penerbangan yang telah ditentukan. Durasi waktu keterlambatan datangnya pesawat dalam satu bulan, yaitu Februari 2016 berbeda-beda.

(17)

Selanjutnya narasumber menjelaskan bahwa dalam hal pemberian kompensasi bagi para penumpang/konsumen yang mengalami keterlambatan pesawat dengan durasi waktu 30 s/d 180 menit memang dibenarkan oleh narasumber masih belum sepenuhnya maksimal.Narasumber berdalih bahwa hal tersebut (pemberian ganti rugi bagi para penumpang/konsumen yang mengalami keterlambatan pesawat) sepenuhnya berada dibawah kewenangan tiap counter atau costumer services Lion Air yang ada di setiap bandara. Sehingga untuk melakukan pengawasan dalam hal pemenuhan hak-hak konsumen secara terpusat pun juga tidak mudah. (Hasil wawancara dengan Muhammad Yuridio Tirta, Corporate Lawyer PT Lion Mentari Airlines, pada tanggal 13 Februari 2016 pukul 11.10 WIB)

Pengakuan narasumber seperti yang disebutkan diatas didukung oleh pengalaman seorang rekan penulis bernama Mia Ayu Wardani, berusia 22 tahun yang sedang menempuh pendidikan Ekonomi di Fakultas Ilmu Pertanian Bogor. Pada tangal 7 Februari 2016 Mia akan kembali ke Jakarta menggunakan maskapai penerbangan Lion Air. Berangkat dari Bandara Adi Soemarmo Solo dijadwalkan pukul 09.45 WIB tetapi pada kenyataannya pesawat baru berangkat pukul 10.46 WIB. Artinya, pesawat mengalami keterlambatan 1 jam lebih 1 menit (61 menit). Waktu keterlambatan tersebut dapat dibuktikan dengan catatan waktu dari data keberangkatan dan/atau penerbangan periode Februari 2016 yang diperoleh penulis dari Perum LPPNPI distrik solo, Bandara International Adi Soemarmo. Dalam catatan waktu keberangkatan tersebut menunjukkan bahwa benar adanya, maskapai Lion Air mengalami keterlambatan 61 menit dari yang dijadwalkan seharusnya. Berdasarkan pengakuannya selama waktu tunggu hingga pesawat diberangkatkan, ia sama sekali tidak diberikan kompensasi yang seharusnya ia terima sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di

(18)

Indonesia durasi waktu tersebut masuk dalam kategori 2 yang dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan tersebut seharusnya diberikan kompensasi berupa minuman dan makanan ringan (snack box). (Hasil wawancara dengan Mia Ayu Wardani, Penumpang Lion Air, pada 8 Februari 2016 pukul 11.00 WIB)

Hal pendukung lain yang membuktikan bahwa pemberian kompensasi oleh maskapai Lion Air bagi penumpang/konsumen yang mengalami kerugian akibat keterlambatan penerbangan masih belum maksimal atau tidak sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh peraturan yang ada ialah pengalaman yang dialami oleh orang tua penulis, ketika akan kembali pulang menggunakan maskapai penerbangan Lion Air berangkat dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, menggunakan maskapai Lion Air yang dijadwalkan pukul 11.45 WIBbaru berangkat pukul 14.00 WIB. Artinya, Penerbangan mengalami keterlambatan selama kurang lebih 135 menit. Hal yang dialami oleh konsumen/penumpang diatas apabila dikategorikan sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia masuk dalam kategori 3 yang mana seharusnya dalam masa tunggu penumpang/konsumen diberikan kompensasi berupa minuman dan makanan berat (heavy meal). Akan tetapi pada kenyataannya, berdasarkan pengakuan penumpang/konsumen yang tidak lain ialah kedua orang tua penulis, dalam masa tunggu keberangkatan pesawat tidak mendapatkan kompensasi seperti yang telah disebutkan diatas. (Hasil wawancara dengan Evi F. K dan Edi Sutikno, Penumpang Lion Air, pada tanggal 2 Februari 2016 pukul 19.30 WIB )

Kerugian lain yang juga banyak dialami atau dikeluhkan oleh penumpang/konsumen ialah permasalahan bagasi hilang atau rusak.Hal tersebut juga diungkapkan oleh Presiden Direktur PT Angkasa Pura II

(19)

(Persero) Budi Karyadi setelah menggelar survei dengan pengelola Bandara Soekarno Hatta, bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menggelar survei penumpang pada Mei-Juni 2015 untuk mengetahui pelayanan di bidang apa saja yang paling dikeluhkan masyarakat setelah terungkapnya peristiwa pencurian bagasi tercatat pada Sabtu, 2 Januari 2016 yang terjadi bandara Soekarno-Hatta (https://beritagar.id/artikel/berita/bagasi-anda-rusak-atau-hilang-ini-perhitungan-ganti-ruginya diakses pada 25 Maret 2016 pukul 14.08 WIB)

