UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA NENEK R DENGAN MASALAH KONSTIPASI DI WISMA DAHLIA PSTW BUDI MULIA 1 CIPAYUNG
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
DITA NUR HIDAYAH 0906564082
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN
DEPOK JULI 2014
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA NENEK R DENGAN MASALAH KONSTIPASI DI WISMA DAHLIA PSTW BUDI MULIA 1 CIPAYUNG
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Diajukan sebagai salah satu syarat memenuhi memperoleh gelar Ners Keperawatan
DITA NUR HIDAYAH 0906564082
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN
DEPOK JULI 2014
v
Alhamdulillahhirobbil’alamin. Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam atas limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga atas ijin-Nya saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners ini. Karya ini tidak mungkin akan selesai tanpa bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Junaiti Sahar, S.Kp., M.App.Sc., Ph. D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia;
2. Ibu Ns. Dwi Cahya Rahmadiyah., S. Kep., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia memberikan pengarahan, nasihat serta bimbingan dalam penyusunan karya ilmiah yang baik dan benar;
3. Kepala PSTW Budi Mulia 1 Cipayung yang telah memberikan ijin serta kesempatan untuk melakukan praktik keperawatan;
4. Ibu dan keluarga besar saya yang mendoakan, memberikan dukungan material dan moral demi kelancaran penyusunan karya ilmiah ini;
5. Sahabat-sahabat saya, Icha, Rara, Cimut, Lele, Evie, Sae, Rio dan Najat yang membuat saya selalu termotivasi untuk menyelesaikan karya ilmiah ini dengan sebaik-baiknya;
6. Teman-teman MBUI, Goodwill serta IKAMMA UI yang telah memperkenalkan saya kepada orang-orang hebat yang selalu membuat saya termotivasi untuk menjadi lebih baik;
7. Teman-teman peminatan KKMP Gerontik, dan teman-teman FIK UI angkatan 2009 yang saling memotivasi satu sama lain.
Penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan yang telah diberikan. Semoga Karya Ilmiah Akhir Ners ini dapat memberikan manfaat kepada seluruh pihak, terutama demi pengembangan ilmu.
Depok, 08 Juli 2014
vii
Nama : Dita Nur Hidayah
NPM : 0906564082
Program Studi : Profesi Keperawatan
Judul : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Nenek R dengan Masalah Konstipasi di Wisma Dahlia PSTW Budi Mulia 1 Cipayung
Konstipasi merupakan gangguan pada sistem gastrointestinal yang sering dialami oleh lansia di masyarakat perkotaan yang akan berdampak buruk bila tidak segera diatasi. Karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas massage abdomen gaya Swedia (Swedish Abdominal Massage) dalam mengatasi konstipasi pada lansia.Intervensi dilakukan selama 8 kali pertemuan dalam 2 minggu selama 10-15 menit. Hasil intervensi ini menunjukkan bahwa massage abdomen terbukti efektif dalam mengatasi konstipasi. Hasil intervensi menunjukkan perbaikan frekuensi defekasi (1-2 hari sekali) dan peningkatan volume feses saat defekasi., namun feses masih terasa keras. Frekuensi dan teknik massage serta terapi cairan dan serat perlu ditingkatkan untuk mengoptimalkan hasil.
Kata Kunci:
viii
Name : Dita Nur Hidayah
NPM : 0906564082
Study Program : Clinical Practice Nursing
Title : Analysis of Clinical Nursing Practice of Urban Health to Mrs. R with Constipation Problem at Wisma Dahlia of Social Institution Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung
Constipation is one of gastrointestinal disorder that commonly diagnosed in urban elderly. This condition may cause some potential health-related consequences if doesn’t manage immediately. This paper had purposed to describe of effectiveness interventions in nursing care by Swedish abdominal massage to reduce constipation. Studies have demonstrated in 8 times meeting over the period 2 weeks. Each session contains 10-15 min of abdominal massage. There is good evidence that massage can increase the frequency of bowel movements and volume of the stool, but the consistency still dry and hard to expel. It needs more frequency to give abdominal massage and increase fiber and fluid intake to get best result.
Keywords:
ix
HALAMAN JUDUL ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi
ABSTRAK ... vii ABSTRACT ... viii DAFTAR ISI ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... xi BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 5 1.3 Tujuan Penelitian ... 6 1.3.1 Tujuan Umum ... 6 1.3.2 Tujuan Khusus ... 6 1.4 Manfaat Penelitian ... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan ... 8
2.2 Teori Kebutuhan Manusia ... 11
2.3 Perubahan Fisiologis Sistem Gastrointestinal pada Lansia ... 14
2.4 Konstipasi ... 15
2.4.1 Pengertian Konstipasi ... 15
2.4.2 Faktor Risiko Konstipasi pada Lansia ... 16
2.4.3 Patofisiologi dan Klasifikasi Konstipasi pada Lansia ... 18
2.4.4 Komplikasi Konstipasi pada Lansia ... 19
2.5 Penatalaksanaan Konstipasi pada Lansia ... 20
2.5.1 Pengkajian Konstipasi pada Lansia ... 20
x
2.6.2 Tipe- tipe Massage Abdomen ... 27
2.6.3 Swedish Abdominal Massage ... 28
BAB 3 LAPORAN KASUS UTAMA KLIEN ... 31
3.1 Pengkajian ... 31
3.1.1 Riwayat Kesehatan ... 31
3.1.2 Kebiasaan Sehari-hari ... 32
3.1.3 Keluhan Saat Ini ... 32
3.1.4 Pemeriksaan Fisik ... 33
3.2 Analisa Data ... 33
3.3 Rencana Asuhan Keperawatan ... 35
3.4 Implementasi ... 37
3.5 Evaluasi ... 39
BAB 4 ANALISA SITUASI ... 43
4.1 Profil Lahan Praktik ... 43
4.2 Analisa Masalah Keperawatan dengan Konsep Kasus ... 45
4.3 Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait ... 47
4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan ... 49
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 52
5.1 Kesimpulan ... 52
5.2 Saran ... 54 DAFTAR PUSTAKA
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Langkah-langkah Swedish Abdominal Masage Lampiran 2 Langkah-langkah Massage I Love U
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan era globalisasi akan berimplikasi pada peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang lebih baik akan memberikan pengaruh terhadap status kesehatan manusia sebagai individu maupun kelompok. Manusia sebagai individu normal akan terus berkembang sesuai dengan tahap perkembangan, mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia. Berbicara mengenai lansia, seiring dengan meningkatnya kesejahteraan penduduk, maka akan meningkat pula Usia Harapan Hidup (UHH) para lansia. Berdasarkan laporan Wirakusumah (2000) dalam Kemenkes RI (2013), World Health Organization (WHO) memperkirakan UHH yang pada tahun 1990 hanya 59,9 tahun diperkirakan akan meningkat menjadi 71,7 tahun.
Jumlah total penduduk lansia di Indonesia mencapai 19,32 juta orang atau 8,37% dari total seluruh penduduk Indonesia. Kementerian Kesehatan RI (2013) memprediksi bahwa akan terjadi ledakan jumlah penduduk lansia terutama di negara-negara berkembang. Berdasarkan proyeksi tahun 2010-2035, kelompok umur 0-49 tahun akan menurun, sedangkan kelompok lansia (50-60+) akan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok umur lansia akan meningkat setiap tahun dan memiliki prosentase yang cukup besar di Indonesia. Kondisi ini akan membuat pemerintah memberikan perhatian yang lebih terhadap lansia, khususnya dalam hal kesehatan.
Prediksi yang diajukan oleh Kemenkes RI ini bercermin melalui situasi global lansia yang terjadi pada saat ini. Situasi tersebut diantaranya; (1) Setengah dari jumlah lansia di dunia (400 juta jiwa) berada di Asia, (2) Pertumbuhan lansia di negara berkembang lebih tinggi dari negara yang sudah berkembang, (3) Masalah terbesar lansia adalah penyakit degeneratif, dan (4) Diperkirakan pada tahun 2050 sekitar 75% lansia penderita penyakit degeneratif tidak dapat beraktivitas atau hanya tinggal di rumah (Kemenkes, 2013).
Universitas Indonesia Penjelasan sebelumnya menyebutkan bahwa masalah terbesar yang dialami lansia adalah penyakit degeneratif. Beberapa contoh penyakit degeneratif yang dapat mengancam hidup lansia antara lain; penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler), kanker, dan lain sebagainya. Penyakit-penyakit degeneratif tersebut tidaklah muncul begitu saja tanpa sebab. Umumnya penyakit degeneratif muncul sebagai akibat dari keluhan ringan namun dianggap sepele oleh penderitanya. Beberapa contoh keluhan yang khas pada lansia antara lain; gangguan pola tidur, kejadian jatuh, konstipasi, inkontinensia, perubahan gaya berjalan, kurang nutrisi, dementia, dan lain sebagainya.
