• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana merupakan suatu kejadian traumatis (McFarlane, 2005). Salah satu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana merupakan suatu kejadian traumatis (McFarlane, 2005). Salah satu"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bencana merupakan suatu kejadian traumatis (McFarlane, 2005). Salah satu bencana dahsyat yang terjadi di Indonesia adalah letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai awal November 2010 yang mengakibatkan 242 warga Yogyakarta dan 97 warga Jawa Tengah meninggal dunia (BAPPENAS & BNPB, 2011). Walaupun bencana telah berlalu, namun dampak yang ditimbulkan masih dirasakan oleh para korban. Stresor pasca trauma bencana menyebabkan timbulnya gangguan jiwa yang dapat berlangsung hingga 10-30 tahun ke depan (Pitaloka, 2005).

Pada setting bencana, anak-anak berisiko tinggi mengalami gangguan kesehatan mental (Coffman, 1998). Mereka harus diberi perlindungan dan bantuan (Herrman, 2012) karena keterbatasan perkembangan, kurangnya keterampilan koping dan ketidakmampuan untuk memahami suatu kejadian. Pemikiran magis anak-anak dapat menyebabkan salah tafsir peristiwa dan mereka belum tentu memiliki kemampuan verbal untuk menggambarkan pengalaman tersebut (Coffman, 1998).

Masalah perkembangan anak pada populasi normal di masyarakat adalah 10% dan akan meningkat ketika disertai dengan faktor risiko lain, salah satunya adalah bencana. Masalah stres pasca bencana akan meningkat dua kali lipat dan 30% korban mengalami masalah perkembangan emosi dan kesehatan yang menetap

(2)

hingga 2-3 tahun pasca bencana (Kar et al., 2007). Sebanyak 10-20% korban bencana akan mengalami masalah mental, seperti gangguan stres pasca-trauma (PTSD), depresi, panik dan kecemasan (Kurniawan, 2011).

Pasca bencana, anak-anak prasekolah menunjukkan variasi gejala. Mereka mengalami flashback, menghindari hal-hal yang mengingatkan trauma, menjadi tidak responsif, berkurangnya minat pada hal-hal yang sebelumnya menarik perhatian, perasaan tidak ada masa depan, peningkatan gangguan tidur, iritabilitas, kurang konsentrasi, dan mudah kaget (National Institute of Mental Health, 2006). Gangguanlainnyameliputi reaksi perilaku menangis, menjerit, merintih, imobilitas, kebingungan, hiperaktif, penarikan diri (Kalayjian, 1994), menjaditakutgelap(Lystad, 1985), gangguan nafsu makan, agresivitas, dan kecemasan berpisah (Speier, 2000).

Kecemasan adalah salah satu gangguan kesehatan mental paling umum pada anak-anak (Chavira et al., 2004). Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke-4 kriteria (DSM-IV), bahwa sekitar 9-10% anak-anak prasekolah memiliki gangguan kecemasan (Egger & Angold, 2006). Prevalensi anak laki-laki dan perempuan relatif sama, tetapi menjadi lebih umum pada perempuan, dengan perbandingan 2:1 sampai 3:1 (Craske, 2003). Sekali seorang anak didiagnosis dengan gangguan kecemasan, anak akan berisiko mengalami gangguan yang sama dan kecemasan tambahan serta gangguan depresi (Beesdo et al., 2007).

Anak prasekolah dengan gangguan kecemasan sering memiliki komorbiditas depresi, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas, gangguan oposisi

(3)

pemberontak (ODD), dan masalah lainnya (Egger & Angold, 2006). Penelitian Kurniawan (2011) memaparkan bahwa sebanyak 80 anak berusia 3-6 tahun yang mengalami gempa bumi Bantul memiliki risiko lebih tinggi 15,49 kali pada tahun kedua pasca bencana dan 6,55 kali pada tahun ketiga pasca bencana untuk mengalami masalah emosi dibanding daerah yang tidak terkena gempa bumi. Peningkatan risiko relatifnya sebesar 10,73 kali dibanding kontrol dan prevalensinya sebesar 20,6%. Masalah emosional anak-anak merupakan kombinasi dari kecemasan dan perilaku merusak dan menentang.

