• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu - PENANGANAN KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) OLEH DINAS PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (DPPKBP3A) DI KABUPATEN BANJARNEGARA - reposi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu - PENANGANAN KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) OLEH DINAS PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (DPPKBP3A) DI KABUPATEN BANJARNEGARA - reposi"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian Terdahulu

Skipsi dengan judul “Faktor-faktor Penyebab Tindakan Kekerasan

Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus di Kota Bandar

Lampung)” ditulis oleh Saeno Fitrianingsih Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Lampung Bandar Lampung pada tahun 2016.

Dalam penelitian tersebut memiliki persamaan dengan yang akan penulis teliti,

yakni dalam rumusan masalah sama-sama meneliti faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Namun,

yang menjadi perbedaan adalah wilayah penelitian yang akan diteliti oleh

penulis. Penelitian yang dilakukan Saeno Fitrianingsih berada di Kota Bandar

Lampung, dan penulis melakukan penelitiannya di Kabupaten Banjarnegara,

perbedaan yang lainnya adalah Saeno Fitrianingsih dalam rumusan masalah

hanya membahas tentang faktor-faktor penyebab KDRT dan karakteristik

KDRT, berbeda dengan rumusan masalah yang ditulis oleh penulis selain

faktor-faktor penyebab KDRT juga membahas penanganan kasus KDRT oleh

lembaga yang menanunginya.

Skripsi yang ditulis oleh Winda Yuliarti Mahasiswi Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin Makassar, dengan judul “Tinjauan Psikologi Hukum Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kabupaten Bone (Studi Kasus :

No. 139/Pid.B/2013/PN.WTP)” pada tahun 2017 ini memiliki persamaan pada

(2)

pembahasan terdapat faktor pemicu atau penyebab terhadap terjadinya KDRT.

Namun, penelitian tersebut terdapat perbedaan dengan penelitian yang akan

dilakukan oleh penulis. Winda Yuliarti dalam penelitiannya melakukan

kunjungan ke Pengadilan Negeri Watampone Kabupaten Bone guna

mendapatkan putusan berkaitan dengan KDRT suami terhadap isterinya, dan

penelitiannya yang dicantumkan dalam rumusan masalah lebih melihat kondisi

kejiwaan yang dialami oleh pelaku saat melakukan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga terhadap istrinya yang disebabkan oleh faktor emosi kepada istrinya,

hal ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis yang

mengambil datanya di Dinas PPKBP3A, sementara rumusan masalah yang

dibahas penulis tentang faktor-faktor penyebab KDRT dan penanganan kasus

KDRT oleh DPPKBP3A.

“Eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Terhadap Kejahatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Makassar”. Judul

skripsi ini ditulis oleh Hasriana Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar pada tahun 2017. Dalam Skripsi

tersebut terdapat persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan penulis,

yakni di dalam rumusan masalah sama-sama meneliti dan membahas tentang

lembaga yang menaungi korban kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

Namun, yang menjadi perbedaannya adalah lembaga yang digunakan sebagai

objek penelitian oleh Hasriana untuk menaungi korban KDRT adalah Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sedangkan penulis menggunakan

(3)

Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) sebagai objek penelian

dalam menaungi korban KDRT, perbedaannya yang lain dalam perumusan

masalah penulis mengungkapkan faktor-faktor penyebab KDRT sementara

Skripsi milik Hasriana memfokuskan bagaimana lembaga LPSK melindungi

korban KDRT.

B. Landasan Teori

1. Teori Gender

Menurut Faqih Manshour dalam Herien Puspitawati (2010: 1), gender

adalah perbedaan peran, fungsi, persifatan, kedudukan, tanggung jawab dan

hak perilaku, baik perempuan, maupun laki-laki yang dibuat, dan

disosialisasikan oleh norma, adat, kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat

setempat. Sedangkan kesetaraan gender secara jelasnya merupakan

pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang diatur oleh

masyarakat itu sendiri yang bersifat dinamis, dan berbeda antara masyarakat

satu dengan yang lainnya.

Pendapat Moore dalam Megawangi (2010: 19), mendefinisikan gender

yang terbagi dalam dua kelompok atau golongan yang mendefisinikan

gender secara berbeda. Kelompok pertama adalah kelompok feminis yang

mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin tidak menyebabkan perbedaan

peran dan perilaku gender dalam tataran sosial. Kelompok kedua

menganggap bahwa perbedaan jenis kelamin akan menyebabkan perbedaan

(4)

pada pekerja wanita karena kondisi biologisnya seperti cuti hamil,

pemberian jam kerja malam, dan sebagainya.

Sementara Baron dalam D. W. Vries (2010: 34) mengartikan gender

dilihat dari berkembangnya masyarakat karena kemajuan teknologi terdapat

diferensiasi peran (division of labor) antara laki-laki dan perempuan bukan

disebabkan oleh adanya perbedaan biologis, melainkan lebih disebabkan

oleh faktor sosial budaya. Sebagai hasil bentukan sosial, peran gender dalam

berubah-ubah dalam waktu, kondisi, dan tempat yang berbeda sehingga

peran laki-laki dan perempuan mungkin dapat ditukar (D. W. Vries, 2010:

34).

2. Teori Penanganan Kasus

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kasus dapat

berarti soal atau perkara, dapat juga berarti keadaan atau kondisi khusus

yang berhubungan dengan seseorang atau suatu hal. Jika istilah kasus

dihubungkan dengan seseorang, maka dapat berarti bahwa pada orang yang

dimaksudkan terdapat “soal” atau “perkara” tertentu (1993: 413).

Prayitno (2009: 77) mengemukakan bahwa, penanganan kasus pada

umumnya dapat dilihat sebagai keseluruhan perhatian dan tindakan

seseorang terhadap kasus (yang dialami oleh orang lain) dihadapkan

kepadanya sejak awal sampai dengan diakhirinya perhatian dan tindakan

tersebut. Penanganan kasus dalam pengertian yang khusus menghendaki

strategi dan teknik-teknik yang sifatnya khas sesuai dengan pokok

(5)

sebagai upaya-upaya khusus untuk secara langsung menangani

sumber-sumber pokok permasalahan dengan tujuan utama teratasinya permasalahan

yang dimaksudkan.

3. Tinjauan Umum Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

3.1. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Arti kekerasan dalam kamus Bahasa Indonesia, adalah perihal

(yang bersifat, berciri) keras, perbuatan seseorang atau sekelompok

orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau

menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain (Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1993: 425). Tindakan kekerasan

(perbuatan yang menyebabkan cedera/luka/mati/kerusakan) sangat

dekat dengan, perbuatan yang mengandung sifat penyiksaan (torture)

dan pengenaan penderitaan atau rasa sakit yang sangat berat (severe

pain or suffering) (Arief Barda Nawawi, 1998: 20).

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), domestic violence

(DV) adalah kekerasan yang diterima dari pasangan yang telah nikah

maupun orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Dan

itu tidak terbatas sebagai kekerasan fisik (Ginkgo, 2017 : 2). Bentuk

kekerasan :

1) Kekerasan Fisik, Melemparkan sesuatu, memukul, menendang, dll.

2) Kekerasan Lisan, kekerasan psikis, Mengeluarkan kata-kata

(6)

3) Kekerasan Ekonomi, Memaksa untuk bekerja, atau sebaliknya

melarang untuk bekerja diluar, maupun penelantaran.

4) Kekerasan Seksual

 Pemaksaan hubungan seksual.

 Pemaksaan untuk melakukan pornografi.

 Penyiksaan dalam hubungan seksual.

