1.1
Latar Belakang
Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan
salah satu indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Kestabilan inflasi
merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang
pada akhirnya akan bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengendalian inflasi penting untuk dilakukan karena didasarkan pada
pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak
negatif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
1. Dampak negatif tersebut:
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan
terus turun sehingga standar hidup masyarakat turun dan akhirnya menjadikan
semua orang terutama orang miskin akan bertambah miskin. Kedua, inflasi yang
tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi
dalam mengambil keputusan.
Studi empiris Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa inflasi yang tidak
stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi,
investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan
ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan
1 Bank Indonesia Official Website.
http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Pengenalan+Inflasi/pentingnya.htm, “Pentingnya kestabilan Inflasi”.
tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi
tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.
Inflasi di Indonesia pernah mencapai titik yang tertinggi yaitu pada
pertengahan dasawarsa 1960-an dimana terjadi hyper inflasi yang melanda
perekonomian nasional dengan laju inflasi mencapai 650 persen. Hal tersebut
terutama disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang kemudian
dibiayai Bank Indonesia dalam bentuk pencetakan uang. Laju inflasi Indonesia
selama tahun 1998-2010 menunjukkan adanya fluktuasi yang bervariasi dari
waktu ke waktu yang disebabkan oleh faktor yang berbeda. Pada periode awal
1998, tingkat inflasi tinggi sebesar 77,63 persen, tingkat inflasi yang tinggi ini
karena dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Selama tahun
1999-2000, tingkat inflasi Indonesia mengalami penurunan dan penurunan yang
tertinggi terjadi pada bulan Januari 2000 yaitu sebesar -9,30 persen (BPS, 2000).
77.63
2.01 9.35 12.55 10.03 5.06 6.40 17.11
6.60 6.59 11.062.78 6.96 0
20 40 60 80 100
PERSEN
TAHUN Inflasi
Sumber : BPS, diolah
Gambar 1.1 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu 1998 – 2010
Krisis energi dunia yang ditandai dengan naiknya harga minyak dunia
menjadi sebuah krisis energi untuk Indonesia. Dimulai tahun 2005 dimana akibat
kenaikan harga minyak dunia membuat pemerintah Indonesia menaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan kenaikan harga secara umum.
Laju inflasi selama periode 2005-2010 dapat dilihat pada Gambar 1.2. Tingkat
inflasi tertinggi terjadi saat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak
(BBM) yaitu tahun 2005 dan tahun 2008. Pada tahun 2005 kenaikan harga BBM
mencapai 126 persen dengan menetapkan harga minyak tanah sebesar Rp 2.500
per liter. Harga bensin premium naik menjadi Rp 6.000 per liter dan minyak solar
sebesar Rp 5.500 per liter. Pada tahun 2008 harga BBM jenis premium menjadi
Rp 6.000 per liter, solar menjadi
Rp 5.500 per liter dan minyak tanah menjadi Rp
2.500 per liter. Laju inflasi pada saat pemerintah menaikkan harga BBM pada
tahun 2005 mencapai 17,11 persen sedangkan untuk tahun 2008 laju inflasi
mencapai 11,06% (BPS, Pertamina, 2005-2008)
17.11
6.60 6.59
11.06
2.78
6.96
0 5 10 15 20
2005 2006 2007 2008 2009 2010
PERSEN
TAHUN Inflasi
Sumber : BPS, diolah
Gambar 1.2 Laju Inflasi di Indonesia Kurun Waktu 2005 – 2010
World Bank dalam publikasinya menyebutkan bahwa kenaikan harga
pangan dunia telah menyebabkan terjadinya krisis pangan yang semakin
mengkhawatirkan
2. Krisis pangan yang melanda dunia dimulai tahun 2007-2008
di mana berawal dari gagalnya panen yang terjadi di Cina dan Rusia akibat
terjadinya bencana banjir dan gelombang panas. Gagalnya panen gandum di Rusia
mengakibatkan harga komoditi tersebut naik dan dampaknya secara global akan
menaikkan harga pangan dunia. Pada tahun 2008, di beberapa negara seperti
Afghanistan, Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh dan Nepal telah terbukti bahwa
kenaikan harga pangan mempunyai dampak yang besar terhadap tingkat inflasi.
Kenaikan harga pangan dunia ini akan berdampak langsung bagi kondisi pangan
Indonesia karena tingkat ketergantungan masyarakat masih tinggi khususnya
impor bahan pangan. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan bahan pangan akan
menjadi beban berat bagi rakyat khususnya warga miskin. Hal ini disebabkan
pengeluaran maupun kemampuan daya beli keluarga miskin terhadap pangan
menempati persentase yang sangat besar dari total pengeluaran keluarga.
Identifikasi penyebab inflasi dari sisi supply (penawaran) atau cost push
inflation belum banyak dilakukan. Sebagian penelitian yang menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia melihat dari sisi permintaan atau
demand pull inflation (Mardianti, 2006; Devi, 2006). Untuk penelitian yang
melihat dari sisi penawaran atau cost push inflation di Indonesia telah dilakukan
oleh Permana (2006) dan Babussalam (2004). Di kedua penelitian tersebut ada
hasil yang pro kontra dimana menurut Permana, harga BBM dan harga beras tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi sedangkan menurut Babussalam
kenaikan harga BBM itu berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia. Studi
2
Website World Bank.http://siteresources.worldbank.org/INTURBANDEVELOPMENT/
Permana menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah dan ekspektasi adaptif yang
berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi dalam kurun waktu 1998-2003.
1.2
Perumusan Masalah
Dari sisi penawaran, faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi adalah
guncangan penawaran yang bersifat negatif dan kenaikan biaya produksi.
Guncangan penawaran yang bersifat negatif ini terjadi akibat bencana alam dan
terganggunya distribusi dalam komoditi pangan domestik. Akibat terjadinya gagal
panen dan adanya distribusi komoditi pangan yang tidak merata menyebabkan
kenaikan harga komoditi pangan domestik.
Kenaikan biaya produksi diwakili oleh adanya harga BBM, upah gaji dan
exchange rate karena berhubungan dengan harga dari bahan baku produksi yang
diimpor dari luar negeri. Krisis energi yang terjadi di Indonesia sebagai dampak
dari krisis energi dunia membuat harga bahan bakar minyak (BBM) mengalami
kenaikan. BBM yang merupakan salah satu input dalam proses produksi dan
kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi dan dampaknya akan
menyebabkan produsen menaikkan harga jual produknya di pasaran. Kenaikan
harga produk di masyarakat cenderung akan mendorong terjadinya inflasi.
Nilai tukar rupiah atau exchange rate yang selalu berfluktuatif berpengaruh
terhadap biaya produksi karena dengan naiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar
membuat bahan baku yang diimpor dari negara lain menjadi lebih mahal dan
membuat biaya produksi menjadi mahal dan akhirnya mendorong produsen untuk
menaikkan harga jual di masyarakat. Keberadaan serikat pekerja yang selalu
mendorong adanya kenaikan upah yang lebih tinggi sebagai tuntutan dari biaya
hidup yang semakin mahal disatu sisi akan membuat biaya produksi naik dan
sekali lagi akan membuat kenaikan harga jual produk di masyarakat.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan diatas maka dalam
penelitian ini akan dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inflasi di
Indonesia dari sisi supply atau cost push inflation. Data yang digunakan
merupakan data inflasi secara bulanan dari tahun 1998 – 2010.
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Menggambarkan perkembangan inflasi di Indonesia dari tahun 1998-2010.
2.
Untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dan
menjelaskan variabilitas inflasi di Indonesia dari sisi penawaran agregat.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi
pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain:
1.
Bagi pemerintah atau instansi terkait, penelitian ini bermanfaat untuk
melihat faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dari sisi penawaran
sehingga dapat diambil kebijakan yang tepat untuk pengendalian laju inflasi.
2.
Bagi akademisi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pada penelitian lainnya yang ingin menganalisis tentang inflasi.
