• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teori 1. Semantik

Penelitian berjudul Makna Konotasi dalam Novel Juminem Dodolan...

Tempe...? dibatasi pada pendekatan semantik. Semantik dalam Bahasa Indonesia (Inggris: semantics) diambil dari Bahasa Yunani yaitu sema (kata benda) yang artinya “tanda” atau “lambang”. Kata kerja dari sema yakni semaino yang artinya “menandai” atau “melambangkan”. Tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik. (Chaer, 2015: 285). (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure dalam Chaer (2013), yaitu terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, berbentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen tersebut merupakan tanda atau lambang; adapun yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim (referen atau yang ditunjuk)

Kata semantik ini kemudian mencapai kesepakatan sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik untuk mempelajari hubungan antara tanda linguistik dengan yang ditandai. Dapat disebut juga, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam Bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diberi pengertian sebagai ilmu yang mempelajari perihal makna atau arti, yaitu salah satu ilmu dari tiga tataran analisis bahasa:

gramatika, fonologi, dan semantik.

Semantik adalah kajian makna kata, frasa, dan kalimat (Yule, 2015: 164).

Dalam analisis semantik selalu ada upaya untuk fokus pada makna konvensional dari sebuah kata, dan bukan pada apa yang dipikirkan oleh penutur atau yang mereka inginkan pada situasi tertentu. Pendekatan ini berkaitan dengan makna objektif atau umum dan menghindari makna

(2)

subjektif atau lokal. Saifullah (2018: 1) menyatakan semantik merupakan studi yang mempelajari makna yang terdapat dalam bahasa manusia.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa semantik merupakan ilmu yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa yang berkaitan dengan makna objektif di masyarakat.

2. Hakikat Makna

Mengulas kembali tentang makna, hakikat makna menurut de Saussure (dalam Chaer 2015: 286) setiap tanda bahasa memiliki dua komponen, yakni komponen signifian atau “yang mengartikan” yang berupa runtunan bunyi, dan komponen signifie atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian). Sehingga Chaer (2015:

287) menyimpulkan bahwa makna merupakan ‘pengertian’ atau ‘konsep’

yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda bahasa. Makna sendiri memiliki jenis-jenis yang perlu diketahui klasifikasinya.Menurut Chaer (2015: 289-296) jenis-jenis makna dibagi ke dalam 6 klasifikasi dengan jumlah 13 jenis, diantaranya: 1) makna leksikal, gramatikal, dan kontekstual;

2) makna referensial dan makna non-referensial; 3) makna denotatif dan makna konotatif; 4) makna konseptual dan makna asosiatif; 5) makna kata dan makna istilah; 6) makna idiom dan peribahasa. Dengan begitu, maka makna dapat didefinisikan sebagai pengertian atau penjabaran dari sebuah tanda linguistik.

a. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual 1) Leksikal

Makna leksikal merupakan makna yang terdapat pada suatu leksem tanpa konteks. Chaer berpendapat bahwa makna leksikal ialah makna yang terdapat dalam kamus. Akan tetapi penting diketahui bahwa kamus tidak dijadikan dasar, akan tetapi kamus juga memuat makna lain selain makna leksikal, seperti makna kias dan makna-makna yang dibentuk secara metaforis.

(3)

8

2) Gramatikal

Berbeda dengan makna leksikal, Chaer (2015: 290) berpendapat bahwa gramatikal ada karena proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi.

3) Konstektual

Makna konstektual merupakan makna pada leksem atau kata yang terdapat dalam satu konteks. Makna konteks dapat sesuai dengan keadaan atau situasi, yakni tempat, waktu, dan lingkungan digunakannya bahasa tersebut.

b. Makna Referensial dan Nonreferensial 1) Referensial

Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial bila ada referensi atau acuan.

2) Non-Referensial

Kata-kata nonreferensial adalah kata-kata tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu tidak memiliki acuan.

c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif 1) Denotatif

Makna denotatif merupakan makna asal, asli, atau makna yang sebernarnya dari sebuah leksem. Jadi, makna denotatif dapat dianggap sama dengan mekna leksikal.