Bagasi berdasarkan terminologi pada pengangkutan udara ada 2 (dua) macam yaitu bagasi tercatat dan bagasi kabin. Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 angka 24 dan angka 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan bagasi tercatat dan bagasi kabin dibedakan sebagai berikut: 1. Bagasi tercatat adalah barang penumpang yang diserahkan oleh

penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama;

2. Bagasi kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri.

Bentuk tanggung jawab antara dua jenis bagasi tersebut juga berbeda. Bagasi kabin sepenuhnya merupakan tanggung jawab penumpang karena dibawa sendiri oleh penumpang, bentuk tanggung jawab bagasi kabin ini ialah sedangkan bagasi tercatat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak maskapai penerbangan. Seperti yang telah disebutkan diawal pada sub bab pembahasan ini bahwa bentuk tanggung jawab bagasi kabin merupakan penerapan prinsip praduga untuk selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability). Kehilangan, musnah atau kerusakan yang terjadi pada bagasi kabin, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang atau konsumen adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, perusahaan penerbangan tidak dapat diminta pertanggung jawabannya. Hal tersebut jelas bertolak belakang dengan bagasi tercatat. Bagasi tercatat menjadi tanggung

(20)

jawab penuh maskapai penerbangan. Hal tersebut dikarenakan bagasi tercatat berada dibawah pengawasan langsung pihak maskapai penerbangan hingga barang tersebut tiba ditempat tujuan.

Banyak sudah peristiwa yang merugikan penumpang maskapai penerbangan dalam hal hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat, Seperti peristiwa yang ramai menjadi pemberitaan di media masa pada awal tahun 2016. Terungkapnya pelaku pencurian bagasi tercatat yang tak lain dilakukan oleh porter maskapai Lion Air sendiri yang terjadi di Bandara Soekarno-Hatta

(http://www.merdeka.com/peristiwa/polres-bandara-soetta-bongkar-pencurian-bagasi-oleh-porter-lion-air.html diakses pada 25 Maret 2016 pukul 14.20 WIB)

Peristiwa lain yang juga menimpa penumpang/konsumen terjadi pada penumpang Batik Air, bernama Bernadus Sanga (74). Pada saat itu, Bernadus melakukan penerbangan pada tanggal 15 Maret 2016 dari Ambon ke Jakarta dan sempat transit di Surabaya menggunakan maskapai Batik Air yang juga merupakan anak perusahaan dari PT Lion Mentari Airlines. Dalam pengakuannya, beliau kehilangan sebuah handphone yang beliau simpan di dalam koper. Dalam laporannya kepada Customer Service yang ada di Bandara Soekarno-Hatta, pihak perusahaan maskapai penerbangan tersebut tidak memberikan kejelasan terlebih mengecewakan karena justru balik menyalahkan penumpang, yaitu Bernadus Sanga (74) (http://news.okezone.com/read/2016/03/18/338/1339405/penumpang-batik-air-jadi-korban-pencurian-bagasi diakses pada 25 Maret 2016 pukul 14.30 WIB)

Peristiwa mengenai rusak atau hilangnya bagasi tercatat juga dialami oleh seorang rekan penulis, bernama Hessy E. Frasti.Saat itu Hessy melakukan penerbangan dari Medan menuju Batam pada tanggal 18 Februari 2016. Ketika tiba di Bandara Hang Nadim Batam, ia mendapati roda dikoper yang ia bawa hilang satu. Pada hari yang sama ia mendatangi

(21)

