• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN HARIMAU DI LANSKAP LEUSER - ULU MASEN (Studi di Kecamatan Mane Kabupaten Pidie Provinsi Aceh) Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN HARIMAU DI LANSKAP LEUSER - ULU MASEN (Studi di Kecamatan Mane Kabupaten Pidie Provinsi Aceh) Oleh:"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

A

(Studi di Kecamatan Mane Kabupaten Pidie Provinsi Aceh)

TESIS

Oleh:

ALI BANGUN GEA 157004005/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

B

(Studi di Kecamatan Mane Kabupaten Pidie Provinsi Aceh)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALI BANGUN GEA 157004005/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)
(5)

D Tanggal: 13 Agustus 2019

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, M.Si

Anggota : 1. Dr. Ir. Ma’rifatin Zahra, M.Si

2. Prof. Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si 3. Dr. Delvian, SP, MP

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(6)

i

Kabupaten Pidie Provinsi Aceh)

1. ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis persepsi masyarakat terhadap keberadaan harimau, menganalisis kearifan lokal masyarakat yang timbul oleh adanya keberadaan harimau dan menganalisis upaya mitigasi yang dilakukan masyarakat terhadap konflik dengan harimau di lokasi penelitian.

Lokasi penelitian berada di Kecamatan Mane Kabupaten Pidie Provinsi Aceh yang merupakan bagian dari habitat harimau lanskap Leuser-Ulu Masen.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Persepsi masyarakat di lokasi penelitian telah menunjukkan perilaku yang pro konservasi dengan skor rataan survei 3,40 dari bobot penilaian 1-5, namun belum begitu kuat dan signifikan, sehingga diperlukan penguatan melalui pendekatan alternatif sesuai dengan karakteristik penduduk yang mayoritas beragama Islam dan bersuku Aceh, seperti menyisipkan pesan konservasi didalam ceramah keagamaan Islam dan didalam acara bernuansa budaya / adat Aceh. Seluruh kearifan lokal yang timbul di lokasi penelitian yang berkaitan dengan harimau bersifat positif, berdampak baik dalam pelestarian harimau dan masyarakat itu sendiri. Masyarakat lokal di lokasi penelitian telah melakukan upaya dalam mencegah dan menanggulangi bila terjadi konflik dengan harimau yang tujuannya hanya bermaksud untuk mengusir harimau tanpa membahayakannya.

Kata kunci : Harimau Sumatera, Leuser-Ulu Masen, kearifan lokal, Mukim Lutueng, Harimau Aceh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(7)

ii

Regency in Aceh Province)

2. ABSTRACT

The objective of this study was to analyze the perceptions of local community to the existence of tigers, analyze local wisdom of the local community arising from the presence of tigers and mitigation efforts undertaken by the local community against human-tiger conflict at the study site . The study area located in Mane Sub-district, District of Pidie in Aceh Province of Indonesia, which is part of the Leuser-Ulu Masen landscape. This research used descriptive method with combining quantitative and qualitative approach. The perception of local communities in the research location has shown pro- conservation behavior with an average survey score of 3.40 from an assessment weight of 1-5, but it is not yet strong and significant, so it is necessary to strengthen it through an alternative approach in accordance with the characteristics of the population who are predominantly Muslim and Acehnese such as including conservation messages in Islamic religious lectures and in Acehnese cultural / traditional events. All local wisdom that arised in the research location related to tigers is positive, and has a good impact for the sustainability of tigers and for community itself. The local communities in the research location have made efforts to prevent and resolve conflicts with tigers, with the aim to drive away the tigers without harming them.

Keywords : Sumatran Tiger, Leuser-Ulu Masen, local wisdom, Mukim Lutueng, tiger aceh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(8)

iii

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Robert Sibarani, MS, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, S.Si., M.Si selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

4. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku ketua pembimbing dan ibu Dr. Ir.

Ma’rifatin Zahra, M.Si, selaku anggota pembimbing, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan selama menyelesaikan tesis ini;

5. Pihak Forum HarimauKita: mbak Laksmi dan bang Erwin selaku panitia program dana hibah serta pak Kholis selaku ketua Forum HarimauKita yang telah memberikan banyak bantuan demi kelancaran penelitian ini.

6. Pihak BKSDA Banda Aceh: Pak Sapto, Bu Desi (Eci), drh. Taing Lubis, Pak Irwan, Bu Tuti yang sudah membantu untuk berdiskusi,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(9)

iv membantu penulis;

7. Pihak FFI Aceh : Bang Dedi, bang Dewa, Pak Cahyo serta staff lainnya yang peneliti anggap sebagai mitra strategis yang banyak sekali membantu dalam kegiatan penelitian ini dan juga tim kegiatan Meudang Jeumpa yaitu bang habibi dan teman-teman mahasiswa Unsyiah yang dibawanya yang sempat menemani saat tinggal di Camp Kemukiman Lutueng;

8. Perangkat Kecamatan Mane: Pak Sulaiman (Imuem Mukim Lutueng) dan Pak Azhari (Kepala Camat Mane) yang sudah sangat membantu dan direpotkan mengeluarkan surat rekomendasi untuk kelancaran penelitian;

9. Perangkat Desa: Keuchik / Kepala Desa Mane, Lutueng, Turue Cut dan SekDes Blang Dalam yang sudah membantu termasuk penunjukan tiap pemuda lokalnya sebagai bentuk pendampingan peneliti;

10. Perwakilan pemuda tiap desa di Kemukiman Lutueng Kecamatan Mane yang sudah membantu peneliti sebagai local helper dalam pengumpulan informasi ke masyarakatnya;

11. Asisten Peneliti: Bang Jon sebagai perwakilan Kemukiman Lutueng yang mambantu mengurusi keperluan selama kegiatan di Kecamatan Mane yang juga menemani selama tinggal di Camp. Begitu juga bang Encum sebagai supir yang ikut membantu urusan teknis lainnya;

12. Teristimewa kepada ayah dan ibu penulis yang menjadi sumber motivasi serta semangat dalam mengerjakan penulisan ini;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(10)

v

hibah penelitian Forum HarimauKita yang didukung oleh kerjasama antara Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem – KLHK dan GEF UNDP dalam proyek “Transforming Effectiveness of Biodiversity Management on Sumatran Priority Landscapes”.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua. Amin.

Medan, Agustus 2019 Penulis,

Ali Bangun Gea

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(11)

vi A. Data Pribadi

Nama lengkap : Ali Bangun Gea

Tempat, tanggal lahir : Medan, 12 Januari 1992

Alamat : Jl. Pendidikan No. 9 Dsn-XII Melati, Bandar Khalipah, Percut Sei Tuan, Deli Serdang.

Sumatera Utara. 20371

Agama : Islam

Pendidikan terakhir : S-1, Sarjana Komputer.

Status : Belum menikah

Hp : +62 813 9786 7124

Email : alibangungea@gmail.com

B. Riwayat Pendidikan

S-1, Sistem Informasi Bisnis, STMIK MIKROSKIL, Medan. 2013-2014 D-3, Manajemen Informatika, STMIK MIKROSKIL, Medan. 2009-2012 SMA, Yayasan Tri Arga, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 2006-2009

C. Riwayat Pekerjaan

Plh. Direktur Eksekutif, Yayasan SCORPION Indonesia, Medan. 2019- - Product Development Manager, PT.Sepuluh Multimedia

Indonesia, Medan.

2016 - 2017

Senior Web Programmer – Software Engineer, Mitra Jaya Solusindo, Medan.

