• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan. Bab Satu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pendahuluan. Bab Satu"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Satu

Pendahuluan

P

agi menjelang siang hari itu, di satu petak sawah di sebuah desa di kawasan Jatiluwih, Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan-Bali beberapa wisatawan asing bergegas turun dari mobil menuju kubu

(kandang) seekor sapi yang tengah makan rumput. Para wisatawan yang berasal dari Eropa bergantian foto bersama dengan latar belakang panorama sawah bertingkat dan Gunung Batukaru. Para wisatawan juga mengabadikan aktivitas penduduk di lahan pertanian mereka. Wilayah Jatiluwih mempunyai bentangan sawah yang sangat luas sehingga hampir sepanjang mata memandang seluruh desa dipenuhi hamparan sawah bertingkat. Petani yang lalu lalang membawa cangkul, sabit dan piranti untuk sembahyang di pura sawah (pura

subak) juga menjadi objek yang tidak kalah menariknya bagi wisata-wan. Semua yang disuguhkan oleh kawasan ini merupakan sebuah karisma Desa Jatiluwih, Desa Mengesta dan beberapa desa lain di sekitarnya. Inilah yang menjadi pertimbangan areal bercocok tanam ini diusulkan sebagai salah satu Kawasan Budaya Dunia (world cultural heritage) ke UNESCO. Walaupun areal sawah garapan di desa ini relatif sempit (hanya berkisar 303 hektar) tetapi wilayah ini cukup berkontribusi terhadap Kabupaten Tabanan sebagai Lumbung Beras Provinsi Bali.

Dari beberapa cerita penduduk setempat tradisi agraris dan harmonisasi yang ada pada wilayah ini adalah manifestasi dari ajaran Hindu di Bali yang tertuang dalam Tri Hita Karana yaitu hubungan

(2)

harmonis antar tiga komponen yaitu Tuhan, manusia, dan lingkungan (alam). Ada juga cerita (mitos) mengenai tradisi agraris yang diyakini oleh masyarakat desa di wilayah ini adalah ketika suatu saat terjadi kemarau panjang di seputar wilayah Pura Batukaru, sehingga rakyat sampai harus masuk hutan untuk mencari makanan. Pada saat berada di hutan beberapa dari mereka seolah mendapat mimpi gaib, ternyata di wilayah itu ada padi yang sedang menguning yang ditunggui oleh seorang kakek. Kemudian kakek ini memberikan beberapa benih padinya untuk ditanam petani di lahan pertaniannya. Sejak saat itu secara turun-temurun petani di wilayah ini selalu mengikuti pola tanam yang disarankan oleh kakek itu yaitu pada musim hujan harus menanam secara kertamasa (tanam padi lokal merah atau putih serentak), dan pada musim kemarau (gadon) petani boleh menanam padi unggul. Kebiasaan ini kemudian dituangkan dalam awig-awig

yang sampai saat ini menjadi acuan subak dalam melakukan pola tanam. Konon pernah ada pelanggaran pada pola bercocok tanam, maka terjadilah kegagalan panen dan serangan hama tikus maupun wereng secara meluas. Selain itu sanksi bagi yang melakukan pelang-garan adalah sanksi melakukan upacara di pura subak1.

Pengalaman pribadi saya sebagai orang Bali dari Kabupaten Tabanan, memang merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh para turis yang berkunjung ke kawasan Jatiluwih tersebut. Sering timbul pertanyaan dalam benak saya bagaimana cara masyarakat di sekitar wilayah ini menjaga lingkungan dan tradisi mereka secara berkelanjutan, dan bagaimana mereka menjaga harmonisasi antara kepentingan pelestarian alam serta tuntutan gemerincing dolar yang seolah dijanjikan oleh para turis yang datang silih berganti. Pertanya-an-pertanyaan ini memang tidak pernah terjawab. Saya dan mungkin juga masyarakat Bali umumnya hanya turut merasa bangga dan puas karena sering mendengar pujian akan keasrian wilayah Jatiluwih ini. Sampai pada suatu saat keingintahuan saya akan keberhasilan masya-rakat wilayah ini untuk tetap bertahan dengan tradisi terusik ketika perdebatan tentang Bali yang sedang dalam persimpangan akhir-akhir

