• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

LANDASAN TEORI

2.1. Karakteristik

Kepribadian

Kepribadian secara umum diartikan sebagai karakteristik psikologis seseorang yang menentukan pola perilakunya. Feist & Feist (2002) dalam bukunya Theories of Personality menjelaskan bahwa secara spesifik kepribadian terdiri dari sifat-sifat atau disposisi-disposisi yang mengakibatkan perbedaan inidvidu dalam perilaku.

Menurut Gordon W. Allport kepribadian adalah organisasi dinamis sistem psikofisik dalam diri individu yang menentukan karakteristik perilaku dan pikirannya.

Menurut Pervin kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten.

2.2.

Perceived Control

Untuk definisi perceived control, penulis memilih pengertian dari Endler sebagai tolak ukur dalam pembuatan kuesioner, karena teori yang dibuat oleh Endler sudah mencakup intisari dari pengertian perceived control lainnya dan mudah dipahami dalam aspek saat ini.

Perceived control didefinisikan sebagai pengharapan untuk memperoleh kekuasaan dalam berpartisipasi untuk mengambil keputusan agar dapat memperoleh

(2)

konsekuensi yang diinginkan dan rasa kemampuan pribadi dalam situasi yang diberikan (Rodin, 1990, p. 4). Pada pengertian ini, perceived control dipandang sebagai kemampuan seseorang untuk mengontrol suatu peristiwa di mana pengendaliannya tidak harus pada saat ini, tapi untuk diketahui untuk saat ini (Endler, 2000).

Berdasarkan Journal Current Psychology, perceived control didefinisikan sebagai kepercayaan bahwa seseorang dapat menentukan keadaan internal dan perilaku seseorang, mempengaruhi lingkungan seseorang, dan atau membawa hasil yang diinginkan (http://www.springerlink.com/content/n315r22080m03k68/).

Secara umum, penelitian telah dikonsentrasikan pada level kontrol yang dijaga oleh individu terhadap lingkungan sekitar mereka atau peristiwa tertentu yang mempengaruhi kehidupan mereka. Skinner (1996) menggambarkan perbedaan antara individu yang memiliki perceived control yang tinggi (high) dan individu yang memiliki perceived control yang rendah (low). Orang-orang yang memiliki perceived control yang tinggi biasanya melakukan usaha yang lebih besar untuk mencapai tujuan mereka dengan melakukan suatu tindakan, sangat termotivasi, serta menunjukkan ciri-ciri bahwa ia memiliki kemampuan atau potensi dalam mengatasi suatu keadaan. Berdasarkan hal ini, terdapat kesan bahwa individu yang perceived control-nya tinggi, lebih mungkin untuk menyampaikan keluhan. Sebagai contoh, ketika terdapat suatu peristiwa dimana terjadi kegagalan dalam pelayanan, kemungkinan orang-orang yang perceived control-nya tinggi ini akan menyampaikan keluhan mereka sebagai cara untuk mengambil alih situasi untuk mencapai tujuan mereka.

(3)

Namun sebaliknya, individu yang perceived control-nya rendah sering digambarkan sebagai orang yang akan diam saja (pasif) dan takut. Oleh karena itu, mereka kemungkinan tidak akan terlibat dalam hal memberikan keluhan.

2.3. Machiavellianism

Dalam konteks kepribadian, Machiavellianism didefinisikan sebagai sebuah proses di mana seseorang yang memanipulasi memperoleh semacam penghargaan (reward) yang lebih daripada apa yang seharusnya dia peroleh jika tanpa melakukan manipulasi, sedangkan seseorang yang lain mendapatkan penghargaan yang lebih sedikit (Christie dan Geis, 1970, p. 106).

Machiavellianism juga didefinisikan sebagai suatu cara yang memanfaatkan orang lain untuk maju ke depan. Dalam hal ini, Machiavellianism merupakan suatu sifat kepribadian yang melibatkan keinginan untuk memanipulasi orang lain untuk kepentingan seseorang. Karakteristiknya adalah mereka adalah orang-orang yang tidak pernah menunjukkan kerendahan hati, moralitas/kesusilaan dan etika. Mereka lebih suka ditakuti daripada dicintai oleh orang lain (http://renirosari.staff.ugm.ac.id/materi/kelompok_2.ppt).

