TESIS
Oleh
T. SYAH MUHAMMAD PARUNGGIT
107011035/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
T. SYAH MUHAMMAD PARUNGGIT
107011035/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 107011035 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S.)
Pembimbing Pembimbing
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN)(Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : T. SYAH M. PARUNGGIT
Nim : 107011035
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PELAKSANAAN PRINSIP IKTIKAD BAIK
PEMEGANG KARTU KREDIT DIKAITKAN DENGAN PERJANJIAN JUAL BELI
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama : T. SYAH M. PARUNGGIT
Kartu kredit merupakan salah satu sarana untuk memudahkan transaksi jual beli yang melibatkan pihak bank/perusahaan penerbit, pemegang kartu kredit dan penjual. Namun dalam praktik penggunaan kartu kredit sangat ditentukan oleh itikad baik para pihak dalam menjalankan kewajibannya, dimana dapat saja dalam perjanjian terjadi wanprestasi khususnya oleh pemegang kartu kredit.
Penulisan bertujuan untuk menjelaskan perjanjian jual beli dengan kartu kredit, penerapan prinsip itikad baik pemegang kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli serta akibat hukum yang timbul apabila dalam penggunaan kartu kredit terjadi wanprestasi oleh pemegang kartu kredit.
Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang pelaksanaan prinsip iktikad baik pemegang kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk perjanjian jual beli dengan kartu kredit adalah jual beli dengan pembayaran secara kredit/angsuran. Perjanjian jual beli dengan kartu kredit dalam prakteknya mengikat para pihak dalam bentuk hubungan hubungan hukum dalam lalu lintas pembayaran yang merupakan realisasi dari perjanjian yang telah dilakukan oleh para pihak yang terkait dalam pengunaan kartu kredit dan mengacu kepada persyaratan dan ketentuan Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUH Perdata. Pelaksanaan prinsip itikad baik pemegang kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli adalah dengan mematuhi dan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Upaya yang dilakukan apabila dalam penggunaan kartu kredit terjadi wanprestasi oleh pemegang kartu kredit pada awalnya pihak bank akan melakukan upaya seperti halnya penyelesaian tunggakan kredit pada umumnya dan apabila tidak membawa hasil pihak bank menempuh mekanisme penggunaan jasa penagih hutang (debt collector).
Disarankan kepada pemegang kartu kredit agar dapat melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya, kepada pihak bank/perusahaan lembaga pembiayaan yang menggunakan penagih hutang (debt collector) dalam penagihan hutang agar terlebih dahulu menyeleksi sumberdaya manusia dari penagih hutang (debt collector) agar terhindari dari akibat hukum atas tindakan penagih hutang (debt collector). Kepada pembuat undang-undang agar dapat mengupayakan suatu bentuk ketentuan yuridis yang tidak berbenturan dengan ketentuan yang ada terhadap penggunaan jasa penagih hutang dalam perjanjian kartu kredit termasuk pembatasan tindakan dalam melakukan penagihan serta tanggung jawab bank terhadap tindakan penagih hutang.
A credit card is one of the facilities for facilitating buying and selling transaction which involves a bank or a company as the publisher, credit card holders, and sellers. In practice, however, the use of credit cards is determined by the good faith of the parties concerned in taking their responsibilities since it is not possible that there is a default in the contract conducted especially by the credit card holders.
The aim of the research was to explain the purchase agreement by using credit cards, the implementation of good faith principle by the credit card holders related to the purchase agreement, and the legal consequences of using credit cards when there is a default by the credit card holders.
The research used descriptive analytic method and judicial normative approach which described and analyzed the implementation of good faith principle of credit card holders related to purchase agreement.
The result of the research showed that purchase agreement by using credit cards was buy and sell with credit or installment plan. In practice, purchase agreement by using credit cards performs binding agreement among the parties concerned in legal relationship in payment as the realization of the contract, using credit cards, and is referred to the requirements and stipulation of Article 1320 in conjunction with Article 1338 of the Civil Code. The implementation of good faith principle of credit card holders related to purchase agreement is by complying with and implementing their obligation as it is stipulated in the contract. If there is a default by the credit card holders, the Bank will perform the same process as what it does by settling delinquency in credit; and, if the method fails, it can use debt collectors.
It is recommended that credit card holders should take their responsibility properly and the Bank or the company as the financial institution that uses debt collectors in dunning debtors for payment should select the debt collectors in order to avoid legal consequence caused by them. It is also recommended that law makers should be able to make regulations which do not deviate from legal provisions in the case of debt collectors in purchase agreement, do some restrictions for them, and be responsible for their dunning debtors for payment.
Puji syukur dipanjatkan sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya
dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
dengan judul “PELAKSANAAN PRINSIP IKTIKAD BAIK PEMEGANG KARTU KREDIT DIKAITKAN DENGAN PERJANJIAN JUAL BELI”.Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih
yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat
dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., MS., Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., MS., CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., S.H., CN, M.Hum., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan
arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil
sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna
dan terarah.
dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister
Fakultas Hukum Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat
selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.
6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama
menjalani pendidikan.
7. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas
8. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih
sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Kedua orang tua serta
Saudara-saudariku yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis.
Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada
Sylvana Amelia Fauzi yang selama ini telah menjadi inspirasi dan memberikan
semangat sehingga menjadi motivasi warna tersendiri dalam kehidupan dan juga
dalam penyelesaian tesis pada di Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun
besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan
pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada
kita semua.Amien Ya Rabbal ‘Alamin
Medan, Januari 2013 Penulis,
I. DATA PRIBADI
Nama : T. Syah Muhammad Parunggit
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 28 April 1986
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Jln. STM No. 73 A, Medan
Telepon/Hp : 081361000622
II. KELUARGA
Nama Ayah : T. Husni O. Delikhan
Nama Ibu : Maureen Gunawan
III. PENDIDIKAN FORMAL
SD HARAPAN 1 MEDAN lulus tahun 1998
SLTP HARAPAN 1 MEDAN lulus tahun 2001
SMA NEGERI 1 MEDAN lulus tahun 2004
S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan lulus tahun 2009
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penelitian ... 11
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12
G. Metode Penelitian ... 27
BAB II BENTUK PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN KARTU KREDIT DAN KAITANNYA DENGAN SYARAT-SYARAT SAH PERJANJIAN ... 33
A. Pengertian Perjanjian pada Umumnya ... 33
B. Syarat-Syarat Untuk Sahnya Suatu Perjanjian ... 45
C. Pembatalan dan Hapusnya Suatu Perjanjian ... 55
D. Perjanjian Jual Beli dengan Kartu Kredit dan Kaitannya dengan Syarat Sahnya Perjanjian ... 65
BAB III PENERAPAN PRINSIP ITIKAD BAIK PEMEGANG KARTU KREDIT DIKAITKAN DENGAN PERJANJIAN JUAL BELI ... 71
A. Pengertian Itikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli... 71
B. Perjanjian Jual Beli dan Perjanjian Kartu Kredit ... 76
PENGGUNAAN KARTU KREDIT TERJADI
WANPRESTASI OLEH PEMEGANG KARTU KREDIT . 97
A. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Melalui
Kartu Kredit ... 97
B. Prestasi dan Wanprestasi dalam Perjanjian Kartu Kredit .... 102
C. Penyelesaian Wanprestasi dalam Penggunaan Kartu Kredit Oleh Pemegang Kartu Kredit ……….. 110
D. Penggunaan Jasa Penagih Hutang (Debt Collector) Dalam Penyelesaian Wanprestasi Oleh Pemegang Kartu Kredit ... 119
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 130
A. Kesimpulan ... 130
B. Saran ... 131
Kartu kredit merupakan salah satu sarana untuk memudahkan transaksi jual beli yang melibatkan pihak bank/perusahaan penerbit, pemegang kartu kredit dan penjual. Namun dalam praktik penggunaan kartu kredit sangat ditentukan oleh itikad baik para pihak dalam menjalankan kewajibannya, dimana dapat saja dalam perjanjian terjadi wanprestasi khususnya oleh pemegang kartu kredit.
Penulisan bertujuan untuk menjelaskan perjanjian jual beli dengan kartu kredit, penerapan prinsip itikad baik pemegang kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli serta akibat hukum yang timbul apabila dalam penggunaan kartu kredit terjadi wanprestasi oleh pemegang kartu kredit.
Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang pelaksanaan prinsip iktikad baik pemegang kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk perjanjian jual beli dengan kartu kredit adalah jual beli dengan pembayaran secara kredit/angsuran. Perjanjian jual beli dengan kartu kredit dalam prakteknya mengikat para pihak dalam bentuk hubungan hubungan hukum dalam lalu lintas pembayaran yang merupakan realisasi dari perjanjian yang telah dilakukan oleh para pihak yang terkait dalam pengunaan kartu kredit dan mengacu kepada persyaratan dan ketentuan Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUH Perdata. Pelaksanaan prinsip itikad baik pemegang kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli adalah dengan mematuhi dan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Upaya yang dilakukan apabila dalam penggunaan kartu kredit terjadi wanprestasi oleh pemegang kartu kredit pada awalnya pihak bank akan melakukan upaya seperti halnya penyelesaian tunggakan kredit pada umumnya dan apabila tidak membawa hasil pihak bank menempuh mekanisme penggunaan jasa penagih hutang (debt collector).
Disarankan kepada pemegang kartu kredit agar dapat melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya, kepada pihak bank/perusahaan lembaga pembiayaan yang menggunakan penagih hutang (debt collector) dalam penagihan hutang agar terlebih dahulu menyeleksi sumberdaya manusia dari penagih hutang (debt collector) agar terhindari dari akibat hukum atas tindakan penagih hutang (debt collector). Kepada pembuat undang-undang agar dapat mengupayakan suatu bentuk ketentuan yuridis yang tidak berbenturan dengan ketentuan yang ada terhadap penggunaan jasa penagih hutang dalam perjanjian kartu kredit termasuk pembatasan tindakan dalam melakukan penagihan serta tanggung jawab bank terhadap tindakan penagih hutang.
A credit card is one of the facilities for facilitating buying and selling transaction which involves a bank or a company as the publisher, credit card holders, and sellers. In practice, however, the use of credit cards is determined by the good faith of the parties concerned in taking their responsibilities since it is not possible that there is a default in the contract conducted especially by the credit card holders.
The aim of the research was to explain the purchase agreement by using credit cards, the implementation of good faith principle by the credit card holders related to the purchase agreement, and the legal consequences of using credit cards when there is a default by the credit card holders.
The research used descriptive analytic method and judicial normative approach which described and analyzed the implementation of good faith principle of credit card holders related to purchase agreement.
The result of the research showed that purchase agreement by using credit cards was buy and sell with credit or installment plan. In practice, purchase agreement by using credit cards performs binding agreement among the parties concerned in legal relationship in payment as the realization of the contract, using credit cards, and is referred to the requirements and stipulation of Article 1320 in conjunction with Article 1338 of the Civil Code. The implementation of good faith principle of credit card holders related to purchase agreement is by complying with and implementing their obligation as it is stipulated in the contract. If there is a default by the credit card holders, the Bank will perform the same process as what it does by settling delinquency in credit; and, if the method fails, it can use debt collectors.
It is recommended that credit card holders should take their responsibility properly and the Bank or the company as the financial institution that uses debt collectors in dunning debtors for payment should select the debt collectors in order to avoid legal consequence caused by them. It is also recommended that law makers should be able to make regulations which do not deviate from legal provisions in the case of debt collectors in purchase agreement, do some restrictions for them, and be responsible for their dunning debtors for payment.
A. Latar Belakang
Perkembangan perekonomian dan kemajuan masyarakat terutama di bidang
perdagangan, uang sebagai alat pembayaran dirasakan mempunyai kelemahan dalam
menyelesaikan transaksi-transaksinya, terutama untuk transaksi dalam jumlah yang
besar. Adanya perkembangan perekonomian ini merupakan salah satu wujud dari
kebebasan dari warga negara dan masyarakat untuk melakukan berbagai transaksi
dalam memenuhi kehidupannya.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia …”. Hal ini merupakan landasan hukum dalam
upaya melindungi segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi orang-orang yang
melakukan perbuatan hukum tertentu seperti transaksi jual beli Selanjutnya
Undang-Undang Dasar 1945, juga mengatur bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.1 Ketentuan ini menjelaskan
bahwa setiap orang bebas melakukan berbagai hal guna mempertahankan hidupnya,
seperti dalam hal ini transaksi jual beli yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya.
