• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PENAWARAN TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PENAWARAN TAHUN"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

DE FAKUL

IN

D

EPARTE LTAS EK NSTITUT

OLEH DWI WAH

H14114

EMEN ILM KONOMI

T PERTA 2011

H HYUNI

005

MU EKO DAN MA ANIAN BO

1

ONOMI ANAJEM OGOR

MEN

(2)

RINGKASAN

DWI WAHYUNI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia dari Sisi Penawaran Tahun 1998-2010 (dibimbing oleh Lukytawati Anggraeni)

Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sebagian penelitian yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia melihat dari sisi permintaan atau demand pull inflation (Mardianti, 2006; Devi, 2006). Untuk penelitian yang melihat dari sisi penawaran atau cost push inflation di Indonesia telah dilakukan oleh Permana (2006) dan Babussalam (2004). Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan perkembangan inflasi di Indonesia dari tahun 1998-2010 dan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi laju inflasi di Indonesia dari sisi penawaran agregat.

Pada penelitian ini untuk melihat perkembangan inflasi di Indonesia akan digunakan analisis deskriptif sedangkan analisis ekonometrika digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia dari sisi penawaran. Analisisi ekonometrika dengan menggunakan data time series akan dianalisis dengan metode Vector Error Correction Model (VECM) karena data yang digunakan bersifat stasioner di first differencing dan terkointegrasi.

Pemanfaatan VAR/VECM menggunakan uji kausalitas Granger Causality, analisis Impulse Response Functions (IRF) dan analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVDs). Berdasarkan hasil uji kausalitas dapat dilihat bahwa yang menyebabkan inflasi adalah variabel nilai tukar rupiah. Berdasarkan analisis IRF dapat dilihat bahwa ada tiga variabel yang jika terjadi guncangan atau shock maka respon inflasi bersifat positif yaitu variabel inflasi itu sendiri, kurs dan indeks harga komoditi pangan dunia. Respon inflasi bersifat negatif yaitu saat terjadi guncangan pada variabel harga minyak dunia, expected inflation dan upah riil.

Berdasarkan hasil dekomposisi varian, dapat disimpulkan bahwa pada bulan pertama, variabilitas laju inflasi disebabkan oleh guncangan inflasi itu sendiri yakni sebesar 100 persen. Namun, mulai bulan kedua tampak variabel-variabel lain mulai mempengaruhi variabilitas laju inflasi. Pada tahun pertama peranan laju inflasi dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi itu sendiri masih dominan. Dalam jangka panjang dapat dilihat bahwa variabilitas inflasi paling dominan dijelaskan oleh variabel expected inflation, kemudian inflasi itu sendiri, kurs, indeks harga komoditi pangan, harga minyak dunia dan upah riil.

 

   

(3)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PENAWARAN

TAHUN 1998-2010

Oleh DWI WAHYUNI

H14114005

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(4)

Judul skripsi : ANALISIS FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PENAWARAN

TAHUN 1998-2010

Nama : Dwi Wahyuni

NRP : H14114005

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Lukytawati Anggraeni, Ph.D NIP. 19771213 200501 2 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003

Tanggal lulus:

(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, November 2011

Dwi Wahyuni H14114005

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Dwi Wahyuni lahir pada tanggal 20 Desember 1980 di Semarang. Penulis anak kedua dari dua bersaudara pasangan (Alm) Djoko Soewardjo dan Sri Tinah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Petompon 3-4 Semarang, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 5 Semarang dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 3 Semarang dan lulus pada tahun 1999. Setelah tamat SMA, pada tahun 1999, penulis melanjutkan pndidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dan lulus pada tahun 2003 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.St).

Setelah menamatkan pendidikan di STIS, penulis bekerja pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Timur di Bidang Integrasi Pengolahan Dan Diseminasi Data (IPDS) selama 4 tahun. Pada tahun 2007, penulis dipindah tugaskan ke BPS Provinsi DKI Jakarta di bidang IPDS.

Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerja sama antara BPS dengan IPB. Sesuai dengan aturan yang ada, penulis harus mengikuti proses alih jenis dan menyusun skripsi pada akhir proses tersebut sebagai syarat memasuki jenjang strata dua (S-2) pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Untuk itulah, penulis menyusun skripsi ini.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia dari Sisi Penawaran Tahun 1998-2010” tepat pada waktunya. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir dan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moral-spiritual dan material kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada:

1. Lukytawati Anggraeni, selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

2. Tanti Novianti, M.Si dan Ranti Wiliasih, M.Si, selaku penguji skripsi yang telah memberikan saran dan kritik yang membangun.

3. Rekan-rekan BPS Batch 4 yang telah memberikan banyak saran dan masukan untuk perbaikan skripsi.

4. Keluarga besar di Semarang, Solo dan Blitar serta Suami dan kedua anakku, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan.

5. Semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena terbatasnya kemampuan dan waktu penyelesaian. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan guna perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, November 2011

Dwi Wahyuni H14114005

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 8

2.1. Kerangka Teori ... 8

2.1.1. Inflasi ... 8

2.1.2. Teori Inflasi ... 9

2.1.3. Sumber Inflasi ... 12

2.1.3.1. Hubungan Harga Komoditi Pangan dan Inflasi ... 16

2.1.3.2. Hubungan antara Harga Minyak Dunia dan Inflasi ... 18

2.1.3.3. Hubungan antara Upah Buruh dan Inflasi ... 18

2.1.3.4. Hubungan antara Expected Inflation dan Inflasi ... 19

2.1.3.5. Hubungan antara Nilai Tukar Rupiah (Exchange Rate) dan Inflasi ... 20

2.1.4. Penghitungan Inflasi di Indonesia ... 20

2.2. Tinjauan Studi Terdahulu ... 23

2.3. Kerangka Pemikiran Operasional ... 26

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 28

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 28

3.2. Metode Analisis ... 29

3.2.1. Analisis Deskriptif ... 29

3.2.2. Analisis Ekonometrika ... 30

(9)

3.2.2.1. Uji Stasionaritas ... 30

3.2.2.2. Pemeriksaan Lag Optimal ... 35

3.2.2.3. Uji Kointegrasi ... 37

3.2.2.4. Metode Vector Auto Regressive (VAR) ... 39

3.2.2.5. Metode Vector Error Correction Model (VECM) ... 41

3.2.2.6. Pemanfaatan Sistem VAR dan VECM ... 42

IV. GAMBARAN PEREKONOMIAN INDONESIA ... 45

4.1. Perkembangan Laju Inflasi ... 45

4.2. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (Exchange Rate) di Indonesia ... 48

