I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Sentral, Bank Indonesia
memiliki fokus pada pencapaian dan pemeliharaan nilai mata uang rupiah yang
salah satunya tercermin dari inflasi. Kemudian, menurut UU No. 3 tahun 2004
menyatakan bahwa inflasi merupakan satu-satunya tujuan kebijakan moneter di
Indonesia. Setelah adanya krisis 1998, otoritas moneter memikirkan strategi
kebijakan dalam rangka pengendalian moneter untuk mencapai tujuan ekonomi
tertentu yang telah ditetapkan. Awalnya, tujuan kebijakan moneter yang telah
ditetapkan adalah multi-objectives. Namun, seringkali sasaran-sasaran tersebut mengandung kontradiktif. Misalnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan
memperluas kesempatan kerja, terkadang dapat berdampak negatif pada
kestabilan harga. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa
perekonomian suatu negara memburuk karena kebijakan moneternya memiliki
tujuan ganda (multiple objectives). Sehingga, tujuan kebijakan moneter di Indonesia diubah menjadi single-objective yang hanya berfokus pada pengendalian inflasi.
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa
inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi
sosial ekonomi masyarakat. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari
masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin,
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan
menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan
produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga,
tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di
negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif
sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.1)
Menurut Endri (2008) inflasi di Indonesia dipengaruhi oleh faktor
eksternal dan faktor internal. Pengaruh faktor eksternal tidak terlepas dari
karakteristik Indonesia sebagai negara small open economy. Perekonomian Indonesia diproyeksikan sebagai negara yang berkarakteristik small open economy dimana konsekuensi yang ditimbulkan yaitu stabilitas perekonomian domestik akan rawan terhadap guncangan yang ditimbulkan oleh perekonomian
dunia. Adapun small open economy merupakan karakteristik suatu negara yang termasuk dalam bagian kecil dari pasar dunia yang memiliki pengaruh kecil pada
perekonomian dunia. Inflasi juga dipengaruhi oleh faktor internal yaitu
faktor-faktor yang berasal dari dalam negeri, seperti perubahan kebijakan moneter,
kebijakan fiskal dan kebijakan dibidang harga.
Berdasarkan Gambar 1.1 tingkat inflasi di Indonesia saat krisis 1998
mencapai 77,63 persen. Setelah krisis tersebut berlalu, guncangan faktor eksternal
dan domestik masih memengaruhi kondisi inflasi di Indonesia. Berdasarkan
Gambar 1.1 pada tahun 2000 hingga 2011 terjadi tiga kali kenaikan inflasi yang
cukup tinggi yaitu tahun 2001 sebesar 12,55 persen, tahun 2005 sebesar 17,11
persen, dan tahun 2008 sebesar 11,06 persen.
1)
Gambar 1.1. Tingkat Inflasi (year-on-year) di Indonesia Tahun 1997-2011 Sumber: BPS, 2012
Pada tahun 2001 terjadi peningkatan inflasi sebesar 12,55 persen (yoy). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya inflasi pada tahun 2001
ini. Pada tahun 2001, nilai tukar rupiah kembali mencapai kondisi terlemah pasca
krisis 1998 yaitu Rp 11.675 per US Dolar. Hal ini berdampak pada meningkatnya
biaya impor dan biaya produksi sehingga dapat meningkatkan inflasi. Selain itu,
inflasi tahun 2001 ini juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam kenaikan
upah minimum pegawai swasta dan kenaikan gaji pegawai negeri yang
berpengaruh pada peningkatan pertumbuhan uang beredar di masyarakat.
Rata-rata pertumbuhan uang beredar (M2) pada tahun 2001 sebesar 14,74 persen,
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 9,88 persen. Meningkatnya uang
beredar ini dapat meningkatkan permintaan agregat sehingga dapat meningkatkan
inflasi (Bank Indonesia, 2001).
Pada tahun 2005 terjadi peningkatan inflasi sebesar 17,11 persen (yoy). Faktor yang mempengaruhi tingginya inflasi tahun 2005 yaitu meningkatnya
harga minyak dunia yang diikuti dengan peningkatan harga BBM (Bahan Bakar
Minyak) di Indonesia. Kenaikan harga BBM sebanyak dua kali pada 2005,
khususnya kenaikan kedua pada tanggal 1 Oktober 2005 meningkatkan ekspektasi
inflasi yang tinggi di masyarakat. Dalam rangka mengendalikan ekspektasi dan
pencapaian sasaran inflasi jangka menengah panjang, Bank Indonesia menempuh
kebijakan moneter yang cenderung ketat. Kebijakan moneter cenderung ketat
tercermin pada kenaikan suku bunga secara bertahap. Pada Februari 2005 tercatat
suku bunga sebesar 7,43 persen perlahan meningkat menjadi 8,25 persen pada
Juni 2005 dan 12,75 persen pada Desember 2005 (Bank Indonesia, 2005).
Tabel 1.1. Inflasi Indonesia, Indeks Harga Pangan Dunia dan Harga Minyak Dunia Tahun 2008
September 11,93 217,7204 104,11
Oktober 11,55 190,9736 76,61
November 11,48 174,0497 57,31
Desember 10,23 163,9358 41,12
Sumber: OECD Stat, FAO dan EIA, 2012 (diolah)
Pada tahun 2008 terjadi peningkatan inflasi sebesar 11,06 persen (yoy). Faktor yang mempengaruhi tingginya inflasi pada awal tahun 2008 yaitu karena
adanya kenaikan harga minyak dunia dan harga pangan dunia (Tabel 1.1). Sejak
bulan Januari 2008 harga minyak dunia terus meningkat hingga bulan Juni 2008
mencapai 133,88 US$ per barel. Pada saat yang sama, indeks harga pangan dunia
minyak dunia dan harga pangan dunia ini diikuti oleh inflasi di Indonesia yang
sejak bulan Januari 2008 terus meningkat hingga bulan Juli mencapai 12 persen.
Kemudian sejak bulan Juli 2008 hingga bulan Desember 2008 terjadi penurunan
harga minyak dunia dan harga pangan dunia yang selanjutnya juga diikuti oleh
penurunan inflasi. Menurut Mishkin (2008), peningkatan pengeluaran pemerintah
juga dapat berkontribusi dalam meningkatkan inflasi. Hal ini dapat dilihat pada
tahun 2008 ketika pengeluaran pemerintah meningkat sebesar 10,4 persen dari
tahun sebelumnya, inflasi juga meningkat sebesar 11,06 persen.
1.2. Perumusan Masalah
Menurut UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Sentral, Bank Indonesia
memiliki fokus pada pencapaian dan pemeliharaan nilai mata uang rupiah yang
salah satunya tercermin dari inflasi. Kemudian menurut UU No. 3 tahun 2004
menyatakan bahwa inflasi merupakan satu-satunya tujuan kebijakan moneter di
Indonesia. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa
inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi
sosial ekonomi masyarakat. Menurut Endri (2008) inflasi di Indonesia
dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Pengaruh faktor eksternal
tidak terlepas dari karakteristik Indonesia sebagai negara small open economy. Perekonomian Indonesia diproyeksikan sebagai negara yang berkarakteristik
small open economy dimana konsekuensi yang ditimbulkan yaitu stabilitas perekonomian domestik akan rawan terhadap guncangan yang ditimbulkan oleh
perekonomian dunia. Inflasi juga dipengaruhi oleh faktor internal yaitu
kebijakan fiskal dan kebijakan dibidang harga. Pentingnya pengaruh faktor-faktor
yang mempengaruhi inflasi di Indonesia dari sisi eksternal dan internal perlu
dikaji untuk melihat seberapa besar respon inflasi jika terjadi guncangan pada
variabel eksternal dan internal. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh variabel eksternal dan internal terhadap inflasi di
Indonesia?
2. Bagaimana respon inflasi di Indonesia ketika terjadi guncangan dari
variabel eksternal dan internal?
3. Bagaimana kontribusi dari variabel eksternal dan internal terhadap
inflasi di Indonesia?
4. Bagaimana implikasi kebijakan pemerintah terhadap guncangan
eksternal dan internal yang berpengaruh pada inflasi di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Menganalisis pengaruh variabel eksternal dan internal terhadap inflasi
di Indonesia.
2. Menganalisis respon inflasi di Indonesia ketika terjadi guncangan dari
variabel eksternal dan internal.
3. Menganalisis kontribusi dari variabel eksternal dan internal terhadap
4. Menganalisis implikasi kebijakan pemerintah terhadap guncangan
eksternal dan internal yang berpengaruh pada inflasi di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi
pengambilan keputusan dalam mengendalikan inflasi.