2013-2016

Programmer, Vegatech, Medan. 2013-2013

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(12)

vii

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3.Tujuan ... 7

1.4. Manfaat ... 7

1.5. Kerangka Berpikir ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1.Harimau Sumatera ... 9

2.1.1.Status Harimau Sumatera ... 9

2.1.2.Wilayah jelajah dan teritori ... 10

2.1.3.Habitat harimau ... 10

2.1.4.Pakan ... 11

2.1.5.Air ... 12

2.1.6.Tutupan lahan ... 13

2.1.7.Ciri-ciri morforlogi harimau ... 13

2.1.8.Tanda Keberadaan Harimau ... 14

2.1.9.Karakteristik Harimau ... 14

2.2.Fenomena Konflik Manusia-Harimau ... 16

2.2.1.Tipe Konflik Manusia-Harimau ... 17

2.2.2.Klasifikasi Konflik Manusia-Harimau ... 18

2.2.3.Prinsip Penanggulangan Konflik Manusia-Satwa Liar .... 19

2.2.4.Pemicu terjadinya KMH ... 21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(13)

viii

BAB III METODE PENELITIAN ... 24

3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.2.Jenis Penelitian ... 25

3.3.Objek / Sampel dan Informan Penelitian ... 25

3.3.1.Populasi ... 25

3.3.2.Sampel ... 26

3.3.3.Informan penelitan ... 27

3.4.Pengumpulan Data ... 28

3.4.1.Data penelitian ... 28

3.4.2.Teknik pengumpulan data ... 29

3.5.Definisi Variabel Penelitian ... 29

3.5.1.Definisi KMH ... 29

3.5.2.Definisi perilaku masyarakat ... 30

3.6.Alat dan Bahan Penelitian ... 31

3.7.Analisis Data ... 35

3.8.Tahapan Penelitian ... 36

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1.Gambaran dan Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 36

4.2.Karakteristik Responden ... 39

4.2.1.Karakteristik responden berdasarkan pola aktifitas ... 39

4.2.2.Karakteristik responden berdasarkan suku dan agama .... 40

4.2.3.Karakteristik responden berdasarkan umur ... 40

4.2.4.Karakteristik responden berdasarkan pendidikan terakhir 41

4.3.Tanggapan Responden terhadap Ancaman Satwa Liar ... 42

4.3.1.Gangguan keberadaan satwa liar ... 42

4.3.2.Satwa liar yang paling menggangu ... 43

4.4.Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan Harimau ... 44

4.4.1.Toleransi terhadap keberadaan harimau (Tolerance) ... 47

4.4.2.Reaksi emosional/perasaaan terhadap harimau (Affect) .. 48

4.4.3.Sikap berinteraksi dengan harimau (Attitude) ... 49

4.4.4.Norma dalam memburu harimau (Norms) ... 51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(14)

ix

4.4.6.Sikap percaya masyarakat kepada pihak otoritas (Trust) . 57

4.4.7.Penanganan skenario konflik (Management scenarios) ... 59

4.5.Kearifan Lokal Masyarakat terhadap Keberadaan Harimau ... 61

4.5.1.Keberadaan Harimau di lokasi penelitian ... 61

4.5.2.Kearifan lokal yang timbul terkait harimau ... 63

4.6.Upaya Mitigasi dan Penanggulangan Konflik dengan Harimau 66

4.6.1.Aktifitas masyarakat yang menjadi pemicu KMH ... 66

4.6.2.Mitigasi dan penanggulangan konflik ... 69

4.7.Pembahasan Umum ... 71

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

5.1.Kesimpulan ... 75

5.2.Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 83

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(15)

x

No Judul Halaman

3.1. Data penduduk Kecamatan Mane tahun 2018 ... 26

3.2. Ditribusi jumlah sampel ... 27

3.3. Informan peneliti ... 28

3.4. Pendefinisian klasifikasi tipe KMH ... 30

3.5. Penilaian pada jabawan kuesioner skenario konflik harimau ... 33

3.6. Pertanyaan pada kuesioner ... 34

3.7. Pembobotan nilai jawaban kuesioner ... 35

4.1. Karakteristik aktifitas responden... 39

4.2. Karakteristik responden berdasarkan umur ... 41

4.3. Tabulasi hasil survei kuesioner ... 46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(16)

xi

No Judul Halaman

2.1. Leuser-Ulu Masen pada peta hunian harimau………... 22 3.1. Peta lokasi penelitian di Kecamatan Mane……… 24 4.1. Karakteristik pendidikan responden……….. 41 4.2. Frekuensi jawaban responden terkait apakah tergangu oleh adanya

satwa liar………... 43

4.3. Frekuensi jawaban responden terkait satwa liar yang paling

menggangu……… 44

4.4. Nilai rataan dari 100 responden terhadap kategori reaksi

emosional/perasaan terhadap harimau………... 48 4.5. Nilai rataan dari 100 responden terhadap kategori sikap

membunuh dan melindungi harimau………. 50 4.6. Nilai rataan dari 100 responden terhadap kategori norma memburu

harimau……….. 52

4.7. Nilai rataan dari 100 responden terhadap kategori pola pikir

kepercayaan masyarakat terhadap harimau………... 55 4.8. Nilai rataan dari 100 responden terhadap kategori sikap percaya

masyarakat kepada pihak otoritas……….. 58 4.9. Tanggapan responden terhadap penanganan skenario konflik

dengan harimau………... 60

4.10. Peta temuan tanda keberadaan harimau di Kecamatan Mane……... 62 4.11 Hasil penilaian perilaku masyarakat terhadap keberadaan harimau. 73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(17)

xii

No Judul Halaman

1. Kuesioner Survei ………... 81 2. Data Konflik Manusia dengan Harimau Tahun 2009-2018 di

Provinsi Aceh……… 86

3. Masterdata Kriteria Responden………. 87 4. Masterdata Tabulasi Penilaian Kuesioner Survei……….. 91

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(18)

1 1.1. Latar Belakang

Harimau (Panthera Tigris) merupakan salah satu megafauna karismatik dengan daya tarik populer yang sering digunakan aktivis lingkungan untuk mencapai tujuan konservasi lingkungan di dunia (Macdonald et al., 2015; Albert, Luque dan Courchamp, 2018). Indonesia memiliki 3 jenis harimau yang ada di dunia, yaitu Harimau Bali (Panthera tigris balica), Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) (Kitchener, 1999; Seidensticker et al., 1999; Dephut, 2007; Wibisono dan Pusparini, 2010).

Namun pada tahun 1940-an Harimau Bali sudah dinyatakan punah, kemudian Harimau Jawa juga tak terlihaft lagi sejak tahun 1980-an (Seidensticker, 1987;

Kitchener, 1999; Seidensticker et al., 1999; Goodrich et al., 2015; Courchamp et al., 2018). Penyebab utama kepunahan kedua subspesies harimau tersebut dikarenakan dulunya telah terjadi perburuan secara besar-besaran pada masa penjajahan dan juga semakin menyempitnya habitat harimau (Haidir et al., 2017).

Saat ini yang tersisa hanyalah Harimau Sumatera yang menjadi subspesies harimau terakhir yang masih hidup di alam liar Indonesia (Seidensticker, Jackson dan Christie, 1999; Nyhus dan Tilson, 2004; Dephut, 2007; Wibisono dan Pusparini, 2010).

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dikategorikan sebagai spesies yang berstatus sangat terancam punah (critically endangered) (Linkie et al., 2008, 2018; Luskin et al., 2017; Pusparini et al., 2018) yang hanya tinggal satu langkah lagi statusnya menjadi punah di alam liar sesuai dengan publikasi IUCN (International Union for Conservation of Nature) hingga saat ini. Selain

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(19)

itu perlindungan terhadap harimau juga terdaftar pada Appendix I CITES (Nowell dan Jackson, 1996; UNEP-WCMC, 2014; Goodrich et al., 2015; Rani dan Sinamo, 2016; Kitchener et al., 2017) yang berarti semua perdagangan hewan tersebut termasuk bagian tubuhnya dilarang. Perlindungan dan pelaksanaan secara konsisten terhadap konservasi Harimau Sumatera menjadi penting bagi Indonesia sebagai salah satu negara yang masih memiliki harimau di habitat alaminya, terutama demi mencegah kepunahannya. Nilai-nilai penting terhadap kelestarian harimau cukup luas, dapat mencakup dari sudut pandang ekologi, politik, hukum dan kebijakan, sosial budaya, ekonomi dan ilmu pengetahuan (Haidir et al., 2017). Menindaklanjuti hal tersebut, pemerintah Indonesia telah berkomitmen dan berupaya untuk mencegah punahnya harimau di alam liar dengan cara menggandakan populasi harimau, sehingga nantinya pada tahun 2022 direncanakan berjumlah 560 ekor (World Bank, 2011). Secara garis besar, pemerintah Indonesia menerapkan 3 strategi utama yang dilakukan untuk menggandakan populasi harimau tersebut yaitu dengan cara i)memperkuat penegakan hukum, ii)menerapkan manajemen adaptif berbasis sains dan iii) meningkatkan dasar hukum untuk lanskap habitat harimau prioritas yang berada di luar kawasan lindung (GTI, 2012). Namun hingga saat ini belum ada publikasi yang menyatakan bahwa adanya peningkatan populasi harimau yang hidup liar di habitatnya secara menyeluruh dan cenderung berindikasi menurun. Setidaknya dalam satu dekade terakhir ini kecenderungan penurunan jumlah populasi Harimau Sumatera biasanya dipicu oleh hilangnya habitat harimau akibat deforestasi (Luskin et al., 2017), perburuan dan perdagangan satwa liar terhadap harimau beserta satwa lain yang menjadi pakannya dan terjadinya konflik antara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(20)

manusia dengan harimau (Smith et al., 2018). Sebuah publikasi merangkum bahwa ada 4 faktor yang menjadi penyebab laju penurunan populasi harimau, yaitu akibat dari i) degradasi dan fragmentasi habitat, ii) konflik dengan manusia, iii) eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan iv) kepunahan eksponensial (Haidir et al., 2017). Keempat faktor tersebut disebut sebagai “The Evil Quartet” yang umumnya dapat berpotensi terjadi di seluruh lanskap habitat harimau yang memiliki tutupan hutan sebagai habitat harimau liar di semua provinsi di pulau Sumatera.