1
Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi juga mengatakan bahwa transaksi jual
beli merupakan hak setiap individu/manusia, dikatakan demikian karena jual beli
merupakan suatu kegiatan manusia yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari.2 Dalam suatu transaksi jual beli, apapun jenis benda yang
diperjual-belikan mulai dari jual beli biasa seperti jual beli permen di kios-kios
sampai jual beli yang dilakukan secara tertulis seperti jual beli tanah, bebas untuk
dilakukan dengan syarat tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Menurut Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945, disebutkan
bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku sebelum
diadakan yang beru menurut undang-undang dasar ini. Ketentuan tersebut
mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia masih
tetap berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan
peraturan perundang-undangan lainnya apabila ketentuan termaksud memang belum
diubah atau dibuat yang baru.
Berbicara mengenai transaksi jual beli secara elektronik, tidak terlepas dari
konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUH
Perdata yang menegaskan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata,
2Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi Lany,Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia,
yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan,
sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka dari KUH Perdata ini
tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas Kebebasan
Berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi
perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya
perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatakan
bahwa, syarat sahnya sebuah perjanjian adalah sebagai berikut :
1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang
membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh ada
pakasaan, kekhilapan dan penipuan(dwang, dwaling, bedrog).
Dalam melaksanakan jual beli ini tentuan memerlukan adanya alat atau
instrument untuk melakukan pembayaram. Instrumen/alat pembayaran merupakan
media yang digunakan dalam pembayaran. Instrumen pembayaran saat ini dapat
diklasifikasikan atas tunai dan non-tunai. Instrumen pembayaran tunai adalah uang
kartal yang terdiri dari uang kertas dan uang logam yang sudah dikenal selama ini.
non-tunai dengan media kertas atau lazim disebut paper-based instrument seperti,
cek, bilyet giro, wesel dan lain-lain serta alat pembayaran non-tunai dengan media
kartu atau lazim disebutcard-based instrumentseperti kartu kredit, kartu debit, kartu
ATM dan lain-lain.3
Adanya penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran ini adalah akibat
perkembangan perekonomian dan kemajuan masyarakat terutama di bidang
perdagangan, uang sebagai alat pembayaran dirasakan mempunyai kelemahan dalam
menyelesaikan transaksi-transaksinya, terutama untuk transaksi dalam jumlah yang
besar. Penyelesaian transaksi dengan membawa sejumlah uang yang besar selain
tidak praktis, juga dapat menimbulkan risiko-risiko tertentu.
Adanya risiko dalam penyelesaian transaksi dengan membawa sejumlah uang
atau secara tunai disebabkan beberapa faktor antara lain :
1. Sulitnya pengangkutan uang tunai dari negara yang satu ke negara yang lain. 2. Mahalnya biaya pengangkutan uang tunai, karena bahannya yang berat. 3. Adanya risiko pengangkutan uang dan perampokan sebagai akibat situasi
yang belum sepenuhnya aman.4
Adanya risiko tersebut, maka untuk mengatasi keadaan tersebut di atas, maka
dicarilah jenis alat pembayaran baru selain mata uang. Alat pembayaran yang
dimaksud adalah dengan mempergunakan surat-surat atau akta-akta lain yang bernilai
uang. Surat-surat atau akta-akta yang bernilai uang ini disebut surat perniagaan
3Annonimous, Instrumen Pembayaran (Pengantar Sistem Pembayaran & Instrumen
Pembayaran),Direktorat Akunting Dan Sistem Pembayaran Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional, Jakarta, tanpa tahun, hlm 2
4Soeratno,Cek Sebagai Alat Pembayaran Tunai dan Masalahnya, Fakultas Hukum UNDIP,
(handelspapieren).5 Dalam perkembangan selanjutnya, dunia perbankan melahirkan
suatu tawaran instrumen baru. Alat pembayaran baru yang disajikan mengandung
berbagai kemudahan bagi siapa saja yang berhak mengunakannya yaitu Kartu
Kredit.6
Timbulnya kartu kredit/credit cardsebagai alat pembayaran jenis baru, adalah
merupakan salah satu usaha perkembangan dari potensi, inisiatif dan daya kreasi di
bidang alat-alat pembayaran yang ada di dalam masyarakat. Di Indonesia penggunaan
Kartu Kredit mulai diperkenalkan tahun 1980-an oleh bank-bank tertentu di Amerika
(Contoh: Bank Of America). Perkembangan penggunaan Kartu Kredit boleh
dikatakan sangat pesat. Perkembangan tersebut sebenarnya didorong oleh berbagai
faktor yang berkenaan dengan pengunaan kemudahan, kepraktisan dan citra diri
pemegang kartu.7
Dalam hal pengggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam transaksi
jual beli melibatkan tiga komponen yaitu pengguna (nasabah), bank (sebagai pemberi
bantuan dana), danmerchant (toko, super market, dan lain-lain). Sebagai salah satu
alat/sarana pembayaran, Kartu Kredit relatif mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu
5H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia., Djambatan, Jakarta,
1984, hlm.1.
6Sri Redjeki Hartono, Aspek Hukum Penggunaan Kartu Kredit, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1994, hlm.3.
7Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
dibandingkan dengan alat pembayaran tunai. Nilai lebih pengunaan Kartu Kredit
dapat diperoleh untuk dua pihak sekaligus, yaitu:8
1. Keuntungan bagi para pemegang Kartu Kredit:
a. Membeli barang atau jasa dalam jumlah yang besar tanpa menggunakan uang
tunai atau cek.
b. Menikmati fasilitas kredit dengan batas tertentu.
Berbagai ragam pembelian dengan jangka waktu 1 (satu) bulan baru dilunasi.
2. Keuntungan bagi para penerima Kartu Kredit:
a. Kredit dapat diberikan tanpa kemungkinan risiko macet, mengingat bank
sebagai penjaminnya.
b. Lebih aman daripada membawa uang tunai dalam jumlah yang besar.
c. Orang biasanya lebih senang berbelanja dengan mempergunakan Kartu
Kredit.
3. Keuntungan lain bagi penerbitan Kartu Kredit adalah:9
a. Sebagai salah satu penambah keuntungan.
b. Sebagai suatu promosi.
Penggunaan Kartu Kredit dalam fungsinya sebagai alat/sarana pembayaran,
telah memberikan suatu substitusi alat pembayaran yang sah (uang kertas dan logam).
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kartu kredit merupakan instrumen baru dalam
dunia perdagangan dan merupakan surat-surat berharga yang mempunyai nilai uang.
