PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT
INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN
DI SELAT OMBAI
YULIANTO SUTEJA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien
di Selat Ombai” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 23 Agustus 2011
Yulianto Suteja
ABSTRACT
YULIANTO SUTEJA. Turbulent Mixing caused by Internal Tide and Their Implication on Nutrient in Ombai Strait. Under direction of MULIA PURBAand
AGUS SALEH ATMADIPOERA.
Ombai Strait is one of the exit passages of Indonesian Throughflow (ITF) which has strong internal tidal energy. Internal tide is one of the main energy which causes mixing processes in the oceans. The purpose of this research was to estimate the turbulent mixing by using Thorpe scale approach and effect of mixing on the flux of nutrients (nitrate, phosphate and silicate). CTD instrument equipped with bottle rosettes were casted nine times for one tidal cycle (24 hours), but for nutrient samples only taken from the third casting with 22 samples at determined depth. The results showed that Ombai Strait has an internal tide with semidiurnal period. The average value of in the Ombai Strait is very high (7,56 x 10-2 + 2,83 x 10-1 m2 s-1) and the highest is found in deep layer (2,17 x 10-1 + 4,75 x 10-1 m2 s-1). This is presumably due to strong internal tide in that water. The strong effect of these internal tide especially during the low tide where the water mass induce to the deep layer. Vertical nutrient concentrations increase with depth. The nutrient fluxes estimation showed that the thermocline layer has the lowest flux of nutrients (0 m µmol l-1 s-1) and the highest flux in the deeper layer (8,28 x 10-5-165,56 x 10-5 m µmol l-1 s-1). Estimation of three nutrient fluxes showed that the phosphate is the lowest, followed by nitrate, and silicate as the highest.
RINGKASAN
YULIANTO SUTEJA. Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai. Dibimbing oleh MULIA
PURBA dan AGUS SALEH ATMADIPOERA.
Selat Ombai merupakan salah satu daerah di perairan Indonesia yang memiliki kecepatan arus dan energi pasut internal yang tinggi. Kombinasi antara energi dan kecepatan arus pasut internal yang kuat menjadikan Selat Ombai memiliki potensi yang besar untuk terjadinya proses percampuran turbulen. Namun demikian, belum diketahui besarnya nilai percampuran turbulen yang terjadi. Percampuran turbulen merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya penaikkan nutrien yang sangat penting untuk kehidupan biota yang berada di lapisan atas. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi percampuran turbulen (vertikal eddy difusivitas) di Selat Ombai menggunakan pendekatan skala Thorpe dan mengestimasi efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat).
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 9-22 Juli 2010 bersamaan dengan Pelayaran INDOMIX (Internal Tides and Mixing in The Indonesian Throughflow) merupakan riset kerjasama antara Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan LEGOS dan LOCEAN Perancis. Lokasi pengambilan data dilakukan di Selat Ombai dengan menggunakan Kapal Riset Marion Dufresne dari Perancis. Data temperatur, salinitas, dan tekanan diperoleh dengan menggunakan sensor CTD Sea-Bird Electronics (SBE) 911 Plus, selanjutnya dilakukan tahap pengolahan data dengan prosedur standar menggunakan perangkat lunak SBE Data Processing. Data nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) diperoleh dari air yang diambil dengan menggunakan botol rosette yang diturunkan bersama dengan CTD. Sampel air yang diambil sebanyak 22 sampel masing-masing pada kedalaman 5, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 200, 300, 350, 450, 550, 650, 750, 800, 900, 1000, 1100, 1200, 1300, 1400, dan 1500 m. Pengukuran konsentrasi nitrat, fosfat, dan silikat dilakukan di Laboratorium Prolink IPB dengan masing-masing menggunakan metode Brucine, Ascorbic Acid, dan Molybdosilicate. Dari data CTD dilakukan perhitungan nilai Thorpe displacement , skala Thorpe , panjang skala Ozmidov , frekuensi Brunt Vaisala , tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy dan selanjutnya melakukan estimasi difusivitas vertikal eddy . Dari nilai dan konsentrasi nutrien kemudian dilakukan perhitungan fluks nutrien.
temperatur, salinitas, dan densitas yang berbeda dibandingkan dengan ulangan lainnya. Hal ini diduga karena adanya pengadukan massa air di lapisan bawah oleh aktivitas gelombang internal yang kuat.
Hasil analisis terhadap diagram TS (Temperature Salinity) menunjukkan bahwa massa air yang melewati Selat Ombai adalah massa air Laut Jawa di bagian permukaan, massa air North Pacific Subtropical Water (NPSW) di kedalaman 118-198 m dan massa air North Pacific Intermediate Water (NPIW) di kedalaman 217-346 m. Hasil analisis diagram TS juga menunjukkan bahwa sinyal massa air South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water (SPSLTW) sangat lemah (tidak terdeteksi) hal ini diduga karena adanya variasi musiman dimana massa air Samudra Pasifik Selatan yang masuk ke jalur Arlindo kuat pada saat bertiup Angin Muson Barat Laut, sedangkan penelitian ini dilakukan pada saat Angin Muson Tenggara bertiup.
Hasil perhitungan frekuensi Brunt Vaisala menunjukkan bahwa lapisan termoklin merupakan lapisan yang memiliki tingkat kestabilan yang paling tinggi, diikuti lapisan tercampur dan lapisan dalam merupakan lapisan yang paling tidak stabil. Hasil plot melintang densitas menunjukkan adanya rambatan gelombang internal dengan periode semidiurnal di Selat Ombai. Periode pasut internal ini mirip dengan periode pasut dari hasil prediksi pasut di Pelabuhan Dili. Efek dari gelombang internal ternyata lebih kuat ke arah bawah dibandingkan ke arah atas, hal ini diduga karena lapisan bawah lebih seragam dibandingkan dengan lapisan atas.
Hasil plot menegak densitas awal yang dibandingkan dengan densitas yang disusun ulang ke kondisi stabilitas statis (reordering) menunjukan terjadi Thorpe displacement yang tinggi pada saat surut (ulangan 5-2 dan 5-6) dibandingkan dengan kondisi pasang pada gelombang internal. Hal ini diduga karena adanya interaksi antara glombang internal dengan dasar perairan. Nilai skala Thorpe dari tiap penurunan CTD berbeda-beda tergantung dari besar kecilnya nilai dan jumlah massa air yang mengalami . Secara keseluruhan nilai tinggi di lapisan tercampur (24,41 m), menurun di lapisan termoklin (5-16,97 m) dan meningkat kembali di lapisan dalam (20,19-106,89 m).
Nilai rata-rata energi kinetik disipasi turbulen eddy Selat Ombai pada semua lapisan adalah 4,22 x 10-6 W kg-1. Hasil perata-rataan nilai menunjukkan bahwa nilai di lapisan termoklin paling kecil (1,36 x 10-6 W kg-1) dibandingkan dengan lapisan tercampur dan lapisan dalam yang hampir homogen. Rendahnya nilai pada lapisan termoklin menunjukkan semakin sedikit energi kinetik yang berada dalam aliran tubulen yang akan mengalami pemecahan menjadi bentuk yang lebih kecil (dissipation) yang akan berfungsi untuk mentransfer energi ke media yang lain. Lapisan termoklin merupakan lapisan yang cenderung berhimpitan dengan lapisan pycnocline dan halocline, hal ini menyebabkan lapisan ini memiliki tingkat kestabilan yang paling tinggi. Tingkat kestabilan ini akan sangat mempengaruhi rendahnya nilai displacement dan nilai yang memiliki korelasi linier dengan nilia . Nilai energi kinetik tertinggi (12,24 x 10-6 W kg-1) berada pada lapisan dalam yang hampir homogen, hal ini menunjukkan lapisan dalam merupakan lapisan dimana energi kinetik mengalami pemecahan yang paling tinggi yang nantinya akan berkontribusi untuk terjadinya proses percampuran.
paling rendah di Selat Ombai terdapat di lapisan termoklin (9,33 x 10-4 m2 s-1), namun nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan didapatkan Ffield dan Gordon (1992) sebesar 1 x 10-4 m2 s-1. Walapun nilai di lapisan termoklin rendah, namun proses percampuran turbulen yang terjadi pada daerah ini diduga menjadi pemicu yang menyebabkan lapisan termoklin memiliki struktur mirip step like. Nilai pada lapisan dalam merupakan yang paling tinggi (2,17 x 10-1 m2 s-1), nilai ini hampir sama yang didapatkan Hatayama (2004) pada dasar Sill Dewakang (2 x 10-1 m2 s-1). Hal ini diduga karena adanya interaksi gelombang internal dan shear dengan topografi dasar perairan.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PERCAMPURAN TURBULEN AKIBAT PASANG SURUT
INTERNAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP NUTRIEN
DI SELAT OMBAI
YULIANTO SUTEJA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai
Nama : Yulianto Suteja NRP : C551090061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Mulia Purba, M.Sc.
