• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan lectio divina dalam membantu pengembangan spiritualitas katekis - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Peranan lectio divina dalam membantu pengembangan spiritualitas katekis - USD Repository"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Yuliana Pawolung

021124029

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Skripsi ini kupersembahkan Kepada

Papa tercinta yang mengajariku bagaimana berjuan untuk hidup dan Mama terkasih (Almarhumah) yang menyadarkanku bagaiman berharap

dan bertumbuh dalam kerendahan hati

(5)
(6)

vi

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesuh dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28).

Adalah Rahmat untuk memulai yang baik; Adalah rahmat yang lebih jauh lebih besar untuk

Setia menapaki jalan yang sudah terpilih…. Tetapi rahmat yang paling besar adalah bila dalam situasi sulit dan hancur berkeping serta

(7)

vii

Skripsi ini berjudul PERANAN LECTIO DIVINA DALAM MEMBANTU PENGEMBANGAN SPIRITUALITAS KATEKIS. Latar belakang pemilihna judul ini adalah pemikiran penulis tentang panggilan khusus yang dimiliki katekis dan peran pentingnya dalam tugas pewartaan Gereja, sebagai pewarta Sabda Allah yang hidup di keluarga,Gereja dan Masyarakat.

Hal yang dibutuhkan oleh seorang katekis dalam tugas pewartaan ini adalah semangat Roh atau spiritualitas yang membantunya untuk menghayati hidup, supaya menjadi saksi iman yang hidup, pengharapan dan cinta kasih bagi dunia. Kendalanya adalah semangat Lectio Divina belum dikenal baik oleh para katekis.

Sehubungan dengan hal di atas penulis merumuskan beberapa point penting yang bisa membantu yaitu: Apa yang dapat diupayakan oleh para katekis untuk memakania tugas dan panggilannya? Bagaimana tugas dan panggilan sebagai katekis dapat dihayati dalam terang dan semangat Sabda? Usaha macam apa yang perlu didalami agar dapat membantu para katekis untuk tetap semangat dan memiliki spiritualitas yang mendalam di tengah dunia yang senantiasa berkembang dengan tawaran-tawaran duniawi, di mana seorang katekis terkadang terjerumus di dalamnya.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan deskriptif analisis yaitu: menggambarkan secara faktual keadaan yang terjadi dalam memahami dan menghayati Lectio Divina untuk menimba semangat Spiritualitas dengan mengadakan analisis berdasarkan studi kepustakaan antara lain sebagai berikut:

Menemukan kembali jatidiri katekis yang memiliki spiritualitas sebagai pewarta Sabda Allah; mengembangkan pemahaman dan penghayatan spiritualitas yang terkandung di dalam doa dan perenungan Sabda agar menjiwai seluruh karya dan pelayanan katekis di dalam hidup; menumbuhkan semangat pendalaman Lectio Divina melalui katekese dan rekoleksi agar terjadi komunikasi iman dan dialog partisipasif, doa dan refleksi, sehingga para katekis saling meneguhkan, menyemangati dan memotivasi untuk tetap teguh dalam iman, harapan dan cinta kasih.

(8)

viii

This Scrimption has entitled as: THE FUNCTION OF LECTIO DIVINE IN THE DEVELOPMENT OF CATECHIST SPIRITUALISM. The historical background of this title mainly based on the opinion of the writer herself about the special call of the catechist and how important his or her role in the church responsibility in spreading the word of God, as the preacher of God, the word fully a live in the midst of families, Church and the society.

The necessaries a catechist should owned in preaching the word of God as to have spirit of enthusiastic and spiritualism that could help him or her to comprehend fully the life it self of experience the fullness of life, so she or he may become enthusiastic witnesses of faith, hope and love to the word.

His or her constraint is the spirit of Lection Divine which unknown fully to the Catechist.

Based on the things writer above the writer come out with several important points that could help. What can the catechist affiant on as fully experience of responsibility and his or her vocation? How can this responsibility and vocation can be comprehended by the catechist in the light and lest of the word of God; What kind of exertion need to be deepened so that can be the source of help to the catechist to remained reasons and has a deep spiritualism in the midst of this world which is growing continuously in the presents world materialism. Where sometimes a catechist falling into to.

As a response to this problem, the writer uses analysis descriptive approaching such as a factual to describe the event that happen in understanding and comprehending fully Lection Divine for obtaining rest of spiritualism with analysis based on the literature study such as: Refined catechist self identity owned with spiritualism as the preacher of God’s word; to develop spiritualism understanding and comprehending that contains in prayer and reflection on the word of God that can inspire the whole services of catechist in life, increase the inspiration of deepening Lection Divine through catechist and recollection which can bear faithful communication and participation of dialogues in these then the catechist will continuously motivated to stand firm in faith, hope and love.

(9)

ix

Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang menjadi sumber cinta kasih, iman dan harapan, karena berkat kelimpahan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulsan skripsi ini dengan baik.

Judul skripsi ini adalah: “PERANAN LECTIO DIVINA DALAM MEMBANTU PENGEMBANGAN SPIRITUALITAS KATEKIS”. Dengan penuh perjuangan disertai dengan berbagai hambatan dan tantangan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan hati yang gembira. Penulisan ini terdorong oleh tekad dan cinta penulis untuk memberikan sumbangan pemikiran dan gagasan bagi para katekis baik katekis akademik maupun katekis non akademik.

Penulis juga mendapat bantuan dan perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menghaturkan rasa terima kasih yang mendalam kepada:

1. Dr. Darminta, SJ yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan membantu penulisan ini dengan penuh kesabaran, pengertian dan ketelitiannya, hingga penulisan ini selesai.

2. Yoseph Kristianto, SFK selaku dosen penguji II dan sekaligus sebagai dosen wali yang dengan perhatian membimbing dan mendukung penulis selama masa perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.

(10)

x

Pendidikan Universitan Santa Dharma, yang telah mendidik, membimbing dan memberikan bekal pengetahuan yang sangat berharga dan bermafaat bagi penulis.

5. Segenap staf karyawan IPPAK yang memberi perhatian, sapaan dan semangat yang berguna bagi penulis.

6. Fr. Herwanto, SJ yang telah memberi sumbangan pemikiran, kritik dan saran serta mendukung penulisan skripsi ini.

7. Papa, Mama (almarhumah), kakak dan adik-adikku yang telah memberikan perhatian, dukungan dan cinta dari awal kuliah sampai selesainya penulisan skripsi ini.

8. Sahabat sejatiku Anggoro Budi Waluyo yang memberi semangat, dukungan dan selalu ada baik dalam suka maupun dalam duka, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.

9. Teman-teman MUDIKA St. Yohanes Paulus Tukangan yang memberikan motivasi, dukungan dan doa sehingga penulis tetap bersemangat dalam penyelesaikan skripsi ini.

(11)

xi selesai.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka dangan hati yang terbuka, penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan-masukan yang membangun dan memperkaya demi semakin sempurnya skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini, dapat bermanfaat dan memberi inspirasi bagi yang membutuhkan, khususnya bagi para katekis di dalam karya pelayanan Sabda.

Yogyakarta, 9 April 2007 Penulis

(12)

xii

HALAMAN JUDUL ……….i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………ii

HALAMAN PENGESAHAN ………...iii

BAB I. PENDAHULUAN ……….………….1

A. Latar Belakang ……….1

B. Perumusan Masalah ……….9

C. Tujuan Penulisan ……….9

D. Manfaat Penulisan ………..10

E. Metode Penulisan ………...10

F. Sistematika Penulisan ……….10

BAB II. GAMBARAN TENTANG LECTIO DIVINA ……….13

A Lectio Divina ……….……...13

1. Pengertian Lectio Divina ………..14

2. Sejarah Singkat ……….15

3. Tahap-tahap ………..16

B Lectio Divina dalam Dokumen Gereja ………..21

1 . Apostolicam Actuositatem ………22

2. Dei Verbum ………..22

3. Catechesi Tradendae ………24

(13)

xiii

3 Hal-hal Yang Dikembangkan Dalam Lectio Divina. ………...31

a. Rasa Religisitas ………..31

b. Rasa Sakralitas ………...32

c. Keakraban Dengan Yang Ilahi ………...33

BAB III. LECTIO DIVINA DALAM HIDUP KATEKIS ………35

A Identitas Katekis………..………35

1. Menurut Gereja ………...35

2. Dalam Realitas Hidup ………..41

3. Dalam Jiwa Pelayanan ……….42

B Peran Katekis….. …...……….44

1. Katekis Sebagai Fasilitator ………..44

2. Katekis Sebagai Pendamping dan Pembimbing ………..45

3. Katekis Sebagai Figur …………...………..45

C Relevansi Lectio Divina Dalam pewartaan Katekis.………....47

BAB IV. LECTIO DIVINA DALAM PENGEMBANGAN SPIRITUALITAS KATEKIS ………...50

A Spiritualitas Katekis………..……….50

B Manfaat Lectio Divina……… ………..55

1. Dalam Pengembangan Spiritualitas Katekis ………..….55

2. Dalam Pewartaan Katekis ………..…….61

C Katekese Lectio Divina Bagi Katekis Melalui Rekoleksi.………..…..64

1. Katekese ……….64

a. Unsur-unsur Yang Ada Dalam Katekese ……….66

b. Proses Katekese ………72

c. Model Katekese ………73

2. Rekoleksi ………77

a. Pengertian Rekoleksi ………77

(14)

xiv

BAB V. PENUTUP……….………...100

A Kesimpulan ………100

B Saran ………..112

(15)

xv A. Daftar Singkatan Kitab Suci.