Anak-anak sangat sensitif dan menghadapi trauma dengan respon emosional yang berbeda-beda serta sulit untuk pulih dari pengalaman yang menakutkan sehingga memerlukan dukungan yang efektif dari orang tua, guru, dan lingkungan (National Institute of Mental Health, 2006). Masalah emosional pada anak dapat ditangani dengan treatment psikososial. Treatment psikososial untuk gangguan kecemasan pada anak menyimpan dukungan empiris yang kuat bagi anak (Silverman et al., 2008).

Salah satu pendekatan kesehatan mental yang efektif untuk mengurangi kecemasan adalah bermain (Althy, 2005). Bermain menjadi salah satu intervensi yang tepat bagi anak-anak prasekolah pasca bencana (Lystad, 1985). Bermain secara berkelompok merupakan proses psikososial anak belajar dari diri sendiri dan orang lain dengan menempa hubungan satu sama lain pada ruang bermain (Jones, 2002). Tujuannya adalah untuk membantu anak berpartisipasi dalam belajar, mendapatkan rasa tanggung jawab, mengendalikan emosi, menunjukkan rasa hormat, penerimaan diri dan menerima orang lain, meningkatkan

(4)

keterampilan sosial dan harga diri, serta mengurangi depresi (Baggerly & Parker, 2005). Bermain berkelompok dapat mengurangi gangguan separation anxiety pada anak (Shoaakazemi et al., 2012).

Permainan berbasis kearifan budaya lokal dapat menjadi salah satu sarana bermain kelompok bagi anak-anak. Nilai terapeutik yang terkandung dalam permainan ini sangat baik untuk kesehatan mental, yaitu: membantu anak mengkomunikasikan perasaannya secara efektif dengan cara alami, melatih pengendalian diri dan konsentrasi, serta menurunkan kecemasan. Prosedur permainannya memberi kesempatan pada anak untuk belajar rileks sehingga kecemasan berkurang (Iswinarti, 2010). Permainan berbasis kearifan budaya lokal membangkitkan semangat hidup akibat himpitan konflik, bencana alam, dan menurunkan depresi (Sumarni, 2012).

Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan Juli 2013 terhadap 8 warga Huntap Pagerjurang bahwa banyak anak prasekolah yang bertempat tinggal di huntap dan bersekolah di TK PKK Kuncup Mekar Desa Kepuharjo. Menurut keterangan dari 4 guru di TK PKK Kuncup Mekar bahwa terdapat kurang lebih 15 orang tua wali siswa yang masih mendampingi anak di sekolah. Kemudian, untuk uji validitas dan reliabilitas instrumen, peneliti telah mewawancarai 3 guru di TK ABA Jetis Desa Argomulyo, bahwa juga masih banyak peserta didik yang masih ditunggu oleh pengasuh di sekolah. Selanjutnya, peneliti melakukan studi pendahuluan pada bulan Desember 2013 terhadap Kepala Dusun Pelemsari Huntap Karangkendal dan 5 warga setempat, bahwa anak prasekolah yang tinggal di Huntap Karangkendal bersekolah di TK ABA

(5)

Balong. Peneliti mendapatkan informasi dari 6 guru TK ABA Balong Desa Umbulharjo yang menyatakan bahwa masih terdapat kurang lebih 13 orang tua wali siswa yang mendampingi anak di sekolah.

Relokasi warga Desa Kepuharjo dan Desa Umbulharjo ke huntap disebabkan dampak awan panas erupsi Merapi, sementara relokasi warga Desa Argomulyo karena terjangan banjir lahar dingin erupsi Merapi yang melintasi Sungai Gendol. Sesuai dengan pernyataan National Institute of Mental Health (2006) bahwa stressor kehidupan yang sedang berlangsung seperti relokasi sangat mempengaruhi kondisi psikis seseorang. Guru dan orang tua mengeluhkan perubahan perilaku anak-anak setelah erupsi Merapi, seperti menjadi lebih agresif terutama anak laki-laki, nakal, sensitif, mudah menangis, tidak sabar, susah diatur, dan menjadi lengket dengan orang tua. Beberapa anak tidak berangkat sekolah karena orang tua tidak dapat mengantar atau menunggu anak di sekolah.