2) Konotatif

Makna konotatif merupakan makna lain yang ‘ditambahkan’ pada makna denotatif tadi. Makna konotatif tersebut harus berhubungan dengan rasa dari seorang atau kelompok yang menggunakan kata itu.

d. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif 1) Konseptual

Makna konseptual merupakan makna asli yang dimiliki dari sebuah leksem tanpa konteks tau asosiasi apapun. Jadi, makna konseptual sebenarnya sama dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.

(4)

2) Asosiatif

Makna asosiatif ialah makna dari sebuah leksem dengan syarat memiliki hubungan dengan sesuatu di luar bahasa. Makna ini sesungguhnya sama dengan lambang yang digunakan dalam sebuah masyarakat untun menyatakan konsep tertentu.

e. Makna Kata dan Makna Istilah menurut Chaer (2015: 294) 1) Kata

Makna dalam sebuah kata adalah makna leksikal, denotatif, atau konseptual. Makna kata dalam penggunaannya dapat menjadi jelas apabila kata tersebut berada dalam konteks kalimat atau situasi. Hal ini dapat mengatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas.

2) Istilah

Istilah mempunyai makna yang tidak meragukan, jelas, dan pasti, meskipun tanpa memiliki atau dibarengi konteks kalimat. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.

f. Makna Idiom dan Makna Peribahasa 1) Idiom

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan”

dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal.

2) Peribahasa

Peribahana merupakan ungkapan yang memiliki makna yang masih dapat dicari atau ditelusuri dari makna unsurnya karena masih terkait dengan “asosiasi” atntara makna asli dengan makna ketika sebagai peribahasa.

3. Hakikat Makna Konotasi

Makna konotasi adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna denotatif yang memiliki hubungan dengan rasa dari seorang atau kelompok

(5)

10

orang yang menggunakan kata tersebut (Chaer, 2015: 292). Makna konotasi dalam bahasa Jawa dinyatakan oleh Sasangka (2018: 2018) bahwa:

“makna kootatif nuduhake menawa surasaning tembung utawa surasane frasa iku ora kaya kang ana ing tembung utawa frasa kasebut, annging ana teges liya utawa surasa liya kang melu nempel ing tembung utawa ing frasa iku.”

Sedangkan Aminuddin (2016: 88) mengatakan bahwa makna konotatif adalah makna dasar sebuah kata yang telah mengalami penambahan. Menurut Saifullah (2018: 71) konotasi merupakan makna yang diciptakan atas pengetahuan ensiklopedia yang sumbernya berasal dari makna denotasi dan diambil dari pengalaman, keyakinan, dan praanggapan mengenai konteks saat terjadi ekspresi ketika berbahasa. Ditambahkan oleh Wijana (2019: 26) bahwa makna konotatif merupakan makna emotif yang dapat diciptakan dari sebuah kata.

Kelsch & Kelsch menjelaskan bahwa konotasi adalah sebuah pancaran impresi yang tidak dapat dirasakan maupun dinyatakan dengan jelas.

Konotasi juga berarti apapun yang dipikirkan oleh kita belum tentu sesuai dengan makna yang sebenarnya.. ditunjukkan contoh kata langsing dan kurus kembali. Makna pusat dari kata tersebut merujuk pada manusia, yaitu mengacu pada seseorang yang memiliki berat badan kurang. Akan tetapi konotasinya berbeda. Menjadi orang yang langsing merupakan sebuah impian atau idaman bagi orang-orang di masyarakat; sedangkan menjadi tidaklah diinginkan, karena pernyataan tersebut mengandung konotasi negatif, kurang dapat mengurus badan, maupun tubuh yang kekurangan gizi (Tarigan, 2015:

52). Warriner (et al) mendefinisikan konotasi menjadi kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi (pada umumnya memiliki sifat emosional) yang dibangkitkan oleh sebuah kata selain dari makna dalam kamus atau definisi utamanya (Tarigan, 2015: 52).

(6)

4. Jenis-jenis Makna Konotasi

Chaer (2015: 292) membagi makna konotasi menjadi tiga jenis, di antaranya:

a. Makna konotasi positif

Makna konotasi positif merupakan kata yang apabila didengarkan menimbulkan rasa atau perasaan yang mengenakkan. Seperti kata ramping akan lebih enak didengar daripada kata kurus.

b. Makna konotasi negatif

Makna konotasi negatif merupakan kata yang apabila didengarkan menimbulkan rasa atau perasaan yang tidak enak. Misalnya, kata babi sebenarnya memiliki rasa netral akan tetapi pada orang yang beragama Islam memiliki konotasi negatif atau rasa tidak enak jika mendengar kata tersebut.

c. Makna konotasi netral

Makna konotasi netral merupakan kata yang apabila didengarkan tidak menimbulkan rasa atau perasaan mengenakkan dan tidak juga menyakiti perasaan. Kata kurus pada contoh konotasi positif sebenarnya memiliki konotasi netral untung menggambarkan fisik seseorang, karena tidaklah menyakiti hati apabila dituturkan.