2. Bagi kalangan akademisi, bermanfaat untuk menambah khazanah ilmu
pengetahuan dan menjadikan penelitian ini sebagai pembanding bagi
penelitian sebelumnya atau sebagai bahan rujukan bagi penelitian
selanjutnya.
3. Bagi penulis, penelitian ini dapat memberi wawasan baru mengenai
pengaruh, respon dan kontribusi guncangan dari variabel eksternal dan
internal terhadap inflasi di Indonesia.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas pengaruh guncangan dari faktor eksternal dan
internal terhadap inflasi di Indonesia. Selain itu, penelitian ini dapat melihat
respon dan kontribusi variabel eksternal dan internal terhadap inflasi di Indonesia.
Periode penelitian ini dari tahun 2000 hingga tahun 2011. Variabel eksternal yang
digunakan hanya nilai tukar, harga minyak dunia, dan harga pangan dunia.
Sedangkan, variabel internal yang digunakan adalah ekspektasi inflasi, uang
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Definisi Inflasi
Pada tahun awal Perang Dunia II Lerner mengutarakan definisi inflasi.
Menurut Lerner, inflasi adalah keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan
(excess demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Kelebihan permintaan akan barang-barang ini dapat diartikan
sebagai berlebihnya tingkat pengeluaran untuk komoditi akhir dibandingkan
dengan tingkat output maksimum yang dapat dicapai dalam jangka panjang
dengan sumber-sumber produksi tertentu (Susanto, 2005).
Friedman menyatakan bahwa inflasi selalu dan dimana pun merupakan
fenomena moneter. Ia menganggap bahwa sumber semua episode inflasi adalah
tingkat pertumbuhan uang beredar yang tinggi. Hanya dengan mengurangi tingkat
pertumbuhan uang beredar hingga tingkat yang rendah, inflasi dapat dihindari
(Mishkin, 2008).
Menurut Ackley, inflasi adalah suatu kenaikan harga yang terus menerus
dari barang-barang dan jasa secara umum. Kenaikan barang ini bukan hanya
terjadi pada satu barang saja, namun dapat berdampak pada kenaikan harga
barang lain (Sasana, 2004). Oleh karena itu untuk mengukur tingkat harga
rata-rata, para ekonom menyusun suatu indeks harga yang merata-rata harga komoditi
yang berbeda-beda menurut seberapa penting komoditi tersebut. Indeks tersebut
E0 E1 AS
AD1 AD0 2.1.2. Teori Inflasi
2.1.2.1. Teori Kuantitas Uang
Kaum Monetaris berpendapat bahwa inflasi merupakan fenomena moneter
yang terjadi karena adanya peningkatan jumlah uang beredar, sehingga
menyebabkan kenaikan dalam pertumbuhan uang beredar dan dipercaya menjadi
pemicu utama dari terjadinya inflasi. Tingkat harga yang berlaku (P) akan berubah
secara proposional dengan perubahan uang yang beredar, dimana kecepatan
transaksi (V) dan volume transaksi (T) akan dianggap konstan (Mankiw, 2007).
Hubungan diantara transaksi dan uang ditunjukkan dalam persamaan berikut yang
disebut persamaan kuantititas (quantity equation):
Uang x Perputaran = Harga x Transaksi
M x V = P x T (2.1) 2.1.2.2. Teori Keynes
Menurut Keynes, inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan barang
dan jasa yang lebih besar daripada yang mampu disediakan oleh masyarakat itu
sendiri. Hal ini menimbulkan inflationary gap karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia.
Gambar 2.1. Inflationary Gap
Sumber: Mankiw, 2007 P
P1
P0
Yf Ya Y
Inflationary gap ini diawali dari adanya peningkatan pengeluaran total yang menyebabkan peningkatan agregat demand sehingga kurva AD bergeser ke kanan. Pengeluaran total dapat berasal dari pengeluaran konsumsi masyarakat,
konsumsi pemerintah dan pengeluaran investasi sektor swasta. Keadaan ini
menggeser permintaan agregat bergerak naik melebihi keadaan output full employment. Akibat terjadi kelebihan permintaan pada pasar barang dan jasa sehingga harga meningkat. Kenaikan permintaan terhadap barang dan jasa akan
menyebabkan terjadinya kenaikan permintaan terhadap faktor produksi, sehingga
kuantitas permintaannya makin meningkat. Kenaikan harga barang dan jasa serta
faktor produksi inilah yang menyebabkan terjadi inflasi dalam perekonomian
(Nopirin, 2000). Bagi kalangan monetaris yang lebih menekankan terjadinya
kenaikan permintaan agregat sebagai akibat dari kenaikan ekspansi jumlah uang
yang beredar, tidak disangkal oleh Keynes. Namun, ditambahkan bahwa kenaikan
permintaan agregat bisa juga terjadi karena peningkatan pengeluaran konsumsi,
investasi, pengeluaran pemerintah serta ekspor netto.
2.1.2.3. Teori Strukturalis
Dasar pemikiran dari teori strukturalis adalah inflasi terjadi akibat adanya
kendala struktural dalam perekonomian. Kaum strukturalis berpendapat bahwa
penyebab inflasi di negara-negara berkembang adalah peningkatan harga komoditi
pangan dan inflasi dari luar negeri. Inflasi di negara berkembang umumnya
ditimbulkan oleh tekanan-tekanan, sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi
terhadap struktur sosial dan ekonomi yang masih terbelakang. Pada sektor
pertanian, dikemukakan bahwa terlambatnya pertumbuhan produktivitas atau
penurunan produksi dan peningkatan harga pangan. Di sektor perdagangan luar
negeri penurunan nilai mata uang (depresiasi) menyebabkan harga barang-barang
impor menjadi semakin tinggi.
2.1.2.4. Teori Mark-up Model
Menurut Cavanese, dasar pemikiran teori ini adalah bahwa harga output
dipengaruhi oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang
menyusun cost of production dan atau kenaikan pada profit margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar (Tambunan,
1996).
2.1.2.5. Teori Ekspektasi Rasional
Kurva Phillips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi
tergantung pada tiga kekuatan utama yaitu ekspektasi inflasi, pengangguran siklis
dan guncangan penawaran (Mankiw, 2007).
π =πe −β(u − u n) + v (2.2)
Dimana: π = inflasi
πe
= ekpektasi inflasi (u − u n) = pengangguran siklis
v = guncangan penawaran
Persamaan (2.2) mencerminkan hubungan berlawanan antara inflasi dan
pengangguran. Ketika tingkat pengangguran lebih tinggi dari tingkat
pengangguran alamiah, maka inflasi akan menurun. Sebaliknya ketika tingkat
pengangguran lebih rendah dari tingkat pengangguran alamiah, maka inflasi akan
mengendalikan permintaan agregat akan menghadapi tradeoff jangka pendek antara inflasi dan pengangguran
Teori ekspektasi rasional hadir sebagai pendekatan alternatif yang
mengasumsikan bahwa orang-orang memiliki ekspektasi rasional. Teori
ekspektasi rasional mengasumsikan bahwa orang-orang secara optimal
menggunakan seluruh informasi, termasuk informasi tentang kebijakan
pemerintah sekarang, untuk meramalkan masa depan. Menurut teori ekspektasi
rasional, perubahan kebijakan moneter dan fiskal dapat mengubah ekspektasi
masyarakat. Jika masyarakat membentuk ekspektasi mereka secara rasional, maka
inflasi memiliki inersia yang lebih kecil daripada pertama kali muncul. Sehingga,
jika para pembuat kebijakan bersungguh-sungguh ingin menurunkan inflasi, maka
orang-orang yang rasional akan memahami komitmen tersebut dan dapat
menurunkan ekspektasi inflasi mereka. Jadi, inflasi dapat turun tanpa kenaikan
pengangguran dan penurunan output.
Ada dua syarat dalam teori ekspektasi rasional ini. Pertama, rencana
menurunkan inflasi harus diumumkan sebelum para pekerja dan perusahaan yang
menetapkan upah serta harga membentuk ekspektasi mereka. Kedua, para pekerja
dan perusahaan harus percaya pada pengumuman itu. Jika tidak, mereka tidak
akan menurunkan ekspektasi inflasi. Jika kedua persyaratan itu dipenuhi,
pengumuman itu dengan cepat akan menggeser tradeoff jangka pendek antara inflasi dan pengangguran ke bawah, yang membiarkan tingkat inflasi yang lebih
2.1.3. Identifikasi Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Inflasi
2.1.3.1. Hubungan Inflasi dan Nilai Tukar
Menurut Zainusyukur (2005) perubahan nilai tukar rupiah berpengaruh
nyata dan menjadi determinan penting terhadap laju inflasi di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena penurunan nilai tukar atau depresiasi akan meningkatkan biaya
impor untuk barang-barang impor. Kenaikan harga untuk impor barang modal dan
bahan baku akan memengaruhi kenaikan biaya produksi didalam negeri. Sehingga
ketika nilai tukar terdepresiasi, maka akan meningkatkan laju inflasi.
