BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis
2.1.1. Pasar Modal
Menurut Silvanita (2009:3), pasar modal merupakan pasar keuangan yang
mentransaksikan sekuritas instrumen yang memiliki waktu jatuh tempo lebih dari
satu tahun. Instrumen pasar modal adalah: corporate stock,corporate bonds, U.S. government securities, state and local government bond.
Manfaat pasar modal diantaranya (Darmaji dan Fakhruddin, 2006:3):
1. Menyediakan sumber pendanaan atau pembiayaan (jangka panjang) bagi
dunia usaha, sekaligus memungkinkan alokasi sumber dana secara
optimal.
2. Memberikan wahana investasi bagi investor sekaligus memungkinkan
upaya diverifikasi.
3. Menyediakan indikator utama bagi tren ekonomi negara.
4. Memungkinkan penyebaran kepemilikan perusahaan sampai lapisan
masyarakat menengah.
5. Menciptakan lapangan kerja/ profesi yang menarik.
6. Memberikan kesempatan memiliki perusahaan yang sehat dengan prospek
yang menarik.
7. Alternatif investasi yang memberikan potensi keuntungan dengan risiko
yang bisa diperhitungkan melalui keterbukaan, likuiditas, dan diversifikasi
8. Membina iklim keterbukaan bagi dunia usaha dan memberikan akses
kontrol sosial.
9. Mendorong pengolaan perusahan dengan iklim terbuka, pemanfaatan
manajemen profesional, dan penciptaan iklim berusaha yang sehat.
2.1.2. Saham
Saham adalah tanda bukti memiliki perusahaan di mana pemiliknya
disebut juga juga sebagai pemegang saham (Samsul, 2006:45). Saham terdiri atas
dua, yaitu:
1. Saham preferen (preferrend stock)
Saham preferen adalah saham yang mempunyai kombinasi karakteristik
gabungan dari obligasi maupun saham biasa karena saham preferen
memberikan pendapatan yang tetap seperti obligasi dan juga mendapatkan
hak kepemilikan seperti pada saham biasa. (Tandelilin, 2001:18)
Menurut Koch (2008:130), ciri-ciri dari saham preferen adalah:
- Memiliki dividen lebih tinggi
- Didahulukan saat likuidasi
- Tidak memiliki hak residual
Menurut Mishkin (dalam Silvanita, 2009:105), pemegang saham preferen
berbeda dengan pemegang saham biasa dalam beberapa hal, yaitu:
1) Pemegang saham preferen memperoleh dividen tetap (fixed dividend) 2) Harga dari saham preferen relatif stabil
3) Pemegang saham preferen tidak selalu menggunakan hak suaranya
4) Pemegang saham preferen mendapat prioritas klaim terhadap aset
dibandingkan pemegang saham biasa, tetapi setelah pemegang
obligasi.
2. Saham biasa (common stock)
Saham biasa adalah sekuritas yang menunjukkan bahwa pemegang saham
biasa tersebut mempunyai hak kepemilikan atas aset-aset perusahaan
(Tandelilin, 2001:18). Menurut Anoraga dan Pakarti (2006:54), saham
biasa adalah saham yang tidak memperoleh hak istimewa. Pemegang
saham biasa mempunyai hak untuk memperoleh dividen sepanjang
perseroan memperoleh keuntungan. Pemilik saham mempunyai hak suara
pada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) sesuai dengan jumlah saham
yang dimilikinya (one share one vote).
Menurut Anoraga dan Pakarti (2006:54), dengan memiliki saham suatu
perusahaan maka manfaat yang diperoleh di antaranya sebagai berikut:
1. Dividen, bagian dari keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada
pemilik saham.
2. Capital gain, keuntungan yang diperoleh dari selisih harga jual dan belinya.
3. manfaat non-finansial yaitu timbulnya kebanggaan dan kekuasaan
memperoleh hak suara dalam menentukan jalannya perusahaan.
Bagi pihak yang memiliki saham akan memperoleh beberapa keuntungan
sebagai bentuk kewajiban yang harus diterima, yaitu (Fahmi, 2012:275-276):
2. Memperoleh capital gain, yaitu keuntungan pada saat saham yang dimiliki tersebut dijual kembali pada harga yang lebih mahal.
