• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1. Pendahuluan. patriarkal. Olson (2006: 125) juga menerangkan bahwa sistem patriarkal adalah suatu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 1. Pendahuluan. patriarkal. Olson (2006: 125) juga menerangkan bahwa sistem patriarkal adalah suatu"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 1 Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Menurut Shuji dalam Olson (2006, 197) masyarakat Jepang adalah masyarakat patriarkal. Olson (2006: 125) juga menerangkan bahwa sistem patriarkal adalah suatu sistem dimana para pria lebih dominan dibandingkan para wanitanya baik di lingkungan pekerjaan maupun di kehidupan rumah tangga. Para pria di Jepang memainkan peranan penting di dalam masyarakat dan mereka cenderung lebih mementingkan pekerjaannya daripada perkawinannya. Shuji (2004) dalam Olson (2006: 197) juga menerangkan, walaupun 40% dari para pekerja di Jepang adalah wanita, namun mereka masih didiskriminasi dari segi upah, penugasan, dan promosi di lingkungan kerja mereka. Meskipun begitu, di lingkungan keluarga para istri lebih mendominasi, karena setelah suami pulang ke rumah, upah bekerja sang suami diserahkan kepada sang istri. Istri mengatur segala pengeluaran yang ada termasuk biaya sekolah anak, renovasi rumah dan keperluan keluarga lainnya, dan setiap bulan suami diberikan uang saku dari istri. Di kebanyakan keluarga di Jepang, keutuhan keluarga dan komunikasi keluarga juga dikendalikan oleh sang ibu. Banyak ibu di Jepang mempunyai hubungan yang kuat dengan anak – anak mereka dan mereka menjadi perantara komunikasi antara ayah dan anak, akibatnya ayah merasa dijauhkan dari anaknya. Sebagai hasilnya, ibu mendominasi sistem keluarga, dan ayah memperkuat kedudukan di lingkungan pekerjaannya.

(2)

Menurut The Kodansha Bilingual Encyclopedia of Japan (1998: 384) mengenai tipe keluarga di Jepang adalah:

Kutipan :

The typical Japanese family today is a nuclear family, with a mother, father, and two children, in a two – or three – bedroom apartment or house in an urban area. Most typically, the father commutes by train to his job in the city, while the wife cares for the children and the house, creating a nurturing environment for the whole family.

Terjemahan :

Tipe keluarga Jepang saat ini adalah sebuah keluarga inti yang terdiri dari, seorang ibu, ayah, dan dua orang anak, dalam dua atau tiga kamar tidur apartment atau rumah di daerah sekitar perkotaan. Biasanya, seorang ayah sehari – hari berpergian menggunakan kereta menuju tempat kerjanya di kota, sementara istri mengurusi anak dan rumah, menciptakan sebuah lingkungan yang membantu perkembangan untuk seluruh keluarga.

Tahun 2007 akan menjadi landmark di Jepang karena masalah dankai sedai ( 団塊

世代 ) atau dalam bahasa inggris yang berarti baby boomers, menurut Britannica

Concise Encyclopedia (2007), fenomena baby boomers terjadi setelah Perang Dunia II karena pada masa perang banyak pasangan yang menunda pernikahan dan banyak pasangan menunda untuk mempunyai anak, karena hal seperti itulah terjadinya baby boomers atau ledakan bayi. Dan saat ini di Jepang dankai sedai yang lahir pada tahun 1947-1949 yang akan memasuki usia pensiun yaitu usia 60 tahun, jumlahnya mencapai 6,79 juta orang (Nuryana, 2006).