Individu yang dianggap memiliki tingkat Machiavellianism yang tinggi (high) akan bertingkah laku lebih manipulatif dengan taktik yang irasional atau tidak logis dan tidak langsung, seperti mengeksploitasi dan membujuk (Gunnthorsdottir et al., 2002), serta menggunakan taktik emosional yang secara meyakinkan mempengaruhi

(4)

orang lain. Individu yang memiliki tingkat Machiavellianism yang tinggi akan menggunakan kekuatan mempengaruhinya untuk mengubah situasi secara agresif agar mereka dapat mencapai “kemenangan”, meskipun orang lain nantinya akan mengalami kerugian.

Sebaliknya, mereka yang memiliki tingkat Machiavellianism yang rendah, tidak mau ditempatkan atau berada dalam situasi yang mudah diserang, dan mereka sulit untuk menyimpang dari norma-norma sosial yang ada.

Dari berbagai definisi Machiavellianism, penulis mengambil kesimpulan bahwa definisi Machiavellianism oleh Christie dan Geis yang tersebut di atas adalah yang paling sesuai dengan situasi atau keadaan di lingkungan kampus.

2.4.

Self-monitoring

Untuk definisi self-monitoring, penulis memilih pengertian dari Snyder sebagai tolak ukur dalam pembuatan kuesioner, karena teori yang dibuat oleh Snyder sudah mencakup intisari dari pengertian self-monitoring lainnya dan mudah dipahami dalam aspek saat ini.

Ada suatu keyakinan bahwa orang-orang merancang cara mereka bertingkah laku yaitu bertingkah laku dengan baik atau berguna bagi orang lain, menurut konsep atau pandangan diri mereka sendiri, sebagai suatu usaha untuk berkomunikasi pada orang lain atau menyembunyikan emosi sebenarnya yang ada dalam diri mereka, dalam suatu situasi khusus (Graeff, 1996). Snyder (1987) menyatakan bahwa hal ini

(5)

dapat terjadi karena adanya ketertarikan orang untuk menjaga image sosial yang diinginkan di hadapan orang lain. Perilaku ini dihubungkan dengan self monitoring, dan dalam hal individual didefinisikan untuk memperluas kemampuan mereka dalam hal penguasaan diri dan melakukan pengamatan dan pengontrolan tingkah laku diri mereka sendiri yang ekspresif (Snyder dan Gangestad, 1986, p. 125).

Self-monitoring mengacu pada penempatan atau watak secara umum untuk mengetahui atau melihat serta dibimbing dalam perilaku seseorang dengan isyarat yang ditemukan terutama di dalam diri seseorang atau terutama di dalam keadaan seseorang (Salim, 2004).

Self-monitoring mengacu pada cara seseorang merencanakan, bertindak, dan mengatur keputusan yang berhubungan dengan perilaku dalam situasi sosial (Snyder dan Cantor, 1991, p. 534).

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan self monitoring adalah sebuah cara dimana individu merencanakan, menentukan tingkah laku dan bertingkah laku yang disesuaikan dengan lingkungan sekitarnya dalam sebuah situasi sosial.

Snyder mengemukakan dua macam self-monitoring pada individu, yaitu high self-monitoring dan low self-monitoring. Individu yang self-monitoring-nya tinggi (high) biasanya sensitif terhadap norma-norma sosial, situasi, dan terhadap isyarat antar individu mengenai bagaimana cara untuk bertingkah laku. High self-monitoring

juga dideskripsikan sebagai orang-orang yang fleksibel, dapat menyesuaikan diri, cerdik; ketika mereka ditanyakan tentang penyebab tingkah laku mereka, mereka kemungkinan akan menunjuk pada suatu faktor situasi tertentu (Snyder, 1974).

(6)

Snyder mengemukakan ciri-ciri individu yang high self-monitoring, yaitu: • Tanggap terhadap situasi-situasi yang mengharuskan atau menuntutnya untuk

menampilkan diri.

