• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Status Gizi

2.1.1. Pengertian Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan atau kondisi tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan dari penggunaan zat gizi. Status gizi dibedakan menjadi status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih (Almatsier, 2006). Pengertian lain status gizi menurut Supariasa (2004) yaitu ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu.

Menurut Waryana (2010) status gizi adalah keadaan keseimbangan dalam variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Gibson (1990) dalam Waryana (2010) menyatakan status gizi adalah keadaan tubuh yang merupanan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan utilisasinya.

Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi (nutritional

imbalance), yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya, di

samping kesalahan dalam memilih bahan makanan untuk disantap (Arisman, 2010).

2.1.2. Penilaian Status Gizi

Penentuan status gizi seseorang dapat dilakukan dengan interpretasi informasi dari hasil beberapa metode penilaian status gizi yaitu penilaian konsumsi makanan, antropometri, laboratorium/ biokimia dan ditentukan secara klinis (Gibson, 1990). Pengukuran antropometri adalah relatif paling sederhana dan banyak dilakukan dalam menentukan status gizi (Soekirman, 2000).

Antropometri dapat dilakukan dengan beberapa macam pengukuran yaitu pengukuran berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan7

(2)

lingkar lengan atas (LILA). Pengukuran BB, TB dan LILA sesuai dengan umur adalah yang paling sering digunakan untuk survey sedangkan untuk perorangan dan keluarga pengukuran BB dan TB atau panjang badan (PB) adalah yang paling dikenal (Supariasa, 2004).

Melalui pengukuran antropometri, status gizi anak dapat ditentukan apakah anak tersebut tergolong status gizi baik, kurang atau buruk. Hal tersebut diperoleh dengan membandingkan berat badan dan tinggi badan hasil pengukuran dengan suatu standar internasional yang dikeluarkan oleh WHO. Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga merupakan kombinasi antara ketiganya. Masing-masing indikator mempunyai makna sendiri-sendiri (Supariasa, 2004).

Pengukuran status gizi dengan indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah, namun tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indikator ini dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum, sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka waktu pendek; dan dapat mendeteksi kegemukan (Soekirman, 2000).

Pengukuran status gizi dengan indikator TB/U dapat menggambarkan status gizi masa lampau atau masalah gizi kronis. Seseorang yang pendek kemungkinan keadaan gizi masa lalu tidak baik. Berbeda dengan berat badan yang dapat diperbaiki dalam waktu singkat, baik pada anak maupun dewasa, maka tinggi badan pada usia dewasa tidak dapat lagi dinormalkan. Kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan optimal pada anak balita masih bisa sedangkan anak usia sekolah sampai remaja kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan masih bisa tetapi kecil kemungkinan untuk mengejar pertumbuhan optimal. Secara normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pertambahan TB relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan TB baru terlihat dalam waktu yang cukup lama. Indikator ini

(3)

juga dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk (Soekirman, 2000).

Pengukuran status gizi dengan indikator BB/TB merupakan pengukuran antropometri yang terbaik karena dapat menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini atau masalah gizi akut. Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Hal ini berarti berat badan yang normal akan proporsional dengan tinggi badannya. Ini merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini terutama bila data umur yang akurat sering sulit diperoleh. WHO & Unicef merekomendasikan menggunakan indikator BB/TB dengan cut of point < -3 SD dalam kegiatan identifikasi dan manajemen penanganan bayi dan anak balita gizi buruk akut (Depkes RI, 2009).

Pengukuran status gizi dengan indikator IMT/U merupakan indikator yang paling baik untuk mengukur keadaan status gizi yang menggambarkan keadaan status gizi masa lalu dan masa kini karena berat badan memiliki hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks ini tidak menimbulkan kesan yang kurang baik pada anak yang overweight dan obesitas serta kesan berlebihan pada anak gizi kurang (WHO, 2007).

Panduan tata laksana penderita KEP (Depkes, 2000) menyebutkan bahwa gizi buruk diartikan sebagai keadaan kekurangan gizi yang sangat parah yang ditandai dengan berat badan menurut umur kurang dari 60 % median pada baku WHO-NCHS atau terdapat tanda-tanda klinis seperti marasmus, kwashiorkor dan marasmik-kwashiorkor. Agar penentuan klasifikasi dan penyebutan status gizi menjadi seragam dan tidak berbeda maka Menteri Kesehatan [Menkes] RI mengeluarkan Keputusan No : 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (Depkes, 2010).