Konstipasi merupakan masalah yang sering sekali dialami oleh lansia. Konstipasi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan jarak (interval) waktu buang air besar (BAB) yang lama, yaitu 2-3 hari, penurunan volume feses dan disertai peningkatan konsistensi yang disebabkan oleh waktu transit kolon yang lambat. Penampilan feses umumnya keras, kering, keluar dalam bentuk fragmen kecil-kecil (scybala), namun terkadang juga terdapat bagian yang lunak atau cair yang biasa disebut dengan “diare palsu”. Hal ini dikarenakan perpanjangan waktu penumpukan feses pada kolon rektosigmoid. (Bienfait, 1972 dalam Marza-Danila, 2011). Telah banyak penelitian dan laporan sensus nasional maupun international mengenai angka kejadian konstipasi pada lansia.
Penelitian menyebutkan bahwa prevalensi dari konstipasi meningkat seiring dengan pertambahan usia, khususnya untuk orang-orang yang berusia 65 tahun keatas (Rao, 2007 dalam Rao & Go, 2010). Hal tersebut berpangkal pada kelemahan tonus otot dinding usus akibat penuaan. Di Kepulauan Inggris, 10% dari jumlah populasi, 20% lansia yang tinggal di rumah, 49% yang menjalani long-term care, serta 70% yang mengalami kecacatan menderita konstipasi kronik (Sinclair, 2010). International US Census Bureau memperoleh data bahwa pada tahun 2003, sebanyak 3.857.327 atau sekitar 1,8% penduduk Indonesia mengalami konstipasi (Sari, 2009). Selain itu, disebutkan juga bahwa lansia wanita memiliki kemungkinan 2 sampai 3 kali lipat mengalami konstipasi dibandingkan lansia pria.
Konstipasi merupakan salah satu penyakit yang banyak terjadi pada lansia yang tinggal di wilayah perkotaan. Berdasarkan laporan Sakernas (2011) dalam Kemenkes (2013), presentasi lansia di Indonesia yang bekerja di daerah perkotaan (51,46%) lebih tinggi dibandingkan lansia pedesaan (38,99%). Susenas (2009) juga menyebutkan bahwa angka kesakitan penduduk lansia di daerah perkotaan mencapai 27,20 %. Saat ini masyarakat di Indonesia, terutama perkotaan mengalami pergeseran gaya hidup. Seiring dengan perbaikan sosial ekonomi masyarakat, maka terjadi pula perubahan kebiasaan perilaku yang cenderung kebarat-baratan, seperti kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji yang kurang serat, menurunnya aktivitas fisik (sedentary lifestyle), dan kurang olahraga. Hal inilah yang menjadi faktor penyebab konstipasi lebih banyak dialami oleh masyarakat perkotaan (Raissa, 2012).
Beberapa faktor penyebab konstipasi adalah konsumsi serat dan cairan yang tidak adekuat. Oleh karena itu, melalui terapi serat dan air putih yang cukup dan disertai dengan pola aktivitas fisik yang teratur merupakan cara utama yang harus dijalankan oleh individu untuk mengatasi konstipasi. Namun untuk kelompok umur lansia, diperlukan beberapa intervensi tambahan untuk memaksimalkan fungsi diet dan gaya hidup seimbang yang telah dijalankan, khususnya bagi lansia yang tinggal di lingkungan panti sosial. Hal ini dikarenakan selain situasi khusus yang dialami lansia yang telah mengalami kelemahan tonus otot dinding usus akibat penuaan, lansia tidak dapat memilih jenis makanan yang diinginkan karena porsi dan jenis makanan telah ditentukan oleh pihak panti yang terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan lansia. Kondisi seperti ini telah dialami oleh salah satu Warga Binaan Sosial (WBS), yaitu Nenek R, yang selanjutnya akan disebut sebagai klien.
Klien (70 Tahun) merupakan salah satu WBS di Panti Sosial Tresna Budi Mulia 1 Cipayung yang mengalami konstipasi. Klien mengaku sulit buang air besar. Frekuensi buang air besar klien tidak menentu, sering kali hanya buang air besar 2 kali dalam seminggu. Menurut laporan petugas wisma, klien pernah tidak buang air besar selama 2 minggu. Setiap buang air besar, feses yang keluar hanya berupa
Universitas Indonesia gumpalan kecil sebesar jari dan terasa keras. Klien memiliki riwayat penyakit stroke sekitar 1 tahun yang lalu yang menyebabkan kelumpuhan pada sisi kanan tubuhnya. Selain itu, klien juga mengalami kebutaan akibat katarak pada kedua matanya. Itulah yang menyebabkan klien jarang beraktivitas dan hanya menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat tidur.
Pola makan klien cukup baik. Klien mengaku sangat menyukai buah-buahan, namun beliau menyayangkan buah yang diberikan dari pihak panti sangat sedikit (berupa potongan kecil). Jika saat makan tiba, klien selalu makan menggunakan sayur, namun sayur yang dibagikan juga sedikit. Klien jarang mengonsumsi air putih karena beliau mengalami kesulitan untuk mengambil air putih yang letaknya agak jauh dari tempat tidurnya, Biasanya klien akan meminta tolong petugas yang kebetulan lewat untuk mengambilkan minum. Jika tidak ada petugas lewat, maka klien lebih sering menahan keinginan untuk minum.
Perlakuan diet seimbang (khususnya konsumsi serat) dan peningkatan aktivitas fisik dapat dilakukan sebagai salah satu intervensi untuk mengatasi masalah konstipasi klien. Namun, intervensi tersebut dirasakan kurang maksimal karena menu makanan yang sulit untuk dirubah sesuai keinginan (kebijakan panti) dan aktivitas fisik yang terbatas karena hemiparese dextra yang dialami klien akibat stroke 1 tahun yang lalu. Oleh karena itu, penulis bermaksud mengaplikasikan metode lain untuk mengatasi keluhan konstipasi pad klien. Intervensi pelengkap yang digunakan penulis untuk mengatasi konstipasi pada klien adalah massage abdomen.
Massage abdomen merupakan salah satu intervensi yang dapat membantu
mengatasi masalah konstipasi pada lansia. Jika konsumsi serat, cairan dan aktivitas fisik merupakan cara yang digunakan untuk menstimulasi pergerakan sisa makanan dari dalam (internal), maka massage abdomen merupakan cara yang digunakan untuk menstimulasi gerakan sisa makanan di usus dari luar (eksternal). Massage abdomen merupakan intervensi yang telah dibuktikan keefektifannya oleh banyak peneliti. Selain karena tidak memiliki efek samping yang serius,
massage abdomen terbukti dapat mengatasi konstipasi secara alami dan tidak menggunakan obat-obatan dalam bentuk apapun.
Massage abdomen dengan cara klasik (massage sesuai anatomi kolon) telah lama dikenal oleh masyarakat dan telah terbukti keefektifannya. Sinclair (2010) telah melakukan penelitian menggunakan metode massage abdomen jenis lain untuk mengatasi keluhan konstipasi pada lansia. Teknik massage yang akan digunakan adalah massage abdomen gaya Swedia (Swedish Abdominal Massage). Teknik massage ini menggunakan Tactile Stimulation Method dari Birkestad yang menggunakan prinsip mengurut, penekanan dengan lembut, dan tekanan statis.
Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan mengenai situasi lansia di Indonesia, presentase lansia di daerah perkotaan, keluhan konstipasi yang dialami lansia, penuaan sistem pencernaan, serta kondisi klien di panti sosial, maka penulis ingin mengetahui keefektifan teknik massage abdomen gaya Swedia dalam mengatasi masalah konstipasi pada lansia pada masyarakat perkotaan.
1.2 Rumusan Masalah
Penuaan yang terjadi pada lansia terjadi pada seluruh sistem tubuh, tidak terkecuali sistem gastrointestinal. Penurunan fungsi organ-organ pada sistem gastrointestinal akibat penuaan dapat menyebabkan berbagai masalah pencernaan, salah satunya adalah konstipasi. Konstipasi merupakan keluhan yang sering dialami oleh lansia, khususnya lansia yang hidup sebagai masyarakat di wilayah perkotaan. Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) merupakan salah satu institusi pemerintah yang diperuntukkan bagi lansia yang tinggal diperkotaan. Asupan makanan yang diberikan pihak panti oleh para lansia sering kali tidak memenuhi kebutuhan serat pada lansia. Selama peneliti melakukan pengkajian di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung, peneliti menemukan bahwa banyak Warga Binaan Sosial (WBS) yang mengalami konstipasi, termasuk klien. Masalah konstipasi pada lansia dapat diatasi dengan menggunakan beberapa cara, salah satunya adalah massage abdomen gaya Swedia (Swedish Abdominal Massage). Oleh karena itu, dalam laporan ini penulis mengangkat rumusan masalah, yaitu “Bagaimana
Universitas Indonesia tingkat keefektifan SwedishAbdominal Massage dalam mengatasi konstipasi pada lansia?”