Pasca bencana, respon cemas orang tua dan dewasa sangat mempengaruhi respon cemas anak (National Institute of Mental Health, 2006). Orang tua dan anak masih terngiang-ngiang erupsi Merapi. Saat mendung, listrik mati, hujan deras, petir dan angin, mereka khawatir Gunung Merapi erupsi. Ketika cuaca mendung, seorang siswa TK Kuncup Mekar tiba-tiba menangis ketakutan, memanggil orangtuanya dan ingin pulang.

Perawat terlibat dalam semua fase perawatan pasca bencana, dari rencana preimpact sampai postimpact. Dengan memahami respon karakteristik dan unik terhadap bencana, perawat dapat memberikan intervensi kesehatan mental yang efektif (Coffman, 1998). Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian

(6)

berjudul “Pengaruh Permainan Berbasis Kearifan Budaya Lokal terhadap Kecemasan Siswa Taman Kanak-kanak di Hunian Tetap Cangkringan Sleman”.

B. Rumusan Masalah

Gangguan kecemasan anak-anak prasekolah yang tinggal di daerah pasca bencana merupakan suatu permasalahan psikologis yang jika tidak ditangani maka akan menjadi gangguan menetap yang dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak menuju tahap tumbuh kembang selanjutnya. Penelitian tentang pengaruh permainan berbasis kearifan budaya lokal terhadap kecemasan pada siswa TK di Hunian Tetap Cangkringan Sleman penting untuk dilakukan.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh permainan berbasis kearifan budaya lokal terhadap kecemasan siswa TK di Huntap Cangkringan, Sleman.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui perbedaan perubahan nilai rerata kecemasan siswa TK di Huntap Cangkringan sebelum dan setelah pemberian permainan berbasis kearifan budaya lokal pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

b. Mengetahui perubahan perbedaan nilai rerata kecemasan siswa TK berdasarkan aspek-aspek kecemasan di Huntap Cangkringan sebelum dan

(7)

setelah adanya pemberian permainan berbasis kearifan budaya lokal terhadap kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

c. Mengetahui perubahan perbedaan nilai rerata kecemasan siswa TK berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan di Huntap Cangkringan sebelum dan setelah adanya pemberian permainan berbasis kearifan budaya lokal terhadap kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:

1. Institusi pemerintah

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi pemerintah daerah, khususnya Dinas Kesehatan untuk memperhatikan kecemasan terkait dengan tumbuh kembang kejiwaan anak prasekolah dan Dinas Pendidikan agar dapat mengimplementasikan kebijakan terkait mengangkat kearifan lokal sebagai bahan pembelajaran di sekolah sehingga dapat memberikan tindakan dan pelayanan yang tepat.

2. Profesi keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut tentang penurunan kecemasan dengan intervensi permainan berbasis kearifan budaya lokal, khususnya di daerah pasca bencana. Selain itu, perawat dapat melakukan deteksi dini terhadap gangguan kecemasan pada anak-anak prasekolah dan mencegah terjadinya gangguan yang lebih berat.

(8)

3. Masyarakat (pihak TK dan orang tua wali siswa)

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang permainan berbasis kearifan budaya lokal, serta meningkatkan kewaspadaan terhadap gangguan kecemasan pada anak-anak prasekolah sehingga masyarakat mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak prasekolah khususnya yang berada di daerah pasca bencana.