3. Memiliki hak suara suara bagi pemegang saham jenis common stock
(saham biasa).
Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2006:8-9), ditinjau dari kinerja
perdagangannya, maka saham dapat dikategorikan:
1. Blue chips: yaitu saham biasa dari suatu perusahaan yang memiliki reputasi yang tinggi, sebagai pemimpin di industri sejenis, memiliki
pendapatan yang stabil dan konsisten dalam membayar dividen.
2. Income stock: yaitu saham dari suatu emiten yang memiliki kemampuan membayar dividen lebih tinggi dari dividen rata-rata yang dibayarkan
pada tahun sebelumnya.
3. Growth stock (well known): yaitu saham dari emiten yang memiliki pertumbuhan pendapatan yang tinggi, sebagai pemimpin di industri
sejenis yang mempunyai reputasi tinggi.
4. Speculative stock: yaitu saham suatu perusahaan yang tidak bisa secara konsisten memperoleh penghasilan dari tahun ke tahun, namun memiliki
kemungkinan penghasilan yang tinggi di masa mendatang, meskipun
belum pasti.
Menurut Fahmi (2012:277), ada beberapa alasan yang menjelaskan
mengapa suatu perusahaan memutuskan untuk menerbitkan dan menjual saham,
yaitu:
1. Membutuhkan dana dalam jumlah yang besar dan pihak perbankan tidak
mampu untuk memberikan pinjamna karena berbagai alasan seperti
tingginya risiko yang akan dialami jika terjadi kemacetan.
2. Keinginan perusahaan untuk mempublikasikan kinerja perusahaan secara
lebih sistematis.
3. Menginginkan harga sahan perusahaan terus naikdan terus diminati oleh
konsumen secara luas, sehingga ini nantinya akan memberi efek kuat
bagi perusahaan seperti rasa percay diri di kalangan manajemen
perusahaan.
4. Mampu memperkecil risiko yang timbul karena permasalahan risiko
diselesaikan dengan pembagian dividen.
Adapun para pelaku di pasar saham disamping perusahaan yang
bersangkutan juga turut melibatkan pihak lain, yaitu (Fahmi, 2012:278):
1. Emiten, yaitu perusahaan yang terlibat dalam menjual sahamnya di pasar
modal.
2. Underwriter atau penjamin, yaitu yang menjamin perusahaan dalam menjual sahamnya di pasar modal.
2.1.3. Harga Saham
Harga pasar saham akan sangat berarti bagi perusahaan karena harga
tersebut akan menetukan besarnya nilai perusahaan. (Tandelilin, 2001:19)
Pada monitor-monitor yang memantau perdangangan saham, tertera beberapa
istilah harga saham, yaitu (Darmadji, 2006:131) :
1. Previous Price menunjukkan harga pada penutupan hari sebelumnya. 2. Open atau Opening Price menujukkan harga pertama kali pada saat
pembukaan sesi I perdagangan, yaitu jam 09.30 pagi.
3. High atau Highest Price menunjukkan harga tertinggi atas suatu saham yang terjadi sepanjang perdangangan pada hari tersebut.
4. Low atau Lowest Price menunjukkan harga terendah atas suatu saham yang terjadi sepanjang perdangangan pada hari tersebut.
5. Last Price menunjukkan harga terakhir yang terjadi atas suatu saham. 6. Change menunjukkan selisih antara harga pembukaan dengan harga yang
terjadi.
7. Close atau Closing Price menunjukkan harga penutupan suatu saham pada saat akhir sesi II, yaitu jam 16.00 sore.
Berdasarkan fungsinya, nilai suatu saham dibagi atas tiga jenis, yaitu
sebagai berikut (Anoraga dan Pakarti, 2006:58-59):
1. Par Value (Nilai Nominal)/Stated Value /Face Value
Nilai yang tercantum pada saham untuk tujuan akuntasi. Nilai nominal ini
tidak digunakan untuk mengukur sesuatu. Dalam pencatatan akuntansi
2. Base Price (Harga Dasar)
Harga dasar akan berubah sesuai dengan aksi emiten. Pada saham baru,
harga dasar merupakan harga perdananya.