1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan laporan ini adalah menganalisis asuhan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada Nenek R (70 Tahun) dengan masalah konstipasi selama 2 minggu praktik di Wisma Dahlia Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan laporan ini adalah:
1. Tergambarnya profil pelayanan lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung
2. Tergambarnya hasil analisa Swedish Abdominal Massage sebagai salah satu intervensi dalam mengatasi konstipasi pada lansia
3. Tergambarnya hasil pengkajian Nenek R di Wisma Dahlia Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung
4. Tergambarnya rencana asuhan keperawatan yang diberikan pada lansia dengan masalah konstipasi
5. Tergambarnya implementasi yang telah dilakukan pada lansia yang mengalami masalah konstipasi
6. Tergambarnya evaluasi hasil implementasi yang telah dilakukan
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi pelayanan keperawatan kesehatan lansia di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung
Hasil penulisan laporan ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai inovasi intervensi yang dapat dilakukan oleh perawat maupun caregiver lansia dalam mengatasi konstipasi. Selain itu, inovasi intervensi dapat diaplikasikan di PSTW sehingga dapat mengurangi penggunaan obat maupun pencahar yang memiliki efek samping lebih tinggi.
2. Bagi keilmuan keperawatan
Hasil penulisan laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat di bidang pendidikan keperawatan, khususnya keperawatan gerontik. Bagi pendidikan keperawatan, hasil laporan ini diharapkan dapat menjadi data dasar untuk pengembangan inovasi intervensi keperawatan terhadap masalah konstipasi, khususnya pada lansia.
3. Bagi penelitian
Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat menjadi masukan atau ide untuk melakukan penelitian lebih jauh atau menggunakan metode yang berbeda, sehingga data mengenai keefektifan teknik Swedish Abdominal Massage menjadi lebih lengkap. Selain itu, hasil laporan ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi bagi penelitian selanjutnya terkait masalah konstipasi pada lansia.
8 Universitas Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama yang tinggal di suatu wilayah tertentu dalam waktu yang cukup lama, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/ kumpulan tersebut (Horton & Hunt, 1991). Jadi, masyarakat urban atau masyarakat perkotaan merupakan sekumpulan individu yang mendiami daerah perkotaan yang didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar menjadi lebih baik.
Kawasan perkotaan adalah wilayah yang memiliki kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Perkotaan memiliki karakteristik yaitu besarnya peranan kelompok sekunder, anonimitas merupakan ciri kehidupan masyarakatnya, heterogen, mobilitas sosial tinggi, tergantung pada spesialisasi, hubungan antara orang satu dengan yang lain lebih didasarkan atas kepentingan daripada kedaerahan, lebih banyak tersedia lembaga atau fasilitas untuk mendapatkan barang dan pelayanan, serta lebih banyak mengubah lingkungan (Indrizal, 2006).
Pada mulanya kota sebagai suatu tempat tujuan orang untuk bekerja dan menyejahterakan hidup orang banyak yang setelahnya kota menjadi tempat pemukiman yang tetap. Kota memiliki semacam daya tarik untuk kegiatan rohaniah dan perdagangan, serta kegiatan lainnya yang sebagian besar penghuninya telah mampu memenuhi kebutuhannya melalui pasar setempat. Masyarakat perkotaan ialah masyarakat yang tinggal di kota, yang memiliki kegiatan utama bukan pertanian dan memiliki tujuan hidup untuk memperbaiki kehidupan mereka (Allender, 2001).
Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan adalah bagian dari keperawatan komunitas, yang mengutamakan asuhan keperawatan bagi masyarakat di perkotaan dengan berbagai masalah yang ditimbulkan sebagai dampak dari urbanisasi, yang membuat perubahan pada perilaku sehat di masyarakat (Marriner, 2001). Keperawatan kesehatan masyarakat ialah suatu bidang dalam keperawatan yang merupakan perpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat dengan dukungan serta peran aktif masyarakat dengan mengutamakan pelayanan promotif, preventif berkesinambungan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu (Depkes RI, 1996).
Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan termasuk dalam lingkup keperawatan komunitas karena masyarakat perkotaan merupakan komunitas yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala kondisi yang ada di lingkungan kota (Neuman, 1995). Secara umum, keperawatan ini bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat tercapai derajat kesehatan yang optimal agar dapat menjalankan fungsi kehidupannya sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Oleh sebab itu, ruang lingkup keperawatan kesehatan masyarakat akan mencakup peningkatan kesehatan (promotif), upaya pencegahan (preventif), pemeliharaan kesehatan dan pengobatan (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).
Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) adalah suatu bidang dalam keperawatan kesehatan yang merupakan perpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat dengan dukungan peran serta aktif masyarakat, serta mengutamakan pelayanan promotif, preventif secara berkesinambungan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu, ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh, melalui proses keperawatan untuk meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal sehingga mandiri dalam upaya kesehatannya (Depkes, 2006).
Universitas Indonesia Perawatan Kesehatan Masyarakat sering disebut dengan PHN (Public Health Nursing) namun pada akhir-akhir ini lebih tepat disebut CHN (Community Health Nursing). Perubahan istilah “public” menjadi “community”, terjadi di banyak negara karena istilah public sering kali dihubungkan dengan bantuan dana pemerintah (public funding), sementara keperawatan kesehatan masyarakat dapat dikembangkan tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh mesyarakat atau swasta, khususnya pada sasaran individu, contohnya perawatan kesehatan individu di rumah atau Home Health Nursing (Depkes, 2006).
Efendi dan Makhfudli (2009), menjelaskan bahwa keperawatan kesehatan komunitas dibedakan dari spesialis keperawatan lainnya berdasarkan prinsip dibawah ini;
1. Klien atau unit keperawatan merupakan suatu populasi,
2. Tugas utama adalah meraih yang terbaik bagi sejumlah orang atau populasi keseluruhan,
3. Proses yang digunakan oleh perawat komunitas termasuk bekerja dengan klien sebagai mitra yang sejajar,
4. Pencegahan primer merupakan hal yang prioritas dalam memilih tindakan yang sesuai,
5. Memilih strategi untuk menciptakan lingkungan sehat, kondisi sosial, dan ekonomi pada populasi yang berkembang merupakan fokus utama,
6. Tanggung jawab mencakup keseluruhan populasi yang memerlukan intervensi atau pelayanan spesifik,
7. Penggunaan sumber-sumber kesehatan yang optimal untuk mendapatkan perbaikan yang terbaik dari populasi merupakan kunci pokok dari kegiatan praktik, serta
8. Kolaborasi dengan berbagai jenis profesi, organisasi, dan perkumpulan merupakan cara paling efektif untuk mempromosikan dan melindungi kesehatan populasi.
Depkes (2006) menjelaskan bahwa tujuan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat adalah meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi
masalah kesehatan masyarakat yang optimal. Fokus utama kegiatan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat adalah meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan keperawatan, membimbing dan mendidik individu, keluarga, kelompok, masyarakat untuk menanamkan pengertian, kebiasaan dan perilaku hidup sehat sehingga mampu memelihara dan meningkatkan derajad kesehatannya. Langkah-langkah proses keperawatan pada perkesmas meliputi pengkajian, perencanaan, pelaksanaan (implementasi), dan penilaian (evaluasi).
Pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat dapat diberikan secara langsung pada semua tatanan kesehatan, diantaranya; (1) Di dalam unit pelayanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dll), (2) Di rumah (Home Care), (3) Di sekolah, (4) Di tempat kerja atau industri, (5) Di barak penampungan, (6) Di dalam kegiatan puskesmas keliling, (7) Di panti, termasuk panti werdha, panti asuhan, rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan (Lapas), serta (8) Pelayanan dalam kelompok berisiko tinggi, seperti kelompok wanita, anak-anak, lansia, pusat pelayanan kesehatan jiwa, gelandangan, penderita HIV, dan lain sebagainya (Depkes, 2006).
2.2 Teori Kebutuhan Manusia
Umumnya, setiap manusia memiliki kebutuhan dasar yang sama meskipun setiap individu memiliki latar belakang sosial, budaya, persepsi dan pengetahuan yang berbeda. Manusia akan memenuhi kebutuhan dasarnya sesuai dengan tingkat prioritas masing-masing. Kebutuhan dasar yang akan dan harus segera dipenuhi adalah kebutuhan dasar dengan tingkat prioritas yang paling tinggi/ utama.
