• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI HAK TERDAKWA UNTUK MENGHADIRKAN ALAT BUKTI BERUPA SAKSI DAN AHLI YANG MERINGANKAN DALAM PERKARA PENODAAN AGAMA ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI HAK TERDAKWA UNTUK MENGHADIRKAN ALAT BUKTI BERUPA SAKSI DAN AHLI YANG MERINGANKAN DALAM PERKARA PENODAAN AGAMA ISLAM"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI HAK TERDAKWA UNTUK MENGHADIRKAN ALAT BUKTI BERUPA SAKSI DAN AHLI YANG MERINGANKAN DALAM

PERKARA PENODAAN AGAMA ISLAM

Arba`in Ridho Afiansyah, Marina Kurnianingsih, Tonny Priyangga

ABSTRAK

Penulisan ini mengkaji permasalahan yaitu apakah implementasi hak terdakwa untuk menghadirkan alat bukti berupa saksi dan ahli yang meringankan dalam perkara penodaan agama Islam sesuai dengan ketentuan KUHAP dalam Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor : 69/Pid.B/2012/Pn.Spg.

Penelitian normatif yang bersifat preskriptif dan terapan adalah jenis yang digunakan dalam penelitian ini. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang menggunakan studi kepustakaan untuk teknik pengumpulan bahan hukum. Sedangkan, teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah metode silogisme dengan pola berpikir adalah deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi hak terdakwa untuk mengadirkan alat bukti berupa saksi dan ahli yang meringankan dalam perkara penodaan agama Islam telah sesuai dengan ketentuan Pasal160 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena dalam tahap pemeriksaan di kejaksaan hingga tahap pemeriksaan oleh majelis Hakim, terdakwa menghadirkan saksi yang meringankan bagi dirinya. Alat bukti berupa saksi dan ahli yang meringankan dalam perkara penodaan agama Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor : 69/Pid.B/2012/Pn.Spg dipertimbangkan oleh Hakim. Dapat dilihat dari dari 18 saksi yang diajukan oleh terdakwa, Hakim mempertimbangkan 2 keterangan saksi dan hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa menjadi lebih ringan dari tuntutan. Meskipun secara sah dan meyakinkan terdakwa melakukan tindak pidana melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap agama Islam.

Kata Kunci :Implementasi, Penodaan agama Islam, Saksi yang Meringankan

ABSTRACT

This legal research examines the issues whether the implementation of the defendant’s right to present evidence in the form of witnesses and experts who alleviate in the case of the defamation of Islam in accordance with the provisions of the Criminal Procedure Code on Sampang District Court’s Verdict Number 69/Pid.B/2012/Pn.Spg.

Prescriptive normative law and applied research is the kind that are used in this legal research. Material’s sources that used in this legal research is the primary legal materials and secondary material sources, using literature study for data collection techniques. Meanwhile, legal materials analysis technique that used is deductive syllogism technical analysis.

Based on the results of this legal research concluded that the implementation of the defendant’s right to present evidence in the form of witnesses and experts who alleviate

(2)

in the case of the defamation of Islam in accordance with the provisions of Article 160 paragraph (1) letter c in the Law of Republic Indonesia Number 8 of 1981 on Criminal Code or Criminal Procedure Code, because in the stage of the examination in Attorney General until the stage of examination by the prosecutor to the judge, the defendants presented witnesses forn alleviate their selves. Evidences in the form of witnesses and experts who alleviate in the case of the defamation of Islam in Sampang District Court’s Verdict Number 69/Pid.B/2012/Pn.Spg. that considered by the judges. It can be seen from 18 witnesses which proposed by the defendant, the judges considered the two statements of witnesses and the sentences handed down to the defendant to be lighter than the demands. Although legally and convincingly, defendant is committed criminal acts which in essence of the defamation of Islam.

Keywords: Impelementation, Defamation of Islam, evidences that alleviate.

A. PENDAHULUAN

Indonesia bukanlah Negara agama, karena Negara Indonesia tidak didasarkan pada suatu agama tertentu. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Isi Pasal tersebut telah menjelaskan bahwa Indonesia bukan Negara agama, sehingga dapat dikatakan bahwa di Indonesia tidak ada perlakuan khusus terhadap suatu agama apapun. Ada lima agama yang diakui di Indonesia, yaitu agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha. Agama Islam merupakan agama yang memiliki penganut yang besar, sehingga Indonesia pun menjadi Negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia.