Kekerasan (Violence) pada dasarnya merupakan konsep yang

makna dan isinya sangat bergantung kepada masyarakat itu sendiri,

kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan

berbasis gender yang mengakibatkan kerugian fisik, seksual, atau

psikologis, penderitaan terhadap perempuan, termasuk tindakan yang

berupa ancaman, pemaksaan atau perampasan kebebasan, apakah itu

terjadi di publik atau kehidupan pribadi (Fathul Djannah, 2007: 11).

Realitas dalam masyarakat menunjukan bahwa kasus-kasus

Kekerasan Dalam Rumah Tangga semakin banyak terjadi, karena

bagaikan “fenomena gunung es” yang tersembunyi di balik dinding

-dinding rumah sangat sulit mengungkapkannya. Dengan kata lain,

jumlah kasus yang terungkap sering tidak dapat dijadikan sandaran

mengenai keadaan yang sebenarnya terjadi (kussunaryatun, 2007: 57).

Candrakirana dalam Sukerti (2005: 4) mengemukakan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga adalah perbuatan yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan, termasuk penderitaan secara fisik,

(7)

menghasilkan kesengsaraan di dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan

yang dilakukan suami terhadap istri disebut juga kekerasan domestic

(domestic violence).

Fakih dalam Fakih Manshour (1999: 17) mendefinisikan bahwa

kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas

mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap semua manusia ini

dapat berasal dari berbagai sumbe, namun terdapat salah satu jenis

kekerasan yang bersumber dari anggapan gender. Kekerasan yang

disebabkan bias gender ini disebut dengan gender related violence.

Dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (PKDRT) memberikan pengertian tentang

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terdapat pada Pasal 1

ayat (1) sebagai berikut: “Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama terhadap perempuan, yang

berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman

untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan

secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Yang termasuk

dalam lingkup keluarga menurut UU No. 23 tahun 2004 Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdapat pada pasal 2

adalah :

(8)

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami,

istri dan anak, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,

pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga.

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam

rumah tangga tersebut.

Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik

Indonesia, “KDRT adalah setiap tindakan yang mengakibatkan

kesengsaraan dan penderitaan-penderitaan pada perempuan secara

psikologis, fisik, dan seksual termasuk ancaman tindakan tertentu,

pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang

baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan

pribadi”.

Dari beberapa pengertian di atas maka yang dimaksud dengan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan

yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang

lain sehingga menimbulkan penderitaan atau kesengsaraan baik secara

fisik maupun nonfisik. Walaupun penganiyaan yang dilakukan

termasuk ringan tetap saja perbuatan yang dilakukan dengan sengaja

yang menimbulkan rasa sakit luka pada tubuh tetap dapat disebut

(9)

Menurut UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT, Kekerasan

dalam rumah Tangga (KDRT) dapat dirumuskan lagi sebagai berikut :

a. Kekerasan secara fisik, mencakup melukai fisik dengan atau tanpa

senjata.

b. Kekerasan secara psikologis, mencakup perkataan yang bersifat

merendahkan, mengancam korban, membatasi gerak korban di luar

rumah.

c. Kekerasan secara seksual, mencakup pemaksaan dan penuntutan

hubungan seksual, menghindari kewajiban untuk memenuhi

kebutuhan seksual pasangannya.

d. Kekerasan secara ekonomi atau Penelantaran dalam Rumah Tangga,

mencakup tidak memberikan nafkah, melarang korban bekerja, atau

memperkerjakan korban untuk dieksploitasi (Iin Ratna Sumirat,

2002: 111).

Kekerasan sering dilakukan bersamaan dengan salah satu bentuk

tindak pidana, tindak kekerasan dapat dilakukan dengan kekerasan, atau

ancaman kekerasan, atau alat yang dipakai, masing-masing tergantung

pada kasus yang timbul. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (domestic

violence), seringkali tindak kekerasan ini disebut kejahatan tersembunyi

(hidden crime) disebut demikian, karena baik pelaku maupun korban

berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik

(10)

Para korban kekerasan dalam rumah tangga sulit mengajukan

penderitaan yang dialaminya kepada penegak hukum, karena kuatnya

pandangan bahwa perlakuan kasar suami kepada istri merupakan bagian

dari peristiwa privat (urusan rumah tangga), sehingga tidak bisa

dilaporkan kepada aparat kepolisian. Sehingga penderitaan korban

kekerasan dalam rumah tangga (istri) berkepanjangan tanpa

perlindungan (M. Arief Mansur, 2007: 135).

Terjadinya kekerasan dalam keluarga akan menimbulkan dampak

yang negatif pada anak bahkan keluarga itu sendiri, seperti istri

menuntut untuk bercerai karena tidak tahan akan perilaku suami yang

keras. Hubungan yang tidak wajar lagi antara beberapa individu ini

memperbesar dinding pemisah dan merusak keutuhan keluarga.

Penderitaan ini akan lebih dirasakan oleh kaum istri, karena istri

merupakan penampung emosi dari suami (Singgih Gunarsa, 2007: 89).

3.2. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Menurut Gerson W. Bawengan dalam Gerson W. Bawengan

(1991: 57), kekerasan merupakan bentuk dari tindak kejahatan, ada tiga

kejahatan menurut penggunanya :

a. Pengertian secara praktis, merupakan pelanggaran atas norma-norma

keagamaan, kebiasaan, kesusilaan, dan norma yang berasal dari

adat-istiadat yang mendapat reaksi, baik berupa hukuman maupun

(11)

b. Pengertian secara religius, mengidentikan dengan dosa, dan setiap

dosa terancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang

berdosa.

c. Pengertian secara yuridis, dapat dilihat dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan

Pasal-pasal dari buku kedua, itulah yang disebut dengan kejahatan.

Menurut UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (PKDRT), tindak kekerasan terhadap istri dalam

rumah tangga dibedakan ke dalam 4 (empat) macam, terdapat dalam

Pasal 5 UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT yaitu :

a. Kekerasan fisik.

b. Kekerasan psikis.

c. Kekerasan seksual.

d. Penelantaran dalam rumah tangga.

Penjelasan dari pengertian pasal 5 UU No. 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), adalah

sebagai berikut:

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa

sakit, jatuh sakit atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk

dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul,

(12)

rokok, menyetrika, memukul/melukai dengan senjata, dan

sebagainya.

Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka

lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya. KDRT jenis ini biasanya

terjadi dikarenakan pelaku tidak bisa menahan emosi pada saat

terjadi perselisihan.

b. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang

mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya

kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau

penderitaan psikis berat pada seseorang.

Perilaku kekerasan yang termasuk penganiyaan secara

emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang

menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia

luar, mengancam atau menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan

kehendak. Kekerasan jenis ini terkadang belum disadari bahwa hal

ini adalah termasuk dalam KDRT. Kekerasan jenis ini juga akan

berdampak negatif terhadap perkembangan bayi, apabila korban

sedang mengandung karena tekanan-tekanan yang diderita.

c. Kekerasan Seksual

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri

(13)

memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan

pihak istri.

d. Penelantaran dalam Rumah Tangga

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup

rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya

atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan

kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak membeikan

nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri. Nafkah merupakan

kewajiban suami terhadap istri, sedangkan seorang istri yang bekerja

sifatnya hanya membantu. Seorang suami tidak menafkahi

keluarganya biasanya karena suami itu suka main judi, selingkuh,

sehingga lupa akan tanggung jawabnya. Kondisi yang demikian yang

berlangsung secara terus-menerus biasanya menjadi alasan bagi istri

untuk mengajukan perceraian (Lela Wahyudiarti, 2012: 12).