counter Lion Air yang ada di Bandara Hang Nadim Batam untuk membuat surat laporan atas rusaknya koper yang ia simpan di bagasi tercatat. Sesaat kemudian setelah melakukan laporan untuk dapat melakukan claim, ia diberi surat yang berisi data diri, nomor ktp, isi koper, data terkait penerbangan dan jenis kerusakan. Kemudian pihak customer services Lion Air yang ada di Bandara Hang Nadim Batam hanya memebrikan informasi bahwa claim tersebut bisa dilakukan di bandara mana saja. Karena satu dua hal, Hessy memutuskan untuk tidak langsung mengajukan claim, ia memutuskan untuk melakukan claim ketika akan kembali ke Jakarta pada tanggal 20 Februari 2016. Pada tanggal keberangkatan Hessy untuk kembali ke Jakarta yang juga melalui Bandara Hang Nadim Batam, ia melakukan claim atas koper yang sebelumnya telah ia laporkan dan diberikan surat laporan terkait. Akan tetapi pada kenyataannya ketikaia akan melakukan claim atas kerusakan koper, pihak Lion Air melalui customer service yang ada di Bandara Hang Nadim Batam menyatakan bahwa claim tersebut telah hangus. Alasan yang diberikan pihak Lion Air pada saat itu ialah, kertas tanda bagasi yang berisikan nomor bagasi dan tujuan yang biasa tertempel pada koper telah hilang. Hilangnya tanda bagasi pada koper tersebut dikarenakan koper yang sama harus masuk kembali kedalam bagasi untuk dibawa kembali ke Jakarta melalui counter check-in sehingga tanda bagasi yang sebelumnya yang ada pada koper tersebut haruslah dilepas. Pada saat melakukan claim tersebut, Hessy mencoba meminta kembali tanda bagasi yang telah dilepas oleh petugas check-inakantetapi pihak Lion Air tidak memberikan dengan alasan bahwa claim tersebut telah hangus. (Hasil wawancara dengan Hessy E. Frasti, Penumpang Lion Air, pada tanggal 21 Maret 2016 pukul 14.30 WIB)

Berdasarkan peristiwa yang dialami oleh Hessy sebagai penumpang sekaligus sebagai konsumen pengguna jasa angkutan udara dalam pemenuhan haknya untuk mendapatkan informasi yang jelas tidak terpenuhi. Hal tersebut dapat terlihat dari informasi yang diberikan oleh pihak Lion Air tidak

(22)

menjelaskan secara runtut tata cara melakukan claim berikut jangka waktu pengajuan claimatas rusaknya koper penumpang.Selain hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, pihak Lion Air tidak bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh penumpang yaitu Hessy atas rusaknya koper sebagai bagasi tercatat.Kewajiban pengangkut angkutan udara untuk memberikan ganti rugi kepada penumpang atau konsumen atas musnah, hilang atau rusaknya bagasi tercatat diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Bentuk ganti rugi yang seharusnya ia berikan bagi penumpang/konsumen yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat yaitu diberikan ganti rugi sejumlah uang sebesar Rp 200.000 (dua ratus ribu rupiah) per/kg dengan jumlah maksimal Rp 4.000.000 (empat juta rupiah) per/penumpang dengan batas waktu dinyatakan hilang 14 hari kalender terhitung sejak penumpang tiba dibandara tujuan. Berdasarkan peristiwa tersebut pihak Lion Air tidak melaksanakan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.

Kerugian mengenai hilang musnah atau rusakya bagasi tercatat juga terjadi pada peristiwa kecelakaan pesawat yang menimpa maskapai penerbangan Lion Air. Pada tahun 2013, Lion Air seperti diberitakan, pesawat Boeing 737-800 ER bernomor penerbangan JT-904 tercebur ke laut saat hendak mendarat di apron 9 Bandara Ngurah Rai Bali, Sabtu, 13 April 2013. Pesawat dengan identitas PK-LKS itu berangkat dari Bandara Husein Sastranegara, Bandung dengan membawa 101 penumpang yang terdiri atas 95 orang dewasa, 5 anak, seorang bayi, serta 7 awak. (https://m.tempo.co/read/news/2013/04/17/090473958/santunan-korban-lion-air-cair-hari-ini diakses pada 26 Maret 2016 pukul 08.00 WIB).

Peristiwa terceburnya Boeing 737-800 ER bernomor penerbangan JT-904 di wilayah perairan Bali, mengakibatkan sebagian penumpang

(23)

mengalami luka-luka dan menimbulkan kerugian lain bagi penumpang akibat hilang, musnah atau rusaknya barang-barang bagasi baik bagasi kabin maupun bagasi tercatat. Dalam peristiwa tersebut, berdasarkan pengakuan Daniel Putut, Direktur Airport Operation and Services Lion Air menyatakan bahwa Lion Air telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 5,5 miliar untuk para korban yang nantinya masing-masing mendapatkan ganti rugi sebesar Rp 55.000.000. Ganti rugi tersebut selanjutnya menurut Daniel, sudah termasuk ganti rugi atas barang-barang milik penumpang/konsumen yang disimpan didalam bagasi