2.1
Kerangka Teori
2.1.1
Inflasi
Mankiw (2007) menyebutkan bahwa inflasi adalah seluruh kenaikan dalam
harga. Badan Pusat Statistik (2005) mendefinisikan inflasi sebagai angka
gabungan dari perubahan harga dari sekelompok barang dan jasa yang dikonsumsi
masyarakat dan dianggap mewakili seluruh barang dan jasa yang dijual di pasar.
Khalwaty (2000) menyatakan bahwa inflasi adalah suatu keadaan yang
mengindikasikan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara.
Bank Indonesia , inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum
dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat
disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan
harga) pada barang lainnya.
2.1.2
Teori Inflasi
Cavanese dalam Atmadja (1999) menyebutkan bahwa terdapat berbagai
macam teori yang berusaha menjelaskan inflasi dari berbagai sudut pandang.
Teori tersebut adalah Teori Kuantitas, Keynesian Model, Mark-up Model dan
Teori Struktural. Teori Kuantitas adalah teori yang tertua yang membahas
tentang inflasi, tetapi dalam perkembangannya teori ini mengalami
penyempurnaan oleh para ahli ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini
juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist models). Teori ini
menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi)
masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Inti dari teori ini
adalah sebagai berikut :
1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar, baik
uang kartal maupun giral.
2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar dan
oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di masa
mendatang.
Teori Keynesian Model, dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini,
bahwa inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan hidup di luar batas
kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat
terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang
tersedia (penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap.
Keterbatasan jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena
dalam jangka pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk
mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti
pandangan kaum monetarist,
Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk
menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek.
Mark-up Model, teori ini mendasarkan pemikiran bahwa model inflasi
ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan
profit margin.
Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang
menyusun
cost of production dan atau kenaikan pada profit margin akan
menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar.
Teori Struktural, merupakan inflasi yang terjadi di negara-negara
berkembang, menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena
moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal
ini disebabkan karena struktur ekonomi negara-negara berkembang pada
umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, guncangan ekonomi yang
bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal
pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal
yang memiliki kaitan dengan hubungan luar negeri, misalnya memburuknya term
of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi
harga di pasar domestik. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan
atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut
dengan
structural bottlenecks. Structural bottleneck terutama terjadi dalam tiga
hal, yaitu :
1.
Supply
dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan
pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode
dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply
dari sektor
pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
2.
Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan
ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan
cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor
barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang-barang modal yang sangat
dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Akibat
dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju
pertumbuhan
supply
barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan
permintaan.
3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan
rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan,
akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan
dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya
dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money).
Adanya
structural bottlenecks ini, dapat memperburuk inflasi di negara
berkembang dalam jangka panjang, oleh karenanya fenomena inflasi di
negara-negara yang sedang berkembang sering
menjadi suatu fenomena jangka panjang,
yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Berbeda dengan
kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena moneter, yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari ekspansi
jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist
menekankan pada struktur sektor
keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist
ini adalah pengaruh uang
terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side atau produksi.
Berdasarkan pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu
faktor penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk
investasi melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) menjadi murah, maka
volume investasi akan meningkat dan juga meningkatkan volume produksi
sehingga penawaran barang meningkat, yang pada akhirnya menekan tingkat
inflasi. Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan,
penyebab utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat
inflasi dari luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh
harga barang-barang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya
devaluasi atau depresiasi mata uang di negara pengimpor.
2.1.3
Sumber Inflasi
Di dalam teori kuantitas, dijelaskan bahwa sumber utama terjadinya inflasi
adalah karena adanya kelebihan permintaan (demand) sehingga uang yang beredar
di masyarakat bertambah banyak. Dalam teori ini sumber inflasi dibedakan
menjadi dua yaitu teori demand pull inflation dan cost push inflation. Selain
menggunakan pendekatan teori kuantitas dalam menganalisis sumber-sumber
penyebab inflasi, juga digunakan pendekatan struktur ekonomi, pendekatan
moneter dan pendekatan akuntansi seperti dijelaskan oleh Khalwaty (2000) di
bawah ini:
a.
Demand pull inflation
Demand pull inflation terjadi karena adanya kenaikan permintaan secara
agregat, dimana kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh
(full employment). Kenaikan permintaan total (agregate demand) selain dapat
menaikkan harga-harga juga dapat meningkatkan produksi. Jika kondisi
produksi telah berada pada kesempatan penuh, maka kenaikan permintaan
tidak lagi mendorong kenaikan produksi
(output) tetapi hanya mendorong
kenaikan harga-harga yang biasa disebut sebagai Indeks Murni (pure
inflation). Mishkin (2009) menyebutkan inflasi yang disebabkan demand pull
inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.1 di bawah ini:
Sumber : Mishkin, 2009.
Gambar 2.1 Demand Pull Inflation
b.
Cost push inflation
Cost push inflation terjadi pada kondisi tingkat penawaran lebih rendah jika
dibandingkan dengan tingkat permintaan. Hal ini disebabkan oleh adanya
kenaikan harga faktor produksi sehingga produsen terpaksa mengurangi
produksinya sampai pada jumlah tertentu. Penawaran total (supply agregat)
terus menurun karena semakin mahalnya biaya produksi. Apabila keadaan
tersebut berlangsung cukup lama, maka terjadilah inflasi yang disertai dengan
resesi. Kenaikan biaya produksi yang menimbulkan cost push inflation
didorong oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1.
Adanya tuntutan kenaikan upah dari para pekerja yang biasa dikoordinir
oleh organisasi serikat buruh.
2.
Adanya industri yang monopolis, yang memberikan kekuatan kepada
produsen untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan harga lebih
tinggi.
3.
Kenaikan bahan baku industri.
4.
Pemerintah terlalu berambisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi
dalam jumlah yang besar yang seharusnya dapat diserahkan kepada pihak
swasta.
5.
Adanya kebijakan pemerintah, baik yang bersifat ekonomi maupun non
ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga-harga, seperti kenaikan tarif
angkutan umum dan kenaikan tarif listrik, kenaikan gaji pegawai negeri
dan kenaikan anggaran belanja negara yang dibiayai dengan pencetakan
uang baru (money creation).
6.
Pengaruh alam yang dapat menurunkan produksi dan menaikkan harga
seperti musim kemarau panjang yang mengakibatkan gagalnya panen.
7.
Pengaruh inflasi dari luar negeri, terutama bagi negara-negara yang
menganut sistem ekonomi terbuka atau pasar bebas.
Sedangkan menurut Lipsey (1995) menyatakan bahwa cost push inflation
dapat disebabkan oleh:
1.
Wage Cost Push Inflation
Teori inflasi yang menekankan dorongan biaya upah menyatakan bahwa
kenaikan-kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada
kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi.
2.
Price Push Inflation
Teori inflasi yang menekankan price push atau juga dikenal dengan istilah
administered price theory of inflation, memiliki persamaan dengan teori inflasi
yang menekankan dorongan biaya upah. Teori tersebut menyatakan bahwa para
penjual memiliki kekuatan monopoli, dan mereka ingin sekali menaikkan
harga, tapi karena mereka takut terjadnya antitrust dari pihak pemerintah maka
mereka menggunakan kenaikan dalam biaya produksi dapat dijadikan alasan
yang diperlukan untuk membenarkan adanya kenaikan harga.
3.
Import Cost Push Inflation
Inflasi karena dorongan biaya impor, berupa suatu kenaikan dalam tingkat
harga suatu negara yang disebabkan adanya suatu kenaikan dalam harga-harga
barang impor penting.
4.
Structural Rigidity Inflation
Menekankan kekakuan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya
tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain
dan adalah mudah untuk menaikkan upah berupa uang dan harga-harga
daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga-harga adalah
kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada
sektor-sektor yang berkontraksi potensial. Sehingga proses penyesuaian upah dan
harga-harga di dalam sebuah perekonomian dengan adanya kekakuan struktural
menyebabkan munculnya inflasi.
Mishkin (2009) menyebutkan inflasi yang disebabkan cost push inflation
dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.2 di bawah ini:
Sumber : Mishkin, 2009.