1 Sanksi ritual yang dilakukan sampai menghabiskan biaya Rp. 3.000.000 (tiga juta

(3)

ini menjadi topik utama dalam berita surat kabar daerah, Bali Post. Menurut beberapa berita tersebut Bali saat ini sedang mengalami permasalahan serius dalam beberapa hal seperti: pengangguran, masih terseok-seoknya sektor pertanian, dan semakin meluasnya alih fungsi lahan pertanian. Di samping itu ketegangan antara Desa Adat dan semakin melebarnya filosofi keagamaan terutama Agama Hindu. Masalah-masalah ini menjadi perhatian para pemegang kebijakan, pemuka agama dan pemerhati Bali.

Berkaitan dengan hal tersebut maka pada bulan Nopember 2009 diadakan seminar tentang Revitalisasi Bali melalui Revitalisasi Pertani-an. Seminar ini sebenarnya menunjukkan bahwa kegalauan pemerin-tah, praktisi dan pemerhati Bali terhadap kondisi Bali yang terkenal sukses sebagai daerah tujuan wisata dunia, tetapi ternyata rapuh dalam menjamin kesejahteraan masyarakatnya yang sebagian besar masih bergelut di sektor pertanian. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wiguna (2008), hampir 75% penduduk Bali masih menggantungkan kehidupan di sektor pertanian, dan sebagian besar dari petani tersebar di daerah perdesaan.

Situasi paradoksal yang memenuhi benak saya yaitu di satu sisi ada wilayah di Bali Utara (kawasan Jatiluwih) yang masih mampu memadukan kehidupannya sebagai petani dan daerah tujuan wisata alam dengan harmonis, sedangkan di sisi lain ternyata ada fenomena petani di kawasan Bali Selatan terhimpit gemerincing dolar pariwisata. Bertitik tolak dari ilustrasi yang dimuat pada Kompas (2011) maka keberhasilan kawasan Jatiluwih sebagai salah satu wilayah yang tetap menjaga keharmonisan antara pertanian dengan pariwisata adalah adanya organisasi tradisional subak. Subak merupakan salah satu kearifan lokal yang masih eksis di beberapa wilayah di Bali adalah organisasi pembagian air di areal sawah secara tradisional. Organisasi

subak memiliki 4 (empat) elemen seperti lahan pertanian (sawah), sumber air, anggota subak dan pura subak (water temple). Jadi dalam setiap organisasi subak keempat elemen tersebut akan selalu ada dan merupakan syarat mutlak sebuah organisasi subak. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh Wiguna (2008) subak sampai saat ini masih

(4)

dipercaya dan diinginkan oleh hampir 70% masyarakat Bali untuk tetap eksis. Di samping itu pemerhati subak seperti Pitana (1993), Windia (2002), Sutawan (2003), meyakini bahwa melestarikan subak

merupakan salah satu cara untuk tetap menjaga pelestarian pertanian dan lingkungan dalam rangka pencapaian ketahanan pangan dan hayati khususnya di daerah Bali. Keyakinan ini berdasarkan alasan elemen-elemen dalam organisasi subak seperti adanya lahan pertanian, adanya anggota subak, masih berfungsinya pembagian air, dan kegiatan-kegiatan ritual di pura subak juga masih berfungsi dengan baik.

Penelitian-penelitian tentang subak sudah banyak dilakukan baik oleh peneliti Bali maupun peneliti dari luar negeri. Peneliti Bali yang peduli dengan keberadaan subak di antaranya adalah Sirtha (1996) yang meneliti subak dari sisi hukum dan perubahan sosial. Penekanan pada penelitian ini masih pada sisi hukum, walaupun secara umum akhirnya disimpulkan bahwa subak merupakan konsep pertanian religius’. Karena dalam tulisan ini Sirtha juga memaparkan tentang intensifnya ritual yang dilakukan oleh subak Panaraga Bali sebagai unit amatan. Akan tetapi bagaimana konsep religius yang dikemukannya berlangsung pada subak belum secara eksplisit dijelaskan, sehingga ritual religius yang menyita waktu dan biaya tersebut tidak mendapat penekanan dalam tulisan ini.