4.3. Perkembangan Upah Buruh di Indonesia ... 53

4.4. Perkembangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan Hubungannya dengan Komoditi Pangan Indonesia ... 55

4.5. Perkembangan Harga Minyak Dunia ... 58

V. HASIL DAN PEMBAHASAN MODEL ... 60

5.1. Uji Stasioneritas ... 60

5.2. Uji Lag Optimal ... 62

5.3. Pengujian Stabilitas VAR ... 62

5.4. Analisis Kointegrasi ... 63

5.5. Analisis Kausalitas dengan Granger Causality ... 65

5.6. Analisis Impulse Response Functions (IRF) ... 67

5.6.1. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi ... 67

5.6.2. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Expected Inflation ... 68

5.6.3. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Kurs ... 69

5.6.4. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia ... 71

5.6.5. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia ... 72

5.6.6. Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Upah Buruh di Indonesia ... 73

5.7. Analisis Forecast Error Decomposition of Variance (FEDVs) ... 74

(10)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

6.1. Kesimpulan ... 78

6.2. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 81

LAMPIRAN ... 84

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Faktor-faktor Yang

Mempengaruhi Inflasi ... 24

3.1. Variabel, Data yang Digunakan dan Sumbernya ... 28

5.1. Hasil Uji Root Test Tingkat Level ... 60

5.2. Hasil Uji Root Test Tingkat First Differencing ... 61

5.3. Hasil Uji Stabilitas VAR ... 63

5.4. Hasil Uji Kointegrasi ... 64

5.5. Hasil Uji Kausalitas dengan Granger Causality Test ... 66

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu 1998 – 2010 ... 2

1.2 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu 2005 – 2010 ... 3

2.1 Demand Pull Inflation ... 13

2.2 Cost Push Inflation ... 16

2.3 Skema Kerangka Pemikiran ... 27

4.1 Laju Inflasi Tahunan di Indonesia Tahun 1998-2010 ... 45

4.2 Laju Inflasi Bulanan Indonesia Tahun 1998-2010 ... 46

4.3 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Berdasarkan Sistem Nilai Tukar yang Diterapkan ... 49

4.4 Laju Nilai Tukar Rupiah Bulanan Indonesia Tahun 1998-2010 ... 50

4.5 Upah Buruh Riil Indonesia Tahun 1998-2010 ... 54

4.6 Perbandingan IHK dan Indeks Upah Riil Buruh ... 55

4.7 Indeks Harga Komoditi PanganDunia Tahun 1998-2010 ... 56

4.8 Perbandingan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan Indeks Harga Konsumen (IHK) Bahan Makanan di Indonesia Tahun 1998-2010 ... 57

4.9 Perbandingan Inflasi Bahan Makanan dan Inflasi Umum Tahun 1998-2010 ... 58

4.10 Harga Minyak Dunia Bulanan Tahun 1998-2010 ... 59

5.1 Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi ... 68

5.2 Respon Inflasi terhadap Guncangan Expected Inflation ... 69

5.3 Respon Inflasi terhadap Guncangan Kurs ... 70

5.4 Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia ... 71

5.5 Respon Inflasi terhadap Guncangan Indeks Harga Komoditi Pangan .... 73

5.6 Respon Inflasi terhadap Guncangan Upah Buruh ... 74

5.7 Hasil Forecast Error Variance Decompositions (FEVDs) ... 76

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Uji Root Test Level ... 84

2 Uji Root Test First Differencing ... 88

3 Uji Stabilitas VAR ... 92

4 Uji Cointegration Test Summary ... 93

5 Uji Kointegrasi ... 94

6 Run VECM Model 2 Lag 2 Cointegration 2 ... 100

7 Impulse Response Functions ... 103

8 Uji Granger Causality ... 104

9 Uji FEVDs ... 105

(14)

1.1 Latar Belakang

Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pengendalian inflasi penting untuk dilakukan karena didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat1. Dampak negatif tersebut:

Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang terutama orang miskin akan bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan.

Studi empiris Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan       

1 Bank Indonesia Official Website. 

http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Pengenalan+Inflasi/pentingnya.htm, 

“Pentingnya kestabilan Inflasi”. 

 

(15)

tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

Inflasi di Indonesia pernah mencapai titik yang tertinggi yaitu pada pertengahan dasawarsa 1960-an dimana terjadi hyper inflasi yang melanda perekonomian nasional dengan laju inflasi mencapai 650 persen. Hal tersebut terutama disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang kemudian dibiayai Bank Indonesia dalam bentuk pencetakan uang. Laju inflasi Indonesia selama tahun 1998-2010 menunjukkan adanya fluktuasi yang bervariasi dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh faktor yang berbeda. Pada periode awal 1998, tingkat inflasi tinggi sebesar 77,63 persen, tingkat inflasi yang tinggi ini karena dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Selama tahun 1999-2000, tingkat inflasi Indonesia mengalami penurunan dan penurunan yang tertinggi terjadi pada bulan Januari 2000 yaitu sebesar -9,30 persen (BPS, 2000).

 

77.63

2.01 9.35 12.55 10.03 5.06 6.4017.11

6.60 6.59 11.06 2.78 6.96

0 20 40 60 80 100

PERSEN

TAHUN

Inflasi

Sumber : BPS, diolah

Gambar 1.1 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu 1998 – 2010

Krisis energi dunia yang ditandai dengan naiknya harga minyak dunia menjadi sebuah krisis energi untuk Indonesia. Dimulai tahun 2005 dimana akibat

(16)

kenaikan harga minyak dunia membuat pemerintah Indonesia menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan kenaikan harga secara umum.

Laju inflasi selama periode 2005-2010 dapat dilihat pada Gambar 1.2. Tingkat inflasi tertinggi terjadi saat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yaitu tahun 2005 dan tahun 2008. Pada tahun 2005 kenaikan harga BBM mencapai 126 persen dengan menetapkan harga minyak tanah sebesar Rp 2.500 per liter. Harga bensin premium naik menjadi Rp 6.000 per liter dan minyak solar sebesar Rp 5.500 per liter. Pada tahun 2008 harga BBM jenis premium menjadi Rp 6.000 per liter, solar menjadi Rp 5.500 per liter dan minyak tanah menjadi Rp 2.500 per liter. Laju inflasi pada saat pemerintah menaikkan harga BBM pada tahun 2005 mencapai 17,11 persen sedangkan untuk tahun 2008 laju inflasi mencapai 11,06% (BPS, Pertamina, 2005-2008)

17.11

6.60 6.59

11.06

2.78

6.96

0 5 10 15 20

2005 2006 2007 2008 2009 2010

PERSEN

TAHUN Inflasi

  Sumber : BPS, diolah

Gambar 1.2 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu 2005 – 2010

World Bank dalam publikasinya menyebutkan bahwa kenaikan harga pangan dunia telah menyebabkan terjadinya krisis pangan yang semakin

(17)

mengkhawatirkan2. Krisis pangan yang melanda dunia dimulai tahun 2007-2008 di mana berawal dari gagalnya panen yang terjadi di Cina dan Rusia akibat terjadinya bencana banjir dan gelombang panas. Gagalnya panen gandum di Rusia mengakibatkan harga komoditi tersebut naik dan dampaknya secara global akan menaikkan harga pangan dunia. Pada tahun 2008, di beberapa negara seperti Afghanistan, Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh dan Nepal telah terbukti bahwa kenaikan harga pangan mempunyai dampak yang besar terhadap tingkat inflasi.

