• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Prinsip Iktikad Baik Pemegang Kartu Kredit Dikaitkan Dengan Perjanjian Jual Beli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Prinsip Iktikad Baik Pemegang Kartu Kredit Dikaitkan Dengan Perjanjian Jual Beli"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Perkembangan perekonomian dan kemajuan masyarakat terutama di bidang

perdagangan, uang sebagai alat pembayaran dirasakan mempunyai kelemahan dalam

menyelesaikan transaksi-transaksinya, terutama untuk transaksi dalam jumlah yang

besar. Adanya perkembangan perekonomian ini merupakan salah satu wujud dari

kebebasan dari warga negara dan masyarakat untuk melakukan berbagai transaksi

dalam memenuhi kehidupannya.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang

melindungi segenap bangsa Indonesia …”. Hal ini merupakan landasan hukum dalam

upaya melindungi segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali bagi orang-orang yang

melakukan perbuatan hukum tertentu seperti transaksi jual beli Selanjutnya

Undang-Undang Dasar 1945, juga mengatur bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta

berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.1 Ketentuan ini menjelaskan

bahwa setiap orang bebas melakukan berbagai hal guna mempertahankan hidupnya,

seperti dalam hal ini transaksi jual beli yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka

memenuhi kebutuhan hidupnya.

1

(2)

Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi juga mengatakan bahwa transaksi jual

beli merupakan hak setiap individu/manusia, dikatakan demikian karena jual beli

merupakan suatu kegiatan manusia yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya sehari-hari.2 Dalam suatu transaksi jual beli, apapun jenis benda yang

diperjual-belikan mulai dari jual beli biasa seperti jual beli permen di kios-kios

sampai jual beli yang dilakukan secara tertulis seperti jual beli tanah, bebas untuk

dilakukan dengan syarat tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Menurut Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945, disebutkan

bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku sebelum

diadakan yang beru menurut undang-undang dasar ini. Ketentuan tersebut

mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia masih

tetap berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan

peraturan perundang-undangan lainnya apabila ketentuan termaksud memang belum

diubah atau dibuat yang baru.

Berbicara mengenai transaksi jual beli secara elektronik, tidak terlepas dari

konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUH

Perdata yang menegaskan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III KUH Perdata,

2Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi Lany,Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di Indonesia,

(3)

yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan,

sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Sifat terbuka dari KUH Perdata ini

tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas Kebebasan

Berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi

perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya

perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatakan

bahwa, syarat sahnya sebuah perjanjian adalah sebagai berikut :

1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian

2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang

membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh ada

pakasaan, kekhilapan dan penipuan(dwang, dwaling, bedrog).

Dalam melaksanakan jual beli ini tentuan memerlukan adanya alat atau

instrument untuk melakukan pembayaram. Instrumen/alat pembayaran merupakan

media yang digunakan dalam pembayaran. Instrumen pembayaran saat ini dapat

diklasifikasikan atas tunai dan non-tunai. Instrumen pembayaran tunai adalah uang

kartal yang terdiri dari uang kertas dan uang logam yang sudah dikenal selama ini.

(4)

non-tunai dengan media kertas atau lazim disebut paper-based instrument seperti,

cek, bilyet giro, wesel dan lain-lain serta alat pembayaran non-tunai dengan media

kartu atau lazim disebutcard-based instrumentseperti kartu kredit, kartu debit, kartu

ATM dan lain-lain.3

Adanya penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran ini adalah akibat

perkembangan perekonomian dan kemajuan masyarakat terutama di bidang

perdagangan, uang sebagai alat pembayaran dirasakan mempunyai kelemahan dalam

menyelesaikan transaksi-transaksinya, terutama untuk transaksi dalam jumlah yang

besar. Penyelesaian transaksi dengan membawa sejumlah uang yang besar selain

tidak praktis, juga dapat menimbulkan risiko-risiko tertentu.

Adanya risiko dalam penyelesaian transaksi dengan membawa sejumlah uang

atau secara tunai disebabkan beberapa faktor antara lain :

1. Sulitnya pengangkutan uang tunai dari negara yang satu ke negara yang lain. 2. Mahalnya biaya pengangkutan uang tunai, karena bahannya yang berat. 3. Adanya risiko pengangkutan uang dan perampokan sebagai akibat situasi

yang belum sepenuhnya aman.4

Adanya risiko tersebut, maka untuk mengatasi keadaan tersebut di atas, maka

dicarilah jenis alat pembayaran baru selain mata uang. Alat pembayaran yang

dimaksud adalah dengan mempergunakan surat-surat atau akta-akta lain yang bernilai

uang. Surat-surat atau akta-akta yang bernilai uang ini disebut surat perniagaan

3Annonimous, Instrumen Pembayaran (Pengantar Sistem Pembayaran & Instrumen

Pembayaran),Direktorat Akunting Dan Sistem Pembayaran Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional, Jakarta, tanpa tahun, hlm 2

4Soeratno,Cek Sebagai Alat Pembayaran Tunai dan Masalahnya, Fakultas Hukum UNDIP,

(5)