Terdapat beberapa teori mengenai kebutuhan dasar manusia. Salah satu teori yang paling sering digunakan dalam dunia keperawatan adalah Teori Kebutuhan Dasar Maslow. Maslow menyusun teori kebutuhan manusia berdasarkan pandangan terhadap variasi kebutuhan manusia yang tersusun dalam bentuk hirarki atau berjenjang. Setiap jenjang kebutuhan dapat terpenuhi hanya jika jenjang yang sebelumnya telah (relatif) terpenuhi atau terpuaskan.
Universitas Indonesia Teori ini digambarkan dalam bentuk sebuah piramida yang tersusun atas lima jenis kebutuhan dasar, dimulai dari tingkat piramida paling dasar dan paling luas yang menggambarkan prioritas utama manusia hingga pada bagian puncak piramida yang menggambarkan prioritas pada tingkat yang paling rendah. Lima tingkat kebutuhan dasar manusia dimulai dari piramida paling dasar, yaitu (1) Kebutuhan Fisiologis, (2) Kebutuhan Keamanan, (3) Kebutuhan Dimiliki dan Dicintai, (4) Kebutuhan Harga Diri, (5) Kebutuhan Aktualisasi Diri (Wardalisa, 2012).
Menurut Wardalisa (2012), berikut penjelasan mengenai masing-masing jenjang kebutuhan dasar manusia menurut Maslow:
1. Kebutuhan Fisiologis
Umumnya, kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang bersifat neostatik, yaitu usaha untuk menjaga keseimbangan unsur-unsur fisik. Kebutuhan fisilogis juga bersifat faali, yaitu kebutuhan anatomi tubuh kita untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Beberapa contoh kebutuhan fisiologis manusia, antara lain; makan, minum, oksigen, tempat tinggal, serta kebutuhan eliminasi, istirahat, dan seksual.
2. Kebutuhan Keamanan
Setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi dan terpuaskan secukupnya, maka akan muncul kebutuhan keamanan. Mirip dengan kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan juga merupakan kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya. Perbedaannya terletak pada jangka waktu pemakaian kebutuhan tersebut. Kebutuhan fisiologis merupakan pertahanan hidup jangka pendek, sedangkan keamanan merupakan pertahanan hidup jangka panjang. Beberapa contoh kebutuhan keamanan, diantaranya: stabilitas, proteksi, struktur hukum, keteraturan, batas, kebebasan dari rasa takut dan cemas.
3. Kebutuhan Dimiliki dan Dicintai
Setelah kebutuhan fisiologis dan keamanan relative terpuaskan, selanjutnya akan muncul kebutuhan dimiliki dan dicintai. Kebutuhan dimiliki lebih
mengarah pada keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok sosial. Sebagaimana dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial, maka manusia akan selalu memerlukan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itulah manusia akan bersedih jika mengalami kesendirian, pengasingan, ditolak lingkungan, dan kehilangan sahabat atau orang yang dicintainya.
Selain kebutuhan bersosialisasi, cinta dan kasih sayang juga merupakan bagian dari jenjang kebutuhan dasar ini. Ada dua jenis cinta, yaitu Deficiency Love (D-Love) dan Being (B-Love). D-Love merupakan kebutuhan cinta karena kekurangan, yaitu mencintai sesuatu yang tidak dimilikinya atau seseorang yang membuat dirinya merasa tidak sendirian, misalnya hubungan pernikahan. Jenis cinta yang ini membutuhkan sesuatu atau seseorang yang dapat membuat individu merasa terpuaskan kenyamanan dan keamanannya.
Being Love (B-Love) didasarkan pada penilaian terhadap orang lain tanpa keinginan untuk mengubah ataupun memanfaatkan orang tersebut. Jenis cinta yang ini tidak berniat untuk memiliki dan mempengaruhi, namun lebih bertujuan untuk memberikan gambaran positif, penghargaan dan cinta kepada orang lain. Selain itu, jenis cinta ini juga membuka kesembatan bagi orang lain untuk berkembang.
Meskipun presentase pemenuhannya tidak sebanyak kebutuhan fisiologis dan keamanan, kebutuhan untuk dimiliki (bersosialisasi) dan dicintai juga penting dalam kehidupan manusia. Kegagalan dalam pemenuhan kebutukan cinta dan memiliki ini sering kali menjadi sumber hampir semua bentuk psikopatologi atau gangguan kejiwaan.
4. Kebutuhan Harga Diri
Ketika kebutuhan dimiliki dan cinta sudah relatif terpuaskan atau terpenuhi, selanjutnya akan muncul kebutuhan akan harga diri. Ada dua jenis harga diri, yaitu menghargai diri sendiri dan mendapat penghargaan dari orang lain.
Universitas Indonesia Kebutuhan untuk menghargai diri sendiri dapat dipenuhi melalui beberapa cara, misalnya: mencari dan memperoleh kekuatan atau kemampuan, penguasaan, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan kebebasan. Di sisi lain, kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain dapat diperoleh melalui status, jabatan, ketenaran, kehormatan. Seseorang membutuhkan pengetahuan bahwa dirinya dikenal dan dinilai dengan baik oleh orang lain.
Berdasarkan teori kebutuhan yang telah dijelaskan, dapat kita simpulkan bahwa pada sesungguhnya setiap manusia yang hidup di dunia ini memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Sesuai dengan teori yang dinyatakan Maslow, kebutuhan lain tidak bisa terpenuhi jika kebutuhan yang lebih penting dan lebih prioritas belum terpenuhi. Oleh karena itu, agar kebutuhan pada puncak piramida dapat terpenuhi, maka manusia harus memenuhi kebutuhan yang berada pada dasar piramida, yaitu kebutuhan fisiologis termasuk di dalamnya adalah kebutuhan eliminasi.
2.3 Perubahan Fisiologis Sistem Gastrointestinal pada Lansia
Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, pasal 1 ayat 2, menyatakan bahwa yang dimaksud lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Usia lanjut menurut WHO (1997) dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu lanjut usia (elderly): 60-74 tahun, usia tua (old): 75-90 tahun, dan sangat tua (very old): >90 tahun (Raissa, 2012).
Pada seorang dalam masa usia lanjut, akan mengalami perubahan-perubahan pada komposisi tubuh. Beberapa sistem tubuh yang mengalami perubahan, diantaranya; sistem pencernaan, sistem kardiovaskular, sistem pernapasan, otak dan sistem saraf, sistem ekskresi, sistem metabolisme dan hormon, sistem musculoskeletal dan status mental. Perubahan yang terjadi pada sistem tubuh lanjut usia tersebut dipengaruhi oleh proses menua.
Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000 dalam Ismayadi, 2004).
Salah satu sistem pada tubuh lansia yang mengalami perubahan adalah sistem gastrointestinal. Ismayadi (2004) memaparkan beberapa perubahan pada sistem gastrointestinal akibat penuaan, diantaranya; (1) Kehilangan gigi akibat periodontal disease, kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk, (2) Indera pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf pengecapan di lidah terhadap rasa makanan (rasa manis, asam, asin, dan pahit), (3) Esophagus melebar, (4) Rasa lapar menurun, asam lambung menurun (5) Peristaltik melemah dan biasanya timbul konstipasi, dan (6) Daya absorbsi melemah.
Di Indonesia, penyakit yang sering terjadi pada saluran pencernaan lansia antara lain gastritis dan ulkus peptikum, dengan beberapa gejalanya yaitu penurunan berat badan, mual, dan perut terasa tidak nyaman. Namun, keluhan seperti kembung dan perut terasa tidak nyaman seringkali akibat ketidakmampuan mencerna makanan karena menurunnya fungsi kelenjar pencernaan. Sembelit atau konstipasi serta kurang nafsu makan juga sering dijumpai pada lansia di Indonesia bahkan di dunia (Ismayadi, 2004).
2.4 Konstipasi
2.4.1 Pengertian Konstipasi
Konstipasi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan jarak (interval) waktu buang air besar (BAB) yang lama, yaitu 2-3 hari, penurunan volume feses dan disertai peningkatan konsistensi yang disebabkan oleh waktu transit kolon yang lambat. Penampilan feses umumnya keras, kering, keluar dalam bentuk fragmen kecil-kecil (scybala), namun terkadang juga terdapat bagian yang lunak atau cair yang biasa disebut dengan “diare palsu”. Hal ini dikarenakan perpanjangan waktu penumpukan feses pada kolon rektosigmoid. (Bienfait, 1972 dalam Marza-Danila, 2011).