(4)

Penilaian status gizi dengan standar dari WHO National Center

of Health Statistic (NCHS). Klasifikasi status gizi WHO-NCHS dengan

score simpang baku (Z score) dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2.1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak

Berdasarkan Indeks *

INDEKS KATEGORI

STATUS GIZI

AMBANG BATAS (Z-SCORE) Berat badan menurut Umur

(BB/U)

Anak Umur 0-60 bulan

Panjang Badan menurut Umur (PB/U)atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Anak Umur 0-60 bulan Berat badan menurut Panjang Badan (BB/PB) atau

Berat badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Anak Umur 0-60 bulan Indeks Masa Tubuh menurut Umur ( IMT/U ) Anak Umur 0-60 bulan Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih Sangat pendek Pendek Normal Tinggi Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk Sangat kurus Kurus Normal Gemuk < -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD < -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD < -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD < -3 SD -3 SD sampai < -2 SD -2 SD sampai 2 SD > 2 SD

*) Sumber : SK Menkes 1995/Menkes/SK/XII/2010. 2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi yaitu konsumsi makanan dan tingkat kesehatan. Konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan, makanan, dan tersedianya bahan makanan (Supariasa, 2004).

Gizi kurang secara langsung disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan dan adanya penyakit infeksi. Makin bertambah usia anak maka makin bertambah pula kebutuhannya. Konsumsi makanan dalam keluarga dipengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan secara perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Almatsier, 2006).

(5)

Faktor yang mempengaruhi gizi kurang berdasarkan pendapat Soekirman dalam Materi Aksi Pangan dan Gizi Nasional (Departemen Kesehatan RI, 2000) dalam Waryana (2010), penyebab kurang gizi adalah :

1. Penyebab langsung

Penyebab langsung timbulnya masalah gizi yaitu makanan yang dikonsumsi anak dan penyakit infeksi anak. Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga mudah diserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi kurang. Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.

2. Penyebab tidak langsung

Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga faktor yang saling berhubungan. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil resiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi.

Faktor langsung maupuan tidak langsung sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan maka akan semakin tinggi ketahanan pangan keluarga. Makin baik pola pengasuhan anak makin baik memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. Ketahanan pangan juga terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan dan daya

(6)

beli keluarga serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan (Waryana, 2010).

Hubungan antara kurang gizi dengan penyakit infeksi tergantung dari besarnya dampak yang ditimbulkan oleh sejumlah infeksi terhadap status gizi itu sendiri. Beberapa contoh bagaimana infeksi bisa berkontribusi terhadap kurang gizi seperti infeksi pencernaan dapat menyebabkan diare, HIV/AIDS,tuberculosis, dan beberapa penyakit infeksi kronis lainnya bisa menyebabkan anemia dan parasit pada usus dapat menyebabkan anemia. Penyakit Infeksi disebabkan oleh kurangnya sanitasi dan bersih, pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai, dan pola asuh anak yang tidak memadai (Soekirman, 2000).

Sedangkan penyebab mendasar atau akar masalah gizi di atas adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita (Soekirman, 2000).

2.2. Kurang Energi Protein ( KEP )

2.2.1. Pengertian Kurang Energi Protein

Kurang Energi Protein ( KEP ) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari atau gangguan kesehatan dan penyakit tertentu. Anak disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 80% indek berat badan menurut umur (BB/U) baku WHO NCHS (Supariasa, 2004).

2.2.2. Klasifikasi Kurang Energi Protein ( KEP)

Dalam menentukan balita Kurang Energi Protein (KEP), di puskesmas dilakukan dengan menimbang berat badan anak dibandingkan umur dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat dan tabel BB/U Baku MedianWHO–NCHS.

1. KEP ringan jika hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di warna kuning

2. KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terdapat di bawah Garis Merah (BGM)

(7)

3. KEP berat/ gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U <60% baku medianWHO-NCHS. KEP sedang dan KEP berat /gizi buruk pada KMS tidak ada garis pemisah yang membedakan, sehingga untuk menentukan KEP berat/ gizi buruk menggunakan tabel BB/U baku median WHO-NCHS.