Dalam skripsi ini, singkatan Kitab Suci mengikuti Daftar Singkatan Lembaga Biblika Indonesia Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dengan pengantar dan catatan singakat (Ende. Arnoldus, 1983:Hal.12).

B. Daftar Singkata Dokumen Gereja. AA = Apostolicam Actuositatem

CT = Catechesi Tradendae (Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang katekese masa kini, 16 oktober 1997).

DV = Dei Verbum

KHK = Kitab Hukum Kanonik

C. Singkatan Lain Art = Artikel

(16)

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam melaksanakan tugas perutusan menyebarluaskan Kerajaan Allah,

Gereja mengundang partisipasi dari seluruh anggotanya. Alasan dasar dari undangan

ini adalah kesamaan martabat kristiani yang diperoleh setiap anggota Gereja melalui

sakramen pembabtisan dan penguatan.

Secara istimewa panggilan untuk terlibat dalam pewartaan ini ditujukan

kepada para awam. Keterlibatan ini dirasakan sangat penting, besar dan mendesak

mengingat semakin kompleksnya masalah pelayanan yang dialami oleh Gereja, di

satu sisi, sedangkan pada sisi lain jumlah awam dalam keanggotaan Gereja jauh lebih

besar daripada jumlah kaum tertahbis. Sementara dunia terus berkembang dengan

segala perubahan beserta berbagai dampaknya. Kesadaran akan keterbatasan Gereja

dan munculnya berbagai masalah pelayanan akibat perkembangan zaman itu

diungkapkan dalam dekrit Apostolicam Actuositatem (AA).

(17)

direbut kebebasan mereka yang sewajarnya untuk menunaikan pelayanan mereka. Tanpa karya kegiatan kaum awam, Gereja nyaris tidak dapat hadir dan efektif. (AA art. 1)

Medan demikianlah yang harus dihadapi oleh kaum awam Gereja dalam karya

pewartaan dewasa ini.

Di antara kaum awam ini hadir dan bekerjalah orang-orang yang

mengkhususkan dirinya pada pewartaan sabda dengan cara membina dan

mengembangkan iman umat. Mereka inilah yang biasa disebut sebagai katekis.

Sebagai bagian dari kaum awam, katekis juga bekerja di medan yang sama. Namun

demikian, medan pewartaan para katekis bisa dikatakan lebih khas bila dibandingkan

dengan karya-karya awam yang lain. Dikatakan khas karena karya katekis lebih

bersifat pelayanan yang menuntut pengorbanan besar tanpa diimbangi dengan hasil

yang memadai. Dari sisi inilah kemudian muncul berbagai permasalahan yang sering

menjerat hidup para katekis.

Di bidang pastoral, karya dan peranan katekis sering kurang diperhatikan,

bahkan tidak diperhitungkan baik oleh pihak umat maupun oleh pihak hirarki.

Bahkan ada pastor paroki yang menganggap katekis bukan sebagai partner kerja

dalam memelihara dan mengembangkan iman umat melainkan sebagai pesaing yang

mengganggu. Dari segi ekonomi, tidak ada katekis yang mendapat gaji memadai,

yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup berkeluarga. Meskipun

demikian, mereka masih harus rela mengurbankan uang, tenaga, waktu juga perasaan

mereka demi pelayanan kepada sesama. Dari segi sosial kita bisa melihat bahwa

(18)

dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan lain: guru matematika, dosen, pegawai

bank, dan lain-lain. Pada hal dari segi eksistensialnya, seorang katekis dituntut untuk

memiliki kemampuan yang memadai di bidangnya. Ia dituntut agar selalu kreatif,

trampil serta inovatif sehingga pelayanannya mampu menjawab kebutuhan umat.

Permasalahan-permasalahan di atas sering menimbulkan

permasalahan-permasalahan baru yang lebih bersifat pribadi. Permasalahan itu antara lain: perasaan

bosan, malas, minder, kecewa dan bahkan putus asa. Sudah bersusah payah dan

berkorban banyak ternyata tidak dihargai. Kadang muncul juga perasaan iri dengan

orang lain yang memiliki pekerjaan menjanjikan. Ketidak puasan ini akhirnya

memuncak pada perasaan frustrasi dan putus asa. Hal ini menimbulkan pergulatan

batin yang amat besar bagi para katekis. Banyak katekis mampu bertahan dalam

pergulatan itu, tetapi juga tidak sedikit katekis yang harus menyerah kalah dan

mundur dari pelayanan. Mereka yang kalah ini ada yang terang-terangan alih profesi,

tetapi ada yang sembunyi-sembunyi mencari pekerjaan lain dan mengabaikan

pekerjaan pokok yang kiranya merupakan panggilan yaitu; membina iman umat.

Bagi kelompok yang kedua ini, pekerjaan katekis tidak dapat lagi disebut

sebagai panggilan, karena kebanyakan dari antara mereka lebih melihat segi materi

yang didapat daripada melihat perkembangan iman umat binaannya.

Tugas pewarta memang tidak ringan tetapi juga tidak sangat berat. Pergulatan

hidup akan menjadi ringan bila ada keterbukaan hati untuk mengkomunikasikannya

dengan orang lain. Bagaimanapun juga, keterlibatan pihak lain akan sangat

(19)

keluarga yang berusaha merasakan pergulatan anggota keluarga lain, kehadiran

sesama teman katekis, atau siapapun yang peduli akan sangat berarti untuk

menyemangati para katekis. Tidak mengabaikan akan peran semua itu, Gereja

menganjurkan agar para katekis semakin mempererat hubungan dengan Kristus,

sumber, asal dan tujuan pewartaan.

Kristus yang diutus oleh Bapa menjadi sumber dan asal seluruh kerasulan Gereja. Maka jelaslah kesuburan kerasulan awam tergantung dari persatuan mereka dengan Kristus yang memang perlu untuk hidup, menurut sabda Tuhan:” Barang siapa tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia, ia menghasilkan buah banyak, sebab tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Kehidupan dalam persatuan mesra dengan Kristus itu dalam Gereja dipupuk dengan bantuan-bantuan rohani, yang diperuntukkan bagi semua orang beriman, terutama dengan keikut sertaan aktif dalam liturgi suci. (AA art. 4).

Dari segi eratnya hubungan itu katekis bukan hanya mampu bertahan dalam

pergulatan hidup, terlebih lagi mampu memancarkan cahaya kehadiran Kristus yang

menyelamatkan dalam sikap hidup sehari-hari.

Anjuran untuk bersatu dengan Kristus ini diulangi lagi oleh Paus Yohanes

Paulus II dalam anjuran apostoliknya Catechesi Tradendae (CT). Berkaitan dengan

hubungan katekis dengan Yesus dikatakan bahwa seorang katekis harus mendalami

sabda Allah yang disalurkan oleh Magisterium Gereja, dan harus akrab-mesra dengan

Kristus dan Bapa, betapa ia mempunyai semangat doa, dan mengingkari diri (bdk,

CT. art. 9).

Dua anjuran di atas menunjukan betapa pentingnya seorang katekis

mendalami dan mengembangkan spiriutualitasnya yang bersumber pada keakraban

(20)

keintiman dengan Yesus hanya mungkin terjadi kalau orang mengenal pribadiNya.

Pengenalan akan Yesus pun hanya akan terjadi bila orang mau membangun

keakraban dan kemesraan dengan Kitab Suci, sabda Allah sendiri. Supaya bisa akrab

dengan Kitab Suci, katekis harus banyak mengadakan latihan mendalami Kitab Suci

baik secara perorangan maupun secara bersama-sama hingga akhirnya

sungguh-sungguh dimampukan untuk meresapi sabda dan menjadikan sabda itu miliknya.

Salah satu cara yang dapat mendukung usaha membangun keakraban dan keintiman

dengan sabda itu adalah dengan mengadakan Lectio Divina. Dengan metode dasarnya

yang memang membaca, mengolah dan merenungkan Kitab Suci, Lectio Divina dapat

menuntun setiap orang beriman khusunya katekis untuk bukan hanya mengenal Kitab

Suci, tetapi juga menjadikan Kitab Suci itu bagian dari hidupnya. Lectio Divina

adalah cara berdoa yang paling sederhana namun paling mendalam. Doa ini

merupakan pembacaan sabda Allah penuh iman dan doa, berpangkal pada iman

dalam Yesus ( Mester, 1996:5). Sedangkan William Johnston (2001: 63), menyebut

Lectio Divina sebagai praktek membaca kitab suci secara perlahan-lahan dan penuh

cinta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Lectio Divina adalah sebuah cara

berdoa yang mendasarkan kegiatannya pada Kitab Suci atau sabda Allah. Namun

karena cukup sentralnya peranan Kitab Suci dalam kegiatan ini, maka Lectio Divina

dapat juga dilihat dan dikatakan sebagai kegiatan pendalaman Kitab Suci

(Pandoyoputro, 2002;39-31). Dan bila dimasukkan ke dalam salah satu model

(21)

Dalam sejarah perkembangan Gereja, Lectio Divina mempunyai peranan yang

cukup penting dalam memelihara dan mengembangkan iman Gereja. Berdasarkan

sejarahnya, doa ini telah ada dan dipraktekkan jemaat Kristiani sejak Gereja ada.