Windia (2010) dalam orasi ilmiahnya yang mengemukakan sebagian hasil penelitiannya tentang transformasi teknologi yang dialami subak karena adanya kebijakan pemerintahan melalui Dinas Pekerjaan Umum untuk memberikan sarana irigasi teknis kepada

subak. Dari hasil penelitian ini akhirnya hanya disinggung bagaimana konflik pembagian air mulai sering terjadi akibat kebijakan pemerintah tersebut. Walaupun pada kesimpulan tulisannya, Windia (2002) menyatakan bahwa subak adalah sesuatu yang bersifat dinamis sehingga terbuka terhadap teknologi. Jadi pada tulisan ini disebutkan bahwa ada beberapa elemen subak yang berperan dalam keberlanjutan

subak di Bali, akan tetapi belum ditemukan bahwa ada satu elemen yang berperan penting dan justru menjadi spirit ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Bali.

(5)

Peneliti Bali berikutnya adalah Sutawan (2008) merangkum hasil-hasil penelitian dan kajiannya tentang perubahan manajemen

subak dari waktu ke waktu, kemudian fleksibilitas dalam penentuan keanggotaan dan tantangan pelestarian subak ke depan. Akan tetapi tulisan ini belum secara eksplisit menyebutkan bahwa ritual yang dilakukan dalam subak merupakan sesuatu yang penting untuk keberlanjutan subak.

Tulisan dari seorang peneliti asing yaitu Lansing (1987) yang meneliti tentang keterkaitan antara satu pura subak di suatu areal

subak tertentu dengan pura subak di daerah lainnya ternyata memiliki ikatan dan jejaring yang sangat kuat dan mampu mempersatukan subak

di seluruh Bali. Penekanan pada tulisannya yaitu bagaimana pura subak

berperan dalam menjaga jaringan antara subak di Bali. Namun penekanan pada penelitian Lansing (1987) adalah pemeliharaan jejaring antar subak sehingga dengan kekuatan jaringan, subak diyakini tetap mampu bertahan. Namun tulisan tersebut juga belum secara tegas menyatakan bahwa ada ritual religius terkait dengan pura subak yang berperan dalam menjamin ketahanan pangan dan ketahanan hayati pada setiap organisasi subak.

Peneliti lainnya adalah Yuliana (2010) yang meneliti tentang proses transformasi pertanian moderen ke pertanian organik di Subak Wongaya Betan. Dalam penelitian ini penulis hanya memaparkan tentang proses transformasi yang terjadi, tanpa melihat ada apa di balik kesuksesan transformasi yang terjadi. Dari hasil-hasil penelitian tersebut secara umum subak ternyata masih diinginkan untuk berperan dalam proses pembangunan di Bali. Pembangunan Bali berarti pem-bangunan yang mampu mensejahterakan masyarakat Bali secara ke-seluruhan, menjaga stabilitas Bali dari konflik-konflik adat, agama dan etnik. Di samping itu beberapa pemerhati subak termasuk pemerintah masih meyakini bahwa mengajegkan2subak merupakan salah satu cara

untuk menyelamatkan budaya Bali dari pengaruh globalisasi pari-wisata.