Pancasila merupakan ideologi dan falsafah bangsa Indonesia dan merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sila pertama dari Pancasila pun berbunyi

“Ketuhanan Yang Maha Esa”, bunyi sila tersebut membuktikan bahwa Negara mengakui bahwa agama merupakan hal yang mendasar dan tiang yang pokok dalam kehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia. Negara juga mengatur tentang kebebasan beragama dalam Amandemen Kedua pada Pasal 28 E ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu :

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali;

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Perkembangannya seiring dengan perkembangan pemikiran tentang hak asasi manusia maka kebebasan beragama juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan atas International Covenant On Civil And Political Rights (Konvenan International Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Namun karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, bangsa, budaya dan agama maka tetap ada pembatasan bagi kebebasan beragama tersebut agar tidak timbul hal-hal yang tidak diinginkan, seperti yang diatur dalam Pasal 28 J UUD Tahun 1945 amandemen kedua menyebutkan bahwa:

(3)

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditretapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dengan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Dalam hal menganut kepercayaan sebenarnya merupakan hak setiap orang yang tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi oleh orang lain. Namun jika menambah, mengubah, atau menghilangkan aturan-aturan dalam agama yang sudah dianut, itulah yang disebut menistakan agama atau penodaan agama. Penodaan agama menurut Rollin M. Perkins dan Ronald N. Boyce yang dikutip dari buku Bryan A. Garner, blasmhemy is the malicious, revilement of God and revilement of God and Religion yang artinya dengan niat jahat menghina Tuhan dan Agama (Bryan A. Garner, 2009:

193). Penodaan ajaran agama tersebut terkait dengan suatu hal atau kegiatan yang mengusik ajaran sakral dalam suatu agama itu. Menurut Thomas Aquinas penodaan agama atau blasphemy lebih serius daripada pembunuhan, penodaan ditujukan terhadap Tuhan, sementara pembunuhan ditujukan kepada satu manusia saja (Angus J. Kennedy. 2014.”Christine De Pizan, Blasphemy, And The Dauphin, Louis De Guyene”. VOL. LXXXIII).

Dewasa ini muncul banyak aliran sesat yang jelas menyimpang dan menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Masyarakatpun menyelesaikan dengan main Hakim sendiri (eigenrichting) dan melakukan tindakan-tindakan brutal kepada suatu kelompok atau golongan tertentu, seperti halnya pengerusakan dan pengusiran terhadap pelaku serta pengikutnya. Sebenarnya Negara telah mengatur tentang pengaturan delik agama, namun Indonesia tidak menganut pemisahan yang tajam antara Negara dan agama sehingga pengaturan mengenai delik-delik agama dalam peraturan perundang-undangan pidana dipandang sebagai suatu pembatasan kebebasan beragama dan kepercayaan.

Istilah delik agama dapat mengandung beberapa pengertian, yaitu delik menurut agama, delik terhadap agama, delik yang berhubungan dengan agama (Barda Nawawi Arief, 2001: 302). Dalam hal penodaan agama delik yang termasuk adalah delik terhadap agama terlihat dalam Pasal 156 huruf a KUHP (penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan agar orang tidak menganut agama), termasuk juga Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP (penghinaan terhadap golongan atau penganut agama; yang dikenal dengan istilah group libel). Tindak pidana penodaan agama dalam Pasal 156 a tidak berasal dari Wetboek van Strafrechts (WvS), namun dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Adapun maksud dari Undang-Undang itu dibentuk adalah untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok para ulama dari agama yang bersangkutan (Pasal 1-3); dan untuk melindungi kentetraman beragama tersebut dari penodaan atau penghinaan serta ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 4). Akan tetapi apabila dilihat dari sejarah dibentuknya undang-undang tersebut adalah dalam rangka pengamanan Negara dan ketertiban masyarakat untuk mendukung cita-cita revolusi nasional dan pembangunan

(4)

naisonal semesta menuju masyarakat adil dan makmur dan mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama (Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, 2011: 2).

Pada perkembangannya, kehidupan bermasyarakat yang banyak dipengaruhi oleh pandangan yang fanatik menimbulkan permasalahan yang memicu konflik masyarakat itu sendiri. Salah satu perkara yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah perkara penodaan agama Islam yang dilakukan oleh Terdakwa Tajul Muluk Alias H. Ali Murtadha di Kabupaten Sampang Madura. Pada tanggal 29 Desember 2011 terjadi pembakaran rumah serta Mushala yang digunakan tempat beribadah oleh Terdakwa dan jemaatnya. Masyarakat marah akibat ajaran yang diajarkan Terdakwa bertentangan dengan ajaran yang ada dalam agama Islam. Sebagai contohnya, Terdakwa menyampaikan kepada santri dan jemaahnya apabila keluar dari ajaran yang Terdakwa dakwahkan maka santri tersebut telah menjadi murtad, pengkhianat bahkan iblis. Sehingga pada 1 Januari 2012 MUI Sampang yang diketuai oleh KH. Bukhori Maksum mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Ustad Tajul Muluk adalah sesat. Setelah itu 3 Januari 2012 Roisul Hukama melaporkan Terdakwa kepada Polres Sampang atas tuduhan penodaan agama. Selama persidangan Terdakwa serta Kuasa Hukumnya menghadirkan saksi dan ahli agar dapat digunakan Hakim sebagai pertimbangan untuk meringankan jatuhnya putusan. Hal ini terbukti saat Hakim menjatuhkan putusan yaitu pidana penjara 2 (dua) tahun serta memerintahkan tetap berada dalam tahanan.

Berdasarkan latar belakang masalah inilah penulis tertarik untuk membuat penelitian mengenai bagaimana implementasi hak terdakwa untuk menghadirkan alat bukti berupa saksi dan ahli yang meringankan dalam perkara penodaan agama Islam berdasarkan studi putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor : 69/Pid.B/2012/Pn.Spg.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian hukum (legal research) adalah sebuah penelitian yang bertujuan untuk menemukan koherensi, yaitu adakah aturan hukum yang sesuai dengan norma hukum dan adakah norma yang bersifat perintah atau larangan yang sesuai dengan prinsip hukum serta apakah tindakan seseorang tersebut sudah sesuai dengan norma hukum sehingga cukup disebut dengan penelitian yang bersifat normatif (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 47-49).

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif.

Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder yang kemudian disusun secara sistematis dan ditarik kesimpulan dalam implementasi hak terdakwa dalam menghadirkan alat bukti berupa saksi dan ahli yang meringankan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan teknis analisis bahan hukum dengan deduksi silogisme.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan pada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama yang lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 74). Agama adalah suatu

(5)

perundang-undangan Tuhan yang memberi petunjuk kepada kebenaran dalam keyakinan-keyakinan, dan memberi petunjuk dalam bertingkah laku dan pergaulan- pergaulan (Juhaya S. Praja dan Ahmad Syihabuddin, 1982: 15).

Menurut Koentjaraningrat, agama merupakan suatu sistem yang terdiri atas empat komponen :

1) Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia bersikap religius;

2) Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud alam gaib, serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan;

3) Sistem ritus dan upacara yang mewujudkan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahkluk halus yang mendiami alam ghaib;

4) Umat atau satuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut butir b, dan yang melakukan sistem ritus dan upacara tersebut butir c.

Keempat komponen di atas terjalin erat satu sama lain sehingga menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara utuh. Kepentingan agama menyangkut kepentingan mengenai emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan umat yang merupakan satu kesatuan. Hal inilah yang mnyebabkan diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap agama atau kepentingan (Koentjaraningrat,1985 : 144-145).

Seiring dengan perkembangan zaman, agama dianggap hal yang mudah untuk dipermainkan. Salah satunya dengan adanya tindakan yang disebut dengan melecehkan, menghina, dan menodai nilai-nilai kesucian agama itu. Kata

“penodaan/penghinaan” terhadap agama memiliki istilah dalam bahasa asing yaitu Godslastering (Belanda) dan Blasphemy (Inggris). Menurut Black’s Law Dictionary, blasphemy adalah irreverence toward God, religion, a religious icon, or something else considered sacred yang artinya ketidak hormatan kepada Allah, agama, suatu simbol agama, atau sesuatu yang lain yang dianggap suci (Bryan A. Gamer, 2009: 193).

Tindak Pidana Penodaan Agama menurut Pasal 156 a KUHP adalah barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang ada pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Menurut Syihabudin kalimat “penodaan terhadap suatu agama” ditafsirkan sebagai penodaan langsung terhadap agama baik lisan maupun tulisan, terlepas apakah hal itu akan membahayakn ketertiban umum atau tidak ( Juhaya dan Syihabudin, 1982 : 72).

Tindak pidana agama dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kriteria, yaitu:

1) Tindak pidana menurut agama;

2) Tindak pidana terhadap agama;

3) Tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama.

Dalam pengertian tindak pidana menurut agama, menurut Barda Nawawi Arief, delik agama dapat mencakup perbuatan-perbuatan yang menurut hukum yang berlaku merupakan tindak pidana dan dilihat dari sudut pandang agama juga merupakan perbuatan terlarang/tercela, atau perbuatan yang lainnya yang tidak merupakan tindak pidan menurut hukum yang berlaku tetapi dilihat dari sudut pandang agama merupakan perbuatan terlarang atau tercela (Barda Nawawi Arief, 2010 : 1).

Pengertian delik terhadap agama, terlihat terutama penodaan terhadap agama dn

(6)

melkakukan perbuatan agar orang tidak menganut agama. Delik ini ditujukan khusus untuk melindungi Keagungan dan Kemuliaan Tuhan, Sabda dan SifatNya, Nabi/Rasul, Kitab Suci, Lembaga-lembaga Agama, Ajaran Ibadah Keagamaan, dan tempat beribadah atau tempat suci lainnya.

Wirjono Projodikoro menyatakan bahwa tindak pidana terhadap kepentingan agama dapat dibedakan menjadi 2 (dua) (Wijono Projodikoro, 1982 : 149) :

1) Tindak Pidana yang ditujukan terhadap agama adalah benar-benar langsung membahayakan agama dan yang diserang secara langsung. Di sini perbuatan maupun pernyataannya sengaja ditujukan langsung kepada agama.

2) Tidak pidana yang bersangkutan/berhubungan dengan agama (relating, concerning) adalah tidak ditujukan secara langsung dan membahayakan agama itu sendiri.

Umumnya orang menyebut tindak pidana agama dalam konotasi seperti yang ditunjuk pada tindak pidana yang pertama, tidak termasuk tindak pidana yang kedua, sehingga dapat dikatakan tindak pidana agama ini dalam pengertian yang sempit.

Sedangkan tindak pidana agama dalam pengertian yang luas mencakup baik tindak pidana yang pertama maupun tindak pidana yang kedua.

Tindak pidana yang ditujukan terhadap agama dapat ditemukan dalam KUHP dan Undang-Undang nomor 1 PNPS tahun 1965. Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 156, Pasal 156 huruf a, dan Pasal 157 KUHP yang selengkapnya sebagai berikut :

Pasal 156

Barang siapa di muka umum menyatakan perasaaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 156 huruf a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :

1) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

2) Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 157

1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebenciaan atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariaannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

Kriminalisasi tindak pidana agama sebagaimana diatur dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 tersebut di atas, menurut teori hukum pidana mencakup 3 (tiga) teori perlindungan, yaitu sebagai berikut :

(7)

1) Teori perlindungan agama (Religionsschutz-Theorie)

Menurut teori ini maka agama dilihat sebagai kepentingan hukum atau objek yang akan dilindungi oleh Negara, melalui peraturan perundang-undangan.

2) Teori perlindungan perasaan keagamaan (Gefuhlsscutz-Theorie)

Menurut teori ini maka kepentingan hukum yang akan dilindungi adalah rasa/perasaan keagamaan dari orang-orang yang beragama.

3) Teori perlindungan perdamaian/ketentraman umat beragama (Friedensscutz- Theorie)

Objek atau kepentingan hukum yang dilindungi menurut teori ini adalah kedamaian/kenteraman beragama diantara pemeluk agama atau dengan pengertian lain lebih tertuju pada ketertiban umum yang dilindungi.

Menurut ketentuan umum Pasal 1 angka 14 dan 15 undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa: “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaanya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana” (Pasal 14 KUHAP) dan “Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan” (Pasal 1 angka 15 KUHAP).

Dari ketentuan tersebut dapatlah dijabarkan bahwa apabila seseorang diduga melakukan suatu tindak pidana kemudian dilakukan penyelidikan oleh pihak kepolisian dan selanjutnya berkas perkara (BAP) diserahkan kepada jaksa penuntut umum maka status orang tersebut masih sebagai tersangka. Sedangkan apabila perkara itu telah dilimpahkan ke pengadilan untuk diperiksa, dituntut dan diadili maka berubahlah status tersangka itu menjadi terdakwa.

Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dalam proses pemeriksaan perkara. Hal yang diutamakan dalam praktek pemeriksaan perkara pidana adalah mengenai hak terdakwa baik dari tingkat penyidikan sampai ke tingkat peradilan. Terdakwa berhak untuk memberikan alat bukti yang sah di tingkat penyidikan atau peradilan. Pengertian alat bukti menurut R. Atang Ranumiharjo (dalam Andi Sofyan, 2012 :243), bahwa alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna keyakinan bagi Hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Macam-macam alat bukti dalam acara perdata atau pidana Hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa Hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang saja. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, bahwa yang termasuk alat bukti yang sah adalah :

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan Terdakwa

Salah satu hak terdakwa yaitu menghadirkan saksi yang meringankan. Saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dalam ketentuan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 65

(8)

menentukan bahwa : “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”.