Ketua
Dr. Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc. Agr.
PRAKATA
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya dapat terselesaikannya penelitian yang
dilanjutkan dengan penyusunan dan penulisan thesis dengan judul “Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai”. Tulisan ini disusun dalam rangka penyelesaian tugas akhir pendidikan magister pada Program Studi Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini fokus mengkaji mengenai estimasi percampuran turbulen dan
implikasinya terhadap fluks nutrient di Selat Ombai. Hasil studi ini sedang dalam
proses publikasi pada beberapa jurnal kelautan dengan harapan dapat dijadikan
rujukan ilmiah dalam upaya eksplorasi sumberdaya alam pesisir dan laut di Selat
Ombai serta sebagai rujukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di
Provinsi Nusa Tenggara Timur dan pengeolaan Taman Nasional Laut Sawu
sebagai daerah kawasan konservasi paus.
Bogor, 23 Agustus 2011
Ttd
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak
yang telah mendukung terselesaikannya thesis ini.
1. Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing sekaligus “BAPAK” yang berperan aktif membimbing penulis dalam rangka penyelesaian tugas akhir sekaligus memberikan wawasan dan pendidikan
tentang oseanografi fisika yang sangat membantu dalam proses
pembelajaran.
2. Dr.Ir.Agus Saleh Atmadipoera, DESS. Selaku anggota komisi pembimbing dan co-chief scientist pelayaran INDOMIX 2010 yang banyak memberikan
masukan, kritikan, dan arahan dalam upaya penyelesaian penulisan thesis
ini.
3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang banyak memberikan koreksi penulisan dan
motivasi dalam penyelesaian penulisan thesis.
4. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. selaku penguji luar komisi pada ujian tahap akhir penyelesaian studi yang banyak memberikan saran dalam
penyempurnaan hasil penelitian.
5. Kedua Orang Tua (Ayahanda Ishak S.Pd. dan Ibunda Hainim S.Pd.) dan seluruh keluarga (Kak Ofi, Kak Eka, Adik Kiki, Kak Tuan, Kak Cah, Ofar, Obin, Wahyu) yang tidak berhenti memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis untuk terus belajar dan berusaha.
6. Team Pelayaran INDOMIX 2010 dan Kru Kapal Riset Marion Dufresne (Francis) atas kerjasama yang baik dalam proses pelayaran dan pengambilan data lapangan.
7. Anna Ida Sunaryo atas dukungan dan motivasi dalam penyelesaian studi. 8. Teman-teman Program Studi Ilmu Kelautan angkatan 2009 IPB (Bang
Lumban, Maria, Ai, Wahyu, Kahar, Kapten Toni, Mbak Citra, Cak Roni, Mbak Riri, Mbak Yuli, Mbak Emi, Yayan, Mas Reza, dan Mbak Tias) dan Laboratorium Data Processing (Oliver, Erlan, Oting, Santos, Resni, Risni, Kris, Dipo, dan Hanung) terimakasih banyak atas saran, kritik, serta dorongan selama menempuh belajar bersama
9. DIKTI yang memberikan biaya pendidikan melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) 2009, serta semua pihak yang telah membantu
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Juli 1985 di Selakerat-Lombok timur sebagai anak ke-3 dari empat bersaudara pasangan Ishak, S.Pd. dan Hainim S.Pd. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan penulis di SDN 2 Keluncing Tahun 1997, selanjutnya melanjutkan sekolah ke SMPN 2 Terara, lulus Tahun 2000. Pendidikan sekolah menengah atas diselesaikan Tahun 2003 di SMAN 1 Terara. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi melalui program SPMB (Sleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2003 di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin dan menyelesaikan studinya tahun 2007 dengan lama studi 3 tahun 11 bulan. Pada Tahun 2007 penulis diterima sebagai dosen tetap yayasan IKIP-Mataram di Program Studi Biologi FPMIPA IKIP Mataram. Tahun 2009 penulis melanjutkan studi magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu Kelautan. Dalam penyelesaian studi magister sains, penulis menyusun thesis yang berjudul “Percampuran Turbulen Akibat Pasang Surut Internal dan Implikasinya Terhadap Nutrien di Selat Ombai”.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xxv
DAFTAR GAMBAR ... xxvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xxix
1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Kerangka Pemikiran... 3 1.3 Tujuan dan Manfaat ... 5
2 TINJAUANPUSTAKA ... 7 2.1 Turbulensi (Olakan) ... 7 2.2 Ketidakstabilan Massa Air ... 8 2.3 Percampuran (Mixing) ... 10 2.4 Pasang Surut Internal ... 11 2.5 Nutrien di Perairan ... 13 2.6 Pelayaran INDOMIX 2010 ... 14
3 BAHAN DAN METODE ... 17 3.1 Waktu dan Tempat ... 17 3.2 Metode Pengumpulan Data ... 17 3.3 Metode Pengukuran Nutrien ... 18 3.3.1 Nitrat ... 18 3.3.2 Fosfat ... 19 3.3.3 Silikat ... 19 3.4 Metode Akuisisi Data ... 20 3.5 Metode Analisis Data ... 22 3.6 Metode Penentuan Lapisan Kolom Perairan ... 26
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27 4.1 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas ... 27 4.2 Massa Air yang Melewati Selat Ombai ... 32 4.3 Stabilitas Statis ... 35 4.4 Gelombang Internal ... 37 4.5 Estimasi Skala Thorpe ... 39 4.6 Estimasi Energi Kinetik Disipasi Turbulen Eddy dan
5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 53 5.1 Kesimpulan ... 53 5.2 Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 55
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Data penurunan CTD ... 18
2 Karakter massa air yang melewati Selat Ombai ... 33
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran ... 4
2 Transfer energi dari pasut barotropik ke baroklinik ... 13
3 Profil nutrien di Laut Banda (I), kedalaman Weber (II), dan Laut Arafura
(III) ... 14
4 Proses-proses fisik yang mempengaruhi distribusi nutrien di kolom
perairan ... 15
5 Rute pelayaran Indomix 2010, dimulai dari pelabuhan Sorong di Papua
tanggal 9 Juli 2010, kemudian ke Laut Halmahera, Laut Seram, Laut
Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat Lombok dan berakhir di
pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tanggal 22 Juli 2010 ... 16
6 Lokasi pengukuran yo-yo CTD selama 24 jam ... 17
7 Diagram alir analisis data ... 23
8 Ilustrasi proses pencarian nilai Thrope displacement. Data densitas
sebenarnya dengan kondisi instabilitas statis (kotak dengan garis titik-
titik), disusun ulang untuk mencari densitas kondisi stabilitas statis (garis
putus-putus merah). Jarak perpindahan dari kedalaman awal ke
kedalaman baru merupakan nilai Thorpe displacement ... 23
9 Profil vertikal temperatur (a), salinitas (b), dan densitas (c) Selat
Ombai ... 28
10 Korelasi linier antara kecepatan angin sesaat dan ketebalan lapisan
tercampur... 29
11 Profil vertikal temperatur (a), salinitas (b), dan densitas (c) yang
diperbesar sampai kedalaman 500m ... 30
12 Back scater data LADCP dengan arah meridional di Selat Ombai. Warna
merah sampai kuning menunjukkan arus bergerak ke utara dan biru
sampai ungu ke arah selatan ... 31
13 Diagram TS di Selat Ombai tanggal 16-17 Juli 2010 (a). Tanda panah
merah menunjukkan massa air yang terdeteksi. Hasil pembesaran
massa air NPSW (b) dan NPIW (c) ... 33
14 Frekuensi Brunt Vaisala (garis biru) yang ditumpang tindih dengan
temperatur (garis merah) pada ulangan 5-1 (a), 5-2 (b), 5-3 (c), 5-4 (d),
15 Rambatan gelombang internal dari data CTD Selat Ombai dengan
puncak dan lembah gelombang ditunjukkan dengan anak panah (a).