Universitas Indonesia Siregar (2004) berpendapat bahwa konstipasi berhubungan dengan jalan feses yang kecil, kering, kotoran yang keras atau tidak ada kotoran yang melewati usus untuk beberapa waktu. Ini terjadi ketika pergerakan feses melalui usus besar lambat, hal ini diitambah lagi dengan rearbsorpsi cairan di usus besar. Konstipasi berhubungan dengan pengosongan kotoran yang sulit dan meningkatnya usaha atau tegangan dari otot-otot volunter pada proses defekasi.
2.4.2 Faktor Risiko Konstipasi pada Lansia
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, lansia merupakan masa dimana seorang individu akan mengalami proses menua, yaitu proses menurunnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normalnya. Konstipasi yang terjadi pada lansia bukan hanya sebagai akibat dari gaya hidup yang buruk, namun perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia akibat penuaan ini juga memiliki pengaruh besar terhadap terjadinya konstipasi.
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya konstipasi pada lansia: 1. Usia
Seiring dengan pertambahan usia pada usia lanjut, maka sistem pencernaan pada lansia juga akan mengalami penurunan fungsi secara progresif dari waktu ke waktu. Penurunan fungsi pencernaan tersebut ditandai dengan melemahnya beberapa organ, seperti melemahnya otot dan tonus sfinkter, berkurangnya tonus otot yang normal dari otot-otot polos kolon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengeringnya) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yang juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung (Siregar, 2004).
2. Diet
Pada lansia sering terjadi periodontal disease yang mengakibatkan lansia banyak kehilangan gigi. Selain itu, juga terjadi penurunan indra pengecap serta hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah terhadap rasa makanan, serta terjadi penurunan rasa lapar. Hal-hal tersebut akan menurunkan selera makan lansia terhadap suatu makanan, cenderung memilih-milih makanan dan
mendorong lansia untuk mengurangi jumlah makanan yang dimakan. Perilaku tersebut akan mengakibatkan makanan yang masuk ke usus akan semakin sedikit sehingga sisa makanan akan menumpuk di usus sebelum volume feses cukup untuk dikeluarkan. Jika dibiarkan, feses dalam usus akan mengeras dan meningkatkan risiko terjadinya konstipasi.
Cukupnya selulosa, serat pada makanan juga penting untuk memperbesar volume feses. Jenis makanan tertentu tidak bisa dicerna oleh lansia karena penurunan fungsi pencernaan. Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Pola makan yang tidak teratur pada lansia juga berpengaruh terhadap pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama dengan jumlah yang relatif sama setiap hari, mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologis pada pemasukan makanan, dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon (Siregar, 2004).
3. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Pemasukan cairan yang adekuat akan membantu mempercepat perjalanan chyme (makanan semi fluid hasil pencernaan makanan dari lambung) di sepanjang intestinal, sehingga menurunkan reabsorbsi cairan di kolon sehingga feses yang keluar akan menjadi lebih lunak. Ketika pemasukan cairan tidak adekuat ataupun pengeluaran yang berlebihan untuk beberapa alasan, (urin, muntah, atau keringat berlebih) akan membuat chyme yang lewat di sepanjang kolon menjadi lebih kering dan menghasilkan feses yang keras (Siregar, 2004).
4. Aktivitas Fisik
Berkurangnya aktivitas fisik yang dialami oleh lansia karena penurunan kemampuan dan kekuatan fisik, juga menjadi faktor terjadinya konstipasi. Adanya tonus abdomen, otot pelvis, serta diafragma yang baik sangat diperlukan bagi lancarnya proses defekasi. Aktivitas fisik akan merangsang gerak peristaltik kolon yang memfasilitasi pergerakan chyme di sepanjang
Universitas Indonesia kolon. Otot-otot yang lemah akibat kurangnya latihan (exercise) akan menurunkan tekanan intraabdominal selama proses defekasi atau pada pengontrolan defekasi (Siregar, 2004).
5. Obat-obatan
Proses penuaan akan berakibat pada penurunan sistem imun tubuh yang berdampak pada kerentanan terhadap serangan penyakit. Beberapa penyakit pada usus dapat menyebabkan konstipasi, beberapa diantaranya obstruksi usus, nyeri ketika defekasi karena hemoroid sehingga membuat orang menghindari defekasi, paralisis, yang menghambat kemampuan klien untuk melakukan defekasi, serta terjadinya peradangan pelvis yang menghasilkan paralisis atau atony pada usus.
Selain penyakit yang menyerang usus, penyakit lain yang kemungkinan diderita oleh lansia juga memiliki kemungkinan untuk menyebabkan konstipasi, yaitu melalui obat-obatan yang dikonsumsi. Beberapa jenis obat memiliki efek samping konstipasi, seperti morfin, codein. Sama halnya dengan obat-obatan adrenergik, dan antikolinergik, obat-obatan tersebut akan memperlambat gerakan dari kolon melalui kerja mereka pada sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan konstipasi. Jenis obat lain seperti zat besi juga memiliki efek menciutkan dan mengakibatkan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus yang dapat menyebabkan konstipasi. Selain itu, zat besi juga memiliki efek mengiritasi dan juga menyebabkan diare pada sebagian orang (Siregar, 2004).
2.4.3 Patofisiologi dan Klasifikasi Konstipasi pada Lansia
Toner & Claros (2012) mengklasifikasikan konstipasi ke dalam tiga jenis berdasarkan patofisiologinya, yaitu Normal- Transit Constipation (NTC), Slow- Transit Constipation (STC), dan Disorder of Defecation.
Normal- Transit Constipation (NTC) disebut juga konstipasi fungsional, didefinisikan sebagi perasaan kesulitan dalam melakukan defekasi. Biasanya
penanganan konstipasi ini cukup menggunakan terapi nutrisi, cairan, dan latihan tanpa menggunakan terapi invasif. Penderita konstipasi jenis ini, biasanya hanya merasa kesulitan untuk mengeluarkan feses dari rektum, meskipun jumlah dan frekuensi buang air besar masih dalam rentang normal. Konstipasi jenis ini biasanya disebabkan oleh intake nutrisi dan cairan yang tidak adekuat, kurangnya aktivitas fisik/ bedrest, kelemahan otot abdominal, kegagalan dalam merespon rangsangan defekasi, perubahan pola defekasi, hemoroid, dan kehamilan.
Kategori konstipasi yang kedua adalah Slow-Transit Constipation (STC). STC didefinisikan sebagai ketidakteraturan pergerakan bowel atau pola defekasi akibat perubahan stimulus aksi dari usus. STC akan mengakibatkan perpanjangan waktu transit kolon dan disfungsi mekanisme refleks kolon. Penyebab dari STC ini belum diketahui secara pasti. Penyakit Hirschprung, merupakan salah satu contoh penyakit dari STC yang parah. Penyakit ini memiliki ciri menyempitnya kolon akibat berkurang atau hilangnya sel ganglion saat perkembangan embrio (kongenital).
Kategori yang ketiga adalah Defecation Disorder, yang didefinisikan sebagai adanya disfungsi dari sfingter anal atau hipertonisitas dasar panggul yang dikenal dengan dyssynergia. Selain itu, ketidaknormalan struktural seperti prolaps rektal, intussusepsi, rectocele, dan penurunan perineal, juga dapat mengakibatkan defecation disorder.
2.4.4 Komplikasi Konstipasi Pada Lansia
Konstipasi yang terjadi secara terus menerus, sangat berisiko pada lansia. Siregar (2004) menyatakan bahwa regangan yang terjadi ketika buang air besar dapat menyebabkan stres pada abdomen. Selain itu, peregangan pada anus sering bersamaan dengan tertahannya napas. Kondisi ini dapat menimbulkan masalah yang serius dengan lansia yang memiliki penyakit jantung, trauma otak, atau penyakit pernapasan. Tertahannya napas akan meningkatkan tekanan intratorakal dan intrakranial. Pada beberapa tingkatan, kondisi ini dapat disiasati dengan cara mengeluarkan napas melalui mulut ketika regangan terjadi. Bagaimanapun
Universitas Indonesia menghindari regangan berlebihan akibat konstipasi merupakan pencegahan terbaik.
Menurut Toner & Claros (2012), konstipasi dapat menyebabkan beberapa komplikasi, diantaranya hemoroid, fisura anal, prolaps rectal, obstruksi usus, dan impaksi fekal. Impaksi fekal terjadi saat feses yang keras menumpuk di kolon dan tidak dapat dikeluarkan. Impaksi fekal yang parah bisa mengakibatkan obstruksi usus yang termasuk dalam peristiwa kegawatan.
2.5 Penatalaksanaan Konstipasi pada Lansia 2.5.1 Pengkajian Konstipasi pada Lansia
Pengkajian konstipasi pada lansia memerlukan keakuratan data untuk menegakkan diagnosa konstipasi dengan tepat. Hal ini dikarenakan banyak lansia yang sudah mengalami demensia atau delirium. Lansia yang mengalami demensia atau delirium sering kali mengatakan hal yang sebenarnya tidak terjadi atau melupakan peristiwa yang dialaminya, sehingga data yang diperoleh dari lansia masih dipertanyakan kebenarannya dan sulit untuk menjadi data dasar dalam menegakkan diagnosa.