(6)

Seperti disebutkan oleh Geertz (1983) bahwa Bali adalah salah satu daerah selain Jawa yang memiliki lahan yang subur. Sehingga kalau keunggulan tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik maka Bali sebenarnya tidak akan mengalami permasalahan seperti saat ini. Walaupun pariwisata merupakan satu harapan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan sebagai penyerap tenaga kerja, akan tetapi pada kenyataannya sektor ini lebih banyak bermanfaat bagi masyarakat luar (asing). Pemerataan hasil dari industri pariwisata bagi masyarakat Bali masih mengalami ketimpangan. Hal ini disebabkan pada kenyataannya banyak posisi penting dalam industri pariwisata dikuasai oleh masyarakat luar, sedangkan putra-putri daerah hanya menempati posisi bawahan, sehingga dari sisi upah mereka mendapatkan gaji yang lebih rendah. Situasi seperti ini tentu saja tidak menguntungkan bagi kesejahteraan masyarakat secara umum, sehingga perlu mendapat penekanan dan jalan keluar dari pemegang kebijakan di Bali.

Demikan juga dengan analisa Howe (2005) memaparkan dengan sangat jelas bahwa telah terjadi permasalahan dalam pelaksanaan keagamaan dan perubahan sosial di Bali akibat dari pembangunan ekonomi di bidang pariwisata. Apalagi setelah terjadinya bom Bali pada akhir tahun 2002. Kejadian tersebut menyebabkan seluruh dunia terkejut dan terguncang apalagi Bali sebagai daerah yang langsung merasakan dampak dari adanya bom Bali. Pada saat perekonomian dari sektor pariwisata mengalami penurunan akibat adanya serangan bom, ternyata sektor pertanian muncul sebagai penyangga perekonomian Bali. Dari realitas ini sebenarnya sudah terlihat bagaimana sektor pertanian akan sangat ideal apabila digunakan sebagai penyangga industri pariwisata di Bali. Di samping itu berdasarkan pada kekuatan budaya pertanian yang melekat pada budaya Hindu di Bali, maka sangatlah relevan apabila sektor pertanian dibangun sejalan dengan sektor pariwisata.

Apalagi kalau kita menyimak pernyataan Susilo Bambang Yudoyono pada awal terpilihnya sebagai presiden, maka pertanian sebagai ujung tombak dalam menyikapi isu-isu ketahanan pangan. Prioritas 100 hari kepemimpinan beliau adalah mencapai ketahanan

(7)

pangan (food security) bagi seluruh rakyat Indonesia3. Dalam

pelaksa-naannya maka area ketahanan pangan yang dimaksudkan meliputi empat dimensi yaitu: (1) penyediaan pangan; (2) akses masyarakat miskin dalam penyediaan pangan; (3) stabilitas harga; (4) kemanfaatan (utility).

Untuk mencapai prioritas tersebut maka blue print (rencana pelaksanaan) telah dibuat yaitu mendorong pemberdayaan petani sebagai ujung tombak penghasil pangan terutama beras. Dalam blue print tersebut disebutkan bahwa salah satu elemen lokal yang mesti dipertahankan untuk tujuan tersebut adalah Kearifan Lokal (Local Wisdom) (Sujono, 2009). Hal ini didukung oleh pendapat seorang pengamat pertanian Arifin (2009) bahwa pengembangan kearifan lokal memang sudah saatnya digalakkan. Salah satu pertimbangan untuk mendorong pemanfaatan kearifan lokal dalam usaha pencapaian keta-hanan pangan adalah karena Indonesia merupakan negara pluralistik baik dari sisi pulau, etnik, suku, adat, agama, dan budaya, yang secara otomatis akan memiliki kearifan lokal yang khas di masing-masing daerah dan komunitas.

Bali sebagai salah satu daerah di Indonesia memiliki nilai kearif-an lokal ykearif-ang unik dkearif-an masih bkearif-anyak dipraktikkkearif-an di daerah survei. Malahan kearifan lokal masih lebih mampu memberdayakan masyara-kat dibandingkan dengan cara-cara modern yang dianjurkan pemerin-tah. Lebih lanjut ditambahkan bahwa praktik-praktik kearifan lokal tersebut biasanya lebih banyak dipraktikkan dalam pengelolaan lahan pertanian, oleh karena bagi masyarakat di perdesaan hampir 80% mata pencaharian pokok mereka adalah bertani (Arifin 2009).