3. Market Price
Market price merupakan harga pada pasar riil, dan merupakan harga yang paling mudah ditentukan karena merupakan harga dari suatu saham pada
pasar yang sedang berlangsung atau jika pasar sudah tutup, maka harga
pasar adalah harga penutupannya (closing price).
Ada beberapa kondisi dan situasi yang menentukan suatu saham tersebut
akan mengalami fluktuasi, yaitu (Fahmi, 2012:276-277):
1. Kondisi mikro dan makro ekonomi.
2. Kebijakan perusahaan dalam memutuskan untuk ekspansi, seperti
membuka kantor cabang, kantor cabang pembantu baik yang dibuka di
domestik maupun luar negeri.
3. Pergantian direksi secara tiba-tiba.
4. Adanya direksi atau pihak komisaris perusahaan yang terlibat tindak
pidana dan kasusnya sudah masuk ke pengadilan.
5. Kinerja perusahaan yang terus mengalami penurunan dalam setiap
waktunya.
6. Risiko sistematis, yaitu suatu bentuk risiko yang terjadi secara menyeluruh
dan telah ikut menyebabkan perusahaan terlibat.
7. Efek dari psikologi pasar yang ternyata mampu menekan kondisi teknikal
2.1.4. Faktor Makro
Menurut Murhadi (2009:19), Ada beberapa variabel/indikator makro
ekonomi yang mempengaruhi pergerakan harga saham seperti Gross Domestic Product (GDP)/Produk Domestik Bruto (PDB), interest rate/tingkat suku bunga, inflasi, exchange rate/nilai tukar, oil prices and commodity prices, hedging,
busines cycle/siklus bisnis dan lainnya.
Sedangkan menurut Harianto dan Sudomo (2001:9), ukuran aktivitas
ekonomi yang biasa digunakan adalah Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat
inflasi, tingkat bunga, tingkat pengangguran, dan nilai tukar Rupiah.
2.1.4.1. Suku Bunga
Menurut Harianto dan Sudomo (2001:19-20), tingkat bunga adalah ukuran
keuntungan investasi yang dapat diperoleh oleh pemodal dan juga merupakan
ukuran biaya modal yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk menggunakan
dana dari pemodal. Sedangkan menurut Samuelson dan Nordhaus (2004:190),
suku bunga adalah jumlah bunga yang dibayarkan per unit waktu yang disebut
sebagai persentase dari jumlah yang dipinjamkan.
Faktor-faktor penting yang menentukan tingkat suku bunga adalah (Bodie
et.al, 2006:180):
1. Suplai dana dari para penabung terutama sektor rumah tangga.
2. Permintaan terhadap dana dari sektor bisnis untuk keperluan pembiayaan
investasi dalam bentuk pabrik, peralatan dan persediaan.
3. Penawaran dan permintaan bersih pemerintah terhadap dana yang terlihat
2.1.4.2. Inflasi
Menurut Mankiw (2006:75), inflasi adalah kenaikan dalam tingkat harga
rata–rata, dan harga adalah tingkat dimana uang dipertukarkan untuk
mendapatkan barang dan jasa. Sedangkan menurut Putong dan Andjaswati
(2010:133), inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum secara terus
menerus.
Inflasi adalah ukuran ekonomi yang memberikan gambaran tentang
peningkatan harga rata-rata barang dan jasa yang diproduksi oleh sistem
perekonomian. (Harianto dan Sudomo, 2001: 18-19)
Menurut Putong dan Andjaswati (2010:138-139), inflasi dibagi atas:
1. Menurut sifatnya, dibagi menjadi 4 kategori:
a. Inflasi merayap/ rendah yaitu inflasi yang besarnya kurang dari 10%
per tahun
b. Inflasi menengah besarnya antara 10 - 30% pertahun yang ditandai
dengan naiknya harga-harga secara cepat dan relatif besar.
c. Inflasi berat, yaitu inflasi yang besarnya antara 30 - 100% pertahun.