Kenaikan harga pangan dunia ini akan berdampak langsung bagi kondisi pangan Indonesia karena tingkat ketergantungan masyarakat masih tinggi khususnya impor bahan pangan. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan bahan pangan akan menjadi beban berat bagi rakyat khususnya warga miskin. Hal ini disebabkan pengeluaran maupun kemampuan daya beli keluarga miskin terhadap pangan menempati persentase yang sangat besar dari total pengeluaran keluarga.

Identifikasi penyebab inflasi dari sisi supply (penawaran) atau cost push inflation belum banyak dilakukan. Sebagian penelitian yang menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia melihat dari sisi permintaan atau demand pull inflation (Mardianti, 2006; Devi, 2006). Untuk penelitian yang melihat dari sisi penawaran atau cost push inflation di Indonesia telah dilakukan oleh Permana (2006) dan Babussalam (2004). Di kedua penelitian tersebut ada hasil yang pro kontra dimana menurut Permana, harga BBM dan harga beras tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi sedangkan menurut Babussalam kenaikan harga BBM itu berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia. Studi       

2 Website World Bank.http://siteresources.worldbank.org/INTURBANDEVELOPMENT/ 

(18)

Permana menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah dan ekspektasi adaptif yang berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi dalam kurun waktu 1998-2003.

1.2 Perumusan Masalah

Dari sisi penawaran, faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi adalah guncangan penawaran yang bersifat negatif dan kenaikan biaya produksi.

Guncangan penawaran yang bersifat negatif ini terjadi akibat bencana alam dan terganggunya distribusi dalam komoditi pangan domestik. Akibat terjadinya gagal panen dan adanya distribusi komoditi pangan yang tidak merata menyebabkan kenaikan harga komoditi pangan domestik.

Kenaikan biaya produksi diwakili oleh adanya harga BBM, upah gaji dan exchange rate karena berhubungan dengan harga dari bahan baku produksi yang diimpor dari luar negeri. Krisis energi yang terjadi di Indonesia sebagai dampak dari krisis energi dunia membuat harga bahan bakar minyak (BBM) mengalami kenaikan. BBM yang merupakan salah satu input dalam proses produksi dan kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi dan dampaknya akan menyebabkan produsen menaikkan harga jual produknya di pasaran. Kenaikan harga produk di masyarakat cenderung akan mendorong terjadinya inflasi.

Nilai tukar rupiah atau exchange rate yang selalu berfluktuatif berpengaruh terhadap biaya produksi karena dengan naiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar membuat bahan baku yang diimpor dari negara lain menjadi lebih mahal dan membuat biaya produksi menjadi mahal dan akhirnya mendorong produsen untuk menaikkan harga jual di masyarakat. Keberadaan serikat pekerja yang selalu

(19)

mendorong adanya kenaikan upah yang lebih tinggi sebagai tuntutan dari biaya hidup yang semakin mahal disatu sisi akan membuat biaya produksi naik dan sekali lagi akan membuat kenaikan harga jual produk di masyarakat.

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan diatas maka dalam penelitian ini akan dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inflasi di Indonesia dari sisi supply atau cost push inflation. Data yang digunakan merupakan data inflasi secara bulanan dari tahun 1998 – 2010.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menggambarkan perkembangan inflasi di Indonesia dari tahun 1998-2010.

2. Untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dan menjelaskan variabilitas inflasi di Indonesia dari sisi penawaran agregat.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain:

1. Bagi pemerintah atau instansi terkait, penelitian ini bermanfaat untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dari sisi penawaran sehingga dapat diambil kebijakan yang tepat untuk pengendalian laju inflasi.

2. Bagi akademisi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pada penelitian lainnya yang ingin menganalisis tentang inflasi.

(20)

3. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang inflasi yang terjadi di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya terutama dari sisi penawaran agregat.

(21)

2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Inflasi

Mankiw (2007) menyebutkan bahwa inflasi adalah seluruh kenaikan dalam harga. Badan Pusat Statistik (2005) mendefinisikan inflasi sebagai angka gabungan dari perubahan harga dari sekelompok barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dan dianggap mewakili seluruh barang dan jasa yang dijual di pasar.

Khalwaty (2000) menyatakan bahwa inflasi adalah suatu keadaan yang mengindikasikan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara.

Bank Indonesia , inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.

Inflasi merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang dapat diartikan sebagai gejala kenaikan harga barang dan jasa masyarakat yang bersifat umum dan terus menerus. Secara teori, pada dasarnya inflasi berkaitan dengan fenomena interaksi antara permintaan dan penawaran. Namun, pada kenyataannya inflasi tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lainnya seperti tata niaga dan kelancaran dalam lalu lintas barang dan jasa serta peranan kebijakan pemerintah.

(22)

2.1.2 Teori Inflasi

Cavanese dalam Atmadja (1999) menyebutkan bahwa terdapat berbagai macam teori yang berusaha menjelaskan inflasi dari berbagai sudut pandang.

Teori tersebut adalah Teori Kuantitas, Keynesian Model, Mark-up Model dan Teori Struktural. Teori Kuantitas adalah teori yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut :

1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik uang kartal maupun giral.

2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang.

Teori Keynesian Model, dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap.

Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk

(23)

mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek.

Mark-up Model, teori ini mendasarkan pemikiran bahwa model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin.

Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau kenaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.

Teori Struktural, merupakan inflasi yang terjadi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, guncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Structural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :

1. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode

(24)

dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.

2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang- barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.

3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money).

Adanya structural bottlenecks ini, dapat memperburuk inflasi di negara berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di negara- negara yang sedang berkembang sering menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist menekankan pada struktur sektor

(25)

keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist ini adalah pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi.

Berdasarkan pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu faktor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) menjadi murah, maka volume investasi akan meningkat dan juga meningkatkan volume produksi sehingga penawaran barang meningkat, yang pada akhirnya menekan tingkat inflasi. Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan, penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh harga barang-barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor.