Akhir-akhir ini, di Jepang sering terdengar kata jukunen rikon ( 熟年離婚 ),

jukunen rikon adalah perceraian yang terjadi pada pasangan usia lanjut, usia di atas 55 tahun. Perceraian pasangan usia lanjut di Jepang saat ini sedang meningkat dan menjadi

(3)

sebuah fenomena. Fenomena ini terjadi akibat banyaknya baby boomers yang memasuki usia pensiun, ditambah lagi dengan undang-undang yang baru diimplementasikan pada April 2007 yaitu kouseinenkin no bunkatsuseido ( 厚生年金の

分割制度 ) yaitu undang-undang pembagian uang pensiun yang di dalamnya berisi kalimat bahwa mantan istri dapat memperoleh uang pensiun suami sampai dengan setengah dari uang pensiun tersebut. Undang – undang tersebut dikeluarkan agar kalaupun sang istri telah bercerai, dia dapat menghidupi dirinya dan tidak akan kekurangan. Dalam perceraian usia lanjut seperti ini, biasanya istri yang mengajukan perceraian kepada suami (Taniguchi, 2006).

Pada bulan April tahun 2007 sudah tercatat 42.000 lebih pengajuan perceraian yang akan diproses setelah undang – undang kouseinenkin no bunkatsuseido diberlakukan, 90% diajukan oleh sang istri. Pengajuan perceraian ini mendorong munculnya divorce boom atau peningkatan drastis jumlah perceraian yang umumnya diajukan sang istri, dan saat inilah yang mungkin ditunggu-tunggu kalangan istri dalam mencari kehidupan bebas ( McCurry, 2007 ).

Kebanyakan pria dan wanita generasi dankai sedai di Jepang berasumsi bahwa para pria akan bekerja di luar rumah dan banyak dari aktivitas dan kehidupan sosialnya akan berkisar di sekitar lingkungan kerja mereka. Semakin karir mereka bertambah maju, para pria di Jepang akan menghabiskan makin sedikit waktu untuk kehidupan rumah tangga mereka, dan banyak waktu mereka dihabiskan didalam pergaulan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Para wanita, bagaimanapun juga telah diharapkan dan “dilatih” bahwa mereka akan bekerja untuk suami dan anak mereka di dalam rumah.

(4)

Beberapa wanita, sebelum mempunyai anak, mungkin sudah mempunyai kehidupan sosial yang kuat di luar rumah, tapi keadaan seperti itu berkurang setelah mereka menjadi seorang ibu. Setelah anak-anak mereka bertambah tua dan meninggalkan rumah, banyak wanita tua di Jepang sekali lagi mencari kehidupan sosial mereka bersama dengan teman-teman wanita mereka (McCurry, 2007).

Dalam masyarakat Jepang modern, ketika seorang pria Jepang mengalami pensiun, mereka menjadi kehilangan kontak dengan orang-orang dan aktivitas yang biasa mereka lakukan hampir seumur hidup mereka. Mereka yang biasanya mengontrol bawahan pada lingkungan kerja mereka, karena mengalami pensiun, tiba-tiba mereka merasa semuanya itu hilang dan rumah mereka menjadi tempat pemberhentian terakhir bagi para pensiunan di Jepang. Di Jepang, para pria merasa mereka lebih dominan, sehingga mereka berharap untuk datang ke rumah demi mempertahankan kekuasaannya atau kedominan mereka yang dimana mereka tidak pernah turut campur sebelumnya. Ketika para suami pensiun, energi dan kesombongan yang membantu mereka di tempat kerja, sepertinya tidak dapat membantu mereka dalam membangun hubungan dengan istri mereka. Banyak pria pensiunan di Jepang menjadi terlalu menuntut dan ikut campur dalam kehidupan rumah tangga mereka sehari-hari, yang dimana istri mereka bekerja dengan baik selama berpuluh-puluh tahun. Bahkan mereka menuntut kepatuhan, menjadi kasar baik secara verbal maupun fisik kepada istri mereka. Selain itu para pensiunan pria mungkin akan mengalihkan kejenuhan mereka dengan cara banyak minum-minum sake, dan makin banyak menghabiskan waktu mereka menonton televisi ( Lawrence, 2007).

(5)

Sebelum Perang Dunia II masyarakat Jepang sebagai masyarakat patriarkal menganggap wajar bahwa suamilah yang paling berkuasa dalam mengambil keputusan dalam banyak hal yang bersangkutan dengan kehidupan keluarga. Suami mempunyai hak yang dilebihkan karena kedudukan dan peran tradisional mengasumsikan bahwa laki-laki dianggap superior (Nasution, 2003: 5).