(https://bisnis.tempo.co/read/news/2013/04/18/090474308/lion-air-beri-santunan-penumpang-rp-5-5-miliar diakses pada 26 Maret 2016 pukul 08.14 WIB) akan tetapi berdasarkan pengakuan salah seorang Korban yang tinggal di Bandung, Indri, istri salah satu korban bernama Gandi Nurima, merasa kecewa akan pelayanan pengajuan claim atas kerugian yang menimpa suaminya. Indri menyatakan bahwa untuk mendapatkan informasi mengenai prosedur pengajuan claim atas hilangnya barang-barang akibat kecelakaan pada Sabtu 13 April 2013 lalu sangatlah tidak mudah. Pihak Lion Air tidak memberikan informasi apapun mengenai hal tersebut yang menyebabkan Indri kesusahan untuk mengajukan claim atas barang-barangnya. (https://m.tempo.co/read/news/2013/04/17/090473958/santunan-korban-lion-air-cair-hari-ini diakses pada 26 Maret 2016 pukul 08.20 WIB)

Dalam hal ini berdasarkan beberapa peristiwa yang telah disebutkan diatas, pihak Lion Air telah melanggar hak-hak konsumen yang diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen diantaranya Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Mengkonsumsi dalam hal ini dapat diartikan menggunakan jasa penerbangan Lion Air. Hak konsumen lain yang dilanggar ialah Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Hak untuk mendapatkan informasi bagi konsumen merupakan salah satu hak yang sangat penting. Hal tersebut

(24)

berkaitan dengan informasi yang akan diterima oleh konsumen menyangkut suatu produk dan/atau jasa tertentu. Dalam hal ini penumpang dan/atau konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas berkaitan dengan segala hal baik informasi mengenai jadwal penerbangan, informasi mengenai keterlambatan penerbangan, informasi mengenai keterangan dan/atau tata cara pengajuan claim terhadap hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat, hingga informasi mengenai keterangan dan/atau tata cara pengajuan claim atas terjadinya kecelakaan pesawat yang menimpa penumpang dan/atau konsumen. Hak konsumen untuk mendapatkan keamanan dan hak konsumen untuk mendapatkan informasi merupakan hak dasar yang melekat pada konsumen.Hal tersebut dikemukakan oleh John. F. Kenedy didepan kongres pada tanggal 15 Maret 1962.

Hak konsumen lain yang juga dilanggar oleh Lion Air ialah Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Jelas dinyatakan bahwa pemberian kompensasi atau ganti rugi bagi konsumen merupakan hak dari konsumen ketika mereka dirugikan, artinya, telah menjadi kewajiban bagi Lion Air untuk memberikan ganti rugi/kompensasi bagi penumpang dan/atau konsumen akibat kerugian yang ditimbulkan daripadanya.

Pelanggaran hak konsumen yang salah satunya ialah dalam hal pemberian ganti rugi bagi penumpang dan/atau konsumen dinyatakan oleh narasumber bahwa dalam hal pemberian ganti rugi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, baik ganti rugi dalam hal keterlambatan penerbangan dan ganti rugi akibat hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat yang masih sering dialami oleh penumpang/konsumen hingga ganti rugi bagi penumpang/konsumen yang mengalami kerugian fisik yaitu meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka, Lion Air dalam hal ini dan hingga saat ini masih tetap berupaya untuk melakukan pembenahan sistem pelayanan yang ada.

(25)

Pihaknya berdalih bahwa dengan begitu banyaknya jadwal penerbangan Lion yang tersebar di hampir seluruh Bandar udara yang ada di Indonesia menyebabkan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian kompensasi bagi para penumpang yang mengalami kerugian baik secara fisik maupun non fisik dalam prosesnya membutuhkan waktu yang sangat lama.

Berdasarkan pengakuan salah seorang penumpang/konsumen bernama Singgih Adhi Setiawan yang tak lain merupakan Supervisor Tower Air Traffic Controller Bandara International Adi-Soemarmo Solo, pada kenyataannya ketika penumpang/konsumen tersebut dirugikan oleh sebuah maskapai penerbangan, maskapai penerbangan tidak akan secara langsung dan pada saat itu juga mendatangi penumpang/konsumen untuk memberikan ganti rugi. Ketika tidak ada salah satu dari mereka (penumpang) menuntut untuk diberikan ganti rugi yang sesuai dengan apa yang seharusnya ia dapatkan, maka dalam hal ini pihak maskapai juga tidak akan memberikan apa yang seharusnya ia dapatkan. Contoh yang masih sering terjadi dan masih sering dialami oleh penumpang/konsumen yang juga dialami sendiri oleh Bapak Singgih ialah masalah pemberian kompensasi atau ganti rugi bagi para penumpang akibat menunggu keberangkatan pesawat yang tidak sesuai dengan yang dijadwalkan. Bapak Singgih membenarkan bahwa penumpang/konsumen yang menunggu keberangkatan pesawat dengan durasi waktu 30 menit, 60 menit, 120 menit, 180 menit bahkan hingga 240 menit, sangatlah jarang baginya untuk diberikan ganti rugi sesuai apa yang seharusnya ia dapatkan. Ketika penumpang tidak menuntut hal tersebut kepada pihak yang memang berwenang dalam hal ini, maka tidak akan ada tindakan dari petugas terkait mengenai hal ini.