prediksi pasut di Pelabuhan Dili pada tanggal 16-17 Juli 2010 (b) ... 38
16 Perbandingan antara densitas awal dengan densitas stabilitas statis
untuk seluruh kedalaman pada saat surut (a) di ulangan 5-2 (atas) dan
ulangan 5-6 (bawah). Bila kotak hijau pada gambar (a) diperbesar maka
akan terlihat bahwa massa air densitas rendah (kotak hitam garis titik-
titik) berada di bawah massa air densitas tinggi (kotak hitam garis putus-
putus) (b). ... 40
17 Perbandingan antara densitas awal dengan densitas stabilitas statis
untuk seluruh kedalaman pada saat pasang (a) di ulangan 5-4. bila kotak
hijau pada gambar (a) diperbesar maka akan terlihat bahwa massa air
pada saat surut cenderung dalam kondisi stabilitas statis (b). ... 41
18 Perbandingan data Thorpe displacement sebelum diterapkan metode
GK (a) dan sesudah diterapkan metode GK (b). Contoh data noise lebih
jelas terlihat di kotak garis titik-titik dan yang sudah dihaluskan di kotak
garis putus-putus ... 42
19 Thorpe displacement seluruh ulangan ... 43
20 Nilai skala Thorpe Selat Ombai ... 45
21 Grafik nilai energi kinetik disipasi turbulen eddy dengan standar deviasi
Selat Ombai ... 46
22 Nilai difusivitas vertikal eddy dengan rataan kedalaman 10 m ... 47
23 Profil vertikal nitrat (a), fosfat (b), dan silikat (c) di Selat Ombai ... 49
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Profil vertikal temperatur ... 63
2 Profil vertikal temperatur yang diperbesar sampai kedalaman
500 m ... 66
3 Profil vertikal salinitas... 69
4 Profil vertikal salinitas yang diperbesar sampai kedalaman
500 m ... 72
5 Profil vertikal densitas (sigma theta) ... 75
6 Profil vertikal densitas (sigma theta)yang diperbesar sampai
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sirkulasi termohalin yang lebih dikenal dengan the Great Conveyor Belt
(GCB) merupakan sirkulasi skala global yang mensirkulasikan semua massa air
lautan di dunia. Salah satu komponen penting dari GCB adalah Arus Lintas
Indonesia (Arlindo) yang mentransfer massa air dari Samudera Pasifik ke
Samudera Hindia. Arlindo mempengaruhi transfer bahang dari Samudera Pasifik
ke Samudera Hindia dan posisi daerah konveksi atmosfer sehingga Arlindo
berperan penting dalam mempengaruhi iklim global secara umum dan iklim tropis
secara khusus (Schneider, 1998; Koch-Larrouy et al., 2010). Variabilitas massa
air yang ditransfer Arlindo menunjukkan adanya korelasi yang kuat dengan
anomali iklim seperti ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan sistem muson
(Webster et al., 1999; Koch-Larrouy et al., 2010).
Hasil observasi dan pemodelan sirkulasi samudera menunjukkan terdapat
dua lintasan Arlindo. Lintasan pertama (lintasan barat) merupakan lintasan utama
yang membawa sekitar 11,6 + 3,3 Sv (1 Sv = 106 m3 s-1) massa air Samudera
Pasifik Utara yaitu dari lapisan termoklin (North Pacific Subtropical Water,
NPSW) dan lapisan bawah termoklin (North Pacific Intermediete Water, NPIW).
Massa air lintasan barat masuk melalui Selat Mindanao kemudian ke Laut
Sulawesi dan mengalir ke Selat Makassar. Sebagian kecil massa air lintasan
barat (sekitar 2,6 Sv) keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok,
sedangkan sebagian besar berbelok ke arah timur menuju Laut Flores kemudian
ke Laut Banda dan keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan
Laut Timur (Ffield dan Gordon, 1992; Gordon, 2005; Gordon et al., 2008;
Sprintall et al., 2009). Lintasan timur merupakan lintasan sekunder yang masih
belum diteliti secara intensif. Hasil pengukuran yang dilakukan Van Aken et al.
(2009) di Lifamatola menunjukkan bahwa lintasan timur Arlindo membawa sekitar
2,5 Sv massa air yang berasal dari Samudera Pasifik selatan dari lapisan yang
lebih dalam (South Pacific Subtropical Lower Thermocline Water, SPSLTW)
melalui Laut Maluku menuju Laut Banda. Namun jumlah massa air yang dibawa
oleh lintasan timur ini belum terestimasi dengan baik. Hal ini disebabkan adanya
masukan massa air lain pada lintasan timur, yaitu melalui Laut Halmahera
(Wyrtki, 1961; Ilahude dan Gordon, 1996; Gordon, 2005) yang belum pernah
Banda, kemudian keluar menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai
sebanyak 4,9 Sv dan Laut Timor sebanyak 7,5 Sv (Ffield dan Gordon, 1992;
Gordon, 2005; Sprintall et al., 2009).
Massa air yang mengalir dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia
melalui Arlindo mengalami perubahan karakter. Hasil pengukuran salinitas
massa air Arlindo menunjukkan perubahan pada aliran masuk dan keluar, yaitu
salinitas massa air NPSW dari 34,90 psu menjadi 34,54 psu dan massa air NPIW
dari 34,35 psu menjadi 34,47 psu. Perubahan salinitas ini mengindikasikan
bahwa di perairan Indonesia terjadi proses percampuran vertikal yang sangat
kuat (Ffield Gordon, 1996; Hautala et al., 1996; Hatayama, 2004; Robertson dan
Ffield, 2005; Koch-Larrouy et al., 2007; Atmadipoera et al., 2009). Selain
merubah karakteristik massa air, proses percampuran vertikal juga mampu
mensuplai nutrien di lapisan atas karena adanya pergerakan massa air dari
lapisan bawah yang kaya nutrien ke lapisan atas sehingga akan mempengaruhi
distribusi dan fluks nutrien secara vertikal (Horne et al., 1996; Law et al., 2003).
Proses percampuran vertikal dapat disebabkan oleh topografi yang kasar
(misalnya awang), selat, dan gelombang internal. Berbagai hasil pemodelan 2
dimensi dan 3 dimensi menunjukkan perairan Indonesia merupakan wilayah yang
dicirikan dengan nilai pasang surut (pasut) internal yang kuat. Hasil pemodelan
menunjukkan energi yang ditransfer dari pasut barotropik ke pasut baroklinik di
perairan Indonesia sebesar 0,11 TW (Terawatt = 1012 Watt) atau sekitar 10 %
dari jumlah transfer di seluruh lautan (1,1 TW) (Carrere dan Lyard, 2003). Pasut
internal yang kuat ini merupakan energi utama dan proses inti untuk
mentransformasi massa air Arlindo yang menuju Samudera Hindia.
Salah satu perairan Indonesia yang memiliki nilai pasut baroklinik (internal)
yang tinggi adalah Selat Ombai, dimana kecepatan arus pasut internalnya paling
kuat di perairan Indonesia yaitu lebih dari 0,5 m s-1 (Robertson dan Ffield, 2005;
Koch-Larrouy et al., 2007). Kombinasi antara energi dan kecepatan arus pasut
internal yang kuat menjadikan Selat Ombai memiliki potensi yang besar untuk
terjadinya proses percampuran turbulen. Namun demikian, belum diketahui
besarnya nilai percampuran tubulen yang terjadi. Percampuran tubulen
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan naiknya nutrien ke lapisan atas
yang sangat penting untuk kehidupan biota. Oleh karena itu, perlu dilakukan
besarnya percampuran turbulen yang dikarakterisasi oleh nilai vertikal difusivitas
eddy dengan fluks nutrien yang terjadi pada kolom perairan.
1.2 KerangkaPemikiran
Penelitian tentang percampuran di perairan Indonesia bukan merupakan
hal yang baru. Berbagai pendekatan dilakukan untuk mengetahui besarnya nilai
percampuran turbulen yang terjadi di perairan Indonesia, baik menggunakan data
satelit maupun data hasil pengukuran langsung. Ffield dan Gordon (1992)
menggunakan data CTD dari hasil pengukuran National Oceanic Data Center
(NODC) untuk menduga nilai percampuran lapisan termoklin perairan Indonesia
dan menghasilkan nilai sebesar 1,0 x 10-4 m2 s-1. Nilai percampuran tersebut
hampir sama dengan hasil simulasi percampuran pasut 3D yang dilakukan
Koch-Larrouy et al. (2007) yaitu 1,5 x 10-4 m2 s-1. Pendekatan lain dilakukan juga oleh
Hatayama (2004) dengan menggunakan pemodelan numerik yang menghasilkan
nilai maksimum vertikal difusifitas sebesar 6,0 x 10-3 m2 s-1 di Ambang (Sill)
Dewakang.