Dalam kondisi ini harga-harga secara umum naik.
d. Inflasi sangat tinggi yaitu inflasi yang ditandai oleh naiknya harga
secara drastis hingga mencapai 4 digit (di atas 100%). Pada kondisi ini
masyarakat tidak ingin lagi menyimpan uang karena nilainya merosot
2. Berdasarkan sebabnya
a. Demand pull inflation. Inflasi ini timbul karena adanya permintaan keseluruhan yang tinggi disatu pihak, dipihak lain kondisi produksi
telah mencapai kesempatan kerja penuh. Untuk mengatasinya
diperlukan adanya pembukaan kapasitas produksi baru dengan
penambahan tenaga kerja baru.
b. Cost push inflation. Inflasi ini disebabkan turunnya produksi karena naiknya biaya produksi yang dapat terjadi karena tidak efisiennya
perusahaan, nilai kurs mata uang negara yang bersangkutan jatuh/
menurun, dan sebagainya.
3. Berdasarkan asalnya
a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri yang timbul karena terjadinya
defisit dalam pembiayaan dan belanja negara yang terlihat pada
anggaran belanja negara. Untuk mengatasinya biasa pemerintah
mencetak uang baru.
b. Inflasi yang berasal dari luar negeri. Karena negara yang menjadi
mitra dagang suatu negara mengalami inflasi yang tinggi, maka harga
barang dan ongkos produksi relatif mahal sehingga bila terpaksa,
negara lain harus mengimpor barang tersebut maka harga jual di
dalam negeri tentu akan bertambah mahal.
2.1.4.3. Kurs
Nilai tukar atau kurs valuta asing menunjukkan harga atau nilai mata uang
asing dapat juga didefinisikan sebagai jumlah uang domestik yang dibutuhkan,
yaitu banyaknya Rupiah yang dibutuhkan untuk memperoleh satu unit mata uang
asing. (Supriana, 2008:201)
Menurut Supriana (2008:201), ada dua cara untuk menyatakan kurs, yaitu:
1. Model Eropa yang sering disebut dengan indirect quote.
Penetapan kursnya dilakukan berdasarkan pada beberapa unit mata uang
asing yang dibutuhkan untuk membeli satu unit mata uang dalam negeri.
2. Model Amerika yang sering disebut direct quote.
Model ini menjelaskan beberapa unit Rupiah yang dibutuhkan untuk
membeli satu unit US Dollar. Kurs ini merupakan kurs yang biasa dipakai
di Indonesia.
Cara lainnya dalam menentukan niali tukar valuta asing adalah:
1. Berdasarkan permintaan dan penawaran mata uang asing pasar bebas.
2. Ditentukan oleh pemerintah.
Nilai tukar valuta asing dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (Supriana,
2008:202-204):
1. Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate)
Dalam sistem ini, niali tukar ditentukan oleh pemerintah. Pemerintah
melakukan intervensi dalam menentukan nilai tukar valuta asing.
Tujuannya adalah untuk memastikan nilai tukar yang terjadi tidak
memberikan pengaruh buruk terhadap perekonomian.
Apabila harga suatu mata uang domestik yang ditetapakan oleh
domestik dinilai terlalu rendah (undervalued currency). Sedangkan apabila harga mata uang domestik yang ditetapakan oleh pemerintah lebih tinggi
dari yang ditentukan oleh pasar bebas, maka mata uang tersebut
dinamakan mata uang yang dinilai terlalu tinggi (overvalued currency). Sistem nilai tukar tetap membutuhkan cadangan devisa yang sangat
besar karena Bank Sentral harus berukang kali mengintervensi pasar agar
nilai tukar berada pada posisi yang dikehendaki.
2. Sistem Nilai Tukar Mengambang (Flexible Exchange Rate)
Dalam sistem ini, nilai tukar ditentukan oleh besarnya jumlah
permintaaan dan jumlah penawaran. Sistem ini tidak membutuhkan
cadangan devisa dan Bank Sentral juga tidak perlu mengintervensi pasar
karena kurs valuta asing ditetapkan oleh interaksi antara permintaan dan
penawaran mata uang yang bersangkutan.