Gambar 2.2 Cost Push Inflation
2.1.3.1
Hubungan Harga Komoditi Pangan dan Inflasi
Kenaikan komoditas di belahan dunia merupakan fenomena unik bagi
sebagian orang, yang melihat kaitannya dengan perkembangan makro ekonomi
dan hubungannya dengan tingkat inflasi. Disadari atau tidak, inflasi bahan pangan
secara logika dasar makro ekonomi, dapat menyebabkan peningkatan inflasi,
sedangkan inflasi sangat erat kaitannya dengan besaran tingkat pertumbuhan
ekonomi suatu negara dan pertumbuhan merupakan kunci untuk memberantas
unemployment. Braun (2008), menjelaskan adanya keterkaitan antara krisis
pangan dengan krisis finansial, walaupun secara underlying causes (penyebab
dasarnya) berbeda. Namun, keduanya dapat mengancam keamanan pangan,
keamanan politik, dan stabilitas finansial dan ekonomi.
Dapat dijabarkan juga bahwa inflasi pangan menaikkan tekanan secara
umum pada nilai inflasi di seluruh dunia. Dalam kaitannya dengan negara
berkembang, hal ini dapat terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati
porsi terbesar dari tingkat konsumsi masyarakat. Studi Braun (2008) menunjukkan
bahwa rata-rata inflasi bahan pangan lebih tinggi dari rata-rata inflasi secara
keseluruhan di 27 dari 31 negara dengan proporsi besar dari konsumsi pangan.
Rahardja (2011) menyatakan bahwa harga komoditas di Indonesia seperti
gula, minyak goreng, kedelai dan jagung berhubungan dengan harga dunia. Dalam
periode sekitar satu tahun, satu persen kenaikan rata-rata harga komoditas dunia
akan menyebabkan kenaikan sebesar satu persen harga domestik di Indonesia.
Komoditas yang lain akan merespon hal yang sama dengan waktu respon yang
bervariasi. Secara umum, kecepatan harga domestik untuk menyesuaikan terhadap
guncangan harga dunia yang paling cepat adalah komoditas gula dan minyak
goreng sedangkan yang paling lambat pada kedelai dan jagung. Kecepatan
transmisi terhadap guncangan harga international juga berbeda diantara provinsi
di Indonesia
4.
4
Sjamsu Rahardja. Ekonom pada World Bank Jakarta. Hhttp://go.worldbank.org/AAG7PZGKR0
2.1.3.2
Hubungan antara Harga Minyak Dunia dan Inflasi
Purwanti (2011) menyebutkan bahwa mekanisme transmisi dampak oil
price shock terhadap harga dan inflasi dijelaskan oleh Blanchard. Ketika terjadi
kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan
markup
sehingga harga akan naik,
karena hubungan antara keduanya berbanding
lurus. Dengan asumsi upah tetap, peningkatan harga minyak menyebabkan
peningkatan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk meningkatkan
harga.
2.1.3.3
Hubungan antara Upah Buruh dan Inflasi
Hubungan antara upah dan inflasi ditunjukkan oleh teori inflasi yang
menekankan dorongan biaya upah dan menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan
yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan
permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. Di samping itu kekakuan
struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih
dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain dan menjadi mudah untuk
menaikkan upah berupa uang dan harga-harga daripada menurunkannya.
Mengingat bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat
adanya penurunan upah dan harga pada sektor-sektor yang berkontraksi potensial.
Jadi proses penyesuaian di dalam sebuah perekonomian dengan adanya kekakuan
struktural menyebabkan munculnya inflasi.
2.1.3.4
Hubungan antara
Expected Inflation
dan Inflasi
Mankiw (2007) menyebutkan bahwa kurva Philips (Philips Curve) dalam
bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung pada tiga
kekuatan salah satunya adalah inflasi yang diharapkan. Inflasi yang diharapkan
(expected inflation) tersebut ada beberapa bentuk yaitu:
a.
Inflasi ekspektasional, yang tergantung pada perbandingan-perbandingan
dalam hal melihat harapan di masa yang akan datang (forward looking
expextation). Dengan begitu laju inflasi yang terbentuk sekarang akan
dipengaruhi nilainya oleh nilai laju inflasi pada masa yang akan datang. Hal
ini mengakibatkan pembentukan harga dan upah akan disesuaikan dengan
laju inflasi yang diharapkan pada masa yang akan datang.
b.
Ekspektasi adaptif, tergantung pada perbandingan-perbandingan dalam hal
melihat pengalaman di masa yang lampau (backward looking expectation).
Dengan begitu laju inflasi yang akan datang dipengaruhi nilainya oleh laju
inflasi pada masa lampau. Hal ini mengakibatkan pembentukan harga dan
upah akan disesuaikan dengan laju inflasi yang terjadi pada masa yang
lampau. Ekspektasi adaptif ini susah untuk ditanggulangi, karena menyangkut
efek psikologis, berupa trauma akan laju inflasi yang terbentuk di masa lalu.
Oleh karena itu model ekspektasi adaptif ini memiliki pengaruh yang paling
besar terhadap laju inflasi dibandingkan bila menggunakan variabel
ekspektasi yang lain (Bank Indonesia, 2000).
2.1.3.5
Hubungan antara Nilai Tukar (
Exchange Rate
) dan Inflasi
Studi Permana (2004) menjelaskan bahwa nilai tukar merupakan salah satu
variabel mekanisme transmisi kebijakan moneter. Nilai tukar berpengaruh
terhadap inflasi karena adanya direct passthrough effect melalui harga bahan baku
impor. Barang tersebut dapat berupa barang konsumsi, bahan baku, dan barang
modal. Dampak perubahan nilai tukar terhadap laju inflasi melalu impor barang
konsumsi tergolong ke dalam first
direct passthrough, karena harga impornya
dapat langsung mempengaruhi harga jual produk tersebut di dalam negeri.
Sedangkan dampak melalui impor bahan baku dan barang modal tergolong ke
second direct passthrough, karena pembentukan harganya melalui proses
produksi terlebih dahulu.
Dengan adanya depresiasi nilai tukar maka harga bahan baku impor akan
naik sehingga biaya produksi akan naik, penawaran akan turun dan terjadilah
inflasi dari sisi penawaran (cost push inflation). Nilai tukar mempunyai elastisitas
yang besar terhadap inflasi karena masih besarnya ketergantungan industri
terhadap bahan baku impor.
2.1.4. Penghitungan Inflasi di Indonesia
Menurut BPS (2009), inflasi di Indonesia merupakan perubahan Indeks
Harga Konsumen (IHK) pada suatu periode terhadap periode sebelumnya.
Penghitungan IHK tersebut menggunakan metode Laspeyers yang dikembangkan
(modified Laspeyers) karena dalam rumusan indeksnya menggunakan kuantum
yang tetap sesuai tahun dasar. Rumusan Indeks Laspeyers dituliskan sebagai
berikut:
∑
∑
%
∑
(2.1)
dimana :
In = Indeks bulan ke-n
Pn = Harga jenis komoditi bulan ke-n
Po = Harga jenis komoditi tahun dasar
Qo= Kuantum jenis komoditi tahun dasar
dengan pertimbangan teknis pengolahan dari penghitungan IHK, maka
rumusan Indeks Laspeyers diatas dimodifikasi sedemikian rupa sehingga
menghasilkan rumusan indeks sebagai berikut:
%
∑ (2.2)
dimana :
In = Indeks bulan ke-n
Pn = Harga jenis komoditi bulan ke-n
Po = Harga jenis komoditi tahun dasar
Qo= Kuantum jenis komoditi tahun dasar
P
(n-1)= Harga jenis komoditi bulan ke- (n-1)
Tahapan untuk menghitung inflasi dimulai dengan menghitung relatif harga
(RH), kemudian menghitung nilai konsumsi (NK), menghitung IHK, dan terakhir
menghitung angka inflasi untuk masing-masing kota. Dari masing-masing kota
ditimbang untuk mendapatkan angka inflasi nasional.