2.1.3.2. Hubungan Inflasi dan Harga Minyak Dunia
Menurut Blanchard dalam Purwanti (2011), mekanisme transmisi dampak
oil price shock terhadap harga dan inflasi dapat dijelaskan melalui model mark-up. Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan merespon dengan menaikan markup sehingga harga akan naik, karena hubungan antara
keduanya berbanding lurus. Dengan asumsi upah tetap, peningkatan harga minyak
akan menyebabkan peningkatan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk
meningkatan harga.
2.1.3.3. Hubungan Inflasi dan Harga Pangan Dunia
Menurut Braun (2008) kenaikan pada harga pangan dapat meningkatkan
inflasi dan ketidakseimbangan makroekonomi. Pada sebagian negara, pola
kenaikan harga pangan dunia diikuti oleh kenaikan harga pangan domestik. Pada
negara berkembang, kenaikan harga pada pangan dapat meningkatkan inflasi. Hal
ini dapat terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati porsi terbesar dari
tingkat konsumsi masyarakat. Jadi, kenaikan harga pangan dunia dapat
1
2.1.3.4. Hubungan Inflasi dan Uang Beredar
Bagi kalangan monetaris, meningkatnya jumlah uang beredar secara terus
menerus akan meyebabkan terjadinya inflasi. Hubungan kedua variabel ini
ditunjukkan pada Gambar 2.2 (Mishkin, 2008).
Gambar 2.2. Dampak Kenaikan Uang Beredar Sumber: Mishkin, 2008
Awalnya perekonomian berada pada titik 1 dengan output natural dan
tingkat harga P1 (perpotongan kuva AD1 dan kurva AS1). Jika jumlah uang
beredar meningkat, kurva permintaan agregat bergeser ke kanan AD2 sehingga
perekonomian berpindah ke titik 11 dan output meningkat diatas tingkat alamiah.
Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan pengangguran dibawah tingkat awal
yang mengakibatkan kenaikan upah. Kurva penawaran agregat akan bergeser ke
kiri dan akan berhenti pada titik AS2. Pada waktu perekonomian meningkat
kembali di tingkat output awal dengan kurva penawaran agregat jangka panjang,
terjadi keseimbangan baru di titik 2 sehingga harga meningkat dari P1 ke P2.
Apabila jumlah uang beredar meningkat pada tahun berikutnya, kurva AD
E0 E1
AD1
AD0 AS
AS3. Perekonomian kemudian akan bergerak dari titik 21 ke 3 dan tingkat harga
meningkat ke P3. Jika jumlah uang beredar terus tumbuh, perekonomian akan
terus bergerak pada tingkat harga yang lebih tinggi. Selama jumlah uang yang
beredar meningkat dalam proses terus menerus, inflasi akan timbul.
2.1.3.5. Hubungan Inflasi dan PDB
Dari sisi permintaan, meningkatnya PDB dapat meningkatkan permintaan
agregat sehingga dapat meningkatkan harga. Berdasarkan Gambar 2.3
menjelaskan hubungan antara GDP dengan inflasi. Titik E0 merupakan awal
keseimbangan AD dan AS. Jika GDP mengalami ekspansi akibat adanya
peningkatan pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ataupun
ekspor netto maka akan menggeser kurva AD ke kanan atas (AD0 ke AD1).
Peningkatan kurva AD tersebut menyebabkan bergesernya keadaan ekuilibrium
dari E0 ke E1 pada tingkat harga yang lebih tinggi (P1) (Mankiw, 2007).
Gambar 2.3. GDP dan Inflasi Sumber: Mankiw, 2007
2.1.3.6. Hubungan Inflasi dan Suku Bunga
Kebijakan moneter yang kontraktif (LM0 ke LM1) meningkatkan suku
bunga dari r0 ke r1. Suku bunga merupakan harga uang di masa depan. Ketika
suku bunga meningkat, masyarakat cenderung akan menyimpan uangnya dalam P
P1
P0
Y AD1 A
B C
bentuk tabungan atau obligasi. Hal ini dapat mengurangi jumlah uang beredar
sehingga dapat mengurangi kegiatan konsumsi atau investasi. Hal ini dapat
mengurangi permintaan agregat (AD0 ke AD1).
Gambar 2.4. Suku Bunga dan Inflasi Sumber: Mankiw, 2007
Dalam jangka pendek, harga adalah kaku, sehingga perekonomian
bergerak dari titik A ke titik B. Output dan kesempatan kerja turun dibawah
tingkat alamiah, yang berarti perekonomian mengalami resesi. Selama itu, dalam
menanggapi permintaan yang rendah, upah dan harga turun. Penurunan tingkat
harga yang berangsur-angsur ini menggerakkan perekonomian ke bawah
sepanjang kurva permintaan agregat ke titik C, yang merupakan ekuilibrium
jangka panjang yang baru. Pada ekuilibrium jangka panjang yang baru (titik C),
output dan kesempatan kerja kembali ke tingkat alamiah, tetapi tingkat harga
1 2 AS
AD2
AD1 11
AS2
AS1
2.1.3.7. Hubungan Inflasi dan Pengeluaran Pemerintah
Inflasi dapat disebabkan dari kebijakan fiskal seperti peningkatan
pengeluaran pemerintah (Mishkin, 2008). Hal tersebut dapat dijelaskan melalui
Gambar 2.5. Pada awalnya, keseimbangan berada pada titik 1, dimana output
berada pada pada tingkat alamiah dan tingkat harga P1. Kenaikan pengeluaran
pemerintah menggeser kurva permintaan agregat ke AD2, sehingga titik
keseimbangan berubah menjadi di titik 11 dimana output berada diatas tingkat
alamiah Y1. Oleh karena itu, kurva penawaran jangka pendek akan mulai bergeser
ke kiri, secara perlahan mencapai AS2, dimana kurva tersebut berpotongan
dengan kurva permintaan agregat AD2 sehingga output kembali pada
keseimbangan alamiah dan tingkat harga meningkat menjadi P2.
Gambar 2.5. Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi Sumber : Mishkin, 2008
2.1.4. Sumber Inflasi
Penyebab timbulnya inflasi berasal dari sisi permintaan (Demand Pull Inflation) dan sisi penawaran (Cost Push Inflation).
P
P2
P1
1. Demand Pull Inflation
Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (agregate demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh. Apabila
kesempatan kerja penuh (full-employment) telah tercapai, penambahan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja.
2. Cost Push Inflation
Inflasi ini ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi,
inflasi yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan
adanya penurunan dalam penawaran total (agregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Kenaikan biaya produksi akan menaikkan harga
dan turunnya produksi.
2.1.5. Jenis-Jenis Inflasi
Jenis-jenis inflasi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandang
sebagai berikut:
1. Asal Inflasi
Berdasarkan asal terjadinya, inflasi dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Domestic Inflation
Domestic Inflation adalah inflasi yang berasal dari dalam negeri, sebagai akibat adanya kenikan harga dari dalam negeri, baik karena perilaku masyarakat
maupun perilaku pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat
b. Imported Inflation
Imported Inflation adalah inflasi yang terjadi didalam negeri karena adanya pengaruh kenaikan harga dari luar negeri. Kenaikan harga didalam negeri
terjadi karena dipengaruhi oleh kenaikan harga diluar negeri terutama harga
barang impor atau kenaikan harga bahan baku yang masih belum dapat diproduksi
didalam negeri.
2. Bobot Inflasi
Berdasarkan bobotnya, inflasi dibagi menjadi empat macam, yaitu inflasi
ringan, sedang, berat dan sangat berat. Inflasi ringan (creeping inflation) adalah inflasi dengan laju pertumbuhan secara perlahan dan berada pada posisi satu digit
atau dibawah 10 persen per tahun. Inflasi sedang (moderat) adalah inflasi dengan tingkat pertumbuhan berada diantara 10-30 persen per tahun atau melebihi dua
digit dan sangat mengancam strukutur dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Inflasi berat adalah inflasi dengan laju pertumbuhan berada diantara 30-100
persen. Pada kondisi demikian, sektor-sektor produksi hampir lumpuh total
kecuali yang dikuasai negara. Inflasi sangat berat (Hyperinflation) adalah inflasi dengan laju pertumbuhan melampaui 100 persen per tahun, sebagaimana yang
terjadi dimasa perang dunia ke II (1979-1945). Untuk keperluan perang terpaksa
harus dibiayai dengan cara mencetak uang secara berlebihan.
2.1.6. Pengukuran Tingkat Inflasi
Pertumbuhan tingkat inflasi dapat diukur dengan menggunakan indikator
Besar (IHPB), dan Angka Deflator. Berikut ini akan dibahas mengenai indikator
perhitungan inflasi.