(handelspapieren).5 Dalam perkembangan selanjutnya, dunia perbankan melahirkan

suatu tawaran instrumen baru. Alat pembayaran baru yang disajikan mengandung

berbagai kemudahan bagi siapa saja yang berhak mengunakannya yaitu Kartu

Kredit.6

Timbulnya kartu kredit/credit cardsebagai alat pembayaran jenis baru, adalah

merupakan salah satu usaha perkembangan dari potensi, inisiatif dan daya kreasi di

bidang alat-alat pembayaran yang ada di dalam masyarakat. Di Indonesia penggunaan

Kartu Kredit mulai diperkenalkan tahun 1980-an oleh bank-bank tertentu di Amerika

(Contoh: Bank Of America). Perkembangan penggunaan Kartu Kredit boleh

dikatakan sangat pesat. Perkembangan tersebut sebenarnya didorong oleh berbagai

faktor yang berkenaan dengan pengunaan kemudahan, kepraktisan dan citra diri

pemegang kartu.7

Dalam hal pengggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam transaksi

jual beli melibatkan tiga komponen yaitu pengguna (nasabah), bank (sebagai pemberi

bantuan dana), danmerchant (toko, super market, dan lain-lain). Sebagai salah satu

alat/sarana pembayaran, Kartu Kredit relatif mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu

5H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia., Djambatan, Jakarta,

1984, hlm.1.

6Sri Redjeki Hartono, Aspek Hukum Penggunaan Kartu Kredit, Badan Pembinaan Hukum

Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1994, hlm.3.

7Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan

(6)

dibandingkan dengan alat pembayaran tunai. Nilai lebih pengunaan Kartu Kredit

dapat diperoleh untuk dua pihak sekaligus, yaitu:8

1. Keuntungan bagi para pemegang Kartu Kredit:

a. Membeli barang atau jasa dalam jumlah yang besar tanpa menggunakan uang

tunai atau cek.

b. Menikmati fasilitas kredit dengan batas tertentu.

Berbagai ragam pembelian dengan jangka waktu 1 (satu) bulan baru dilunasi.

2. Keuntungan bagi para penerima Kartu Kredit:

a. Kredit dapat diberikan tanpa kemungkinan risiko macet, mengingat bank

sebagai penjaminnya.

b. Lebih aman daripada membawa uang tunai dalam jumlah yang besar.

c. Orang biasanya lebih senang berbelanja dengan mempergunakan Kartu

Kredit.

3. Keuntungan lain bagi penerbitan Kartu Kredit adalah:9

a. Sebagai salah satu penambah keuntungan.

b. Sebagai suatu promosi.

Penggunaan Kartu Kredit dalam fungsinya sebagai alat/sarana pembayaran,

telah memberikan suatu substitusi alat pembayaran yang sah (uang kertas dan logam).

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kartu kredit merupakan instrumen baru dalam

dunia perdagangan dan merupakan surat-surat berharga yang mempunyai nilai uang.

8Thomas Suyatno, dkk,Kelembagaan Perbankan, Kerjasama Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi

Perbanas dan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm. 59.

9Simorangkir, Seluk-Beluk Bank Komersial, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1986,

(7)

Berlakunya Kartu Kredit di masyarakat apabila berhubungan dengan hukum,

maka hukum dipandang sebagai sesuatu yang esensial bagi penciptaan dan

pembinaan pasar-pasar. Sifat esensial hukum di sini disebabkan oleh karena mampu

memberikan prediktabilitas (peramalan) kepada para pelaku ekonomi, atau dengan

perkataan lain dapat memberikan kepastian hukum dalam rangka mereka

menjalankan usahanya. Namun demikian, dalam pelaksanaannya penggunaan kartu

kredit sebagai alat pembayaran juga tidak terlepas dari adanya itikad baik dari para

pihak dalam hal penerbitan kartu kredit termasuk pula dalam pelaksanaan transaksi

jual beli.

Keterangan secara jujur akan menjadi prinsip yang sangat penting

dalam pelaksanaan perjanjian perjanjian kartu kredit dan juga dalam transaksi

jual beli. Prinsip itikad baik ini atau dalam istilah hukum dikenal dengan

utmost good faith, yaitu para pihak memberikan informasi yang benar dalam

setiap transaksi yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Salah satu bentuk pelanggaran terhadap prinsip itikad baik/utmost good

faith, adalah memberikan informasi mengenai kemampuan calon pemegang

atau pemohon kartu kredit tentang kemampuan untuk menutupi nilai transaksi

yang nantinya dilakukan dengan kartu kredit, termasuk pula dalam hal ini

tujuan penggunaan kartu kredit di kemudian hari. Pelanggaran tersebut dapat

menyebabkan persoalan hukum dikemudian hari terhadap pelaksanaan

perjanjian kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual beli.