Namun mulai mendapat kerangkanya sejak abad ke-4. Banyak orang telah mendapat

kekuatan dan semangat dari doa ini. Mereka juga terdorong untuk terlibat dalam

hidup dan karya Profetis Gereja serta dunia dan siap membaharuinya. Berkaitan

dengan tujuan Lectio Divina, Rm. St. Damawijaya, Pr mengatakan sebagai berikut

Bacaan rohani sudah menunjukkan ciri khasnya yaitu untuk membangun kehidupan rohani, hidup menurut Roh Allah. Bacaan itu terarah untuk membangun hubungan orang beriman dengan Allahnya yang diyakini sebagai penyelenggara kehidupan ini. Allah terus-menerus menyapa manusia yang tanggap akan rencananya. Rencana dan kehendak Allah itulah yang hendak ditanggapi oleh orang beriman dalam bacaan tersebut. (Darmawijaya. 1999: 20)

Dari pernyataan di atas, jelas bahwa di dalam Lectio Divina terjadi usaha dari

umat Allah bersama dengan Roh Kudus, untuk mencari dan menemukan Allah dan

kehendakNya, kemudian kehendak itu berusaha dipahami untuk dijadikan penunjuk

jalan dan pelita hidup. Untuk menempuh jalan menuju Allah, kepada kita

masing-masing dianugerahkan cara hidup Gereja. Beberapa bentuk kehidupan itu bersumber

pada kasih karunia Allah yang satu dan berada pada jalan yang satu, yaitu Kristus

(Darminta, 1993: 22). Sabda Allah memang merupakan kekuatan bagi siapa saja yang

mendalaminya dan ingin bertumbuh di dalam Roh. Dalam hidup bersama kegiatan

Lectio Divina berguna untuk memupuk iman Gereja, jemaat, umat kristiani dan kaum

(22)

Sebelum Konsili Vatikan II, terjadi bentuk perubahan dan kebijaksanaan

dalam gereja. Salah satu kebijakan Gereja yang merugikan adalah dilarangnya umat

untuk membaca dan mempelajari Kitab Suci. Gereja hanya mengijinkan para klerus

dan para religius, karena menurut paham gereja mereka telah disucikan. Umat

dianggap tidak layak menyentuh, apalagi membaca buku suci itu. Maka lambat laun

umat terjauhkan bahkan asing dari kebiasaan membaca Kitab Suci. Demikian pula,

kegiatan Doa Lectio Divina berlangsung hanya sebatas pada tembok-tembok biara

dan pastoran. Akibatnya di kemudian hari, doa ini semakin tidak dikenal oleh umat,

sehingga tidak tahu lagi akan peran penting doa ini bagi kelestarian hidup iman

mereka. Bahkan katekis pun yang dijuluki sebagai pewarta Sabda tidak mempunyai

pengetahuan yang cukup tentang apa dan bagaimana Lectio Divina itu. Umat tidak

tahu bahwa dengan doa ini umat terbantu untuk mengenal dan bersatu dengan Allah

sehingga memperoleh kekuatan dan semangat dalam menghadapi berbagai masalah

kehidupan karena bersumber dari Yesus sendiri yang adalah Sabda. Dampak

pelarangan ini sekarang masih dapat dirasakan dengan masih banyak umat yang

enggan untuk membaca dan memdalami Kitab Suci. Bagi mereka, pembacaan dan

renungan Kitab Suci adalah tugas kaum berjubah atau yang khusus studi tentang

Kitab Suci. Pada hal Konsili Vatikan II telah mengoreksi kebijakan Gereja di masa

lalu.

Setiap katekis harus memiliki dan mengembangkan spiritualitasnya. Caranya

adalah dengan setia membaca dan merenungkan Kitab Suci. Dengan spiritualitas

(23)

Spiritualitas katekis pada dasarnya adalah spiritualitas kristiani, maka juga

mengandung segala kekayaan spiritualitas kristiani, seperti halnya awam pada

dasarnya adalah anggota Gereja, maka juga mempunyai segala kekayaan sebagai

anggota Gereja. Oleh karena itu “mereka harus memenuhi tugas mereka dalam gereja

dan hidup sehari-hari, misalnya dalam keluarga, tempat kerja, kegiatan keduniaan dan

waktu senggang sedemikian rupa, sehingga mereka meresapi dan mengubah dunia

dengan cahaya dan kehidupan Kristus”. Pernyataan ini merupakan anjuran agar

spiritualitas awam dikembangkan. Anjuran kepada anggota Gereja khususnya kepada

katekis untuk kembali dan senantiasa berada dan menimba kekuatan dari sumber

spiritualitasnya, Yesus dan sabdaNya dalam Kitab Suci, serta peranan dasar doa

Lectio Divina yang mendukung usaha kembali kepada sumber spiritualitas, namun

terlupakan itu mendorong penulis mengambil judul skripsi: PERANAN LECTIO

DIVINA DALAM MEMBANTU PENGEMBANGAN SPIRITUALITAS

KATEKIS.

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan antara lain:

1. Apakah katekis menyadari pentingnya bersatu dengan Kristus sebagai

sumber, kekuatan dan penjamin karya pewartaannya?

2. Apakah katekis sudah mengenal Lectio Divina sebagai salah satu cara untuk

(24)

3. Bagaimana mereka itu biasa melaksanakan doa Lectio Divina itu, dan apa

manfaat yang diperolehnya?

C. Tujuan penulisan Skripsi.

Skripsi ini ditulis dengan tujuan:

1. Membantu para katekis mengembangkan spiritualitasnya untuk semakin

bersatu dengan sang sumber, Yesus Kristus.

2. Menampilkan Lectio Divina sebagai salah satu alternatif untuk

mengembangkan spiritualitasnya

3. Memberi masukan untuk pengembangan Lectio Divina, agar katekis semakin

terbantu mengembangkan spiritualitasnya

4. Memenuhi persyaratan kelulusan sarjana strata 1 (S1) di IPPAK Sanata

Dharma

D. Manfaat Penulisan

1. Memberi sumbangan pemikiran bagi para katekis dalam usaha mendalami dan

mengembangkan spiritualitasnya.

2. Membantu katekis untuk mendalami spiritualitasnya.

3. Membantu katekis melaksanakan dan mengembangkan kegiatan Lectio Divina

(25)

E. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analistis

yaitu metode yang menggambarkan dan menganalisa data-data yang diperoleh

baik melalui pengalaman maupun malalui studi pustaka.

Karena penulis selama kuliah mendalami bidang katekese, maka penulis mencoba

memberikan sumbangan pemikiran, bagaimana Lectio Divina dapat

dikembangkan sebagai sebuah kegiatan katekese doa dalam bentuk katekese dan

rekoleksi yang diharapkan menjadi lebih menarik dan mengena.

F. Sistematika Penulisan

Judul skripsi yang dipilih adalah “ Peranan Lectio Divina dalam Membantu

Pengembangan Spiritualitas Katekis”. Judul ini akan diuraikan dalam 4 bab.

BAB I : Bab ini diawali dengan pendahuluan yang meliputi latar belakang

penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat serta metode

yang dipakai dalam penulisan skripsi ini, dengan harapan dapat

menjawab permasalahan yang ada dengan baik dan tepat. Sebagai

garis besar dari isi skripsi ini penulis menguraikan secara singkat

dan dalam sistematika penulisan.

BAB II : Pembahasan dalam Bab ini, merupakan pemahaman awal dan

jawaban atas permasalahan pertama, dengan tujuan para katekis

mengetahui latar belakang munculnya Lectio Divina yaitu cara

(26)

mendalam, yang dari padanya terpancar kekuatan ilahi, sehingga

setiap katekis mendapat cara penghayatan yang lebih kuat yaitu:

Spiritualitas sebagai pewarta Sabda. Bab ini dibagi dalam tiga pokok

bagian pertama yaitu pertama, Pengertian dan latar belakang adanya

Lectio Divina serta tahap perkembangannya yang akhirnya menjadi

sumber spiritualitas bagi yang mendalaminya. Kedua, Pandangan

dan harapan Gereja dalam bentuk dokumen tantang Lectio Divina,

sehingga semakin jelas bahwa Lectio Divina merupakan sumber

kekuatan dan spiritualitas yang akan dijelaskan dan dibahas pada

bagian ketiga, yaitu Lectio Divina dan Spiritualitas.

BAB III : Bab III ini adalah jawaban atas masalah kedua yang menguraikan

tentang identitas katekis sebagai landasan pengenalan diri untuk

pewarta Sabda yang sejati. Bagian ini untuk memperluas wawasan,

pemahaman dan penghayatan panggilannya sebagai pewarta

sehingga dalam hidupnya selalu sadar dan mau melaksanakan

tugasnya secara lebih bertanggung jawab. Dengan mengenal

jatidirinya, seorang katekis tahu dan mau mengembangkan

spiritualitasnya yaitu dekat dengan Sabda itu sendiri. Bab ini dibagi

dalam tiga bagian yaitu Pertama, Identitas katekis baik dalam

Gereja, realitas hidup dan jiwa pelayanan. Kedua, Peran Katekis

(27)

yang dimiliki. Ketiga, Relevansi Lectio Divina dalam Pewartaan

Katekis.

BAB IV : Bab ini merupakan jawaban atas masalah ketiga yang menguraikan

Lectio Divina sebagai salah satu model katekese Doa yang

membantu meningkatkan spiritualitas baik sebagai pribadi maupun

sebagai pewarta bagi sesama. Dengan demikian dapat diuraikan

secara singkat spiritualitas katekis yang mengalir dari ketekunan dan

kesetiaan merenungkan Sabda, serta manfaat dalam hidup dan

perutusan katekis. Supaya Lectio Divina itu terarah dengan baik dan

jelas, penulis memberi contoh-contoh dalam bentuk katekese yang

terdiri dari tiga kali pertemuan dan rekoleksi satu kali pertemuan,

yang memungkinkan peserta saling berkomunikasi iman sehingga

semakin memahami Spiritualitas pewartaannya secara lebih

mendalam.