Lanskap Leuser-Ulu Masen merupakan penamaan bentang alam habitat harimau yang dianggap sebagai bentang alam prioritas global yang sangat penting dan sangat membutuhkan perlindungan untuk konservasi harimau liar (Wibisono et al., 2011). Lanskap tersebut merupakan gabungan dari Kawasan Ekosistem

Leuser dan Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Setelah peninjauan lebih lanjut, kedua kawasan ekosistem tersebut sejatinya terkonseksi dan merupakan satu kesatuan habitat harimau (Wibisono dan Pusparini, 2010), sehingga bentang alam ini merupakan habitat Harimau Sumatera yang paling luas yaitu dengan luas sekitar ± 3,3 juta hektar (Wibisono et al., 2011). Lanskap Leuser-Ulu Masen merupakan bentang alam habitat harimau yang paling luas, memiliki lebih dari 100 individu harimau yang hidup secara liar dan diyakini berpotensi dalam jangka waktu yang panjang (GTI, 2012). Meskipun demikian, “The Evil Quartet”

masih menjadi tantangan serius yang harus dihadapi di lanskap yang paling sesuai sebagai habitat harimau liar ini, terutama di Provinsi Aceh yang secara administratif merupakan wilayah mayoritas dan identik dengan lanskap Leuser- Ulu Masen.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(21)

Sejak tahun 2010, Provinsi Aceh sudah dikategorikan sebagai salah satu provinsi dengan tingkat konflik manusia yang paling tinggi (Wibisono dan Pusparini, 2010). Data KMH (Konflik Manusia dengan Harimau) tahun 2001- 2016 menunjukkan bahwa setidaknya telah terjadi 230 kasus di Provinsi Aceh.

Kejadian atau kasus KMH yang paling banyak adalah kasus harimau memangsa atau menyerang hewan ternak sebanyak 122 kasus (Kartika, 2016; Sumatran Tiger Project, 2017). Pemberitaan terakhir menyebutkan bahwa kemungkinan hanya tersisa sekitar 200 ekor harimau yang berada di Aceh (sekitar 130 di bagian Kawasan Ekosistem Leuser, 70 ekor harimau di Kawasan Ekosistem Ulu Masen) dan setidaknya sudah tercatat lebih dari 9 kasus KMH yang terjadi sepanjang tahun 2015-2018 sesuai dengan keterangan pihak BKSDA Aceh (Tempo, 2018). Upaya dalam mengurangi konflik antara manusia dengan harimau yang disebabkan oleh manusia itu sendiri merupakan salah satu faktor penting di dalam kesuksesan konservasi harimau (Goodrich, 2010; Walston et al., 2010). Fenomena konflik antara manusia dengan harimau tersebut dapat menjadi salah satu indikator yang menandakan hubungan antar keduanya intens, meskipun dalam konteks negatif. Oleh sebab itu dengan mengetahui bagaimana persepsi hingga perilaku masyarakat itu sendiri terhadap keberadaan harimau kemungkinan dapat menjadi kunci agar tercipta hubungan antara manusia dengan harimau secara harmonis dalam hidup berdampingan, terutama di provinsi Aceh yang memiliki bentang alam paling penting bagi kelestarian harimau dan salah satu provinsi dengan intensitas KMH yang tinggi.

Kecamatan Mane di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah di dalam lanskap Leuser-Ulu Masen yang memiliki karakteristik daerah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(22)

yang khas, karena telah menerapkan pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal yang diyakini sebagai bentuk harmonisasi manusia terhadap alam, termasuk satwa liar yang familiar hidup di dalam hutan yaitu harimau. Pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal tersebut mencakup berbagai hal yang diantaranya berkaitan dengan aktifitas pengelolaan hutan, anjuran dan larangan serta kelembagaan adat (Mardhiah et al., 2018). Beberapa desa di Kecamatan Mane juga sudah memiliki izin Pengelolaan Hutan Desa yang cukup luas, sehingga masyarakat itu sendiri memiliki tanggung jawab dan kesadaran yang tinggi untuk kelestarian hutan di sekitarnya. Demi menjaga kelestarian hutan, masyarakat di Kecamatan Mane telah memuat kearifan lokal tersebut sebagai bagian dari aturan adat yang tertulis dan tercantum di Qanun Mukim Lutueng (Mukim Lutueng, 2012). Hal tersebut menunjukkan bahwa Kecamatan Mane memiliki aturan adat yang tegas dan menganggap bahwa tanggung jawab dalam melindungi hutan juga berarti melindungi keseluruhan yang ada di dalamnya, termasuk harimau yang diyakini oleh beberapa masyarakat lokal sebagai penjaga hutan.

Keberadaan harimau diyakini oleh masyarakat lokal masih sering melintas di hutan yang berada di Kecamatan Mane. Berdasarkan hasil observasi awal (survei pendukung) yang dilakukan peneliti pada 19 Desember 2018 menguatkan bahwa masyarakat di Kecamatan Mane masih menyadari bahwa harimau sebagai penjaga hutan masih sering berkeliaran di hutan, meskipun keberadaannya tidak dilihat secara langsung. Masyarakat lokal menghormati harimau dan menganggap harimau memiliki manfaat dalam membantu menjaga kelestarian hutan. Selain itu, masyarakat juga mengetahui bahwa ada aturan adat yang berlaku yang melarang keras aktifitas perburuan semua satwa liar dan memberi sangsi tegas bagi yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(23)

melanggarnya serta berperan aktif dalam memantau setiap pelanggaran yang terjadi. Oleh sebab itu, masyarakat lokal menganggap perilaku mereka, terutama dalam melindungi hutan, telah berperan juga dalam melindungi kelestarian harimau yang hidup di sekitar hutan mereka.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, penulis meyakini bahwa di Kecamatan Mane hubungan antara manusia dengan harimau dalam hidup berdampingan cukup kuat. Hubungan tersebut telah tercipta dengan sendirinya dalam konteks penerapan aturan adat dan pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal yang berlaku di Kecamatan Mane. Hal ini juga menunjukkan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati di Kecamatan Mane dapat senantiasa terjaga dengan baik sesuai kearifan lokal yang berlaku. Disamping itu, Kecamatan Mane bukanlah daerah yang diproteksi secara khusus dalam perlindungan harimau seperti pada Kawasan Konservasi, sehingga sangat dibutuhkan peran dan kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Namun, masyarakat di Kecamatan Mane menganggap tanggung jawab tersebut sebagai suatu keharusan terutama dalam menjaga hutan di wilayah mereka tetap lestari. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut lagi terhadap keterkaitan hubungan masyarakat dengan harimau di Kecamatan Mane.

1.2. Rumusan Masalah

Permasalahan yang dibahas di dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah persepsi masyarakat terhadap keberadaan harimau di lokasi penelitian?

2. Bagaimanakah kearifan lokal masyarakat yang timbul akibat dari adanya keberadaan harimau di sekitar lokasi penelitian ?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(24)

3. Bagaimanakah upaya mitigasi dan penanggulangan jika terjadi konflik dengan harimau di lokasi penelitian ?

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini merupakan penyelarasan dari rumusan masalah yang dijelaskan sebelumnya, yaitu :

1. Menganalisis persepsi masyarakat terhadap keberadaan harimau di lokasi penelitian.

2. Menganalisis kearifan lokal masyarakat yang berhubungan dan timbul oleh adanya keberadaan harimau yang hidup di sekitar lokasi penelitian

3. Menganalisis upaya mitigasi dan penanggulangan yang dilakukan masyarakat terhadap konflik dengan harimau di lokasi penelitian.

1.4. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tentang persepsi masyarakat terhadap harimau, kearifan lokal masyarakat, upaya mitigasi dan penanggulangan konflik manusia dengan harimau yang dilakukan masyarakat di bagian lanskap Leuser-Ulu Masen yang bukan area konservasi serta daerah yang telah memiliki kearifan lokal yang kuat dalam pengelolaan sumber daya alam hutan.