Apabila dilihat dari para pihak dalam perjanjian atau transaksi jual beli

(8)

satu sarana untuk memudahkan transaksi jual beli. Dalam hal ini terdapat tiga

komponen : pengguna (nasabah), bank (sebagai pemberi bantuan dana), danmerchant

(toko, super market, dan lain-lain.). Nasabah mengajukan aplikasi kepada suatu bank

yang menyediakan kartu kredit untuk memberinya fasilitas kartu kredit. Pihak bank

akan menentukan layak tidaknya orang tadi mendapatkan fasilitas itu sesuai dengan

kriteria yang dimilikinya. Tiap bank biasanya memiliki kriteria yang berbeda. Bila

pihak bank menetapkan kelayakannya maka orang tersebut menjadi nasabah pemilik

kartu kredit yang biasanya, sesuai bank masing-masing, harus membayar iuran

tahunan sebagai biaya operasional. Namun demikian para pihak dalam

penggunaan/penerbitan/pemakaian kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam

transaksi jual beli tidak selamanya melaksanakan prestasi seperti yang diperjanjikan

baik karena kesengajaan, kesilapan maupun dengan berbagai alas an lainnya.

Padahal pada awalnya memiliki rekening kredit, maupun kartu kredit

menunjukkan seseorang dipercaya oleh bank atau lembaga keuangan untuk

bertransaksi seperti transaksi jual beli dengan kartu kredit. Namun kemudian,

apabila ditelaah lebih jauh penggunaan dana kredit dapat saja tidak sesuai

dengan tujuan yang direncanakan pada awal pengajuaannya berpeluang untuk

menimbulkan perselisihan apabila terjadi tunggakan dalam pembayaraannya.

Seperti halnya dalam suatu transaski jual beli dapat saja terjadi perbuatan

melawan hukum oleh pemegang kartu kredit dalam bertransaski yang

kemudian membuka peluang terjadinya kerugian bagi bank.

Demikian pula halnya dengan bisnis kartu kredit oleh bank, di mana

(9)

pembayaran yang dilakukan melalui kartu kredit. Nasabah sebagai konsumen

pada awalnya diberikan program menarik supaya menggunakan kartunya, lalu

rasio pembayarannya pada level yang sehat supaya neracanya tetap seimbang.

Hal ini diharapkan penerbit kartu kredit mendapat keuntungan dari dua hal,

pertama komisi (fee base income) dari tiap transaksi oleh pemegang kartu dan

kedua, dari bunga (interest income) neraca pembayaran pemilik kartu. Namun

kemudian apabila pemakaian kartu tinggi, neracanya tidak sehat tentunya

berpeluang terjadi tunggakan dan kredit atau pembiayaan yang diberikan

macet. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah

lebih lanjut mengenai pelaksanaan transaksi jual beli dengan menggunakan kartu

kredit dikaitkan dengan prinsip itikad baik pemegang kartu kredit. Penelaahan ini

nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Pelaksanaan Prinsip

Iktikad Baik Pemegang Kartu Kredit Dikaitkan dengan Perjanjian Jual Beli”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa

permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk perjanjian jual beli dengan menggunakan kartu

kredit?

2. Bagaimanakah pelaksanaan prinsip itikad baik pemegang kartu kredit

dikaitkan dengan perjanjian jual beli?

3. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan apabila dalam penggunaan kartu

(10)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan

dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk perjanjian jual beli dengan

menggunakan kartu kredit.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan prinsip itikad baik pemegang

kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya hukum yang dapat dilakukan

apabila dalam penggunaan kartu kredit terjadi wanprestasi oleh pemegang

kartu kredit.

D. Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara

teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu

pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perbankan dan lembaga keuangan

lainnya pada khususnya, terutama mengenai masalah

penggunaan/penerbitan/pemakaian kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam

perjanjian jual beli.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat,

(11)

kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam perjanjian jual beli, agar lebih

mengetahui tentang hak dan kewajibannya terhadap

penggunaan/penerbitan/pemakaian kartu kredit sebagai alat pembayaran dalam

perjanjian jual beli.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis

lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di

Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan

beberapa beberapa penelitian yang menyangkut produk bank syari’ah, namun

memang ditemukan adanya dua penelitian yang berkaitan yaitu :

1. Penelitian Oleh Muhammad Andi Hakim, Nim 077011046 dengan judul,

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Penyalahgunaan Kartu

Kredit”.

2. Penelitian Oleh Mhd Dhana Surya Ginting , Nim 087011068 dengan judul

Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit

(Studi Kasus Pada Bank Danamon Medan)”.

Apabila dilihat dari topiknya kedua penelitian memang mengambil topic yang

sama dengan penelitian ini yaitu tentang kartu kredit, Namun permasalahan yang

dikaji adalah berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini yang berjudul “Pelaksanaan

(12)

adalah merupakan suatu penelitian yang baru dan asli adanya. Artinya secara

akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum

ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Di dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka

teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro, bahwa

untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian

harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis.10 Teori dimaksud adalah untuk

menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,11

dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat

menunjukkan ketidakbenarannya.12 Hal ini sesuai dengan Soerjono Soekanto yang

mengatakan bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi,

aktivitas penelitian dan imajinasi sosial juga sangat ditentukan oleh teori.13 Teori

adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses

10Ronny H. Soemitro,Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia, Jakarta , 1992, hlm. 37.

11

J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996, hlm. 203. lihat M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 27. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di ssini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

12Ibid.

(13)

tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta

yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.14

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan

pegangan teoritis.15 Dengan demikian, pemikiran teoritis ini dijadikan kerangka

pikir dalam suatu penelitian hukum yang dijadikan alat untuk menganalisis

dasar penulisan tesis.