2.1.6.1. Indeks Harga Konsumen (IHK)
Untuk melihat dan mengamati bagaimana perubahan harga barang/jasa
yang menjadi kebutuhan masyarakat diperlukan data statistik di tingkat konsumen
yaitu Indeks Harga Konsumen (IHK). IHK menggambarkan rata-rata perubahan
harga antar periode waktu tertentu dari satu kelompok barang/jasa. Atas dasar
penghitungan IHK maka akan diperoleh angka inflasi sebagai gambaran
meningkatnya harga barang/jasa kebutuhan masyarakat yang dihitung berdasarkan
bobot nilai konsumsi yang berlaku di suatu wilayah. IHK merupakan indikator
penghitungan inflasi yang umum digunakan. Perhitungannya menggunakan rumus
sebagai berikut :
LIt = ��− �� �−
�− x 100 % (2.3)
LIt = Laju Inflasi pada tahun atau periode t
IHKt = Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t
IHKt-1 = Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t-1
2.1.6.2. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
IHPB adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya perubahan
harga pada tingkat grosir atau perdagangan besar dari komoditas-komoditas yang
diperdagangkan disuatu daerah/negara. Komoditas tersebut merupakan produksi
dalam negeri yang dipasarkan didalam negeri ataupun diekspor dan komoditas
yang diimpor. Perhitungannya menggunakan formula Lasfayres yang
dikembangkan sebagai berikut:
In =
∑��−�� � �−
In = Indeks bulan n
Pn = Harga pada bulan ke n
Pn-1 = Harga pada bulan ke n-1
Pn-1Q0 = Nilai timbangan bulan n-1
P0Q0 = Nilai timbangan tahun dasar
2.1.6.3. Angka Deflator PDB
Deflator PDB menggambarkan pengukuran level harga barang akhir dan
jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi. Untuk menghitung deflator PDB
dapat dilakukan dengan cara membagi PDB nominal dangan PDB riil
(berdasarkan harga konstan). Rumus yang digunakan adalah :
Deflator PDB = �� � �
����� x 100% (2.5)
Pada penelitian ini, metode yang digunakan untuk menghitung inflasi
adalah indikator penghitungan Indeks Harga Konsumen. IHK merupakan sebuah
indikator yang menggambarkan berbagai sumber kenaikan harga dari beberapa
jenis barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat dalam jangka waktu
tertentu. Berdasarkan perubahannya, inflasi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Inflasi Bulanan, yakni inflasi yang terjadi selama satu bulan tertentu. Dengan kata lain, inflasi bulanan merupakan persentase perubahan IHK
bulan tertentu terhadap IHK bulan sebelumnya. Contoh: IHK Umum bulan
Juni 2011 sebesar 126,50; dan IHK bulan Juli 2011 sebesar 127,35 maka
inflasi bulan Juli 2011 adalah 0,67 persen. Yakni, persentase perubahan
IHK bulan bulan Juli 2011 terhadap IHK bulan Juni 2011 yang
diformulasikan ke dalam rumus matematik adalah =
2. Kumulatif / Tahun Kalender, yakni inflasi yang terjadi selama bulan
Januari sampai dengan bulan tertentu. Misalkan inflasi kumulatif pada
bulan Juli 2011 berarti inflasi Januari 2011 hingga Juli 2011. Dengan kata
lain inflasi, tahun kalender merupakan persentase perubahan IHK bulan
tertentu terhadap IHK bulan Desember tahun sebelumnya. Contoh : IHK
bulan Juli 2011 sebesar 127,35; IHK Desember 2010sebesar 125,17 maka
inflasi kumulatif bulan Juli 2011 adalah = (127,35-125,17)/125,17 x 100%
= 1,74 persen.
3. Year on Year (YoY) yakni inflasi yang terjadi selama setahun terakhir dari
bulan tertentu tahun sebelumnya sampai dengan bulan yang sama tahun
sekarang. Misalkan inflasi year on year pada bulan Juli berarti inflasi bulan Juli 2011 terhadap Juli 2010. Dengan kata lain, inflasi YoY
merupakan persentase perubahan IHK bulan tertentu tahun sekarang
terhadap IHK bulan yang sama tahun sebelumnya. Contoh : IHK bulan Juli
2011 sebesar 127,35; sedangkan IHK Juli 2010 sebesar 121,74 maka
inflasi year on year bulan Juli 2011 adalah = (127,35-121,74)/121,74 × 100% = 4,61 persen.
2.2. Penelitian Terdahulu
Dengan latar belakang yang relatif sama yaitu pentingnya pengendalian
inflasi di Indonesia, sehingga peneliti – peneliti terdahulu seperti Ramakhrisnan
dan Vamvakidis (2002), Susanto (2005), Ekamaryasa (2005), Endri (2008),
Indonesia. Namun, Purwanti (2011) lebih spesifik lagi menganalisis pengaruh
guncangan harga minyak dunia terhadap inflasi di Indonesia.
Untuk menganalisis permasalahan yang ada Susanto (2005) dan
Ekamaryasa (2005) menggunakan metode analisis regresi linear berganda,
sedangkan Ramakhrisnan dan Vamvakidis (2002), Endri (2008) dan Wahyuni
(2011) menggunakan metode VECM. Selain itu, digunakan metode FD-GMM
(First Difference Generalized Method of Moments) oleh Purwanti (2011).
Pada penelitian sebelumnya, seluruhnya menggunakan data sekunder.
Sebagian besar data yang digunakan berupa data time series. Sedangkan Purwanti (2011) menambahkan data cross section. Data diperoleh dari berbagai macam sumber publikasi seperti Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, IFS
(International Financial Statistic), IMF (International Monetary Fund), ADB (Asian Development Bank), EIA (Energy Information Administration), dan FAO (Food Agricultural Organization).
Secara garis besar, pada penelitian terdahulu menunjukan bahwa pada
periode tertentu ada beberapa variabel makroekonomi, baik yang berasal dari
dalam negeri maupun luar negeri yang memengaruhi inflasi di Indonesia. Seperti
penelitian yang dilakukan oleh Ramakhrisnan dan Vamvakidis (2002) yang
menunjukan bahwa variabel inflasi luar negeri dan nilai tukar berpengaruh positif
dan menjadi kontributor utama pada inflasi di Indonesia. Susanto (2005),
Ekamaryasa (2005), dan Endri (2008), menunjukkan bahwa variabel
makroekonomi seperti nilai tukar, uang beredar, suku bunga dan PDB
minyak dunia dan harga pangan dunia berkontribusi pada inflasi di Indonesia.
Secara ringkas, penelitian-penelitian di atas dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu
perbedaan pada variabel yang digunakan, jenis data yang digunakan, periode
analisis dan metode yang digunakan. Pada penelitian ini, variabel yang digunakan
yaitu inflasi, nilai tukar, harga minyak dunia, harga pangan dunia, jumlah uang
beredar, suku bunga, PDB, pengeluaran pemerintah dan ekspektasi inflasi. Jenis
data yang digunakan adalah data sekunder berupa data bulanan. Periode yang
dianalisis dalam penelitian ini yaitu dari Januari 2000 hingga Desember 2011.
Selain itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VECM
Tabel 2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu
Judul dan peneliti Latar Belakang Metode Analisis Hasil
Analisis Faktor-indicator dari inflasi dan
Analisis
Faktor-Salah satu indikator makroekonomi yang menjadi tujuan utama (single objective) bagi perekonomian Indonesia adalah inflasi. Menurut Endri (2008) inflasi disebabkan dari faktor eksternal dan internal. Pengaruh faktor eksternal
small open economy dimana konsekuensi yang ditimbulkan yaitu stabilitas perekonomian domestik akan rawan terhadap guncangan yang ditimbulkan oleh
perekonomian dunia. Adapun small open economy merupakan karakteristik suatu negara yang termasuk dalam bagian kecil dari pasar dunia yang memiliki
pengaruh kecil pada perekonomian dunia. Inflasi juga dipengaruhi oleh faktor
internal yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam negeri, seperti perubahan
kebijakan moneter, kebijakan fiskal dan kebijakan dibidang harga.
Berdasarkan uraian teori di atas dan hasil penelitian terdahulu, sehingga
yang menjadi variabel eksternal dalam penelitian ini adalah variabel nilai tukar,
harga minyak dunia, dan harga pangan dunia. Sedangkan, variabel internal dalam
penelitian ini adalah ekspektasi inflasi, uang beredar, PDB, suku bunga, dan
pengeluaran pemerintah.