1.5. Kerangka Berpikir

Harimau merupakan hewan langka, buas dan pada umumnya merupakan hewan yang menakutkan karena dapat menyerang manusia, namun kelestariannya harus dijaga di alam sebagai bagian dari kekayaan sumber daya alam yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(25)

dimiliki Indonesia. Manusia dan harimau sama-sama penting. Keduanya memiliki kebutuhan untuk dipenuhi dalam menunjang kelangsungan hidup masing-masing, dimana sama-sama membutuhkan tempat di bumi untuk hidup dan juga masing- masingnya memiliki peran serta fungsi tersendiri. Manusia membutuhkan lahan sedangkan harimau membutuhkan tutupan hutan sebagai tempat tinggal. Namun sejatinya, luas tempat di bumi terbatas, sehingga manusia dan harimau harus berbagi ruang yang sama untuk hidup di bumi. Manusia sebagai insan yang diberkahi akal dan pikiran diharuskan agar dapat beradaptasi, hidup berdampingan dengan harimau dan membentuk hubungan yang harmonis didalam memanfaatkan tempat yang sama di bumi untuk hidup.

Hubungan antara manusia dengan harimau bila tercipta dengan baik akan memiliki dampak positif berupa kearifan lokal yang khas, dimana manusia telah mampu beradaptasi terhadap keberadaan harimau, sedangkan hubungan yang buruk menimbulkan fenomena konflik manusia dengan harimau yang dapat merugikan salah satu atau kedua belah pihak. Keterkaitan hubungan antara manusia dengan harimau tersebut bermula pada persepsi manusia itu sendiri, kemudian manusia berperilaku sesuai dengan persepsinya tersebut. Oleh sebab itu, manusia harus memiliki persepsi dan perilaku yang pro terhadap konservasi harimau agar tercipta harmonisasi hubungan antara manusia dengan harimau, dimana manusia merasa diuntungkan atau tidak dirugikan sedangkan harimau dapat lestari di alam.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(26)

9 2.1. Harimau Sumatera

Pulau Sumatera adalah satu-satunya pulau di Indonesia yang masih memiliki populasi harimau liar. Di Bali dan Jawa, harimau telah mengalami kepunahan pada abad ke-20. Harimau bali dinyatakan punah pada tahun 1940-an dan harimau jawa sudah tidak terlihat lagi sejak tahun 1980-an (Seidensticker, Jackson dan Christie, 1999; Nyhus dan Tilson, 2004; Dephut, 2007). Harimau dianggap menjadi salah satu megafauna karismatik dengan daya tarik populer yang sering digunakan aktivis lingkungan untuk mencapai tujuan konservasi lingkungan di dunia (Macdonald et al., 2015; Albert, Luque dan Courchamp, 2018). Oleh karena itu, kesuksesan konservasi harimau juga akan berdampak terhadap lingkungan dan pengelelolaan sumber daya alam khususnya di Indonesia.

2.1.1. Status Harimau Sumatera

IUCN (International Union for Conservation of Nature) mengkategorikan harimau secara umum berstatus terancam punah (EN;Endangered) (Goodrich et al., 2015), sedangkan harimau sumatera berstatus sangat terancam punah (CR;Critically Endangered) (Linkie et al., 2008, 2018; Luskin, Albert dan Tobler, 2017; Pusparini et al., 2018) yang berarti tinggal satu langkah lagi berstatus punah di alam liar (EW;Extinct in the Wild).

Mayoritas Harimau Sumatera hidup di 12 bentang alam (lanskap) atau biasa disebut Tiger Conservation Lanscape (TCL) yang mencakup kira-kira

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(27)

88.000 km2 (Wibisono dan Pusparini, 2010) yang berada di seluruh propinsi di pulau Sumatra.

2.1.2. Wilayah jelajah dan teritori

Wilayah jelajah (home range) merupakan seluruh wilayah yang dijelajahi oleh harimau dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Harimau jantan memiliki wilayah jelajah yang lebih luas daripada harimau betina. Harimau jantan mampu menjelajah tiga kali lebih jauh daripada harimau betina, yaitu mencapai 33-65 km sedangkan jarak jelajah rata-rata harimau betina antara 10-33 km. Angka ini bersifat relatif karena daya jelajah harimau juga dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, tipe habitat serta ketersediaan kebutuhan hidupnya (Smith, 1993).

Luas wilayah teritori setiap subspesies harimau berbeda-beda. Hasil survey yang dilakukan terakhir terhadap harimau sumatera dengan menggunakan GPS Collar menunjukkan bahwa harimau sumatera memiliki luas wilayah teritori antara 67,1-400 km2. Sedangkan total wilayah jelajah tiap harinya berkisar antara 8,5-18,9 km (Priatna, Santosa, et al., 2012).

2.1.3. Habitat harimau

Harimau dapat ditemukan di berbagai tipe habitat asal tersedia makanan berupa satwa mangsa yang cukup, terdapat sumber air yang selalu tersedia, dan adanya cover sebagai pelindung dari sinar matahari. Harimau dapat hidup dengan ketinggian antara 0 – 2000 meter di atas permukaan laut dengan habitat favorit berupa hutan bersungai, hutan rawa, dan padang rumput (Borner, 1978).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(28)

2.1.4. Pakan

Kucing besar merupakan karnivora yang cenderung memangsa beberapa jenis mangsa dengan rata-rata 4 jenis satwa mangsa (Kitchener, 1991). Beberapa jenis kucing besar merupakan karnivora yang oportunis dalam preferensi satwa mangsa yang dimakannya, dan ukuran maksimum mangsanya berhubungan dengan ukuran tubuhnya. Jumlah pakan yang dimakan kucing besar kurang lebih seperlima dari massa tubuhnya (Schaller, 2009).

Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3–6 hari sekali tergantung ukuran mangsanya. Seekor harimau betina dapat membunuh seekor kijang seberat 20 kg tiap dua atau tiga hari sekali atau seekor sambar seberat 200 kg setiap beberapa minggu. Biasanya seekor harimau membutuhkan sekitar 5-6 kg daging per hari sehingga harimau biasanya tidak langsung menghabiskan mangsanya, hanya sekitar 70% mangsa yang dimakan saat itu juga (Seidensticker, Jackson dan Christie, 1999). Sisa makanan biasanya disimpan dengan cara menutupinya dengan daun-daunan dan ranting untuk dimakan kembali serta agar mangsanya tidak tercium dan dimakan oleh satwa pemangsa lainnya. Besarnya jumlah kebutuhan harimau akan mangsa tergantung dari apakah harimau tersebut mencari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi makan anaknya.

Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang biasanya memangsa babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), pelanduk napu (Tragulus napu), tapir (Tapirus indicus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), landak (Hystrix brachyura) dan trenggiling (Manis javanica). Harimau kadang-kadang memangsa kijang dan kambing hutan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(29)

pada kawasan dengan ketingian lebih dari 600 meter diatas permukaan laut.

Selain itu, harimau juga memangsa jenis-jenis reptil seperti kura-kura, ular dan biawak serta berbagai jenis burung, ikan dan kodok. Hewan peliharaan seperti kambing, domba, sapi dan ayam juga menjadi incaran harimau (Griffith 1997;

McDougal 1979; Seidensticker 1986; Lekagul & McNeely 1977), akan tetapi komposisi jenis pakan terbesar yang dimangsa harimau adalah mamalia khususnya hewan ungulata (Kitchener, 1991). Harimau dapat bergerak mengunjungi setiap bagian teritorialnya setiap 10 hari sambil mengikuti hewan mangsanya yang secara terus-menerus bergerak aktif ketika harimau aktif bergerak mengejar mangsanya tersebut (Seidensticker, Jackson dan Christie, 1999).

2.1.5. Air

Tidak seperti keluarga kucing yang lain, harimau sangat menyukai air dan dapat berenang (Lekagul dan McNeely, 1977). Harimau merupakan satwa yang tidak tahan terhadap sinar matahari. pada cuaca panas ia lebih suka beristirahat dekat sumber air, bahkan bila cuaca sangat panas ia berendam di air sampai batas leher. Harimau memang sering dijumpai sedang duduk berendam atau berdiri sebagai cara untuk menyejukkan badan (McDougal, 1977). Harimau cenderung membawa mangsanya ke dekat sumber air dan memakannya di sana karena saat makan hariamau berhenti beberapa saat untuk minum dan kembali melanjutkan makannya (Grzimek, 1975; Schlager dan Murphy, 2003).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(30)

2.1.6. Tutupan lahan

Harimau merupakan satwa yang tidak tahan dengan panasnya sengatan matahari dan umumnya mencari tempat yang teduh untuk beristirahat (Lekagul dan McNeely, 1977). Harimau tidak ditemukan dalam habitat terbuka, biasanya mereka mendiami daerah yang lebih tertutup yang akan memudahkan mereka untuk berburu dan menyerang mangsanya secara tiba-tiba. Hutan sekunder yang disebabkan oleh adanya penebangan kayu secara selektif merupakan habitat yang optimal untuk satwa mangsa harimau karena ketersediaan tumbuhan pakan dan memiliki kerapatan cover yang tinggi (Borner, 1978).