8Thomas Suyatno, dkk,Kelembagaan Perbankan, Kerjasama Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Perbanas dan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm. 59.
9Simorangkir, Seluk-Beluk Bank Komersial, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1986,
Berlakunya Kartu Kredit di masyarakat apabila berhubungan dengan hukum,
maka hukum dipandang sebagai sesuatu yang esensial bagi penciptaan dan
pembinaan pasar-pasar. Sifat esensial hukum di sini disebabkan oleh karena mampu
memberikan prediktabilitas (peramalan) kepada para pelaku ekonomi, atau dengan
perkataan lain dapat memberikan kepastian hukum dalam rangka mereka
menjalankan usahanya. Namun demikian, dalam pelaksanaannya penggunaan kartu
kredit sebagai alat pembayaran juga tidak terlepas dari adanya itikad baik dari para
pihak dalam hal penerbitan kartu kredit termasuk pula dalam pelaksanaan transaksi
jual beli.
Keterangan secara jujur akan menjadi prinsip yang sangat penting
dalam pelaksanaan perjanjian perjanjian kartu kredit dan juga dalam transaksi
jual beli. Prinsip itikad baik ini atau dalam istilah hukum dikenal dengan
utmost good faith, yaitu para pihak memberikan informasi yang benar dalam
setiap transaksi yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Salah satu bentuk pelanggaran terhadap prinsip itikad baik/utmost good
faith, adalah memberikan informasi mengenai kemampuan calon pemegang
atau pemohon kartu kredit tentang kemampuan untuk menutupi nilai transaksi
yang nantinya dilakukan dengan kartu kredit, termasuk pula dalam hal ini
tujuan penggunaan kartu kredit di kemudian hari. Pelanggaran tersebut dapat
menyebabkan persoalan hukum dikemudian hari terhadap pelaksanaan
perjanjian kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual beli.
Apabila dilihat dari para pihak dalam perjanjian atau transaksi jual beli
satu sarana untuk memudahkan transaksi jual beli. Dalam hal ini terdapat tiga
komponen : pengguna (nasabah), bank (sebagai pemberi bantuan dana), danmerchant
(toko, super market, dan lain-lain.). Nasabah mengajukan aplikasi kepada suatu bank
yang menyediakan kartu kredit untuk memberinya fasilitas kartu kredit. Pihak bank
akan menentukan layak tidaknya orang tadi mendapatkan fasilitas itu sesuai dengan
kriteria yang dimilikinya. Tiap bank biasanya memiliki kriteria yang berbeda. Bila
pihak bank menetapkan kelayakannya maka orang tersebut menjadi nasabah pemilik
kartu kredit yang biasanya, sesuai bank masing-masing, harus membayar iuran
tahunan sebagai biaya operasional. Namun demikian para pihak dalam
penggunaan/penerbitan/pemakaian kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam
transaksi jual beli tidak selamanya melaksanakan prestasi seperti yang diperjanjikan
baik karena kesengajaan, kesilapan maupun dengan berbagai alas an lainnya.
Padahal pada awalnya memiliki rekening kredit, maupun kartu kredit
menunjukkan seseorang dipercaya oleh bank atau lembaga keuangan untuk
bertransaksi seperti transaksi jual beli dengan kartu kredit. Namun kemudian,
apabila ditelaah lebih jauh penggunaan dana kredit dapat saja tidak sesuai
dengan tujuan yang direncanakan pada awal pengajuaannya berpeluang untuk
menimbulkan perselisihan apabila terjadi tunggakan dalam pembayaraannya.
Seperti halnya dalam suatu transaski jual beli dapat saja terjadi perbuatan
melawan hukum oleh pemegang kartu kredit dalam bertransaski yang
kemudian membuka peluang terjadinya kerugian bagi bank.
Demikian pula halnya dengan bisnis kartu kredit oleh bank, di mana
pembayaran yang dilakukan melalui kartu kredit. Nasabah sebagai konsumen
pada awalnya diberikan program menarik supaya menggunakan kartunya, lalu
rasio pembayarannya pada level yang sehat supaya neracanya tetap seimbang.
Hal ini diharapkan penerbit kartu kredit mendapat keuntungan dari dua hal,
pertama komisi (fee base income) dari tiap transaksi oleh pemegang kartu dan
kedua, dari bunga (interest income) neraca pembayaran pemilik kartu. Namun
kemudian apabila pemakaian kartu tinggi, neracanya tidak sehat tentunya
berpeluang terjadi tunggakan dan kredit atau pembiayaan yang diberikan
macet. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah
lebih lanjut mengenai pelaksanaan transaksi jual beli dengan menggunakan kartu
kredit dikaitkan dengan prinsip itikad baik pemegang kartu kredit. Penelaahan ini
nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Pelaksanaan Prinsip
Iktikad Baik Pemegang Kartu Kredit Dikaitkan dengan Perjanjian Jual Beli”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa
permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk perjanjian jual beli dengan menggunakan kartu
kredit?
2. Bagaimanakah pelaksanaan prinsip itikad baik pemegang kartu kredit
dikaitkan dengan perjanjian jual beli?
3. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan apabila dalam penggunaan kartu
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan
dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk perjanjian jual beli dengan
menggunakan kartu kredit.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan prinsip itikad baik pemegang
kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya hukum yang dapat dilakukan
apabila dalam penggunaan kartu kredit terjadi wanprestasi oleh pemegang
kartu kredit.
D. Manfaat Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perbankan dan lembaga keuangan
lainnya pada khususnya, terutama mengenai masalah
penggunaan/penerbitan/pemakaian kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam
perjanjian jual beli.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat,
kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam perjanjian jual beli, agar lebih
mengetahui tentang hak dan kewajibannya terhadap
penggunaan/penerbitan/pemakaian kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam
perjanjian jual beli.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis
lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan
beberapa beberapa penelitian yang menyangkut produk bank syari’ah, namun
memang ditemukan adanya dua penelitian yang berkaitan yaitu :
1. Penelitian Oleh Muhammad Andi Hakim, Nim 077011046 dengan judul,
“Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Penyalahgunaan Kartu
Kredit”.
2. Penelitian Oleh Mhd Dhana Surya Ginting , Nim 087011068 dengan judul
“Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit
(Studi Kasus Pada Bank Danamon Medan)”.