2.2.3. Gejala Klinis Balita KEP berat/ gizi buruk

Anak yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan KEP sedang pada pemeriksaan hanya nampak kurus. Namun gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan menjadi 3 yaitu marasmus, kwashiorkor, dan marasmic-kwashiorkor (Depkes, 2008). 1. Marasmus:

a. Anak sangat kurus b. Wajah seperti orang tua c. Cengeng dan rewel

d. Rambut tipis, jarang dan kusam e. Kulit keriput

f. Tulang iga tampak jelas g. Pantat kendur dan keriput h. Perut cekung

2. Kwashiorkor :

a. Wajah bulat dan sembab b. Cengeng dan rewel

c. Rambut tipis, jarang, kusam, warna rambut jagung dan bila dicabut tidak sakit.

d. Kedua punggung kaki bengkak

e. Bercak merah kehitaman di tungkai atau di pantat 3. Marasmik-kwasiorkor :

a. Anak sangat kurus

b. Wajah seperti orang tua atau bulat dan sembab c. Cengeng dan rewel

(8)

e. Rambut tipis, jarang, kusam, warna rambut jagung dan bila dicabut tidak sakit.

f. Kulit keriput

g. Tulang iga tampak jelas (iga gambang) h. Pantat kendur dan keriput

i. Perut cekung atau buncit

j. Bengkak pada punggung kaki yang berisi cairan (edema) dan bila ditekan lama kembali

k. Bercak kehitaman di tungkai dan pantat (Depkes RI, 2008) 2.2.4. Faktor-faktor Penyebab Penyakit KEP

Beberapa faktor yang bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit KEP antara lain faktor diet, faktor sosial, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan dan lain lain. Secara rinci faktor penyebab KEP Sebagai berikut :

1. Peranan diet

Diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang protein akan menyebabkan anak menjadi kwarsiorkor, sedangkan diet energi walaupun zat gizi essensial seimbang akan menyebabkan anak menjadi marasmus.

Riwayat alamiah terjadinya masalah (defisiensi gizi), dimulai dari tahap pre patogenesis yaitu proses interaksi antara penjamu dengan penyebab (agent = zat gizi) serta lingkungan. Pada tahap ini terjadi keseimbangan antar ketiga komponen yaitu tubuh manusia, zat gizi dan lingkungan dimana manusia dan zat-zat gizi makanan berada (Konsep John Gordon). Terjadinya patogenesis penyakit defisiensi gizi ada 4 kemungkinan yaitu makanan yang dikonsumsi kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitas, kepekaan tubuh terhadap kebutuhan gizi meningkat, misalnya kebutuhan yang meningkat karena sakit, pergeseran lingkungan yang memungkinkan kekurangan pangan, misalnya karena gagal panen, dan perubahan lingkungan yang meningkatkan kerentanan tubuh misalnya kepadatan penduduk di daerah kumuh (Ali, 2009).

(9)

Bila salah satu kemungkinan terjadinya patogenesis penyakit defisiensi gizi tersebut diatas, maka yang terjadi pada tahap pertama adalah simpanan berkurang yaitu zat-zat gizi dalam tubuh terutama simpanan dalam bentuk lemak termasuk unsur-unsur biokatalisnya akan menggantikan kebutuhan energi dari karbohidrat yang kurang, bila terus terjadi maka simpanan habis yaitu titik kritis, tubuh akan menyesuaikan dua kemungkinan yaitu menunggu asupan gizi yang memadai atau menggunakan protein tubuh untuk keperluan energi. Bila menggunakan protein tubuh maka perubahan faal dan metabolik akan terjadi. Pada tahap awal akan terlihat seseorang tidak sakit dan tidak sehat sebagai batas klinis terjadinya penyakit defisiensi gizi, bukan saja terjadi pada zat gizi penghasil energi tetapi juga vitamin, mineral, air dan serat (Ali, 2009).