2.1.7. Ciri-ciri morforlogi harimau

Secara umum ciri morfologi harimau adalah sama, merupakan kucing besar dengan keunikan memiliki loreng di seluruh tubuhnya. Ukuran tubuh harimau berkisar antara 140 - 280 cm, panjang ekor antara 60 - 110 cm.

Umumnya bobot badan harimau jantan lebih berat daripada bobot badan harimau betina. Bobot badan harimau jantan berkisar antara 100 - 140 Kg dan harimau betina antara 75 - 110 Kg. Tinggi harimau (jarak kaki ke pundak) antara 95-119 cm tergantung subspesies (IUCN, 1996).

Iris mata harimau berwarna kuning dengan pupil mata berbentuk bulat.

Pada telinga bagian belakang berwama hitam dengan noda putih yang mencolok, sebagai tanda visual untuk membantu anak mengikuti induknya pada waktu malam hari (Tilson et al., 1996).

Harimau mempunyai tungkai kaki belakang yang kuat karena dipergunakan untuk menangkap mangsa yang besar sebelum dibunuh dengan menggigit lehernya. Jejak kaki harimau bervariasi tergantung umur tetapi tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(31)

akurat untuk memperkirakan jumlah pada sensus populasi harimau berdasarkan ukuran jejaknya. Besar kecilnya jejak dipengaruhi juga oleh struktur dan kepadatan tanah yang diinjak harimau.

2.1.8. Tanda Keberadaan Harimau

Keberadaan harimau disuatu wilayah secara sederhana dapat diidentifikasi jika pernah terlihat atau terjadinya konflik dengan manusia. Selain itu, ada beberapa hal juga yang menandakan sebagai tanda keberadaan harimau dengan ditemukannya jejak tapak harimau, bekas kotoran (feses) harimau, bekas kaisan harimau di tanah, bekas urin (kencing) harimau, adanya bekas cakaran harimau di pohon, bangkai, kubangan yang dibuat harimau, tulang, suara, gesekan badan, tandukan, bekas makan, sarang dan bekas sosoran (rooting) harimau (Pinondang et al., 2018).

2.1.9. Karakteristik Harimau

Dalam buku panduan pemantauan populasi harimau yang diterbitkan oleh Kementrian LHK, dijelaskan enam karakteristik harimau yang perlu dipahami, terutama untuk memastikan keberhasilan upaya pelaksanaan teknis dalam memantau populasi harimau. Keenam karakteristik tersebut yaitu harimau bersifat kriptif, elusif, memiliki kepadatan rendah, bergantung pada kelimpahan mangsa, bersifat teritorial, dan memiliki daerah jelajah yang luas (Haidir et al., 2017).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(32)

a. Kriptif (Cryptic), yaitu sifat suatu benda atau makhluk yang dapat menyamar atau tersamarkan. Harimau memiliki sifat dapat berkamuflase dalam melakukan perburuan satwa mangsa, karena harimau berambut kuning keemasan dengan garis hitam adalah penyamaran yang hampir sempurna ketika mengintai mangsa. Pola loreng tubuh harimau yang berbaur dengan diantara pepohonan hutan yang lebat, cahaya dan bayangan membuat keberadaannya juga sulit untuk diketahui.

b. Elusif (Elusive), yaitu harimau memiliki sifat sukar dipahami. Makna dari elusif ini codong kepada harimau yang memiliki sifat yang cenderung menghindar dari pandangan dan interaksi dengan manusia.

c. Kepadatan rendah, karena hasil berbagai survei di beberapa Taman Nasional di Pulau Sumatera menunjukkan bahwa terdapat variasi kepadatan harimau dalam area seluas 100 km2. Sifat ini juga dipengaruhi oleh perilaku harimau yang soliter dan memiliki daerah jelajah yang luas serta kelimpahan mangsa di habitat harimau tersebut.

d. Tergantung mangsa (prey based), yang berarti karakteristik harimau dipengaruhi oleh kelimpahan mangsa utama di habitatnya. Hal ini merupakan sifat alami satwa liar dimana satwa harus senantiasa mencari makanan (mangsa) sebagai kebutuhan untuk bertahan hidup di alam liar.

e. Harimau memiliki wilayah jelajah yang luas. Sebagaian waktu hidup harimau digunakan untuk menjelajah dengan maksud untuk memenuhi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(33)

kebutuhannya dalam memangsa, beristirahat, bereproduksi, mencari tempat perlindungan dan aktivitas lainnya.

f. Harimau bersifat teritorial, yaitu menguasai suatu luasan tertentu sebagai daerah kekuasaannya untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Setiap individu harimau, baik jantan atau betina, memiliki luasan teritori yang berbeda. Luasan teritori harimau juga bergantung pada kondisi lingkungan, jenis kelamin, kelas umur, dan keberadaan mangsanya.

2.2. Fenomena Konflik Manusia-Harimau

Dampak dari adanya keberadaan harimau adalah timbulnya suatu kejadian atau fenomena yang berdampak negatif dari berbagai hal. Fenomena atau kejadian tersebut biasanya disebut konflik antara manusia dengan harimau (KMH). Konflik manusia dan satwa liar adalah segala interaksi antara manusia dan satwa liar yang mengakibatkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi, kebudayaan, dan pada konservasi satwa liar dan atau pada lingkungannya. Konflik antara manusia dan satwa liar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwa liar (Kementrian Kehutanan, 2008). Satwa liar yang dimaksud mencakup keseluruhannya, baik yang berstatus dilindungi maupun tidak dilindungi termasuk satwa liar harimau sumatera.

Konflik antara manusia dengan harimau atau lazim disebut Konflik Manusia-Harimau (KMH) atau juga disebut Human-Tiger Conflict (HTC) dapat disebabkan oleh faktor makanan dan ruang. Aktivitas perburuan satwaliar

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(34)

terutama yang merupakan hewan mangsa harimau sangat mempengaruhi ketersediaan pakan bagi harimau. Sementara itu, konversi hutan menjadi pemukiman, perkebunan, pertambangan dan jaringan jalan telah mempersempit habitat yang dapat dihuni oleh harimau. Meningkatnya laju konversi hutan di Sumatera serta tingginya aktivitas perburuan satwa telah meningkatkan intensitas KMH (Priatna, Novarino, et al., 2012).

Dalam hal ini konflik manusia dengan harimau KMH mengacu pada definisi yang dijelaskan pada dokumen BKSDA Aceh yang merupakan gabungan dari definisi yang disebutkan sebelumnya. KMH merupakan suatu kejadian atau fenomena, maka konflik manusia dan harimau adalah segala interaksi antara manusia dan harimau yang mengakibatkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi, dan budaya yang terjadi di luar kawasan hutan (Irvansyah et al., 2017).

2.2.1. Tipe Konflik Manusia-Harimau

Terdapat 3 tipe konflik antara manusia dengan harimau yaitu (Dephut, 2007; Priatna, Novarino, et al., 2012):

1. Harimau terdeteksi di sekitar pemukiman atau ladang, tidak ada konflik langsung namun menyebabkan ketakutan atau dianggap mengancam oleh masyarakat. Biasanya masyarakat akan mencoba menangkap atau membunuh harimau. Pada tipe ini, sebenarnya ancaman terhadap manusia masih rendah. Sebaliknya ancaman terhadap harimau lebih besar. Pada situasi ini, bagi harimau bisa saja merupakan indikasi untuk berkembang menjadi tipe konflik kedua.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(35)

2. Harimau memangsa hewan peliharaan atau ternak. Merupakan bentuk konflik yang paling umum di banyak negara termasuk di Pulau Sumatera.

Dapat menyebabkan hilangnya pendapatan dan kerugian bagi masyarakat, serta meningkatkan citra negatif terhadap harimau sehingga akhirnya dapat meningkatkan keinginan untuk membunuhnya. Sisa hewan yang dimangsa sering digunakan sebagai umpan untuk menangkap harimau, kemudian membunuh dan menjual bagian tubuh harimau tersebut.

3. Harimau menyerang manusia. Walaupun relatif jarang namun di beberapa tempat cukup sering terjadi. Frekuensi serangan harimau yang terjadi dapat menyebabkan kuatnya respon negatif dari masyarakat bahkan pemerintah daerah setempat.

2.2.2. Klasifikasi Konflik Manusia-Harimau

Terdapat 3 klasifikasi konflik harimau dengan manusia yaitu konflik rendah, sedang dan tinggi. Konflik tersebut dinyatakan bisa berlangsung dalam bentuk skenario berikut (Dephut, 2007; Kartika dan Koopmans, 2013):

1. Skenario pertama, konflik rendah, yaitu apabila daerah tumpang tindih antara aktivitas manusia dan harimau tidak terlalu nyata. Sebagai akibatnya, kemungkinan konflik pada daerah ini rendah. Skenario ini terjadi jika daerah aktivitas manusia dan harimau memiliki batas yang jelas, di mana harimau tidak mampu meninggalkan hutan dan akses manusia ke dalam hutan sangat terbatas.