E. Keaslian Penelitian

1. Pengaruh Dramatic Play di Sekolah terhadap Kecemasan Anak Usia Prasekolah di Taman Kanak-Kanak Pertiwi Sumberadi Mlati Sleman oleh Sari (2012).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dramatic play terhadap kecemasan anak prasekolah di TK Pertiwi Sumberadi, Mlati, Sleman. Jenis penelitian adalah quasi experiment dengan rancangan one group pretest and posttest design. Instrumen yang digunakan adalah Spence Preschool Anxiety Scale yang telah diuji validitas dengan rumus Pearson Product Moment dan uji reliabilitas dengan rumus Alpha. Pemilihan 30 responden anak-anak menggunakan metode purposive sampling. Analisa data menggunakan uji paired t test. Hasilnya adalah dramatic play yang dilakukan selama 2 sesi berpengaruh secara signifikan terhadap kecemasan anak-anak prasekolah. Aspek yang dinilai dan nilai signifikansinya adalah kecemasan perpisahan (0,023), perilaku menghindar/ kecemasan sosial (0,019), ketakutan terhadap cedera tubuh (0,011), kecemasan menyeluruh (0,017) dan perilaku obsesif kompulsif (0,194).

(9)

Perbedaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian, intrumen SPAS, lokasi penelitian dan jenis intervensi. Sari (2010) menggunakan jenis penelitian pre-experiment dengan rancangan one group pretest and posttest design, sedangkan peneliti menggunakan quasi-experiment dengan rancangan pretest and posttest control group design. Sari (2010) menggunakan SPAS dengan modifikasi, sedangkan peneliti mengadopsi SPAS sesuai dengan aslinya dan akan melakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu. Sari (2010) melakukan penelitian pada setting populasi normal di masyarakat, sedangkan peneliti pada setting pasca bencana. Sari (2010) memberikan intervensi dramatic play, sedangkan peneliti akan memberikan intervensi permainan berbasis kearifan budaya lokal. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel kecemasan pada anak prasekolah.

2. Kecemasan Murid Baru pada Awal Masuk Taman Kanak-kanak di Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Athfal Reksoniten Surakarta oleh Rahayu (2003).

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat kecemasan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan murid baru saat awal masuk TK. Metode penelitian ini adalah dekripsi dengan pendekatan cross sectional, sampel penelitian semua murid baru TK pada awal masuk sekolah di TK ABA Reksoniten Surakarta (20 anak). Pengumpulan data melalui data primer yaitu observasi langsung terhadap respon kecemasan anak dan data sekunder yaitu karakteristik anak yang diperoleh dari sekolah serta kuesioner yang diisi orang tua murid. Analisis data yang digunakan adalah chi square. Instrumen yang

(10)

digunakan adalah pedoman observasi Kurikulum tahun 1994 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0125/ U/ 1994, diisi oleh wali murid. Hasilnya adalah terdapat 7 faktor yang diteliti yaitu: faktor umur, jenis kelamin, pekerjaan orang tua (ibu), pendidikan orang tua (ayah dan ibu), posisi anak di keluarga, dan pernah masuk TK/ playgroup. Faktor yang paling signifikan dalam mempengaruhi kecemasan murid baru pada awal masuk TK adalah faktor umur dengan nilai p=0,003.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian, instrumen dan lokasi. Penelitian Rahayu (2003) menggunakan metode dekripsi dengan pendekatan cross sectional, sedangkan peneliti menggunakan quasi-experimental. Rahayu (2003) meneliti tentang tingkat kecemasan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan murid baru saat awal masuk TK, sedangkan peneliti akan memberikan intervensi permainan berbasis kearifan budaya lokal. Rahayu (2003) menggunakan pedoman observasi Kurikulum tahun 1994 dan Keputusan Menteri yang mempunyai gangguan kecemasan berdasarkan alat ukur CSI-4 (Child Symptom Inventory-4) parent checklist, mereka secara acak dibagi menjadi 3 kelompok: kelompok clay therapy, kelompok narrative therapy, dan kelompok kontrol yang tidak diberi intervensi. Kelompok clay therapy dan narrative therapy diberi 10 sesi dan setiap sesi berdurasi 60 menit selama 5 minggu. Terapi dilaksanakan 1 minggu setelah orang tua wali murid mengisi pretest. Posttest dilaksanakan 5 hari setelah diadakan intervensi. Hasil pengukuran menggunakan tes Scheffe menunjukkan bahwa kelompok terapi naratif (M= 2.83, SD= 0.70) berbeda secara signifikan dengan kelompok kontrol (M= -0.7, SD= 1.05), dan