Semakin tinggi harga suatu mata uang, semakin sedikit permintaan
mata uang tersebut. sebaliknya semakin rendah harga suatu mata uang
semakin besar permintaan terhadap maat uang tersebut.
Menurut Supriana (2008:204-205), terdapat 6 sistem nilai tukar yang
dipakai oleh banyak negara di dunia, yaitu:
1. Sistem Fixed (Pegged), dimana otoritas moneter selalu mengintervensi pasar untuk mempertahankan nilai tukar mata uang sendiri terhadap satu
mata uang asing tertentu. Intervensi tersebut memerlukan cadangan devisa
2. Sistem Adjustable Peg, dimana otoritas moneter terikat untuk mempertahankan nilai tukar valuta asing. Namun otoritas moneter berhak
mengubah kurs apabila terjadi perubahan kebijakan.
3. Sistem Crawling Peg, dimana otoritas moneter menguatkan mata uang dalam negeri terhadap satu atau beberapa mata uang asing. Nilai tukar
valuta asing dalam sistem ini diubah secara periodik dan berangsur-angsur
dalam persentase yang kecil.
4. Sistem Managed Float, dimana otoritas moneter tidak terikat untuk mempertahankan nilai tukar valuta asing tertentu. Namin otoritas moneter
secara kontinu mengintervensi pasar berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena cadangan devisa yang menipis.
5. Sistem Wider Band, dimana otoritas moneter membiarkan nilai tukar valuta asing mengambang atau berfluktuasi diantara dua titik tertinggi atau
terendah, misalnya di antara Rp. 4.000 – Rp. 3.000 US Dollar. Jika
keadaan perekonomian menyebabkan kurs bergerak melampaui dua titik
tersebut, maka otoritas moneter akan mengintervensi pasar dengan cara
membeli atau menjual Rupiah atau US Dollar.
2.1.5. Faktor Fundamental
Faktor fundamental sering dipakai sebagai salah satu faktor yang
dipergunakan dalam menganalisis harga saham. Analisis fundamental didasarkan
pada premis bahwa sekuritas mempunyai nilai intrinsik atau nilai sesungguhnya
yang dapat diestimasi oleh seorang investor. Bagi seorang investor, analisis
(Fahmi, 2006:31). Menurut Jogiyanto (2003:89), analisis fundamental adalah
analisis untuk menghitung nilai intrinsik saham dengan menggunakan data
keuangan perusahaan.
Menurut Siswoyo (2011:3-4), analisis fundamental memperhitungkan
berbagai faktor yang dapat mempengatuhi perekonomian, baik perekonomian
secara makro maupun mikro. Secara makro seperti kondisi perekonomian global,
perekonomian suatu negara, adanya krisis atau masalah perekonomian dalam
suatu negara dan sebagainya. Secara mikro, dengan mempelajari laporan
keuangan perusahaan, menganalisis kebijakan perusahaan dan sebagainya.
Anoraga dan Pakarti (2006:109) menyatakan bahwa analisis fundamental
menyangkut analisis tentang kekuatan dan kelemahan perusahaan, bagimana
kegiatan operasionalnya, dan juga bagaimana prospeknya di masa yang akan
datang.
Fungsi analisis fundamental adalah untuk mendapat informasi apakah
suatu saham layak untuk dibeli dan dipertahankan dalam jangka panjang atau
tidak. Tujuan analisis fundametal adalah untuk memilih saham-saham yang baik
untuk berinvestai. (Widoatmodjo, 2012:132)
2.1.5.1. Price Earning Ratio (PER)
PER menunjukkan rasio dari harga saham terhadap earnings. Rasio ini menunjukkan berapa besar investor menilai harga dari saham terhadap kelipatan
perusahaan dalam menghasilkan laba. Bagi investor, semakin kecil PER suatu
saham, semakin bagus, karena saham tersebut termasuk dalam kategori murah.
Rumusnya adalah:
PER = harga pasar saham
laba bersih (Jogiyanto, 2003:105) 2.1.5.2. Return on Investment (ROI)
ROI merupakan rasio yang menunjukkan hasil atas jumlah aktiva yang
digunakan dalam perusahaan. ROI juga merupakan suatu ukuran tentang
efektivitas manajemen dalam mengelola investasinya (Kasmir, 2013:114).