Seluruh uraian dan pemaparan dalam skripsi ini, ditutup dengan

kesimpulan dan saran yang merupakan rangkuman dan penegasan seluruh

tulisan penulis untuk membantu para katekis dalam memahami dan

menghayati doa Lectio Divina yang membuatnya semakin dekat dengan

(28)

BAB II

GAMBARAN TENTANG

LECTIO DIVINA

A

Lectio Divina

Bagi Gereja jaman sekarang, melayani dan mewartakan Sabda adalah suatu

tugas utama yang harus dilaksanakan. Pewartaan pertama-tama memberikan

kesaksian tentang hal-hal agung yang dikerjakan Allah dalam hidup manusia. Orang

diajak untuk selalu menyadari akan kenyataan bahwa Allah selalu ada. Oleh karena

itu, setiap orang perlu membangun persahabatan dengan Allah melalui doa yang

terus-menerus dan merenungkan firman-Nya sepanjang hari, karena mustahil menjadi

sahabat Allah tanpa mengetahui apa yang Dia firmankan. Orang tidak bisa mengasihi

Allah sebelum mengenal firman-Nya. Sebagaimana dikatakan dalam Alkitab “Allah

menyatakan diri di Silo kepada Samuel dengan perantaraan firman-Nya” (1 Samuel

3:21). Kitab Suci membantu setiap orang untuk menemukan, mengenal dan

mencintai Allah di dalam Sabda dan Karya-Nya.

Meskipun orang tidak menghabiskan sepanjang hari mempelajari Alkitab,

orang bisa merenungkannya sepanjang hari dengan cara mengingat ayat-ayat yang

telah dibaca atau dihafal dan mempertimbangkannya di dalam pikirannya.

Tekun dalam “bacaan rohani” atau meditasi seringkali disalah mengerti

sebagai ritual yang sulit dan misterius yang harus dilakukan oleh bairawan-biarawati

(29)

terfokus, dengan suatu ketrampilan yang bisa dipelajari dan digunakan oleh semua

orang di mana pun. Salah satu contoh adalah Lectio Divina.

Lectio Divina adalah bentuk doa atau meditasi yang tetap relevan untuk

dipakai.

1. Pengertian Lectio Divina

Istilah Lectio Divina berasal dari Origenes. Menurut asal katanya, Lectio

Divina berasal dari kata latin Lectio yang berarti bacaan, dan Divina yang berarti

hukum Ilahi. Terjemahan bebas dari kata ini adalah bacaan Ilahi. Kegiatan ini

dibedakan dari bacaan biasa, seperti misalnya membaca koran: untuk mencari

informasi, atau membaca novel: untuk mencari hiburan (Darmawijaya,1999: 22).

Lectio Divina adalah cara berdoa yang paling sederhana dan paling mendalam. Doa

ini merupakan pembacaan sabda Allah penuh iman dan doa, berpangkal pada iman

dalam Yesus Kristus ( Master, 1996: 5). Sedangkan William Johnston (2001: 63),

menyebut Lectio Divina sebagai pratek membaca Kitab Suci secara perlahan-lahan

dan penuh cinta. Namun karena cukup sentralnya peranan Kitab Suci dalam kegiatan

ini, maka Lectio Divina dapat juga dilihat dan dikatakan sebagai kegiatan pendalaman

Kitab Suci (Pandoyoputro, 2002: 30-31). Dan bila dimasukkan ke dalam satu model

(30)

2. Sejarah Lectio Divina

Pada awalnya tidak ada pembacaan yang diorganisir secara metodis,

melainkan tradisi sendiri yang diteruskan dari generasi ke generasi lewat praktek

umat kristiani.

Ada banyak kebiasaan dan bentuk doa dalam umat Kristiani pada waktu itu,

seperti; doa rosario, jalan salib, novena, doa Taize dan lain-lain. Namun diantara

cara-cara yang ada, cara berdoa Lectio Divina adalah yang paling sederhana dan

paling dalam, karena sarana utama adalah Kitab Suci yang adalah Sabda Allah

sendiri.

Cara ini ditemukan oleh para Bapa padang gurun yang hidup antara abad ke

IV-VII di wilayah Timur tengah, yang kemudian dikembangkan di Barat oleh para

rahib dari tradisi Benediktin (Pareira, 1992: 1).

Dalam pelaksanaan Lectio Divina, tentu saja setiap orang mengalami

kesulitan, seperti halnya para rahib dan biarawan pada zaman dulu, yang mana tidak

selalu menikmati acara itu. Mereka perlu usaha yang ketat untuk bertahan dan

menemukan ketenangan batin yang sejati.

Ada dua hal yang dianjurkan oleh St. Benediktus kepada para pengikutnya

yaitu: Pertama, Vacare yaitu istirahat atau sama sekali berhenti dari kerja. Hal ini

sangat sulit bagi mereka yang selalu sibuk karena menghentikan pekerjaan demi

membaca Kitab Suci seolah memulai “petualangan” yang tidak pernah kelihatan

hasilnya. Kedua, intendere searti dengan memperhatikan yaitu mencurahkan seluruh

(31)

ini adalah sebuah kerja spiritual yang amat berat, bagi siapa saja yang baru mulai

melangkah dalam hidup spiritual (Stefan Leks, 1997: 62).

Lectio Divina membutuhkan usaha yang amat serius, karena Kitab Suci

adalah dasar dan sumber kekayaan iman yang perlu digali, dihayati dalam doa dan

dihidupi lewat tindakan. Oleh karenanya keterbukaan hati dan ketulusan cinta perlu

dimiliki, karena dengan demikian setiap orang akan bangga karena telah menemukan

Kristus yang sebenarnya. Cara berdoa Lectio Divina ini berkembang menjadi milik

Gereja sampai sekarang.

3. Tahap-Tahap Lectio Divina

Meskipun caranya begitu sederhana, dan bahan dasarnya mudah ditemukan

dan juga mudah dilaksanakan, ternyata diperlukan syarat-syarat demi keberhasilan

doa itu. Lectio Divina akan berhasil kalau disadari yaitu kasadaran bahwa hidup

manusia akan ngawur, tidak mempunyai arah yang jelas kalau tidak dibimbing oleh

firman Allah sendiri. Orang akan lebih berjalan dalam kegelapan dari pada dalam

terang. Orang juga harus yakin bahwa hanya satu hal yang perlu dalam hidup yakni

duduk di kaki Yesus, mendengarkan sabdaNya dan melaksanakannya (Luk.

10:38-42). Kitab Suci adalah sumber hikmat. Dia menuntun manusia kepada keselamatan

oleh iman kepada Kristus Yesus (2 Tim 3: 15). Dengan senantiasa melaksanakan doa

ini orang sedikit demi sedikit terbantu untuk ambil bagian dalam hidup Yesus.

Apabila seseorang “mempelajari” Alkitab, ia harus berpikir dalam-dalam

(32)

kehendaknya, sebab tujuannya adalah mengenal kebenaran-kebenaran yang

disampaikan dalam sabda Allah, yang terarah kepada penghayatan dan praktek nyata

hidup doa.

Oleh karena itu ada lima tahap yang perlu diperhatikan dalam latihan doa ini:

a. Lectio

Kegiatan rohani pertama dalam Lectio Divina ialah Lectio atau pembacaan

Kitab Suci. Tujuan Lectio ialah mengerti apa yang dikatakan oleh teks (Pareira, 1992:

11). Orang membaca dengan teliti beberapa kali dan berusaha memahami apa yang

dimaksud oleh pengarang. Membaca Kitab Suci berarti mendengarkan firman Allah

dengan penuh perhatian dan bakti, dengan konsentrasi dan keheningan batin.

Sebelum melakukan Lectio terlebih dahulu menyiapkan batin untuk kemudian

memohon terang Roh Kudus, karena tidak mungkin orang mempunyai pengertian

yang benar dan berdaya guna tentang Kitab Suci tanpa Roh Kudus. Kitab Suci

haruslah ditafsirkan dalam Roh Allah sendiri. Dalam hal ini, Kitab Suci dipandang

sebagai buku yang penuh makna yakni menyimpan firman Allah, yang ingin

menyampaikan sesuatu yang berguna bagi hidup manusia. Melalui kegiatan

sederhana ini, perhatian pembaca atau orang yang bersangkutan meningkat sebab

telah mengalami pengaktifan budi, imajinasi dan perasaannya (Stef Leks, 1996:63).

b. Meditatio

Kata meditatio berasal dari Bahasa Latin. kata kerjanya meditari, yang berarti

(33)

Meditatio menunjukkan proses usaha permenungan, persiapan, latihan dan

mempertimbangkan segala sisi dengan cermat (Darmawijaya, 1999: 24).

Setelah peserta sudah cukup mengerti isi teks, peserta melibatkan diri dalam

kejadian itu seolah hadir di situ. Meditasi adalah menerapkan seluruh rahasia dan

kebenaran Firman Allah pada diri sendiri (Pareira, 1992: 16). Dalam terang Roh

Kudus dan dalam iman, pribadi dapat memahami Firman Tuhan dengan perhatian

baru dengan mencoba menemukan perbedaan antara pikiran Allah dengan pikiran

manusia. Perlu suatu kesadaran betapa penting membiarkan Firman itu mengubah

keyakinan pribadi agar semakin sesuai dengan pikiran Allah. Dalam tahap ini, orang

mau mengubah mentalitas dan kehendaknya agar bisa berusaha mengikuti mentalitas

dan kehendak Allah. Meditatio dapat terlaksana juga melalui kalimat yang

diulang-ulang, yang diambil dari kutipan yang baru dibaca atau dari teks yang lain, yang tentu

saja berisikan Firman Allah.

c. Oratio

Oratio berasal dari kata kerja orare yang artinya antara lain, berbicara seperti

dalam ceramah, membela seperti dalam pengadilan, memohon dan dalam konteks

religius berarti berdoa. yang berperan di sini adalah iman akan Firman Allah

(Darmawijaya 1999: 36-37).