Beberapa pendekatan di atas menghasilkan nilai percampuran yang
bervariasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan lain untuk mengestimasi
percampuran turbulen sehingga lebih menggambarkan kondisi di alam. Salah
satu pendekatan tersebut adalah dengan menggunakan metode skala Thorpe
yang melakukan estimasi nilai percampuran turbulen berdasarkan profil vertikal
massa air yang diperoleh dari data CTD (Conductivity Temperature Depth).
Pemilihan penggunaan data CTD ini dilakukan berdasarkan Ffield dan Gordon
(1996) yang menegaskan bahwa percampuran turbulen yang terjadi di perairan
Indonesia disebabkan oleh adanya pasut internal, dimana salah satu cara untuk
mengetahui adanya pasut internal ini adalah melalui pengukuran data CTD
secara deret waktu (minimal satu siklus pasut).
Pengambilan data CTD di Selat Ombai dilakukan bersama dengan
kegiatan pelayaran Indonesian Mixing (INDOMIX) 2010. Pada kegiatan
pelayaran ini dilakukan penurunan yo-yo CTD selama 24 jam di Selat Ombai
sehingga memberikan kesempatan untuk memperoleh data CTD secara deret
waktu. Data yo-yo CTD yang diperoleh dalam pelayaran memenuhi kriteria
dilakukannya perhitungan estimasi nilai percampuran turbulen yang lebih akurat
dan sinyal gelombang internal yang menyebabkan terjadinya percampuran
INDOMIX 2010 dilakukan juga pengukuran profil vertikal nutrien dari sampel air
pada tekanan tertentu yang diambil dengan botol rosette yang diturunkan
bersama CTD. Hal tersebut memungkinkan untuk dilakukannya estimasi dampak
percampuran turbulen terhadap fluks nutrien di Selat Ombai. Secara skematik,
[image:34.595.81.492.82.739.2]kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Kerangka pemikiran.
Berdasarkan hal di atas, maka yang akan dijawab dalam penelitian ini
adalah :
a. Berapa besar nilai percampuran turbulen (vertikal eddy diffusivitas) di Selat
Ombai
b. Bagaimana efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien (nitrat, fosfat,
dan silikat)
Nilai percampuran lapisan termoklin perairan Indonesia 1,0 x 10-4 m2s-1 (Ffield dan Gordon, 1992)
Nilai percampuran perairan Indonesia 1,5 x 10-4 m2s-1
(Koch-Larrouy, 2007)
Nilai percampuran Ambang Dewakan
6,0 x 10-3 m2s-1 (Hatayama, 2004)
Nilai percampuran yang bervariasi
Metode Lain : pendekatan skala Thorpe
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penelitian ini adalah
a. Mengestimasi percampuran turbulen (vertikal eddy difusivitas) di Selat Ombai
menggunakan pendekatan skala Thorpe
b. Mengestimasi efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien (nitrat, fosfat,
dan silikat)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai :
a. Parameterisasi model sehingga tingkat akurasi model menjadi lebih baik b. Informasi tentang efek percampuran turbulen terhadap fluks nutrien dapat
digunakan untuk mengetahui produktivitas perairan Selat Ombai sehingga
dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ketersedian sumberdaya alam yang
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Turbulensi (Olakan)
Turbulen adalah proses fisik yang dominan pada fluida yang
pergerakannya bersifat energetic, rotasional, eddies, dan irreguler (Stewart,
2002; Thorpe, 2007). Turbulensi di dekat permukaan laut biasanya digerakkan
oleh angin dan berfungsi untuk mentransmisikan bahang ke dalam dan ke luar
laut (Neumann dan Pierson, 1966). Turbulensi di dekat dasar laut mempengaruhi
deposisi, transfer momentum, resuspensi partikel organik dan inorganik dan
pergerakan sedimen. Air laut umumnya bergerak dalam aliran turbulen dan
jarang sekali dalam aliran laminar (bersifat teratur) (Thorpe, 2007).
Menurut Monin dan Ozmidov (1985) berdasarkan sifat alamiahnya, skala
spasial-temporal, arah percampuran, dan intensitas, gerakan turbulensi di laut
diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu :
a. Turbulensi skala meso
Pada skala ini turbulensi diciptakan oleh ketidakstabilan (misalnya
ketidakstabilan baroklinik, barotropik, dll) dan biasanya terjadi di
sepanjang permukaan dengan densitas konstan (isopiknal). Turbulensi ini
sering disebut turbulensi skala Rosbby karena mempunyai dimensi jarak
antara 10–100 km. b. Turbulensi skala mikro
Pada skala ini turbulensi terutama diciptakan oleh shear dan pecahnya
gelombang internal dan mempunyai skala dimensi jarak 0,001–1 m serta terjadi dalam arah vertikal. Pergerakan turbulensi skala mikro terjadi
dalam arah vertikal sehingga turbulensi ini mengontrol dinamika arus
serta pertukaran vertikal dalam sirkulasi di estuari dan pesisir serta
mengontrol interaksi udara-laut.
Pergerakan massa air yang bersifat turbulen atau laminar diketahui dengan
menggunakan Bilangan Reynolds dengan persamaan (Monin dan Ozmidov,
1985; Lesieur, 1997; Stewart, 2002; Thorpe, 2007; ):
dimana adalah tipikal velositas aliran (m s-1), adalah tipikal panjang (m) yang
air adalah 10-6 m2 s-1). Jika nilai kurang dari 10-3 maka dikatakan aliran bersifat
laminar dan jika lebih dari 105 maka aliran bersifat turbulen.
Menurut Thorpe (2007), pergerakan air yang bersifat turbulen merupakan
pergerakan air yang memiliki nilai energi kinetik yang berasal dari pecahnya
gelombang baik gelombang internal maupun gelombang permukaan. Energi
kinetik yang berada dalam aliran tubulen akan mengalami pemecahan menjadi
bentuk yang lebih kecil (dissipation) yang nantinya berfungsi untuk mentransfer
bahang atau energi ke media yang lain. Contoh proses transfer energi ke media
yang lain misalnya proses turbulen dapat mengikis sedimen yang ada di dasar
perairan, membawa sedimen ini ke kolom perairan, dll. Menurut Ozmidov (1965)
in Park et al., (2008) besarnya energi kinetik yang mengalami proses disipasi
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
dimana adalah skala panjang Ozmidov (m), adalah frekuensi apung atau
frekuensi Brunt Vaisala (s-1). persamaan ini sangat penting karena
menggambarkan besar energi kinetik yang hilang dan bersifat irrevesible di
lautan.
Salah satu metode untuk mengukur besarnya nilai turbulensi adalah
dengan melakukan kalkulasi terhadap persamaan gerak, konduksi temperatur
dan proses diffusi (Monin dan Ozmidov, 1985). Menurut Thorpe (2007) proses
turbulensi merupakan konsekuensi dari adanya dispersi suatu partikel material
melalui difusi, sehingga untuk mengetahui besar kecilnya turbulensi vertikal suatu
fluida (air dan atmosfer), dapat dilakukan dengan menghitung nilai difusivitas
eddy dengan persamaan:
dimana adalah konstanta efisiensi mixing yang memiliki nilai 0,2 dan adalah
frekuensi Brunt Vaisala (s-1).
2.2 Ketidakstabilan Massa Air
Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dari
berbagai parameter oseanografi yang ada. Parameter ini meliputi temperatur,
berbeda-beda tergantung dari tekanan. Adanya fenomena pelapisan massa air ini akan
mempengaruhi kestabilan massa air tersebut (Pond dan Pickard, 1983).
Densitas suatu perairan akan sangat mempengaruhi kestabilan perairan
yang ada. Densitas akan meningkat seiring dengan bertambahnya tekanan.
Pada kondisi ideal atau dalam kondisi tidak ada ganguan, massa air yang
memiliki densitas rendah akan selalu berada di atas massa air yang berdensitas
tinggi. Namun pada kondisi nyata densitas tidak selalu tersusun seperti kondisi
tersebut. Kondisi ini akan mengakibatkan ketidakstabilan massa air karena
massa air ini akan berosilasi atau bergerak secara vertikal (naik/turun) untuk
mencari posisi stabil (Pickard dan Emery, 1990).
