• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Parasitisasi

Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam tubuh kutu putih pepaya. Nimfa kutu putih pepaya yang baru terparasit tidak menunjukkan gejala luar yang spesifik yang dapat membedakannya dari kutu putih pepaya yang sehat. Gejala luar parasitisasi dengan jelas muncul pada hari ke-7 setelah kutu putih pepaya terparasit. Kutu putih pepaya yang terparasit tubuhnya mengeras atau mengalami mumifikasi berwarna coklat kekuningan (Gambar 2a). Meskipun demikian, gejala parasitisasi pada nimfa kutu putih pepaya instar kedua yang belum mengalami mumifikasi dapat diduga dengan ciri-ciri sebagai berikut: nimfa kutu putih pepaya menunjukan sedikit pergerakan pada saat diganggu; tubuh nimfa kutu putih pepaya agak menggembung pada bagian ventral; dan tubuh nimfa kutu putih pepaya berwarna kuning gelap atau kuning kecoklatan. Imago parasitoid A. papayae muncul dari lubang yang dibuat pada bagian posterior tubuh nimfa kutu putih pepaya (Gambar 2b). Lubang keluar imago parasitoid A. papayae dibuat dengan cara menggigit kulit inang yang telah mengalami mumifikasi. Imago parasitoid A. papayae umumnya muncul pada hari ke-13 sampai ke-15 setelah kutu putih pepaya terparasit.

Parasitisasi A. papayae pada nimfa kutu putih pepaya tidak menggunakan nimfa kutu putih pepaya instar pertama karena berdasarkan penelitian Amarasekare (2010), diketahui bahwa parasitoid A. papayae dapat berkembang pada nimfa kutu putih pepaya instar kedua, nimfa instar ketiga betina dan betina dewasa kutu putih pepaya. Tidak ada keturunan yang muncul pada nimfa instar pertama kutu putih pepaya. Parasitoid menyeleksi tingkatan instar nimfa kutu putih pepaya pada saat melakukan oviposisi ketika parasitoid diberikan pilihan. Parasitoid A. papayae menunjukkan tingkat parasitisasi lebih tinggi pada nimfa kutu putih pepaya instar kedua.

(2)

a b

Gambar 2 Nimfa kutu putih pepaya yang terparasit. Mumi kutu putih pepaya (a) dan lubang keluar parasitoid (b)

Ciri-ciri Morfologi Parasitoid A. papayae

Telur

Telur parasitoid A. papayae berbentuk bulat agak lonjong dan berwarna transparan atau bening dengan tangkai yang lebih panjang dari panjang telur. Panjang, lebar dan panjang tangkai telur (termasuk aeroscopic plate) parasitoid A. papayae berturut-turut adalah 0,07 ± 0,02; 0,04 ± 0,01; dan 0,09 ± 0,01 mm. Ukuran telur tersebut diperoleh dari pengukuran telur parasitoid dari hasil pembedahan imago parasitoid betina. Telur parasitoid umumnya ditemukan pada hari ke-1 sampai hari ke-3 saat pembedahan inang yang terparasit. Namun, pada hari ke-4 juga masih dijumpai telur dengan jumlah yang relatif sangat sedikit. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, telur parasitoid A. papayae bertipe encyrtiform (Gambar 3). Clausen (1940) menyebutkan bahwa tipe telur ini merupakan modifikasi adaptif dari tipe bertangkai yang dibedakan oleh adanya aeroscopic plate yang memanjang pada tangkai telur.

Gambar 3 Telur parasitoid A. papayae 0,05 mm

(3)

Larva

Tubuh larva parasitoid A. papayae berwarna bening kekuningan. Larva parasitoid pada pembedahan hari ke-4 dan ke-5 setelah inang terparasit panjangnya berkisar antara 0,35-0,65 mm dengan bentuk tubuh yang beragam. Larva pada pembedahan hari ke-6 dan ke-7 panjangnya berkisar antara 0,70-1,08 mm dengan bentuk yang lebih seragam. Menurut Clausen (1940), parasitoid dari kelompok Famili Encyrtidae menampakkan keragaman yang sangat tinggi dalam bentuk tahapan pradewasa dan mengalami modifikasi adaptif yang sempurna. Bentuk larva sangat beragam pada instar satu dan selanjutnya cenderung menjadi lebih seragam ketika larva mencapai instar akhir.

Ruas-ruas tubuh larva pada pembedahan hari ke-4 (Gambar 4a) dan ke-5 (Gambar 4b) masih belum jelas. Ruas-ruas tubuh larva semakin jelas pada pembedahan hari ke-6 (Gambar 4c) dan ke-7 (Gambar 4d). Tubuh larva terdiri dari 12 ruas, tidak bertungkai dengan kapsul kepala berkembang jelas pada pembedahan hari ke-7. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, tipe larva A. papayae dapat digolongkan kedalam tipe hymenopteriform. Menurut Clausen (1940), larva tipe hymenopteriform terdiri dari 12 atau 13 ruas dan tidak mempunyai sistem trakea yang terbuka. Larva hidup bebas dalam rongga tubuh inangnya.

Dalam perkembangannya, larva parasitoi A. papayae mengalami perubahan bentuk, ukuran dan posisi dalam tubuh inang. Larva parasitoid A. papayae pada pembedahan hari ke-7, umumnya mengalami perubahan posisi dengan kepala mengarah ke posterior tubuh inang yang terparasit.

Gambar 4 Larva parasitoid A. papayae. Pembedahan pada hari ke-4 (a), ke-5 (b), ke-6 (c) dan ke-7 (d) setelah inang terparasit

(4)

Prapupa

Panjang tubuh prapupa parasitoid A. papayae adalah 0,75 ± 0,04 mm dengan kisaran 0,68-0,80 mm. Lebar kapsul kepala prapupa 0,27 ± 0,02 mm dengan kisaran 0,24-0,30 mm. Prapupa berwarna bening dan berbentuk seperti larva instar akhir dengan tubuh yang relatif langsing (Gambar 5a). Prapupa banyak dijumpai pada pembedahan hari ke-8 dan ke-9 setelah inang terparasit dengan kepala mengarah ke posterior tubuh inang.

Pupa

Panjang tubuh pupa parasitoid A. papayae adalah 0,77 ± 0,06 mm dengan kisaran 0,68-0,93 mm. Lebar kapsul kepala 0,27 ± 0,02 mm dengan kisaran 0,25-0,30 mm. Pada awalnya, pupa berwarna putih dan sangat lunak. Kepala pupa berangsur-angsur mengalami sklerotisasi dan berwarna oranye kekuningan dengan kepala mengarah ke posterior inangnya. Pupa umumnya dijumpai pada pembedahan hari ke-9 dan hari ke-10 setelah inang terparasit. Pupa parasitoid A. papayae bertipe exarate (Gambar 5b). Borror (1996) menyatakan bahwa, pupa tipe exarate mempunyai ciri yaitu embelan-embelan bebas dan tidak melekat pada tubuh. Pupa berada dalam tubuh inang yang telah mengalami mumifikasi dan umumnya tidak tertutup oleh kokon.

a b

Gambar 5 Parasitoid A. papayae. Prapupa (a) dan Pupa (b)

(5)

Imago

Secara umum, tubuh imago parasitoid (betina dan jantan) berwarna oranye kekuningan dengan sayap yang transparan. Kepala dan antena umumnya berwarna oranye kekuningan dengan pangkal klava berwarna agak kehitam-hitaman serta mata tunggal yang berwarna merah. Toraks umumnya berwarna oranye kekuningan dengan pronotum yang berwarna coklat, sedangkan tungkai berwarna sedikit lebih muda dari pada toraks. Abdomen parasitoid A. papayae umumnya berwarna oranye kekuningan, kecuali pada bagian dorsal berwarna coklat. Ciri-ciri tersebut sesuai dengan Ciri-ciri-Ciri-ciri parasitoid A. papayae yang telah di deskripsikan oleh Noyes dan Schauff (2003). Antena imago parasitoid mempunyai tipe antena genikulat. Menurut Borror (1996), tipe antena ini berbentuk siku dengan ruas pertama panjang dan ruas-ruas berikutnya kecil dan membelok pada satu sudut dengan ruas yang pertama.

a b

Gambar 6 Imago parasitoid A. papayae. Betina (a) dan jantan (b)

Imago parasitoid betina (Gambar 6a) dan jantan (Gambar 6b) dapat dibedakan dengan mengamati bentuk antena, warna abdomen dan alat kelamin. Antena imago betina terdiri dari 10 ruas, yaitu skapus, pedisel dan 8 ruas flagelum (5 ruas funikel dan 3 ruas klava), yang menggada pada ujungnya (Gambar 7a). Antena imago jantan terdiri dari 8 ruas, yaitu skapus, pedisel dan 6 ruas flagelum (5 ruas funikel dan klava yang tidak beruas) (Gambar 7b). Abdomen imago betina umumnya mempunyai warna yang lebih terang, sedangkan imago jantan berwarna lebih gelap pada bagian dorsal tubuhnya. Alat kelamin imago parasitoid dibedakan dengan adanya ovipositor pada imago betina di bagian ventral abdomennya, sedangkan imago jantan tidak. Ovipositor ini dapat terlihat di bawah

(6)

mikroskop kompon dengan panjang sekitar 0,05 mm yang diukur dari ujung abdomen imago betina.

a b

Gambar 7 Antena parasitoid A. papayae. Betina (a) dan jantan (b)

Serangga betina umumnya mempunyai ukuran yang lebih besar dari pada yang jantan. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa panjang tubuh dan rentang sayap imago betina berbeda nyata dengan panjang tubuh dan rentang sayap imago jantan (Tabel 1 dan Tabel Lampiran 1). Panjang tubuh dan rentang sayap imago betina lebih panjang dari imago jantan. Imago parasitoid betina A. papayae mempunyai panjang tubuh (tidak termasuk ovipositor) yaitu 0,64 ± 0,07 mm dengan kisaran 0,58-0,83 mm dan rentang sayap 1,43 ± 0,09 mm dengan kisaran 1,33-1,63 mm. Imago jantan mempunyai panjang tubuh 0,56 ± 0,03 mm dengan kisaran 0,50-0,60 mm dan rentang sayap 1,30 ± 0,06 mm dengan kisaran 1,23-1,48 mm.

Tabel 1. Ukuran imago parasitoid A. papayae

Jenis kelamin Rata-rata panjang ± SD (mm)

Tubuh Sayap

Betina 0,64 ± 0,07a 1,43 ± 0,09a

Jantan 0,56 ± 0,03b 1,30 ± 0,06b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t (P> 0,05)

Siklus Hidup dan Reproduksi Parasitoid A. papayae

Siklus hidup parasitoid A. papayae adalah waktu yang diperlukan untuk perkembangan parasitoid sejak telur diletakkan sampai imago parasitoid

(7)

meletakkan telur kembali. Berdasarkan pada pembedahan terhadap inang terparasit, perkiraan lama stadium telur, larva, prapupa dan pupa A. papayae berturut-turut adalah 3,05; 4,41; 1,20; dan 5,38 hari (Tabel 2). Kutu putih pepaya umumnya mulai mengeras pada hari ke-7 setelah kutu putih pepaya terparasit. Siklus hidup parasitoid A. papayae berdasarkan hasil pengamatan umumnya berkisar 13-15 hari. Hasil tersebut tidak berbeda dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Amarasekare (2007), yang menyatakan bahwa siklus hidup A. papayae berkisar 13-15 hari dengan siklus hidup parasitoid jantan yang lebih pendek bila dibandingkan dengan siklus hidup parasitoid betina.

Tabel 2. Perkiraan lama stadium parasitoid A. papayae

Tingkat perkembangan parasitoid Rata-rata lama stadium ± SD (hari)

Telur 3,05 ± 0,22

Larva 4,42 ± 0,49

Prapupa 1,21 ± 0,41

Pupa 5,37 ± 0,67

Siklus hidup A. papayae 14,05 ± 1,79

Informasi siklus hidup parasitoid dibutuhkan untuk mengetahui efisiensi parasitoid dalam mengendalikan inang (Amarasekare 2007). Siklus hidup agens hayati umumnya lebih pendek dari siklus hidup inangnya (Greathead 1986). Siklus hidup betina kutu putih pepaya pada tanaman pepaya rata-rata 25,24 ± 1,51 hari (Friamsa 2009). Siklus hidup parasitoid yang lebih pendek dari siklus hidup inang akan memberikan keuntungan bagi parasitoid. Siklus hidup parasitoid yang tumpang tindih dengan generasi inang akan memberikan peluang bagi parasitoid dalam menghasilkan keturunanan yang lebih cepat dari pada inangnya dan dapat memarasit populasi inang dalam waktu yang lebih singkat (Amarasekare 2007). Siklus hidup parasitoid A. papayae tumpang tindih dengan siklus hidup nimfa instar kedua kutu putih pepaya. Parasitoid A. papayae menunjukkan tingkat parasitasi lebih tinggi pada nimfa kutu putih pepaya instar kedua (Amarasekare 2010). Hal tersebut akan memungkinkan parasitoid dapat segera melakukan oviposisi sesaat setelah kemunculannya dari inang baik setelah kopulasi maupun tidak.

(8)

Berdasarkan hasil pengamatan, keturunan yang dihasilkan oleh imago betina yang tidak kopulasi atau tidak mengalami pembuahan semuanya berkelamin jantan. Imago betina yang mengalami kopulasi menghasilkan keturunan jantan dan betina. Hasil penelitian Amarasekare (2007) juga menyatakan bahwa keturunan yang dihasilkan oleh imago yang tidak kopulasi atau tidak mengalami pembuahan semuanya berjenis kelamin jantan. Keturunan yang dihasilkan parasitoid A. papayae yang mengalami kopulasi berjenis kelamin jantan dan betina dengan rata-rata nisbah kelamin 1:1.

Keturunan yang dihasilkan pada kebanyakan kelompok Ordo Hymenoptera dikontrol oleh proses pembuahan telur. Telur yang telah dibuahi akan berkembang menjadi betina, sedangkan telur yang tidak dibuahi biasanya hanya akan berkembang menjadi imago jantan (Borror 1996). Tipe perkembangbiakan tersebut merupakan tipe arrhenotoky, sedangkan tipe perkembangbiakan telur tanpa mengalami pembuahan yang umumnya dihasilkan individu betina merupakan tipe perkembangbiakan thelytoky (Clausen 1940). Berdasarkan hal tersebut, tipe perkembangbiakan parasitoid A. papayae termasuk ke dalam tipe perkembangbiakan arrhenotoky.

Imago betina kelompok Ordo Hymenoptera yang tidak kopulasi meletakkan telur tanpa mengalami pembuahan. Telur yang diletakkan akan berkembang menjadi imago jantan. Imago betina yang mengalami kopulasi, selain menghasilkan telur yang mengalami pembuahan juga menghasilkan telur yang tidak mengalami pembuahan. Telur yang tanpa mengalami pembuahan akan berkembang menjadi imago jantan, sedangkan telur yang mengalami pembuahan akan berkembang menjadi imago betina (Quicke 1997), sehingga imago betina yang mengalami kopulasi akan menghasilkan keturunan jantan dan betina.

Lama Hidup Imago Parasitoid A. papayae

Berdasarkan hasil pengamatan, lama hidup antara imago betina dan jantan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, baik yang diberi makanan madu 40% maupun tanpa diberi madu (Tabel 3 dan Tabel Lampiran 2). Meskipun demikian, berdasarkan nilai rataannya, lama hidup imago betina yang diberi madu dan tanpa diberi madu umumnya lebih tinggi dari imago jantan. Lama hidup

(9)

imago betina yang diberi madu adalah 7,55 ± 2,54 hari dengan kisaran dari 2 sampai 12 hari, sedangkan imago jantan yang diberi madu 7,25 ± 3,06 hari dengan kisaran dari 2 sampai 15 hari. Lama hidup imago betina tanpa madu yaitu 1,65 ± 0,67 hari, sedangkan lama hidup imago jantan tanpa madu 1,50 ± 0,61 hari dengan kisaran antara keduanya dari 1 sampai 3 hari. Hasil penelitian Amarasekare (2007) menunjukan bahwa lama hidup imago betina tidak kopulasi dan tanpa oviposisi lebih tinggi dari imago jantan yaitu sekitar 33 hari dan lama hidup imago jantan tanpa mengalami kopulasi sekitar 23 hari. Meskipun demikian, hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa lama hidup antara imago betina dan jantan menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata.

Larutan madu sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup imago parasitoid. Kelangsungan hidup imago parasitoid sangat ditentukan oleh ketersediaan makanan berupa madu. Makanan akan menjadi sumber energi yang sangat dibutuhkan untuk pergerakan parasitoid dan mendukung produksi telur (Pudjianto 1994).

Tabel 3. Lama hidup imago parasitoid A. papayae dengan makanan madu 40 dan tanpa madu

Jenis kelamin Rata-rata lama hidup ± SD (hari)

Dengan madu Tanpa madu

Betina 7,55 ± 2,54a 1,65 ± 0,67b

Jantan 7,25 ± 3,06a 1,50 ± 0,61b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t (P> 0,05)

Perbedaan hasil penelitian lama hidup imago parasitoid berdasarkan informasi di atas, diduga bahwa kondisi dalam pemeliharaan lama hidup imago parasitoid dan persentase pemberian makanan berupa madu yang berbeda. Pada penelitian Amarasekare (2007), pemeliharaan lama hidup parasitoid A. papayae dilakukan dalam kondisi suhu yang telah diatur sebelumnya sehingga kondisi suhu menjadi konstan yaitu 25 ± 2 °C dengan kelembaban udara 65 ± 2% dan pemberian makanan berupa madu 50%. Pada penelitian ini, kondisi suhu udara mengalami fluktuasi karena suhu diukur berdasarkan kondisi suhu yang terjadi. Suhu udara minimum di dalam laboratorium berkisar antara 23-26 °C dan suhu

(10)

udara maksimum yaitu berkisar antara 26-32 °C dengan pemberian makanan berupa madu 40%. Selain itu, penutup tabung pemeliharaan parasitoid dengan menggunakan penutup yang terbuat dari plastik diduga menyebabkan sirkulasi udara di dalam tabung menjadi kurang maksimal bila dibandingkan dengan penelitian Amarasekare (2007) yang menggunakan dua helai tisu sebagai penutup.

Perilaku Imago Parasitoid A. papayae

Waktu Kemunculan

Berdasarkan hasil pengamatan, imago parasitoid muncul pada pagi hari sampai dengan sore hari (Tabel 4 dan Tabel Lampiran 3). Waktu kemunculan tertinggi imago parasitoid A. papayae, baik imago betina maupun imago jantan yaitu pada kisaran jam 06.00-09.00 dengan nilai persentase lebih dari 85%. Setelah kisaran jam 06.00-09.00, kemunculan imago parasitoid mulai berkurang dan pada kisaran jam 12.00-15.00 dan 18.00-06.00 tidak ditemukan adanya imago parasitoid yang muncul baik imago betina maupun imago jantan.

Tabel 4. Waktu kemunculan imago parasitoid A. papayae Jam kemunculan

(WIB)

Persentase kemunculan imago (%) Betina dan jantan Betina Jantan 06.00-09.00 82,09a 91,12a 88,83a 09.00-12.00 16,65b 6,80b 10,37b 12.00-15.00 0,00c 0,00c 0,00c 15.00-18.00 1,27c 2,09bc 0,81c 18.00-06.00 0,00c 0,00c 0,00c Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

berdasarkan uji Duncan (P> 0,05)

Kopulasi

Kopulasi biasanya berlangsung selama kurang dari satu menit, yaitu sekitar 20 detik. Sebelum terjadi kopulasi, parasitoid jantan akan mendekati parasitoid betina. Parasitoid betina yang belum mengalami kopulasi akan mengurangi pergerakannya, kemudian parasitoid jantan menempatkan kepalanya di depan parasitoid betina dengan menggerak-gerakan antenanya. Setelah

(11)

beberapa detik, parasitoid jantan kemudian bergerak ke arah belakang parasitoid betina untuk melakukan kopulasi. Bila sebelumnya imago betina telah mengalami kopulasi, parasitoid betina akan diam sehingga terjadi kopulasi. Parasitoid betina yang sudah mengalami kopulasi akan bergerak menjauhi parasitoid jantan.

Oviposisi

Dalam mencari inangnya, parasitoid betina lebih banyak berjalan dan jarang sekali terbang. Sebelum terjadi oviposisi, parasitoid betina memeriksa inangnya dengan cara menggerak-gerakan antena dan menusuk-nusukkan ovipositornya pada tubuh inang. Parasitoid betina yang telah menemukan inang yang sesuai akan berusaha mengeluarkan ovipositor untuk meletakan telur. Oviposisi hanya berlangsung kurang dari satu menit yaitu sekitar 40 detik. Oviposisi terjadi pada seluruh bagian tubuh inang khususnya bagian abdomen inang.

Gambar

Gambar 2  Nimfa kutu putih pepaya yang terparasit. Mumi kutu putih pepaya (a)  dan lubang keluar parasitoid (b)
Gambar 4  Larva parasitoid A. papayae. Pembedahan pada hari ke-4 (a), ke-5 (b),   ke-6 (c) dan ke-7 (d) setelah inang terparasit
Gambar 5  Parasitoid A. papayae. Prapupa (a) dan Pupa (b)
Gambar 7  Antena parasitoid A. papayae. Betina (a) dan jantan (b)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan untuk pemeriksaan syarat gradasi dan modulus kehalusan butiran tanah putih ini juga tidak layak digunakan sebagai bahan pengganti agregat halus pembuatan

Nilai Kebersamaan dan Toleransi adalah dua nilai yang saling melengkapi. Nilai kebersamaan adalah nilai yang dimiliki manusia dalam interaksinya dengan sesama

Proses merumuskan ide yang berasal dari kumpulan pertanyaan yang terus-menerus hadir pada diri seniman, hal seperti itu memerlukan keseimbangan dengan cara menemukan dan

Agregat merupakan material penyusun utama plat beton perkerasan kaku. Mutu agregat sangat mempengaruhi tingkat ketahanan dan keawetan kontruksi perkerasan kaku. Penurunan muka

Provinsi Kab./Kota Bidang. Unit Organisasi Sub Unit Organisasi U

Berdasarkan penelitian yang diperoleh, penulis menyimpulkan bahwa pelaksanaan tera ulang pedagang buah di Pasar Blauran Salatiga tersebut sudah berjalan setiap

Mengacu pada peraturan BKI (Biro Klasifikasi Indonesia) tahun 2006 dan membandingkan nilai hasil uji tarik dari masing-masing variasi arah serat dengan perlakuan alkali

Tabel 1 Nilai Rerata, Selang, Koefisien Keragaman Fenotip, Koefisien Keragaman Genetik, dan Heritabilitas Karakter Kuantitatif dalam Populasi BM UB 1 Karakter Tinggi Tanaman cm