Setelah Perang Dunia II, Jepang banyak mengalami perubahan. Sistem patriarkal mulai menghilang terutama dalam undang – undang Jepang yang memberlakukan kesetaraan antara laki – laki dan perempuan. Kedudukan dan peran suami sebagai koshu (戸主) bergeser menjadi setainushi ( 世帯主 ). Koshu adalah kedudukan anak

laki-laki pertama sebagai kepala keluarga berdasarkan nama keluarga mereka sedangkan setainushi merupakan kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga. Dengan bergesernya kedudukan suami yang seperti itu, dominasi suami sebagai kepala patriarkal dan anak laki-laki pertama melemah. Hubungan suami istri menjadi kemitraan yang sejajar, dan wanita merasa lebih bebas dan mandiri dalam mengambil keputusan (Nasution, 2003: 6).

Bila terjadi ketidakcocokan antara suami dan istri, istri boleh mengajukan keberatannya terhadap keputusan keputusan yang diambil oleh suami atau kepala keluarga. Bahkan istri dapat mengambil inisatif, termasuk menuntut perceraian. Pengambilan keputusan pada keluarga oleh wanita termasuk keputusan untuk bercerai baru dikenal setelah amandemen Undang – Undang Jepang 1947. Ketentuan – ketentuan konstitusi Undang – Undang tahun 1947, secara jelas menyatakan persamaan seks, dan secara tegas memberikan persamaan yang lebih banyak dan wibawa yang

(6)

lebih besar bagi mereka. Berikut kutipan sepenuhnya apa yang dinyatakan oleh konstitusi tersebut mengenai hal tersebut;

Kutipan :

Tidak ada diskriminasi dalam hubungan politik, ekonomi atau sosial, berdasarkan … seks … Perkawinan hanya akan berdasarkan persetujuan bersama kedua seks dan akan dipertahankan dengan saling kerja sama dengan hak – hak sama suami dan istri sebagai dasar. Mengenai pilihan jodoh, hak – hak milik, warisan, pilihan tempat kediaman, perceraian dan hal – hal lain mengenai perkawinan dan keluarga, akan berlaku undang – undang yang bertitik tolak dari martabat individu dan persamaan hakiki kedua (Resourve, 1992: 279).

Undang – undang kini memberikan kepada wanita persamaan dalam hukum secara sepenuhnya. Umpamanya, bila undang – undang sebelum Perang Dunia II hanya memudahkan perceraian bagi kaum pria, dan hampir – hampir tidak mungkin sama sekali bagi wanita, kini kaum wanita merupakan bagian terbesar dari mereka yang mengusulkan perceraian (Resourve, 1992: 279).

Kata perceraian rikon ( 離婚 ), jika dilihat dari kanjinya kata ri ( 離 ) yang

menunjuk kata hanasu yang berarti pelepasan, pemisahan. Sementara kata kon ( 婚 )

memiliki makna perkawinan, pernikahan. Jadi arti kata ini secara harafiah adalah pemutusan diatas tali perkawinan. Dan menurut Spanier dan Thompson (1992: 14), perceraian merupakan suatu reaksi terhadap hubungan pernikahan yang tidak berjalan dengan baik dan bukan merupakan suatu ketidaksetujuan terhadap lembaga perkawinan.

Dewasa ini angka perceraian yang diajukan oleh pihak istri meningkat tajam. Menurut Ministry of Health and Welfare ( 2006 ) ada sebanyak 75,1 % dari kasus yang

(7)

terjadi, istri menggugat suami untuk bercerai, sedangkan dari pihak suami hanya 24,9%. Meningkat sekitar 4 % dari tahun 2001 yang 71,6 % gugatan dari pihak istri. Mengenai hal – hal yang menyebabkan terjadinya perceraian di Jepang, berikut laporan statistik perceraian yang dikeluarkan oleh Kōseishō ( 厚生省 ) atau Menteri Kesehatan dan