Menurut Sartono (2010:123), ROI menunjukkan kemampuan perusahaan
menghasilkan laba dari aktivitas yang dipergunakan.
Rumusnya adalah:
ROI = laba setelah bunga dan pajak
total aset
(Kasmir, 2013:114)
2.1.5.3. Debt to Equity Ratio (DER)
DER merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utang dengan
ekuitas. Rasio ini berguna untuk mengetahui jumlah dana yang disediakan
peminjam dengan pemilik perusahaan. (Kasmir, 2013:112). Semakin tinggi rasio
ini maka semakin besar risiko yang dihadapi, dan investor akan meminta tingkat
keuntungan yang semakin tinggi. Rasio yang tinggi juga menunjukkan proporsi
modal sendiri yang redah untuk membiayai aktiva. (Sartono, 2010:121)
Rumusnya adalah:
DER
=
total hutang2.2. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu disajikan dalam Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1
terhadap harga saham
EPS dan PER berpengaruh positif dan signifikan
terhadap harga saham
Wijaya
Secara parsial hanya nilai tukar yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IHSG
Inflasi, suku bunga, nilai tukar, dan jumlah uang yang beredar secara
Priatinah
Return on Investment, Earning per Share
dan Dividen per Share secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Harga Saham
Return
on Investment,
Earning per Share
dan Dividen per Share secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap (Studi Kasus di BEJ Periode Suku Bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IHSG
Amanda dan Pratomo (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Fundamental dan Resiko Sistematis terhadap Harga Saham Perbankan yang
BETA berpengaruh negatif dan signifikan terhadap harga saham sedangkan EPS
dan PER berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham.
Wijaya (2013) dalam penelitiannya yang berjudul ”Pengaruh Fundamental
Ekonomi Makro Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Pada Bursa Efek
Indonesia Periode 2002-2011”. Hasil penelitian ini menunjukkan secara simultan
variabel Inflasi, suku bunga, nilai tukar, dan jumlah uang yang beredar
berpengaruh terhadap IHSG. Secara parsial menunjukkan bahwa hanya variabel
nilai tukar yang berpengauh negatif dan signifikan terhadap IHSG.
Kewal (2012) dalam penelitiannya berjudul “Pengaruh Inflasi, Suku
Bunga, Kurs, dan Pertumbuhan PDB Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Inflasi,suku bunga, kurs, dan pertumbuhan
PDB secara simultan berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Secara parsial hanya
variabel kurs yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IHSG.
Prabandaru dan Kusuma (2012) melakukan penelitiannya yang berjudul
“Pengaruh Return on Investment (ROI), Earning per Share (EPS), dan Dividen per Share (DPS) Terhadap Harga Saham Perusahaan Pertambangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2008–2010”. Hasil penelitian ini
menunjukkan secara simultan variabel Return on Investment, Earning per Share
Murni (2010) dalam penelitiannnya yang berjudul “Pengaruh Faktor
Makro Ekonomi Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan dengan Volume
Perdagangan Sebagai Variabel Intervening (Studi Kasus di BEJ Periode Januari
2004 – Desember 2008)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nilai tukar dan
Suku Bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IHSG.
2.3. Kerangka Konseptual
Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara nilai tukar dan harga
saham di pasar modal. Efek positif yang terjadi terlihat pada depresiasi mata uang
Rupiah terhadap harga saham. Pada jangka pendek, Rupiah cukup terdepresiasi
pada saat pemerintah mengambil kebijakan menaikkan suku bunga dengan tujuan
untuk menahan jatuhnya nilai rupiah. Tapi dengan tingginya suku bunga, sangat
mungkin dapat mengakibatkan turunnya present value dari future cash flow
perusahaan, sehingga mengakibatkan harga saham menjadi jatuh (Fahmi,
2006:32). Suku bunga mempengaruhi harga saham karena pengaruhnya terhadap
laba. Penjualan saham sebagai tanggapan atas naiknya suku bunga akan menekan
harga saham (Brigham dan Houston, 2001:161). Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap harga
saham.