2. Skenario kedua, konflik sedang. yaitu apabila manusia memiliki akses ke sumberdaya hutan, sementara hutan tersebut memiliki daya dukung yang cukup untuk mendukung harimau pada kelimpahan sedang. Sebagai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(36)

akibatnya, koeksistensi antara manusia dan harimau menjadi tinggi, sehingga kemungkinan konflik juga menjadi lebih tinggi. Skenario ini umumnya terjadi pada hutan-hutan lindung, di mana kegiatan perlindungan jarang dilakukan, serta pada kawasan agroforestri dan kawasan hutan multiguna, di mana kepadatan satwa mangsa harimau dan manusia tinggi.

3. Skenario ketiga, konflik tinggi, yaitu pada daerah hunian manusia yang terisolasi, yang dikelilingi oleh habitat harimau yang sangat luas. Situasi ini mewakili pembangunan wilayah pemukiman di tengah hutan dengan kepadatan harimau yang tinggi.

2.2.3. Prinsip Penanggulangan Konflik Manusia-Satwa Liar

Terdapat 5 prinsip yang harus diperhatikan dalam penanggulangan konflik antara manusia dengan satwa liar yaitu (Kementrian Kehutanan, 2008):

1. Manusia dan satwa liar sama-sama penting.

Konflik manusia dan satwa liar menempatkan kedua pihak pada situasi dirugikan. Dalam memilih opsi-opsi solusi konflik yang akan diterapkan, pertimbangan langkah untuk mengurangi resiko kerugian yang diderita oleh manusia, secara bersamaan harus didasari pertimbangan terbaik untuk kelestarian satwa liar yang terlibat konflik.

2. Spesifk areal.

Secara umum konflik muncul antara lain karena rusak atau menyempitnya habitat satwa liar yang disebabkan salah satunya karena aktifitas pembukaan areal dan konversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan atau Hutan Tanaman Industri. Disamping itu, berkurangnya satwa mangsa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(37)

(khususnya untuk harimau) karena perburuan liar, juga sering menimbulkan konflik. Variasi karakteristik habitat, kondisi populasi, dan faktor lain seperti jenis komoditas, membuat intensitas dan solusi penanganan konflik bervariasi di masing-masing wilayah, menuntut penanganan yang berorientasikan kepada berbagai faktor yang berperan dalam sebuah konflik. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya pilihan kombinasi solusi yang beragam pula di masing-masing wilayah konflik.

Solusi yang efektif disuatu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi konflik di daerah lain, demikian pula sebaliknya.

3. Tidak ada solusi tunggal

Konflik memiliki beragam dimensi yang kompleks, sehingga penyelesaiannya dapat ditempuh melalui banyak pilihan. Karenanya, rangkaian kombinasi penanggulangannya perlu ditelaah secara mendalam untuk memberikan bentuk penyelesaian yang menyeluruh, efisien dan optimal.

4. Skala lansekap

Satwa liar tertentu, termasuk gajah dan harimau, memiliki daerah jelajah yang sangat luas. Upaya penanggulangan konflik yang komprehensif harus berdasarkan penilaian yang menyeluruh dari keseluruhan daerah jelajahnya (home range based mitigation)

5. Tanggungjawab multi pihak

Selain sebagai sebuah isu konservasi, konflik juga mempengaruhi dan memiliki dampak sosial dan ekonomi di daerah. Sehingga penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar ini harus

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(38)

melibatkan berbagai pihak yang terkait termasuk dunia usaha dan para pengguna lahan skala luas untuk berbagi tanggung jawab.

2.2.4. Pemicu terjadinya KMH

Sebelum pihak otoritas melakukan penanggulanan KMH, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi pemicunya. Hal tersebut digunakan sebagai inikator untuk mengetahui bagaimana penanggulangan terhadap konflik tersebut. Dalam hal ini pihak BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Provinsi Aceh telah mengeluarkan SOP (Standar Operasional Prosedur) penanggulangan konflik manusia dengan harimau karena seringnya fenomena tersebut terjadi dan berdampak merugikan. Konflik manusia dengan harimau yang terjadi di Provinsi Aceh terjadi dipicu oleh (Irvansyah et al., 2017):

1. Perkebunan skala kecil dan besar

2. Pemungutan HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) 3. Pertambangan rakyat dan pertambangan skala besar 4. Perburuan satwa mangsa (rusa, kijang, babi hutan) 5. Perburuan harimau

6. Pembalakan liar

7. Peternakan dan penggembalaan hewan ternak dalam kawasan hutan

2.3. Lanskap Leuser-Ulu Masen

Lanskap Leuser-Ulu Masen adalah penyebutan bentang alam dalam bidang konservasi harimau sumatera yang mencakup wilayah Kawasan Ekosistem Ulu Masen (Provinsi Aceh) dan Kawasan Ekosistem Leuser (Provinsi Aceh-Provinsi Sumatera Utara). Pada tahun 2010 ditemukan adanya indikasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(39)

keterhubungan antara KEL dan Ulu Masen sebagai kesatuan habitat harimau (Wibisono dan Pusparini, 2010), selanjutanya diperjelaskan lagi pada hasil survei okupansi pertama yang menyeluruh di pulau sumatera (Wibisono et al., 2011).

Lanskap ini merupakan bentang alam prioritas yang paling sesuai dengan konservasi harimau liar yang kelestariannya sangat membutuhkan perhatian dan perlindungan (Wibisono et al., 2011). Lanskap Leuser-Ulu Masen dapat dilihat pada lingkaran merah di Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Leuser-Ulu Masen pada peta hunian harimau Sumber : Peta hunian harimau (Wibisono et al., 2011)

Kawasan Ekosistem Ulu Masen merupakan kawasan hutan yang berada di bagian Utara Propinsi Aceh yang mencakup taman nasional dan konservasi alam (Wikipedia, 2017). Wilayah tersebut memiliki keunikan tersendiri karena terdiri dari hutan dataran rendah dan dataran tinggi (Adriana, 2011; Wikipedia, 2017)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(40)

dengan meliputi luas lebih dari 7.000 km2 (Clarke, 2010; Linkie et al., 2014;

Cochard, 2017; Kurnadi, 2017) dan masih bertatus sebagai hutan lindung (Linkie et al., 2014; Sloan et al., 2018). Terdapat 6 kabupaten yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Ulu Masen yaitu (Husnan et al., 2013; Kurnadi, 2017;

Wikipedia, 2017):

1. Aceh Besar (Darul Imarah, Darul Kamal, Indrapuri, Kota Jantho, Kuta Cot Glie, Kuta Malaka, Lhoong, Leupung, Lhoknga, Seulimeum, Lembah Seulawah, Suka Makmur, dan Simpang Tiga).

2. Pidie (Keumala, Tiro, Tangse, Mane, Geumpang, Sakti, Padang Tiji, Mila, Glumpang Tiga dan Delima).

3. Pidie Jaya (Meurah Dua Bandar Baru, Bandar Dua, Meureudu, Trienggadeng dan Ulim).

4. Aceh Jaya (Teunom, Panga, Krueng Sabee, Setia Bakti, Sampoiniet dan Jaya)

5. Aceh Barat (Sungai Mas, Kaway XVI dan Pantai Ceureumen) 6. Sebagian kecil wilayah Aceh Tengah.

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) terletak di dua provinsi paling utara Sumatera (Aceh dan Sumatera Utara), dengan luas 2,6 juta hektare yang sangat kaya keanekaragaman hayati. KEL ini terbentang di 13 Kabupaten (Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang) di Provinsi Aceh dan 4 Kabupaten Langkat, Dairi, Karo dan Deli Serdang di Sumatera Utara.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(41)

24 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian di Kecamatan Mane

Lokasi penelitian berada di Kecamatan Mane Kabupaten Pidie Provinsi Aceh, dapat dilihat pada Gambar 3.1. Kecamatan Mane memiliki satu Mukim (institusi pemerintah adat dibawah kecamatan yang membawahi gabungan dari beberapa gampong / desa di Provinsi Aceh) yaitu Mukim Lutueng. Mukim Lutueng / Kecamatan Mane terdiri dari 4 desa/gampong yaitu :

1. Desa Lutueng, 2. Desa Mane, 3. Desa Turue Cut, 4. Desa Blang Dalam.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(42)

Peneltian ini dilakukan selama bulan Nopember 2018 hingga Juni 2019.

Tahap persiapan di bulan Nopember 2018 – Januari 2019 yaitu studi literatur dan observasi awal penelitian. Pengambilan data lapangan selama bulan Februari- Maret 2019. Proses analisis data selama bulan April-Mei 2019 dan tahap publikasi karya ilmiah selesai di bulan Juni-Juli 2019.