Dari bentuk-bentuk KDRT yang ada tersebut, seringkali korban

mengalami KDRT secara ganda, sebagai contoh korban mengalami

kekerasan secara fisik dengan cara dipukul hingga mengakibatkan luka

lebam sekaligus diancam agar tidak memberitahu kejadian ini pada

keluarga atau orang lain dengan ancaman tertentu. Dari contoh tersebut

korban mengalami kekerasan fisik dengan cara dipukul dan kekerasan

(14)

Data statistik yang tercatat di mitra perempuan Women Crisis

Center, sebuah lembaga pelayanan yang mendampingi dan membantu

perempuan yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(domestic violence) menyatakan bahwa, bentuk kekerasan terjadi tidak

hanya satu jenis, tetapi mengalami kekerasan berganda sebanyak

37,7%, misalnya mengalami kekerasan fisik sekaligus psikologis dan

ekonomi. Data ini juga menunjukan bahwa pelaku kekerasan antara lain

suami (66,3%), mantan suami, saudara kandung, dan lain-lain (33,7%)

(Fathul Djannah, 2007: 24-25).

Kekerasan terhadap perempuan dapat kita saksikan dalam

berbagai bentuk dengan korban perempuan beragam usia dan dari

berbagai lapisan sosial, begitu juga kejadiannya, tidak mengenal ruang

dan waktu, bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Hal ini sangat

mengherankan bahwa banyak kekerasan yang terjadi di rumah tangga,

dan kebanyakan kekerasan tersebut dilakukan oleh orang yang dikenal

baik dan dekat dengan korban (Fathul Djannah, 2007: 2).

3.3. Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang selama

ini terjadi terhadap korban relatif berbeda, kekerasan yang menimpa

antara korban yang satu dengan korban yang lain cenderung berbeda

bentuk kekerasannya. Menurut Farha Ciciek dalam Farha Ciciek (2007:

(15)

Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang selama ini terjadi adalah sebagai

berikut :

a. Masyarakat masih membesarkan anak laki-laki dengan mendidiknya

agar mempunyai keyakinan bahwa lelaki harus kuat dan dominan.

Lelaki dilatih untuk merasa berkuasa atas diri dan orang

sekelilingnya ketika memasuki rumah tangga. Suami seolah-olah

mempunyai hak atas istrinya sehingga dengan cara apapun suami

dapat bertindak terhadap istrinya tersebut termasuk dalam bentuk

kekerasan. Hal ini melanggengkan budaya kekerasan.

b. Adanya kebiasaan yang mendorong perempuan atau istri agar supaya

bergantung pada suami khusunya secara ekonomi. Hal ini membuat

perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suami.

Akibatnya istri sering diperlakukan semena-mena sesuai kehendak

suami.

c. Fakta menunjukkan bahwa lelaki dan perempuan tidak diposisikan

setara dalam masyarakat. Anggapan suami atau laki-laki mempunyai

kekuasaan terhadap istri ini dapat berada di bawah kendali suami.

Jika istri melakukan kekeliruan, maka suami dapat berbuat apa saja

terhadap istrinya termasuk dengan kekerasan.

d. Masyarakat tidak menganggap kekerasan dalam rumah tangga

sebagai persoalan sosial tetapi persoalan pribadi antara suami istri.

(16)

rumah tangga adalah urusan pribadi atau masalah rumah tangga yang

orang lain tidak layak mencampurinya.

e. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap

bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan. Penafsiran ini

mengakibatkan pemahaman bahwa agama juga membenarkan suami

untuk melakukan pemukulan terhadap istri dalam rangka mendidik.

Suami adalah penguasa yang mempunyai kelebihan-kelebihan kodrat

yang merupakan anugerah Tuhan. Pemahaman ini akan melestarikan

tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pada umumnya, laki-laki oleh masyarakat diharapkan berada di

sektor publik, sedangkan perempuan berada di sektor domestik.

Kedudukan istri sebagai ibu rumah tangga dengan sederet

kewajibannya, pada hakikatnya merupakan upaya domestifikasi

perempuan. Domistifikasi perempuan menyebabkan lemahnya peluang

perempuan untuk mengakses sumber-sumber ekonomi. Selain itu, juga

bisa mengakibatkan ketergantungan secara ekonomi istri kepada

suaminya (Nafisah, 2008: 3).

Proses sosialisasi yang massif dan mapan ini, pada akhirnya

melahirkan ideologi bahwa kekuasaan ada pada laki-laki sebagai

manusia yang superior dan aktif, sementara perempuan menjadi pasif

dan berposisi sebagai objek kekuasaan laki-laki. Dalam posisi suami

(17)

keputusan sendiri dengan melakukan kekerasan atas pembenaran nama

ideologi ini (Ridwan, 2008: 47-48).

Pola relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan ini

menjadi awal penyebab terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Kondisi ini tidak jarang mengakibatkan tindak kekerasan oleh suami

terhadap istrinya justru dilakukan sebagai bagian dari penggunaan

otoritas yang dimilikinya sebagai kepala keluarga. Dengan

menggunakan alur piker semacam ini, maka kekerasan yang terjadi

dalam lingkup rumah tangga (domestic violence) merupakan kekerasan

berbasis gender. Dengan kata lain, kekerasan itu lahir disebabkan oleh

perbedaan peran-peran gender yang dikontruksi secara sosial di mana

salah satu pihak menjadi sub-ordinat dari pihak lain (Ridwan, 2008:

50).

Hal ini didukung oleh pendapat Azis dalam Sukerti (2005: 10)

bahwa budaya patriarki, pemahaman yang sering keliru terhadap ajaran

agama dan peniruan anak laki-laki yang hidup bersama ayah yang suka

memukul merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan

terhadap perempuan seperti yang telah disebutkan di atas, faktor yang

paling dominan adalah budaya patriarki ini dapat mempengaruhi

budaya hukum masyarakat.

Latar belakang lain penyebab tindak kekerasan terhadap

perempuan dalam lingkup rumah tangga seperti terkadang ada seorang

(18)

kebutuhan rumah tangga, baik dari kebutuhan sandang, pagan, papan

maupun kebutuhan pendidikan (Arbaiyah Prantiasih, 2015: 16-17).

Latar belakang tersebut antara lain :

a. Kekerasan Fisik, faktor yang melatar belakangi terjadinya kekerasan

fisik terhadap perempuan disebabkan karena :

1) Suami tidak bekerja.

2) Suami pekerjaannya tidak menentu, artinya kadang-kadang

bekerja, kadang-kadang tidak.

3) Suami temperamental, artinya perilakunya kasar, sering marah

dan mudah emosional.

b. Kekerasan Psikis, latar belakang penyebab terjadinya kekerasan

psikis dalam rumah tangga tidak dapat dipisahkan juga dengan faktor

penyebab terjadinya kekerasan fisik, sebab kekerasan psikis yang

dapat mengakibatkan ketakutan, rasa tidak berdaya, penderitaan

psikis berat pada korban, disebabkan juga karena suami, ibu, dalam

rumah tangga yang temperamental artinya perilaku sering marah dan

mudah emosional. Selain itu juga pihak suami tidak mempunyai

pekerjaan sehingga menyebabkan mudah emosional atau mudah

marah.

c. Kekerasan Penelantaran dalam rumah tangga, berdasarkan kasus

yang ada, kekerasan dalam bentuk ini disebabkan juga karena faktor

suami yang tidak bekerja atau pekerjaan yang tidak menentu,

(19)

jawaban dari pihak suami. Hal ini diperkuat lagi bila istri tidak

bekerja dan selalu menggantungkan atau mengakibatkan

ketergantungan ekonomi pada pihak suami. Akan tetapi sebaliknya

apabila istri bekerja, maka istri tidak selalu menggantungkan diri

pada suaminya meskipun di dalam rumah tangganya ada masalah.