Menurut BPS, penghitungan inflasi di Indonesia dilaksanakan di 66 kota
dan meliputi 774 jenis barang/jasa dan kemudian dikelompokan menjadi 7
kelompok utama yaitu:
1. Bahan Makanan
2. Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau
3. Perumahan
4. Sandang
5. Kesehatan
7. Transportasi dan Komunikasi
Komponen penghitungan IHK adalah:
1.
Tahun Dasar
Periode dasar atau tahun dasar adalah periode waktu tertentu yang dipakai
sebagai dasar perbandingan. Pengukuran IHK sampai dengan bulan maret
1998 menggunakan periode 1988-1989 sebagai tahun dasar. Sedangkan sejak
April tahun 1998 menggunakan periode tahun 1996 sebagai periode dasar dan
sejak Januari 2004 sudah menggunakan tahun 2002 sebagai periode dasar.
Sejak Juni 2008 tahun dasar yang dipakai untuk penghitungan inflasi adalah
2007.
2.
Data Harga
Harga yang dipilih dalam pengumpulan data harga konsumen adalah harga
eceran, yaitu harga transaksi secara tunai yang terjadi antara penjual
(pedagang eceran) dan pembeli (konsumen langsung).
3.
Paket komoditas
Adalah sejumlah komoditi yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di suatu
kota yang digunakan sebagai acuan dalam penghitungan indeks. Paket
komoditas diperoleh dari suatu survei pengeluaran rumahtangga yang
mencakup seluruh pengeluaran konsumsi untuk komoditi. Survei tersebut
adalah Survei Biaya Hidup (SBH).
4.
Diagram Timbangan
Bobot/peran dari setiap jenis barang/jasa, dimana sumber datanya adalah
Survei Biaya Hidup (SBH) yaitu nilai konsumsi makanan dan bukan makanan.
Setelah diperoleh IHK, maka inflasi dapat diketahui. Penghitungan inflasi
menggunakan persamaan sebagai berikut:
(2.3)
Dimana
merupakan inflasi yang terjadi pada periode t,
merupakan IHK
pada periode t sedangkan
merupakan IHK pada periode sebelumnya.
Inflasi terjadi apabila perubahan IHK bernilai positif, apabila perubahannya
bernilai negatif maka disebut terjadi deflasi.
2.2
Tinjauan Studi Terdahulu
Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi telah banyak
dilakukan. Pada Tabel 2.1 akan ditampilkan ringkasan penelitian terdahulu
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi.
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu tentang Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Inflasi.
NO NAMA
PENELITI JUDUL PENELITIAN DATA DAN METODE HASIL PENELITIAN 1 Permana, 2004 Analisis Faktor-faktor Penentu Laju Inflasi dilihat dari Sisi
Penawaran dan Ekspektasi Adaptif dalam Rezim Nilai Tukar Mengambang Bebas
-Indonesia, data tahun 1993-2004 -Model regresi
berganda OLS
Harga BBM dan harga beras tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi, sedangkan nilai tukar berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. 2 Trihadmini, 2004 Analisis Determinan Inflasi di Indonesia Periode 1988-2002
- Indonesia, data tahun 1988-2002 - Model Persamaan Simultan
Ekspektasi inflasi dan inflasi impor berpengaruh terhadap inflasi. 3 Krisnawati, 2006 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Inflasi di Indonesia.
- Indonesia (1983-2004 dan 1997-2004)
- Multicointegration
Output gap sangat berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia periode 1983-2004 sedangkan periode 1997-2004 yang berpengaruh terhadap inflasi adalah disequilibrium pasar uang. 4 Mardianti, 2006
Analisis Inflasi di Indonesia dari Sisi Permintaan Uang
- Data Indonesia periode 1990: kuartal 1 sampai 2005: kuartal 3 - Error Correction
Model (ECM)
Inflasi Indonesia periode t-1, perubahan broad money, perubahan nilai tukar periode t-1 dan t-2, berhubungan positif dengan inflasi di Indonesia.
5 Devi, 2006 Analisis Inflasi di Indonesia
- Indonesia, data tahun 2000-2005 - Model OLS
PDB, nilai tukar dan jumlah uang beredar secara serentak mempunyai hubungan secara signifikan terhadap inflasi, secara parsial nilai tukar dan jumlah uang beredar
mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. 6 Apriani, 2007 Analisis Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia Terhadap Inflasi dan Output di Indonesia: Periode 1990-2006
- Indonesia, data tahun 1990-2006 - Model VAR
dilanjutkan dengan VECM Guncangan harga minyak dunia berhubungan positif dengan inflasi, output, jumlah uang beredar dan nilai tukar riil. 7 Budiarti, 2008 Pengaruh Kenaikan Harga Bbm Terhadap Indeks Harga Konsumen (Ihk) Masing-Masing Kelompok Barang Dan Jasa Di Kota Banda Aceh Tahun 1998-2008
-Kota Banda Aceh, data tahun 1998-2008
-Model VAR
Kenaikan harga BBM berhubungan positif dengan inflasi umum dan inflasi untuk masing-masing komoditi barang dan jasa.
8
Sultan, 2011
Inflation in Kingdom of Saudi Arabia: A Bound Test Analysis-Arab Saudi -Model
Cointegration
dengan VECM
Inflasi di dunia ekonomi, tingkat nilai tukar dan money supply adalah faktor utama yang
mempengaruhi inflasi di Saudi Arabia. 9 Dwiantoro,
2004
Analisis
Determinan Inflasi di Indonesia dengan Engle-Granger Error Correction Model
-Indonesia -Model
Eagle-Granger Error Correction Model (EG-ECM)
GDP riil berpengaruh negatif terhadap inflasi dan inflasi harapan berpengaruh positif terhadap tingkat inflasi dalam jangka panjang. 10 Monfort and
Pena, 2008 Inflation Determinant in Paraguay: Cost Push versus Demand Pull Factors -Paraguay -Model Cointegration dengan pendekatan VAR
Jumlah uang beredar berpengaruh dalam inflasi jangka panjang sedangkan harga luar negeri/ harga
beberapa produk makanan dan indeks upah punya pengaruh dalam jangka pendek
Penelitian ini berdasarkan penelitian Permana (2004). Persamaan penelitian
ini dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi inflasi di Indonesia dari sisi penawaran. Sedangkan perbedaannya
terletak pada cakupan tahun, variabel yang digunakan dan metode analisis yang
digunakan. Periode tahun dalam penelitian Permana adalah data kuartalan dari
tahun 1993-2004 sedangkan dalam penelitian ini periode yang digunakan adalah
data bulanan dari tahun 1998-2010.
Variabel yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah harga BBM dan
harga beras sedangkan dalam penelitian ini menggunakan variabel harga minyak
dunia dan indeks harga komoditi pangan dunia. Metode yang digunakan dalam
penelitian terdahulu adalah regresi berganda Ordinary Least Square (OLS)
sedangkan dalam penelitian ini menggunakan analisis Vector Error Correction
Model (VECM).
2.3
Kerangka Pemikiran Operasional
Guncangan penawaran yang negatif berupa bencana alam telah
menyebabkan kegagalan panen dan terjadinya kelangkaan komoditi pangan.
Kelangkaan pangan akan berimbas pada naiknya harga komoditi pangan.
Disamping itu adanya krisis energi yang mulai melanda di tahun 2005 yang
dimulai dengan berkurangnya pasokan minyak dunia berimbas pada kenaikan
harga minyak dunia. Di Indonesia, kenaikan harga minyak dunia diikuti oleh
kenaikan harga bahan bakar minyak oleh pemerintah. BBM yang merupakan input
produksi sehingga kenaikan harganya akan meningkatkan biaya produksi. Supaya
tidak mengalami kerugian, maka produsen akan menaikkan harga jual produknya
ke konsumen sehingga akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga di
masyarakat. Semakin mahalnya harga-harga membuat buruh berusaha menuntut
kenaikan upah supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Kenaikan upah ini
akan meningkatkan biaya produksi dan sekali lagi akan membuat produsen
menaikkan harga jual produknya. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar
akan membuat harga bahan baku impor menjadi mahal sehingga akan membebani
biaya produksi. Kerangka pemikiran di atas dapat disajikan dalam Gambar 2.3.