Inflasi adalah kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk-produk
secara keseluruhan. Inflasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan penurunan daya
Sebaliknya jika tingkat inflasi suatu negara mengalami penurunan, maka hal ini
akan merupakan sinyal yang positif bagi investor seiring dengan turunnya risiko
daya beli uang dan risiko penurunan pendapatan riil (Tandelilin, 2001:212-213).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap
harga saham.
Nilai tukar atau kurs valuta asing menunjukkan harga atau nilai mata uang
suatu negara dinyatakan dalam nilai mata uang negara lain. Peningkatan yang
terus menerus terjadi pada harga saham akan membantu terdorongnya mata uang
domestik pada pasar modal domestik. Tindakan investor asing akan membeli mata
uang domestik untuk diinvestasikan pada pasar modal yang mengalami bullish
(Naik) dan tekanan ini akan menyebabkan terapresiasinya mata uang domestik
dalam jangka panjang. Meningkatnya nilai tukar mempunyai efek positif pada
harga saham secara keseluruhan dalam jangka pendek (Fahmi, 2006:31). Maka
dapat disimpulkan bahwa tingkat kurs berpengaruh negatif terhadap harga saham
Price Earning Ratio (PER) menunjukkan rasio dari harga saham terhadap
earnings. PER yang tinggi adalah baik bagi suatu perusahaan, karena menunjukkan bahwa publik yang berinvestasi menganggap perusahaan itu dalam
kondisi yang menguntungkan. Suatu penurunan yang terus-menerus dalam rasio
PER mencerminkan turunnya kepercayaan investor atas potensi pertumbuhan dari
perusahaan itu (Siegel et.al, 2006:357). Dengan turunnya kepercayaan investor
atas potensi pertumbuhan perusahaan, maka investor tidak akan berinvestasi pada
tersebut jatuh. Maka dapat disimpulkan bahwa PER berpengaruh positif terhadap
harga saham.
Return on Investment (ROI) merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba bersih dari jumlah dana yang diinvestasikan
perusahaan. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan bahwa perusahaan mampu
memanfaatkan aset yang dimiliki untuk memperoleh laba bersih perusahaan
(Sitanggang, 2012:30-31). Perolehan laba bersih yang tinggi akan menarik
investor untuk berinvestasi pada saham suatu perusahaan. Sesuai dengan hukum
permintaan yang menyatakan bila permintaan naik maka harga akan naik, maka
harga saham akan meningkat seiring dengan bertambahnya permintaan investor
akan saham perusahaan tersebut. Maka dapat disimpulkan, ROI berpengaruh
positif terhadap harga saham.
Debt to Equity Ratio (DER) merupakan rasio antara total hutang dengan total ekuitas dalam perusahaan yang memberikan gambaran perbandingan antara
total hutang dengan modal sendiri perusahaan. Semakin besar rasio ini berarti
semakin besar peranan hutang dalam membiayai aset perusahaan dan sebaliknya
(Sitanggang, 2012:25-26). DER yang rendah berarti perusahaan dalam kegiatan
operasionalnya lebih sedikit menggunakan hutang. Hal ini akan meningkatkan
kepercayaan investor terhadap saham perusahaan tersebut karena resiko
perusahaan tersebut bangkrut karena tidak dapat membayar hutang menjadi lebih
kecil. Dengan meningkatnya kepercayaan investor, maka harga saham perusahaan
tersebut akan cenderung meningkat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka dapat disusun kerangka konseptual yang menggambarkan
pengaruh makro ekonomi dan fundamental terhadap harga saham seperti pada
Gambar 2.1 berikut ini.
Sumber: Sitanggang (2012), Fahmi (2006), Tandelilin (2001),Siegel et.al (2006)
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual
2.4. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka konseptual diatas maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Faktor makro ekonomi yang terdiri dari suku bunga, inflasi dan kurs dan
faktor fundamental yang terdiri dari Price Earning Ratio (PER), Return on Investment (ROI), dan Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh signifikan terhadap harga saham perusahaan asuransi di Bursa Efek Indonesia
Suku Bunga
Inflasi
Kurs
PER
ROI
DER