3.2. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendeketan gabungan antara kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan cara survei kepada sampel penelitian. Kuesioner survei tersebut di susun menjadi berbagai pertanyaan dengan bobot nilai yang ditentukan peneliti, sehingga diketahui distribusi, nilai rataan, frekuensi dan persentasenya.

Sedangkan pendekatan kualitatif berdasarkan deskripsi dari hasil observasi yang dilakukan di lokasi penelitian, wawancara mendalam terhadap informan penelitian dan studi dokumentasi.

3.3. Objek / Sampel dan Informan Penelitian 3.3.1. Populasi

Salah satu tujuan penelitian adalah menjelaskan sifat populasi. Populasi dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulan subjek, variabel, konsep, atau fenomena (Morissan, 2017). Populasi di dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang berada di Kecamatan Mane. Sesuai dengan data yang ditampilkan pada Tabel 3.1 maka jumlah populasi yaitu berjumlah 2.607 keluarga.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(43)

Tabel 3.1. Data penduduk Kecamatan Mane tahun 2018

No Nama Desa Jumlah Jiwa Jumlah Keluarga

1 Blang Dalam 1.900 476

2 Lutueng 2.264 454

3 Mane 4.700 1.260

4 Turue Cut 9.43 417

Total 9.807 2.607

Sumber : Kantor Camat Mane, 2019

3.3.2. Sampel

Sampel di dalam penelitian ini adalah kepala keluarga yang bertempat tinggal di lokasi penelitian. Perhitungan untuk menentukan ukutan sampel yang diambil menggunakan rumus Slovin (Yusuf, 2016) sebagai berikut :

= 1 + .

dimana s = sampel, N = populasi, e = derajat ketelitian atau nilai kritis yang diinginkan.

Dengan diketahui besaran populasi sebesar 2.607 dan dengan menggunakan derajat ketelitian atau nilai kritis yang diinginkan sebesar 10% atau 0,10 maka perhitungan untuk mengetahui ukuran sampel sebagai berikut :

= 2607

1 + 2607 0.10 =

2607

1 + 2607 0,01 =

2607 1 + 26,07 =

2607

27,07 = 96,31 Hasil dari perhitungan diatas, diketahui bahwa jumlah sampel yang akan dijadikan responden adalah 96 kepala keluarga. Akan tetapi untuk mempermudah perhitungan dan pendistribusian, maka peneliti menambahkan sedikit jumlah sampel menjadi sebanyak 100 responden agar mempermudah perhitungan frekuensinya serta pendistribusiannya tiap desa di lokasi penelitian.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(44)

Besaran sampel yang akan dijadikan responden dapat dilihat pada Tabel 3.2 yang berjumlah 100 dan didistribusikan sesuai dengan persentase jumlah keluarga disetiap desa (3,8%).

Tabel 3.2. Ditribusi jumlah sampel

No Nama Desa Jumlah Keluarga Jumlah Sampel

1 Mane 1.260 48

2 Blang Dalam 476 18

3 Lutueng 454 17

4 Turue Cut 417 16

Total 2.607 s =100

Selanjutnya sampel diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Sampel yang akan diambil adalah 100 keluarga di Kecamatan Mane yang berkaitan dengan salah satu kriteria sebagai berikut :

a. Bertempat tinggal berjarak 0,5 km dari hutan atau kawasan hutan

b. Memiliki kebun atau sawah yang berada di dalam radius 500 meter dari hutan

c. Beraktifitas masuk ke dalam hutan (contohnya memungut rotan di dalam hutan)

d. Memiliki hewan ternak yang bisa dimungkinkan menjadi satwa mangsa harimau, seperti kerbau, sapi, ayam, itik.

3.3.3. Informan penelitan

Dalam mendukung hasil kuesioner yang ditujukan kepada responden, peneliti telah melakukan wawancara dan diskusi mendalam dengan beberapa informan. Informasi yang didapati dari informan tersebut akan di deskripsikan di

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(45)

dalam menganalisis perilaku masyarakat. Informan yang dimaksud tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Informan peneliti

No Informan Keterangan

1 Pihak BKSDA Aceh Pihak otoritas yang berwenang terhadap urusan satwa;

2 Pihak FFI-Aceh LSM yang memiliki program kerja dalam berbagai hal di Kecamatan Mane dan sekitarnya.

3 Tokoh Masyarakat Tokoh masyarakat di Kecamatan Mane yang dijadikan informan sebagai berikut:

a. Kepala Camat,

b. Imuem (Ketua) Mukim, c. Kepala desa,

d. Tokoh pemuda

4 Pawang harimau Pawang harimau adalah seseorang yang memiliki keahlian dalam menangani harimau berbasis kearifan lokal. Pawang harimau yang bernama Sarwani Sabi

3.4. Pengumpulan Data 3.4.1. Data penelitian

Data yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu:

1. Data primer, yaitu : data survei perilaku masyarakat terhadap keberadaan harimau, data kearifan lokal dan adaptasi masyarakat terhadap ancaman satwa liar.

2. Data sekunder, yaitu peta administrasi kecamatan, peta fungsi kawasan, data kependudukan, data KMH 2009-2018 Provinsi Aceh, data temuan keberadaan harimau, Qanun Mukim Lutueng Kecamatan Mane No. 1 tentang aturan adat dan dokumen SOP Penanggulangan Konflik Manusia dengan Harimau Provinsi Aceh.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(46)

3.4.2. Teknik pengumpulan data

Dalam memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Studi literatur dan dokumentasi, teknik pengumpulan data dengan cara membaca literatur yang berhubungan dengan judul penelitian ini dan mengambil data berdasarkan dokumen atau laporan yang ada pada BKSDA Aceh dan lembaga lain yang memiliki program kerja di sekitar lokasi penelitian

2. Kuesioner, yaitu mengumpulkan data dengan menggunakan daftar pertanyaan atau daftar isian terhadap objek yang diteliti, objek dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bertempat tinggal dan melakukan keseharian aktifitas di lokasi penelitian.

3. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan langsung melalui cara tanya jawab yang dilakukan terhadap objek yang diteliti. Objek dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bertempat tinggal dan melakukan keseharian aktifitas di lokasi penelitian.

4. Observasi, dilakukan untuk mengumpulkan data terkait adaptasi dan mitigasi masyarakat terhadap konflik harimau.

3.5. Definisi Variabel Penelitian 3.5.1. Definisi KMH

Dalam penelitian ini skema KMH dapat terjadi di dalam maupun diluar kawasan hutan dengan ketentuan tertentu yang dijelaskan pada Tabel 3.4. Makna dari kejadian KMH didalam penelitian ini ditinjau apabila kejadian tersebut sudah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(47)

menimbulkan dampak atau kerugian baik di sisi manusia dan atau di sisi harimau dan juga kejadian tersebut harus dilaporkan dan diketahui oleh pihak otoritas.

Dalam hal ini pihak otoritas yang menangani KMH adalah pihak BKSDA setempat, sehingga jika tercatat KMH maka telah dilakukan verifikasi

Tabel 3.4. Pendefinisian klasifikasi tipe KMH No Tipe Skenario

1. rendah Harimau terlihat masuk ke permukiman dan membuat resah masyarakat;

2. sedang Harimau masuk ke permukiman masyarakat dan mengakibatkan adanya korban ternak (terluka / mati);

3. tinggi harimau masuk ke permukiman masyarakat, menyerang manusia yang mengakibatkan terluka atau meninggal;

harimau terluka atau terbunuh di area permukiman masyarakat atau di dalam kawasan hutan akibat dari serangan manusia secara langsung atau akibat jerat yang dipasang manusia;

3.5.2. Definisi perilaku masyarakat

Definisi perilaku masyarakat digunakan dalam mencermikan suatu sikap dan perilaku sosial dari masyarakat terhadap harimau. Kategori aspek yang digunakan tersebut merupakan variabel yang digunakan untuk mengkuantifikasi persepsi, sikap dan perilaku masyarakat. Penggunaan kategori aspek tersebut berlandaskan pada variabel sosial yang telah digunakan pada penelitian peneliti lain untuk mengkuantifikasi sesuatu yang ada pada masyarakat yang berhubungan dengan harimau (Tjamin et al., 2017; McKay et al., 2018; St. John et al., 2018; Struebig et al., 2018).