Kesejahteraan yang dikutip oleh Atsumi dalam Nasution (2003: 59), alasan-alasan terjadinya perceraian dari pihak suami adalah; ketidakrukunan keluarga (31,2%), perselingkuhan (27,5%), dan masalah keuangan (14,2%). Dan sebaliknya bagi pihak istri alasan – alasan mereka mencari perceraian adalah; masalah keuangan (26,4%), ketidakrukunan keluarga (25,1%), dan perselingkuhan (19,5%). Setelah kita lihat persentase alasan pengajuan perceraian sebelumnya, maka dapat kita simpulkan bahwa perselingkuhan termasuk penyebab yang umum dari kasus perceraian yang terjadi di Jepang. Perselingkuhan adalah perilaku ketidaksetiaan seseorang yang telah menikah berupa hubungan seksual antara dirinya dengan orang lain yang bukan pasangan sahnya. Hubungan tersebut dilakukan secara sukarela dan tanpa sepengetahuan suami atau istri yang bersangkutan (Goode, 1991: 195).

Banyaknya perceraian yang diajukan sang istri di Jepang tak terlepas dari sejarah perjuangan wanita Jepang dalam memperjuangkan hak – haknya. Karena sebelum Perang Dunia II, saat itu kehidupan wanita sebagai seorang istri sangat dibatasi, dalam arti mereka tidak boleh bekerja di luar rumah dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Kehidupannya hanya berkisar pada melayani suami dan mengurus anak. Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II telah memberikan kehidupan baru pada pergerakan emansipasi wanita di Jepang, membuat wanita di Jepang mempunyai hak pilih pada pemilu 1946. Bagaimanapun, pergerakan untuk memberi penerangan bagi

(8)

wanita Jepang telah dimulai sejak awal tahun 1910-an, dan pada tahun 1920 terbentuk New Women’s Association (Asosiasi Wanita Baru) yang telah melahirkan zaman baru pada pergerakan wanita di Jepang ( Claremont, 2005 ).

Menurut French (1995: 870), sejauh kehidupan sehari – hari wanita diperhatikan, kekuasaan bukanlah hal yang utama. Itu bukan sebuah pertanyaan pokok bagi wanita apakah dia punya atau tidak sebuah struktur atau kekuasaan pribadi. Kekuasaan adalah cerminan dari bentuk patriarkal. Secara umum, apa yang wanita perjuangkan bukanlah kekuasaan melainkan kebahagiaan, sebuah kehidupan yang diisi dengan kombinasi kepuasan pribadi dan kehangatan hati manusia, serta kemungkinan untuk memberi dan menerima.

Wanita Jepang zaman sekarang adalah individu yang tidak mudah menyerah, bukan seorang individu yang pasif. Mereka dengan penuh semangat menghabiskan hidup mereka untuk kegiatan yang sangat beragam.

Hiromi Ikeuchi, seorang penasihat pernikahan seperti yang dimuat di dalam sebuah situs di internet yang bernama Smart Marriages mengatakan bahwa dalam sebuah kasus dimana sang suami bekerja mencari nafkah dan sang istri tinggal di rumah, kemungkinan terjadinya perceraian usia lanjut sangat tinggi. Pasangan usia lanjut yang telah mendekati masa pensiun, sama sekali tidak memiliki percakapan dan hubungan yang nyata. Menghabiskan waktu bersama merupakan tekanan dan beban yang sangat luar biasa bagi sang istri ( Sakurai, 2000 ).

Beberapa wanita Jepang melihat suami sebagai sebuah penghambat untuk menikmati hari tua. Sering kali setelah pensiun, sang suami mulai menguasai tiap aspek dalam kehidupan. Banyak orang Jepang yang pensiun cenderung untuk bergantung pada

(9)

istri, lalu menghabiskan waktu-waktu mereka di rumah sehingga membuat sang istri merasa tidak bebas (Reynolds, 2006).

Istri ingin bebas dari pekerjaan rumah tangga dan juga kewajibannya terhadap sang suami, selain itu istri juga menginginkan agar dirinya juga dapat kebebasan secara keuangan agar dapat mempergunakan uang tersebut untuk dirinya sendiri.