Apabila dikaitkan dengan identifikasi masalah yang diteliti dalam tesis

ini, maka penelitian ini menggunakan landasan teori yang berkaitan dengan

lahirnya beberapa peraturan hukum positif diluar KUHPerdata sebagai konsekuensi

dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum kekayaan dan hukum

perikatan. Salah satunya adalah aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin

yang mengartikan:

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical

system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak

didasarkan pada penilaian baik-buruk.16

14J.J.J. M. Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press,

Jakarta, , 1996, hlm. 203.

15M. Solly Lubis,Op.Cit.,hlm 80.

16Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002,

(14)

Salah satu teori hukum positif yang diterapkan dalam pembuatan perjanjian

termasuk dalam hal ini perjanjian penerbitan kartu kredit maupun transaksi jual beli

antara underwriter dan emiten adalah teori hasrat. Menurt teori hasrat dalam suatu

perjanjian prestasi kedua belah pihak dalam suatu kontrak yang menekankan kepada

pentingnya “hasrat” (will atauintend) dan pihak yang memberikan janji. Ukuran dan

eksistensi, kekuatan berlaku dan substansi dan suatu perjanjian diukur dan hasrat

tersebut, yang terpenting dalam suatu kontrak atau penjanjian bukan apa yang akan

dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, tetapi apa yang mereka inginkan.

Jadi suatu perjanjian mula-mula dibentuk berdasarkan kehendak para pihak.17

Selanjutnya menurut teori yang dikemukan oleh Van Dunne, yang

mengartikan tentang perjanjian, yaitu “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau

lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.18 Teori tersebut

tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan

sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian,

yaitu :19

1. Tahappra contractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan

2. Tahapcontractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para

pihak;

3. Tahappost contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian

17Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dan Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra AdityaBakti,

Bandung, 2001, hlm. 5

18Lely Niwan,Hukum Perjanjian. Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia

Proyek Hukum Perdata, Yogyakarta 1987, hlm. 26

19Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Direktorat Jenderal

(15)

Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai

kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai

materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam

perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau

ketentuan yang disepakati.

Dalam suatu perjanjian terdapat beberapa asas, diantaranya adalah asas

Kebebasan Berkontrak dan asas Konsensualisme (consensualisme). Asas

Konsensualisme(consensualisme)adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian itu

telah lahir pada saat atau detik tercapainya kata sepakat di antara pihak-pihak yang

melakukan perjanjian tersebut20. Asas konsensualisme mendasari lahirnya suatu

perjanjian dari kata sepakat yang timbul antara kedua belah pihak yang mengadakan

suatu perjanjian, selain asas konsensualisme ada juga asas kebebasan berkontrak yang

mengatur dibentuknya perjanjian. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang

menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian)

yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan dan ketertiban umum21.

Asas kebebasan berkontrak bersifat mengatur, hal ini sesuai dengan Pasal

1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat

20Benyamin Asri Dan Thabrani Asri,Tanya-Jawab Pokok-Pokok Hukum Perdata dan Hukum

Agraria”, Armico, Bandung, 1987, hlm. 81.

21Ridwan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2000,

(16)

untuk hal-hal yang yang tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau

undang-undang, maksudnya para pihak dalam suatu perjanjian pada prinsipnya bebas

untuk menentukan isi perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan kepatutan,

kebiasaan atau undang-undang, dan yang lebih penting isi perjanjian tersebut sesuai

dengan syarat sahnya perjanjian seperti yang diterangkan dalam Pasal 1320

KUH-Perdata.

Pengertian jual beli dalam Pasal 1457 KUH Perdata adalah suatu perjanjian,

dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu

kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Berdasarkan rumusan tersebut, dapat kita lihat bahwa jual beli merupakan suatu

bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan

sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual

oleh penjual dan penyerahan uang atau pembayaran harga atas benda oleh pembeli

kepada penjual.

Jual beli merupakan perjanjian konsensualisme, hal ini dapat kita temukan

dalam rumusan Pasal 1458 KUH-Perdata yang menyatakan bahwa jual beli itu

dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang ini

mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu

(17)

dianggap terjadi pada saat pembeli mengambil barang tersebut dan membayar

harganya kepada penjual.22

Dalam perjanjian jual beli, asas kebebasan berkontrak dinilai penting bagi

pihak-pihak dalam jual beli karena hal ini berarti adanya kebebasan bagi mereka

dalam menentukan isi(causa)dari jual beli yang mereka buat. Akan tetapi, perjanjian

(kontrak) tersebut harus tetap memperhatikan syarat-syarat untuk sahnya suatu

perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata, sebab perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata)23.

Adapun syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah

sebagai berikut (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) Cakap untuk

membuat suatu perjanjian, (3) Suatu hal tertentu dan (4) Suatu sebab yang halal.

Keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi

dua syarat pokok yaitu sebagai berikut.

a. Syarat Subjektif.

Syarat subjektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan

bertindak dalam bidang hukum.24 Kedua syarat ini dikatakan subjektif karena

ditujukan kepada orang atau objek yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat

22Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Jual Beli Seri Hukum Perikatan, Rajawali Pers,

Jakarta, 2003, hlm. 48.

23Ridwan Syahrani,Op. Cit.,hlm. 212.

24Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), Raja Grafindo Persada, Jakarta,

(18)

subjektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang bersangkutan dapat dibatalkan.

Adapun yang membatalkan suatu perjanjian itu adalah hakim dengan permintaan dari

orang yang berkepentingan.

b. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Kedua

syarat ini dikatakan syarat objektif karena merupakan benda atau objek dari

perjanjian. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.25

Apabila dikaitkan dengan penggunaan kartu kredit dalam suatu transaksi atau

perjanjian jual beli sebagai alat pembayarannya, maka hal ini terkait pula dengan teori

tentang kartu kredit, dimana kartu kredit merupakan bagian dari surat berharga.

Rachmadi Usman mengatakan bahwa Penggunaan Kartu Kredit dalam fungsinya

sebagai alat/sarana pembayaran, telah memberikan suatu substitusi alat pembayaran

yang sah (uang kertas dan logam). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Kartu

kredit merupakan instrumen baru dalam dunia perdagangan dan merupakan

surat-surat berharga yang mempunyai nilai uang. Surat-surat-surat berharga ini secara konseptual

dapat dibedakan atas surat berharga (Warde Papier) dan surat yang berharga (Papier

Van Waraade).26 Tentang pengertian surat berharga dan surat yang berharga tidak

secara tegas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).

Agar dapat disebut sebagai surat berharga, maka surat itu harus mempunyai 2

(dua) fungsi, yaitu sebagi alat untuk dapat diperdagangkan dan sebagai alat bukti

25Ibid.

(19)

terhadap tuntutan hutang yang telah ada.27Di samping itu, ada yang memberikan pula

fungsi surat berharga meliputi surat bukti tuntutan hutang, pembawa hak dan mudah

dijual belikan.28Abdulkadir Muhammad, mengatakan bahwa suatu surat untuk dapat

dikatakan sebagai surat berharga itu mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu:

1. Sebagai alat pembayaran (alat tukar uang).

2. Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (diperjual belikan dengan mudah

atau sederhana).

3. Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi).29

Ternyata, sungguhpun Kartu Kredit telah mirip dengan surat berharga, tetapi

dalam pengertian hukum belumlah dapat dipandang sebagai surat berharga. Sebab,

jika dilihat dari ketiga fungsi surat berharga tersebut, hanya fungsi yang pertama yang

dipenuhi oleh suatu surat berharga, yaitu fungsinya sebagai alat pembayaran

(pengganti uang kontan), sedangkan fungsi kedua tidak terpenuhi sama sekali.

Sementara fungsi ketiga juga tidak terpenuhi, walaupun secara tidak langsung hak

tagih tersebut dapat dipenuhi tetapi bukan oleh Kartu Kredit, melainkan oleh slip

pembayaran yang telah ditandatangani oleh pemegang Kartu Kredit.

Berlakunya kartu kredit di masyarakat apabila berhubungan dengan hukum,

maka hukum dipandang sebagai sesuatu yang esensial bagi penciptaan dan

pembinaan pasar-pasar. Sifat esensial hukum di sini disebabkan oleh karena mampu

27Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, Seksi Hukum

Dagang Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1982, hlm.9. 28H.M.N. Purwosutjipto,Op.Cit. hlm. 5-6.

29Abdulkadir Muhammad,Hukum Dagang tentang Surat-surat Berharga, Citra Aditya Bakti,

(20)

memberikan prediktabilitas (peramalan) kepada para pelaku ekonomi, atau dengan

perkataan lain dapat memberikan kepastian hukum dalam rangka mereka

menjalankan usahanya.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan perannya di tengah kehidupan bersama,

hukum memiliki fungsi yang sangat penting, yang oleh J.F. Glastra Van Loon dalam

bukunya Dirdjosisworo disebutkan yaitu:30

1. Penertiban (penataan) masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup. 2. Penyelesaian pertikaian.

3. Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan-aturan dan jika perlu dengan kekerasan.

4. Pengertian atau memelihara dan mempertahankan hal tersebut.

5. Pengubahan tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka penyesuaian pada kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat.

6. Pengaturan tentang pengubahan tersebut, agar dapat memenuhi tuntutan keadilan (rechsvaardigheid), hasil guna (doelmatigheid) dan kepastian hukum (rechtzekerheid).

Perjanjian jual beli diatur dalam Buku III Bab V, Pasal 1457 sampai dengan

Pasal 1540 KUH Perdata. perjanjian jual beli dapat dilihat dalam Pasal 1457 KUH

Perdata, yang menyebutkan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana

pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak

yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Pada umumnya, suatu

perjanjian hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang membuatnya (Pasal 1340 KUH

Perdata), karena seperti yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa

suatu perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

30Soedjono Dirdjosisworo,Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum,

(21)

yang membuatnya. Maksud dari “perjanjian yang dibuat secara sah” adalah perjanjian

yang dibuat, tidak bertentangan dengan undang-undang karena isi perjanjian tersebut

bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian.