Pernyataan tersebut didukung oleh pengakuan Narasumber, pihaknya menyatakan bahwa, ketika permasalahan mengenai pemberian ganti rugi tersebut masuk dalam ranah hukum dan telah diputuskan oleh pihak yang berwenang, disini telah diputus oleh Pengadilan Negeri untuk memberikan

(26)

ganti rugi sebesar nominal maka pihak maskapai akan melaksanakan hal tersebut sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam putusan tersebut.Artinya pihak perusahaan baru akan memberikan atau melaksanakan sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undnag untuk memberikan ganti rugi bagi mereka, penumpang dan/atau konsumen yang dirugikan olehnya apabila ada pihak-pihak yang menuntut haknya untuk dipenuhi. (Hasil wawancara dengan Muhammad Yuridio Tirta, Corporate Lawyer PT Lion Mentari Airlines, pada tanggal 13 Februari 2016 pukul 11.15 WIB)

Beberapa pernyataan diatas baik dialami pribadi oleh Bapak Singgih dan berdasar pengakuan narasumber sendiri terlihat bahwa memang dalam prakteknya penerapan pengaturan mengenai pemberian ganti rugi bagi penumpang/konsumen masih sangat kurang bahkan berdasarkan penjabaran diatas terlihat bahwa sejak awal memang sudah tidak ada itikad baik untuk melaksanakan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya sesuai yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan dan peraturan terkait yang ada.Jelas dinyatakandidalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pelaku usaha berkewajiban beritikad baik dalam menjalankan usahanya, Pelaku usaha dalam hal ini ialah maskapai penerbangan Lion Air selain telah melanggar hak-hak konsumen juga tidak menjalankan apa yang seharusnya menjadi kewajibannya. Diantaranya kewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa serta memebri penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.Kewajiban memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

Pemberian kompensasi/ganti rugi selain menjadi sebuah kewajiban bagi pelaku usaha juga merupakan tanggung jawab pelaku usaha ketika pelaku usaha menimbulkan sebuah kerugian bagi konsumennya. Hal tersebut diatur

(27)

dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jelas dikatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan teori tanggung jawab yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, bahwa seseorang, seseorang disini dimaksudkan ialah orang dan badan hukum bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia memikul tanggung jawab hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi ditujukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya. Artinya Lion Air bertanggung jawab secara hukum atas kerugian yang ditimbulkan dan sudah menjadi kewajibannya untuk bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat.

Selanjutnya narasumber menyatakan bahwa, hingga saat ini pihak maskapai penerbangan Lion Air terus berusaha untuk membenahi sistem dan pola pelayanan yang ada di Perusahaan agar kedepannya tidak lagi banyak merugikan para penumpang. Pihaknya juga menyatakan bahwa akan berusaha meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan pemenuhan apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya, karena seyogyanya kepuasan konsumen akan berdampak kepada minat konsumen untuk datang kembali. Oleh karena itu kepuasan konsumen ini akan memunculkan loyalitas bagi konsumen (Roger Hallowell, 1996: 27-42)

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti mengemukakan saran, yaitu sebaiknya (1) guru menggunakan permainan memancing huruf agar pembelajaran lebih menyenangkan dan meningkatkan semangat belajar

Dari hasil perbandingan memperlihatkan bahwa waktu retensi antara feromon seks hasil ekstraksi dan feromon seks standar adalah hampir sama dan puncak (peak) yang diperlihatkan

Demikian juga dengan harga, karena konsumen membeli suatu produk tersebut karena benar-benar ingin merasakan nilai dan manfaat dari produk tersebut atau yang dalam hal

Mengatasi hal tersebut, tentu seorang guru dalam proses pembelajaran berusaha semaksimal mungkin untuk menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang

Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka yang memancing rasa ingin tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan suatu fenomena. Siswa diberi kesempatan

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi multikolinieritas, salah satunya yaitu dengan menggunakan nilai VIF ( Variance Inflation Factor ) dari

• Apabila kemudian ada pihak yang   mempermasalahkan tanda tangan dalam akta tersebut maka notaris tidak serta merta dapat dimintai pertanggungjawaban;   pihak tersebut harus

Izin edar adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk produk alat kesehatan atau perbekalan kesehatan rumah tangga, yang akan diimpor, digunakan dan/atau diedarkan