2.1.3 Sumber Inflasi

Di dalam teori kuantitas, dijelaskan bahwa sumber utama terjadinya inflasi adalah karena adanya kelebihan permintaan (demand) sehingga uang yang beredar di masyarakat bertambah banyak. Dalam teori ini sumber inflasi dibedakan menjadi dua yaitu teori demand pull inflation dan cost push inflation. Selain menggunakan pendekatan teori kuantitas dalam menganalisis sumber-sumber penyebab inflasi, juga digunakan pendekatan struktur ekonomi, pendekatan moneter dan pendekatan akuntansi seperti dijelaskan oleh Khalwaty (2000) di bawah ini:

(26)

a. Demand pull inflation

Demand pull inflation terjadi karena adanya kenaikan permintaan secara agregat, dimana kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh (full employment). Kenaikan permintaan total (agregate demand) selain dapat menaikkan harga-harga juga dapat meningkatkan produksi. Jika kondisi produksi telah berada pada kesempatan penuh, maka kenaikan permintaan tidak lagi mendorong kenaikan produksi (output) tetapi hanya mendorong kenaikan harga-harga yang biasa disebut sebagai Indeks Murni (pure inflation). Mishkin (2009) menyebutkan inflasi yang disebabkan demand pull inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.1 di bawah ini:

  Sumber : Mishkin, 2009.

Gambar 2.1 Demand Pull Inflation b. Cost push inflation

Cost push inflation terjadi pada kondisi tingkat penawaran lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat permintaan. Hal ini disebabkan oleh adanya

(27)

kenaikan harga faktor produksi sehingga produsen terpaksa mengurangi produksinya sampai pada jumlah tertentu. Penawaran total (supply agregat) terus menurun karena semakin mahalnya biaya produksi. Apabila keadaan tersebut berlangsung cukup lama, maka terjadilah inflasi yang disertai dengan resesi. Kenaikan biaya produksi yang menimbulkan cost push inflation didorong oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1. Adanya tuntutan kenaikan upah dari para pekerja yang biasa dikoordinir oleh organisasi serikat buruh.

2. Adanya industri yang monopolis, yang memberikan kekuatan kepada produsen untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan harga lebih tinggi.

3. Kenaikan bahan baku industri.

4. Pemerintah terlalu berambisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dalam jumlah yang besar yang seharusnya dapat diserahkan kepada pihak swasta.

5. Adanya kebijakan pemerintah, baik yang bersifat ekonomi maupun non ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga-harga, seperti kenaikan tarif angkutan umum dan kenaikan tarif listrik, kenaikan gaji pegawai negeri dan kenaikan anggaran belanja negara yang dibiayai dengan pencetakan uang baru (money creation).

6. Pengaruh alam yang dapat menurunkan produksi dan menaikkan harga seperti musim kemarau panjang yang mengakibatkan gagalnya panen.

(28)

7. Pengaruh inflasi dari luar negeri, terutama bagi negara-negara yang menganut sistem ekonomi terbuka atau pasar bebas.

Sedangkan menurut Lipsey (1995) menyatakan bahwa cost push inflation dapat disebabkan oleh:

1. Wage Cost Push Inflation

Teori inflasi yang menekankan dorongan biaya upah menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi.

2. Price Push Inflation

Teori inflasi yang menekankan price push atau juga dikenal dengan istilah administered price theory of inflation, memiliki persamaan dengan teori inflasi yang menekankan dorongan biaya upah. Teori tersebut menyatakan bahwa para penjual memiliki kekuatan monopoli, dan mereka ingin sekali menaikkan harga, tapi karena mereka takut terjadnya antitrust dari pihak pemerintah maka mereka menggunakan kenaikan dalam biaya produksi dapat dijadikan alasan yang diperlukan untuk membenarkan adanya kenaikan harga.

3. Import Cost Push Inflation

Inflasi karena dorongan biaya impor, berupa suatu kenaikan dalam tingkat harga suatu negara yang disebabkan adanya suatu kenaikan dalam harga-harga barang impor penting.

4. Structural Rigidity Inflation

Menekankan kekakuan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain

(29)

dan adalah mudah untuk menaikkan upah berupa uang dan harga-harga daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektor- sektor yang berkontraksi potensial. Sehingga proses penyesuaian upah dan harga-harga di dalam sebuah perekonomian dengan adanya kekakuan struktural menyebabkan munculnya inflasi.

Mishkin (2009) menyebutkan inflasi yang disebabkan cost push inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.2 di bawah ini:

  Sumber : Mishkin, 2009.

Gambar 2.2 Cost Push Inflation 2.1.3.1 Hubungan Harga Komoditi Pangan dan Inflasi

Kenaikan komoditas di belahan dunia merupakan fenomena unik bagi sebagian orang, yang melihat kaitannya dengan perkembangan makro ekonomi dan hubungannya dengan tingkat inflasi. Disadari atau tidak, inflasi bahan pangan secara logika dasar makro ekonomi, dapat menyebabkan peningkatan inflasi,

(30)

sedangkan inflasi sangat erat kaitannya dengan besaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara dan pertumbuhan merupakan kunci untuk memberantas unemployment. Braun (2008), menjelaskan adanya keterkaitan antara krisis pangan dengan krisis finansial, walaupun secara underlying causes (penyebab dasarnya) berbeda. Namun, keduanya dapat mengancam keamanan pangan, keamanan politik, dan stabilitas finansial dan ekonomi.

Dapat dijabarkan juga bahwa inflasi pangan menaikkan tekanan secara umum pada nilai inflasi di seluruh dunia. Dalam kaitannya dengan negara berkembang, hal ini dapat terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati porsi terbesar dari tingkat konsumsi masyarakat. Studi Braun (2008) menunjukkan bahwa rata-rata inflasi bahan pangan lebih tinggi dari rata-rata inflasi secara keseluruhan di 27 dari 31 negara dengan proporsi besar dari konsumsi pangan.

Rahardja (2011) menyatakan bahwa harga komoditas di Indonesia seperti gula, minyak goreng, kedelai dan jagung berhubungan dengan harga dunia. Dalam periode sekitar satu tahun, satu persen kenaikan rata-rata harga komoditas dunia akan menyebabkan kenaikan sebesar satu persen harga domestik di Indonesia.

Komoditas yang lain akan merespon hal yang sama dengan waktu respon yang bervariasi. Secara umum, kecepatan harga domestik untuk menyesuaikan terhadap guncangan harga dunia yang paling cepat adalah komoditas gula dan minyak goreng sedangkan yang paling lambat pada kedelai dan jagung. Kecepatan transmisi terhadap guncangan harga international juga berbeda diantara provinsi di Indonesia4.