Sejak zaman dahulu, para suami di Jepang tidak diharapkan untuk membantu istri mereka memasak, mencuci atau membersihkan rumah. Sebuah gaya lama, tiga kata dari suami untuk istri setelah pulang ke rumah dari bekerja adalah meshi ( 飯 ) makanan,

furo ( 風呂 ) atau mandi dan ocha ( お茶 ) teh. Beberapa wanita menyadari bahwa 20 atau 30 tahun sudah cukup untuk suami istri hidup bersama, dan pada saat yang tak tertahankan lagi, mereka akan mengambil sebuah alternatif yaitu bercerai. Perceraian usia lanjut yang meningkat ini disebabkan karena keinginan wanita akan sebuah kebebasan (Osedo, 2006).

Hogg dari BBC Tokyo ( 2006 ) mengatakan bahwa meningkatnya kemarahan istri dikarenakan sedikitnya kontribusi suami di dalam kehidupan rumah tangga mereka. Permintaan istri untuk bercerai juga dikarenakan oleh suami yang setelah pensiun tetap tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mengubah kebiasaan mereka tersebut. Oleh karena hal tersebut para istri merasa stress atas suaminya. Stress adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis ( Chaplin, 2001: 98 ).

Hal ini terlihat dari beberapa kasus yang diambil oleh penulis. Dalam kasus 2, ada pasangan suami dan istri yang sudah menikah selama lebih dari 35 tahun. Selama menikah, suaminya selalu pergi bekerja dan sering pulang malam, pergi dengan

(10)

atasannya ke klub – klub malam dan sering berakhir dengan perselingkuhan sesaat dengan pekerja seks di klub malam tersebut. Sangat sedikit sekali waktunya yang dia sisihkan untuk istri dan anak mereka apalagi untuk membantu dalam urusan rumah tangga, seperti memperbaiki rumah dan lain – lain karena dia sibuk bekerja. Dan setelah pensiun, dia menjadi terlalu ikut campur dan mengatur istrinya, padahal dia sebelumnya tidak mau tahu tentang kehidupan rumah tangga sehari – hari mereka. Ditambah lagi dengan sikapnya di rumah, pekerjaannya hanyalah menonton televisi, minum sake dan terkadang pergi dengan teman – temannya. Hal seperti itulah yang membuat sang istri capek melihat tingkah suaminya dan mendorongnya untuk mengajukan perceraian. Dari kasus yang didapat, terdapat dua penyebab utama terjadinya perceraian usia lanjut terjadi. Diantaranya adalah karena unsur perselingkuhan dan stress atau depresi. Dari kasus yang ada semuanya berakhir dengan perceraian dimana hampir semua perceraian diajukan pihak istri.

1.2. Rumusan Permasalahan

Penulis tertarik untuk menganalisis latar belakang atau penyebab dari beberapa kasus perceraian usia lanjut di Jepang, yang dilatarbelakangi oleh dua buah faktor yakni perselingkuhan dan stress, yang terjadi pada kurun waktu 2000-2007 melalui beberapa studi kasus.

1.3. Ruang Lingkup Permasalahan

Ruang lingkup dari permasalahan ini terdapat pada analisis kasus-kasus perceraian usia lanjut di Jepang yang terjadi pada kurun waktu tahun 2000-2007, yang

(11)

dilatarbelakangi oleh faktor stress dan perselingkuhan dilihat dari sudut pandang teori feminisme.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi yang berjudul Tingginya Perceraian Usia Lanjut di Jepang Dewasa Ini yang Dipengaruhi oleh Faktor Stress dan Perselingkuhan Ditinjau dari Teori Feminisme adalah untuk menjelaskan hal-hal yang mempengaruhi perceraian usia lanjut di Jepang pada kurun waktu 2000-2007.

Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah mendapat pemahaman dari hal-hal yang mempengaruhi perceraian usia lanjut di Jepang berdasarkan analisis kasus yang ada.