Dalam struktur sosial kemasyarakatan, kehidupan keluarga yang

penuh harmoni akan sangat bergantung dari pola relasi di antara

anggota keluarga yang setara dan berkeadilan dengan menghargai posisi

dan peran masing-masing anggota keluarga. Untuk mengetahui pola

relasi dalam keluarga antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dan

antara anak dengan orang tuanya secara setara dan berkeadilan

sebagaimana dikemukakan Ridwan (2008: 45), dapat dilihat hal-hal

berikut :

a. Seberapa besar partisipasi aktif seluruh anggota keluarga dalam

perumusan dan pengambil keputusan atau perencanaan maupun

pelaksanaan segala kegiatan keluarga, baik pada wilayah domestik

maupun publik.

b. Seberapa besar manfaat yang diperoleh seluruh anggota keluarga

secara merata dari hasil pelaksanaan berbagai kegiatan baik sebagai

pelaku maupun sebagai pemanfaat dan pengikat hasilnya.

c. Seberapa besar akses dan kontrol seluruh anggota keluarga dalam

berbagai sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam yang jadi

(20)

pengetahuan, jaminan kesehatan, hak-hak reproduksi, dan

sebagainya.

3.4. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Menurut Harkristuti Harkrisnowo, tindak kekerasan terhadap

perempuan merupakan ancaman terus menerus bagi perempuan

dimanapun di dunia, harus diingat bahwa kedudukan perempuan di

sebagian dunia dianggap tidak sejajar dengan laki-laki, membuat

masalah ini menjadi suatu hal yang menakutkan bagi kaum perempuan.

Terlebih lagi rasa takut kaum wanita terhadap kejahatan (fear of crime)

jauh lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang dirasakan kaum pria.

Dapat dipahami bahwa kerentanan wanita secara kodrati (dalam

aspek jasmaniah) membuat fear of crime mereka jauh lebih tinggi.

Bukan itu saja, karena jika dikaitkan dengan isu tindak kekerasan

terhadap wanita, derita yang dialami perempuan baik pada saat maupun

setelahnya terjadinya kekerasan pada kenyataannya jauh lebih lebih

traumatis daripada laki-laki (Sutikno, 2007: 43).

Dilihat sebagai perbuatan manusia, maka kejahatan kekerasan

merupakan bentuk perbuatan tertentu yang memiliki ciri-ciri atau

karakteristik tertentu yang berbeda dengan perbuatan yang lain terlepas

dari pelakunya maupun korbannya. Artinya perbuatan tersebut dapat

dilakukan oleh pria, wanita, remaja, orang dewasa, individu, kelompok,

(21)

Berdasarkan data yang ada di Indonesia bahkan seluruh dunia,

istri merupakan korban utama dalam kekerasan rumah tangga. Istri

sebagai korban kekerasan berasal dari semua golongan masyarakat yang

tidak memandang dari segi lapisan sosial, golongan pekerjaan, suku,

bangsa, budaya, agama maupun rentang usia tertimpa musibah

kekerasan.

Kekerasan yang dialami korban mengakibatkan timbulnya

berbagai macam penderitaan. Penderitaan tersebut berupa fisik yaitu

perbuatan yang bisa mengakibatkan rasa sakit, secara ekonomi karena

tidak diberi nafkah, penderitaan psikologis yang bisa mengakibatkan

rasa takut, tidak percaya diri dan sebagainya, sedangkan penderitaan

secara seksual seperti pemaksaan hubungan seksual (Lela Wahyudiarti,

2012: 14). Adapun beberapa penderitaan tersebut diantaranya sebagai

berikut :

a. Jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit perut, dan

lain-lain.

b. Menderita kecemasan, depresi dan sakit jiwa yang bisa parah.

c. Kemampuan menyelesaikan masalah rendah.

d. Kemungkinan keguguran dua kali lebih tinggi bagi korban yang

hamil.

(22)

f. Lebih berkemungkinan bertindak kejam terhadap anak karena tidak

dapat menguasai diri akibat penderitaan yang berkepanjangan dan

tidak menemukan jalan keluar.

Dewasa ini terjadi begitu banyak perempuan yang mengalami

tindak kekerasan dalam kehidupannya, bahkan hal tersebut dimulai dari

lingkungan terdekatnya yakni oleh keluarganya sendiri. Kekerasan

seksual merupakan hal yang sangat sering terjadi. Situasi ini semakin di

perparah dengan ideologi jaga praja atau menjaga ketat ideologi

keluarga, khususnya dalam budaya Jawa “membuka aib keluarga berarti

membuka aib sendiri”, situasi demikian menurut Harkristuti Harkrisnowo dalam berbagai kesempatan menyebabkan tingginya

domestic violence” karena tidak dilaporkan (Mien Rukmini, 2009: 2).

Sebelum diundangkannya UU PKDRT, Kekerasan Dalam Rumah

Tangga tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan kriminal tertentu. Oleh

karena itu, tidak mengherankan jika banyak kasus kekerasan yang tidak

dipertimbangkan untuk mendapat perlindungan dan bantuan hukum dari

aparat penegak hukum. Di sisi lain, persoalan bias gender yang

berangkat dari budaya patriarki sebagai hasil kontruk sosial juga

menjadi kendala untuk terciptamya pola relasi yang adil gender

(Ridwan, 2008: 102-103).

Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kurang

mendapat perhatian Undang-undang, baik hukum pidana materiil

(23)

dengan perlindungan hukum terhadap tersangka dan terdakwa. Hal itu

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor Undang-undang,

kesadaran hukum korban, fasilitas pendukung, sumber daya manusia.

Eksistensi suatu peraturan perundang-undangan dalam suatu sistem

hukum sangat menentukan terwujudnya suatu tertib hukum, karena

Undang-undang merupakan sumber hukum yang utama (Sulistyowati

Irianto, 2007: 144).

Dalam praktiknya, Kekerasan Dalam Rumah Tangga sulit

diungkap sebagaimana dijelaskan Ridwan (2008: 50-51), diantaranya

adalah :

a. KDRT terjadi dalam lingkup rumah tangga dipahami sebagai urusan

yang bersifat privasi, di mana orang lain tidak boleh ikut campur

(intervensi).

b. Pada umumnya, korban (istri) adalah pihak yang secara struktual

lemah dan memiliki ketergantungan, khususnya secara ekonomi

dengan pelaku (suami). Dalam posisi ini, korban pada umumnya

selalu mengambil sikap diam atau bahkan menutupi tindak

kekerasan tersebut, karena dengan membuka kasus KDRT ke publik

berarti membuka aib keluarga.

c. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat terhadap

hak-hak hukum yang dimilikinya.

d. Adanya stigma sosial bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami

(24)

dalam kerangka pendidikan yang dilakukan oleh pihak yang

memang mempunyai otoritas untuk melakukannya. Pada posisi ini,

korban sering enggan melapor kepada aparat penegak hukum karena

khawatir justru akan dipersalahkan.

KDRT merupakan perilaku yang terjadi secara berulang-ulang

dan memiliki pola yang khas, yaitu suami-istri yang terlibat dalam

tindak kekerasan menganggap bahwa tindak KDRT merupakan hal

yang wajar terjadi di setiap keluarga. Jika terjadi kekerasan dan konflik,

mereka masih mempunyai cinta dan harapan bahwa kekerasan akan

reda. Dari perasaan cinta dan dilandasi harapan hubungan menjadi lebih

baik, pihak korban akan memaafkan kesalahan pelaku, maka akan

muncul hubungan baru lagi sebagai bulan madu pasca konflik.

Kemudian lahir konflik baru dan terus sama menjadi siklus yang terus

berputar, ia akan berhenti seiring dengan lahirnya kesadaran kolektif

masyarakat bahwa perilaku kekerasan apapun harus dihapuskan

(Ridwan, 2008: 52-53).