Jadi Bali dengan kearifan lokal subak sebagai ujung tombak pelestari pertanian, dan konsep ketahanan pangan yang dicanangkan pemerintah yang berbasis kearifan lokal, merupakan suatu wacana yang saling mendukung dalam mewujudkan pembangunan berkelan-jutan. Apalagi dengan ciri khas budaya Bali yang sangat terikat dengan kepercayaan agama Hindu, maka di Bali kegiatan-kegiatan ritual

ke-3 Sujono (2009) Ketua Lembaga Survey pada wawancara MetroTV tanggal 11

(8)

agamaan memang melekat dalam budaya Bali (Geertz, 1979). Di sisi lain dalam mengimplementasikan Agama Hindu masyarakat Bali akan melakukannya melalui kegiatan ritual yang telah diatur dalam

Kalender (penanggalan Bali) yang disusun berdasarkan hari baik (pawekon). Menurut Geertz (1992) masyarakat yang sudah terikat dan merasa nyaman melaksanakan sesuatu yang diyakini akan menganggap bahwa hal yang dilakukan adalah benar dan akan menjadi sebuah tatanan yang dapat dipahami bersama dan dilaksanakan tanpa rasa keterpaksaan. Semua implementasi keagamaan tersebut dilakukan melalui ritual oleh anggota subak.

Dari hasil wawancara dengan anggota subak kawasan Jatiluwih yaitu di Banjar Wongaya Betan, Desa Mengesta, Kabupaten Tabanan ternyata setiap satu kali musim tanam (sekitar 6 bulan) anggota subak

tersebut akan melaksanakan ritual Agama lebih kurang 10 kali. Dari 10 kali ini ada ritual yang dilakukan oleh kelompok, dan ada juga ritual yang dilakukan secara pribadi. Dalam areal satu subak saja memiliki beberapa tempat suci yang menjadi sungsungan (areal persembah-yangan) misalnya seperti Pura Bedugul, Pura Ulun Carik, Pura Ulun Suwi, Pura Sad Kahyangan (lihat: Geertz, 1983). Dalam pelaksanaan ritual tersebut biasanya lebih banyak dipersiapkan dan dilaksanakan oleh anggota subak perempuan. Anggota subak laki-laki hanya bertu-gas mempersiapkan tempat untuk melakukan upacara, setelah itu yang bertanggung jawab terhadap jalannya upacara adalah kaum perempu-an. Kaum perempuan selain sebagai pelaksana ritual pada lahan pertanian, ternyata juga memiliki peran dalam aktivitas fisik di lahan pertanian. Perempuan melakukan aktivitas di lahan pertanian mulai pembibitan, penanaman, pemeliharaan, panen bahkan sampai mema-sarkan produk pertanian tersebut. Dari kenyataan tersebut maka peran perempuan sebagai pelaksana sebagian besar kegiatan pertanian dengan peran perempuan sebagai pelaksana ritual di lahan pertanian adalah saling terkait.

Dari penjelasan di atas, telah terbentuk situasi paradoksal antara tujuan pemerintah untuk mencapai ketahanan pangan dan ketahanan hayati melalui revitalisasi kearifan lokal dengan melestarikan pertanian

(9)

(melalui subak). Di sisi lain terjadi pengaruh globalisasi yang seolah menggerus kearifan lokal masyarakat maka timbul pertanyaan bagai-mana kearifan lokal (subak) mampu sebagai penjamin tercapainya ke-tahanan pangan dan keke-tahanan hayati? Untuk menjelaskan secara kualitatif maka pertanyaan-pertanyaan empirisnya adalah; 1) bagai-mana petani di Subak Wongaya Betan menjaga ketahanan pangan dan ketahanan hayati di wilayahnya; 2) bagaimana aktivitas anggota subak perempuan dalam pelaksanaan ritual subak; 3) bagaimana kearifan lokal berperan sebagai modal dalam mempertahankan ketahanan pangan dan ketahanan hayati untuk menunjang pembangunan berke-lanjutan.

Pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi acuan untuk menggam-barkan peran subak dalam proses pelaksanaan pertanian organik di Subak Wongaya Betan menuju ketahanan pangan dan ketahanan hayati, serta menjelaskan bagaimana proses ritual di lahan pertanian mampu menjadi spirit dalam setiap kegiatan subak untuk pencapaian ketahanan pangan dan katahanan hayati dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.

Hasil Penelitian dalam bentuk disertasi ini akan menyajikan tahapan dan proses pada bab-bab yang disusun dengan pengorganisasi-an ypengorganisasi-ang berbeda. Diawali dengpengorganisasi-an pemaparpengorganisasi-an beberapa kerpengorganisasi-angka teori-tis pada bab dua, yang bertujuan untuk memberikan beberapa penyatu-an pemahampenyatu-an terhadap pemikirpenyatu-an-pemikirpenyatu-an peneliti terdahulu. Pemikiran-pemikiran tersebut akan terkait dengan aspek yang menjadi penekanan pada tulisan ini yaitu pemahaman tentang kearifan lokal (local wisdom), ritual, modal sosial, ketahanan pangan (food security) dan ketahanan hayati (biosecurity), dan subak.

Bab tiga, memuat pemaparan tentang metodologi penelitian yang berisikan tentang penjelasan metode penelitian, unit amatan, unit analisa. Selain itu pada bab ini juga saya sisipkan pengalaman saya meneliti secara kualitatif di daerah sendiri (backyard reseach) yang memberikan saya pengalaman berharga dengan segala kesulitan dan kemudahan yang saya rasakan.

(10)

Bab-bab empiris akan saya uraikan satu per satu dari bab empat yang mengulas tentang unit amatan penelitian yaitu Subak Wongaya Betan yang selanjutnya akan saya singkat menjadi SWB. SWB ini merupakan salah satu subak yang terletak di daerah kawasan budaya dunia (culture heritage) Catur Angga Batukaru, yang merupakan kawasan suci sebagai identitas umat Hindu di Bali. SWB selain berhasil menjaga kelestarian lingkungan dan lahan pertaniannya, mereka juga berhasil menjadi pelopor pelaksana padi organik di wilayah ini dengan memperoleh sertifikat SNI (Sertifikat Nasional Indonesia), sehingga produk berasnya sudah mampu dipasarkan ke seluruh Indonesia. Bagian ini juga akan memuat perkembangan subak dari zaman Kerajaan, zaman Kolonial, zaman Orde Lama, zaman Orde Baru dan zaman Reformasi.

Bab lima, secara umum akan menjelaskan bagaimana SWB ber-ada dalam kondisi sulit akibat ber-adanya program revolusi hijau. Kemu-dian dilanjutkan dengan uraian tentang bagaimana mereka keluar dari kemelut sisi negatif revolusi hijau, sampai kemudian bangkit dengan memenangkan pergulatan dengan meraih sertifikat organik. Pada bab ini juga diungkap elemen-elemen yang berperan dalam perjuangan menuju sertifikat organik seperti peran aktor sebagai inovator perubah-an ke pertperubah-aniperubah-an orgperubah-anik, perperubah-an perempuperubah-an, keteguhperubah-an pada pelaksanaan ritual, keyakinan terhadap agama Hindu dan peran filosofi

Tri Hita Karana yang dianut oleh SWB, dan juga peran pemerintah sebagai mitra subak dalam melaksanakan pembangunan di bidang pertanian.

Bab enam khusus menceritakan tentang peran perempuan dalam pelaksanaan ritual yang menjadi salah satu ciri khas subak di Bali. Ritual menjadi penting karena adanya elemen pura subak yang menjadi landasan dilakukannya ritual dan juga keyakinan anggota subak sebagai umat Hindu yang harus selalu melaksanakan filosofi Tri Hita Karana.