Selain itu, itikad baik dalam melaksanakan suatu perjanjian mempunyai

peranan yang penting, Subekti mengatakan bahwa itikad baik merupakan sendi yang

terpenting dalam hukum perjanjian, karena merupakan landasan utama untuk dapat

melaksanakan suatu perjanjian dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya31.

Dari pengertian di atas, maka dalam perjanjian jual beli ditemukan ada dua

kewajiban, yaitu (1) Kewajiban dari pihak penjual, untuk menyerahkan barang yang

dijual kepada pembeli dan (2) Kewajiban pihak pembeli, untuk membayar harga

barang yang dibeli kepada penjual.32

Atas dasar pengertian yang disebut dalam butir 2, tentang kewajiban pihak

pembeli untuk membayar harga barang yang dibeli kepada penjual, maka harga

barang yang harus dibayar oleh pihak pembeli kepada penjual haruslah berupa uang

rupiah. Mengingat hal tersebut di atas, maka dapat diasumsikan bahwa dengan

menunjukkan Kartu Kredit dan dengan menandatangai faktur yang telah tersedia pada

toko-toko, restoran, hotel-hotel dan lain-lain, berarti pemegang kartu telah melakukan

pembayaran untuk transaksi yang telah dibuatnya, karena pembayaran (betaling)

adalah tidak hanya terbatas pada masalah yang berkaitan dengan pelunasan hutang

31Riduan Syahrani,Op. Cit.,hlm. 259.

(22)

semata-mata. Ditinjau dari segi yuridis teknis, ditentukan bahwa pembayaran tidak

selamanya mesti berujud sejumlah uang atau barang tertentu, akan tetapi bisa saja

dalam bentuk pemenuhan jasa, atau pembayaran dalam bentuk tidak berujud atau

immaterial.33Di samping itu, bahwa pembayaran dapat dilakukan dengan bebas yang

perlu adalah pembayaran yang dilakukan seseorang itu dimaksudkan untuk

memenuhi prestasi perjanjian, sudah cukup bagi hukum.34 Mengingat penggunaan

kartu kredit adalah kalangan tertentu yang penghasilan per bulannya memenuhi

standar yang telah ditentukan, maka dapat dipastikan bahwa masalah hukum yang

timbul dari praktik penggunaan kartu kredit akan sangat bervariasi macam dan

bentuknya.

Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum antara bank atau

lembaga non bank sebagai kreditur dengan nasabah pemegang kartu

kredit sebagai debitur adalah didasarkan pada adanya perjanjian penyaluran

dana dalam berbagai bentuk sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.

Namun kemudian akibat salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya

memberikan hak tagih bagi kreditur atas hutang debitur sebagaimana diatur

dalam asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 Jo 1320 KUH Perdata) menurut

hukum perjanjian Indonesia, meliputi ruang lingkup sebagai berikut :

Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk

33M. Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 107

(23)

menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya, kebebasan untuk menentukan objek perjanjian, kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian, dan kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (Aanvullend Optional).”35

Menurut Ch. Gatot Wardoyo, perjanjian penerbiatan kartu kredit

seperti halnya perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, antara lain :

1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan;

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur;

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.”36

Mengenai akta perjanjian perjanjian kartu kredit di bawah tangan ada

beberapa hal yang perlu diketahui olehLegal Officer, yaitu :

1. Kelemahan.

Ada beberapa kelemahan dari akta perjanjian kredit di bawah tangan, yaitu antara lain :

a. Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi (ingkar janji) oleh debitur yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkal atau memungkiri tanda tangannya akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang dibuat tersebut;

b. Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, di mana formulirnya telah disediakan oleh bank (Form Standart/Baku), maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit.

2. Arsip/ file surat asli.

a. Pada dasarnya juga merupakan suatu kelemahan dari pada perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan, dalam arti bahwa apabila akta perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan (aslinya) tersebut hilang karena sebab

35R. Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, 1999, hlm. 47

36Wardoyo, Ch. Gatot, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan

(24)

apapun, maka bank tidak memiliki arsip/file asli mengenai adanya perjanjian tersebut sebagai alat bukti. Hal ini akan membuat posisi bank akan menjadi lemah bila terjadi perselisihan.

b. Isian Blanko Perjanjian. Dalam hal perjanjian kredit di bawah tangan, kemungkinan terjadinya seorang debitur mengingkari atau memungkiri isi perjanjian adalah sangat besar. Hal ini disebabkan dalam pembuatan akta perjanjian kredit, form/blankonya telah disiapkan bank, sehingga dapat saja mengelak bahwa yang bersangkutan menanda-tangani blanko kosong yang berarti ia tidak tahu menahu tentang isi perjanjian tersebut.37

Bentuk perjanjian pernerbitan kartu kredit oleh bank secara tertulis di

bawah tangan ataupun akta notaril harus selalu memperhatikan klausul dalam

perjanjian tersebut, karena perjanjian kartu kredit bank yang tidak memuat klausul

seperti pendapat sarjana di atas akan mengandung kelemahan di kemudian hari yang

tidak sesuai dengan tujuan dibuat perjanjian perjanjian kartu kredit tersebut.