Meski Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 telah ada, masih

banyak korban tidak melaporkan kasusnya kepolisian dengan sebab

antara lain (Sulistyowati Irianto, 2007: 68) :

a. Rasa malu, sungkan dengan keluarga besar, aib jika diketahui orang

banyak. Alasan ini muncul akibat pemahaman sebagian anggota

masyarakat, bahwa kekerasan yang dialami istri adalah akibat

(25)

b. Ketergantungan yang besar terhadap pelaku (suami) secara ekonomi.

c. Berkaitan dengan kinerja penegak hukum dalam menangani perkara

merupakan pertimbangan perempuan untuk untuk melapor kekerasan

yang terjadi pada dirinya.

4. Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

4.1. Definisi Korban

Menurut Arif Gosita dalam Moerti Hadiati Soeroso (2010: 112),

korban adalah: “Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah

sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan

kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan

kepentingan dan hak asasi yang menderita”.

Korban (victims) menurut Muladi adalah orang-orang yang baik

secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk

kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan

subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental melalui perbuatan

yang melanggar hukum pidana di penyalahgunaan kekuasaan (Muladi,

2010: 108).

Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 dalam Pasal 1

(26)

Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban berbunyi :

“Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

Dari beberapa definisi mengenai korban yang ada, maka dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah seseorang

atau kelompok yang memperoleh penderitaan baik fisik, mental,

ekonomi karena suatu tindakan kekerasan maupun ancaman.

Korban KDRT yang sering dialami adalah perempuan sebagai

istri, hal tersebut karena ada anggapan bahwa laki-laki memiliki

kekuatan yang lebih serta kedudukan laki-laki sebagai kepala keluarga

terkadang membuat laki-laki bebas untuk melakukan apa saja, jika

seorang istri dianggap bersalah. Istri sebagai korban kekerasaan selama

ini masih memiliki kecenderungan untuk diam terhadap perlakukan

suaminya. Kecenderungan tersebut dikarenakan adanya berbagai rasa

ketakutan yang akan dialami setelah mereka melaporkan.

Menurut Idrus dalam Danang Arif Darmawan (2007: 4)

kecenderungan istri memilih diam disebabkan beberapa alasan yaitu :

a. Ketidaktahuan istri dalam sebagai korban mengenai prosedur

pelaporan kekerasan yang dialaminya melalui jalur hukum. Hal ini

dikarenakan masih rendahnya pemahaman tentang UU Penghapusan

(27)

b. Masih terdapat anggapan bahwa kekerasan terhadap perempuan

adalah aib yang perlu ditutupi.

c. Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kasus-kasus kekerasan

terhadap perempuan.

d. Tidak adanya keyakinan dalam diri korban bahwa kasus kekerasan

akan ditangani secara adil. Korban kurang percaya terhadap hukum

yang ada.

Dari beberapa alasan tersebut, korban Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT) tidak dapat diketahui secara pasti karena banyak

korban yang tidak berani melaporkan.

4.2. Hak dan Kewajiban Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada

hakikatnya, perlindungan terhadap perempuan merupakan salah satu

perwujudan hak untuk hidup, hak untuk bebas dari perhambaan

(servitude) atau perbudakan (slavery). Hak asasi ini bersifat langgeng

dan universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa

membeda-bedakan asal-usul, jenis kelamin, agama, serta usia sehingga, setiap

negara berkewajiban untuk menegakkannya tanpa terkecuali.

Dalam realitasnya korban selalu menjadi pihak yang paling

dirugikan. Karena selain korban telah menderita kerugian akibat

kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materil, fisik maupun

psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda sebab tanpa

(28)

sebuah kepastian hukum. Korban menderita karena diharuskan

mengemukakan kembali, mengingat bahkan mengulangi (rekonstruksi)

kejahatan yang pernah dialaminya pada saat sedang menjalani proses

pemeriksaan, baik pada tingkat penyidikan maupun setelah kasusnya

diperiksa di pengadilan.

Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang jika

dibandingkan dengan tersangka atau terdakwa, terlihat dari adanya

beberapa peraturan perundang-undangan yang memberikan ”hak istimewa” kepada tersangka atau terdakwa dibandingkan kepada korban

(M. Arief Mansur, 2007: 80).

Kondisi yang berbeda terjadi ketika korban dimintai

keterangannya sebagai saksi di tingkat penyidikan maupun pengadilan,

sering dijumpai korban harus datang sendiri tanpa memperoleh

pengamanan atau pengawalan yang memadai dari aparat keamanan.

Kondisi tersebut tidak hanya terjadi dalam ”kasus kecil,” tetapi dalam ”kasus besar” (kasus yang menjadi perhatian publik) pun, seperti kasus

pembunuhan, terorisme, kejahatan/pelanggaran HAM, korban sering

harus datang sendiri ke pengadilan. Sementara, potensi terjadinya

kekerasan terhadap saksi (korban) sangat tinggi, terutama jika pelaku

divonis hukuman maksimal oleh pengadilan, misalnya dikenai sanksi

pidana penjara 12 tahun, atau sanksi pidana penjara seumur hidup, atau

(29)

Berlakunya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang telah

disahkan pada tanggal 22 september 2004, dan terdiri atas 10 Bab, dan

56 Pasal ini dapat memberikan perlindungan hukum bagi anggota

dalam rumah tangga, khususnya perempuan, yang paling banyak

menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Negara dan

masyarakat wajib memberikan perlindungan agar setiap anggota dalam

rumah tangga terhindar dari ancaman kekerasan, penyiksaan, atau

perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia

(Kussunaryatun, 2007: 57).

Sebagai warga negara, korban memiliki hak dan kewajiban yang

harus dilaksanakan. Apalagi dengan dibentuknya Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga, maka hak dan kewajiban korban semakin dihormati. Adapun

hak korban dalam Pasal 10 UU No. 23 tahun 2004 adalah sebagai

berikut :

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,

advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya baik sementara maupun

berdasarkan penetapan pemerintah perlindungan dari pengadilan.

b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.

(30)

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap

tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan.

e. Pelayanan bimbingan rohani.

Jadi, dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut

disebutkan bahwa korban memiliki hak baik dalam hal perlindungan,

pelayanan kesehatan, pendampingan serta bimbingan rohani, selain itu

korban berhak melaporkan kekerasan dalam rumah tangga yang

dialaminya baik secara lansung maupun dengan memberikan kuasa

kepada keluarga atau orang lain yang ditunjuk. Seperti yang terdapat

dalam UU No. 23 tahun 2004 PKDRT:

a. Pasal 26 UU PKDRT

1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam

rumah tangga kepada kepolisian baik ditempat korban berada

maupun ditempat kejadian perkara.

2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga korban atau

orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga

kepada pihak kepolisian baik ditempat korban berada maupun

ditempat kejadian perkara.

b. Pasal 27 UU PKDRT

Dalam hal ini korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan

(31)

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

4.3. Peran Aparat Penegak Hukum dan Elemen Lainnya Dalam Mencegah

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Indonesia sebagai Negara hukum (rechtstaat) berimplikasi

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Konsep rechtstaat, dan konsep

the rule of law, menempatkan HAM sebagai salah satu ciri khas pada

Negara yang disebut rechtstaat, dan menjunjung tinggi the rule of law.

Dalam Negara demokrasi, pengakuan dan perlindungan HAM

merupakan salah satu ukuran tentang baik buruknya suatu pemerintahan

(Philipus M. Hadjon, 1987: 21).