Woolery, et al (2006) melakukan pengkajian konstipasi menggunakan formulir Constipation Assessment Scale (CAS) yang telah dimodifikasi. Pada CAS yang digunakan Woolery, terdapat 8 item pertanyaan dengan memilih skor 0-4 pada masing-masing item. Skor 0 bermakna “tidak bermasalah” dan naik secara bertahap hingga skor 4 yang bermakna “sangat parah”.
Item tersebut diantaranya; (1) Perasaan penuh, begah, atau kembung pada perut, (2) Perubahan jumlah atau frekuensi gas (kentut) yang keluar, (3) Penurunan frekuensi defekasi/ BAB, (4) Adanya feses cair yang merembes, (5) Adanya tekanan atau perasaan penuh pada rektum, (6) Perasaan sakit/ nyeri pada rektum saat defekasi, (7) Ukuran feses yang keluar lebih kecil, dan (8) Adanya perasaan ingin defekasi, namun tidak dapat mengeluarkannya.
Toner & Claros (2012) mengemukakan bahwa setelah dilakukan pendokumentasian mengenai riwayat defekasi lansia serta manifestasi klinis yang muncul, pemeriksa harus melakukan pemeriksaan fisik untuk melengkapi data pengkajian. Pemeriksaan fisik tersebut meliputi, inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi.
Pemeriksaan dimulai dengan melakukan inspeksi abdomen untuk melihat adanya distensi atau perubahan lain yang terjadi pada abdomen. Auskultasi dilakukan untuk memeriksa suara bising usus yang terjadi selama satu menit. Perkusi abdomen dilakukan untuk memeriksa suara yang muncul dari rongga abdomen. Konstipasi sering kali menimbulkan suara dullness saat diperkusi. Terakhir, dilakukan palpasi untuk memeriksa adanya massa pada abdomen.
Selain wawancara dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan lain mungkin dapat dilakukan sebagai langkah pemeriksaan lanjutan terhadap kemungkinan tingkat keparahan dari konstipasi. Pemeriksaan tersebut antara lain; pemeriksaan hitung darah lengkap dan glukosa serum, kalsium, kreatinin, dan kadar TSH. Pemeriksaan diagnostik lain yang mungkin diperlukan untuk masalah konstipasi adalah pemeriksaan fungsi anorektal, pemeriksaan transit kolorektal, dan defecography. Selain itu, barium enema, X-ray, sigmoidoskopi, dan kolonoskopi kemungkinan diperlukan untuk memeriksa adanya kanker kolorektal (Toner & Claros, 2012).
2.5.2 Intervensi Konstipasi pada Lansia
Cara hidup sehat merupakan pencegahan dan penatalaksanaan konstipasi yang paling utama karena dilakukan dengan tujuan untuk menjaga, mempertahankan, dan meningkatkan kesehatan seseorang tanpa mengakibatkan efek samping jika dilakukan dengan benar. Adapun cara-cara melakukan hidup sehat menurut Ismayadi (2004) adalah:
Universitas Indonesia 1. Makan makanan bergizi dan seimbang
Dengan bertambahnya usia seseorang, kecepatan metabolisme tubuh cenderung turun. Oleh karena itu, kebutuhan gizi bagi para lanjut usia perlu dipenuhi secara adekuat. Kebutuhan kalori pada lanjut usia berkurang, hal ini disebabkan karena berkurangnya kalori dasar dari kegiatan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk meakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya: untuk jantung, usus, pernapasan, ginjal, dan sebagainya. Jadi kebutuhan kalori bagi lansia harus disesuaikan dengan kebutuhannya. Depkes RI (1991) dalam Ismayadi (2004) menyusun petunjuk menu bagi lansia sebagai berikut:
a. Menu bagi lansia hendaknya mengandung zat gizi dari berbagai macam bahan makanan yang terdiri dari zat tenaga, pembangun, dan pengatur. b. Jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi lansia 50% adalah hidrat arang
yang bersumber dari hidrat arang kompleks (sayuran, kacang-kacangan, atau biji-bijian)
c. Sebaiknya jumlah lemak dalam makanan dibatasi, terutama lemak hewani d. Makanan sebaiknya mengandung serat dalam jumlah yang besar yang
bersumber pada buah, sayur, dan beraneka pati, yang dikonsumsi secara bertahap. Jumlah serat yang direkomendasikan oleh Toner & Claros (2012) untuk lansia adalah sebesar 25- 30 gr per hari
e. Menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, seperti susu non fat, yoghurt, ikan
f. Makanan yang mengandung zat besi dalam jumlah besar, seperti kacang-kacangan, hati, bayam, atau sayuran hijau
g. Membatasi penggunaan garam, hindari makanan yang mengandung alkohol
h. Makanan sebaiknya yang mudah dikunyah
i. Bahan makanan sebagai sumber zat gizi sebaiknya dari bahan-bahan yang segar dan mudah dicerna
j. Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan goreng-gorengan k. Makan disesuaikan dengan kebutuhan
2. Minum air putih
Manusia perlu minum untuk mengganti cairan tubuh yang hilang setelah melakukan aktivitas. Jumlah minimal air putih yang harus dikonsumsi untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh adalah 1,5-2 L per hari. Toner & Claros (2012) bahkan merekomendasikan konsumsi air putih sebanyak 1,8 – 2,4 L per hari bagi lansia.
Air sangat penting bagi tubuh, karena air membantu menjalankan fungsi tubuh. Air dapat mencegah timbulnya berbagai penyakit di saluran kemih, penyakit tulang dan sendi, serta mencegah sembelit. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk mengolah makanan di dalam tubuh, usus sangat membutuhkan air. Sisa makanan hasil pencernaan di lambung memerlukan air sebagai pelumas untuk mempercepat gerakan chyme di usus sehingga feses yang keluar tidak keras.
Air putih lebih baik jika dibandingkan minuman berwarna atau berasa yang lain, seperti kopi, teh, minuman bersoda, minuman beralkohol, es, ataupun sirup. Hal ini dikarenakan minuman-minuman tersebut memiliki kandungan yang tidak baik bagi kesehatan, terutama bagi para lansia yang mempunyai penyakit-penyakit tertentu seperti, diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, penyakit ginjal, dan lain sebagainya.
3. Olahraga teratur dan sesuai
Latihan (exercise) sangat diperlukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya konstipasi. Latihan yang memerlukan gerakan tubuh akan membantu meningkatkan gerak peristaltik usus serta meningkatkan kekuatan tonus dan otot abdomen sehingga akan membantu kelancaran proses defekasi. Meskipun begitu, lansia disarankan untuk tidak melakukan latihan secara berlebihan.
Usia bertambah, maka kekuatan dan kemampuan lansia untuk melakukan aktivitas akan menurun. Penurunan kemampuan akan semakin terlihat setelah
Universitas Indonesia umur 40 tahun, sehingga lansia akan mengalami penurunan kemampuan sekitar 30-50%. Oleh karena itu, apabila lansia ingin berolahraga, maka harus memilih sesuai dengan umur kelompoknya serta harus dengan berbagai patokan. Patokan tersebut misalnya, beban olahraga ringan atau sedang, waktu relatif lama, bersifat aerobik, dan atau kalistenik, tidak kompetitif atau bertanding.
Beberapa contoh olahraga yang sesuai dengan batasan diatas yaitu jalan kaki, dengan segala bentuk permainan yang ada unsure jalan kaki misalnya golf, lintas alam, mendaki bukit, atau senam dengan faktor kesulitan kecil dan olahraga yang bersifat rekreatif. Dengan latihan otot pada lansia akan menghambat laju perubahan degeneratif.
4. Menjaga kebersihan mulut
Kebersihan mulut pada lansia perlu dijaga untuk menghindari adanya periodontal disease yang dapat mengakibatkan masalah pada gigi dan mulut lansia. Masalah gigi dan mulut tersebut diantaranya, sakit gigi karena gigi berlubang, karies gigi, gusi berdarah, sariawan, halitosis, dan rasa tidak nyaman di mulut.
Masalah gigi dan mulut tersebut dapat berdampak pada penurunan terhadap selera makan, terlebih jika sakit gigi menyerang, lansia akan menjauhi semua makanan demi menghindari rasa nyeri. Berkurangnya jumlah makanan yang masuk ke dalam sistem pencernaan, terutama serat akan mengakibatkan konstipasi. Oleh karena itu, kebersihan mulut dan gigi lansia perlu dijaga, yaitu dengan cara menyikat gigi setiap kali selesai makan dan menggunakan obat kumur tanpa alkohol jika perlu, untuk menjaga kesegaran mulut.