• Memperhatikan informasi sosial yang merupakan petunjuk baginya untuk menampilkan diri sesuai informasi/petunjuk tersebut.

• Mampu mengendalikan diri dan merubah penampilan, serta ekspresif. • Menggunakan kemampuan ini dalam situasi-situasi penting.

• Tingkah lakunya bervariasi pada macam-macam situasi.

Jenis self-monitoring yang kedua yaitu low self-monitoring. Individu yang

self-monitoring-nya rendah (low) adalah individu yang mengklaim bahwa tindakan mereka secara khusus merupakan refleksi dari perasaan, kelakuan dan keyakinan mereka (Snyder dan Gangestad, 1986). Snyder juga mengemukakan bahwa individu yang self-monitoring-nya rendah adalah individu yang tidak mengatur dan mengkontrol tingkah laku mereka sehingga apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan situasi yang sedang terjadi.

Snyder mengemukakan ciri-ciri individu yang tergolong low self-monitoring: • Kurang tanggap terhadap situasi-situasi yang mengharuskan/menuntutnya

untuk menampilkan serta mengekspresikan dirinya. • Kurang memperhatikan ekspresi orang lain.

• Kurang dapat menjaga serta mengendalikan penampilannya.

• Penampilan serta pengekspresian dirinya lebih dipengaruhi oleh pendapat dirinya sendiri ketimbang situasi sekitarnya.

(7)

• Hubungan interpersonalnya terbatas.

2.5.

Self-efficacy

Untuk definisi self-efficacy, penulis memilih pengertian dari Christensen sebagai tolak ukur dalam pembuatan kuesioner, karena teori yang dibuat oleh Christensen sudah mencakup intisari dari pengertian self-efficacy lainnya dan mudah dipahami dalam aspek saat ini.

Self-efficacy didefinisikan sebagai suatu keyakinan pada kemampuan seseorang untuk mengerahkan motivasi, sumber pengertian dan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk memenuhi permintaan keadaan yang diberikan (Wood dan Bandura, 1989, p. 408). Dalam pengertian ini, self-efficacy dipandang sebagai kemampuan seseorang untuk mengevaluasi pemikiran mereka, yang berpotensi mengubah tingkah laku dan pola pikir mereka (Bandura, 1991).

Individu yang self-efficacy-nya tinggi (high) adalah individu yang mampu memecahkan masalah konseptual dengan mudah, mampu mengatur waktu dengan lebih baik, menginisiasikan tugas, dan melakukan suatu usaha untuk mencapai penyelesaian tugas (Christensen et al., 2002).

Semakin tinggi self-efficacy seseorang, semakin ia mengeraskan hati ketika menghadapi suatu kegagalan. Hambatan dan kegagalan justru malah menghasilkan tujuan yang menantang dan dapat dicapai oleh individu yang self-efficacy-nya tinggi. Sebaliknya, individu yang self-efficacy-nya rendah (low) adalah individu yang merasa

(8)

takut dan kuatir serta merasa tidak mampu dalam menyelesaikan tugas yang diberikan (Appelbaum dan Hare, 1996).

2.6. Sikap Memberikan Keluhan (

Attitude to Complaining

)

Dalam hal perilaku memberikan keluhan, sikap memberikan keluhan (attitude to complaining) sering dihubungkan dengan rasa percaya diri, resiko yang diketahui dan sikap terhadap suatu situasi (Bearden dan Teel, 1980). Dalam pengertian ini, keengganan seseorang untuk menyampaikan keluhan sering dihubungkan dengan kurangnya rasa percaya diri, resiko yang dihadapi yang berhubungan dengan memberikan keluhan di depan umum (public complaining) serta adanya situasi yang tidak nyaman ketika harus menyampaikan keluhan.

Lebih jauh lagi, Bearden dan Crockett (1981) dan Keng et al., (1995) mengungkapkan bahwa sikap memberikan keluhan (attitude to complaining) dihubungkan dengan maksud/tujuan atau perilaku seseorang untuk menyampaikan keluhan. Oleh karena itu, biasanya, pelanggan yang memiliki pandangan positif terhadap keluhan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menyampaikan keluhan, dan dengan demikian, ia akan berhubungan dengan hal keluhan secara lebih sering. Dengan dasar ini, akan diharapkan bahwa orang yang menyampaikan keluhan (complainer) dan orang yang tidak menyampaikan keluhan (non-complainer) akan dibedakan berdasarkan sikap mereka terhadap memberikan keluhan (attitude toward complaining).