      

4 Sjamsu Rahardja. Ekonom pada World Bank Jakarta. Hhttp://go.worldbank.org/AAG7PZGKR0

(31)

2.1.3.2 Hubungan antara Harga Minyak Dunia dan Inflasi

Purwanti (2011) menyebutkan bahwa mekanisme transmisi dampak oil price shock terhadap harga dan inflasi dijelaskan oleh Blanchard. Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan markup sehingga harga akan naik, karena hubungan antara keduanya berbanding lurus. Dengan asumsi upah tetap, peningkatan harga minyak menyebabkan peningkatan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk meningkatkan harga.

2.1.3.3 Hubungan antara Upah Buruh dan Inflasi

Hubungan antara upah dan inflasi ditunjukkan oleh teori inflasi yang menekankan dorongan biaya upah dan menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. Di samping itu kekakuan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain dan menjadi mudah untuk menaikkan upah berupa uang dan harga-harga daripada menurunkannya.

Mengingat bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektor-sektor yang berkontraksi potensial.

Jadi proses penyesuaian di dalam sebuah perekonomian dengan adanya kekakuan struktural menyebabkan munculnya inflasi.

(32)

2.1.3.4 Hubungan antara Expected Inflation dan Inflasi

Mankiw (2007) menyebutkan bahwa kurva Philips (Philips Curve) dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung pada tiga kekuatan salah satunya adalah inflasi yang diharapkan. Inflasi yang diharapkan (expected inflation) tersebut ada beberapa bentuk yaitu:

a. Inflasi ekspektasional, yang tergantung pada perbandingan-perbandingan dalam hal melihat harapan di masa yang akan datang (forward looking expextation). Dengan begitu laju inflasi yang terbentuk sekarang akan dipengaruhi nilainya oleh nilai laju inflasi pada masa yang akan datang. Hal ini mengakibatkan pembentukan harga dan upah akan disesuaikan dengan laju inflasi yang diharapkan pada masa yang akan datang.

b. Ekspektasi adaptif, tergantung pada perbandingan-perbandingan dalam hal melihat pengalaman di masa yang lampau (backward looking expectation).

Dengan begitu laju inflasi yang akan datang dipengaruhi nilainya oleh laju inflasi pada masa lampau. Hal ini mengakibatkan pembentukan harga dan upah akan disesuaikan dengan laju inflasi yang terjadi pada masa yang lampau. Ekspektasi adaptif ini susah untuk ditanggulangi, karena menyangkut efek psikologis, berupa trauma akan laju inflasi yang terbentuk di masa lalu.

Oleh karena itu model ekspektasi adaptif ini memiliki pengaruh yang paling besar terhadap laju inflasi dibandingkan bila menggunakan variabel ekspektasi yang lain (Bank Indonesia, 2000).

(33)

2.1.3.5 Hubungan antara Nilai Tukar (Exchange Rate) dan Inflasi

Studi Permana (2004) menjelaskan bahwa nilai tukar merupakan salah satu variabel mekanisme transmisi kebijakan moneter. Nilai tukar berpengaruh terhadap inflasi karena adanya direct passthrough effect melalui harga bahan baku impor. Barang tersebut dapat berupa barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal. Dampak perubahan nilai tukar terhadap laju inflasi melalu impor barang konsumsi tergolong ke dalam first direct passthrough, karena harga impornya dapat langsung mempengaruhi harga jual produk tersebut di dalam negeri.

Sedangkan dampak melalui impor bahan baku dan barang modal tergolong ke second direct passthrough, karena pembentukan harganya melalui proses produksi terlebih dahulu.

Dengan adanya depresiasi nilai tukar maka harga bahan baku impor akan naik sehingga biaya produksi akan naik, penawaran akan turun dan terjadilah inflasi dari sisi penawaran (cost push inflation). Nilai tukar mempunyai elastisitas yang besar terhadap inflasi karena masih besarnya ketergantungan industri terhadap bahan baku impor.

2.1.4. Penghitungan Inflasi di Indonesia

Menurut BPS (2009), inflasi di Indonesia merupakan perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada suatu periode terhadap periode sebelumnya.

Penghitungan IHK tersebut menggunakan metode Laspeyers yang dikembangkan (modified Laspeyers) karena dalam rumusan indeksnya menggunakan kuantum

(34)

yang tetap sesuai tahun dasar. Rumusan Indeks Laspeyers dituliskan sebagai berikut:

100%

(2.1)

dimana :

In = Indeks bulan ke-n

Pn = Harga jenis komoditi bulan ke-n Po = Harga jenis komoditi tahun dasar Qo= Kuantum jenis komoditi tahun dasar

dengan pertimbangan teknis pengolahan dari penghitungan IHK, maka rumusan Indeks Laspeyers diatas dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menghasilkan rumusan indeks sebagai berikut:

100%

(2.2)

dimana :

In = Indeks bulan ke-n

Pn = Harga jenis komoditi bulan ke-n Po = Harga jenis komoditi tahun dasar Qo= Kuantum jenis komoditi tahun dasar P(n-1) = Harga jenis komoditi bulan ke- (n-1)

Tahapan untuk menghitung inflasi dimulai dengan menghitung relatif harga (RH), kemudian menghitung nilai konsumsi (NK), menghitung IHK, dan terakhir menghitung angka inflasi untuk masing-masing kota. Dari masing-masing kota ditimbang untuk mendapatkan angka inflasi nasional.

(35)

Menurut BPS, penghitungan inflasi di Indonesia dilaksanakan di 66 kota dan meliputi 774 jenis barang/jasa dan kemudian dikelompokan menjadi 7 kelompok utama yaitu:

1. Bahan Makanan

2. Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau 3. Perumahan

4. Sandang 5. Kesehatan

7. Transportasi dan Komunikasi Komponen penghitungan IHK adalah:

1. Tahun Dasar

Periode dasar atau tahun dasar adalah periode waktu tertentu yang dipakai sebagai dasar perbandingan. Pengukuran IHK sampai dengan bulan maret 1998 menggunakan periode 1988-1989 sebagai tahun dasar. Sedangkan sejak April tahun 1998 menggunakan periode tahun 1996 sebagai periode dasar dan sejak Januari 2004 sudah menggunakan tahun 2002 sebagai periode dasar.

Sejak Juni 2008 tahun dasar yang dipakai untuk penghitungan inflasi adalah 2007.