Pengujian gradien temperatur (untuk air tawar) dan densitas (untuk air laut)
secara vertikal merupakan teknik yang umum digunakan untuk melihat apakah
suatu lapisan perairan dalam kondisi stabil atau tidak. Fluida dikatakan tidak
stabil apabila terjadi kecenderungan pergerakan atau perubahan posisi massa air
secara vertikal dari kedudukan awalnya tanpa kembali lagi ke posisi awalnya.
Jika fluida tidak memberikan hambatan secara berarti terhadap gerakan secara
vertikal maka fluida dikatakan tetap netral. Fluida akan dikatakan stabil jika fluida
tersebut memberikan perlawanan gerak secara vertikal (Pond dan Pickard,
1983).
Kestabilan massa air ini dapat ditentukan dengan persamaan stabilitas ( )
(Pond dan Pickard, 1983; Stewart, 2002; Emery et al., 2007):
dimana adalah densitas perairan (kg m-3) dan adalah kedalaman (m). Fluida
dikatakan stabil jika > 0, netral jika = 0 dan tidak stabil jika < 0. Jika
perbedaan nilai densitas terhadap kedalaman semakin besar, maka lapisan
perairan akan semakin stabil.
Menurut Stewart (2002) kondisi perairan laut yang berkaitan dengan stabil
tidaknya suatu massa perairan dapat dikatagorikan menjadi 4 jenis:
a. Air yang hangat dan kurang asin berada di atas air dingin dan asin. Air
dalam kondisi ini selalu bersifat stabil
b. Air yang dingin dan asin berada di atas air yang hangat dan kurang asin.
Air dalam kondisi ini selalu tidak stabil
c. Air yang hangat dan asin berada di atas air yang dingin dan kurang asin.
daerah sub-tropical gyre, tropis barat Atlantik Utara, dan barat laut
Atlantik.
d. Air yang dingin dan kurang asin berada di atas air yang hangat dan asin.
Proses ini disebut konveksi difusi. Kondisi ini tidak sebanyak proses salt
finger dan biasanya terjadi pada daerah lintang tinggi.
2.3 Percampuran (Mixing)
Kondisi fluida yang tidak stabil di laut akan menyebabkan fluida mengalami
proses percampuran (Stewart, 2002). Menurut Pond dan Pickard (1983) pada
saat fluida berdensitas tinggi berada di atas fluida berdensitas rendah, maka
akan terjadi pergerakan secara vertikal untuk mencari posisi stabil. Fluida yang
berdensitas tinggi akan tenggelam akibat adanya gaya gravitasi sedangkan yang
berdensitas rendah akan naik karena adanya daya apung. Gerakan naik turun
fluida untuk mencari posisi stabil dikenal dengan bouyancy frequency atau
frekuensi Brunt Vaisala ( ) yang secara matematik ditulis dengan :
dimana adalah percepatan gravitasi bumi (9,8 m s-2), adalah background
density yaitu densitas rata-rata dari hasil pengukuran (kg m-3).
Jarak perpindahan massa air dalam kondisi tidak stabil dapat diketahui
dengan menggunakan skala panjang pada turbulen eddy (Dillon, 1982). Thorpe
(1977) mengembangkan metode empirik untuk memperkirakan skala panjang
turbulen eddy pada aliran horizontal yang bersifat homogen dan pembalikan
densitas yang disebabkan oleh pengadukan turbulen. Dillon (1982)
menambahkan skala panjang yang dikembangkan Thorpe lebih dikenal dengan
skala Thorpe . Secara matematis, dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan:
dimana adalah nilai Thorpe displacement (m) pada sample ke dan adalah
jumlah sampel.
Daerah pycnocline merupakan daerah yang paling stabil diantara semua
lapisan perairan, sehingga daerah ini membutuhkan energi yang lebih besar
percampuran terjadi pada lapisan tercampur dan lapisan bawah yang hampir
homogen (Pickard dan Emery, 1990). Proses percampuran dapat dibagi menjadi
percampuran horizontal dan vertikal. Energi yang dibutuhkan untuk melakukan
percampuran vertikal jauh lebih besar dibandingkan dengan percampuran
horizontal. Energi percampuran vertikal akan semakin besar dibutuhkan dengan
semakin stabil pelapisan massa air (Stewart, 2002).
Komponen percampuran vertikal dan horizontal memiliki perbedaan dalam
skala dan intensitas. Percampuran turbulen secara vertikal jauh lebih kecil
dibandingkan percampuran turbulen horizontal. Perbedaan ini disebabkan oleh
dimensi vertikal massa air yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan dimensi
horizontal sedangkan gradien (misalnya gradien temperatur, densitas, tekanan,
dll) horizontal lebih kecil dibandingkan gradien vertikal. Secara horizontal
temperatur air laut dapat berubah 10o C atau lebih pada jarak ribuan kilometer,
namun secara vertikal perubahan ini terjadi pada selang hanya 1 km saja.
Adanya lapisan-lapisan air karena perbedaan densitas secara vertikal
merupakan faktor utama yang menghalangi proses percampuran vertikal (Brown
et al., 1993).
Pergerakan fluida secara vertikal, mengakibatkan fluks nutrien dari lapisan
bawah ke lapisan yang lebih atas. Hal ini menyebabkan proses percampuran
memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan fitoplankton untuk
menopang pasokan nutrien yang sangat dibutuhkan untuk melakukan proses
fotosintesis (Thorpe, 2007). Fluks nutrien yang ditimbulkan oleh proses
percampuran dapat dihitung dengan menggunakan persaman (Horne et al.,
1996; Law et al., 2003):
dimana merupakan perbedaan konsentrasi nutrien pada selang kedalaman
(m). Selain berperan dalam fluks nutrien, percampuran juga memiliki peranan
penting dalam mempelajari perubahan iklim, dispersi polutan di lautan, dinamika
arus secara global, dan perubahan komposisi massa air.
2.4 Pasang Surut Internal
Gelombang internal merupakan gelombang yang terbentuk di bawah
antara dua lapisan yang memiliki gradien densitas yang tinggi, seperti antara
lapisan tercampur dengan lapisan termoklin. Bila lapisan interface mengalami
gangguan (misalnya oleh arus menabrak/melintasi daerah ambang atau perairan
dangkal) maka massa air menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan disebabkan massa
air desitas tinggi berada di atas massa air densitas rendah. Adanya gravitasi
bumi dan gaya apung mengakibatkan massa air akan bergerak vertikal menuju
posisi stabil. Namun akibat adanya sifat kelembaman, maka massa air ini
bergerak melewati posisi stabilnya. Proses ini terus berulang sehingga akan
menghasilkan osilasi dalam kolom perairan. Pergerakan massa air secara terus
menurus ini akan mengakibatkan terbentuknya gelombang internal. Gelombang
internal yang memiliki periode sama dengan periode pasang surut dinamakan
pasang surut (pasut) internal. Pasut internal merupakan salah satu energi utama
proses percampurandi laut.
Perairan Indonesia merupakan perairan yang memiliki energi pasut internal
yang tinggi. Hampir sekitar 10% transfer energi global dari pasut barotropik ke
pasut baroklinik ditemukan di perairan semi tertutup Indonesia. Nilai transfer
energi di perairan Indonesia terutama tinggi pada basin semi tertutup, ambang
(sill), dan selat (Gambar 2) (Carrere dan Lyard, 2003; Koch-Larrouy et al., 2007).
Adanya gelombang internal yang terperangkap pada daerah ambang membuat
daerah ambang merupakan daerah yang memiliki energi pasut internal yang
tinggi, seperti yang terjadi di Ambang Dewakang. Semakin tinggi energi pasut
internal maka proses percampuran vertikal akan semakin tinggi pula (Hatayama,
2004).
Pemodelan gelombang internal di perairan Indonesia yang menggunakan
Regional Ocean Model System (ROMS) dengan data yang berasal dari mooring
dan satelit TOPEX/Poseidon (T/P) menunjukkan energi terbesar untuk pasut
internal terdapat pada perairan selat dan perairan yang memiliki topografi kasar.
Selat Ombai dan Laut Seram memiliki energi pasut internal (M2) yang paling
tinggi dengan kecepatan arus maksimum 50 cm s-1 (Robertson dan Ffield, 2005).