Gambar 2.6. Kerangka Pemikiran Teoritis
Faktor Eksternal
• Nilai Tukar
• Harga Minyak Dunia
• Harga Pangan Dunia
Faktor Internal
• Ekspektasi Inflasi
• Uang Beredar
• Suku Bunga
• PDB
• Pengeluaran Pemerintah Pengaruh Guncangan dan
Kontribusi Faktor Eksternal dan Internal
terhadap Inflasi di Indonesia
III. METODE PENELITIAN
3.1. Data
3.1.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari 2000 hingga Desember 2011. Pada penelitian ini juga ditambahkan variabel dummy
Inflation Targeting Framework. Data-data sekunder diperoleh dari Bank Indonesia, OECD.Stat (Organisation for Economic Co-operation and Development), EIA (Energy Information Administration), dan FAO (Food Agricultural Organization). Selain itu, data didapatkan melalui literatur dari perpustakaan, buku, jurnal, internet dan media informasi lainnya.
3.1.2. Variabel – Variabel Penelitian
Pada penelitian ini variabel yang digunakan adalah inflasi, nilai tukar,
harga minyak dunia, harga pangan dunia, pertumbuhan uang beredar, PDB, suku
bunga, pengeluaran pemerintah dan ekspektasi inflasi. Semua data dikonversi
dalam bentuk logaritma natural, kecuali data inflasi, pertumbuhan uang beredar,
dan suku bunga. Proksi data yang digunakan pada masing-masing variabel adalah
Tabel 3.1 Variabel, Proksi Data, Satuan dan Sumber
3.2. Metode Analisis
Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif dan
analisis ekonometrika.
3.2.1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif adalah analisis yang digunakan untuk memberikan
gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Analisis deskriptif dapat
dilakukan dengan menggunakan bantuan grafik, tabel dan diagram. Dalam
penelitian ini, analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui gambaran umum Variabel Proksi data
yang digunakan Satuan Sumber
INFLASI Inflasi month to
month Persen OECD.Stat
M2GROWTH Pertumbuhan M2 Persen Bank Indonesia
PDB
SB Suku bunga SBI Persen Bank Indonesia
G
INFLASI (-1) Inflasi bulan
mengenai perkembangan laju inflasi yang terjadi di Indonesia selama tahun 2000
hingga 2011. Analisis ini juga digunakan untuk menggambarkan perkembangan
variabel eksternal seperti nilai tukar, harga minyak dunia, dan indeks harga
pangan dunia. Selain itu juga analisis ini digunakan untuk menggambarkan
variabel internal seperti uang beredar, suku bunga, PDB dan pengeluaran
pemerintah.
3.2.2. Analisis Ekonometrika
Analisis ekonometrika adalah analisis yang menggunakan model statistik
dalam menjelaskan perilaku ekonomi (Juanda, 2009). Pada penelitian ini akan
menggunakan analisis Vector Error Correction Model karena data yang digunakan tidak semua stasioner pada level dan terdapat kointegrasi diantara
variabel-variabel tersebut.
3.2.2.1. Uji Stasioneritas
Dalam uji stasioneritas ini digunakan uji akar unit (unit root test). Uji ini dilakukan guna menentukan stasioner atau tidaknya suatu variabel. Tujuan dari uji
ini adalah untuk mendapatkan nilai rata-rata yang stabil sehingga model regresi
yang diperoleh memiliki kemampuan prediksi yang handal dan menghindari
timbulnya regresi lancung (spurious regression).
Pengujian stasioneritas secara teori dan prakteknya menggunakan tiga
asumsi dasar yaitu tidak adanya trend dan konstanta, adanya konstanta, adanya
ini dilakukan untuk menghasilkan uji unit root yang lebih powerfull. Langkah awal yang dilakukan adalah dengan melihat adanya trend pada data dengan menggunakan grafik.
Uji akar unit pertama kali dikembangkan oleh Dickey Fuller, dasar uji
stasioner data dengan akar unit dapat dijelaskan melalui persamaan:
Yt = ρYt-1 + et, dimana -1 ≤ ρ≤ 1 (3.1)
Dimana ρ adalah koefisien autoregresif dan et adalah rresidual yang bersifat random dimana residualnya memiliki mean nol, varians konstan dan
non-autokorelasi. Residual yang seperti itu disebut white noise. Jika pada persamaan 3.1 memiliki ρ=1, maka dikatakan bahwa variabel Y memiliki unit root. Jika suatu data memiliki akar unit, maka data tersebut tidak stasioner.
Dalam bentuk hipotesis dapat ditulis:
Ho: ρ = 1 (series memiliki akar unit)
Ho: ρ≠ 1 (series tidak memiliki akar unit)
Persamaan (3.1) dapat dinyatakan dalam bentuk lain (turunan pertama),
yaitu:
Yt - Yt-1 = ρYt-1- Yt-1 + et ∆Yt = (ρ-1) Yt-1 + et
∆Yt =δ Yt-1 + et (3.2) Dari persamaan diatas dapat dibuat hipotesis:
Ho: δ = 0 (series memiliki akar unit)
Ho: δ ≠ 0 (series tidak memiliki akar unit)
Critical Value McKinnon (1%, 5%, 10%) artinya terima Ho dimana series memiliki akar-akar unit. Dan dapat disimpulkan variabel tersebut tidak stasioner.
Apabila tidak stasioner pada level, maka dilanjutkan ke tahap Uji Derajat Integrasi
(integration test). Jika koefisien ADF statistic lebih kecil dari Critical Value McKinnon (1%, 5%, 10%) artinya tolak Ho dimana series tidak memiliki akar-akar unit. Dan dapat disimpulkan variabel tersebut stasioner.
3.2.2.2. Uji Lag Optimal
Uji lag optimal sangat penting dalam pendekatan VAR. Tujuan dari uji lag
optimal karena uji lanjutan pada VAR dan VECM sangat peka terhadap panjang
lag. Penentuan lag optimal harus mempertimbangkan adanya kemungkinan korelasi antar residual dan penurunan degree of freedom dari persamaan yang dihasilkan dan jumlah parameter yang diestimasi menjadi semakin banyak
sehingga tidak efisien. Pengujian panjang lag yang optimal dapat memanfaatkan beberapa informasi yaitu dengan menggunakan Akaike Information Criteria
(AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Jika kriteria informasi hanya merujuk pada sebuah kandidat selang, maka kandidat
tersebutlah yang optimal. Namun, jika diperoleh lebih dari satu kandidat, maka
dilanjutkan pada perbandingan nilai adjusted R2 VAR dari masing-masing kandidat lag. Lag optimal yang dipilih dari sistem VAR yaitu yang menghasilkan nilai adjusted R2 terbesar dalam sistem.
3.2.2.3. Uji Stabilitas VAR
Setelah dilakukan uji stasioneritas, maka tahap selanjutnya dalam estimasi
tidaknya analisis Impulse Response Function. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial. Jika semua akar dari fungsi
polinomial berada dalam unit circle atau jika nilai absolutnya < 1 maka model VAR tersebut stabil, sehingga Impulse Response Function valid.
3.2.2.4. Uji Kointegrasi
Uji ini merupakan lanjutan dari uji akar unit dan uji derajat integrasi.
Dalam uji kointegrasi ini bertujuan untuk medeteksi stabilitas hubungan jangka
panjang antara variabel independen dengan variabel dependennya. Dalam
penelitian ini menggunakan Johansen Cointegrating Test. Hipotesis nol dalam uji ini adalah tidak ada kointegrasi. Jika trace statistic > critical value, maka tolak Ho sehingga persamaan tersebut terkointegrasi.
3.2.2.5. Vector Autoregressive (VAR)
Vector Autoregressive (VAR) pertama kali diperkenalkan oleh Sims pada tahun 1980. Dalam konteks ekonometrika modern VAR termasuk ke dalam
multivariate time series analysis. VAR menyediakan cara yang sistematis untuk menangkap perubahan yang dinamis dalam multiple time series, serta memiliki pendekatan kredibel dan mudah untuk dipahami bagi pendeskripsian data,
forecasting (peramalan), inferensi struktural, serta analisis kebijakan.
Menurut Nachrowi (2006) terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan
1. Model VAR adalah model yang sederhana dan tidak perlu membedakan
mana variabel yang endogen dan mana yang eksogen. Semua variabel
pada model VAR dapat dianggap sebagai variabel endogen.
2. Cara estimasi model VAR sangat mudah, yaitu dengan menggunakan OLS
pada setiap persamaan secara terpisah.
3. Peramalan menggunakan model VAR pada beberapa hal lebih baik
dibanding menggunakan model dengan persamaan simultan yang lebih
kompleks.
Sekalipun banyak kelebihan, model VAR tetap mempunyai sisi lemah.
Ada beberapa kelemahan yang dimiliki model tersebut, antara lain:
1. Model VAR lebih bersifat a-teoritik karena tidak memanfaatkan informasi
atau teori terdahulu. Oleh karenanya, model tersebut sering disebut sebagai
model yang tidak struktural.