Krisis Pangan Dunia dan Domestik
Krisis energi Dunia ‐ Harga minyak dunia
Gambar 2.3 Skema Kerangka Pemikiran
ikHarga BBM naik Harga Pangan Naik
Biaya Produksi Naik UMR
Cost Push Inflation
Exchange rate
-harga bahan baku impor naik.
Inflasi
3.1.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder berupa data
bulanan periode 1998-2010. Variabel, data, satuan dan sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1. Variabel, Data yang Digunakan dan Sumbernya
Data (Variabel)
Data yang digunakan
Satuan
Sumber Data
Inflasi (INF)
Angka inflasi bulanan
Indeks
Badan Pusat
Statistik (BPS)
Harga minyak
dunia (P_OIL)
Data harga minyak dunia
per bulan
$US/barel
International
Monetary Fund
(IMF)
Indeks harga
komoditi pangan
dunia (IHP)
Data indeks harga dari 55
komoditi pangan dunia.
Indeks
Food
Agricultural
Organization
(FAO)
Exchange Rate
(KURS)
Data nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika
Serikat per bulan
$US/Rupiah Bank
Indonesia
Expected inflation
(EXP_INF)
Data inflasi bulan
sebelumnya (I
t-1)
Indeks BPS
Tingkat
upah
(W) Rata-rata upah riil per
bulan per pekerja di
bawah mandor/supervisor
sektor manufaktur
Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang merupakan data dunia yaitu
harga minyak dunia dan indeks harga komoditi pangan dunia. Penggunaan data
harga minyak dunia berdasarkan beberapa penelitian yang menganalisis dampak
harga minyak dunia terhadap inflasi yaitu penelitian Purwanti (2011) dan
penelitian Apriani (2007), sedangkan penggunaan variabel indeks harga komoditi
pangan dunia disebabkan indeks harga komoditi pangan Indonesia tidak tersedia
dalam bulanan dan menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Rahardja (2011)
menyatakan bahwa kenaikan satu persen harga komoditi pangan dunia akan
meningkatkan sebesar satu persen harga komoditi pangan di Indonesia.
Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 13 tahun yaitu
dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2008 per bulan, sehingga terdapat sebanyak
156 unit observasi. Dengan periode waktu tersebut, maka dapat digunakan analisis
time series, agar dapat menggambarkan hubungan jangka panjang antar variabel.
3.2.
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan untuk mendukung dan mencapai tujuan
penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrika.
3.2.1.
Analisis Deskriptif
mengenai perkembangan laju inflasi yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu
1998-2010 dan juga digunakan untuk menggambarkan perkembangan variabel
harga minyak dunia, tingkat upah buruh, exchange rate dan indeks harga pangan
dunia.
3.2.2.
Analisis Ekonometrika
Analisis ekonometrika yang dipakai dalam penelitian ini berdasarkan model
pada penelitian yang dilakukan oleh Dwiantoro (2004) dan Permana (2004). Studi
Dwiantoro menggunakan analisis Engle-Granger Error Correction Model dan
studi Permana menggunakan analisis regresi berganda Ordinay Least Square
(OLS) sedangkan dalam penelitian ini akan menggunakan analisis Vector Error
Correction Model karena data yang digunakan tidak semua stasioner pada level
dan terdapat kointegrasi diantara variabel-variabel tersebut.
3.2.2.1.
Uji Stasionaritas
harus dipenuhi suatu data series sehingga dapat dikatakan stasioner apabila
mempunyai kondisi sebagai berikut:
1. Rata-rata tetap (constant) tidak terpengaruh oleh jalannya waktu (invariant with
respect to time).
2. Variasi data tetap (variance to be constant) untuk seluruh series data.
3. Covariance antar nilai dari waktu yang berbeda tergantung dari jarak nilai (time
lag) bukan pada posisi waktu dimana covariance tersebut dihitung.
Secara statistik, ketiga kondisi series yang stasioner di atas dapat dinyatakan
sebagai berikut:
Rata-rata :
(3.1)
Variance :
(3.2)
Covariance:
(3.3)
dimana
Y
adalah data observasi, adalah rata-rata konstan dari variabel Y,
merupakan varians konstan dari variabel Y, t menunjukkan waktu, p menunjukkan
jarak nilai (time lag) dan
, kovarians (atau otokovarians) pada keterlambatan k
adalah kovarians antara nilai dan
yaitu antara dua nilai , terpisah
sebanyak
periode.
peneliti. Uji stasionaritas yang akhir-akhir ini banyak digunakan adalah uji
akar-akar unit (unit roots test). Dalam penelitian ini, uji stasioneritas yang digunakan
adalah uji akar unit (Unit Roots Test) dengan metode Augmenterd Dickey Fuller
Test (ADF test) dengan alasan bahwa ADF Test telah mempertimbangkan
kemungkinan adanya autokorelasi pada error term jika series yang digunakan non
stasioner.
Uji Akar-akar Unit
Uji stasioneritas akan dilakukan dengan metode ADF dan PP sesuai dengan
bentuk
trend deterministik yang dikandung oleh setiap variabel. Hasil series
stasioner akan berujung pada penggunaan VAR dengan metode standar.
Sementara series nonstasioner akan berimplikasi pada dua pilihan yaitu VAR
yaitu VAR dalam bentuk differens atau VECM.
Adanya perubahan struktural ini berarti nilai parameter estimasi tidak sama
dalam periode penelitian, dengan kata lain perubahan struktural ini akan
menyebabkan adanya perbedaan intercept
(konstanta) atau slope,
ataupun
kemungkinan adanya perbedaan pada intercept maupun slope dalam garis regresi.
Untuk mendeteksi adanya perubahan struktural ini dapat dilakukan dengan
melihat fluktuasi data dengan grafik. Adanya perubahan struktural dapat
menyebabkan data terlihat seperti tidak stasioner, sehingga dalam perhitungan
akan mengarah pada penerimaan hipotesis nol yang salah.
Uji akar unit pertama kali dikembangkan oleh Dickey-Fuller (DF), dasar uji
stasioner data dengan akar unit dapat dijelaskan melalui persamaan:
:
,
:
,
, dimana
(3.4)
Dimana adalah koefisien otoregresif dan
adalah residual yang bersifat
random atau stokastik dengan rata-rata nol, varian konstan dan nonautokorelasi.
Residual yang seperti itu disebut white noise. Jika pada persamaan (3.4),
,
maka dikatakan bahwa variabel random Y mempunyai unit
root. Jika data
mempunyai unit root maka data tersebut bergerak secara random walk sedangkan
yang random walk bersifat tidak stasioner.
Dalam bentuk hepotesis dapat ditulis:
∆
:
,
,
:
,
:
,
∆
:
,
,
Dimana
∆
dan
, sehingga bentuk hipotesis menjadi :
(series mengandung unit root)
(series tidak mengandung unit root)
Langkah-langkah uji akar-akar unit dengan menggunakan metode ADF Test
adalah sebagai berikut:
1. Misalkan terdapat persamaan sebagai berikut:
di mana
adalah koefisien otoregesif, adalah white noise error term yang
mempunyai rata-rata sama dengan nol dan varians konstan serta tidak
mengandung autokorelasi. Jika
, maka dapat dinyatakan bahwa variabel
mempunyai akar unit. Dalam istilah ekonometrika, series yang memiliki akar unit
disebut ‘random walk’.
Dalam bentuk hipotesis menjadi:
(series mengandung unit root)
(series tidak mengandung unit root)
2. Persamaan di atas dapat juga dinyatakan dalam bentuk lain (turunan pertama),
Dimana
∆
dan
, sehingga bentuk hipotesis menjadi :
(series mengandung unit root)
Jika
, maka persamaan di atas dapat ditulis:
∆
Persamaan ini menunjukan bahwa turunan pertama dari series yang random walk
( ) adalah sebuah series stasioner dengan asumsi bahwa adalah benar-benar
random.