(11)

kelompok terapi bermain tanah liat (M= 3.63, SD= 1.46) juga berbeda secara signifikan dengan kelompok kontrol. Tidak ada perbedaan secara signifikan antara kelompok narrative therapy dengan clay therapy.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah instrumen penelitian dan jenis intervensi. Rahmani dan Moheb (2010) menggunakan ceklist orang tua CSI-4 untuk menilai anak-anak prasekolah yang mempunyai gangguan kecemasan dan tes Scheffe untuk membandingkan nilai setiap kelompok, sedangkan peneliti menggunakan instrumen SPAS Parent Report (Spence et.al, 2001). Rahmani dan Moheb (2010) memberikan intervensi berupa clay therapy dan narrative therapy, sedangkan peneliti akan memberikan intervensi permainan berbasis kearifan budaya lokal. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel kecemasan pada anak prasekolah dan metode pretest and posttest control group design.

3. Pengaruh Humor Permainan Kearifan Budaya Lokal terhadap Kualitas Tidur pada Lanjut Usia dengan Depresi di Huntara Gondang I Sleman Yogyakarta oleh Werdiningsih (2012).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh humor permainan kearifan budaya lokal terhadap kualitas tidur lansia dengan depresi di Huntara Gondang I Sleman Yogyakarta. Jenis penelitian adalah quasi-experimental dengan rancangan pre-test and post-test control group design. Sampel berjumlah 40 orang pada kelompok intervensi dan 40 orang pada kelompok kontrol. Instrumen yang digunakan adalah Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) dan analisis data menggunakan uji parametris t-test. Hasilnya ada pengaruh humor permainan kearifan budaya lokal terhadap kualitas tidur lansia dengan depresi ditunjukkan

(12)

dengan perbedaan skor PSQI signifikan antara kelompok intervensi dan kontrol. Sebelum intervensi, skornya adalah 7,58±3,456 pada kelompok intervensi dan 8,30±3,204 pada kelompok kontrol. Setelah intervensi skornya adalah 6,70±3,911 (p=0,000) pada kelompok intervensi dan 8,50±2,926 (p=0,323) pada kelompok kontrol.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode penelitian, responden lansia, dan instrumen yang digunakan. Persamaan dengan penelitian ini adalah jenis intervensi yang diberikan dan setting pasca bencana.

Referensi

Dokumen terkait

berbeda Kelas pada setiap Putaran, diperbolehkan dengan pasangan yang berbeda, tetapi hanya berhak mendapat 1 (satu) Posisi pada Kejuaraan Umum , (kelas yang memperebutkan Juara

Peneliti tertarik pada aspek kajian ini karena dari hasil evaluasi tes tertulis mengenai soal-soal yang berhubungan dengan struktur gramatikal atau jabatan kalimat

Sehati Gas dalam hal pengarsipan dan pencatatan penjualan dan produksi tabung.Sistem pengarsipan dan pencatatan sebelumnya menggunakan sistem manual sehingga

Price value (nilai harga) yang juga dapat diartikan nilai harga yang sebanding dengan manfaat yang diterima ini diambil dari model UTAUT 2, dan perceived credibility

Tahap pemantauan dan layanan pengawasan dilakukan melalui diskusi dengan guru mitra 2 mengenai perangkat pembelaja- ran (silabus, RPP, KBM). Sebelum supervisi dilakukan

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terdapat pengaruh nyata varietas tanaman yang diuji terhadap tinggi tanaman, namun tidak terdapat pengaruh nyata

Cara pengamatan populasi nematoda parasit pada akar dan tanah adalah sebagai berikut: Untuk pengambilan contoh akar tanaman kopi pada petak yang diperlakukan dan petak kontrol

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut