HUKUM INTERNASIONAL
TANGGUNG JAWAB NEGARA
DISUSUN OLEH:
Army Anggara 110110080083
Liely Noor Qadarwati 110110080092
Lasma Natalia 110110080096
Mayang Kemulandari Yamin 110110080122 Vicky Veronika Aruan 110110080128 Gita Santika Amalia 110110080131 Tri Nurul Widia Wardhani 110110080134 Saskia Wahyu Riani 110110080135
Mulyana 110110080138
DOSEN PENGAJAR:
Prof. Dr. Eddy Damian, S. H.
Idris, S. H., M. A.
Diajeng Wulan Christianti, S. H., LL. M
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG 2010
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Tugas ini dibuat untuk memenuhi salah satu nilai tugas dari mata kuliah Hukum Internasional. Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada para dosen mata kuliah Hukum Internasional kami, karena berkat bimbingannyalah penulis dapat menyusun makalah ini, serta kepada teman-teman yang selalu memberikan dukungan atas apa yang penulis kerjakan.
Makalah ini membahas mengenai Materi Hukum Internasional tentang tanggung jawab Negara serta kasus-kasu dalam dunia Internasional mengenai tanggung jawab Negara.
Dalam penyusunan makalah ini penulispun tak lepas dari hambatan-hambatan, namun karena banyaknya dukungan maka hambatan tersebut dapat teratasi dengan baik. Penulis sadar bahwa makalah ini memang tidak sempurna maka dari itu penulis meminta saran dan kritik agar penulis tidak mengulangi kesalahan pada masa yang akan datang.
Wassalamualaikum wr.wb.
Bandung, 10 Mei 2010
Penulis
DAFTAR ISI COVER
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 1
1.3. Tujuan Pembahasan 2
1.4. Kegunaan Penulisan 2
1.5. Manfaat Penulisan 2
BAB II KAJIAN TEORI
2.1. Pendahuluan 3
2.2. Tanggung Jawab Negara: Perdata dan Pidana 4
2.3. Macam-macam Tanggung Jawab Negara 5
2.4. Teori Kesalahan 9
2.5. Doktrin Imputabilitas 10
2.6. Eksproriasi (Nasionalisasi) 11
2.7. Tanggung Jawab Negara terhadap Orang Asing 12 2.8. Tanggung Jawab Negara terhadap Lingkungan 15 BAB III PEMBAHASAN
3.1. Hubungan teori Tanggung Jawab Negara dengan Kasus
3.2. Rainbow Case 17
3.3. Hubungan teori Tanggung Jawab Negara dengan Kasus
3.4. Corfu Channel Case 21
BAB IV PENUTUP
4.1. SIMPULAN 26
4.2. SARAN 27
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanggung jawab negara dalam hukum internasional merujuk pada pertanggungjawaban satu negara terhadap yang lain akan ketidaktaatannya memenuhi kewaiban yang ditentukan oleh sistem hukum internasional. Semua negara bertanggung jawab sama atas tindakan illegal mereka, terutama tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerusakan internasional.
Mengenai masalah tanggung jawab negara, merupakan masalah yang kompleks. Salah satu badan yang memprakarsai mengenai hal ini adalah Komisi Hukum Internasional, dengan usaha awal untuk menghasikan konvensi yang berhubungan dengan masalah tanggung jawab pada umumnya, dengan tanggung jawab terhadap perlakuan orang asing pada khususnya.
Sehingga, pembahasan mengenai tangung jawab negara ini, membahas mengenai bagaimana bentuk tanggung jawab negara, dan dalam hal apa. Kemudian, sejauh mana suatu negara dapat bertanggung jawab dan tindakan-tindakan apa yang masuk ke dalam tanggung jawab negara.
Setelah mengerti bagaimana konsep dari tanggung jawab negara tersebut, beserta karateristiknya, maka penulis akan menghubungkan dengan kasus-kasus internasional yang terjadi.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam membuat makalah ini, kami membatasi rumusan masalah yang menjadi kajian landasan teori dan pembahasan kelompok kami yaitu pada hal-hal berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan tanggung jawab negara?
2. Apakah hubungan teori mengenai tanggung jawab negara bila dihubungkan dengan Rainbow Warrior case?
3. Apakah hubungan teori mengenai tanggung jawab negara bila dihubungkan dengan The Corfu Channel Case (Merits)?
1.3. Tujuan Pembahasan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional 2. Untuk dapat mengetahui dan memahami teori – teori :
Tanggung Jawab Negara
Hubungan teori tanggung jawab negara dihubungkan dengan Rainbow Warrior case
Hubungan teori tanggung jawab negara dihubungkan dengan The Corfu Channel Case (Merits).
1.4 Kegunaan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah serta maksud dan tujuan penulisan, maka manfaat yang akan diperoleh dari penulisan ini adalah: kegunaan secara akademis, diharapkan hasil penulisan ini dapat menambah wawasan dan sebagai referensi tambahan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum internasional khususnya mengenai tanggung jawab negara dan hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab negara.
1.5 Metode Penulisan
Metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah tinjauan kepustakaan melalui web research dan analisis data dan teori dari buku.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pendahuluan
Yang menjadi latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain, menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran hak itu. Dengan kata lain, negara tersebut harus mempertanggungjawabkannya. Suatu negara bertanggung jawab, misalnya, karena telah melanggar kedaulatan wilayah negara lain, merusak wilayah atau harta benda negara lain dan lain-lain.
Menurut Professor Higgins, hukum tentang tanggung jawab negara tidak lain adalah hukum yang mengatur akuntabilitas (accountability) terhadap suatu pelanggaran hukum internasional. Jika suatu negara melanggar suatu kewajiban internasional, negara tersebut bertanggung jawab (responsibility) untuk pelanggaran yang dilakukannya. Menurut beliau, kata accountability mempunyai dua pengertian. Pertama, negara memiliki keinginan untuk melaksanakan perbuatan dan/atau kemampuan mental (mental capacity) untuk menyadari apa yang dilakukannya. Kedua, terdapat suatu tanggung jawab (liability) untuk tindakan negara yang melanggar hukum internsional (internationally wrongful behaviour) dan bahwa tanggung jawab tersebut (liability) harus dilaksanakan.
Menurut Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab (negara) ini bergantung kepada faktor-faktor sebagai berikut:
1) Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu.
2) Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara.
3) Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.
2.2. Tanggung Jawab Negara: Perdata dan Pidana
Menurut para sarjana penganut aliran hukum internasional tradisional, sepanjang menyangkut perbuatan atau tindakan suatu negara yang bertentangan dengan hukum internasional, maka tanggung jawab yang lahirnya daripadanya selalu akan berupa tanggung jawab perdata. Aliran tradisional tidak mengenal pembedaan tanggung jawab negara dalam arti tanggung jawab pidana. Sarjana hukum internasional ternama, seperti Shaw dan Brownlie, berpendapat bahwa konsep suatu negara dapat dipertanggungjawabkan secara pidana tidak mempunyai nilai hukumnya sama sekali dan tidak ada justifikasi (pembenaran) terhadapnya.
Namun, penulis-penulis selain penganut ajaran tradisional, berpendapat bahwa pembedaan tersebut seyogyanya diadakan. Pendapat ini didasarkan pada adanya perkembangan serta perubahan yang terjadi dalam konsep hukum internasional khususnya sejak tahun 1945. Perkembangan yang dimaksud yaitu:
1) Perkembangan konsep Jus Cogens
2) Lahirnya tanggung jawab pidana individu menurut hukum internasional
3) Lahirnya piagam PBB dan ketentuan-ketentuannya untuk tindakan penegakan hukum (enforcement) terhadap suatu negara sehubungan dengan tindakannya yang mengancam atau melanggar perdamaian atau tindakan agresi.
Sanksi terhadap tanggung jawab negara dalam bidang pidana bisa berupa sanksi embargo ekonomi atau diadakannya persidnagan terhadap pelaku atau organ negara (misalnya tentara) yang melanggar hukum internasional. Hal terakhir ini sesuai dengan doktrin imputabilitas. Dengan kata lain, tanggung jawab negara di bidang pidana dapat diwujudkan ke dalam tanggung jawab pejabat pemerintanhnya (yang berkuasa pada waktu pelanggaran hukum internasional terjadi)
Tanggung jawab perdata tampak misalnya dari tanggung jawab negara terhadap negara lain atau pengusaha asing sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban- kewajibannya dalam pelaksanaan perjanjian atau kontrak komersil. Lahirnya pembedaan perbuatan negara ke dalam jure imperii dan jure gestionis juga memperkuat kesimpulan perlu adanya pembedaan tanggung jawab negara. Dalam hal jure gestionis suatu negara diperlakukan sebagai halnya „orang perorangan‟ yang melakukan kegiatan atau transaksi komersial.
2.3. Macam-macam Tanggung Jawab Negara
Secara garis besar, tanggung jawab negara dapat dibagi menjadi:
1. Tanggung Jawab Perbuatan Melawan Hukum (Delictual Liability)
Tanggung jawab seperti ini dapat lahir dari setiap kesalahan atau kelalaian suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayahnya atau wilayah negara lain. Hal ini dapat timbul karena:
a. Ekplorasi Ruang Angkasa
Negara peluncur satelit selalu bertanggung jawab terhadap setiap kerugian yang disebabkan oleh satelit terhadap benda-benda (obyek) di wilayah negara lain. Sistem tanggung jawabnya adalah tanggung jawab absolut (absolut liability). Ketentuan hukum yang mengatur tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan peluncuran satelit (benda-benda ruang angkasa) ini diatur oleh Konvensi tentang Tanggung Jawab Internasional untuk Kerusakan yang Disebabkan oleh Benda-Benda Ruang Angkasa tahun 1972 (Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects).
b. Eksplorasi Nuklir
Negara bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang disebabkan karena kegiatan-kegiatnnya dalam bidang eksplorasi nuklir. Sistem tanggung jawabnya pun adalah tanggung jawab absolut. Perjanjian internasional yang mengatur eksplorasi nuklir adalah the Vienna Convention on Civil Liability, tanggal 21 Mei 1963. Konvensi mulai berlaku efektif tanggal 27 November 1977. Menurut Konvensi, operator nuklir bertanggung jawab atas kerusakan (rekator) nuklir (Pasal II). Tanggung jawab tersebut sifatnya adalah absolut (Pasal IV).
c. Kegiatan-kegiatan Lintas Batas Nasional
Setiap negara harus mengawasi dan mengatur setiap kegiatan di dalam wilayahnya, baik yang sifatnya publik maupun perdata, yang tampaknya kegiatan tersebut dapat melintasi batas negaranya dan menimbulkan kerugian terhadap negara lain. Sistem tanggung jawab yang berlaku di sini bergantung kepada bentuk kegiatan yang bersangkutan.