Ada 7 kategori aspek yang digunakan (Struebig et al., 2018) di dalam penelitian ini yaitu :

1. Toleransi terhadap keberadaan harimau (Tolerance) 2. Reaksi emosi/perasaaan terhadap harimau (Affect)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(48)

3. Sikap membunuh dan melindungi harimau (Attitude) 4. Norma dalam memburu harimau (Norm)

5. Pola pikir kepercayaan masyarakat terhadap harimau (Beliefs) 6. Sikap percaya masyarakat kepada pihak otoritas (Trust) 7. Penanganan skenario konflik (Management scenario)

3.6. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan adalah kuesioner survei. Kuesioner dilihat pada Lampiran 1 digunakan untuk mengkuantifikasikan bagaimana perilaku masyarakat terhadap keberadaan harimau di lokasi penelitian. Terdapat 16 pertanyan didalam survei ini yang jawabannya bersifat tertutup (ditentukan oleh peneliti) dan jawaban tunggal. Selanjutnya jawaban diberi bobot dengan skala likert antara 1 sampai 5.

Untuk mengukur sikap dan perilaku masyarakat tersebut maka peneliti menggunakan kuesioner yang akan dibagikan kepada masyarakat dengan mengadopsi aspek kajian yang sudah pernah dilakukan peneliti lain penelitian terdahulu (Tjamin et al., 2017; McKay et al., 2018; Struebig et al., 2018).

Kategori aspek di dalam kuesioner tersebut sebagai berikut : 1. Toleransi terhadap keberadaan harimau (Tolerance)

Pertanyaan yang mengandung makna toleransi (tolerance) masyarakat setujukah dengan keberadaan harimau.

2. Reaksi emosi/perasaaan terhadap harimau (Affect)

Ada 2 bagian pertanyaan dalam aspek pengaruh (affect) yaitu pertanyaan yang mendeskripsikan persepsi baik-buruk terhadap harimau dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(49)

petanyaan tentang berbahaya-tidak berbahaya harimau. Kedua poin jawaban terhadap pertanyaan tersebut disesuaikan dengan skala likert 1-5 (setuju – tidak setuju)

3. Sikap membunuh dan melindungi harimau (Attitude)

Pertanyaan yang mengandung makna sikap (attitude) masyarakat dengan harimau terhadap i) membunuh dan ii) melindungi harimau. Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut menggunakan skala 5 poin, mulai dari sangat setuju – sangat tidak setuju.

4. Norma dalam memburu harimau (Norm)

Pertanyaan yang mengandung makna normatif (norms) atau boleh tidaknya menangkap harimau, yang ditujukan jika pada dirinya sendiri (responden) dan jika dia (responden) melihat orang lain yang menangkap harimau. Jawaban menggunakan skala 5 poin (sangat setuju – sangat tidak setuju).

5. Pola pikir kepercayaan masyarakat terhadap harimau (Beliefs)

Pertanyaan yang mengandung anggapan keyakinan (belief) terhadap pengaruh keberadaan harimau dengan aspek i)spritual, ii)kesehatan jasmani/fisik dan iii)pengaruhnya terhadap kerusakan lingkungan. Ketiga pertanyaan tersebut memiliki jawaban dengan 5 skala poin mulai dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju.

6. Sikap percaya masyarakat kepada pihak otoritas (Trust)

Pertanyaan tentang kepercayaan (trust) masyarakat kepada pihak yang memiliki otoritas (dalam hal ini BKSDA) dalam i) membuat keputusan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(50)

yang tepat untuk mengelola satwa liar di sekitar desa meraka dan ii) membuat masyarakat aman dari satwa liar berbahaya. Kedua pertanyaan tersebut memiliki jawaban dengan 5 skala poin (sangat setuju – sangat tidak setuju).

7. Penanganan skenario konflik (Management scenario)

Pertanyaan yang mengkaji bagaimana perilaku masyarakat untuk setiap skenario konflik manusia-harimau (Management scenarios), yaitu i) jika harimau muncul (terlihat) tetapi tidak ada ancaman atau kerusakan/kerugian yang timbul, ii) jika terjadi skenario KMH bertipe rendah, iii) jika terjadi skenario KMH sedang, iv) jika terjadi skenario KMH tinggi. Jawaban untuk keempat pertanyaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5. Penilaian pada jabawan kuesioner skenario konflik harimau

Jawaban (d) Bobot

(+) Melapor ke pihak berwenang atau instansi otoritas terkait lain 5 Membiarkannya saja / tidak melakukan apapun 4

Berusaha untuk mengusirnya ke hutan 3

Berusaha menangkapnya, memindahkannya ke tempat lain /

translokasi 2

Berusaha menyerang atau membunuh harimau. 1

Seluruh pertanyaan berjumlah 16 dapat dilihat ringkasannya pada Tabel 3.6 dan pembobotan yang ada di tabel tersebut di jelaskan pada Tabel 3.5 dan Tabel 3.7.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(51)

Tabel 3.6. Pertanyaan pada kuesioner

No Kategori, Pertanyaan Jawaban

1 Toleransi terhadap keberadaan harimau (Tolerance) 1.1 Setujukah responden terhadap keberadaan harimau di

hutan sekitar mereka.

Setuju-tidak setuju (+) 2 Reaksi emosional/perasaaan terhadap harimau (Affect)

2.1 Tanggapan responden terkait baik atau buruk kah harimau. (BadGood)

Baik-buruk (+)

2.2 Tanggapan responden terkait berbahaya atau tidaknya harimau. (DangHarm)

Berbahaya-tidak berbahaya (+) 3 Sikap terhadap keberadaan harimau (Attitude)

3.1 Setujukah responden untuk membunuh harimau pada suatu kejadian. (Kill tiger)

Setuju-tidak setuju (-)

3.2 Setujukah responden untuk melindungi harimau pada suatu kejadian. (Protect tiger)

Setuju-tidak setuju (+) 4 Norma menangkap/berburu harimau (Norm)

4.1 Setujukah responden secara normatif untuk menangkap harimau. (Injunctive)

Setuju-tidak setuju (-)

4.2 Setujukah responden jika melihat orang lain disekitarnya memburu harimau. (Descriptive)

Setuju-tidak setuju (-) 5 Pola pikir kepercayaan masyarakat terhadap harimau (Beliefs)

5.1 Setujukah responden bahwa harimau bisa meningkatkan kesejahteraan rohani spritual.

Setuju-tidak setuju (-)

5.2 Setujukah responden bahwa harimau bisa meningkatkan kesehatan fisik jasmani

Setuju-tidak setuju (-)

5.3 Setujukah responden bahwa keberadaan harimau bisa merusak lingkungan

Setuju-tidak setuju (-) 6 Kepercayaan ke pihak otoritas (trust)

6.1

Setujukah responden bahwa pihak otoritas sudah membuat keputusan yang baik dalam mengelola konflk satwa liar.

Setuju-tidak setuju (+)

6.2 Setujukah responden bahwa pihak otoritas sudah membuat masyarakat aman dari gangguan satwa liar.

Setuju-tidak setuju (+) 7 Penanganan skenario konflik (Management scenarios)

7.1 Respon jika melihat harimau (belum ada dampak/kerugian) dan belum termasuk KMH

sesuai Tabel 3.5 (+) 7.2 Respon jika terjadi KMH 1 (rendah) sesuai Tabel 3.5 (+) 7.3 Respon jika terjadi KMH 2 (sedang) sesuai Tabel 3.5 (+) 7.4 Respon jika terjadi KMH 3 (tinggi) sesuai Tabel 3.5 (+)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar

Gambar 2.1. Leuser-Ulu Masen pada peta hunian harimau  Sumber : Peta hunian harimau  (Wibisono et al., 2011)
Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian di Kecamatan Mane
Tabel 3.1. Data penduduk Kecamatan Mane tahun 2018
Tabel 3.2. Ditribusi jumlah sampel
+7

Referensi

Dokumen terkait

(3) Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa kampas rem mobil dengan memanfaatkan serat bambu sebagai salah satu bahan penyusun mempunyai performansi

Hubungan Sikap Dengan Kunjungan Antenatal Care (ANC) Di Kota Surakarta, Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa hubungan pengetahuan

iskurus tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan di kalangan umat Islam di Indonesia telah memasuki dasawarsa keempat, namun hasil sosialisasi yang dilakukan oleh berbagai pihak

Oleh karena itu, manajemen perusahaan harus mampu untuk mengelola sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan secara efektif dan efisien sehingga pada akhirnya

Daerah turning basin(Gambar 7) dari kolam pelabuhan sendiri berkisar antara angka 15-17 meter dengan dominansi kedalaman sekitar 15 meter yang hampir menyentuh batas ambang

Metodologi yang digunakan untuk pengelasan gesek yaitu dengan eksperimen yang menggunakan parameter pengelasan seperti friction time, friction pressure, upset time

PADA HARI SELASA BERTARIKH 17 JANUARI 2012 JAM 9.00 PAGI DALAM KAMAR PENOLONG KANAN PENDAFTAR. MAHKAMAH TINGGI

Untuk rancangan dan perkembangan pengelolaan aset adalah aset tersebut akan diserahkan kepada Pusat Teknologi Roket, Deputi Teknologi Dirgantara, LAPAN, untuk