Peningkatan kecepatan arus pada Selat Ombai disebabkan oleh penyempitan
jalur aliran. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai rata-rata fluks energi
barotropik dari pasut M2 di sekitar Selat Ombai mencapai 500 kW m-1 ( Ray et al.,
Gambar 2 Transfer energi dari pasut barotropik ke baroklinik (Carrere dan Lyard, 2003 in Koch-Larrouy et al., 2007).
2.5 Nutrien di Perairan
Nutrien merupakan unsur esensial selain cahaya yang sangat dibutuhkan
mahluk hidup yang mampu melakukan fotosintesis. Di daerah tropis, cahaya
selalu tersedia sepanjang tahun sehingga nutrien menjadi faktor pembatas bagi
perkembangan mahluk hidup di lapisan permukaan. Nutrien yang sangat
dibutuhkan untuk proses fotosintesis adalah nitrat dan fosfat, sedangkan silikat
digunakan oleh mahluk hidup untuk membentuk cangkang (misalnya Radiolaria,
Abalone, dll.) (Lalli dan Parsons, 2006). Sumber utama nutrien di lautan ada dua
yaitu dari proses autotonus (berasal dari dalam sistem, misalnya upwelling) dan
allotonus (berasal dari luar sistem, misalnya dari transport sungai) (Riley dan
Chester, 1971).
Konsentrasi nutrien di perairan akan berbeda-beda baik secara horizontal
maupun vertikal. Secara horizontal, konsentrasi nutrien tinggi di daerah pantai
dan rendah di laut lepas. Hal ini disebabkan suplai nutrien berasal dari daratan
utama yang masuk ke daerah pantai melalui aliran sungai. Secara vertikal,
konsentrasi nutrien rendah di bagian permukaan dan tinggi di lapisan dalam
(Riley dan Chester, 1971). Hal yang sama didapatkan oleh Wetsteyn et al. (1990)
bahwa secara verikal konsentrasi nitrat (NO3) pada musim kemarau di laut
Banda dan Laut Arafura meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman
(Gambar 3). Hal ini disebabkan karena pada bagian permukaan nutrien banyak
digunakan untuk proses fotosintesis, sedangkan pada lapisan dalam fotosintesis
tidak berlangsung karena ketidaktersediaan cahaya (Lalli dan Parsons, 2006).
Ketersediaan dan transport nutrien di kolom perairan sangat dipengaruhi
oleh proses fisik seperti transport dari sungai, upwelling, dan percampuran
vertikal (Gambar 4). Percampuran vertikal memegang peranan penting untuk
mensuplai kebutuhan nutrien terutama pada daerah sill atau selat yang memiliki
nilai percampuran yang tinggi (Liu et al., 2010). Law et al. (2003) menambahkan
adanya korelasi linier antara nilai percampuran dengan tinggi rendahnya fluks
nutrien pada kolom perairan.
2.6 Pelayaran INDOMIX 2010
Pelayaran INDOMIX (Internal Tides and Mixing in The Indonesian
Throughflow) merupakan riset kerjasama antara Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan LEGOS dan LOCEAN
Prancis. Pelayaran ini menggunakan Kapal Riset Marion Dufresne dan diikuti
oleh 43 peserta yaitu 20 orang peneliti Perancis dan 23 orang peneliti Indonesia.
Gambar 4 Proses-proses fisik yang mempengaruhi distribusi nutrien di kolom perairan (Liu et al., 2010)
Tujuan utama dari penelitian ini adalah :
a. Mengkarakterisasi pasut internal dengan menggunakan CTD/LADCP
b. Pengukuran langsung disipasi dan percampuran turbulent
c. Mengukur kontribusi pasut internal terhadap percampuran turbulen
menggunakan data CTD/LADCP dan Mikrostruktur
d. Investigasi dampak percampuran turbulen terhadap distribusi
bio-geokimia dan phytoplankton
e. Pengamatan burung dan mamalia laut.
Pelayaran ini dilakukan dari tangal 9 -22 juli 2010 dengan rute pelayaran
mulai dari Papua, Laut Halmahera, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat
Lombok dan berakhir di Surabaya (Gambar 5). Selama perlayaran berlangsung,
dilakukan pengukuran berbagai parameter. Pengukuran parameter oseanografi
fisika dilakukan dengan menggunakan Vertical Microstructure Profiler (VMP),
Conductivity Temperature Depth (CTD), Expendable Conductivity Temperature
Depth (XCTD), dan LoweredAcoustic Doppler Current Profiler (LADCP). Di Laut
Halmahera dilakukan pelepasan mooring untuk mengukur transport Arlindo yang
melalui lintasan timur. Pengukuran parameter atmosfer dilakukan dengan
menggunakan Radiosonde. Pada pelayaran ini juga dilakukan perekaman data
oleh Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler (SADCP), pengambilan nutrien
kedalaman serta pengamatan nekton, burung dan mamalia laut selama
pelayaran.
3
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Studi tentang percampuran turbulen merupakan bagian dari pelayaran
INDOMIX yang dilaksanakan pada tanggal 9-22 Juli 2010 dengan menggunakan
Kapal Riset Marion Dufresne, sedangkan lokasi penelitian adalah di Selat Ombai
(Gambar 6). Untuk pengukuran konsentrasi nutrien dilakukan di Laboratorium
Prolink Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Pengolahan data
dilakukan di Laboratorium Oseanografi Fisika dan Laboratorium Data Processing
FPIK IPB.
[image:47.595.98.491.220.693.2]Gambar 6 Lokasi pengukuran yo-yo CTD selama 24 jam.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah temperatur, salinitas,
tekanan, densitas, dan nutrien. Data temperatur, salinitas, dan tekanan diperoleh
dengan menggunakan sensor Conductivity Temperature Depth (CTD) Sea-Bird
Electronics (SBE) 911 Plus. Data nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) diperoleh dari
air yang diambil dengan menggunakan botol rosette yang diturunkan bersama
dengan CTD. Sampel air yang diambil sebanyak 22 sampel masing-masing pada
900, 1000, 1100, 1200, 1300, 1400, dan 1500 db. Air yang sudah diambil
kemudian disaring dengan kertas saring whatman 0,4 µm. Pada tiap tekanan
diambil air yang sudah disaring sebanyak 500 ml, kemudian diawetkan dengan
MgCO3 sebanyak 10 ml. Selama pelayaran sampel disimpan dalam lemari
pendingin.
Akuisisi data menggunakan perangkat lunak SEASAVE dengan frekuensi
pengoperasian 24 Hz yang artinya untuk mendapatkan satu data dilepaskan 24
gelombang dari alat pengambil data selama satu detik. Pengambilan data
dengan CTD dilakukan dengan kondisi kapal diam pada koordinat yang telah
ditentukan. CTD diturunkan sembilan kali penurunan (casts) selama 24 jam
dengan tekanan (kedalaman) yang berbeda-beda (Tabel 1). Untuk menjaga
stabilitas sensor konduktivitas dan temperatur di setiap penurunan CTD,
dilakukan perendaman terhadap sensor dengan menggunakan akuades. Data
mentah (raw data) yang sudah direkam CTD diunduh terlebih dahulu dan
kemudian dilakukan pengolahan lebih lanjut. Data angin sesaat diambil ketika
[image:48.595.76.484.0.754.2]proses penurunan CTD berlangsung (Tabel 1).
Tabel 1 Data penurunan CTD
Ulangan Posisi Tanggal dan
waktu
Tekanan (db) Angin Sesaat
CTD Perairan Kecepatan (m s-1) Arah (o)
5-1 8,24967 LS; 125,3857 BT 16/07/2010 16:18 1509 1515 11,32 122
5-2 8,24967 LS; 125,3858 BT 16/07/2010 19:26 1491 1514 7,72 116
5-3 8,24983 LS; 125,3857 BT 16/07/2010 22:03 1517 1529 10,80 123
5-4 8,25000 LS; 125,3858 BT 17/07/2010 02:19 1429 1500 9,77 111
5-5 8,28383 LS; 125,2443 BT 17/07/2010 05:46 1549 1539* 7,20 106
5-6 8,28383 LS; 125,2440 BT 17/07/2010 08:21 1414 1538 7,72 118
5-7 8,28417 LS; 125,2440 BT 17/07/2010 11:54 1303 - 2,57 127
5-8 8,28433 LS; 125,2443 BT 17/07/2010 13:33 409** 1300 - -
5-9 8,28433 LS; 125,2445 BT 17/07/2010 14:09 1181 1300 6,69 97
* Error pada sensor batimetri
** Percobaan pengambilan data nitrat dengan sensor ISUS
3.3 Metode Pengukuran Nutrien
3.3.1 Nitrat
Pengukuran konsentrasi nitrat menggunakan metode Brucine dengan
a. Mengambil 5 ml sampel yang sudah disaring, kemudian memasukkan air ke
tabung reaksi.
b. Menambahkan larutan brucin sebanyak 0,5 ml, lalu mengaduknya sampai
rata.
c. Menambahkan asam sulfat (H2SO4) pekat dengan konsentrasi 36 Normalitas
(N) sebanyak 5 ml lalu mengaduknya sampai rata.
d. Memanaskan selama 30 menit sampai mendidih pada hot plate dengan
temperatur 105oC.
e. Mengangkat dan mendinginkan air sampel yang sudah mendidih hingga
mencapai temperatur ruangan.
f. Membaca tingkat absorbansi nitrat pada spektrofotometer dengan panjang gelombang (λ) 410 nm.
g. Untuk larutan blanko (akuades) dibuat dengan prosedur yang sama.