Tujuan di atas sesuai dengan pengertian kredit itu sendiri yang oleh O.P.

Simorangkir, mengartikan perjanjian kartu kredit seperti halnya kredit adalah

“pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balasan prestasi (kontra-prestasi)

akan terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern adalah

prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit yang

menjadi pembahasan. Kredit berfungsi koperatif antara si pemberi kredit dan si

penerima kredit atau antara kreditur dengan debitur. Mereka menarik keuntungan dan

saling menanggung resiko. Singkatnya kredit dalam arti luas didasarkan atas

37Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung

(25)

komponen-komponen kepercayaan, resiko dan pertukaran ekonomi di masa-masa

mendatang.”38

Dalam praktek, pihak debitur hanya dapat menawar besarnya bunga yang akan

dibebankan sedangkan mengenai klausul yang lain pihak bank tidak bersedia untuk

merubah. Begitu juga dengan perjanjian kuasa menjual yang dibuat kemudian dapat

menjadi batal, sehingga prestasi dalam perjanjian kredit ini adalah suatu yang wajib

harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan, karena prestasi merupakan isi dari

pada perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah

ditentukan dalam perjanjian, maka debitur dikatakan wanprestasi. Terhadap

wanprestasi atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan debitur tersebut, maka

tentunya diperlukan adanya jaminan yang nantinya digunakan sebagai alat untuk

melakukan penagihan.

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang

akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan

perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu

dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh

karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau

definisi operasional sebagai berikut :

(26)

1. Kartu kredit kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang

dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan

barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang.

2. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dilakukan sesuai dengan

ketentuan Pasal 1547 KUH Perdata yaitu suatu persetujuan, dengan mana

pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,

dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.39

3. Pihak penerbit kartu (Issuer) adalah pihak atau lembaga yang mengeluarkan

dan mengelola suatu kartu kredit. Pihak penerbit dapat berupa bank, lembaga

keuangan lain atau perusahaan bukan lembaga keuangan. Perusahaan yang

khusus menerbitkan kartu kredit, harus memperoleh ijin terlebih dahulu dari

Departemen Keuangan. Apabila penerbit adalah Bank, maka harus mengikuti

ketentuan Bank Indonesia.40

4. Pihak Acquirer adalah pihak yang berupa lembaga yang mengelola

penggunaan kartu kredit, terutama dalam hal penagihan dan pembayaran

antara pihak issuer dengan pihak merchant/pedagang. Berdasarkan

mekanisme pengelolaan kartu kredit, pihak penerbit kartu kredit(Issuer)dapat

sekaligus berfungsi sebagai pihak pengelola kartu kredit (Acquirer) atau

hanya akan terkonsentrasi pada salah satu fungsi saja.41

39Pasal 1547 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

40Dahlan Siamat,Manajemen Lembaga Keuangan, Intermedia, Jakarta, 1995, hlm. 266.

(27)

5. Pihak pemegang kartu kredit (Card Holder), pihak ini berupa

orang-perseorangan yang telah memenuhi prosedur atau persyaratan yang ditetapkan

oleh penerbit untuk dapat diterima sebagai anggota dan berhak menggunakan

kartu kredit sesuai dengan kegunaannya. Untuk dapat diterima menjadi

anggota sebuah kartu kredit, calon pemegang kartu kredit harus memenuhi

persyaratan pokok antara lain jumlah minimum penghasilan pertahunnya

memenuhi batas yang telah ditentukan oleh bank atau lembaga bukan bank

yang bergerak di bidang usaha kartu kredit. Pemegang kartu dapat dibedakan

dengan pemegang kartu utama (basic Card) dan kartu suplemen

(supplementary Card). Kartu suplemen ini biasanya diterbitkan untuk

digunakan pihak-pihak yang akan ditanggung oleh pemegang kartu utama,

misalnya anggota keluarga dan sebagainya.42

6. Itikad baik merupakan sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian, karena

merupakan landasan utama untuk dapat melaksanakan suatu perjanjian dengan

sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya43, termasuk dalam hal ini dalam

pelaksanaan penggunaan kartu kredit.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Objek penelitian ini adalah mengenai pelaksanaan itikad baik pemegang kartu

kredit dalam perjanjian jual beli. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan

melakukan inventarisasi hukum positif yang mengatur dan berkaitan dengan akibat

hukum dari penerbitan kartu kredit dikaitkan dengan perjanjian jual beli. Hal ini

42Ibid.,

(28)

dilakukan karena melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran yang

menyeluruh dan sistematis mengenai pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit

dalam transaksi jual beli. Untuk memperoleh data yang diharapkan dalam penelitian,

maka penelitian ini juga akan mengikuti pendekatan-pendekatan yang berlaku di

dalam penelitian ilmu hukum khususnya yang terkait dengan penelitian hukum

normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan

gejala-gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan

itikad baik pemegang kartu kredit dalam perjanjian jual beli. Penelitian ini

menggunakan pendekatan pembentukan hukum untuk sebagai upaya penyelesaian

permasalahan dalam pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam perjanjian

jual beli.

2. Sumber Data

Sumber data utama dari penelitian ini adalah sumber data sekunder yang

terdiri dari bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier.