5. Dampak Penggunaan Konotasi

Saifullah (2018: 73) menyatakan bahwa dampak dari penggunaan konotasi dapat mengakibatkan disfemisme ataupun eufimisme. Allan berasumsi bahwa:

“Eufemisme dan disfemisme mengakibatkan adanya perubahan makna bahasa dengan menjadikan ekpresi lama memiliki makna yang baru.

Selain itu, Allan juga menyatakan terdapat 12 sumber yang menyebabkan terbentuknya eufemisme dan disfemisme. 12 sumber tersebut diantaranya pemodelan baru, kemiripan fonetik, akronim, abreviasi, permainan verbal, sirkum lokusi, hiperbola, pernyataan tersembunyi, metonimi, substitusi, sinekdoke, dan kata pinjaman” (Saifullah, 2018: 78).

Disfemisme ialah perubahan makna sebenarnya dari kata terdahulu menjadi bermakna lebih buruk, contohnya kata kotor yang ditabukan. Ada beberapa macam disfemisme di antaranya a) membandingkan manusia dengan hewan; b) menjuluki bagian tubuh manusia tertentu; c) memberikan anggapan mengenai cacat mental; d) penyebutan dengan membedakan suku, ras, jenis

(7)

12

kelamin, umur, dan sebagainya (Saifullah, 2018: 77). Sedangkan eufemisme adalah kata perubahan makna kata dari yang sebelumnya buruk menjadi bermakna lebih baik.

6. Hakikat Bahan Ajar a. Hakikat

Bahan ajar merupakan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang wajib diberikan dari guru kepada peserta didik dan harus dipelajari oleh peserta didik (Gafur dalam Febriana, 2019: 124). Menurut Mulyasa bahan ajar adalah sesuatu yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai sumber belajar dengan syarat memiliki pesan pembelajaran (Febriana, 2019: 124), Dengan kata lain, bahan ajar adalah segala bentuk bahan baik dengan disajikan secara tertulis maupun tidak tertulis yang dapat digunakan guru untuk melaksanakan proses belajar mengajar dalam kelas (Febriana, 2019:

124).

Majid menyatakan bahan ajar merupakan segala bentuk bahan yang digunakan guru untuk membantu pelaksanaan dalam proses pembelajaran. Bahan ajar juga dimaknai dengan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru/pengajar dalam merencanakan dan mengimplementasikan pembelajaran (2013: 173). Pranowo (2015: 239) menyatakan bahwa secara garis besar bahan ajar atau materi ajar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari pembelajar.

Dengan begitu dapat ditarik kesimpulan bahwa bahan ajar adalah bahan yang digunakan oleh guru untuk membantu proses belajar mengajar menjadi lebih efektif dan tepat sasaran.

b. Syarat-syarat Bahan Ajar

Menurut Mulyasa dalam Febriana (2019: 125), bahan ajar yang baik harus memenuhi komponen utama, diantaranya: tinjauan materi, pendahuluan setiap bab, penyajian setiap bab, penutup setiap bab, daftar pustaka, dan senarai. Komponen-komponen tersebut harus berintegrasi satu sama lain dengan sub-sub komponen strategi pembelajaran yang lazim digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran. Selain harus memenuhi

(8)

komponen utama, bahan ajar dapat disebut sebagai bahan ajar yang baik pada umumnya dilengkapi ilustrasi. Ilustrasi sangat penting diletakkan dalam bahan ajar. Penggunaan ilustrasi dalam bahan ajar dapat memperjelas ide, konsep, gagasan, dan pesan yang disampaikan dalam bahan ajar. Selain itu, penempatan tata letak ilustrasi yang menarik dalam sebuah bahan ajar dapat menjadikan bahan ajar menarik untuk dipelajari.. Selanjutnya, bahan ajar yang baik harus menggunakan bahasa yang efektif dan mudah dipahami. Dengan menggunakan bahasa yang efektif dapat menyampaikan ide, konsep, dan pesan dalam bahan ajar kepada pembaca dengan baik. Hal tersebut dengan tujuan agar menghindari salah penafsiran atau pemahaman.