Apabila dilihat dari topiknya kedua penelitian memang mengambil topic yang
sama dengan penelitian ini yaitu tentang kartu kredit, Namun permasalahan yang
dikaji adalah berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini yang berjudul “Pelaksanaan
adalah merupakan suatu penelitian yang baru dan asli adanya. Artinya secara
akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum
ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Di dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka
teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro, bahwa
untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian
harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis.10 Teori dimaksud adalah untuk
menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,11
dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat
menunjukkan ketidakbenarannya.12 Hal ini sesuai dengan Soerjono Soekanto yang
mengatakan bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial juga sangat ditentukan oleh teori.13 Teori
adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses
10Ronny H. Soemitro,Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia, Jakarta , 1992, hlm. 37. 11
J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996, hlm. 203. lihat M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 27. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di ssini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
12Ibid.
tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta
yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.14
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan
pegangan teoritis.15 Dengan demikian, pemikiran teoritis ini dijadikan kerangka
pikir dalam suatu penelitian hukum yang dijadikan alat untuk menganalisis
dasar penulisan tesis.
Apabila dikaitkan dengan identifikasi masalah yang diteliti dalam tesis
ini, maka penelitian ini menggunakan landasan teori yang berkaitan dengan
lahirnya beberapa peraturan hukum positif diluar KUHPerdata sebagai konsekuensi
dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum kekayaan dan hukum
perikatan. Salah satunya adalah aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin
yang mengartikan:
Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical
system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak
didasarkan pada penilaian baik-buruk.16
14J.J.J. M. Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press,
Jakarta, , 1996, hlm. 203.
15M. Solly Lubis,Op.Cit.,hlm 80.
16Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002,
Salah satu teori hukum positif yang diterapkan dalam pembuatan perjanjian
termasuk dalam hal ini perjanjian penerbitan kartu kredit maupun transaksi jual beli
antara underwriter dan emiten adalah teori hasrat. Menurt teori hasrat dalam suatu
perjanjian prestasi kedua belah pihak dalam suatu kontrak yang menekankan kepada
pentingnya “hasrat” (will atauintend) dan pihak yang memberikan janji. Ukuran dan
eksistensi, kekuatan berlaku dan substansi dan suatu perjanjian diukur dan hasrat
tersebut, yang terpenting dalam suatu kontrak atau penjanjian bukan apa yang akan
dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, tetapi apa yang mereka inginkan.
Jadi suatu perjanjian mula-mula dibentuk berdasarkan kehendak para pihak.17
Selanjutnya menurut teori yang dikemukan oleh Van Dunne, yang
mengartikan tentang perjanjian, yaitu “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.18 Teori tersebut
tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan
sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian,
yaitu :19
1. Tahappra contractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan
2. Tahapcontractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para
pihak;
3. Tahappost contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian
17Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dan Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra AdityaBakti,
Bandung, 2001, hlm. 5
18Lely Niwan,Hukum Perjanjian. Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia
Proyek Hukum Perdata, Yogyakarta 1987, hlm. 26
19Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Direktorat Jenderal
Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai
kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai
materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam
perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau
ketentuan yang disepakati.
Dalam suatu perjanjian terdapat beberapa asas, diantaranya adalah asas
Kebebasan Berkontrak dan asas Konsensualisme (consensualisme). Asas
Konsensualisme(consensualisme)adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian itu
telah lahir pada saat atau detik tercapainya kata sepakat di antara pihak-pihak yang
melakukan perjanjian tersebut20. Asas konsensualisme mendasari lahirnya suatu
perjanjian dari kata sepakat yang timbul antara kedua belah pihak yang mengadakan
suatu perjanjian, selain asas konsensualisme ada juga asas kebebasan berkontrak yang
mengatur dibentuknya perjanjian. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang
menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian)
yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum21.
Asas kebebasan berkontrak bersifat mengatur, hal ini sesuai dengan Pasal
1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat
20Benyamin Asri Dan Thabrani Asri,Tanya-Jawab Pokok-Pokok Hukum Perdata dan Hukum
Agraria”, Armico, Bandung, 1987, hlm. 81.
21Ridwan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2000,
untuk hal-hal yang yang tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang, maksudnya para pihak dalam suatu perjanjian pada prinsipnya bebas
untuk menentukan isi perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang, dan yang lebih penting isi perjanjian tersebut sesuai
dengan syarat sahnya perjanjian seperti yang diterangkan dalam Pasal 1320
KUH-Perdata.
Pengertian jual beli dalam Pasal 1457 KUH Perdata adalah suatu perjanjian,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat kita lihat bahwa jual beli merupakan suatu
bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan
sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual
oleh penjual dan penyerahan uang atau pembayaran harga atas benda oleh pembeli
kepada penjual.
Jual beli merupakan perjanjian konsensualisme, hal ini dapat kita temukan
dalam rumusan Pasal 1458 KUH-Perdata yang menyatakan bahwa jual beli itu
dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang ini
mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu
dianggap terjadi pada saat pembeli mengambil barang tersebut dan membayar
harganya kepada penjual.22
Dalam perjanjian jual beli, asas kebebasan berkontrak dinilai penting bagi
pihak-pihak dalam jual beli karena hal ini berarti adanya kebebasan bagi mereka
dalam menentukan isi(causa)dari jual beli yang mereka buat. Akan tetapi, perjanjian
(kontrak) tersebut harus tetap memperhatikan syarat-syarat untuk sahnya suatu
perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata, sebab perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata)23.
Adapun syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah
sebagai berikut (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) Cakap untuk
membuat suatu perjanjian, (3) Suatu hal tertentu dan (4) Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi
dua syarat pokok yaitu sebagai berikut.
a. Syarat Subjektif.
Syarat subjektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan
bertindak dalam bidang hukum.24 Kedua syarat ini dikatakan subjektif karena
ditujukan kepada orang atau objek yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat
22Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli Seri Hukum Perikatan, Rajawali Pers,
Jakarta, 2003, hlm. 48.
23Ridwan Syahrani,Op. Cit.,hlm. 212.
24Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), Raja Grafindo Persada, Jakarta,
subjektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang bersangkutan dapat dibatalkan.
Adapun yang membatalkan suatu perjanjian itu adalah hakim dengan permintaan dari
orang yang berkepentingan.
b. Syarat Objektif
Syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Kedua
syarat ini dikatakan syarat objektif karena merupakan benda atau objek dari
perjanjian. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.25
Apabila dikaitkan dengan penggunaan kartu kredit dalam suatu transaksi atau
perjanjian jual beli sebagai alat pembayarannya, maka hal ini terkait pula dengan teori
tentang kartu kredit, dimana kartu kredit merupakan bagian dari surat berharga.