3.3.2 Fosfat
Pengukuran konsentrasi fosfat menggunakan metode Ascorbic Acid
dengan tahapan sebagai berikut (Eaton et al., 2005):
a. Memasukkan 50 ml air laut yang sudah disaring ke dalam gelas beker
b. Menambahkan 2 ml H2SO4 6 N dan memanaskan hingga volume air dalam
gelas beker menjadi kira-kira 15 ml.
c. Menambahkan 2 tetes phenolphtalin
d. Menambahkan NaOH hingga warna air menjadi merah muda
e. Menambahkan akuades hingga volume menjadi 50 ml
f. Mengambil 25 ml larutan dan menambahkan 4 ml larutan campuran
g. Membaca tingkat absorbansi fosfat pada spektrofotometer dengan panjang gelombang (λ) 880 nm.
h. Untuk larutan blanko (akuades) dibuat dengan prosedur yang sama.
3.3.3 Silikat
Pengukuran konsentrasi silikat menggunakan metode Molybdosilicate
dengan langkah kerja sebagai berikut (Eaton et al., 2005):
a. Menuang masing-masing 10 ml sampel air yang sudah disaring ke dalam
tabung reaksi dari plastik.
b. Menambahkan larutan campuran sebanyak 0,3 ml dan mendiamkan air
sampel selama 10 menit.
d. Menambahkan 0,3 ml ascorbic acid (vitamin C), kemudian mengaduk air
sampel secara perlahan hingga merata dan membiarkan selama 30 menit.
e. Membaca tingkat absorbansi silikat menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 810 nm.
f. Untuk larutan blanko (akuades) dibuat dengan prosedur yang sama.
3.4 Metode Akuisisi Data
Data yang didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan dengan
menggunakan CTD tidak dapat dianalisis langsung, namun harus dilakukan
pengolahan data terlebih dahulu. Data yang diolah hanya berasal dari data
downcast yaitu pengukuran profil sewaktu CTD diturunkan ke kedalaman
(tekanan tertentu).
Pengolahan data CTD dilakukan dengan mengunakan perangkat lunak
SBE Data Processing 7.21a. Tahap pengolahan data sebagai berikut:
a. Konversi
Konversi data berfungsi untuk mengubah data mentah (format biner) ke
data dalam format ASCII (American Standard Code for Information Interchange)
dalam bentuk .CNV. Pengkonversian data ini bertujuan agar data hasil
perekaman CTD dapat diolah menggunakan berbagai perangkat lunak. Variabel
yang dikeluarkan dalam proses ini adalah scancount, lintang (deg), bujur (deg.),
tekanan (db), temperatur ITS-90 (oC), temperatur 2 ITS-90 (oC), konduktivitas (S
m-1), konduktivitas 2 (S m-1), oksigen SBE 43 (mg l-1), altimeter (m), fluorescence
(µg l-1), beam attenuation (m-1), dan beam transmission (%).
b. Align CTD
Align CTD berfungsi mensinkronkan semua parameter yang diukur berada
dalam waktu, tekanan, dan massa air yang sama. Proses Align hanya dilakukan
pada data oksigen sebesar 5 detik terhadap tekanan (McTaggaart et al., 2010).
Nilai align data oxygen berkisar 1-5 detik, tergantung dari tekanan CTD.
c. Wild edit
Wild edit berfungsi memperbaiki data yang memilikii nilai ekstrim setiap 100
scan bin. Proses perbaikan data dilakukan melalui dua tahap. Tahap yang
pertama dengan cara memperbaiki data yang nilainya lebih besar dari dua kali
standar deviasi rata-rata. Tahap yang kedua dengan cara memperbaiki data hasil
d. Cell thermal mass
Cell thermal mass berfungsi sebagai penapisan recursive untuk
mengoreksi temperatur pada sel konduktivitas pada saat pengukuran
berlangsung. Nilai yang digunakan adalah 0,03 untuk nilai alfa (anomali
amplitudo temperatur) dan 7 untuk nilai beta (anomali konstanta waktu
temperatur) (McTaggaart et al., 2010). Penapisan ini dilakukan hanya pada data
hasil pengukuran temperatur pada sensor temperatur primer dan sekunder.
e. Filter (Penapisan)
Penapisan yang digunakan adalah low pass filter yang berfungsi untuk
menghilangkan bias (noise) berupa frekuensi tinggi pada data tekanan. Cut-off
frekuensi yang digunakan adalah 0,03 detik pada low pass filter A dan 0,15 detik
pada low pass filterB. Hal ini berarti perekaman data yang lebih cepat dari cut-off
frekuensi akan dilemahkan/dihilangkan. Menurut McTaggaart et al. (2010) proses
penapisan hanya dilakukan pada data tekanan dengan menerapkan low pass
filterB.
f. Loopedit
Loopedit berfungsi untuk memperbaiki data CTD ketika penurunan CTD
bergerak kurang dari kecepatan minimum atau CTD bergerak naik turun akibat
adanya guncangan pada kapal. Kecepatan minimum yang dipakai adalah 0,25
m s-1 (McTaggaart et al., 2010).
g. Derive
Derive digunakan untuk menurunkan parameter selain yang sudah
dikeluarkan dikonversi data. Parameter yang turunkan yaitu densitas (sigma
theta) (kg m-3), salinitas primer (psu), salinitas sekunder (psu), kecepatan suara
(m s-1), dan temperatur potensial ITS-90 (oC).
h. Binaverage
Bin average digunakan untuk merata-ratakan data pada tekanan yang
diinginkan. Ukuran bin yang dipakai adalah 1 bin tanpa mengikutkan bin
permukaan, sehingga selang tekanan pada data adalah 1 db.
i. Manual
Metode manual dilakukan dengan cara investigasi langsung data yang
sudah melalui proses pengolahan data. Hal ini dilakukan karena proses
pengolahan data tidak sepenuhnya menjamin data siap untuk diolah. Untuk
linier. Data error umumnya berada pada semua ulangan terutama pada lapisan
tercampur dan lapisan dalam dengan rentang data error 1-3 m.
3.5 Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Ocean Data
View (ODV) 4.1.3, Microsoft Excel 2007, dan Matlab versi R2010a. Program
ODV dan Matlab versi R2010a digunakan untuk menggambarkan karakteristik
massa air terutama temperatur, salinitas, potensial densitas, dan nutrien secara
vertikal. Perangkat lunak Microsoft Excel 2007 digunakan untuk melakukan
perhitungan matematik untuk menentukan nilai turbulensi dengan menentukan
nilai Thorpe displacement, skala Thorpe, skala Ozmidov, frekuensi Brunt Vaisala,
tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy, difusivitas vertikal eddy, dan estimasi
fluks nutrien (nitrat). Untuk menyajikan hasil perhitungan dalam bentuk gambar
dan grafik digunakan Program Microsoft excel 2007 dan Matlab R2010a. Secara
skematik, diagram alir analisis data dapat dilihat pada Gambar 7.