2. Data Harga

Harga yang dipilih dalam pengumpulan data harga konsumen adalah harga eceran, yaitu harga transaksi secara tunai yang terjadi antara penjual (pedagang eceran) dan pembeli (konsumen langsung).

(36)

3. Paket komoditas

Adalah sejumlah komoditi yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di suatu kota yang digunakan sebagai acuan dalam penghitungan indeks. Paket komoditas diperoleh dari suatu survei pengeluaran rumahtangga yang mencakup seluruh pengeluaran konsumsi untuk komoditi. Survei tersebut adalah Survei Biaya Hidup (SBH).

4. Diagram Timbangan

Bobot/peran dari setiap jenis barang/jasa, dimana sumber datanya adalah Survei Biaya Hidup (SBH) yaitu nilai konsumsi makanan dan bukan makanan.

Setelah diperoleh IHK, maka inflasi dapat diketahui. Penghitungan inflasi menggunakan persamaan sebagai berikut:

100 (2.3)

Dimana merupakan inflasi yang terjadi pada periode t, merupakan IHK pada periode t sedangkan merupakan IHK pada periode sebelumnya.

Inflasi terjadi apabila perubahan IHK bernilai positif, apabila perubahannya bernilai negatif maka disebut terjadi deflasi.

2.2 Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi telah banyak dilakukan. Pada Tabel 2.1 akan ditampilkan ringkasan penelitian terdahulu tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi.

(37)

Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Inflasi.

NO NAMA PENELITI

JUDUL PENELITIAN

DATA DAN METODE

HASIL PENELITIAN 1 Permana,

2004

Analisis Faktor- faktor Penentu Laju Inflasi dilihat dari Sisi

Penawaran dan Ekspektasi Adaptif dalam Rezim Nilai Tukar Mengambang Bebas

- Indonesia, data tahun 1993-2004 - Model regresi

berganda OLS

Harga BBM dan harga beras tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi, sedangkan nilai tukar

berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi.

2 Trihadmini, 2004

Analisis

Determinan Inflasi di Indonesia Periode 1988- 2002

- Indonesia, data tahun 1988-2002 - Model Persamaan Simultan

Ekspektasi inflasi dan inflasi impor

berpengaruh terhadap inflasi.

3 Krisnawati, 2006

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Inflasi di Indonesia.

- Indonesia (1983- 2004 dan 1997- 2004)

- Multicointegration

Output gap sangat berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia periode 1983-2004 sedangkan periode 1997-2004 yang berpengaruh terhadap inflasi adalah

disequilibrium pasar uang.

4 Mardianti, 2006

Analisis Inflasi di Indonesia dari Sisi Permintaan Uang

- Data Indonesia periode 1990:

kuartal 1 sampai 2005: kuartal 3 - Error Correction

Model (ECM)

Inflasi Indonesia periode t-1, perubahan broad money, perubahan nilai tukar periode t-1 dan t-2, berhubungan positif dengan inflasi di Indonesia.

5 Devi, 2006 Analisis Inflasi di Indonesia

- Indonesia, data tahun 2000-2005 - Model OLS

PDB, nilai tukar dan jumlah uang beredar secara serentak mempunyai hubungan secara signifikan terhadap inflasi, secara parsial nilai tukar dan jumlah uang beredar

(38)

mempunyai hubungan positif dan

berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi.

6 Apriani, 2007

Analisis Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia Terhadap Inflasi dan Output di Indonesia: Periode 1990-2006

- Indonesia, data tahun 1990-2006 - Model VAR

dilanjutkan dengan VECM

Guncangan harga minyak dunia berhubungan positif dengan inflasi, output, jumlah uang beredar dan nilai tukar riil.

7 Budiarti, 2008

Pengaruh Kenaikan Harga Bbm Terhadap Indeks Harga Konsumen (Ihk) Masing-Masing Kelompok Barang Dan Jasa Di Kota Banda Aceh Tahun 1998-2008

- Kota Banda Aceh, data tahun 1998- 2008

- Model VAR

Kenaikan harga BBM berhubungan positif dengan inflasi umum dan inflasi untuk masing-masing komoditi barang dan jasa.

8 Sultan, 2011 Inflation in Kingdom of Saudi Arabia: A Bound Test Analysis

- Arab Saudi - Model

Cointegration dengan VECM

Inflasi di dunia ekonomi, tingkat nilai tukar dan money supply adalah faktor utama yang

mempengaruhi inflasi di Saudi Arabia.

9 Dwiantoro, 2004

Analisis

Determinan Inflasi di Indonesia dengan Engle- Granger Error Correction Model

- Indonesia - Model Eagle-

Granger Error Correction Model (EG-ECM)

GDP riil berpengaruh negatif terhadap inflasi dan inflasi harapan berpengaruh positif terhadap tingkat inflasi dalam jangka panjang.

10 Monfort and Pena, 2008

Inflation Determinant in Paraguay: Cost Push versus Demand Pull Factors

- Paraguay - Model

Cointegration dengan pendekatan VAR

Jumlah uang beredar berpengaruh dalam inflasi jangka panjang sedangkan harga luar negeri/ harga

beberapa produk makanan dan indeks upah punya pengaruh dalam jangka pendek

(39)

Penelitian ini berdasarkan penelitian Permana (2004). Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia dari sisi penawaran. Sedangkan perbedaannya terletak pada cakupan tahun, variabel yang digunakan dan metode analisis yang digunakan. Periode tahun dalam penelitian Permana adalah data kuartalan dari tahun 1993-2004 sedangkan dalam penelitian ini periode yang digunakan adalah data bulanan dari tahun 1998-2010.

Variabel yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah harga BBM dan harga beras sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel harga minyak dunia dan indeks harga komoditi pangan dunia. Metode yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah regresi berganda Ordinary Least Square (OLS) sedangkan dalam penelitian ini menggunakan analisis Vector Error Correction Model (VECM).

2.3 Kerangka Pemikiran Operasional Guncangan penawaran yang negatif berupa bencana alam telah

menyebabkan kegagalan panen dan terjadinya kelangkaan komoditi pangan.

Kelangkaan pangan akan berimbas pada naiknya harga komoditi pangan.

Disamping itu adanya krisis energi yang mulai melanda di tahun 2005 yang dimulai dengan berkurangnya pasokan minyak dunia berimbas pada kenaikan harga minyak dunia. Di Indonesia, kenaikan harga minyak dunia diikuti oleh kenaikan harga bahan bakar minyak oleh pemerintah. BBM yang merupakan input produksi sehingga kenaikan harganya akan meningkatkan biaya produksi. Supaya

(40)

tidak mengalami kerugian, maka produsen akan menaikkan harga jual produknya ke konsumen sehingga akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga di masyarakat. Semakin mahalnya harga-harga membuat buruh berusaha menuntut kenaikan upah supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Kenaikan upah ini akan meningkatkan biaya produksi dan sekali lagi akan membuat produsen menaikkan harga jual produknya. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar akan membuat harga bahan baku impor menjadi mahal sehingga akan membebani biaya produksi. Kerangka pemikiran di atas dapat disajikan dalam Gambar 2.3.