Aspek fisik yang mengakibatkan korban berhenti beraktivitas,

aspek psikis yang berwujud munculnya kegoncangan atau

ketidakstabilan psikis baik secara temporer maupun permanen dari

korban. Untuk menyeimbangkan kondisi korban (keluarga), sehingga

dapat pulih kembali pada keadaan semula, maka harus ditempuh

berbagai upaya pemulihan, seperti pemulihan secara finansial, medis,

dan psikis (mental) korban (M. Arief Mansur, 2007: 160-161).

Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya

upaya preventif dan represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat

maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukum), seperti pemberian

(32)

membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun

hukum secara memadai.

Langkah nyata pemerintah dalam memberikan perlindungan dan

pelayaan korban tertuang dalam UU nomor 23 tahun 2004 Bab 6

tentang peran-peran aparat penegak hukum khususnya kepolisian,

advokat dan pengadilan. Adapun peran-peran tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Tugas Kepolisian

Tugas kepolisian pada saat menerima laporan tentang kasus

kekerasan dalam rumah tangga adalah menerangkan akan hak-hak

korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Selain itu

kepolisian juga perlu memperkenalkan identitas mereka serta

menegasakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan

sebuah kejahatan terhadap kepolisian sehingga sudah menjadi

kewajiban kepolisian untuk melindungi korban. Setelah itu,

kepolisian mengambil langkah-langkah berikut :

1) Memberikan perlindungan sementara pada korban.

2) Meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

3) Melakukan penyelidikan.

b. Peran Advokat

Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib:

1) Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi

(33)

2) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban

untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah

tangga yang dialaminya.

3) Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan

pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan

sebagaimana mestinya.

Konflik dalam rumah tangga biasanya dapat diselesaikan melalui

2 jalur yaitu litigasi dan nonlitigasi. Seorang advokat dapat memberikan

advokasi litigasi dan advokasi nonlitigasi. Litigasi merupakan upaya

penyelesaian konflik dengan menggunakan jalur hukum, sedangkan

nonlitigasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan jalan musyawarah

dan mufakat keluarga namun tetap melibatkan pihak ketiga sebagai

mediatornya.

c. Peran Pengadilan

Pengadilan memiliki peran setelah kepolisian mengirim surat

permohonan tentang surat penetapan perintah perlindungan dari

pengadilan. Setelah pengadilan menerima surat permohonan itu,

pengadilan harus :

1) Mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan

bagi korban dan anggota keluarga lain.

2) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat

(34)

yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat

tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi atau

mengintimidasi korban.

Jika ada pelanggaran perintah perlindungan, maka korban

dapat melaporkan hal ini ke kepolisian, kemudian secara

bersama-sama menyusun laporan yang ditujukan kepada pengadilan.

d. Peran Tenaga Kesehatan

Setelah diketahui adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga,

maka petugas kesehatan berkewajiban untuk memeriksa kesehatan

korban, yang selanjutnya membuat laporan tertulis mengenai hasil

pemeriksaan serta membuat visum et repertum atau surat keterangan

medis lain yang memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan alat

bukti.

e. Peran Pekerja Sosial

Pekerja sosial dalam melayani kasus korban Kekerasan Dalam

Rumah Tangga perlu memperhatikan beberapa hal di antaranya

sebagai berikut :

1) Melakukan konseling untuk menguatkan korban.

2) Menginformasikan mengenai hak-hak korban.

3) Mengantarkan korban ke rumah aman (shelter).

4) Berkoordinasi dengan pihak Kepolisian, dinas sosial, dan

(35)

f. Peran Pembimbing Rohani

Sebagai pembimbing rohani demi kepentingan korban, maka

pembimbing rohani berkewajiban memberikan penjelasan mengenai

hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman serta takwa.

g. Relawan Pendamping atau Paralegal

Relawan Pendamping atau Paralegal ditujukan kepada seorang

yang bukan advokat namun memiliki pengetahuan di bidang hukum,

baik hukum materiil maupun hukum acara dengan pengawasan

advokat atau lembaga bantuan hukum yang membantu masyarakat

mencari keadilan. Karena sifatnya membantu penanganan kasus atau

perkara, maka Paralegal sering juga disebut dengan asisten hukum.

Peran dari Relawan Pendamping atau Paralegal diatur dalam

Undang-undang Nomor 23 tahun 2004. Dalam Undang-undang

tersebut menyatakan bahwa tugas dari relawan pendamping adalah:

1) Menginformasikan mengenai hak korban untuk mendapatkan

seorang atau lebih pendamping.

2) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, atau

tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membinbing korban agar

dapat memaparkan kekerasan yang dialaminya secara obyektif

dan lengkap.

3) Mendengarkan segala penuturan korban.

4) Memberikan penguatan kepada korabn secara psikologis maupun

(36)

Pentingnya korban mendapat pemulihan sebagai upaya

penyeimbang kondisi korban yang mengalami gangguan,

dikemukakan lebih luas oleh Muladi (Titon Slamet Kurnia, 2010:

29), bahwa korban kejahatan perlu dilindungi karena:

a. Pertama, Masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem

kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized turst).

Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang

diekspresikan di dalam struktur kelembagaan, seperti kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, dan sebagainya. Terjadinya kejahatan atas

diri korban akan bermakna penghancuran system kepercayaan

tersebut, sehingga pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang

menyangkut korban sebagai sarana pengendalian sistem

kepercayaan tadi.

b. Kedua, Adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial

karena Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial

terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat

pribadi. Karena itu, jika terdapat korban kejahatan, maka Negara

harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan,

pelayanan, dan pengaturan hak.

c. Ketiga, Perlindungan korban biasanya dikaitkan dengan salah satu

tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan

(37)

akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa aman

dan damai dalam masyarakat.

Apabila konsep Hak Asasi Manusia dipandang sebagai hak

hukum, maka mempunyai dua konsekuensi normatif, yaitu (1)

kewajiban bagi penanggung jawab (pihak yang dibebani kewajiban)

untuk menghormati/tidak melanggar hak atau memenuhi klaim yang

timbul dari hak, dan (2) reparasi jika kewajiban tersebut

dilanggar/tidak dipenuhi (Muladi, 1997: 172).

Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan,

terkandung pula beberapa asas hukum yang membutuhkan perhatian.

Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, asas hukum harus

mewarnai baik hukum pidana materiil, maupun hukum pidana

formil. Adapun asas-asas yang dimaksud adalah (M. Arief Mansur,

2007: 164) :

a. Pertama, asas manfaat. Perlindungan korban tidak hanya

ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun

spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemaslahatan bagi

masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi

jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.

b. Kedua, asas keadilan. Penerapan asas keadilan dalam upaya

melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak, karena hal ini

dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan kepada

(38)

c. Ketiga, asas keseimbangan. Tujuan hukum, disamping

memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan

manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan

masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula

(restutio in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat

yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban.

d. Keempat, asas kepastian hukum. Asas ini memberika dasar

pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat

melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan

hukum pada korban kejahatan.

5. Sumber Hukum bagi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

a. Undang Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)

Berlakunya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang

telah disahkan pada tanggal 22 september 2004, dan terdiri atas

10 Bab, dan 56 Pasal. Memberikan secara khusus bagi korban

KDRT, dan dilaksanakan berdasarkan atas penghormatan HAM,

keadilan, kesetaraan gender, non diskriminasi, serta mempunyai

tujuan untuk mencegah segala bentuk KDRT, melindungi korban,

dan menindak pelaku KDRT, serta memelihara keutuhan rumah

(39)

Disahkannya UU PKDRT merupakan titik awal

keberhasilan perjuangan dalam memperoleh perlindungan

terhadap kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga,

yang sebelumnya dianggap sebagai urusan pribadi suami-istri,

merupakan aib keluarga, tabu untuk diketahui, dan dikemukakan

kepada masyarakat (Kussunaryatun, 2007: 58).

b. Hukum Pidana

1) Pasal 351 KUHP

(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara

selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda

sebanyak-banyaknya Rp. 45000,-.