5. Hindari Stres
Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem saraf simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus spastik. Pada konstipasi hipertonik atau
iritasi kolon, terjadi periode kram abdominal, meningkatnya jumlah mukus, dan periode tukar menukar antara diare dan konstipasi. Itu semua dapat diakibatkan oleh stres.
Cara untuk menghindari stres adalah dengan beristirahat dan tidur yang cukup. Sepertiga dari waktu dalam kehidupan manusia adalah untuk tidur. Tidur sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan proses penyembuhan penyakit. Pada saat tidur, terjadi proses penyimpanan energi, peningkatan imunitas tubuh, penyembuhan penyakit, serta memperbaiki bagian-bagian tubuh yang sudah aus atau rusak. Tidur akan membantu merilekskan bagian-bagian tubuh yang tegang dan menenangkan pikiran. Itulah mengapa umumnya orang akan merasa segar dan sehat sesudah istirahat atau bangun tidur.
6. Terapi pelengkap
Terapi nutrisi, cairan, serta aktivitas fisik akan membantu mencegah dan menangani konstipasi dari dalam tubuh. Terapi-terapi tersebut merupakan terapi utama untuk menangani masalah konstipasi. Selain terapi internal tersebut, penatalaksanaan konstipasi juga dapat dibantu dengan melakukan intervensi dari luar tubuh.
Beberapa terapi yang dapat digunakan untuk membantu meringankan gejala konstipasi, antara lain latihan kayuh sepeda dan massage abdomen. Kedua terapi tersebut telah terbukti dapat meringankan gejala konstipasi dengan hasil yang bervariasi pada setiap individu. Jika konstipasi telah bersifat kronis dan tidak mengalami perbaikan setelah dilakukan terapi-terapi diatas, maka penggunaan laksatif dapat diberikan untuk menghindari komplikasi dari konstipasi.
2.6 Massage Abdomen
Berbagai survei dan laporan kasus telah menunjukkan bukti bahwa abdominal massage mampu mengurangi risiko terjadinya konstipasi. Meskipun belum
Universitas Indonesia diketahui mekanisme secara pasti, namun abdominal massage ini telah menunjukkan keefektifannya.
Menurut McCrea (2008) dalam Oktariyani (2013), konstipasi yang terjadi pada lansia dapat disebabkan karena dua mekanisme. Mekanisme yang pertama yaitu disfungsi motilitas usus atau yang disebut dengan dismotility yaitu keadaan dimana gagalnya koordinasi aktivitas untuk pergerakan feses menuju kolon. Mekanisme ini biasanya dihubungkan dengan faktor diet, obat-obatan dan penyakit sistemik. Mekanisme yang kedua mencakup disfungsi otot pelvis yang hasilnya adalah tidak adekuatnya dalam melakukan defekasi. Massage abdomen merupakan salah satu terapi alternatif untuk mengatasi jenis konstipasi yang pertama.
2.6.1 Pengertian Massage Abdomen
Massage abdomen merupakan salah satu teknik massage yang didesain oleh berbagai kebudayaan di dunia ini, bertujuan untuk membantu mengatasi berbagai penyakit khusus serta menjaga sirkulasi yang baik pada organ viseral (Shandu, 2011). Pada abdomen, terdapat area refleks yang dapat dilakukan massage untuk meningkatkan refleks kolon. Area-area tersebut diantaranya; garis vertikal antara processus xiphoideus dan umbilikus, garis oblique dari puting sebelah kiri menuju bawah umbilikus sebelah kiri, garis lengkung transversal berawal dari limpa menuju kanan bawah umbilikus, dua garis oblique berawal dari iliak fossa turun hingga pubis, dan terakhir adalah permukaan melingkar di daerah processus xiphoideus (Marza- Danila, 2011).
Pijat perut memiliki efek terukur pada sembelit, baik bagian yang sedikit otot melalui stimulasi, atau bagian otot spasmodik melalui relaksasi. Namun, efek baik ini akan menghasilkan tinja yang didorong secara manual di sepanjang saluran pencernaan menuju rektum. Pijat perut mengurangi waktu transit kolon, meningkatkan frekuensi buang air besar pada pasien sembelit, dan mengurangi perasaan tidak nyaman dan nyeri yang menyertainya.
Pada kolon, mulai terjadi kontraksi otot dengan gerakan memeras, memadatkan dan mendorong chyme. Gerakan meremas ini bertujuan untuk mengeluarkan air dari feses dan mempertahankan bentuk feses. Gerakan mendorong feses terjadi saat terjadi gerakan peristaltik terjadi, yaitu sekitar 1-4 kali sehari umumnya setelah waktu makan. Pada kondisi ini terjadi kontraksi pada sekum dan kolon yang menghasilkan tekanan sebesar 100 mg Hg. Tekanan ini membantu mendorong feses dari sekum menuju kolon asenden, kemudian berjalan ke kolon tranversal dan berakhir pada kolon desenden dan rektum (Sinclair, 2010).
Gerakan peristaltik pada kolon sigmoid dan distensi pada bagian distal akan menstimulasi kontraksi dari otot besar pada rektum. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan rectal dan menstimulasi relaksasi pada sfinkter internal dan eksternal. Otot dinding abdomen yang secara normal berkontraksi untuk meningkatkan tekanan intra-abominal selama pergerakan usus, juga membantu selama proses defekasi dengan melakukan gerakan masuk dan keluar pada feses. Berdasarkan fakta inilah, penekanan menggunakan tangan dengan kekuatan sedang pada abdomen bagian bawah akan memicu terjadinya gelombang yang terukur untuk memicu kontraksi otot rektal pada pasien dalam 10 detik (Sakakibara, 2009 dalam Sinclair, 2010).
Marza- Danila (2011) melakukan penelitian penggunaan pijat refleks untuk mengatasi konstipasi. Hipotesis yang diajukan adalah penelitian ini diasumsikan dapat memperbaiki gangguan refleks defekasi pada responden melalui stimulus kebutuhan respon refleks melalui pijat refleks yang diberikan. Dalam waktu 2-3 minggu, penelitian ini memperoleh hasil bahwa semua subyek yang diberikan treatment pijat refleks sembuh dari konstipasi. Semua subyek memiliki waktu transit kolon yang normal.
2.6.2 Tipe-tipe Massage Abdomen
Massage abdomen telah banyak dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kebudayaan. Masing-masing kebudayaan tersebut melakukan massage abdomen dengan berbagai tipe atau teknik. Shandu (2011) membagi beberapa teknik
Universitas Indonesia massage abdomen berdasarkan variasi tekanan, pukulan, dan kekuatan pemijatan sebagai berikut:
1. Swedish Peristaltis Massage
Teknik massage abdomen ini dilakukan dengan menggunakan minyak dan melakukan pemijatan secara perlahan, pukulan ringan yang dapat meningkatkan arah peristaltik.
2. Thai Hara Massage
Massage Thai Hara merupakan tipe massage abdomen yang mendalam. Tipe
ini berasal dari Thailand yang bertujuan untuk menghilangkan stagnansi dan meningkatkan fungsi organ viseral.
3. Chinese Chi Nei Tsang Massage
Chi Nei Tsang merupakan terapi massage abdomen yang berasal dari China yang juga dikenal sebagai massage penyembuh dengan melegakan pencernaan, menghilangkan racun, serta menciptakan aliran bebas pada energi tubuh (chi).
4. Mayan
Merupakan suatu bentuk massage abdomen yang berasal dari Amerika Latin yang dicari untuk menyembuhkan segala macam gangguan yang berhubungan dengan abdomen.
2.6.3 Swedish Abdominal Massage
Pada akhir 1800-an dan awal tahun 1950-an, di Eropa dan Amerika serikat, teknik
massage abdomen gaya Swedia (Swedish Abdominal Massage) yang
menggunakan pijatan pettrisage, effleurage, getaran, dan tapotement diterapkan pada dinding perut anterior sebagai pengobatan untuk konstipasi. Praktisi percaya bahwa dengan memberi tekanan pada dinding perut bagian anterior, mereka dapat menekan organ-organ pencernaan diantara jari yang memijat dan dinding posterior dari rongga perut serta berfungsi merangsang gerakan peristaltik usus. Teknik massage ini menggunakan Tactile Stimulation Method dari Birkestad yang menggunakan prinsip mengurut, penekanan dengan lembut, dan tekanan statis (Sinclair, 2010).