2. Mengingat tujuan utama model VAR untuk peramalan maka model VAR
kurang cocok untuk analisis kebijakan.
3. Tantangan terberat VAR adalah pemilihan panjang lag yang tepat.
4. Semua variabel dalam VAR harus stasioner, jika tidak stasioner maka
harus ditransformasikan terlebih dahulu.
5. Interpretasi koefisien yang didapat berdasarkan model VAR tidak mudah.
3.2.2.6.Vector Error Correction Model (VECM)
Vector Error Correction Model (VECM) adalah model VAR terestriksi yang digunakan untuk variabel yang non-stasioner tetapi memiliki potensi untuk
adalah apabila suatu model menghendaki adanya persamaan jangka panjang,
pergerakan dari beberapa variabel mengadakan reaksi adanya kecenderungan
ketidakseimbangan dalam jangka pendek yang sering kita temui dalam peristiwa
ekonomi. Hal ini berarti apa yang diinginkan perilaku ekonomi belum tentu sama
dengan apa yang sebenarnya terjadi. Untuk itu suatu model yang memasukkan
penyesuaian untuk melakukan koreksi bagi ketidakseimbangan atau model
koreksi kesalahan (Vector Error Correction Model). Model dari VECM dapat ditulis sebagai berikut:
∆Yt =α0 + α1 ∆Xt + α2 ECTt-1 + et (3.3)
Dimana:
ECTt-1 = (Yt-1 – β0 – β1 Xt-1) (3.4)
α0 = konstanta
α1 = koefisien jangka pendek
α2 = koefisien koreksi ketidakseimbangan yang menjelaskan seberapa
cepat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai keseimbangannya.
3.2.2.7. Impulse Response Function (IRF)
Impulse Response Function (IRF) adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap suatu shock tertentu. Hal ini dikarenakan shock variabel misalnya ke-i tidak hanya berpengaruh terhadap variabel ke-i itu saja tetapi ditransmisikan kepada semua variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag dalam VECM. Dengan
kata lain IRF mengukur respon suatu variabel dimasa datang ketika terjadi suatu
3.2.2.8. Forecast Error Variance Decompotition (FEVD)
Metode yang dapat dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan dalam
suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya adalah FEVD. Metode ini mencirikan suatu struktur
dinamis dalam model VAR/VECM. Dalam metode ini dapat dilihat kekuatan dan
kelemahan masing-masing variabel memengaruhi variabel lainnya dalam kurun
waktu yang panjang. Dengan kata lain, FEVD dapat digunakan untuk
menganalisis kontribusi dari masing-masing variabel independen terhadap
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Deskriptif
4.1.1. Gambaran Umum Laju Inflasi di Indonesia
Laju inflasi tahunan Indonesia selama kurun waktu 2000 hingga 2011
masih menunjukkan fluktuasi seperti pada Gambar 4.1. Rata-rata inflasi tahun
2000-2011 sebesar 8,19 persen. Nilai tertinggi inflasi tahunan terjadi pada tahun
2005 yaitu sebesar 17,11 persen. Hal ini disebabkan oleh peningkatan harga
minyak dunia yang diikuti oleh pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah
dengan menaikkan harga BBM sebanyak dua kali. Kenaikan harga BBM terjadi
pada 1 Maret 2005 dari Rp 1.800 menjadi Rp 2.400 dan pada 1 Oktober 2005 dari
Rp 2.400 menjadi 4.500. Sedangkan, nilai terendah inflasi tahunan terjadi pada
tahun 2009 sebesar 2,78 persen. Pada awal tahun 2009 pemerintah menurunkan
harga BBM dari Rp 5.000 menjadi Rp 4.500.
Gambar 4.1. Laju Inflasi Tahunan di Indonesia Tahun 2000-2011 Sumber: OECD.Stat (diolah)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
4.1.2. Gambaran Umum Nilai Tukar Rupiah di Indonesia
Pada tahun 2000 nilai tukar rupiah dibuka dengan nilai Rp 7.425 per US
Dolar. Pada awal tahun 2000 tersebut merupakan kondisi nilai tukar terkuat pada
periode 2000-2011. Namun, sepanjang tahun 2000 nilai tukar rupiah
menunjukkan nilai yang semakin terdepresiasi akibat perkembangan politik dan
keamanan menjelang Sidang Tahunan MPR Agustus 2000.
Pada periode 2000-2011, kondisi nilai tukar rupiah terlemah terjadi pada
November 2008 sebesar Rp 12.151 per US Dolar. Kuatnya tekanan terhadap nilai
tukar rupiah ini disebabkan oleh dampak negatif dari krisis finansial global yang
membuat para investor asing menarik dananya dari Indonesia. Terjadinya capital outflow menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi. Rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun 2000-2011 yaitu Rp 9303 per US Dolar.
Gambar 4.2. Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Tahun 2000-2011 Sumber: Bank Indonesia (diolah)
4.1.3. Gambaran Umum Harga Minyak Dunia
Pada periode 2000-2011 harga minyak dunia cenderung mengalami
peningkatan. Rata-rata harga minyak dunia tahun 2000-2011 yaitu 57,10 US
Dolar per barel. Harga minyak dunia terendah periode 2000-2011 terjadi pada
Desember 2001 sebesar 19,39 US Dolar per barel. Harga minyak dunia tertinggi
periode 2000-2011 terjadi pada Juni 2008 sebesar 133,88 US Dolar per barel.
Gambar 4.3. Harga Minyak Dunia Tahun 2000-2011 Sumber: EIA (diolah)
4.1.4. Gambaran Umum Harga Pangan Dunia
Pada periode 2000-2011 indeks harga pangan dunia cenderung mengalami
peningkatan. Rata-rata indeks harga pangan dunia tahun 2000-2011 yaitu 152,73.
Indeks harga pangan dunia terendah periode 2000-2011 terjadi pada Mei 2002
sebesar 94,30. Indeks harga pangan dunia tertinggi periode 2000-2011 terjadi
pada Februari 2011 sebesar 263,31.
4.1.5. Gambaran Umum Jumlah Uang Beredar
Pada tahun 2000-2011 rata-rata jumlah uang beredar Indonesia sebesar Rp
1.507.094miliar. Pada tahun 2000 hingga tahun 2011 jumlah uang beredar selalu
meningkat. Jumlah uang beredar tahun 2000 sebesar Rp 747.028 miliar. Jumlah
uang beredar tahun 2011 sebesar Rp 2.877.220 miliar. Rata-rata pertumbuhan
uang beredar Indonesia pada tahun 2000-2011 sebesar 13,32 persen. Pertumbuhan
uang beredar terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar 4,72 persen. Pertumbuhan
uang beredar tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 19,32 persen.
Tabel 4.1. Jumlah Uang Beredar Indonesia Tahun 2000-2011
Tahun Jumlah Uang Beredar (Miliar Rupiah) Pertumbuhan (persen)
2000 747.028 15,6
2001 844.053 13
2002 883.908 4,72
2003 955.692 8,12
2004 1.033.877 8,18
2005 1.202.762 16,33
2006 1.382.493 14,94
2007 1.649.662 19,32
2008 1.895.839 14,92
2009 2.141.384 12,95
2010 2.471.206 15,40
2011 2.877.220 16,42
Rata-rata 1.507.094 13,32
Sumber: Bank Indonesia (diolah)
4.1.6. Gambaran Umum PDB
Pada tahun 2000-2011 rata-rata PDB Indonesia sebesar Rp 1.847.477
miliar. Pada tahun 2000 hingga tahun 2011 nilai PDB selalu meningkat. PDB
tahun 2000 sebesar Rp 1.323.940,2 miliar. PDB tahun 2011 sebesar Rp. 2.463.242
miliar. Peningkatan PDB setiap tahunnya dapat digunakan untuk melihat
pada tahun 2000-2011 sebesar 5,2 persen. Pertumbuhan ekonomi terendah terjadi
pada tahun 2001 sebesar 3,6 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada
tahun 2011 sebesar 6,5 persen.