3. Setelah didapat persamaannya, prosedur pengujian adalah dengan menghitung
terlebih dahulu nilai statistik ADF.
Statistik uji:
Dengan melihat nilai dari statistik ADF yang merupakan koefisien otoregresifnya,
dapat diketahui apakah series mengandung unit roots atau tidak. Jika nilai ADF
(
) lebih kecil dari nilai kritis Tabel Mackinnon dengan derajat bebas
maka
ditolak atau dapat dikatakan bahwa series telah stasioner. Jika
data asli dari suatu series saling berintegrasi atau data sudah stasioner, maka data
tersebut berintegrasi pada order 0 atau dilambangkan dengan I(0). Selanjutnya,
jika data baru stasioner dan saling berintegrasi pata turunan pertama, maka data
terebut berintegrasi pada order 1 atau I(1). Begitu seterusnya sampai didapatkan
data yang stasioner pada order d atau I(d).
3.2.2.2.
Pemeriksaan
Lag
Optimal
secara arbiter (trial and error) untuk mendapatkan hasil yang optimal. Namun
dalam pemilihan lag, selain mempertimbangkan optimalitas seharusnya juga
memperhatikan adanya kemungkinan korelasi antar residual dan penurunan
degree of freedom dari persamaan yang dihasilkan dan jumlah parameter yang
diestimasi menjadi semakin banyak sehingga menjadi tidak efisien (Enders,
2004).
Untuk memperoleh panjang selang yang tepat akan dilakukan 3 bentuk
pengujian secara bertahap. Pada tahap pertama akan dilihat panjang selang
maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai
inverse roots karakteristik AR polinominalnya. Suatu sistem VAR dikatakan
stabil (stasioner) jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan
semuanya terletak di dalam unit circle.
Pada
tahap
kedua, panjang selang optimal akan dicari dengan
menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kandidat selang yang terpilih
adalah panjang selang menurut kriteria Likelihood ratio (LR), Final Prediction
Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion
(SIC), dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ). Jika kriteria informasi
hanya merujuk pada sebuah kandidat selang maka kandidat tersebutlah yang
optimal. Jika diperoleh lebih dari satu kandidat, maka pemilihan dilanjutkan pada
tahap ketiga.
dengan selang tertentu yang menghasilkan nilai adjusted R
2terbesar pada
variabel-variabel penting di dalam sistem.
3.2.2.3.
Uji Kointegrasi
Jika
series dari variabel-variabel yang diteliti diketahui memiliki unit roots
dan terkointegrasi pada order tertentu, maka perlu dilakukan uji kointegrasi.
Dengan kata lain, uji kointegrasi dilakukan untuk mendeteksi stabilitas hubungan
jangka panjang antara dua variabel atau lebih. Jika di antara variabel-variabel
terkait terdapat kointegrasi, berarti terdapat hubungan jangka panjang di antara
variabel-variabel tersebut. Jika variabel X dan variabel Y terintegrasi, maka hasil
regresi antar variabel X dan Y akan menghasilkan residual yang stasioner.
Adapun dua series yang terintegrasi akan memiliki hubungan jangka panjang yang
stabil. Gujarati dalam Zahira (2004) menyatakan bahwa pengujian kointegrasi
hanya valid jika dilakukan pada data asli yang stasioner.
Enders (2004) memberikan catatan penting tentang definisi kointegrasi
sebagai berikut:
1.
Kointegrasi merupakan kombinasi linier dari variabel-variabel yang seriesnya
nonstasioner.
2.
Semua variabel yang diuji harus terintegrasi (stasioner) pada order yang sama.
3.
Jika X
tmempunyai n komponen, maka dimungkinkan terdapat sebanyak n-1
Penelitian ini lebih lanjut menggunakan metode Johansen Contegration test
untuk melakukan uji kointegrasi dengan prosedur sebagai berikut:
Misalkan terdapat persamaan Vector Autoregression (VAR) dengan order p
sebagai berikut:
… …
∑
ln
(3.5)
Maka, tahapan-tahapan penerapan pendekatan Johansen untuk kointegrasi adalah:
1.
Lakukan autoregressive order p dalam model
2.
Lakukan regresi dari
∆
terhadap
∆
,
∆
, ….,
∆
dan hasil
residual
untuk masing-masing t,
dan mempunyai m elemen.
3.
Lakukan regresi dari
terhadap
∆
,
∆
, ….,
∆
dan hasil
residual untuk masing-masing t, dan mempunyai m elemen.
4.
Hitung kuadrat dari korelasi canonical antara
dan yang dalam hal ini
disebut
.
5.
Lakukan
trace test untuk mengetahui nilai trace
statictics atau likelihood ratiodengan rumus:
(3.6)
6.
Alternatif uji lainnya dengan menggunakan maximum eigenvalue test yaitu
mencari nilai maximum eigenvaluestatistic sebagai berikut:
max
at
atau te
atau ter
(3.7)
Nilai max eigenvaluestat
selanjutnya juga dibandingkan dengan nilai kritis dari
tabel Osterwald-Lenum.
Trace test dan maximum eigenvalue test dilakukan untuk berbagai
hipotesis nol, seperti
:
au tidak terdapat hubungan kointegrasi,
:
rdapat satu persamaan kointegrasi sampai
:
dapat
sebanyak (n-1) persamaan kointegrasi antar variabel. Banyaknya persamaan
kointegrasi ini menunjukkan banyaknya kombinasi linier antar variabel yang
stasioner.
3.2.2.4.
Metode
Vector Autoregressive
(VAR)
Keunikan VAR yaitu modeling dilakukan dengan memodelkan setiap
variabel endogen dalam sistem sebagai fungsi linear dari nilai lag/ selisih waktu
(lagged value) untuk semua variabel endogen dalam sistem. Penggunaan VAR
model umumnya untuk peramalan sistem peubah yang saling terkait satu sama
lain, disamping itu model ini dapat menganalisa dampak dinamis dari perubahan
(random disturbance) dalam sistem peubah tersebut. Fokus penggunaan VAR
terletak pada kemampuan model ini untuk melakukan peramalan (forecasting).
Peramalan yang dilakukan pun tanpa membutuhkan asumsi-asumsi untuk nilai
masing-masing variabel endogen di masa datang. Firdaus (2011) menyebutkan
beberapa keunggulan metode ini yaitu:
1.
Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang
kompleks (multivariat) sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan
variabel di dalam persamaan itu.
2.
Uji VAR yang multivariat bisa menghindarkan parameter yang bias akibat
tidak dimasukkannya variabel yang relevan.
3.
Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antarvariabel di dalam sistem
persamaan dengan menjadikan seluruh variabel sebagai variabel endogen.
4.
Metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering
Adapun kelemahan dari analisis VAR adalah sebagai berikut:
1.
Model VAR lebih bersifat teori karena tidak memanfaatkan informasi dari
teori-teori terdahulu.
2.
Karena lebih menitikberatkan pada peramalan, maka model VAR dianggap
tidak sesuai untuk implikasi kebijakan.
3.
Tantangan terbesar VAR adalah pemilihan panjang lag yang tepat.
4.
Semua variabel yang digunakan dalam model VAR harus stasioner.
5.
Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diinterpretasikan
3.2.2.5.
Metode
Vector Error Correction Model (VECM)
VECM adalah Vector Autoregressive (VAR) yang terbatas dan dirancang
untuk digunakan pada data nonstasioner yang diketahui memiliki hubungan
kointegrasi. Enders (2004) menyatakan bahwa variabel dalam VECM merupakan
variabel turunan pertama dalam model VAR, atau dengan kata lain bahwa
variabel dalam VECM merupakan variabel yang terkointegrasi pada orde pertama
[I(1)]. Hubungan dinamis jangka pendek dari suatu variabel di dalam sistem
dipengaruhi oleh penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang yang dikenal
sebagai
cointegration term atau error correction term. Penyimpangan dari
keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui sekumpulan
penyesuaian parsial jangka pendek.
ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam jangka pendek yang sering kita temui
dalam peristiwa ekonomi. Hal ini berarti apa yang diinginkan perilaku ekonomi
belum tentu sama dengan apa yang sebenarnya terjadi. Untuk itu suatu model
yang memasukkan penyesuaian untuk melakukan koreksi bagi ketidakseimbangan
atau model yang disebut model koreksi kesalahan (Vector Error Correction
Model).
Model
Vector Error Correction Model (VECM) dapat ditulis sebagai
berikut:
∆
∆
(3.8)
Dimana:
konstanta
Dalam hal ini koefisien
adalah koefisien jangka pendek sedangkan
adalah koefisien jangka panjang. Koefisien koreksi ketidakseimbangan
dalam
bentuk nilai absolut menjelaskan seberapa cepat waktu diperlukan untuk
mendapatkan nilai keseimbangan.
3.2.2.6.
PEMANFAATAN SISTEM VAR DAN VECM
Impulse response Function (IRF)
Impulse respon adalah salah satu metode estimasi pada VAR yang digunakan
untuk melihat respon variabel endogen terhadap adanya pengaruh inovasi (shock)
variabel endogen yang lain (Pindycks dan Rubinfeld, 1991). Inovasi
diinterpretasikan sebagai goncangan kebijakan (policy shock) atau sering juga
disebut aksi.
Forecast Error Decomposition of Variance (FEDVs)
FEVDs adalah metode yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana perubahan
dalam suatu variabel makro ditunjukkan oleh perubahan variance error yang
dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Metode ini dapat melihat juga
kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi
variabel lainnya pada kurun waktu yang panjang (how long/how persistent).
Dekomposisi varians merinci varians dari error peramalan (forecast) menjadi
komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen
dalam model. Melalui perhitungan persentase squared prediction error k-tahap ke
depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain, dapat
dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel
itu sendiri dan variabel-variabel lainnya.
Granger Causality Test
∑
∑
∑
∑
(3.9)
(3.10)
Gujarati (2003) menyebutkan bahwa terdapat beberapa kasus yang bisa
terjadi dari persamaan kausalitas, yaitu:
1.
Undirectional causality from Y to X, dapat diidentifikasikan jika koefisien
lag variabel Y pada persamaan pertama signifikan secara statistik
∑
dan untuk lag variabel X pada persamaan kedua tidak signifikan secara
statistik
∑
.
2.
Undirectional causality from X to Y, dikatakan terjadi jika koefisien lag
variabel Y pada persamaan pertama tidak signifikan secara statistik
∑
dan untuk lag variabel X pada persamaan kedua signifikan secara statistik
∑
.
3.
Feedback atau bilateral causality, jika koefisien dari kedua variabel
signifikan secara statistik dalam kedua persamaan regresi di atas.
4.
Independen jika koefisien dari kedua variabel tidak signifikan secara statistik
dalam kedua persamaan regresi di atas.
4.1
Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia
Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu
negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,
ekspor-impor, cadangan devisa, utang luar negeri dan kestabilan nilai tukar. Laju
inflasi Indonesia selama kurun waktu tahun 1998-2010 menunjukkan fluktuasi
seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.1. Nilai tertinggi dicapai pada tahun
1998 yaitu sebesar 77,63 persen dan nilai terendah dicapai pada tahun 1999
dengan laju inflasi sebesar 2,01 persen. Nilai tertinggi pada tahun 1998
merupakan dampak dari merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan faktor
sosial politik yang tidak aman, sehingga mengakibatkan harga barang dan jasa
terus meningkat tajam sampai akhir tahun 1998.
[image:45.595.162.485.510.675.2]Sumber : BPS (diolah)
Gambar 4.1 Laju Inflasi Tahunan di Indonesia Tahun 1998-2010
77.63
2.01 9.3512.5510.035.06 6.4 17.11
6.6 6.5911.062.78 6.96
0 20 40 60 80 100
LAJU
INFLASI
(PERSEN)
TAHUN
Laju inflasi bulanan di tahun 1998 yang tertinggi terjadi pada bulan Juni
yang mencapai 12,45 persen. Pada tahun 1999, inflasi tahunan turun menjadi 2,01
persen. Penurunan laju inflasi yang sangat tajam ini tidak terlepas dari pengaruh
terbentuknya pemerintah baru yang legitimate dan diharapkan dapat menciptakan
stabilitas politik dan ekonomi yang lebih baik (Gambar 4.2).
12.45
‐9.30
8.70
‐15.00 ‐10.00 ‐5.00 0.00 5.00 10.00 15.00
98:01 98:10 99:07 00:04 01:01 01:10 02:07 03:04 04:01 04:10 05:07 06:04 07:01 07:10 08:07 09:04 10:01 10:10
LAJU
INFLASI
(%)
TAHUN/PERIODE
INFLASI
Sumber : BPS (diolah)
Gambar 4.2 Laju Inflasi Bulanan Indonesia Tahun 1998-2010
Laju inflasi tahunan dari tahun 2000-2004 sudah mulai stabil dimana
angkanya yang berada dibawah dua digit. Inflasi tahun 2000 jika dibandingkan
dengan inflasi tahun 1999 meningkat secara tajam yaitu dari 2,01 persen menjadi
9,35 persen. Peningkatan laju inflasi ini diantaranya disebabkan adanya kenaikan
tarif angkutan per 1 September 2000, kenaikan BBM per Oktober 2000, Bulan
Puasa/Ramadhan (November 2000), Natal dan Lebaran (Desember 2000). Secara
umum pada tahun 2000-2005, inflasi terus terjadi dengan nilai yang terbilang
tinggi, yaitu dengan rata-rata mencapai 10 persen.
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan menjadi faktor utama
tingginya inflasi tahun 2005. Tingginya harga minyak di pasar internasional
menyebabkan pemerintah berusaha untuk menghapuskan subsidi BBM. Jika
melihat inflasi bulanan pada tahun 2005 yang tertinggi terjadi pada bulan Oktober
yaitu sebesar 8,70 persen (Gambar 4.2).
Laju inflasi selama tahun 2006-2007 menunjukkan perkembangan yang
relatif stabil yaitu berkisar pada 6 persen. Laju inflasi tahun 2006 sebesar 6,60
persen sedangkan pada tahun 2007 sebesar 6,59 persen. Laju inflasi bulanan tahun
2006 dan 2007 menunjukkan dalam kondisi yang stabil yaitu dibawah 5 persen.
Tekanan inflasi yang cukup tinggi terjadi di bulan Januari tahun 2006 dan turun
secara perlahan sampai nilainya dibawah 1 persen.
Penurunan laju inflasi dikarenakan adanya penundaan kenaikan tarif dasar
listrik oleh pemerintah. Laju inflasi bulanan di tahun 2007 juga menunjukkan
kondisi yang sama dengan tahun 2006 dimana nilainya masih di bawah 1,00
persen. Menjelang akhir tahun 2007, inflasi mengalami kenaikan yaitu dari 0,18
persen menjadi 1,10 persen. Kenaikan inflasi ini lebih disebabkan karena adanya
kenaikan harga komoditas di dunia seperti minyak mentah, CPO, emas, dan
gandum.
juga dipengaruhi oleh inflasi harga yang diatur pemerintah dan bahan makanan
yang bergejolak.
Laju inflasi tahun 2009-2010 menunjukkan kondisi yang relatif stabil
dimana pada tahun 2009 inflasi sebesar 2,78 persen dan tahun 2010 sebesar 6,96
persen. Untuk laju inflasi bulanan selama tahun 2009, nilainya masih dibawah 1
persen dan yang tertinggi dicapai pada bulan September sebesar 1,05 persen.
Selama tahun 2009, sempat terjadi deflasi yaitu pada bulan Januari, April dan
November dengan deflasi terbesar terjadi di bulan April sebesar 0,31 persen.
Laju inflasi bulanan di tahun 2010 masih dibawah 1 persen dan sempat
mengalami inflasi tinggi yaitu sebesar 1,57 persen pada bulan Juli. Pada bulan
Maret juga sempat terjadi deflasi sebesar 0.14 persen. Inflasi tahun 2010 tersebut
melampaui target yang ditetapkan oleh Bank Indonesia di awal tahun yaitu 5±1
persen dan juga melampau target inflasi pemerintah sebesar 5,3 persen.