Prinsip terjadinya patogenesis penyakit defisiensi gizi, seperti terlihat pada gambar monitoring gizi di bawah ini :

Gambar 2.1. Prinsip Monitoring Gizi

Sumber : Patogenesis Penyakit Defisiensi Gizi (Ali, 2009) Zat gizi dipergunakan oleh sel tubuh untuk berbagai aktivitas, bila zat gizi kurang maka sel tubuh akan mengambil cadangan zat gizi (depot), bila zat gizi yang dikonsumsi berlebihan maka akan disimpan dalam tubuh. Apabila depot simpanan habis dan konsumsi zat gizi kurang, maka akan terjadi proses biokimia untuk mengubah unsur unsur pembangun struktur tubuh. Ini artinya telah

(10)

terjadi gangguan biokimia tubuh misalnya kadar Hb dan serum yang turun. Bila tidak segera diatasi dengan konsumsi gizi yang adekuat, maka secara anatomi sel-sel, jaringan dan organ tubuh akan terlihat mengalami kerusakan,misalnya pada penyakit defisiensi gizi kwashiorkor dan marasmus. Gangguan anatomi dengan kerusakan jaringan yang parah dapat berakhir dengan kematian

2. Peranan faktor sosial

Pantangan menggunakan bahan tertentu yang sudah turun temurun dapat mempengaruhi terjadinya KEP. Pantangan tersebut ada yang berdasarkan keagamaan dan ada pula yang berdasarkan tradisi turun temurun. Faktor sosial yang bedasarkan kebiasaan atau turun temurun masih dapat diubah, sehingga KEP dapat dikendalikan. Faktor sosial yang paling banyak terjadi yaitu ibu bekerja sehingga harus meninggalkan anaknya sehingga anak kurang mendapat perawatan semestinya.

3. Peranan kepadatan penduduk

Meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan persediaan pangan merupakan penyebab utama krisis pangan. Marasmus dapat terjadi di daerah yang padat penduduk dengan keadaan higiene yang buruk.

4. Peranan infeksi

Terdapat sinergitas antara infeksi dan malnutrisi. Infeksi derajat apapun dapat memperparah keadaan gizi. Malnutrisi walaupun ringan mempunyai pengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh dan meningkatkan risiko infeksi.

5. Peranan kemiskinan

Penghasilan yang rendah, tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi, ditambah banyak timbulnya penyakit infeksi akan mempercepat timbulnya KEP (Pudjiadi, 2005).

(11)

Program untuk intervensi bagi balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk adalah pemberian makanan tambahan dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi anak serta untuk mencukupi kebutuhan zat gizi anak agar tercapai status gizi dan kondisi gizi yang baik sesuai dengan umur anak. Sedangkan pengertian makanan untuk pemulihan gizi adalah makanan padat energi yang diperkaya dengan vitamin dan mineral, yang diberikan kepada balita gizi kurang dan gizi buruk selama masa pemulihan (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Makanan Tambahan Pemulihan bagi balita adalah makanan bergizi yang diperuntukkan bagi balita usia 6- 59 bulan sebagai makanan tambahan untuk pemulihan gizi (Kementerian Kesehatan, 2011).

Menurut Persagi (2009), pemberian makanan tambahan di samping makanan yang dimakan sehari-hari mempunyai tujuan untuk memulihkan keadaan gizi dan kesehatan. Pemberian makanan tambahan pemulihan dapat berupa PMT pemulihan lokal yaitu bahan makanan lokal yang diolah dirumah tangga atau disebut juga PMT Pemulihan Dapur Ibu dan PMT Pemulihan pabrikan yaitu PMT pemulihan hasil olahan pabrik, seperti susu dan biskuit. Program Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) diberikan kepada anak balita gizi kurang dan buruk dengan jumlah hari tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan status gizi anak.

Menurut Gibson (1990) makanan tambahan yang diberikan pada anak khususnya di negara yang sedang berkembang sebaiknya harus difortifikasi dengan micronutrient terutama zat besi, kalium dan zinc. Pemberian makanan tambahan pemulihan merupakan salah satu cara penanggulangan balita gizi buruk yang selama ini telah dilakukan pemerintah selama 3 sampai 4 bulan atau 90 hari sampai 120 hari. Pemberian makanan tambahan pemulihan (PMT-P) sebaiknya menggunakan bahan makanan dari bahan-bahan yang ada atau dapat dihasilkan dari wilayah setempat dan diutamakan dari sumber kalori dan protein seperti padi-padian, umbi-umbian, kacang-kacangan, ikan, telur, sayuran hijau, atau kelapa dan hasil olahannya tanpa

(12)

mengesampingkan sumber zat gizi lain. Di Indonesia, karbohidrat merupakan komponen utama makanan baik berasal dari serealia, umbi-umbian ataupun buah (Sunawang, 2000).