1.5. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis akan menggunakan beberapa metode, yakni dengan metode kualitatif, kepustakaan, deskriptif analitis dan analisis kasus. Menurut Oxford University Dictionary of Sociology (1998: 312), metodologi adalah suatu metode atau pendekatan umum secara empiris dari suatu ilmu, atau sebuah penelitian bebas khusus.

Penelitian ini akan dilakukan dengan metode kualitatif yaitu dengan meneliti kasus - kasus perceraian dari tahun 2000 – 2007 yang didapat penulis. Dan melalui studi kepustakaan, penulis mempelajari teori – teori yang berkaitan dengan skripsi ini menggunakan buku-buku teori yang terdapat di perpustakaan Universitas Bina

(12)

Nusantara, Universitas Indonesia, Japan Foundation dan juga mengumpulkan data-data melalui internet.

Selain itu penelitian ini juga akan menganalisis pada kasus – kasus yang didapat secara deskriptif analitis. Dalam Oxford University Dictionary of Sociology ( 1998: 415 ), penelitian kasus atau studi kasus adalah sebuah bentuk penelitian tentang status subjek penelitian yang mengambil contoh dari suatu kasus atau beberapa contoh kejadian sosial seperti komunitas, grup sosial, keluarga, kehidupan sejarah, peran masyarakat, kejadian, atau hubungan masyarakat, kemudian menelitinya dengan menerapkan beberapa metode penelitian.

Pada umumnya, studi kasus adalah bagaimana strategi yang diinginkan menggunakan pertanyaan bagaimana dan mengapa, ketika yang meneliti memiliki sedikit kemampuan untuk mengendalikan kejadian, dan ketika fokus dari fenomena kontemporer dalam konteks yang sebenarnya.

1.6. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab.

Bab 1 Pendahuluan, dalam bab ini terdapat latar belakang, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2 Landasan Teori, dalam bab ini penulis akan membahas tentang teori – teori yang mendukung, yang terdiri dari definisi dan latar belakang Jukunen Rikon, konsep keluarga di Jepang serta teori – teori yang melatarbelakangi perceraian usia lanjut tersebut.

(13)

Bab 3 Analisis Data, pada bab ini penulis akan menganalisis kasus-kasus perceraian usia lanjut di Jepang yang terjadi dalam kurun waktu tahun 2000-2007. Dengan menggunakan teori – teori yang terdapat pada bab 2 Landasan Teori.

Bab 4 Simpulan dan Saran, pada bab ini berisi tentang simpulan yang didapatkan penulis dari hasil analisis pada bab 3 Analisis Data.

Bab 5 Ringkasan, dalam bab ini akan diberikan ringkasan dari seluruh isi skripsi, dimulai dari latar belakang Latar belakang penelitian, rumusan permasalahan serta tujuan penelitian dan hasil penelitian sebagai jawaban dari permasalahan yang ada dalam skripsi ini.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka mendukung pencapaian prioritas nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang dijabarkan dalam RPJMN periode

Konsumsi protein dan energi ayam Merawang dengan perbaikan kualitas pakan pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan perbaikan kualitas pakan sore hari, tetapi pertambahan berat

Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata (W.S. Rendra), begitu juga dalam pembuatan skripsi ini yang dilakukan penulis, sehingga menjadi skripsi yang menjadi alat

Hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai metode Viola Jones dan Eigenface untuk dapat mendeteksi dan mengenali seberapa banyak

Dalam pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem, selektifitas alat terhadap multispecies ikan yang tertangkap lebih menggambarkan komunitas yang terkena dampak

Sampaikan kepada peserta bahwa mereka akan berpartisipasi dalam kegiatan satu komputer yang terakhir dalam portofolio ini – kegiatan yang sangat berpusat pada siswa,

Proses resorbsi akar gigi sulung diregulasi menyerupai proses remodeling tulang yang meliputi sistem reseptor ligand yang dikenal sebagai RANK/RANKL (aktivator

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus karena skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan, Kompensasi, Corporate Governance terhadap Manajemen Laba (Studi