(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah

dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.

(3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya dia

dihukum selama-lamanya tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan dengan merusak

kesehatan orang dengan sengaja.

(5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.

2) Pasal 352 KUHP

(1) Selain dari pada apa yang disebut dengan Pasal 353 dan

pasal 356 KUHP maka penganiayaan yang tidak

menjadikannya sakit atau halangan untuk melakukan

(40)

dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda

sebanyak-banyaknya Rp. 45000,-. Hukuman ini boleh

ditambah dengan sepertiganya bila kejahatan itu

dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau

yang ada di bawah perintahnya.

(2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dihukum.

3) Pasal 353 KUHP

(1) Penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu

dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.

(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat setelah si

tersalah melakukan dihukum penjara selama-lamanya

tujuh tahun.

(3) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia

dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

4) Pasal 354 KUHP

(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain,

dihukum karena menganiaya berat dengan hukuman

penjara selama-lamanya delapan tahun.

(2) Jika perbuatan ittu menjadikan kematian orangnya

sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima belas

(41)

5) Pasal 355

(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan

terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya dua

belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, si

tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima belas

tahun.

c. Hukum Perdata

Jika si terdakwa terbukti bersalah melakukan

perbuatan-perbuatan tersebut, si korban dapat melakukan tuntutan ganti

rugi berdasarakan Pasal 1365 KUHP (perdata) yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian

kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian tersebut”. d. Hukum Perkawinan

Dalam Pasal 24 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

terdapat peraturan yang memberikan hak kepada suami atau

istri untuk :

1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas

permohonan Penggugat atau Tergugat atau berdasarkan

pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,

Pengadilan dapat mengijinkan suami-istri untuk tidak

(42)

2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas

permohonan Penggugat atau tergugat pengadilan dapat:

3) Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.

4) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin

pemeliharaan dan pendidikan anak.

5) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin

terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama

suami istri atau barang-barang yang menjadi hak istri.

e. Deklarasi PBB

Pada tanggal 20 Desember 1993, deklarasi PBB

mengesahkan tentang Deklarasi Penghapusan Kekerasan

terhadap Perempuan (Declaration Violence Against Women),

pada sidang umum ke 85 pada Pasal 1 mengeluarkan definisi

resmi pertama berbasis gender, yaitu: “Segala bentuk tindakan kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan

mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan

baik fisik, psikologis, seksual, termasuk ancaman, pembatasan

kebebasan, paksaan baik yang terjadi di area publik atau

domestik” (Sri Mulyati, 2007: 65).

Menurut Pasal 3 konvensi tentang penghapusan segala

bentuk diskriminasi terhadap perempuan menjelaskan bahwa

kaum perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh

(43)

sama dalam bidang politik, ekonmi, sosial, budaya, sipil, atau

bidang-bidang lainnya. Hal tersebut termasuk antara lain:

1) Hak atas hidup.

2) Hak atas persamaan.

3) Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi.

4) Hak atas perlindungan yang sama berdasarkan hukum.

5) Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi.

6) Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun

mental yang sebaiknya.

7) Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik.

8) Hak untuk tidak mengalami penganiyaan atau perlakuan

penghukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi, atau

merendahkan martabat manusia.

Berdasarkan ruang lingkup Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT), seperti yang tercantum dalam Deklarasi

penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Pasal 2

mencakup (Amrulloh, 2009: 48) :

1) Kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi di

keluarga, termasuk pemukulan, penganiyaan, pemaksaan

hubungan seksual, perkosaan dalam perkawinan,

pemotongan kelamin perempuan, dan praktek-praktek

(44)

2) Kekerasan, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam

komunitas berupa perkosaan, penganiyaan seksual,

pelecehan, dan intimidasi seksual ditempat umum dan

lainnya, perdagangan perempuan, dan pelacur paksa.

3) Kekerasan, seksual, dan psikologis yang dilaksanakan atau

dibiarkan terjadinya oleh Negara.

f. Undang-Undang HAM

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), menjelaskan

tentang perlindungan yaitu :

1) Pasal 29 (1), setiap orang berhak atas perlindungan diri

pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak

miliknya.

2) Pasal 30, setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram

serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk

berbuat atau tidak berbuat.

6. UU PKDRT sebagai Instrumen Penegakan Kesetaraan Gender

Dewasa ini dalam kesetaraan gender pada masyarakat terdapat

empat golongan wanita (Sri Widoyati Wiratmo Soekito, 1989: 65) :

(1) Wanita yang bekerja, dan atau belum membentuk rumah tangga.

(2) Wanita yang memberikan pengabdian sepenuhnya kepada

(45)

(3) Wanita yang memilih memberikan prioritas kepada pekerjaan di

atas keluarganya

(4) Wanita yang memilih jalan tengah untuk bekerja dan sekaligus

menerima peranan rangkap sebagai ibu rumah tangga dengan

mencoba kombinasi yang sebaik-baiknya. Sosok wanita ini

mengerti apa yang menghambat suksesnya dalam pekerjaan,

akan tetapi ia rela karena bagaimanapun keluarga penting juga.

Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) adalah

bentuk penganiayaan (abuse) oleh suami terhadap istri, baik secara

fisik maupun psikologis. Dalam rumusan lain, kekerasan dalam

rumah tangga didefinisikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan

oleh seseorang secara sendiri atau bersama-sama terhadap seorang

perempuan atau terhadap pihak yang tersub-ordinasi lainnya dalam

lingkup rumah tangga yang mengakibatkan kesengsaraan atau cidera

secara fisik, seksual, ekonomi, ancaman psikologis termasuk

perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Dalam

perkembangannya, kekerasan dalam rumah tangga, sebenarnya tidak

hanya terjadi antara suami dengan istri saja, tetapi juga bisa terjadi

antara orang tua dengan anak atau majikan dengan pembantu atau

orang yang turut tinggal dalam dalam lingkup rumah tangga tersebut

(Anita Rahmawati, 2014 : 91).

Sebelum diundangkannya UU PKDRT, kekerasan dalam

(46)

kriminal tertentu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak

kasus kekerasan yang tidak dipertimbangkan untuk mendapat

perlindungan dan bantuan hukum dari aparat penegak hukum. Dalam

posisi demikian, persoalan “kevakuman” hukum yang secara spesifik

mengatur tentang tindak pelanggaran kekerasan dalam rumah tangga

menjadi faktor terabaikannya korban kekerasan sebagai pihak yang

perlu ditolong. Disisi lain, persoalan bias gender yang berangkat dari

budaya patriarki sebagai hasil kontruk sosial menjadi kendala

terciptanya pola relasi adil gender (Ridwan, 2008: 102-103. Oleh

karena itu dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk

mencegah dan menghapus tindak kekerasan tersebut.

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT),

secara umum sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan

yang memberikan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak,

diantaranya adalah Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang

Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All

Forms of Discriminations Against Women), Undang-undang Nomor

1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 39 tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia, Kitab Undang-undang Hukum

Pidana, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pada tahun

(47)

Kapolri, yaitu Menteri Pemberdayaan Perempuan

(No.14/Men.PP/Bep.V/X/2002), Menteri Sosial (No.75/HUK/2002),

dan Menteri Kesehatan (No.139/MENKES/SKB/X/2002) tentang

“Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak” sebagai langkah awal untuk mengadakan pelayanan terpadu

pada korban kekerasan terhadap perempuan (Kussunaryatun, 2007:

57-58).