Penelitian yang telah dilakukan dengan memberikan tambahan makanan untuk meningkatkan pertumbuhan anak balita, yaitu penelitian di Thailand pada tahun 1988 pada anak umur 36 bulan dengan menggunakan biskuit tinggi energi, vitamin dan mineral dengan kandungan kalori 300 kkal dan 6 gram protein per hari mampu meningkatkan berat badan 100 gram dan tinggi badan 0,1 cm per bulan dibanding kontrol. Kemudian penelitian di Jawa Barat pada tahun 1991 untuk anak umur 6-20 bulan dengan menggunakan snack tinggi kalori dengan kecukupan kalori 400 kkal dan 5 gram protein perhari mampu meningkatkan WAZ 0,3 SD selama 90 hari. Demikian pula pada tahun yang sama di Jamaica, pada anak umur 24 bulan dengan menggunakan susu formula dengan kandungan kalori 750 kkal dan 20 gram protein mampu meningkatkan berat badan 380 gram dan tinggi badan 1,0 cm setiap bulan lebih banyak dibanding kontrol.

2.3.1 Formula 100

Formula 100 merupakan minuman tinggi kalori yang terbuat dari susu fullcream, gula, minyak, dan mineral mix. Rumah Sakit maupun Puskesmas sering menggunakan formula ini untuk pemulihan gizi balita gizi buruk pada tahap lanjut maupun anak lain yang memerlukan asupan makanan dengan kalori dan protein tinggi. Formula 100 sebanyak 100 ml mengandung kalori sebesar 100 kkal dan protein 2,9 gram. Formula 100 dibandingkan susu formula di pasaran yang memiliki kandungan gizi yang setara misalnya Pediasure dengan kalori 103 kkal dan protein 3,1 gram per 100 ml, harganya jauh lebih murah dan bahannya mudah didapatkan masyarakat (Depkes, 2011).

WHO 1999 meresepkan Formula 100 terdiri dari susu fullcream 80 gram, gula pasir 50 gram, minyak sayur 60 gram dan

(13)

mineral mix 20 ml, kemudian ditambah air matang sampai 1000 ml. Menurut Asikin (1989), pemberian Modisco ( termasuk Formula 100) ada beberapa kendala yang dihadapi dan yang paling sering dikeluhkan yaitu anak tidak suka susu, sehingga diatasi dengan pemberian Formula 100 melalui sonde bila anak dirawat di rumah sakit / puskesmas rawat inap, atau dapat juga dilakukan dengan mencampurkan F100 pada makanan atau minuman yang disukai anak. Keluhan lain yang dijumpai adalah kebanyakan anak tidak suka minyak, sehingga untuk mengatasi hal tersebut dapat mengganti minyak dengan margarine. Dijumpai pula keluhan anak kurang nafsu makan sehingga porsi yang diberikan tidak habis, disarankan untuk memberikan Formula 100 dalam bentuk pekat kalori dengan jumlah yang lebih sedikit.

Penelitian di Malang tahun 2005 pada anak balita KEP dengan memberikan formula WHO Modifikasi mampu meningkatkan status gizi 22,58% menjadi status gizi baik, 58,06% menjadi gizi kurang dan 19,35% tetap gizi buruk selama 90 hari (Setyobudi, 2005).

Italia juga melakukan penelitian dengaan menggunakan Rinforza yaitu suatu susu formula dengan kandungan kalori 103 kkal dan protein 3,1 gram per 100 ml serta ditambah minyak sayur dan mineral untuk anak gizi kurang umur 1 – 10 tahun, mampu untuk menurunkan anak gizi kurang WHZ< persentil 25 dari 56 % menjadi 45% dalam kurun waktu 2 bulan ( Nugroho, 2005).

Penelitian di Semarang tahun 2012 dengan menggunakan Formula 100 dan biskuit sun 6 keping sajian pada balita gizi buruk memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan status gizi berdasarkan BB/TB dan BB/U dengan memberikan rerata kontribusi energi sebanyak 54,60% dan protein 79,17% (Fitriyanti, 2012).