Data-data hukum sekunder tersebut meliputi berbagai macam sumber baik sumber

data tertulis seperti Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku ilmiah, dan berbagai

macam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal seorang peneliti

diharapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang terkait

dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis

data dan menyajikan hasil penelitian.

a. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari literatur

(29)

perundang-undangan yang ada kaitannya pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam

transaksi jual beli. Data sekunder tersebut meliputi beberapa hal yaitu:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan salah satu sumber hukum yang penting bagi

sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan hukum primer

meliputi bahan-bahan hukum yang isinya mengikat secara hukum karena dikeluarkan

oleh instansi yang sah. Bahan hukum primer dapat ditemukan melalui studi

kepustakaan (library research) baik di perpustakaan fakultas, universitas maupun

perpustakaan umum lainnya.

Bahan hukum primer yang dijadikan pedoman bagi penelitian terkait

pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam perjanjian jual beli ini adalah

sebagai berikut:

a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

b) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

c) Peraturan perundang-undangan yang terkait penggunaan kartu kredit sebagai alat

pembayaran.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang isinya memperkuat

atau menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder biasanya berupa

bahan-bahan hukum seperti bacaan hukum, jurnal-jurnal yang memberikan

(30)

sumber data elektronik berupa internet, majalah dan surat kabar serta berbagai kajian

yang menyangkut penggunaan kartu kredit.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dijadikan pegangan atau

acuan bagi kelancaran proses penelitian. Bahan hukum tersier biasanya memberikan

informasi, petunjuk dan keterangan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Di

perpustakaan biasanya bahan hukum tersier berada pada ruangan khusus dan dalam

penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan hanyalah kamus.

Penelitian mengenai pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam

transaksi jual beli untuk menemukan jawaban yang konkrit, jelas dan pasti terkait

dengan objek masalah yang diteliti. Sehingga peran data pendukung seperti kamus

sangat dibutuhkan untuk mencari kebenaran sejati dari istilah-istilah hukum yang

asing. Bahan hukum primer ini bukan hanya sekedar sebagai pelengkap informasi

saja melainkan juga dapat memberikan petunjuk awal terkait dengan masalah yang

sedang diteliti.

Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kamus hukum

yang memuat informasi tentang arti beberapa istilah hukum yang bersifat khusus.

b. Data Primer

Data primer digunakan untuk melakukan konfrontirterhadap berbagai macam

data sekunder yang telah diperoleh dalam rangka melakukan penegasan. Data-data

(31)

iunforman sebagai narasumber untuk pemecahan masalah yang masih memerlukan

informasi lebih lanjut dalam memastikan validitas data-data sekunder yang telah

diperoleh.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini baik data sekunder maupun data primer diperoleh

dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan

dilakukan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan mempelajari

dokumen-dokumen, buku-buku teks, teori-teori, peraturan perundang-undangan, artikel, tulisan

ilmiah yang ada hubungannya dengan pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit

dalam perjanjian jual beli. Selain itu, guna mendukung data primer yang diperoleh

melalui penelitian kepustakaan tersebut dilakukan pula wawancara dengan beberapa

informan sebagai narasumber yaitu dengan pemegang atau pengguna kartu kredit.

4. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di

lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode

deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan

pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam

hal penggunaan kartu kredit sebagai alat perjanjian jual beli dikaitkan dengan prinsip

(32)

kualitatif, selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan

data baru ditarik kesimpulan dengan menggunakan metodededuktif.”44

Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang

terkumpul baik inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, yang

berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil

penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian baik data primer

maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk

membahas lebih mendalam dilakukan secara kualitatif. Sehingga dengan demikian

diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum dalam penelitian tesis ini.

44Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu,Kertas Kerja, Universitas

Referensi

Dokumen terkait

Makin besar indek kegemburan tanah, makin sulit partikel tanah tersebut untuk dipecah atau dengan kata lain bahwa untuk memecah agregat tanah tersebut

Pengaruh Motivasi Kerja, Kepuasan Kerja, Budaya Organisasi dan Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai.. Jurnal Ekonomi &

Kualitas tidur responden yang didominasi oleh kualitas tidur buruk pada penelitian ini sesuai dengan kondisi karakteristik responden yang didominasi oleh jenis kelamin

93 Karena itu pula suatu perjanjian franchise yang dibuat oleh para pihak yaitu franchisor dan franchisee.. berlaku sebagai undang-undang pula

Pemberdayaan Masyarakat dalam Percepatan Infrastruktur Lingkungan Permukiman Wilayah Kelurahan Bengkong Indah (PM-PIK Kelurahan Bengkong Indah) Kelurahan Bengkong Indah

Abstrak: Penelitian ini dilakukan dengan tujuan Mengetahui adanya peningkatan prestasi belajar melalui impelementasi pendekatan konstektual pada siswa Kelas V SDN

Manusia menurut Al-Ghazali hidup di dunia ini mempunyai tujuan yang jelas yaitu tercapainya kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, sedangkan tujuan

Pada gambar 5 diatas adalah tampilan Halaman dashboard administrator Website Mall Mesra Indah Samarinda terdapat banyak pengaturan didalam halaman website ini antara