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 23 tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka

penegakan hukum bagi korban KDRT menjadi jelas dalam

implementasinya adalah tanggung jawab kolektif semua elemen

bangsa. Salah satu kebijakan pemerintah untuk melakukan

conditioning” dalam rangka penciptaan realisasi sosial yang adil

gender, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun

2002 tentang Pengarusutamaan Gender.

Pengarusutamaan Gender (gender mainstreaming) muncul

karena selama ini pendekatan pembangunan dianggap masih sangat

bias gender dan belum mempertimbangkan manfaat dan

pembangunan yang sama bagi perempuan dan laki-laki. Hal itu,

memberi konstribusi terhadap timbulnya ketidaksetaraan dan

ketidakadilan gender pada semua bidang kehidupan, seperti bidang

pendidikan, sosial, ekonomi, dan kesehatan. Oleh karena itu, perlu

(48)

monopolitik dan tertutup menjadi paradigma pembangunan yang adil

gender di mana setiap warga negara mempunyai akses yang sama,

baik laki-laki maupun perempuan dari proses perencanaan,

pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program sekaligus dalam

memanfaatkan hasil pembangunan tersebut.

Dengan demikian, kebijakan pengarusutamaan gender

merupakan langkah-langkah yang bersifat struktural dan sistematik

untuk merancang model pembangunan yang adil gender.

Pengarusutamaan gender diartikan sebagai suatu strategi untuk

mencapai kesetaraan melalui kebijakan dan program yang

memperhitungkan pengalaman aspirasi, kebutuhan dan

permasalahan perempuan dan laki-laki dalam perencanaan,

pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan

program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Jika

kebijakan pengarusutamaan gender dalam implementasinya berjalan

efektif dan maksimal, maka akan membawa perubahan signifikan

pandangan dunia masyarakat tentang dunia laki-laki dan dunia

perempuan yang dipandangnya secara adil.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) lahir sebagai akibat

dari cara pandang masyarakat tentang peran-peran sosial dan

personal kaum laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial dengan

pola relasi yang timpang. Salah satu upaya untuk meningkatkan

(49)

berbagai cara seperti kampanye, sosialisasi, seminar, atau seminar

atau pelatihan tentang sensitivitas gender dan isu tentang KDRT.

Mengingat peran gender sebagai sebuah kontruk sosial, maka upaya

kulturisasi sistem sosial yang adil gender juga perlu dilakukan.

Dengan melakukan aksi kebudayaan ini sesungguhnya ada upaya

membangkitkan kesadaran sosial baru tentang keadilan gender

sehingga akan lahir kesadaran kolektif tentang cita-cita sebuah

tatanan masyarakat yang adil gender (Ridwan, 2008: 103-106).

Kehidupan keluarga yang penuh harmoni akan sangat

bergantung dari pola relasi di antara anggota keluarga yang setara

dan berkeadilan dengan menghargai posisi dan peran masing-masing

anggota keluarga. Untuk mengetahui pola relasi dalam keluarga

antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dan antara anak

dengan orang tuanya secara setara dan berkeadilan sebagaimana

dikemukakan oleh Ridwan dalam Ridwan (2008: 45), dapat dilihat

pada hal-hal berikut :

a. Seberapa besar partisipasi aktif seluruh anggota keluarga dalam

perumusan dan pengambilan keputusan atau perencanaan maupun

pelaksanaan segala kegiatan keluarga, baik pada wilayah

domestik maupun publik.

b. Seberapa besar manfaat yang diperoleh seluruh anggota keluarga

secara merata dari hasil pelaksanaan berbagai kegiatan baik

(50)

c. Seberapa besar akses dan kontrol seluruh anggota keluarga dalam

berbagai sumberdaya manusia maupun sumber daya alam yang

menjadi asset keluarga, seperti hak waris, hak memperoleh

pendidikan dan pengetahuan, jaminan kesehatan hak-hak

reproduksi dan sebagainya.

Setiap individu yang menjadi bagian dari anggota keluarga

akan memposisikan dirinya dalam mengambil peran-peran

gendernya tidak akan lepas dari konteks ekspektasi-ekspektasi sosial

yang melingkupi kehidupannya. Dengan menggunakan

indikator-indikator tersebut di atas, maka pola relasi keluarga akan mudah

dimengerti apakah pola relasi di antara anggota keluarga sudah

berkeadilan gender atau justru sebaliknya.

Setelah lahirnya UU PKDRT ini, maka semua jenis kekerasan

apapun yang terjadi dalam lingkup rumah tangga akan diproses

sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Dalam posisi ini,

maka kedudukan Undang-undang ini berfungsi sebagai instrumen

untuk mengeliminir lahirnya korban-korban baru dengan model

kekerasan dan pelaku yang sangat beragam.

Berikut ini ketentuan pidana yang diatur dalam UU PKDRT

(51)

Tabel 2

Sanksi Pidana Berupa Kurungan dan Denda yang Diakibatkan berbagai Jenis Kekerasan Berdasarkan UU PKDRT

No. Jenis Kekerasan Pidana

Kurungan Denda

1. Kekerasan Fisik Penjara paling lama 5 tahun

Denda paling banyak 15 juta 2. Kekerasan fisik yang

mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat

Penjara paling lama 10 tahun

Denda paling banyak 30 juta

3. Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban

Penjara paling lama 15 tahun

Denda paling banyak 45 juta

4. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya atau sebaliknya yang mengakibatkan penyakit atau halangan melakukan pekerjaan, jabatan, atau mata pencaharian sehari-hari

Penjara paling lama 4 bulan

Denda paling banyak 5 juta

5. Kekerasan Psikis dalam lingkup rumah tangga

Penjara paling lama 3 tahun

Denda paling banyak 9 juta

6. Kekerasan psikis yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya atau sebaliknya yang mengakibatkan penyakit atau halangan melakukan pekerjaan, jabatan, atau mata pencaharian sehari-hari

Penjara paling lama 4 tahun

Denda paling banyak 3 juta

7. Kekerasan seksual terhadap orang yang

Penjara paling lama 12 tahun

(52)

lingku

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tahap ini, penulis melakukan analisa terhadap kebutuhan sistem, serta menganalisa sistem seperti apa yang dibutuhkan dalam mebangun aplikasi Web Point of

Selain itu dalam penelitian Anwer et al (2012) dengan pemberian ekstrak protein spirulina sebanyak 50 mg/kg berat badan tikus dan 50 µg/kg berat badan tikus

sel kerja (work cell) dengan ukuran lot yang kecil, serta menggunakan kanban untuk produksi, maka tidak ada waktu antri sebelum diproses sehingga sebelum mengatur layout

O: ekspresi wajah tampak tenang ketika obat masuk, tidak ada bengkak dan puss pada luka post operasi.. Nunung 08.05 WIB 1 Memberikan injeksi intravena ketorolac

Hadi, dkk (2016 : 33) Guru memperkenalkan pengalaman sedemikian rupa untuk meningkatkan relevansi atau makna, menggunakan urutan pertanyaan selama atau setelah pengalaman untuk

Pemberdayaan yang dilakukan oleh pekerja sosial di Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Wanita (BPRSW) terhadap klien korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pada hari ini, Rabu tanggal 4 Februari 20L5, saya yang dengan Keputusan Rektor Universitas Negeri Malang Nomor 2.2.55/UN32/KP/20t5 tanggal 2 Februari 20L5, dosen yang

Produk yang dihasilkan dari ternak itik Alabio berupa telur (konsumsi dan tetas) telah ditemukan Salmonella dan Aspergillus, sedang pada pakan jadi dan dedak ditemukan