Tabel 4.2. Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 2000-2011
Sumber: Bank Indonesia (diolah)
4.1.7. Gambaran Umum Suku Bunga
Bank Indonesia menggunakan instrumen suku bunga dalam
mengendalikan laju inflasi. Pada tahun 2000-2001, suku bunga mengalami
peningkatan hingga mencapai nilai tertinggi sebesar 17,67 persen pada Agustus
2001. Peningkatan suku bunga ini dilakukan guna menekan laju inflasi di akhir
tahun 2000 yang mencapai 9,35 persen. Pada tahun 2002-2003 suku bunga
cenderung menurun. Pada tahun 2004 hingga pertengahan tahun 2005 suku bunga
cenderung stabil pada kisaran 7 persen. Namun, pada akhir 2005 hingga tahun
2006 suku bunga kembali meningkat mencapai 12,75 persen. Hal ini dilakukan
guna menekan laju inflasi yang tinggi akibat kenaikan harga BBM. Pada tahun
2008 suku bunga kembali meningkat pada kisaran 8 persen untuk menekan laju
Tahun PDB (Miliar Rupiah) Pertumbuhan (persen)
2000 1.389.769,9 4,9
2001 1.440.405,7 3,6
2002 1.505.216,4 4,4
2003 1.577.171,3 4,7
2004 1.656.516,8 5,1
2005 1.750.815,2 5,6
2006 1.847.126,7 5,5
2007 1.964.327,3 6,4
2008 2.082.456,1 6
2009 2.178.850,4 4,6
2010 2.313.838 6,1
2011 2.463.242 6,5
inflasi yang tinggi akibat krisis 2008. Pada tahun 2009-2011 suku bunga
cenderung stabil pada kisaran 6 persen. Suku bunga terendah terjadi pada April
2010 sebesar 6,2 persen. Rata-rata suku bunga pada tahun 2000-2011 sebesar
10,03 persen.
Gambar 4.5. Suku Bunga Indonesia Tahun 2000-2011 Sumber: Bank Indonesia (diolah)
4.1.8. Gambaran Umum Pengeluaran Pemerintah
Pada tahun 2000-2011 rata-rata pengeluaran pemerintah Indonesia sebesar
Tabel 4.3 Konsumsi Pengeluaran Pemerintah Indonesia Tahun 2000-2011 Tahun
Pengeluaran Pemerintah
(Miliar Rupiah) Pertumbuhan (persen)
2000 90.780 6,5
Rata-rata 145.504,7 7,56
Sumber: Bank Indonesia (diolah)
4.1.9 Gambaran Umum Inflation Targeting Framework (ITF)
Berlakunya Undang-Undang Nomer 23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral mengenai tujuan Bank Indonesia yang memiliki fokus pada pencapaian dan pemeliharaan kestabilan nilai rupiah yang tercermin dari inflasi dan nilai tukar. Awalnya untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dilakukan dengan pengendalian uang beredar. Namun, beberapa studi BI menyimpulkan strategi kebijakan moneter dengan pengendalian uang beredar semakin sulit diandalkan. Sehingga, sejak Juli 2005 Bank Indonesia menerapkan Inflation Targeting Framewok (ITF) di Indonesia. ITF adalah
kerangka kebijakan moneter yang ditandai oleh pemberitahuan kepada masyarakat
mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam kurun waktu tertentu, dimana
suku bunga BI rate dijadikan instrumen untuk mencapai dan mengendalikan laju
inflasi yang rendah dan stabil.
Adapun tiga konsep dasar kebijakan moneter dengan kerangka ITF yaitu
pergerakan inflasi ke depan dan memprediksi lag dari pengaruh kebijakan moneter. Transparansi berarti menunjukkan komitmen Bank Indonesia dalam
mengendalikan inflasi dengan mempublikasikan arah kebijakan moneter kepada
masyarakat/pelaku ekonomi. Dengan adanya publikasi tersebut, maka diharapkan
masyarakat/pelaku ekonomi akan membentuk ekspektasinya sesuai dengan arah
kebijakan moneter yang telah dibuat. Akuntabilitas merupakan tanggung jawab
dari Bank Indonesia dalam menjalankan tugasnya. Bank Indonesia akan
memberikan laporan mengenai ukuran keberhasilan Bank Indonesia dalam
mencapai target inflasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Akuntabilitas ini pada
akhirnya akan mempengaruhi kredibilitas dari Bank Indonesia dalam menjalakan
tugasnya untuk mengendalikan inflasi.
4.2. Analisis Ekonometrika 4.2.1. Uji Pra Estimasi
4.2.1.1. Pengujian Akar-Akar Unit (Unit Root Test)
Sebelum melakukan analisis lebih lanjut, perlu dilakukan uji stasioneritas
terlebih dahulu terhadap data yang digunakan. Tujuan dari uji stasioneritas yaitu
untuk menghindari timbulnya regresi lancung (spurious regression). Selain itu, data yang tidak stasioner dapat mengakibatkan kurang baiknya model yang di
estimasi (Nachrowi, 2006). Dalam penelitian ini, uji stasioneritas yang digunakan
adalah uji akar unit (Unit Roots Test) dengan menggunakan metode Augmented Dickey Fuller Test (ADF Test).
Pengujian akar unit data yang dilakukan terhadap seluruh variabel dalam
model penelitian, didasarkan pada Augmented Dickey Fuller test (ADF). Perhitungannya menggunakan bantuan komputer program Eviews 6.0. Hasil
Tabel 4.4. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level.
INFLASI -9.94284 -3.47647 -2.88169 -2.57759 Stasioner LN_KURS -3.98827 -3.47681 -2.88183 -2.57767 Stasioner LN_OILPRICE -3.04007 -4.02398 -3.44178 -3.14547 Tidak Stasioner LN_FPI -1.21062 -3.47714 -2.88198 -2.57775 Tidak Stasioner M2GROWTH -2.26318 -3.48043 -2.88341 -2.57851 Tidak Stasioner LN_PDB -2.59945 -4.02849 -3.44396 -3.14676 Tidak stasioner SB -1.45073 -3.47681 -2.88183 -2.57767 Tidak stasioner LN_G -0.29323 -3.48004 -2.88324 -2.57842 Tidak Stasioner DUMMY -1.08076 -3.47647 -2.88168 -2.57759 Tidak Stasioner
Hasil uji akar unit pada tingkat level menunjukkan bahwa hanya variabel INFLASI dan LN_KURS yang stasioner. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai ADF
statistik yang lebih kecil dari nilai kritis Mc.Kinnon. Variabel LN_KURS
stasioner pada taraf 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Variabel INFLASI stasioner
pada taraf nyata 5 persen. Sedangkan, variabel lainnya tidak stasioner pada tingkat
level, baik pada taraf 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Oleh karena itu, pengujian
unit root dilanjutkan pada first differences dikarenakan pada level masih mengandung akar unit. Dengan mendeferensiasikan masing-masing data hingga
menjadi stasioner. Berdasarkan uji tingkat first differences diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.5. Hasil Pengujian Akar Unit pada first differences
Pada pengujian dalam bentuk first differences (Tabel 4.5), semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai ADF statistik lebih kecil dari
nilai kritis Mc.Kinnon pada taraf 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Seluruh
variabel telah stasioner pada first differences. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa seluruh variabel yang diestimasi dalam penelitian ini telah stasioner pada
derajat yang sama, yaitu pada derajat integrasi satu I(1).
4.2.1.2. Uji Lag Optimal
Penentuan lag dalam sebuah sistem VAR merupakan hal yang penting. Disamping berguna untuk menunjukkan berapa lama reaksi suatu variabel
terhadap variabel lainnya, penentuan lag optimal juga berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah sistem VAR. Pengujian lag
optimal dalam penelitian ini menggunakan kriteria AIC, SC dan HQ. Adapun
hasil uji lag optimal dapat dilihat pada Tabel dibawah ini: Tabel 4.6. Hasil Uji Lag Optimal
Lag AIC SC HQ
0 3.726440 3.919189 3.804768 1 -14.48329 -12.55580* -13.70001 2 -15.39417 -11.73193 -13.90593 3 -15.45857 -10.06159 -13.26537 4 -17.33566 -10.20394 -14.43751* 5 -17.62604 -8.759576 -14.02293 6 -17.49661 -6.895403 -13.18855 7 -17.88601 -5.55006 -12.87299 8 -18.07207* -4.00138 -12.3541 Catatan: tanda asterik (*) menunjukkan kandidat selang yang dipilih
adjusted R2 terbesar. Dari uji coba yang telah dilakukan, maka kandidat lag yang dipilih adalah lag 1.