(14)

Makanan tambahan pemulihan diutamakan berbasis bahan makanan atau makanan lokal. Jika bahan makanan lokal terbatas, dapat digunakan makanan pabrikan yang tersedia di wilayah setempat dengan memperhatikan kemasan, label dan masa kadaluarsa untuk keamanan pangan (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Makanan tambahan pemulihan diberikan untuk memenuhi kebutuhan gizi balita sasaran.. PMT Pemulihan merupakan tambahan makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi balita dari makanan keluarga. Makanan tambahan balita ini diutamakan berupa sumber protein hewani maupun nabati (misalnya telur/ ikan/daging/ayam, kacang-kacangan atau penukar) serta sumber vitamin dan mineral yang terutama berasal dari sayur-sayuran dan buah-buahan setempat. Makanan tambahan diberikan sekali sehari selama 90 hari berturut-turut. Makanan tambahan pemulihan berbasis bahan makanan /makanan lokal ada 2 jenis yaitu berupa MP-ASI (untuk bayi dan anak berusia 6-23 bulan) dan Makanan tambahan untuk pemulihan anak balita usia 24-59 bulan berupa makanan keluarga.

Menurut Puskesmas Batangan (2013) bahwa pemberian Makanan Tambahan Pemulihan yang disajikan oleh masing-masing ibu balita dan terdiri dari susu cair bendera 115 gr sebanyak 1 kotak, telur ayam sebanyak 1 butir, biskuat energi sebanyak 1 buah, biskuit Roma

“Better” sebanyak 1 buah, dan bolu padi mas sebanyak 1 buah untuk dikonsumsi setiap hari selama 90 hari.

2.4. Morbiditas

Morbiditas adalah keadaan sakit, terjadinya penyakit atau kondisi yang mengubah kesehatan dan kualitas hidup. Morbiditas dapat menimpa manusia lebih dari satu kali dan selanjutnya rangkaian morbiditas ini atau sering disebut morbiditas kumulatif pada akhirnya menghasilkan peristiwa yang disebut kematian (Bustan, 2005).

Menurut Supariasa (2004) morbiditas timbul karena tidak seimbangnya berbagai faktor baik dari sumber penyakit (agent), pejamu (host) dan lingkungan (environment). Beberapa contoh ketidakseimbangan

(15)

sumber penyakit (agent), pejamu (host) dan lingkungan (environment) sebagai berikut :

2.4.1. Sumber penyakit (agent)

Faktor sumber penyakit dibagi menjadi delapan unsur yaitu gizi, kimia dari luar,kimia dari dalam, faktor faali/ fisiologis, genetik, psikis, kekuatan fisik dan biologi atau parasit.

1. Gizi

Unsur gizi sering disebabkan karena defisiensi zat gizi dan beberapa toksin yang disebabkan oleh beberapa makanan, disamping akibat kelebihan zat gizi.

2. Kimia dari luar

Penyakit dapat muncul seperi zat kimia dari luar seperti obat-obatan, bahan kimia yang terdapat dalam makanan atau bahan adiktif dalam makanan.

3. Kimia dari dalam

Bahan kimia yang dihubungkan dengan metabolisme misalnya hormon tiroksin, kelebihan lemak dan sebagainya.

4. Faktor faali

Faktor faali dalam kondisi tertentu misalnya pada saat kehamilan, eklampsia pada waktu melahirkan dengan tanda bengkak dan kejang.

5. Genetis

Beberapa penyakit yang disebabkan oleh faktor genetis yaitu diabetes mellitus, buta warna, hemofili dan lain-lain.

6. Faktor psikis

Faktor psikis yang dapat menimbulkan penyakit adalah tekanan darah tinggi dan tukak lambung yang disebabkan oleh stress atau tegang.

7. Kekuatan fisik

Sinar matahari, sinar radioaktif merupakan tenaga yang dapat menimbulkan penyakit

(16)

Faktor biologi dan parasit (metazoa, bakteri, jamur) dapat menyebabkan penyakit defisiensi gizi dan infeksi.

2.4.2. Pejamu (Host)

Faktor pejamu yang dapat mempengaruhi kondisi penyakit yaitu faktor genetis terdiri dari umur, jenis kelamin, etnik, fisiologis imunologik, kebiasaan seseorang (kebersihan, makanan, kontak perorangan, pekerjaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan). Faktor pejamu yang paling berpengaruh pada dunia berkembang yaitu membuang sampah sembarangan, cara penyimpanan makanan yang kurang baik dan higiene kurang baik.