Untuk mengestimasi difusivitas vertikal eddy , terlebih dahulu
ditentukan nilai Thorpe displacement , skala Thorpe , skala Ozmidov
, frekuensi Brunt Vaisala , dan tingkat energi kinetik disipasi turbulen
eddy . Nilai didapat dengan cara menyusun ulang profil densitas yang
didapatkan dari data CTD ke dalam bentuk stabilitas statis, artinya densitas
disusun dengan posisi massa air densitas rendah berada di atas massa air
densitas tinggi (Gambar 8). Untuk lebih mudahnya, bayangkan profil densitas
vertikal dengan n buah sampel dan densitas yang diobservasi pada
kedalaman . Jika sampel pada kedalaman dipindahkan ke kedalaman
untuk membentuk kondisi stabilitas statis, maka Thorpe displacement dapat
dihitung dengan persamaan (Dillon, 1982; Finnigan et al., 2002; Thompson et al.,
2007):
Nilai positif menunjukkan bahwa massa air akan bergerak ke atas untuk
mencari kestabilan statis, kondisi ini terjadi bila massa air berdensitas rendah
berada di bawah massa air berdensitas tinggi. Nilai negatif menunjukkan
massa air bergerak ke bawah, hal ini terjadi bila massa air densitas tinggi berada
di atas massa air densitas rendah. Nilai merupakan nilai yang bukan nilai nol
sehingga jika profil densitas pada kondisi stabilitas statis , maka nilai
Gambar 7 Diagram alir analisis data.
Gambar 8 Ilustrasi proses pencarian nilai Thrope displacement. Data densitas sebenarnya dengan kondisi instabilitas statis (kotak dengan garis titik-titik), disusun ulang untuk mencari densitas kondisi stabilitas statis (garis putus-putus merah). Jarak perpindahan dari kedalaman awal za ke kedalaman baru zb merupakan nilai Thorpe
displacement. za zb CTD (Conductivity, Temperature, Depth) Botol Rosette Frekuensi Brunt Vaisala Thorpe displacment Metode Galbraith dan Kelley (GK)
Setelah kalkulasi nilai , dilakukan estimasi ketebalan minimal
displacement dari resolusi vertikal CTD . Hal ini bertujuan agar nilai
merupakan nilai displacement yang sesungguhnya dan bukan berasal dari noise
CTD. Prinsip estimasi ini dilakukan berdasarkan pada kenyataan bahwa CTD
memiliki keterbatasan kemampuan untuk mendeteksi pembalikkan massa air.
Hal ini mengacu pada Teori sampling Nyquist, dimana bila pembalikkan yang
terjadi adalah dua kali lebih rendah dibandingkan resolusi vertikal , maka
pembalikkan tersebut tidak dapat diukur. Penentuan pembalikkan yang lebih kuat
dapat dilakukan jika terdapat jumlah sampel yang lebih banyak, berdasarkan
pada peraturan jumlah sampel minimum yaitu lima sampel (Koch et al., 1983)
atau 7-8 sampel (Levitus, 1982 in Galbraith dan Kelley, 1996). Solusi untuk
menyelesaikan perbedaan tersebut adalah dengan memungkinkan resolusi
vertikal untuk mendeteksi pembalikkan yang tidak lebih rendah dari (Galbraith
dan Kelley, 1996):
dimana adalah resolusi vertikal data CTD (m). Untuk penelitian ini digunakan
resolusi vertikal sebesar 1 m sehingga nilai sebesar 5 m. Hal ini berarti nilai
yang kurang (5 m) akan diabaikan dan tidak akan diikutkan untuk perhitungan
selanjutnya.
Selain solusi di atas, perlu juga batasan lain yang digunakan dalam
pengukuran pembalikkan berdasarkan perbedaan densitas Resolusi
densitas dapat mengukur pembalikkan bila memiliki nilai tidak lebih rendah
dari (Galbraith dan Kelley, 1996):
dimana adalah percepatan gravitasi bumi (9,79423 m s-2), adalah nilai
densitas rata-rata dari keseluruhan ulangan, dan adalah Frekuensi Brunt
Vaisala. Galbraith dan Kelley (1996) menjelaskan bahwa nilai yang digunakan
untuk perhitungan di laut lepas adalah 0.003 s-1. Dari perhitungan data
CTD Selat Ombai didapatkan nilai sebesar 2,12 m, hal ini berarti ketebalan
displacement yang kurang akan diabaikan dan tidak diikutsertakan dalam
perhitungan selanjutnya.
Perhitungan skala Thorpe diperoleh dengan menggunakan persamaan
berikut (Dillon, 1982; Finnigan et al., 2002; Cisewski et al., 2005; Park et al.,
dimana adalah Thorpe displacement pada kedalaman dan adalah jumlah
sampel. Setiap nilai didapatkan dari hasil perata-rataan buah sampel pada
kedalaman yang diinginkan. Perata-rataan nilai pada penelitian ini dilakukan
dengan cara membagi kedalaman perairan menjadi tiga lapisan dengan
ketebalan masing-masing lapisan sebesar (m). Ketiga lapisan ini adalah
lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan homogen di bagian dalam.
Kedalaman setiap lapisan pada setiap ulangan berbeda-beda tergantung dari
profil vertikal massa air.
Nilai skala Thorpe pada setiap lapisan digunakan untuk menghitung skala
Ozmidov dengan menggunakan persamaan (Dillon, 1982):
Sebelum menghitung tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy ,
dilakukan perhitungan frekuensi Brunt Vaisala pada tiap kedalaman
menggunakan persamaan (Park et al., 2008; Thompson et al., 2007):
adalah background densitas perairan dari hasil perata-rataan densitas seluruh
ulangan (1026,52 kg m-3), adalah perubahan (gradien) densitas terhadap
perubahan kedalaman (1 m), dan adalah percepatan gravitasi bumi
(9,79423 m s-2). Menurut Ferron et al. (1998) nilai densitas yang dipakai pada
Frekuensi Brunt Vaisala berasal dari data densitas yang sudah disusun dalam
kondisi stabilitas statis, ini berarti nilai yang didapat dari perhitungan ini akan
selalu bernilai positif.
Tingkat energi kinetik disipasi turbulen eddy pada tiap kedalaman
diperoleh dengan persamaan (Ozmidov, 1965 in Park et al., 2008):
Nilai difusivitas vertikal eddy pada tiap kedalaman diperoleh melalui
adalah efisiensi percampuran (0,2) (Osborn, 1980). Rata-rata difusivitas
vertikal eddy pada tiap lapisan dengan kedalaman dihitung dengan
persamaan (Ferron et al., 1998):
Fluks nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) dikalkulasi dengan menggunakan
persamaan (Horne et al., 1996; Law et al., 2003):
dimana adalah perbedaan konsentrasi nutrien pada selang kedalaman (m)
yang merupakan tempat pengukuran konsentrasi nutrien.
3.6 Metode Penentuan Lapisan Kolom Air
Pada penelitian ini dilakukan pemisahan kolom air menjadi tiga lapisan,
yaitu lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan homogen di bagian
dalam. Penentuan lapisan ini didasarkan pada gradien densitas kolom
perairan. Menurut Lorbacher et al. (2005) pembagian lapisan berdasarkan
gradien lebih realistis dibandingkan dengan menggunakan temperatur, karena
profil temperatur tidak selalu memberikan stratifikasi vertikal secara tepat.
Lapisan tercampur ditentukan dengan menghitung gradien = 0,02 dengan titik
acuan densitas permukan. Bila gradien lebih dari 0,02 maka lapisan tersebut
dikategorikan sebagai lapisan termoklin (Cisewski et al., 2005). Batas antara
lapisan termoklin dan lapisan dalam yang homogen dilihat secara visual dari data
densitas yang di cross cek dengan data temperatur, batasnya adalah daerah
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil Menegak Temperatur, Salinitas, dan Densitas
Selat Ombai merupakan perairan laut dalam, sehingga perbedaan
temperatur, salinitas, dan densitas sampai dasar perairan dapat dilihat dengan
jelas (Gambar 9). Profil menegak temperatur, salinitas, dan densitas (sigma
theta) masing-masing ulangan dapat dilihat pada Lampiran 1, 3, dan 5,
sedangkan profil menegak temperatur, salinitas, dan densitas yang diperbesar
sampai tekanan 500 db dapat dilihat pada Lampiran 2, 4, dan 6. Berdasarkan
temperatur, perairan Selat Ombai dapat dibedakan menjadi 3 lapisan yaitu
lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dalam. Penentuan lapisan
kolom perairan didasarkan pada gradien temperatur dan densitas
(Thomson dan Fine, 2002; Montegut et al., 2004). Kolom perairan dikategorikan
sebagai lapisan permukaan tercampur jika < 0,1oC dan < 0,02 kg m-3,
sedangkan dikategorikan sebagai lapisan termoklin ditentukan dengan melihat
> 0,1oC dan > 0,02 kg m-3 (Weller dan Pleudemman, 1996; Kara et al.,
2000;