Rachmadi Usman mengatakan bahwa Penggunaan Kartu Kredit dalam fungsinya
sebagai alat/sarana pembayaran, telah memberikan suatu substitusi alat pembayaran
yang sah (uang kertas dan logam). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Kartu
kredit merupakan instrumen baru dalam dunia perdagangan dan merupakan
surat-surat berharga yang mempunyai nilai uang. Surat-surat-surat berharga ini secara konseptual
dapat dibedakan atas surat berharga (Warde Papier) dan surat yang berharga (Papier
Van Waraade).26 Tentang pengertian surat berharga dan surat yang berharga tidak
secara tegas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Agar dapat disebut sebagai surat berharga, maka surat itu harus mempunyai 2
(dua) fungsi, yaitu sebagi alat untuk dapat diperdagangkan dan sebagai alat bukti
25Ibid.
terhadap tuntutan hutang yang telah ada.27Di samping itu, ada yang memberikan pula
fungsi surat berharga meliputi surat bukti tuntutan hutang, pembawa hak dan mudah
dijual belikan.28Abdulkadir Muhammad, mengatakan bahwa suatu surat untuk dapat
dikatakan sebagai surat berharga itu mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu:
1. Sebagai alat pembayaran (alat tukar uang).
2. Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (diperjual belikan dengan mudah
atau sederhana).
3. Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi).29
Ternyata, sungguhpun Kartu Kredit telah mirip dengan surat berharga, tetapi
dalam pengertian hukum belumlah dapat dipandang sebagai surat berharga. Sebab,
jika dilihat dari ketiga fungsi surat berharga tersebut, hanya fungsi yang pertama yang
dipenuhi oleh suatu surat berharga, yaitu fungsinya sebagai alat pembayaran
(pengganti uang kontan), sedangkan fungsi kedua tidak terpenuhi sama sekali.
Sementara fungsi ketiga juga tidak terpenuhi, walaupun secara tidak langsung hak
tagih tersebut dapat dipenuhi tetapi bukan oleh Kartu Kredit, melainkan oleh slip
pembayaran yang telah ditandatangani oleh pemegang Kartu Kredit.
Berlakunya kartu kredit di masyarakat apabila berhubungan dengan hukum,
maka hukum dipandang sebagai sesuatu yang esensial bagi penciptaan dan
pembinaan pasar-pasar. Sifat esensial hukum di sini disebabkan oleh karena mampu
27Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, Seksi Hukum
Dagang Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1982, hlm.9.
28H.M.N. Purwosutjipto,Op.Cit. hlm. 5-6.
29Abdulkadir Muhammad,Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Citra Aditya Bakti,
memberikan prediktabilitas (peramalan) kepada para pelaku ekonomi, atau dengan
perkataan lain dapat memberikan kepastian hukum dalam rangka mereka
menjalankan usahanya.
Oleh karena itu, dalam melaksanakan perannya di tengah kehidupan bersama,
hukum memiliki fungsi yang sangat penting, yang oleh J.F. Glastra Van Loon dalam
bukunya Dirdjosisworo disebutkan yaitu:30
1. Penertiban (penataan) masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup. 2. Penyelesaian pertikaian.
3. Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan-aturan dan jika perlu dengan kekerasan.
4. Pengertian atau memelihara dan mempertahankan hal tersebut.
5. Pengubahan tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka penyesuaian pada kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat.
6. Pengaturan tentang pengubahan tersebut, agar dapat memenuhi tuntutan keadilan (rechsvaardigheid), hasil guna (doelmatigheid) dan kepastian hukum (rechtzekerheid).
Perjanjian jual beli diatur dalam Buku III Bab V, Pasal 1457 sampai dengan
Pasal 1540 KUH Perdata. perjanjian jual beli dapat dilihat dalam Pasal 1457 KUH
Perdata, yang menyebutkan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Pada umumnya, suatu
perjanjian hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang membuatnya (Pasal 1340 KUH
Perdata), karena seperti yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa
suatu perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
30Soedjono Dirdjosisworo,Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum,
yang membuatnya. Maksud dari “perjanjian yang dibuat secara sah” adalah perjanjian
yang dibuat, tidak bertentangan dengan undang-undang karena isi perjanjian tersebut
bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian.
Selain itu, itikad baik dalam melaksanakan suatu perjanjian mempunyai
peranan yang penting, Subekti mengatakan bahwa itikad baik merupakan sendi yang
terpenting dalam hukum perjanjian, karena merupakan landasan utama untuk dapat
melaksanakan suatu perjanjian dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya31.
Dari pengertian di atas, maka dalam perjanjian jual beli ditemukan ada dua
kewajiban, yaitu (1) Kewajiban dari pihak penjual, untuk menyerahkan barang yang
dijual kepada pembeli dan (2) Kewajiban pihak pembeli, untuk membayar harga
barang yang dibeli kepada penjual.32
Atas dasar pengertian yang disebut dalam butir 2, tentang kewajiban pihak
pembeli untuk membayar harga barang yang dibeli kepada penjual, maka harga
barang yang harus dibayar oleh pihak pembeli kepada penjual haruslah berupa uang
rupiah. Mengingat hal tersebut di atas, maka dapat diasumsikan bahwa dengan
menunjukkan Kartu Kredit dan dengan menandatangai faktur yang telah tersedia pada
toko-toko, restoran, hotel-hotel dan lain-lain, berarti pemegang kartu telah melakukan
pembayaran untuk transaksi yang telah dibuatnya, karena pembayaran (betaling)
adalah tidak hanya terbatas pada masalah yang berkaitan dengan pelunasan hutang
31Riduan Syahrani,Op. Cit.,hlm. 259.
semata-mata. Ditinjau dari segi yuridis teknis, ditentukan bahwa pembayaran tidak
selamanya mesti berujud sejumlah uang atau barang tertentu, akan tetapi bisa saja
dalam bentuk pemenuhan jasa, atau pembayaran dalam bentuk tidak berujud atau
immaterial.33Di samping itu, bahwa pembayaran dapat dilakukan dengan bebas yang
perlu adalah pembayaran yang dilakukan seseorang itu dimaksudkan untuk
memenuhi prestasi perjanjian, sudah cukup bagi hukum.34 Mengingat penggunaan
kartu kredit adalah kalangan tertentu yang penghasilan per bulannya memenuhi
standar yang telah ditentukan, maka dapat dipastikan bahwa masalah hukum yang
timbul dari praktik penggunaan kartu kredit akan sangat bervariasi macam dan
bentuknya.
Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum antara bank atau
lembaga non bank sebagai kreditur dengan nasabah pemegang kartu
kredit sebagai debitur adalah didasarkan pada adanya perjanjian penyaluran
dana dalam berbagai bentuk sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.
Namun kemudian akibat salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya
memberikan hak tagih bagi kreditur atas hutang debitur sebagaimana diatur
dalam asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 Jo 1320 KUH Perdata) menurut
hukum perjanjian Indonesia, meliputi ruang lingkup sebagai berikut :
Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk
menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya, kebebasan untuk menentukan objek perjanjian, kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian, dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (Aanvullend Optional).”35
Menurut Ch. Gatot Wardoyo, perjanjian penerbiatan kartu kredit
seperti halnya perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, antara lain :
1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan;
2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur;
3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.”36
Mengenai akta perjanjian perjanjian kartu kredit di bawah tangan ada
beberapa hal yang perlu diketahui olehLegal Officer, yaitu :
1. Kelemahan.
Ada beberapa kelemahan dari akta perjanjian kredit di bawah tangan, yaitu antara lain :
a. Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi (ingkar janji) oleh debitur yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkal atau memungkiri tanda tangannya akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat tersebut;
b. Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, di mana formulirnya telah disediakan oleh bank (Form Standart/Baku), maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit.
2. Arsip/ file surat asli.
a. Pada dasarnya juga merupakan suatu kelemahan dari pada perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan, dalam arti bahwa apabila akta perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan (aslinya) tersebut hilang karena sebab
35R. Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, 1999, hlm. 47
36Wardoyo, Ch. Gatot, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan
apapun, maka bank tidak memiliki arsip/file asli mengenai adanya perjanjian tersebut sebagai alat bukti. Hal ini akan membuat posisi bank akan menjadi lemah bila terjadi perselisihan.
b. Isian Blanko Perjanjian. Dalam hal perjanjian kredit di bawah tangan, kemungkinan terjadinya seorang debitur mengingkari atau memungkiri isi perjanjian adalah sangat besar. Hal ini disebabkan dalam pembuatan akta perjanjian kredit, form/blankonya telah disiapkan bank, sehingga dapat saja mengelak bahwa yang bersangkutan menanda-tangani blanko kosong yang berarti ia tidak tahu menahu tentang isi perjanjian tersebut.37
Bentuk perjanjian pernerbitan kartu kredit oleh bank secara tertulis di
bawah tangan ataupun akta notaril harus selalu memperhatikan klausul dalam
perjanjian tersebut, karena perjanjian kartu kredit bank yang tidak memuat klausul
seperti pendapat sarjana di atas akan mengandung kelemahan di kemudian hari yang
tidak sesuai dengan tujuan dibuat perjanjian perjanjian kartu kredit tersebut.
Tujuan di atas sesuai dengan pengertian kredit itu sendiri yang oleh O.P.
Simorangkir, mengartikan perjanjian kartu kredit seperti halnya kredit adalah
“pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balasan prestasi (kontra-prestasi)
akan terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern adalah
prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit yang
menjadi pembahasan. Kredit berfungsi koperatif antara si pemberi kredit dan si
penerima kredit atau antara kreditur dengan debitur. Mereka menarik keuntungan dan
saling menanggung resiko. Singkatnya kredit dalam arti luas didasarkan atas
37Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung
komponen-komponen kepercayaan, resiko dan pertukaran ekonomi di masa-masa
mendatang.”38
Dalam praktek, pihak debitur hanya dapat menawar besarnya bunga yang akan
dibebankan sedangkan mengenai klausul yang lain pihak bank tidak bersedia untuk
merubah. Begitu juga dengan perjanjian kuasa menjual yang dibuat kemudian dapat
menjadi batal, sehingga prestasi dalam perjanjian kredit ini adalah suatu yang wajib
harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan, karena prestasi merupakan isi dari
pada perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah
ditentukan dalam perjanjian, maka debitur dikatakan wanprestasi. Terhadap
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan debitur tersebut, maka
tentunya diperlukan adanya jaminan yang nantinya digunakan sebagai alat untuk
melakukan penagihan.
2. Konsepsi
Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang
akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu
dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau
definisi operasional sebagai berikut :
1. Kartu kredit kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang
dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan
barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang.
2. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan Pasal 1547 KUH Perdata yaitu suatu persetujuan, dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,
dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.39
3. Pihak penerbit kartu (Issuer) adalah pihak atau lembaga yang mengeluarkan
dan mengelola suatu kartu kredit. Pihak penerbit dapat berupa bank, lembaga
keuangan lain atau perusahaan bukan lembaga keuangan. Perusahaan yang
khusus menerbitkan kartu kredit, harus memperoleh ijin terlebih dahulu dari
Departemen Keuangan. Apabila penerbit adalah Bank, maka harus mengikuti
ketentuan Bank Indonesia.40
4. Pihak Acquirer adalah pihak yang berupa lembaga yang mengelola
penggunaan kartu kredit, terutama dalam hal penagihan dan pembayaran
antara pihak issuer dengan pihak merchant/pedagang. Berdasarkan
mekanisme pengelolaan kartu kredit, pihak penerbit kartu kredit(Issuer)dapat
sekaligus berfungsi sebagai pihak pengelola kartu kredit (Acquirer) atau
hanya akan terkonsentrasi pada salah satu fungsi saja.41
39Pasal 1547 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
5. Pihak pemegang kartu kredit (Card Holder), pihak ini berupa
orang-perseorangan yang telah memenuhi prosedur atau persyaratan yang ditetapkan
oleh penerbit untuk dapat diterima sebagai anggota dan berhak menggunakan
kartu kredit sesuai dengan kegunaannya. Untuk dapat diterima menjadi
anggota sebuah kartu kredit, calon pemegang kartu kredit harus memenuhi
persyaratan pokok antara lain jumlah minimum penghasilan pertahunnya
memenuhi batas yang telah ditentukan oleh bank atau lembaga bukan bank
yang bergerak di bidang usaha kartu kredit. Pemegang kartu dapat dibedakan
dengan pemegang kartu utama (basic Card) dan kartu suplemen
(supplementary Card). Kartu suplemen ini biasanya diterbitkan untuk
digunakan pihak-pihak yang akan ditanggung oleh pemegang kartu utama,
misalnya anggota keluarga dan sebagainya.42
6. Itikad baik merupakan sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian, karena
merupakan landasan utama untuk dapat melaksanakan suatu perjanjian dengan
sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya43, termasuk dalam hal ini dalam
pelaksanaan penggunaan kartu kredit.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Objek penelitian ini adalah mengenai pelaksanaan itikad baik pemegang kartu
kredit dalam perjanjian jual beli. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan
melakukan inventarisasi hukum positif yang mengatur dan berkaitan dengan akibat
hukum dari penerbitan kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli. Hal ini
42Ibid.,
dilakukan karena melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran yang
menyeluruh dan sistematis mengenai pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit
dalam transaksi jual beli. Untuk memperoleh data yang diharapkan dalam penelitian,
maka penelitian ini juga akan mengikuti pendekatan-pendekatan yang berlaku di
dalam penelitian ilmu hukum khususnya yang terkait dengan penelitian hukum
normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan
gejala-gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan
itikad baik pemegang kartu kredit dalam perjanjian jual beli. Penelitian ini
menggunakan pendekatan pembentukan hukum untuk sebagai upaya penyelesaian
permasalahan dalam pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam perjanjian
jual beli.