Pada bab ini diungkap bahwa kekuatan ritual sangat kuat mengikat anggota subak, sehingga dituangkan dalam awig-awig subak (aturan

subak) yang mengikat baik secara internal maupun eksternal. Ritual

(11)

jenis ritual yang dilaksanakan subak akan diuraikan pada bab ini. Jenis ritual yang pertama sangat kuat mengimplementasikan rasa syukur kepada Tuhan karena produksi beras berhasil dan melimpah (Ngusaba Nini), sedangkan Nangluk Merana sangat kuat mengimlementasikan penghormatan terhadap lingkungan termasuk hama tikus yang dikendalikan dengan cara ritual. Di sini terlihat bagaimana nilai-nilai kearifan lokal masih melekat pada masyarakat subak di Bali.

Bab tujuh adalah bab empiris yang menguraikan tentang keter-kaitan antara nilai-nilai kearifan lokal yang dianut oleh SWB dengan konsep ketahanan pangan dan ketahanan hayati yang menjadi salah satu kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian melalui UU No 7 tahun 1996 dan UU No 4 tahun 2006.

Bab delapan adalah pemaparan sintesa dari berbagai temuan di lapangan yang telah tertuang dalam bab-bab empiris. Pada bab ini akan dijelaskan tentang keterkaitan antara elemen-elemen subak dengan ketahanan pangan dan hayati, faktor-faktor penguat seperti agama Hindu dengan filisofi Tri Hita Karana. Kemudian konsep suci dan leteh

yang berkaitan dengan kepercayaan pencegahan pencemaran di areal pertanian. Pada bab ini juga akan dikaitkan dengan adanya hukum karma pala dan reinkarnasi yang dipercaya dapat dijadikan sebagai

buffer (penyangga) untuk selalu berbuat berdasarkan etika dan meng-hindarkan diri dari perbuatan yang melanggar ajaran agama Hindu. Kekuatan-kekuatan ini ternyata menjadi suatu spirit bagi subak untuk tetap mempertahankan lahan pertanian dalam rangka menjamin ke-tahanan pangan dan keke-tahanan hayati di Bali. Bagian ini juga mem-bahas posisi sumberdaya perempuan dalam beraktivitas baik di lahan pertanian dan dalam pelaksanaan ritual, sehingga isu-isu kesenjangan gender dapat digali melalui pendekatan budaya.

Bab sembilan adalah bab kesimpulan yang merupakan bab terakhir dari rangkaian disertasi ini. Penyajian bab ini lebih diarahkan pada kontribusi teoritis dari penemuan-penemuan lapangan, yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan.

Referensi

Dokumen terkait

Syaiful Anwar, Wakil Rektor III UIN Raden Intan Lampung, wawancara , dicatat pada tanggal 13/05/2018.. kepemimpinan yang demokratis. Teori ini ternyata diaplikasikan oleh Prof.

Pada model PAD menunjukkan bahwa konsumsi (CONS) berpengaruh positif dan signifikan pada α = 10 persen, variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh

Salah satu isu utama terkait dengan perempuan adalah permasalahan aborsi. Aborsi didefinisikan sebagai pengguguran kandungan secara sengaja baik oleh sang calon ibu

Data yang perlu di analisis yaitu data berdasarkan hasil belajar siswa dan tingkat pemahan siswa untuk memahami suatu pembelajaran atau ketuntasan belajar

Tahun ke- Jenjang PTAI Tujuan Prodi yang dipilih 21 Abdul jabar Lampung 09-desember-1983 Laki-Laki jl.Nusa Tenggara No: I.. Kel:Bumirejo, Kec:Kebumen kode pos

Perlu diperhatikan bahwa gerak geser ini gayut muatan, tidak seperti gerck geser elektrik sehingga untuk nuatan beda ekan memberikan arah yang beda pula.. Jan Polman,

Memperhatikan masalah-masalah tersebut maka diperlukan suatu metode pembelajaran dan media pembelajaran yang efektif untuk dapat meningkatkan pemahaman dan keaktifan

sastra kreatif bagi moralitas berkesenian, menelaah secara lebih dalam problem diskursus estetika di era digital dalam konteks filsafat pendidikan moral ini