2.4.3. Lingkungan (Environment)

Faktor lingkungan dapat dibagi menjadi 3 unsur yaitu lingkungan fisik, lingkungan biologi dan lingkungan sosial ekonomi selengkapnya sebagai berikut :

1. Lingkungan fisik seperti cuaca, iklim, tanah dan air.

2. Lingkungan biologi seperti kepadatan penduduk, tumbuh tumbuhan dan hewan yang menjadi penyebab timbulnya penyakit.

3. Lingkungan sosial ekonomi meliputi pekerjaan yang berhubungan dengan bahan kimia. Urbanisasi yaitu kepadatan penduduk dan tekanan sosial. Bencana alam misalnya banjir, gunung meletus dan sebagainya.

Riwayat alamiah timbulnya penyakit gizi dimulai dari sebelumnya timbulnya penyakit yaitu terjadi ketidakseimbangan antara host, agent dan lingkungan sehingga menimbulkan rangsangan penyakit. Rangsangan penyakit akan timbul pada manusia sehingga menimbulkan sakit. Keadaan sakit yang terjadi dapat berakhir sembuh atau cacat bahkan dapat mengalami kematian.

Patogenesis penyakit gizi yaitu merupakan akibat dari faktor lingkungan dan faktor manusia yang didukung dengan kekurangan asupan zat gizi. Akibat kekurangan zat gizi simpanan gizi dalam tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Apabila kondisi ini berlangsung lama maka simpanan akan habis dan akan terjadi kemorosatan jaringan. Pada saat

(17)

seperti ini orang sudah dinamakan malnutrisi atau kurang gizi. Dengan meningkatkan defisiensi gizi maka muncul perubahan biokimia dan rendahnya zat gizi dalam darah berupa rendahnya tingkat hemoglobin, serum dan karoten serta vitamin A. Apabila keadaan ini berlangsung lama maka akan terjadi perubahan fungsi tubuh seperti kelemahan, pusing, kelelahan, nafas pendek (Supariasa, 2004).

(18)

Gambar 2.2. Kerangka Teori Penelitian

Sumber : Penyebab Kurang Gizi (disesuaikan dari UNICEF,1998 dalam Soekirman, 2000)

2.6. Kerangka Konsep

Status Gizi Balita KEP

Makanan tidak adekuat Penyakit infeksi

Tidak cukup persediaan pangan Pola asuh anak tidak memadai Sanitasi &air bersih/yankes dasar tidak memadai

Kurang Pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan

Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumberdaya

masyarakat

Pengangguran, Inflasi, kurang pangan, dan kemiskinan

Krisis Ekonomi,Politik dan Sosial

PMT Pemulihan lain

Formula 100

(19)

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

2.7.

Hipotesis

Ada perbedaan dari tipe pemberian makanan tambahan pemulihan dengan peningkatan status gizi balita KEP berdasarkan BB/U, BB/TB, IMT/U

Ada Perbedaan dari tipe Pemberian Makanan Tambahan pemulihan dengan morbiditas balita KEP.

Tipe Pemberian Makanan Tambahan

Pemulihan

Status gizi

Gambar

Gambar 2.1. Prinsip Monitoring Gizi
Gambar 2.2. Kerangka Teori Penelitian
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan penjelasan yang telah penulis kemukakan di atas, dalam menulis skripsi ini, akan membahas mengenai permasalahan dengan judul skripsi:

Hasil yang diperoleh memperlihatkan prevalensi infeksi STH pada siswa Madrasah Ibtidaiyah Ittihadiyah Kecamatan Gandus Kota palembang adalah sebesar 29,3%.. Kata

Hiasan tersebut antara lain membentuk ambang pintu utama, membentuk jendela semu yang berada di kiri dan kanan pintu utama, membentuk ceruk tempat patung Bunda Maria

BENTUK SURAT PENAWARAN PESERTA PERORANGAN Tetap Cukup Jelas.. BENTUK SURAT KUASA Tetap

Pengembangan sistem pada perusahaan adalah mengintegrasikan IAIS ke seluruh bagian didalam perusahaan agar kegiatan bisnis perusahaan dapat berjalan lebih baik,

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung jumlah hama lalat buah (Bactrocera dorsalis) yang tertangkap pada dosis Metil Eugenol yang berbeda di pertanaman cabai (Capsicum

Setiap karyawan di dalam perusahaan diwajibkan untuk menggunakan alat pelindung diri dalam menjaga keselamatannya pada setiap melakukan pekerjaan, dengan adanya

Faktor pengungkit ( leverage factor ) yang dominan dari masing-masing dimensi adalah sebagai berikut: dimensi ekologi yaitu pembuangan limbah pertanian; dimensi ekonomi