Krisis Pangan Dunia dan Domestik

Krisis energi Dunia

‐ Harga minyak dunia 

Gambar 2.3 Skema Kerangka Pemikiran ik

Harga BBM naik Harga Pangan Naik

Biaya Produksi Naik UMR

Cost Push Inflation

Exchange rate -harga bahan baku impor naik.

Inflasi

Implikasi Kebijakan Pemerintah

(41)

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder berupa data bulanan periode 1998-2010. Variabel, data, satuan dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1. Variabel, Data yang Digunakan dan Sumbernya

Data (Variabel) Data yang digunakan Satuan Sumber Data Inflasi (INF) Angka inflasi bulanan Indeks Badan Pusat

Statistik (BPS) Harga minyak

dunia (P_OIL)

Data harga minyak dunia per bulan

$US/barel International Monetary Fund

(IMF) Indeks harga

komoditi pangan dunia (IHP)

Data indeks harga dari 55 komoditi pangan dunia.

Indeks Food

Agricultural Organization

(FAO) Exchange Rate

(KURS)

Data nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat per bulan

$US/Rupiah Bank Indonesia

Expected inflation (EXP_INF)

Data inflasi bulan sebelumnya (It-1)

Indeks BPS

Tingkat upah (W) Rata-rata upah riil per bulan per pekerja di bawah mandor/supervisor sektor manufaktur

Rupiah/bulan BPS

(42)

Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang merupakan data dunia yaitu harga minyak dunia dan indeks harga komoditi pangan dunia. Penggunaan data harga minyak dunia berdasarkan beberapa penelitian yang menganalisis dampak harga minyak dunia terhadap inflasi yaitu penelitian Purwanti (2011) dan penelitian Apriani (2007), sedangkan penggunaan variabel indeks harga komoditi pangan dunia disebabkan indeks harga komoditi pangan Indonesia tidak tersedia dalam bulanan dan menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Rahardja (2011) menyatakan bahwa kenaikan satu persen harga komoditi pangan dunia akan meningkatkan sebesar satu persen harga komoditi pangan di Indonesia.

Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 13 tahun yaitu dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2008 per bulan, sehingga terdapat sebanyak 156 unit observasi. Dengan periode waktu tersebut, maka dapat digunakan analisis time series, agar dapat menggambarkan hubungan jangka panjang antar variabel.

3.2. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan untuk mendukung dan mencapai tujuan penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrika.

3.2.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah analisis yang digunakan untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Analisis deskriptif dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan grafik, tabel dan diagram. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum

(43)

mengenai perkembangan laju inflasi yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu 1998-2010 dan juga digunakan untuk menggambarkan perkembangan variabel harga minyak dunia, tingkat upah buruh, exchange rate dan indeks harga pangan dunia.

3.2.2. Analisis Ekonometrika

Analisis ekonometrika yang dipakai dalam penelitian ini berdasarkan model pada penelitian yang dilakukan oleh Dwiantoro (2004) dan Permana (2004). Studi Dwiantoro menggunakan analisis Engle-Granger Error Correction Model dan studi Permana menggunakan analisis regresi berganda Ordinay Least Square (OLS) sedangkan dalam penelitian ini akan menggunakan analisis Vector Error Correction Model karena data yang digunakan tidak semua stasioner pada level dan terdapat kointegrasi diantara variabel-variabel tersebut.

3.2.2.1. Uji Stasionaritas

Dalam menerapkan uji deret waktu (time series) disyaratkan stasionaritas dari series yang digunakan. Untuk itu, sebelum melakukan analisis lebih lanjut, perlu dilakukan uji stasionaritas terlebih dahulu terhadap data yang digunakan.

Tujuan dari uji ini adalah untuk mendapatkan nilai rata-rata yang stabil dan random error sama dengan nol, sehingga model regresi yang diperoleh memiliki kemampuan prediksi yang handal dan menghindari timbulnya regresi lancung (spurious regression). Secara operasional suatu data series dikatakan stasioner apabila data tersebut tidak mengandung unsur trend. Disamping itu, syarat yang

(44)

harus dipenuhi suatu data series sehingga dapat dikatakan stasioner apabila mempunyai kondisi sebagai berikut:

1. Rata-rata tetap (constant) tidak terpengaruh oleh jalannya waktu (invariant with respect to time).

2. Variasi data tetap (variance to be constant) untuk seluruh series data.

3. Covariance antar nilai dari waktu yang berbeda tergantung dari jarak nilai (time lag) bukan pada posisi waktu dimana covariance tersebut dihitung.

Secara statistik, ketiga kondisi series yang stasioner di atas dapat dinyatakan sebagai berikut:

Rata-rata : (3.1)

Variance : (3.2)

Covariance: (3.3)

dimana Y adalah data observasi, adalah rata-rata konstan dari variabel Y, merupakan varians konstan dari variabel Y, t menunjukkan waktu, p menunjukkan jarak nilai (time lag) dan , kovarians (atau otokovarians) pada keterlambatan k adalah kovarians antara nilai dan yaitu antara dua nilai , terpisah sebanyak periode.

Untuk mendeteksi apakah suatu series data stasioner atau tidak secara visual dapat dilihat plot/grafik data observasi terhadap waktu. Apabila kecenderungan fluktuasinya di sekitar nilai rata-rata dengan amplitudo yang relatif tetap atau tidak terlihat adanya kecenderungan (trend) naik atau turun maka dapat dikatakan stasioner. Penggunaan grafik sangat tergantung pada kejelian dan pengalaman peneliti, untuk itu secara formal dilakukan uji statistik guna lebih meyakinkan

(45)

peneliti. Uji stasionaritas yang akhir-akhir ini banyak digunakan adalah uji akar- akar unit (unit roots test). Dalam penelitian ini, uji stasioneritas yang digunakan adalah uji akar unit (Unit Roots Test) dengan metode Augmenterd Dickey Fuller Test (ADF test) dengan alasan bahwa ADF Test telah mempertimbangkan kemungkinan adanya autokorelasi pada error term jika series yang digunakan non stasioner.

Uji Akar-akar Unit

Uji stasioneritas akan dilakukan dengan metode ADF dan PP sesuai dengan bentuk trend deterministik yang dikandung oleh setiap variabel. Hasil series stasioner akan berujung pada penggunaan VAR dengan metode standar.