Febriana (2019: 127), menuliskan bahwa dalam penyusunan bahan ajar, perlu diperhatikan prinsip-prinsip pemilihan materi pembelajaran berikut ini:

1) Prinsip relevansi maksudnya adalah adanya keterkaitan, materi ajar sebaiknya memiliki keterkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Contohnya, apabila kompetensi yang dituju atau dikuasai siswa adalah menghafal fakta, maka materi ajar yang diberikan harus berupa fakta atau bahan hafalan.

2) Prinsip konsistensi maksudnya adalah keajegan atau konsisten.

Apabila siswa harus empat macam kompetensi dasar maka bahan ajar yang harus diberikan juga ada empat macam.

Contohnya, kompetensi dasar yang siswa harus mengasai adalah mengartikan kata sulit dalam wacana, maka materi yang diajarkan juga harus langkah-langkah mengartikan kata sulit dalam wacana tersebut.

3) Prinsip kecukupan maksudnya adalah materi yang diberikan kepada siswa sebaiknya memadai agar dapat membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diberikan. Materi yang diberikan tidak boleh terlalu sedikit, hal tersebut menyebabkan siswa kurang terbantu untuk mencapai standar kompetensi serta tidak diperkenankan terlalu banyak supaya tidak membuang tenaga, pikiran, dan waktu.

c. Jenis-Jenis Bahan Ajar

Jenis bahan ajar diklasifikasikan oleh Majid (2013: 174) menjadi empat macam, di antaranya:

1) Bahan cetak (printed) antara lain buku foto/ gambar, handout, modul, brosur, lembar kerja siswa, wallchart, leaflet, model/ maket.

(9)

14

2) Bahan ajar dengar (audio) seperti compact disk audio. kaset, piringan hitam, dan radio.

3) Bahan ajar pandang dengar (audio visual) seperti film, dan video compact disk.

4) Bahan ajar interaktif (interactive teaching material) seperti compact disk interaktif.

B. Kerangka Berpikir

Penelitian ini akan difokuskan pada analisis novel dengan kajian semantik.

Analisis diawali dengan membaca novel Juminem Dodolan… Tempe… ? untuk mengetahui garis besar isi novel. Kemudian baru dianalisis menggunakan kajian semantik makna konotatif. Setelah itu barulah direlevansikan sebagai bahan ajar di sekolah menengah atas.

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Novel Juminem Dodolan… Tempe…?

Pendekatan Semantik

Makna konotatif dalam novel

Dampak penggunaan makna konotatif

Relevansi Bahan Ajar Bahasa Jawa SMA Kelas XI

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir  Novel Juminem Dodolan… Tempe…?

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memperoleh waktu baku ( standar time ) untuk penyelesaian suatu operasi kerja, maka waktu normal harus ditambah dengan

This international seminar on Language Maintenance and Shift V (LAMAS V for short) is a continuation of the previous LAMAS seminars conducted annually by the

Keempat, Fuad prasetyo (2015) yang berjudul “Analisis Portofolio Optimal Model Indeks Tunggal Dengan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA)” Studi kasus Saham Jakarta

Hasil uji sebaran partikel pigmen warna dari tinta cetak pasaran Karakteristik dari sebaran partikel yang digunakan pada penelitian ini, berdasarkan pada sebaran partikel dalam

<> <asa_> [003.119] [E0] ha, sizler öyle kimselersinizdir ki onları seversiniz onlar ise bütün kitaba iman ettiğiniz halde sizi sevmezler, hem yüzünüze geldiler

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Kereta pakuan memiliki spesifikasi yang cukup jauh berbeda dengan kereta ekonomi, dan merupakan Kereta Listrik (KRL) ekspres pertama yang menggunakan pendingin udara, sehingga

Rataan akurasi antara klasifikasi dengan menggunakan seleksi fitur dan tanpa menggunakan seleksi fitur (fullsets) untuk setiap nilai threshold yang berbeda dapat dilihat pada