2. Sumber Data
Sumber data utama dari penelitian ini adalah sumber data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier.
Data-data hukum sekunder tersebut meliputi berbagai macam sumber baik sumber
data tertulis seperti Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku ilmiah, dan berbagai
macam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal seorang peneliti
diharapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang terkait
dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis
data dan menyajikan hasil penelitian.
a. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari literatur
perundang-undangan yang ada kaitannya pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam
transaksi jual beli. Data sekunder tersebut meliputi beberapa hal yaitu:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan salah satu sumber hukum yang penting bagi
sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan hukum primer
meliputi bahan-bahan hukum yang isinya mengikat secara hukum karena dikeluarkan
oleh instansi yang sah. Bahan hukum primer dapat ditemukan melalui studi
kepustakaan (library research) baik di perpustakaan fakultas, universitas maupun
perpustakaan umum lainnya.
Bahan hukum primer yang dijadikan pedoman bagi penelitian terkait
pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam perjanjian jual beli ini adalah
sebagai berikut:
a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
c) Peraturan perundang-undangan yang terkait penggunaan kartu kredit sebagai alat
pembayaran.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang isinya memperkuat
atau menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder biasanya berupa
bahan-bahan hukum seperti bacaan hukum, jurnal-jurnal yang memberikan
sumber data elektronik berupa internet, majalah dan surat kabar serta berbagai kajian
yang menyangkut penggunaan kartu kredit.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dijadikan pegangan atau
acuan bagi kelancaran proses penelitian. Bahan hukum tersier biasanya memberikan
informasi, petunjuk dan keterangan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Di
perpustakaan biasanya bahan hukum tersier berada pada ruangan khusus dan dalam
penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan hanyalah kamus.
Penelitian mengenai pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam
transaksi jual beli untuk menemukan jawaban yang konkrit, jelas dan pasti terkait
dengan objek masalah yang diteliti. Sehingga peran data pendukung seperti kamus
sangat dibutuhkan untuk mencari kebenaran sejati dari istilah-istilah hukum yang
asing. Bahan hukum primer ini bukan hanya sekedar sebagai pelengkap informasi
saja melainkan juga dapat memberikan petunjuk awal terkait dengan masalah yang
sedang diteliti.
Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kamus hukum
yang memuat informasi tentang arti beberapa istilah hukum yang bersifat khusus.
b. Data Primer
Data primer digunakan untuk melakukan konfrontirterhadap berbagai macam
data sekunder yang telah diperoleh dalam rangka melakukan penegasan. Data-data
iunforman sebagai narasumber untuk pemecahan masalah yang masih memerlukan
informasi lebih lanjut dalam memastikan validitas data-data sekunder yang telah
diperoleh.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini baik data sekunder maupun data primer diperoleh
dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan
dilakukan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan mempelajari
dokumen-dokumen, buku-buku teks, teori-teori, peraturan perundang-undangan, artikel, tulisan
ilmiah yang ada hubungannya dengan pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit
dalam perjanjian jual beli. Selain itu, guna mendukung data primer yang diperoleh
melalui penelitian kepustakaan tersebut dilakukan pula wawancara dengan beberapa
informan sebagai narasumber yaitu dengan pemegang atau pengguna kartu kredit.
4. Analisis Data
Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di
lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode
deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan
pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam
hal penggunaan kartu kredit sebagai alat perjanjian jual beli dikaitkan dengan prinsip
”kualitatif, selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan
data baru ditarik kesimpulan dengan menggunakan metodededuktif.”44
Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang
terkumpul baik inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, yang
berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil
penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian baik data primer
maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk
membahas lebih mendalam dilakukan secara kualitatif. Sehingga dengan demikian
diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum dalam penelitian tesis ini.
44Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu,Kertas Kerja, Universitas
BAB II
BENTUK PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN KARTU KREDIT DAN KAITANNYA DENGAN SYARAT-SYARAT SAH PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian pada Umumnya
Di dalam masyarakat perjanjian merupakan peristiwa yang paling sering
terjadi di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau
hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak
yang membuat perjanjian.
Ketentuan yang mengatur mengenai masalah perjanjian diatur dalam Buku III
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang Perikatan. Akan
tetapi, dalam prektiknya perjanjian/ perikatan belum mendapat keseragaman bahwa
perjanjian berasal dari istilah verbintenis, sebagian pakar hukum ada yang
menterjemahkannya menjadi perjanjian,sedangkan kata oveerenkomst diterjemahkan
sebagai persetujuan.45 Dari kata verbintenis dan oveerenkomst, adalah verbintenis
berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat, jadi kata verbintenis
menunjuk kepada adanya ikatan atau hubungan, hal ini sesuai dengan definisi
verbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut diatas kata
verbintenis lebih banyak digunakan perikatan sedangkan oveerenkomst berasal dari
kata kerja oveerenkomen yang artinya setuju atau sepakat, jadi oveerenkomst