Sementara series nonstasioner akan berimplikasi pada dua pilihan yaitu VAR yaitu VAR dalam bentuk differens atau VECM.

Pengujian stasionaritas secara teori dan prakteknya menggunakan tiga asumsi dasar yaitu tidak adanya trend dan konstanta, adanya konstanta, adanya trend dan konstanta. Dalam menentukan uji statistik dan hipotesis alternatif yang sesuai diperlukan pengujian adanya trend pada data deret waktu. Pengujian trend ini dilakukan untuk menghasilkan uji unit root yang lebih powerfull. Langkah awal yang dilakukan adalah dengan melihat adanya trend pada data dengan menggunakan grafik. Pengujian yang lebih formal dapat dilakukan dengan memeriksa signifikansi adanya trend pada data deret waktu. Selanjutnya, dalam memilih uji statistik yang sesuai dalam mendeteksi adanya unit root, hal pertama yang dilakukan adalah meneliti adanya perubahan struktural (structural change) agar tidak terjadi pengambilan keputusan yang bias.

(46)

Adanya perubahan struktural ini berarti nilai parameter estimasi tidak sama dalam periode penelitian, dengan kata lain perubahan struktural ini akan menyebabkan adanya perbedaan intercept (konstanta) atau slope, ataupun kemungkinan adanya perbedaan pada intercept maupun slope dalam garis regresi.

Untuk mendeteksi adanya perubahan struktural ini dapat dilakukan dengan melihat fluktuasi data dengan grafik. Adanya perubahan struktural dapat menyebabkan data terlihat seperti tidak stasioner, sehingga dalam perhitungan akan mengarah pada penerimaan hipotesis nol yang salah.

Uji akar unit pertama kali dikembangkan oleh Dickey-Fuller (DF), dasar uji stasioner data dengan akar unit dapat dijelaskan melalui persamaan:

1

1

: 1, : 1,

1

, dimana 1 (3.4)

Dimana adalah koefisien otoregresif dan adalah residual yang bersifat random atau stokastik dengan rata-rata nol, varian konstan dan nonautokorelasi.

Residual yang seperti itu disebut white noise. Jika pada persamaan (3.4), , maka dikatakan bahwa variabel random Y mempunyai unit root. Jika data mempunyai unit root maka data tersebut bergerak secara random walk sedangkan yang random walk bersifat tidak stasioner.

Dalam bentuk hepotesis dapat ditulis:

(series mengandung unit root) (series tidak mengandung unit root) Dari persamaan 3.4, dapat ditulis juga dalam bentuk:

(47)

1 : 0,

0,

1

: 1, : 1,

1

1 : 0,

0,

Dimana ∆ dan , sehingga bentuk hipotesis menjadi : (series mengandung unit root)

(series tidak mengandung unit root)

Langkah-langkah uji akar-akar unit dengan menggunakan metode ADF Test adalah sebagai berikut:

1. Misalkan terdapat persamaan sebagai berikut:

di mana adalah koefisien otoregesif, adalah white noise error term yang mempunyai rata-rata sama dengan nol dan varians konstan serta tidak mengandung autokorelasi. Jika , maka dapat dinyatakan bahwa variabel mempunyai akar unit. Dalam istilah ekonometrika, series yang memiliki akar unit disebut ‘random walk’.

Dalam bentuk hipotesis menjadi:

(series mengandung unit root) (series tidak mengandung unit root)

2. Persamaan di atas dapat juga dinyatakan dalam bentuk lain (turunan pertama),

Dimana ∆ dan , sehingga bentuk hipotesis menjadi : (series mengandung unit root)

(series tidak mengandung unit root)

(48)

Jika 0 , maka persamaan di atas dapat ditulis:

Persamaan ini menunjukan bahwa turunan pertama dari series yang random walk ( ) adalah sebuah series stasioner dengan asumsi bahwa adalah benar-benar random.

3. Setelah didapat persamaannya, prosedur pengujian adalah dengan menghitung terlebih dahulu nilai statistik ADF.

Statistik uji:

Dengan melihat nilai dari statistik ADF yang merupakan koefisien otoregresifnya, dapat diketahui apakah series mengandung unit roots atau tidak. Jika nilai ADF ( ) lebih kecil dari nilai kritis Tabel Mackinnon dengan derajat bebas

maka ditolak atau dapat dikatakan bahwa series telah stasioner. Jika data asli dari suatu series saling berintegrasi atau data sudah stasioner, maka data tersebut berintegrasi pada order 0 atau dilambangkan dengan I(0). Selanjutnya, jika data baru stasioner dan saling berintegrasi pata turunan pertama, maka data terebut berintegrasi pada order 1 atau I(1). Begitu seterusnya sampai didapatkan data yang stasioner pada order d atau I(d).

3.2.2.2. Pemeriksaan Lag Optimal

Uji lag merupakan salah satu prosedur penting yang harus dilakukan dalam pembentukan model karena uji kointegrasi, VAR dan VECM sebagai uji lanjutan sangat peka terhadap panjang lag. Pemilihan lag seringkali dilakukan

Gambar

Gambar 2.1 Demand Pull Inflation  b.  Cost push inflation
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Faktor-faktor Yang  Mempengaruhi Inflasi
Gambar 2.3 Skema Kerangka Pemikiran ik
Tabel 3.1. Variabel, Data yang Digunakan dan Sumbernya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan mengetahui pengaruh pendapatan nasional, inflasi dan suku bunga serta nilai tukar rupiah terhadap utang luar negeri Indonesia.. Metode

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, suku bunga riil, tingkat inflasi, angkatan kerja dan perdagangan terhadap investasi

1) Dalam jangka pendek, shock suku bunga BI rate dan depresiasi nilai tukar rupiah berpengaruh positif dan signifikan terhadap tekanan inflasi Indonesia. 2) Seluruh

Pengaruh Nilai Tukar, Tingkat Bunga, dan Inflasi Terhadap Harga.. Bandung:

Hasil estimasi menunjukkan bahwa dalam jangka pendek variabel inflasi IHK itu sendiri, harga BBM, nilai tukar Rupiah, dan upah nominal berpengaruh signifikan terhadap inflasi IHK

Dari uraian di atas penulis ingin menguji kembali daya saing ekspor unggulan nonmigas Indonesia dan pengaruh nilai tukar rupiah (EXR), Inflasi (INF), Foreign Direct

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hanya variabel nilai tukar rupiah yang berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat inflasi di

Dalam jangka pendek didapati hubungan signifikan antara laju inflasi di Indonesia dengan inflasi impor, sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dollar, pendapatan negara, penawaran