2. Tanggung Jawab Atas Pelanggaran Perjanjian (Contractual Liability) a. Pelanggaran Suatu Perjanjian
Pada sengketa Chorzow Factory (1927), pelanggaran terhadap perjanjian melahirkan suatu kewajiban untuk membayar ganti rugi. Sifat dan berapa ganti rugi untuk pelanggaran suatu internasional dapat ditentukan oleh Mahkamah Internasional, pengadilan, peradilan arbitrase atau melalui perlindungan. Pelanggaran seperti ini dapat pula dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip pacta sunt servanda atau bone fides dalam hukum internasional.
b. Pelanggaran Kontrak
Dalam hal pelanggran kontrak, hukum internsional dapat memainkan perannya dalam dua hal kemungkinan berikut:
Pertama, para pihak (negara dan negara atau negara dan perusahaan asing) sepakat untuk memberlakukan prinsip-prinsip hukum internasional dalam kontrak mereka. Sejak hukum internasional diberlakukan, hukum internasional akan memberi perlindungan hukum kepada pihak yang lemah dalam suatu kontrak.
Kedua, hukum internasional akan memainkan peran pentingnya manakala suatu negara melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kontrak menurut hukum internasional. Tindakan tersebut umumnya dilakukan berupa tundakan untuk menghindari kewajiban negara sebagaimana tertuang dalam kontrak.
1) Kontrak dengan indikasi KKN
Masalah lain timbul manakala pejabat negara atau pejabat pemerintah yang menandatangani kontrak ternyata menyalahgunakan jabatannya. Praktek seperti ini tampak cukup subur di negara-negara berkembang.
2) Internasionalisasi Kontrak
Istilah ini diperkenalkan secara formal oleh guru besar hukum internasional ternama kebangsaan Perancis, Profesor Dupuy dalam sengketa Texaco v Libya (1977).
Internasionalisasi kontrak adalah suatu kontrak yang dibuat oleh negara dengan perusahaan asing (foreign private person) yang di dalamnya termuat 3 hal berikut:
1) Para pihak sepakat untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum umum (genaral principles of law) yang dikenal dalam hukum internasional untuk mengatur kontrak.
2) Para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase internasional.
3) Kontrak yang dibuat antar negara dengan individu (perusahaan) termasuk ke dalam bentuk atau kategori yang dinamakan dengan perjanjian pembangunan ekonomi (economic development agreements). Kontrak seperti ini misalnya adalah perjanjian eksploitasi minyak.
3. Pengecualian Tanggung Jawab Negara
a. Adanya persetujuan dari negara yang dirugikan (consent)
Contoh yang umum tentang hal ini adalah pengiriman tentang negara lain atas permintaannya. Persetujuan ini harus diberikan sebelum atau pada saat pelanggran terjadi. Persetujuan yang diberikan setelah terjadinya pelanggaran sama artinya dengan penanggalan hak untuk mengklaim ganti rugi. Namun dalam hal ini, persetujuan yang diberikan kemudian itu tidak menghilangkan unsur pelanggran hukum internasional.
b. Diterapkannya sanksi-sanksi yang sah
Suatu tindakan pelanggran dikesampingkan manakala tindakan itu dilakukan sebagau sautu upaya yang sah menurut hukum internasional sebagai akibat adanya pelanggaran internasional yang dilakukan oleh negara lainnya.
c. Keadaan Memaksa (Force Majeure)
Pasal 23 Rancangan Komisi Hukum Internasional tentang tanggung jawab negara menentukan bahwa kesalahan negara dapat dihindari apabila tindakan itu disebabkan karena adanya kekuatan yang dapat diduga sebelumnya di luar kontrol/pengawasan suatu negara yang membuatnya da yang secara materiil tidak mungkin bagi negara yang bersangkutan untu memnuhi kewajiban internasional tersebut.
d. Tindakan yang sangat diperlukan (Doctrine of necessity)
Doctrine of necessity menyatakan bahwa suatu negara dapat melakukan suatu tindakan yang merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kepentingan yang esensil terhadap bahaya yang sangat besar.
Ada perbedaan antara doctrine of necessity dengan force majeure. Dalam doctrine of necessity tindakan pelanggaran hukum suatu negara terpaksa dilakukan karena tindakan tersebut adalah satu-satunya cara untuk melindungi kepentingan vitalnya. Sedang force majeure adalah suatu keadaan di mana kekuatan yang bersifat