Penelitian massage abdomen gaya Swedia yang telah dilakukan Sinclair (2010) kepada 60 lansia selama 7 menit dalam 8 minggu telah terbukti efektif dalam mengurangi gejala konstipasi pada responden. Meskipun begitu, teknik massage abdomen ini juga memiliki kelemahan, yaitu adanya kebutuhan untuk melakukan pijat abdomen secara berulang-ulang dan berkelanjutan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Selain itu, massage abdomen ini juga masih dipertanyakan kefektifannya dalam mengatasi konstipasi akibat cidera panggul.
Meskipun teknik massage ini telah terbukti efektif dalam mengatasi konstipasi serta memiliki banyak kelebihan seperti, mengurangi efek samping dari penggunaan obat dan biaya yang diperlukan terbilang rendah, namun beberapa tenaga kesehatan masih kontra terhadap penggunaan teknik ini. Hal ini disebabkan karena kemungkinan risiko atau komplikasi yang mungkin terjadi karena tindakan ini, yaitu risiko terjadinya intus susepsi, terutama pada pasien anak. Kontraindikasi dari tindakan ini meliputi obstruksi perut, massa perut, perdarahan usus, terapi radiasi perut, hernia terjepit dan kurang dari 6 minggu pasca-operasi abdomen (Sinclair, 2010).
Langkah-langkah pijat perut gaya Swedia menurut Sinclair (2010) adalah sebagai berikut:
1. Pertama, penulis melakukan gerakan effleurage yaitu teknik memijat dengan menggunakan telapak tangan dengan cara mengusap, melingkar dengan gerakan panjang, perlahan dan halus sebanyak kurang lebih 5-10 kali secara keseluruhan.
2. Effleurage dilakukan dari rektus abdominis, obliques eksternal, dan internal lalu otot transversus abdominis, sebanyak 5-10 kali pada masing-masing bagian.
3. Setelah itu remas abdomen sebanyak 3 kali, kemudian effleurage kembali searah jarum jam pada perkiraan jalan usus kurang lebih 5-10 kali.
4. Vibrasi daerah usus kecil dan usus besar sekitar 1 menit atau lebih dan ulangi effleurage searah jarum jam kembali.
Universitas Indonesia 5. Selanjutnya remas diatas perkiraan jalan usus, dengan tinju lembut
menggunakan tumit tangan atau jempol selama satu menit.
6. Kemudian lakukan gerakan pettrisage, yaitu gerakan meremas-remas dan memegang otot secara ringan diatas perkiraan jalan usus satu kali.
7. Selanjutnya, lakukan teknik getar (vibrasi) diatas perkiraan jalan usus dan akhiri dengan effleurage searah jarum jam pada perkiraan jalan usus.
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai proses asuhan keperawatan yang telah dilakukan kepada klien, mulai dari pengkajian hingga evaluasi. Selain itu, akan dijelaskan pula mengenai jenis intervensi yang diberikan untuk mengatasi masalah yang ditemukan saat pengkajian.
3.1 Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan pada nenek R (klien) adalah pengkajian melalui sistem wawancara mengenai riwayat kesehatan, kebiasaan sehari-hari, keluhan yang dialami saat ini, dan melalui pemeriksaan fisik. Pengkajian dimulai pada tanggal 9 Juni 2014. Pengkajian mengenai keluhan yang dialami klien dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan mengenai keluhan konstipasi yang dirasakan berdasarkan CAS (Constipation Assessment Scale) yang dimodifikasi oleh Woolery (2006).
3.1.1 Riwayat Kesehatan
Sebelum masuk ke PSTW Budi Mulia 1 Cipayung, klien bekerja sebagai pedagang pisang. Sekitar kurang lebih 1 tahun yang lalu, klien terkena serangan stroke yang mengakibatkan hemiparese di sisi tubuh bagian kanan. Setelah dikonfirmasi, ternyata klien memang memiliki riwayat penyakit hipertensi. Selain itu, klien juga mengalami kebutaan akibat katarak pada kedua matanya, sehingga sekarang beliau tidak dapat melihat sama sekali. Sebagian besar waktunya hanya dihabiskan di atas tempat tidur karena tidak dapat melihat dan mengalami kelemahan fisik.
Saat ditanyakan mengenai riwayat penyakit keluarga, klien mengaku tidak terlalu paham mengenai macam-macam penyakit. Menurut klien, keluarganya tidak pernah menderita penyakit yang serius, seperti stroke, kencing manis, katarak, dan lain sebagainya. Bahkan beliau tidak ingat jika ada anggota keluarganya yang mungkin menderita darah tinggi.
Universitas Indonesia
3.1.2 Kebiasaan Sehari-hari
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, klien menghabiskan sebagian besar waktunya hanya di atas tempat tidur karena kelemahan fisik yang dialaminya. Hal tersebut menjadikan klien kurang dalam melakukan aktivitas fisik, karena merasa tidak mampu. Bahkan klien harus dibantu petugas untuk memenuhi kebutuhan kebersihan diri dan eliminasinya.
Kebutuhan nutrisi tidak terlalu mengalami masalah karena nafsu makan klien cukup baik. Hanya saja, setelah dilakukan observasi saat pembagian makan, penulis merasa bahwa kebutuhan serat untuk klien kurang dari kebutuhan. Selain itu, klien juga mengaku jarang minum air putih karena tidak dapat mengambil air putih sendiri dengan kondisinya saat ini dan jarak tempat tidur dengan dispenser cukup jauh. Jika ingin minum, klien akan memanggil petugas yang kebetulan lewat di dekatnya. Jika tidak ada petugas di sekitarnya, maka klien tidak akan minum. Air putih yang dikonsumsi klien kurang lebih hanya sekitar 700 ml per hari.
3.1.3 Keluhan Saat Ini
Keluhan yang saat ini dirasakan oleh klien yang dirasa cukup mengganggu adalah konstipasi. Setelah mendapatkan data dari riwayat kesehatan dan kebiasaan sehari-hari, penulis melanjutkan pengkajian mendalam mengenai konstipasi yang dirasakan klien. Pengkajian konstipasi ini dilakukan dengan memberikan sejumlah pertanyaan kepada klien berdasarkan panduan dari CAS. Wawancara mengenai keluhan konstipasi pada klien juga dilakukan kepada petugas untuk menvalidasi. Berdasarkan pengakuan petugas, klien memang mengalami konstipasi dan sempat tidak buang air besar selama 2 minggu.
Pertanyaan yang ditanyakan kepada residen antara lain; 1) “Apakah anda merasa penuh, begah, atau kembung pada perut anda?” (2) “Apakah terjadi perubahan jumlah atau frekuensi gas (kentut) yang keluar?” (3) “Apakah anda mengalami penurunan frekuensi defekasi/ BAB? (4) “Apakah anda merasakan adanya feses cair yang merembes?” (5) “Apakah anda merasakan adanya tekanan atau perasaan
penuh pada rectum/ anus?” (6) “Apakah anda merasakan sakit/ nyeri pada rektum/ anus saat defekasi?” (7) “Apakah ukuran feses yang keluar lebih kecil?” dan (8) “Apakah anda merasa ingin defekasi, namun tidak dapat mengeluarkannya?”
Berdasarkan hasil pengkajian CAS pada klien, ditemukan nilai CAS sebesar 11 dari nilai tertinggi sebesar 16. Woolery et al (2006) tidak membuat klasifikasi berdasarkan nilai yang diperoleh melalui CAS, sehingga penulis tidak dapat mengklasifikasikan nilai yang diperoleh ke dalam bentuk kualitatif. Meskipun demikian, nilai 11 dari 16 sebagai nilai tertinggi dapat kita asumsikan bahwa residen cukup terganggu dengan keluhan konstipasi yang dideritanya.
3.1.4 Pemeriksaan Fisik
Selain metode wawancara, dilakukan pula pengkajian memalui pemeriksaan fisik pada klien. Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah pemeriksaan fisik abdomen standar, yaitu inspeksi, perkusi, auskultasi, dan palpasi. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik ditemukan hasil bahwa abdomen klien terlihat datar, tidak terdapat asites, frekuensi bising usus klien adalah 1 kali per menit, bunyi abdomen pekak (dullness), dan teraba keras pada abdomen kuadran 4 (daerah sekitar rektum).
3.2 Analisa Data
Berdasarkan hasil pengkajian yang diperoleh, penulis menemukan berhasil menemukan beberapa masalah pada nenek R. Setelah ditemukan masalah keperawatan berdasarkan data-data yang diperoleh, selanjutnya akan diberikan asuhan keperawatan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Kondisi yang paling aktual yang dialami oleh klien adalah keluhan mengenai sulit buang air besar. Data obyektif yang ditemukan antara lain, hasil observasi yang menunjukkan bahwa klien hanya minum air putih kurang lebih sebanyak 700 ml per hari, ditemukan perabaan keras pada abdomen kuadran 4 (daerah sekitar kolon desenden dan rektum), serta hasil auskultasi bising usus 1 kali per menit.