4.2.1.3. Hasil Estimasi VAR
Uji lag optimal telah dilakukan, selanjutnya dapat ditulis persamaan umum
model VAR dari inflasi. Model ini nantinya akan digunakan untuk melihat
stabilitas modelnya, sehingga dapat dilakukan langkah selanjutnya, yaitu estimasi
dengan menggunakan model VECM dikarenakan data yang tersedia tidak
stasioner pada first different. Model VAR dituliskan sebagai berikut:
INFLASI t = ∑1�=1 LN_KURS t-1 + ∑1�=1 LN_OILPRICE t-1+ ∑1�=1 LN_FPI t-1
+ ∑1�=1�M2GROWTH t-1 + ∑�=11 LN_PDB t-1 + ∑1�=1 SB t-1 +
∑1
�=1 LN_G t-1 + ∑1�=1� DUMMY t-1 + ∑1�=1�INFLASI t-1 + εt
(5.1)
Dimana:
INFLASI : Inflasi
LN_KURS : Logaritma natural dari data nilai tukar
LN_OILPRICE : Logaritma natural dari data harga minyak dunia
LN_FPI : Logaritma natural dari data indeks harga pangan dunia
M2GROWTH : Pertumbuhan uang beredar
LN_PDB : Logaritma natural dari data PDB
SB : Suku Bunga
LN_G :Logaritma natural dari data konsumsi pengeluaran pemerintah
DUMMY : Dummy Inflation Targeting Framework
4.2.1.4. Uji Stabilitas VAR
semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai absolutnya kurang dari 1 maka model VAR tersebut dianggap stabil.
Tabel 4.7. Hasil Uji Stabilitas VAR
Root Modulus
0.998355 0.998355
0.946785 - 0.072246i 0.949538 0.946785 + 0.072246i 0.949538 0.881473 - 0.034562i 0.882150 0.881473 + 0.034562i 0.882150 0.776053 - 0.162206i 0.792824 0.776053 + 0.162206i 0.792824 -0.046103 - 0.165155i 0.171469 -0.046103 + 0.165155i 0.171469
Berdasarkan Tabel 4.7, seluruh variabel memiliki modulus lebih kecil dari
satu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem VAR stabil. Sehingga
peramalan menggunakan IRF (Impulse Response Function) dan FEVD (Forecast Error Variance Decompotition) yang akan dihasilkan dianggap valid.
Selanjutnya, mengingat hasil pengujian kestasioneran data didapatkan
hasil bahwa tidak semua data stasioner di tingkat level, maka diperlukan uji
kointegrasi. Uji ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan data deret waktu
menggunakan estimasi VAR first differences atau dengan VECM.
4.2.1.5. Uji Kointegrasi
Berdasarkan hasil pengujian kestasioneran data menunjukkan bahwa tidak
semua data stasioner di tingkat level. Data yang stasioner pada first differences
kemungkinan besar menggunakan VAR first difference atau VECM. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji kointegrasi. Uji kointegrasi dilakukan untuk mendeteksi
hubungan jangka panjang antar variabel. Uji ini dilakukan dengan menggunakan
Terdapat lima asumsi deterministic trend dalam uji kointegrasi dan untuk menentukan pilihan trend yang akan dipakai bisa dilihat dari hasil summary, serta pilihan lag yang digunakan adalah lag optimal. Berdasarkan hasil summary dapat dilihat bahwa deterministic trend yang tersedia untuk pilihan ini adalah no intercept or trend (1) yang didasarkan pada adanya tanda bintang pada uji kointegrasi tersebut. Sehingga, untuk penelitian ini akan digunakan pilihan trend
yang model 1 yaitu no intercept or trend.
Setelah mengetahui pilihan trend yang akan digunakan dan lag optimal yang akan dipakai, selanjutnya akan dilakukan kointegrasi. Hasil uji tersebut
disajikan dalam tabel 4.8.
Tabel 4.8. Hasil Uji Kointegrasi (Johansen Trace Statistic test) Hypothesized Catatan: tanda asterik (*) menunjukkan adanya kointegrasi pada taraf nyata 5 persen
Hasil uji kointegrasi dengan menggunakan Johansen Trace Statistic test
menunjukkan bahwa, pada pengujian menggunakan model no intercept no trend
dan lag optimal 1 terdapat tiga persamaan kointegrasi pada taraf 5 persen. Artinya, terdapat tiga persamaan linear jangka panjang yang dikandung oleh model. Hal ini diperoleh dengan, membandingkan estimasi Trace Statistic
Statisticnya. Dengan adanya kointegrasi, hasil estimasi selanjutnya menggunakan model VECM.
4.2.2. Hasil Estimasi VECM
Setelah diketahui bahwa data yang tidak stasioner tetapi memiliki
hubungan kointegrasi, maka metode yang digunakan adalah VECM. Estimasi
VECM menghasilkan informasi kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) atas ketidakstabilan hubungan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang.
Berikut adalah hasil estimasi VECM:
Tabel 4.9. Hasil Estimasi VECM
Variabel Koefisien T-statistik Jangka Pendek
D(INFLASI(-1)) 0.097996 [ 1.06200] D(LN_KURS(-1)) 0.424997 [ 0.20518] D(LN_OILPRICE(-1)) -0.095698 [-0.10802] D(LN_FPI(-1)) 4.029277 [ 1.46154] D(M2GROWTH(-1)) -0.036771 [-0.70478] D(LN_PDB(-1)) -3.290634 [-0.43874] D(SB(-1)) 0.268580 [ 1.35337] D(LN_G(-1)) -0.412292 [-0.56110] D(DUMMY(-1)) -0.360918 [-0.43649] CointEq1 -1.044154 [-8.12627]* CointEq2 0.772991 [ 4.19799]* CointEq3 0.572028 [ 4.00771]*
Jangka Panjang
LN_FPI(-1) 0.260197 [ 0.30798] M2GROWTH(-1) 0.722344 [ 5.75683]*
LN_PDB(-1) -2.066609 [-2.43034]* SB(-1) -0.000783 [-0.01754] LN_G(-1) 2.377529 [ 2.47665]* DUMMY(-1) -0.835714 [-2.19615]*
Tabel diatas merupakan rangkuman hasil analisis VECM untuk melihat
pengaruh dan signifikansi variabel dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada
jangka pendek, inflasi periode sebelumnya, nilai tukar, harga pangan dunia, dan
suku bunga berpengaruh positif, namun tidak signifikan. Sedangkan harga minyak
dunia, uang beredar, PDB, dan pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif dan
tidak signifikan dalam jangka pendek.
Terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi
pertama (INFLASI) yang secara statistik signifikan. Tanda negatif pada koefisien
menunjukkan nilai dugaan parameter koreksi kesalahan tersebut mampu
melakukan koreksi pada persamaan inflasi dari ketidakseimbangan jangka pendek
menuju keseimbangan jangka panjang. Sehingga, dapat diketahui pengaruh inflasi
periode sebelumnya terhadap inflasi dalam jangka panjang. Inflasi periode
sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi dalam jangka
panjang. Hal ini sesuai teori Kurva Phillips dimana salah satu yang mempengaruhi
inflasi adalah inflasi periode sebelumnya. Ketika terjadi kenaikan pada inflasi saat
ini, maka masyarakat membentuk ekspektasinya bahwa inflasi bulan selanjutnya
akan meningkat. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Susanto (2005) yang
menyatakan bahwa ekspektasi inflasi berpengaruh positif pada inflasi.
Selain itu, terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan
kointegrasi kedua (LN_KURS) dan ketiga (LN_OILPRICE) yang secara statistik
signifikan. Sehingga, dapat diketahui pengaruh nilai tukar dan harga minyak dunia
terhadap inflasi dalam jangka panjang. Pada jangka panjang, nilai tukar
berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi. Hal ini sesuai dengan teori
meningkat. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan pada struktur biaya (cost) sehingga mendorong terjadinya kenaikan harga barang domestik. Pada jangka
panjang, harga minyak dunia juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap
inflasi. Hal ini sesuai dengan teori mark-up. Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan menaikan mark-up sehingga harga akan naik. Peningkatan harga minyak akan menyebabkan peningkatan biaya produksi dan
mendorong perusahaan untuk meningkatan harga.
Variabel harga pangan dunia (LN_FPI) berpengaruh positif, namun tidak
signifikan dalam jangka panjang. Pengaruh positif ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Braun (2008) yang menyatakan bahwa pola kenaikan harga
pangan dunia diikuti oleh kenaikan pangan domestik. Pada negara berkembang,
kenaikan harga pada pangan dapat menimbulkan inflasi karena rata-rata konsumsi
pangan menempati porsi terbesar dari tingkat konsumsi masyarakat.
Variabel pertumbuhan uang beredar (M2GROWTH) berpengaruh positif
dan signifikan dalam jangka panjang. Hal ini sesuai dengan teori kuantitas uang.
Ketika terjadi kenaikan uang beredar, maka tingkat suku bunga akan menurun.
Menurunnya suku bunga ini dapat meningkatkan konsumsi dan investasi yang
dapat meningkatkan permintaan agregat. Meningkatnya permintaan agregat dapat
meningkatkan harga sehingga terjadi inflasi.
Variabel PDB (LN_PDB) berpengaruh negatif dan signifikan dalam
jangka panjang. Hal ini tidak sesuai dengan teori. Namun, dapat dijelaskan bahwa
meningkatnya PDB berarti meningkatnya produksi barang/jasa di suatu negara.