Oratio berarti berdoa dengan firman Allah, memilih kata-kata yang berkesan

dan menjadikannya kalimat doa yang pendek. Caranya bisa dengan mengambil salah

satu kalimat doa dan kemudian diulangi dengan khusuk terus-menerus sampai

(34)

Doa adalah persatuan hati dengan Allah, dalam suatu percakapan

antarsahabat. Doa yang digerakkan oleh Sabda Allah dan lahir dari padanya hidup

dalam semangat Roh yang ada di dalam Firman, seperti tampak dalam liturgi Gereja

(Pareira, 1992: 20). Doa merupakan saat di mana pribadi memohon kepada Tuhan

agar memperkenalkan diri-Nya yang penuh kasih kepada manusia. Peserta

mengungkapkan rasa kagum dan rasa terimakasih kepada Tuhan atas Firman yang

telah diterima dan membiarkan diri diajari oleh-Nya untuk berdoa kepada Bapa.

Bertolak dari Firman yang telah didengar dan direnungkan, pribadi menyampaikan

doa syukur, penyesalan atau tobat serta terus-menerus mengarahkan batin kepada

Allah untuk mendengarkan Allah Tritunggal.

d. Contemplatio

Istilah contemplatio berasal dari kata kerja contemplari yaitu memandang

(Darmawijaya,1999:32). Kontemplatio adalah suatu pengangkatan jiwa manusia pada

Allah, yang membuat jiwa itu seperti tinggal dan berpaut padaNya dan menikmati

kemanisan abadi (Pareira, 1992: 21). Menurut Stefan Leks, kontemplasi membiarkan

diri sepenuhnya “ditangkap” atau dikuasai oleh Dia yang bersabda melalui tiap-tiap

teks Kitab Suci. Dikatakan pula kontemplasi ialah semacam sembah sujud,

puji-pujian dan keheningan di hadapan Dia yang menjadi tujuan akhir segala doa, yaitu

(35)

e. Actio.

Actio atau tindakan adalah buah matang seluruh proses (Leks 1996:65). Actio

mengamalkan dan mewartakan Firman, hidup, berkata-kata, bersikap dan bertindak

sesuai Firman yang direnungkan. Firman menjadi darah daging, mewarnai seluruh

hidup, semua relasi dan pekerjaan. Setiap jam, sepanjang hari, di tengah segala

kesibukan, orang akan berhenti sebentar dan ingat kembali apa yang telah

disampaikan Tuhan kepadanya dalam Lectio Divina (Pareira, 1992;22).

Maka tindakan seharusnya mewujudkan kasih yang telah dipelihara dalam

hati pribadi. Tahap ini membantu setiap pribadi untuk melanjutkan doa dalam

kesibukan sehari-hari melalui tindakan yang menyatakan kesesuaian dengan

kehendak Bapa. Bila hasrat untuk bersatu dengan kasihNya dalam segala keadaan

hidup semakin berkembang dalam diri pribadi, maka percakapan intim dan mesra

dengan Tuhan tidak akan berhenti.

B

Lectio Divina

dalam Dokumen Gereja

Konsili Vatikan II mengajak segenap umat Kristiani supaya membaca dan

merenungkan Kitab Suci serta memperdalam pemahamannya tentang Firman Tuhan

yaitu Kristus sendiri yang hadir dalam sabdaNya.

Umat Kristiani memang perlu diperkembangkan dengan Sabda Tuhan yang

tertulis, tidak hanya melalui liturgi atau ibadat sabda tetapi juga dengan membaca dan

(36)

religius diajak untuk sesering mungkin, bahkan setia merenungkan Kitab Suci sendiri,

dengan demikian mereka dapat mengenal Kristus yang mereka imani dan wartakan (

DV art.25 ).

Kitab Suci menjadi sumber utama dalam pewartaan, oleh karena itu seorang

pewarta sudah sepantasnya menjadikan Kitab Suci bagian dari hidup dan karyanya.

Seperti dikatakan oleh St. Paulus dalam 2 Tim 3: 15-17

Kitab suci dapat memberikan hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman akan Yesus Kristus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian, tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi dengan perbuatan baik.

Kitab Suci sebagai sumber iman Kristiani merupakan sarana untuk berdoa

dan membangun relasi yang mesra dengan Kristus yang adalah Sabda itu sendiri.

Keakraban dan kemesraan atau keintiman dengan Yesus hanya mungkin terjadi kalau

orang mengenal pribadiNya. Pengenalan akan Yesus juga hanya akan terjadi bila

orang mau membangun keakraban dan kemesraan dengan Kitab Suci sabda Allah

sendiri. Hal tersebut telah disampaikan dengan jelas oleh Konsili Vatikan II (KV II),

dalam beberapa dokumen di bawah ini.

1. Apostolicam Actuositatem ( AA)

Dalam Apostolicam Actuositatem, dikatakan bahwa untuk menjadi pewarta,

seseorang perlu mengenal dan berhubungan dengan Sang sumber, asal dan tujuan

(37)

Kristus yang diutus oleh Bapa menjadi sumber dan asal seluruh kerasulan Gereja. Maka jelaslah kesuburan kerasulan awam tergantung dari persatuan mereka dengan Kristus yang memang perlu untuk hidup, menurut Sabda Tuhan:” Barang siapa tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia, ia menghasilkan buah banyak, sebab tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15: 5). Kehidupan dalam persatuan mesra dengan Kristus itu dalam Gereja dipupuk melalui bantuan-bantuan rohani, yang diperuntukkan bagi semua orang beriman, terutama dengan keikut sertaan aktif dalam liturgi suci. (AA,art. 4).

Dari segi eratnya hubungan itu seorang pewarta (katekis) bukan hanya mampu

bertahan dalam pergulatan hidup, terlebih lagi mampu memancarkan cahaya

kehadiran Kristus yang menyelamatkan dalam sikap hidup sejari-hari. Artinya

sebagai pewarta Yesus, ia harus mengambil bagian dalam nasib dan hidup Yesus.

Dalam penyesuaian itu, Kristus sabda Allah dimaklumkan dengan perkataan dan

seluruh kehidupan pewarta ( Iman Katolik 1998:390).

2. Dei Verbum (DV)

Dokumen Konsili Vatikan II, Dei Verbum menasihatkan supaya dalam

pelayanan Sabda para “pewarta” berpegang teguh pada Alkitab dengan cara membaca

secara tekun dan mempelajarinya dengan seksama sehingga mereka (Pewarta)

mendapat pengenalan akan Kristus. Hal tersebut juga ditegaskan oleh St. Hieronimus

“sebab tidak mengenal Alkitab searti dengan tidak mengenal Kristus” ( Stefan Leks,

1987:23). Melalui ketekunan membaca dan merenungkan Kitab Suci seorang pewarta

dapat mengetahui betapa besar cinta kasih Allah kepada umat-Nya. Di samping itu,

kisah, peristiwa, nasihat, pengajaran dan bentuk-bentuk lain tulisan Kitab Suci

(38)

sebagai buku yang sangat penting dalam kehidupan umat Kristiani ( Heryatno, 2003a:

1). Konstitusi dogmatis Dei Verbum menyatakan:

Melalui Alkitab Bapa di surga yang penuh kasih itu mendatangi anak-anakNya dan berbicara dengan mereka. Begitu besar daya dan kekuatan firman Allah, sehingga merupakan topangan dan tenaga Gereja, kekuatan iman bagi putra-putra gereja, makanan bagi jiwa, sumber-sumber murni dan kekal bagi hidup rohani (Art 21).

Dari pernyataan Dei Verbum dapat dikatakan bahwa melalui Kitab Suci

gambaran Allah yang penuh kasih, murah hati dan sabar diwartakan kepada manusia.

Lebih dari itu, di dalamnya dikomunikasikan Sabda Allah yaitu daya kekuatan Allah

yang menopang hidup beriman umat. Dikatakan pula bahwa Kitab Suci merupakan

makanan dan sumber sejati bagi hidup rohani pewarta dan umat kristiani. Dengan

demikian semakin jelas bahwa Kitab Suci adalah pedoman iman, sumber pewartaan,

pengajaran bagi Gereja dan sumber kepercayaan serta dasar kehidupan umat

Kristiani. Intinya bahwa seluruh umat Kristen mendapat jalan supaya sampai kepada

Kitab Suci; jalan untuk mendapatkan Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar bagi

mereka (DV, art. 22).

3. Catechesi Tradendae (CT)

Untuk menemukan makna Kitab Suci dianjurkan supaya setiap orang beriman

rajin membaca secara terus menerus juga saat merasa tidak mudah memahami isinya.

Ketekunan dan kesetiaan membaca Kitab Suci merupakan cara yang baik agar orang

(39)

mengalami kekuatan sabdaNya dalam membaca dan merenungkan Kitab Suci, tidak

sekedar ingin mencari tahu isinya, tetapi masuk di dalamnya, ikut mendengar,

melihat, menyentuh, menilai merasakan dan mengalaminya. Orang hadir dan

mengambil bagian di dalamnya.

Sri Paus dalam Surat Apostoliknya Catechesi Tradendae (CT), menegaskan

bahwa seorang katekis harus mendalami Sabda Allah yang disalurkan oleh

Magisterium Gereja, dan harus akrab-mesra dengan Kristus dan Bapa, betapa ia

mempunyai semangat doa, dan mengingkari diri untuk menyatakan ‘Ajaranku bukan

ajaranku”. Dalam hal ini seorang Katekis berperan sebagai suara Kristus, yaitu

menyampaikan dan mewartakan nilai-nilai Kerajaan Allah (CT, art. 9).

Orang menceburkan diri dengan seluruh totalitas hidup, pengalaman

perjuangan, suka duka, iman harapan dan kasih. Intinya seluruh jiwa dan raga

manusia. Sabda Tuhan mengundang orang supaya bersedia menanggapi dengan

segenap hati sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

C

Lectio Divina

dan Spiritualitas

Untuk memulai suatu Lectio Divina, orang perlu mempunyai pengertian yang

benar agar dapat mendayagunakan Kitab Suci dalam terang Roh Kudus. Artinya

Kitab Suci perlu dibaca dan ditafsirkan dalam Roh Allah sendiri (Pareira, 1992:9),

karena untuk memahami dan mengalami dari kadalaman jiwa bahwa Dia adalah Sang

(40)

dan semangat cinta yang kuat perlu dimiliki. Dalam hal ini, Lectio Divina

merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kerinduan dan

kehausan akan Allah (James Borst, 1996: 34). Semakin akrab dengan Allah,

seseorang semakin mampu melihat, mendengar dan merasakan segala sesuatu dengan

kaca mata Allah. Roh Allah akan membantu untuk membaharui dirinya secara

terus-menerus dalam identitas khusus sebagai katekis (KK, KWI, 1999: 22).

1. Pengertian Spiritualitas

Sejak Vatikan II, spiritualitas telah mendapat tempat sentral di dalam hidup

jemaat,bahkan telah dipakai secara luas, tetapi belum didefenisikan secara lengkap.

Dari segi istilah “spiritualitas” diambil alih dari ungkapan perancis

“spiritualite”abad XVII, sementara pada abad V-VI ungkapan lain kristiani

“spirit(u)lis’, “spiritualitas” dipakai untuk kerohanian, berasal dari kata latin

“spiritus” terjemahan dari kata yunani “pneuma’ dan kata ibrani “ruah” yang dalam

bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “roh”. Baik isi maupun kata itu, sebenarnya

pada akhirnya berasal dari Kitab Suci, sehingga cukup berwibawa.

Dalam Kitab Suci, baik perjanjian lama maupun perjanjian Baru dikatakan

bahwa “roh’ dapat dikenakan kepada Tuhan dan pada manusia.

Dalam perjanjian lama ‘Ruah” mempunyai banyak arti. Berpangkal pada arti

“angin”,”embusan”, “ruah” dikenakan pada pusat hidup rohani manusia, atau

manusia itu sendiri sejauh menyangkut hubungannya dengan Tuhan. Misalnya

(41)

a. Roh merupakan ungkapan dinamika daya ilahi yang mempengaruhi ciptaan, bdk.

Kej 1:2; 2:7; Mzm 104:29 dst, Ayub 34:14.

b. Roh mengungkapkan kekuatan Ilahi dan kehadiran Allah yang penuh daya di

tengah umatNya dalam sejarah keselamatan, bdk Yoel 3:1; Yeh 36:25-27; Kel

15:8-10.

c. Roh pembaharuan dijanjikan untuk “zaman akhir”, bdk Yes 44:3; Yeh 36;26.

Roh akan tinggal pada Almasih, bdk. Yes 42:1-3. Israel menantikan karya baru

Roh yang akan membaharui segala-galanya ( Piet Go.O,1990:9)

Sedangkan dalam Perjanjian Baru, hidup manusia baru dalam dan menurut

Roh Ilahi, serta dibedakan dengan hidup manusia lama.

a. Roh pembaharuan yang dijanjikan dan dinantikan itu datang dalam Yesus

Kristus, bdk. Mrk 1:10; luk 4:17-21.

b. Lewat Roh Kristus hadir dalam orang beriman, Allah mengutus Roh PutraNya,

bdk. Gal 4:6. Roh merupakan anugerah agung ‘zaman akhir” bagi kaum

beriman.

c. Permandian berarti penerimaan Roh, bdk Gal 4:6, permandian menjadi satu

tubuh dalam Roh. Bdk 1 Kor 12:13.

d. Hidup kristiani berarti hidup dalam Roh,(Bdk Rm 8:9; Gal 5:16, dan

menghasilkan buah-buah Roh, bdk Gal 6:1, Piet Go O. 1990:10)

Dengan demikian apabila spiritualitas dikenakan sebagai hidup menurut

Roh atau dibimbing oleh Roh, maka yang dimaksud adalah Roh Ilahi. Dalam

(42)

memelihara jiwa. Menurut Piet Go (1990: 10), pengertian ini cocok dengan hakikat

manusia sebagai makluk spiritual. Memberi makan jiwa berarti memperkembangkan

kedalaman hidup, manusia sungguh bersentuhan dengan inti hidup.

Orang bersentuhan dengan makna spiritualitas, jika ia menemukan jawaban

dari apa yang paling ia rindukan, paling membuat ia bahagia, serta mengenali inti

hidupnya (siapa dirinya) dan merasa dekat dengan Tuhannya. Spiritualitas

menyadarkan orang semua akan keinginan untuk memperoleh “sesuatu” yang lebih

dari sukses materi, prestasi, kedudukan, dll.

St. Bernardus Clairvaux (2003b: 75) (abad XII) mengatakan:

“masing-masing orang harus minum dari sumber hidupnya sendiri”. Siapa yang menjadi

sumber air hidup, siapa sumber hidup kita? Gustavo Gutierrez mengatakan

spiritualitas kristiani mengalir dari sumber yang tidak pernah kering yaitu relasi

mendalam dan personal antar murid dengan gurunya, hubungan kita, sebagai murid

dengan Yesus Kristus. Perjumpaan dan relasi personal dengan Yesus merupakan

sumber utama spiritualitas manusia. Ada beberapa defenisi spiritualitas secara

singkat dan jelas sebagaimana dikutip oleh Heryatno Wono Wulung (2003b: 75)

dari beberapa tokoh antara lain:

a C. Duquoc (1996) mengatakan spiritualitas merupakan inti iman yang

menyatukan dan menggerakkan seluruh hidup manusia.

b J. Macquarrie (1972): Spiritualitas adalah usaha manusia menuju kepada

(43)

c R. Panikkar (1993): Spiritualitas merupakan jalan atau cara manusia

mengatasi problem hidup.

d RP. Hardy(1982): Spiritualitas adalah sikap dasar manusia untuk keluar dari

dirinya, bergerak membangun relasi dengan Tuhan dan sesama melalui jalan

itu memperkembangkan hidupnya.

e G. Wakefield (1983): Spiritualitas berkaitan dengan sikap, keyakinan, dan

tindakan yang mendorong dan menyemangati menuju pada kepenuhan hidup.

Berdasarkan defensi-defenisi di atas dapat dikatakan bahwa spiritualitas

berhubungan erat dengan tindakan konkret seseorang yang terus bergulat demi

perkembangan bahkan sampai pada kepenuhan hidup, hal itu dikaitkan dengan inti

hidupnya yaitu relasi dengan Tuhan, sesama dan lingkungannya. Spiritualitas

mencakup hidup doa, penghayatan iman yang mendalam, seluruh pergulatan hidup

dan sekaligus memiliki aspek sosial-politik (Heryatno,2003a: 25).

Secara singkat spiritualitas dapat dipahami sebagai aktualisasi hidup yang

mengantar orang beriman kepada kepenuhan hidup kristiani. Roh ilahi membantu

menggerakkan yang bersangkutan untuk menjalin relasi mendalam dengan Sang

Sumber Hidup, serta mengambil bagian dalam hidup bersama menuju kepada

kepenuhan ( terwujudnya nilai-nilai kerajaan Allah).

1. Spiritualitas dalam Lectio Divina

Membaca dan merenungkan Sabda Allah memerlukan sikap yang

(44)

menemukan kekayaan iman. Berhubungan dengan tujuan Lectio Divina, Darmawijaya

(1999: 20) mengatakan sebagai berikut: “Untuk membangun kehidupan rohani, yaitu

hidup menurut Roh Allah. Bacaan Rohani terarah untuk membangun relasi orang

beriman dengan Allahnya yang diyakini sebagai penyelenggara kehidupan ini “.

Dari pernyataan di atas, jelas bahwa di dalam Lectio Divina terjadi usaha dari

umat Allah bersama dengan Roh Kudus, untuk mencari dan menemukan Allah dan

kehendakNya, kemudian kehendak itu berusaha dipahami untuk dijadikan penunjuk

jalan dan pelita hidup. Untuk menempuh jalan menuju Allah, kepada masing-masing

orang dianugerahkan cara hidup Gereja. Beberapa bentuk kehidupan itu bersumber

pada kasih karunia Allah yang satu dan berada pada jalan yang satu, yaitu Kristus

(Darminta, 1993: 22). Sabda Allah memang merupakan kekuatan bagi siapa saja yang

mendalaminya dan ingin bertumbuh di dalam Roh. Dalam hidup bersama kegiatan

Lectio Divina berguna untuk memupuk iman Gereja, jemaat, umat kristiani dan kaum

religius.

2. Hal-hal yang dikembangkan dalam Lectio Divina

Lectio Divina adalah sekaligus gaya hidup dalam kegiatan rohani. Sebagai

“gaya hidup” orang percaya akan kekuatan Sabda Allah, percaya bahwa hanya duduk

di kaki Yesus dan mendengarkan sabdaNya hidup menjadi lebih berarti.

Kesetiaan dalam Lectio Divina atau berdoa dengan Kitab Suci akan sangat

membantu orang mengembangkan rasa akan Allah, yaitu rasa religiositas, rasa

(45)

ilahi. Singkatnya, hal-hal yang perlu dikembangkan dalam Lectio Divina memiliki tiga

pokok penting yaitu rasa religiositas, rasa sakralitas dan keakraban dengan yang Ilahi.

a. Rasa Religiusitas

Rasa religiusitas tumbuh dari relasi pribadi dengan Allah, di mana ada

kerinduan yang mendalam untuk mengalami Allah melalui SabdaNya. Rasa

religiusitas muncul dari pengalaman dan kesadaran diri manusia sebagai makhluk

yang mengakui Allah sebagai dasar dan sumber hidupnya karena telah mengenal dan

mencintaiNya lewat Sabda yang direnungkan. Rasa religiusitas mencakup rasa akan

Allah dan misterinya dalam alam ciptaan (Darminta, 1998:5). Dengan rasa itu

manusia memiliki tanggungjawab dan penghargaan yang tinggi terhadap seluruh alam

ciptaan karena kesadaran bahwa Allah hadir di dalamnya. Hal tersebut diperoleh

dalam doa dan perenungan Sabda.

Renungan akan Sabda Tuhan memampukan orang untuk senantiasa

merefleksikan setiap pengalaman dan peristiwa yang telah dilewati. Melalui

berefleksi setiap orang akan menemukan bahwa hidup ini adalah milik Sang Pencipta.

Maka dari itu orang tidak berhak untuk menghentikannya apalagi merusaknya. Orang

hanya bisa bertanggungjawab dengan menghormati, menghargai dan memeliharanya

supaya tetap berada pada jalur yang sebenarnya. Dengan demikian, hidup semakin

berdasarkan kedalaman hidup, di mana Allah sendiri bertahta. St. Theresia de Avilla

mengatakan: “hidup manusia terdapat puri-puri batin, di mana terdapat ruang-ruang

(46)

b. Rasa Sakralitas

Lectio Divina, menuntut bahwa setiap orang membaca Kitab Suci digerakkan

oleh suatu kerinduan untuk bertobat. Orang mau mengubah hidupnya untuk menjadi

serupa dengan Yesus Kristus. “Berbahagialah orang yang murni hatinya karena

mereka akan melihat Allah (Pareira,1992:3). Hati yang senantiasa terbuka terhadap

Sabda Allah, dan membiarkan diri dimiliki dan dikuasai Allah itulah yang nantinya

mengantar orang pada rasa sakralitas.

Rasa sakralitas adalah suatu kesadaran bahwa ada kekuatan lain yang

menggerkkan orang untuk berani menghayati kebaruan hidup yang dialaminya

melalui renungan Sabda yaitu hidup Ilahi. Hidup Ilahi ini merupakan ”rahmat” di

mana Allah sendiri yang menganugerahkannya kepada manusia secara cuma-cuma

(Darminta, 2001:18). Atas dasar kesadaran ini, maka bertumbuhlah semangat untuk

melayani Sabda Tuhan dalam berbagai bentuk pelayanan sesuai dengan talenta yang

diterimanya dari Tuhan (KomKat, Keuskupan Padang,1988:13). Dengan penuh

keyakinan, orang akan menjalankan panggilannya sebagai sebuah pilihan hidup yang

telah ditetapkan oleh Tuhan. Hal ini, hanya terjadi apabila dalam membaca dan

merenungkan Kitab Suci, seorang katekis meyakini, bahwa Tuhan sendirilah yang

sedang berbicara kepadanya. Katekis yang dalam kesadaran ini, akan merasa bahwa

dalam perenungan itu, ia diikut sertakan dalam peristiwa-peristiwa Kitab Suci,

sehingga menjadi suatu pengalaman dan pembelajaran yang langsung dari Sabda.

(47)

dan cinta, di mana seorang katekis akan menghayati hidupnya dengan semangat

kekudusan.

c. Keakraban dengan yang Ilahi

Bila orang ingin bersahabat dengan seseorang yang lain, pertama- tama perlu

berkenalan dan berkomunikasi dangan orang yang bersangkutan, kemudian dalam

perkembangannya bisa berelasi dekat. Demikian pula halnya dengan Tuhan, supaya

dekat dengan yang Ilahi yaitu Tuhan sendiri, orang juga perlu mengenalNya terlebih

dahulu lewat renungan Kitab Suci dan doa.

Berdoa dengan renungan Kitab Suci atau Lectio Divina tidak jauh berbeda

dengan bentuk doa lainnya di mana dari semuanya itu yang terpenting adalah relasi

manusia dengan yang Ilahi. Namun melalui doa dan renungan Kitab Suci, orang

akan lebih mengenal-Nya, dengan mengenal-Nya orang akan semakin akrab dan

setia merenungkan dan melakukan sabda-Nya. Akhirnya, orang senantiasa

tergantung dan berserah diri kepada-Nya. Orang tidak akan takut lagi pada hal-hal

buruk yang ditemui dalam hidup ini, seperti ungkapan seorang katekis dalam buku

Bisikan Daun-Daun Sabda “aku yakin bahwa Tuhan pasti akan membimbingku,

melalui ketekunan doaku dan ketekunanku membaca kitab suci….” (Sindhunata,

2000:12).

Keyakinan itu tentu tidak tumbuh begitu saja tanpa kedekatan dengan yang

diyakini. Kedekatan dan relasi yang mesra dengan Allah membuat orang terbuka

(48)

BAB III

LECTIO DIVINA DALAM HIDUP KATEKIS

A. Identitas Katekis

Identitas katekis disini, dimaksudkan bukan pertama-tama dalam arti

defenisinya saja, melainkan identitas dalam arti jatidiri katekis yang tidak dapat

dipisahkan dari peran-peran serta panggilannya sebagai pewarta Sabda Allah.

Mengenal identitas atau jatidiri seorang katekis berarti pula mengenal

“siapa itu katekis”. Apabila seseorang berbicara mengenai jatidiri katekis, baik

itu katekis akademik maupun katekis non akademik, maka ada banyak

pandangan atau pemahaman tentang siapa itu katekis, baik menurut Gereja,

dalam realitas hidup maupun dalam jiwa pelayanan katekis itu sendiri.

1. Jatidiri menurut Gereja.

Dalam buku “Pedoman Untuk Katekis” yang dikeluarkan oleh

Konggregasi Evanggelisasi bangsa-bangsa dinegaskan bahwa:

“Dalam panggilan umum kaum awam ada panggilan-panggilan khusus. Oleh karena itu pada sumber panggilan katekis, terlepas dari sakramen pembabtisan dan penguatan yang telah mereka terima, ada panggilan khusus dari roh Kudus, suatu kharisma khusus yang diakui oleh Gereja. Dalam praktek misi yang sebenarnya, panggilan katekis bersifat khusus yakni untuk tugas katekese dan umum, untuk bekerja sama dalam pelayanan kerasulan apa saja yang berguna untuk membangun Gereja” (KK.KWI, 1997: 15).

Dalam kenyataannya, katekis adalah salah seorang penerus karya

keselamatan Allah melalui keterlibatan dalam bidang pewartaan sabda Allah

(49)

Untuk lebih jelasnya, beberapa sumber memberikan defenisi katekis

sebagai berikut:

a. Ensiklopedi Gereja (1992: 206) mengatakan bahwa katekis adalah orang

yang (dididik untuk) memberi pelajaran dan pendidikan agama atas nama

Gereja, baik diantara umat maupun di lembaga-lembaga pendidikan.

b. Kitab Hukum Kanonik (KHK) buku III ( kan. 785 § 1) menjelaskan

bahwa katekis-katekis, adalah umat beriman kristiani awam yang dibekali

dengan semestinya dan unggul dalam kehidupan kristiani; di bawah

bimbingan seorang misionaris, mereka itu membaktikan diri bagi ajaran

Injil yang harus diwartakan dan bagi perayaan-perayaan liturgi serta karya

amalkasih yang harus diatur.

c. Pedoman untuk katekis (KK. KWI 1997: 17), juga memberi gambaran

bahwa katekis adalah seorang awam yang ditunjuk secara khusus oleh

Gereja, sesuai dengan kebutuhan setempat untuk memperkenalkan

Kristus, dicintai dan diikuti oleh mereka yang belum mengenalNya dan

oleh kaum beriman itu sendiri.

d. PKKI ke-3 ( KK KWI,2005:7), memandang katekis sebagai orang yang

mampu dan rela untuk menjalankan katekese umat dalam kelompok dasar

dengan kriteria sebagai berikut;

¾ Seorang pribadi yang beriman katolik yang sadar akan panggilan Roh

(50)

¾ Seorang pribadi yang rela mengumpulkan, menyatukan dan

membimbing kelompok umat sebagai suatu proses komunikasi iman

yang semakin berkembang.

¾ Seorang pribadi yang menghargai setiap peserta kelompok katekese

umat dengan segala latar belakang dan situasinya.

¾ Seorang pribadi yang berperan sebagai pengaruh dan pemudah untuk

menciptakan suasana komunikatif dalam kelompok umat dasar yang

dilayani.

Dari beberapa defenisi dan pengertian katekis baik akademik maupun

non akademik,yang dipaparkan oleh oleh Gereja, dapat disimpulkan bahwa,

Katekis adalah seorang yang beriman katolik, dipanggil dan diutus Kristus

dan atas nama Gereja mewartakan sabda Allah kepada seluruh jemaat untuk

memberikan kesaksian imannya dalam sikap dan perbuatan, serta memelihara

iman umat agar umat senantiasa dapat selalu berhubungan mesrah dengan

Bapa melalui PuteraNya Yesus Kristus.