4.2
Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (
Exchange Rate)
di Indonesia
mengambang terkendali dapat dilihat bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat relatif stabil yaitu berkisar pada Rp. 2000,- per dolar. Tetapi pada
saat menggunakan sistem nilai tukar bebas sejak Agustus 1997 terlihat bahwa
nilai tukar rupiah cenderung berfluktuatif.
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
RUPIAH
TAHUN
Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS
[image:49.595.116.490.196.447.2]Sumber : BI (diolah)
Gambar 4.3 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Berdasarkan Sistem Nilai
Tukar yang Diterapkan
barang impor meningkat drastis. Keadaan semakin memburuk karena banyak
masyarakat yang membeli dolar untuk menjaga nilai kekayaan mereka, yang
mendorong rupiah lebih melemah lagi (Gambar 4.4).
Rp. 14.900/$US
Rp. 6.726/$US
Rp. 12,151/$US
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000
98:01 98:09 99:05 00:01 00:09 01:05 02:01 02:09 03:05 04:01 04:09 05:05 06:01 06:09 07:05 08:01 08:09 09:05 10:01 10:09
KURS
(RP/$US)
TAHUN/PERIODE
[image:50.595.125.490.191.377.2]Sumber : BI (diolah)
Gambar 4.4 Laju Nilai Tukar Rupiah Bulanan Indonesia Tahun 1998-2010
Pada bulan Januari tahun 1999, nilai tukar rupiah mulai mengalami
penguatan dimana nilai tukar rupah mencapai Rp 8.950,- per dolar. Nilai ini
semakin menguat dan mencapai titik tertinggi pada bulan Juni yaitu sebesar Rp.
6.726,- per dolar. Penguatan nilai tukar ini disebabkan karena Indonesia yang
mendapat bantuan dari International Monetary Fund (IMF) dan dipengaruhi juga
oleh kondisi ekonomi, politik dan sosial yang membaik dalam negeri. Sampai
akhir tahun 1999, nilai tukar rupiah masih stabil dengan kisaran dibawah Rp.
10.000,-.
menjelang Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Nilai tukar tertinggi di tahun
2000 pada bulan Desember sebesar Rp. 9.595,-. Melemahnya rupiah ini terus
berlanjut hingga tahun 2001 dimana nilai tertinggi dicapai pada bulan Juni 2001
sebesar Rp. 11.440,-. Pada pertengahan tahun 2001 atau bulan Juli 2001 nilai
tukar rupiah menguat sebesar 1.915 poin atau berada pada level Rp. 9.525,- per
dolar Amerika.
Perkembangan rupiah selama tahun 2002-2003 menunjukkan terjadinya
penguatan. Di awal tahun 2002 nilai rupiah sebesar Rp. 10.320,- per dolar
Amerika dan di akhir tahun nilai rupiah menjadi Rp. 8.940,-. Perkembangan
tersebut menunjukkan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Hal
ini disebabkan adanya pemerintahan yang baru pada pertengahan tahun 2001.
Perkembangan nilai rupiah di awal tahun 2004 cenderung masih stabil tetapi
menjelang bulan Mei, rupiah mulai melemah sebesar 549 poin atau berada pada
Rp. 9.210,-. Melemahnya nilai rupiah ini terus berlangsung sampai akhir tahun
2004 dan hal ini lebih disebabkan karena situasi politik menjelang Pemilu 2004.
Perbaikan indikator moneter membuat nilai tukar rupiah selama tahun 2006
sedikit menguat dibandingkan akhir tahun 2005. Pada awal tahun nilai tukar
dibuka dengan nilai Rp. 9.395,- per dolar dan ditutup di akhir tahun dengan nilai
sebesar Rp. 9.020,-. Penguatan nilai rupiah pada tahun ini didukung oleh faktor
eksternal maupun internal. Faktor eksternal adalah karena masih dipengaruhi oleh
ekonomi AS yang melemah karena terjebak defisit ratusan miliar dolar AS dan
oleh kestabilan harga minyak dunia, meskipun masih cukup tinggi. Sementara itu,
dari sisi internal penguatan ini dipengaruhi oleh laju inflasi yang berada di bawah
10 persen dan menyebabkan suku bunga turun ke level 9,75 persen.
Selama tahun 2007, nilai tukar rupiah juga relatif menguat jika
dibandingkan dengan tahun 2006 dan mencapai titik terendah pada bulan Mei
dengan nilai Rp. 8.828,- per dolar AS. Menjelang akhir tahun, rupiah sempat
melemah yang disebabkan karena besarnya permintaan korporasi terhadap dolar
untuk keperluan pembayaran utang jatuh tempo. Disamping itu suku bunga di
beberapa negara yang mengalami kenaikan, tingginya harga minyak dunia,
rontoknya bursa saham akibat krisis ekonomi di AS juga menjadi pendorongnya.
Setelah sempat melemah di akhir tahun 2007, rupiah mulai menguat di awal tahun
2008 yaitu sebesar 128 poin. Penguatan nilai rupiah ini masih berlangsung sampai
pertengahan tahun 2008. Mulai bulan Oktober tahun 2008, rupiah mulai melemah
dengan kisaran nilai di atas Rp. 10.000,-. Pada akhir tahun rupiah ditutup dengan
nilai Rp. 10.950,-.
Februari. Menjelang akhir tahun, rupiah kembali menguat dengan kisaran Rp.
9.000,-. Pada tahun 2010, rupiah diperdagangkan dengan nilai rata-rata Rp.
9.000,- dan relatif stabil sepanjang tahun.
4.3
Perkembangan Upah Buruh di Indonesia
Besarnya upah yang diterima buruh tiap bulan dikenal dengan upah buruh
nominal, sedangkan upah buruh riil adalah besar upah yang diharapkan dapat
memenuhi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) para buruh setelah
memperhitungkan faktor inflasi. Upah buruh yang dimaksud adalah upah buruh
industri di bawah mandor (supervisor). Dari data BPS, selama kuartal 1-1997
hingga kuartal 3-2001 trend pada upah buruh riil meningkat di tahun 1997 lalu
terjadi penurunan di tahun 1998 dan kemudian mulai meningkat lagi di tahun
1999. Timbulnya trend ini merupakan salah satu dampak krisis ekonomi yang
dimulai tahun 1997, sehingga perusahaan-perusahaan mengambil kebijakan
dengan merumahkan sebagian karyawan/buruh baik sementara ataupun hingga
pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini jelas ikut mempengaruhi besar upah
yang diterima para buruh.
setelah krisis 1997 mulai terlihat pada kuartal I tahun 1999. Selama tahun 1999,
kenaikan upah riil rata-rata 3,9 persen.
100000 150000 200000 250000 300000 I ‐ 1997 IV ‐ 1997 III ‐ 1998 II ‐ 1999 I ‐ 2000 IV ‐ 2000 III ‐ 2001 II ‐ 2002 I ‐ 2003 IV ‐ 2003 III ‐ 2004 II ‐ 2005 I ‐ 2006 IV ‐ 2006 III ‐ 2007 II ‐ 2008 I ‐ 2009 IV ‐ 2009 RUPIAH/ORANG KUARTAL
UPAH RIIL
[image:54.595.132.471.165.360.2]Sumber : BPS (diolah)
Gambar 4.5 Upah Buruh Riil Indonesia Tahun 1998-2010
Jika dilihat dari rata-rata persentase kenaikan upah riil, dapat dilihat bahwa
dari tahun 1999 sampai tahun 2000 terlihat bahwa upah riil buruh industri
mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu di tahun 1999 sebesar 3,91 dan di
tahun 2000 sebesar 6,58. Secara rata-rata tingkat upah riil buruh sektor industri
semakin mengalami peningkatan secara bertahap. Penurunan upah riil sempat
terjadi pada tahun akhir 2005 sampai akhir tahun 2009. Penurunan ini
kemungkinan besar disebabkan oleh semakin memburuknya kondisi
perekonomian bangsa sebagai akibat adanya krisis finansial yang terjadi di