(9)

2.7. Perilaku

Pelanggan

(

Customer Behavior

)

Perilaku pelanggan adalah proses pengambilan keputusan dan aktivitas fisik yang dilakukan oleh seseorang dalam menilai, memperoleh, menggunakan, atau meninggalkan produk dan jasa (Loudon dan Bitta, 1993, p. 5).

Perilaku pelanggan didefinisikan juga sebagai tindakan langsung untuk memperoleh dan mengkonsumsi produk atau jasa termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan yang mendahului tindakan tersebut (Umar, 2000).

Menurut The Consumer Psychology in Behavioural Perspective, model perilaku pelanggan yang paling berpengaruh dan diterima secara luas berasal dari pengertian psikologi. Sebagai hasilnya, pilihan pelanggan biasanya dimengerti sebagai serangkaian tindakan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, dimana hasilnya ditentukan oleh intelektual dari pelanggan (Foxall, 1990, p. 8).

Definisi dari perilaku konsumen adalah proses waktu dan tingkatan usaha yang dilalui oleh konsumen dalam menentukan keputusan pembeilan tertenu tergantung dari pentingnya keinginan membeli suatu produk atau jasa (Boone & Kurtz, 1999, p 285 ).

Konsumen selalu akan mengidentifikasikan kebutuhan atau masalah yang mereka hadapo dan pada umumnya mereka rela menyediakan waktu dan tenaga lebih untuk mengambil keputusan pembeilan suatu produk atau saja sesuai dengan semakin tingginya nilai produk tersebut (complex buying behaviour). Para konsumen akan mencari dan mengevaluasi atau membandingkan beberapa produk yang sejenis sebelum mereka mengambil keputusan. Selanjutnya mereka akan melakukan

(10)

transaksi pembelian dan mengevaluasi apakah mereka telah mengambil keputusan yang tepat. Sangatlah penting peranana dan keterlibatan pemasar dalam mengarahkan para konsumen melalui proses pengambilan keputusan pembelian suatu prduk yang spesifik. (Boone & Kurtz, 1999, p 285). Tahap-tahap dalam proses keputusan pembelian dapat terbagi atas 5 tahap yaitu pengenalan masalah (Problem Recognition), pencarian Informasi (Information Search), Evaluasi Alternatif (Evaluationof Alternatives), Keputusan Pembelian (Purchase Decision) dan Perilaku Purna Pemebelian (Postpurchase Behavior).

Referensi

Dokumen terkait

Apakah Bapak/Ibu setuju jika masyarakat diwajibkan secara aktif untuk ikut dalam pencegahan penebangan hutan bakau.. Apakah Bapak/Ibu setuju jika diadakan pemeliharaan hutan

Teknik pengolahan data yang dilakukan yaitu editing, coding dan tabulasi.Teknik yang digunakan untuk menganalisis data penelitian adalah analisis statistik

Pengendalian kualitas merupakan sebuah metode yang digunakan dalam menjamin kualitas sesuai dengan standar dan detail yang ditentukan mulai dari kualitas bahan, proses

Kemampuan guru dalam pelaksanaan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam materi tumbuhan hijau semester ganjil dengan media audio visual berupa laptop di Sekolah Dasar Negeri 07

Kondisi ketidak pastian (uncertainty) adalah kondisi pengambilan keputusan yang mana manajer menhadapi kondisi luar (eksternal) yang tidak dapat diprediksikan

Menurut Hasan (2013), dalam penelitiannya tentang kajian pemanfaatan online pada perpustakaan Universitas Riau Pekanbaru menghasilkan mahasiswa mengakses jurnal online

[r]

Pengaduan terhadap Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi sebagai Teradu yang dianggap melanggar Kode Etik harus disampaikan secara tertulis disertai dengan