Sebagai anggota jemaat Gereja, pada umumnya katekis mempunyai

tugas yang meliputi empat bidang (Heryatno: 2003a: 5-6) sebagai berikut:

1. Diakonia

Dalam diakonia, katekis dipanggil untuk melayani seluruh anggota

gereja di Dalam pelayanan kristiani yang didasari oleh cinta kasih ( Yoh

(51)

Pelayanan dapat dilakukan baik secara langsung dalam pewartaan kabar

gembira maupun secara tidak langsung yaitu melalui kesaksian hidup

sehari-hari. Pelayanan disini adalah bekerja atas dasar kasih sehingga dalam

kehidupan sehari-hari di tempat kerja, di rumah dan juga pelayanan di paroki

terjalin relasi yang baik dan dari hati ke hati. Pelayanan berdasarkan hati perlu

ditanam dalam diri katekis, karena hatilah yang menjadi inti kehidupan

sekaligus tempat di mana Allah bersemayam. Pelayanan yang demikian dapat

menjadi sarana ampuh yang mengembangkan hidup jemaat untuk memiliki

hati yang saling mengasihi. Pelayanan dengan hati ini jugalah yang akan

memberikan pada pekerjaan katekis dengan buah-buah Roh yaitu, kasih, suka

cita, damai sejahtera, kesabaran,kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah

lembutan, pengampunan dan penguasaan diri (Gal 5: 22-23).

2. Koinonia

Ciri khas seorang kristiani adalah persaudaraan yang diikat oleh

semangat cinta kasih Allah, dengan dasar iman akan Yesus Kristus yang

membawa harapan keselamatan di masa yang akan datang (Kis 4: 32-37).

Pernyataan tersebut menunjukan betapa persaudaraan umat sangat terbuka

yang mana mereka menerima setiap orang sebagai bagian dari komunitas,

sehingga apa yang menjadi harta milik itu dianggap menjadi milik bersama.

Ini menunjukkan pula bahwa mereka hidup dalam kesatuan hati dan semangat

(52)

Hal serupa di atas, masih dibutuhkan oleh Gereja sekarang. Peran

katekis pun sangat diperlukan untuk mempersatukan iman umat akan Kristus

menuju kepada persaudaraan antar sesama anggota Gereja, yang diungkapkan

dalam kebersamaan hidup di masyarakat dan dalam kehidupan menggereja.

Persaudaraan ini mengandaikan adanya komunikasi terbuka antar

sesama anggota Gereja yang penuh dengan perdamaian dan cinta kasih dalam

iman akan Yesus Kristus, sehingga membawa umat pada perkembangan iman

yang lebih mendalam.

3. Kerygma

Pekerjaan seorang katekis sama dengan seorang nabi: yaitu

mewartakan Sabda Allah kepada semua orang, baik yang sudah dibaptis

maupun yang belum. Maka hubungan katekis dengan Sang Sabda perlu

adanya keterbukaan pada Sabda itu sendiri. Intinya keterbukaan pada Sabda

berarti keterbukaan pada Tuhan, pada Gereja dan Dunia. Keterbukaan ini

selalu merupakan perjumpaan dengan Kristus dalam Ekaristi dan perjumpaan

dengan sesama (Adi Susanto,1997: 102).

Perlu ditegaskan kembali bahwa para katekis tidak mewartakan

dirinya tetapi mewartakan hidup dan cinta kasih Yesus Kristus. Yesus Kristus

sendirilah yang menjadi pusat segala bentuk pewartaan dan pelayanan katekis.

Yesus Kristus adalah katekis utama dan pertama. Ia adalah pewarta Sabda,

yang dengan penuh kesetiaan menghayati sabdaNya, sehingga seluruh

(53)

4. Liturgya

Peran katekis dalam liturgi adalah menyiapkan umat dan membantu

umat agar dalam perayaan liturgi umat mampu dan sanggup menghayati

nilai-nilai kristiani yang terwujud di dalam perdamaian, persaudaraan, Cinta kasih

dan keadilan. Bentuk pelayanan katekis dalam bidang liturgi antara lain;

ibadat sabda, doa bersama, perayaan ekaristi dan lain-lain (Heryatno, 2003a:

4).

5. Martyria

Menjadi katekis dalam hal ini yang memberi kesaksian iman yang

hidup, bukanlah suatu hal yang mudah. Jemaat atau umat yang dilayani

mengharapkan agar para katekis mampu memberikan kesaksian iman dan agar

seluruh hidupnya sesuai dengan Sabda Allah yang diwartakan (Heryatno,

2003a: 4). Hidup seorang katekis di sini selalu manjadi sorotan.

Oleh karena itu, katekis yang telah diutus oleh Yesus sendiri melalui

Gereja, harus sejalan dengan Dia yang telah mengutusnya.

2. Jatidiri dalam realitas hidup.

Identitas atau jatidiri orang kristiani ditentukan dalam praksis

hidupnya, berdasarkan penentuan sikap yang konkret di tengah konteks.

Dalamnya dia hidup serta memberi kesaksian atas imannya (KK.KWI, 2005:

91). Kesaksian ini bukan berarti suatu tindakan atau perkataan khusus, tetapi

melalui hidup damai dalam keluarga, bertanggung jawab dalam pekerjaan dan

(54)

cara-cara hidup itu, orang kristiani mencerminkan ”Cinta Kasih Kristus” yang

nyata (Suseno, 2004: 59).

Seorang katekis dalam panggilannya dituntut untuk memberi

kesaksian iman yang lebih nyata. Tugas dan panggilannya sebagai pewarta

Sabda Allah sungguh nyata apabila diwujudkan melalui sikap, tindakan dan

semangat hidupnya. Yang paling penting dan utama adalah semangat

peziarahan dalam pergumulan bersama semua orang lain yang berkehendak

baik. Di tengah pergumulan inilah seorang katekis dapat menemukan dan

menghayati panggilannya yang sebenarnya (KK.KWI, 2005:110) .

Dalam kenyataannya, masih banyak katekis yang kurang menyadari

identitasnya sebagai katekis. Hal ini cukup memberi pengaruh negatif (kurang

mendukung ) dalam hidup dan pewartaan katekis itu sendiri. Oleh karena itu

para katekis perlu melihat dirinya dalam suatu kerangka panggilan yang

khusus, dan bertanya ”siapa dia” baik di tengah keluarga, Gereja dan juga

Masyarakat. Dengan demikian, katekis diharapkan dapat mengenal dirinya

dengan penuh kesadaran serta menemukan jatidirinya yang sebernarnya yaitu

jatidiri katekis sebagai manusia Allah.

Dalam pilihan hidupnya sebagai seorang katekis, ia harus

mengahayatinya sehingga mampu menerima umatnya sebagai teman seiman

dan seperjuangan dalam Kristus. Hidupnya mengungkapkan nilai-nilai hidup

atau keutamaan-keutamaan kristiani, yang mana dapat menggugah umat

(55)

di mana ia tinggal sesuai panggilan dan peranannya dalam masyarakat

(Komkat, Keuskupan Padang, 1988: 58).

Hal yang mendasar bagi seorang katekis dalam membina cara

hidupnya itu, yaitu kesadarannya akan persatuaan dan keakraban dengan Sang

Sabda sendiri, melalui pemiliharaan hidup rohaninya maupun dalam

persatuannya dengan Gereja atau umat Allah (Komkat, Keuskupan Padang,

1988: 60). Cara hidup yang demikian merupakan rahmat yang harus

dipersaksikan, karena dengan demikian, ia juga berbagi rahmat dengan orang

lain, yaitu rahmat akan hidup dalam kasih Kristus.

3. Jatidiri dalam jiwa pelayanan

Perkembangan dunia yang begitu cepat tentu menjadi tentang

sekaligus menjadi peluang bagi katekis untuk melihat posisi dan

kedudukannya di tengah dunia. Menjadi Tantangan apabila dapat

mengendurkan semangat si katekis dalam mewartakan Sabda Allah, di mana

begitu banyak tawaran yang bersifat duniawi seperti: Pengetahuan, Mode dan

teknologi yang terus mengglobal. Menjadi Peluang apabila para katekis

mampu melihat perkembangan tersebut sebagai kesempatan untuk membenahi

diri menjadi lebih baik dan terus meningkatkan kreatifitas, pengetahuan yang

terbuka terhadap perkembangan dunia yang baik sehingga pelayanan semakin

sesuai pula dengan kebutuhan zaman ( KK. KWI 2005: 72).

Untuk itu, para katekis diharapkan memiliki sikap yang terbuka pada

Referensi

Dokumen terkait

Kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan selama lebih dari 15 tahun, telah menjadikan BINAKARYA PROPERTINDO GROUP sebagai group pengembang yang terpercaya..

Keywords: Potted seedlings, Irrigation interval, Amount of water consumptive, Meteorological parameters.. Bitkilerin, belirli iklim ve toprak ko ş ullar ı ndaki su

Penyusunan program bimbingan dan konseling dibuat berdasarkan hasil dari analisis DCM (Daftar Cek Masalah) dan instrument lain untuk mengetahui keadaan kelas yaitu

Menu video SOP merupakan fitur yang dapat digunakan oleh user untuk mendapatkan informasi keseluruhan SOP dengan hanya melihat video, karena dalam video yang di

1) Peserta didik dan pendidik bertanya jawab tentang hasil membaca teks hasil observasi dan teks tanggapan deskriptif. 2) Peserta didik bercerita manfaat dan mengemukakan

Karena itu perlu dilakukan dengan Vendor Performance Indicator (VPI) merupakan suatu sistem manajemen pengukuran kinerja supplier yang dilakukan secara komprehensif dan

inklusi dan melaksanakan praktik inklusi ( Indek Inklusi yang dikeluarkan oleh CSIE : 2003).Sekolah reguler belum siap melaksanakan pendidikan inklusif, hal ini

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 6 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Komunikasi dan