Hal lain yang digunakan oleh terdakwa dalam perkara penodaan agama ini yaitu menghadirkan ahli yang meringankan. Pengertian dari ahli yaitu berarti seseorang yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidangnya. Keterangan ahli adalah suatu gambaran akan pentingnya seorang ahli dalam memberikan keterangan tentang suatu tindak pidana berdasarkan kemampuan atau keahlian di bidangnya. Hal ini sangat dimungkinkan atas keterbatasan pengetahuan penyidik atau penuntut umum dan Hakim dalam mengunkap suatu perkara tindak pidana tanpa keterangan ahli (Andi Sofyan, 2012:258). Dalam ketentuan Pasal 1 angka (28) KUHAP menyatakan bahwa

“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

M. Yahya Harahap menyatakan bahwa dalam hal ini terdakwa berhak mengusahakan saksi atau ahli :

a. Yang memberi keterangan kesaksian atau keterangan keahlian yang menguntungkan bagi terdakwa atau ( a de charge )

b. Apabila terdakwa mengajukan saksi atau ahli yang akan memberi keterangan yang menguntungkan baginya, persidangan “wajib” memanggil dan memeriksa saksi atau ahli tersebut. (M. Yahya Harahap, 2009: 337).

Terdakwa mempunyai hak untuk mengajukan saksi maupun ahli yang menguntungkan bagi dirinya untuk memberikan keterangan di persidangan hal ini telah sesuai dengan maksud dari Pasal 65 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketentuan yang mengatur tentang mengajukan saksi yang meringankan terdakwa di persidangan juga diatur dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan :

“Dalam hal ada saksi yang menguntungkan maupun memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasehat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, Hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut”.

Dalam posisi tersangka di muka pemeriksaan penyidikan, tersangka juga berhak menghadirkan saksi yang meringankan. Ketentuannya tertuang dalam Pasal 116 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan bahwa kepada tersangka ditanyakan apakah tersangka menghendaki adanya saksi yang meringankan (a de charge). Saksi a de charge merupakan saksi yang meringankan atau menguntungkan bagi terdakwa. Tidak saja seorang saksi tapi juga seorang ahli. Akan tetapi di dalam prakteknya, jarang sekali penyidik mau memeriksa saksi yang mau meringankan bagi tersangka atau terdakwa, meskipun hal tersebut merupakan hak dari tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang meringankan (Syaiful Bakhri, 2009: 123). Apabila terdakwa menghendaki saksi yang meringankan, maka penyidik harus memeriksanya dicatat dalam berita acara denganmemanggil dan memeriksa saksi tersebut. Menurut Pasal 117 ayat (1) KUHAP maka keterangan tersangka dan atau saksi yang diberikan kepada penyidik harus

(9)

diberikan kepada penyidik harus diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun. Karena tersangka dan atau saksi wajib memperoleh perlindungan hak asasi.

Mencermati apa yang sudah dipaparkan di atas, Pasal 65 juncto Pasal 160 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum cara Pidana (KUHAP) tersebut telah menjelaskan mengenai saksi A de charge atau saksi yang meringankan terdakwa. Dalam putusan pengadilan negeri Sampang tentang kasus penodaan agama dengan Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Spg diatas maka ketentuan Pasal 65 juncto 160 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah terpenuhi. Terdakwa menghadirkan 18 belas saksi di muka persidangan guna memberikan keterangan yang sebenarnya sehingga dapat meringankan hukuman serta untuk menyangkal segala dakwaan dari penuntut umum kepada terdakwa. Dalam kasus penodaan agama ini terdakwa dan penasehat hukum menghadirkan 18 saksi yaitu :

a. Saksi IKLIL AL MILAL, yaitu kakak kandung terdakwa;

b. Saksi UMMU HANI, yaitu adik kandung terdakwa;

c. Saksi UMMAH, yaitu ibu kandung terdakwa;

d. Saksi MUHYIN als. ALIMULLAH, yaitu santri terdakwa;

e. Saksi MOH. ZAINI, yaitu santri terdakwa;

f. Saksi MUHLISIN, yaitu santri terdakwa;

g. Saksi JUMALI, yaitu santri terdakwa;

h. Saksi NITON, santri terdakwa;

i. Saksi MAT SUHRAH, yaitu santri terdakwa;

j. Saksi PUJADIN, yaitu santri terdakwa;

k. Saksi BUKAMAN al. P. NUR HALIMAH, yaitu santri terdakwa;

l. Saksi MA’RUF, yaitu santri terdakwa;

m. Saksi MOHAMMAD HASYIM als. P. HAMAMAH, yaitu santri terdakwa;

n. Saksi SUNAIDI, yaitu santri terdakwa;

o. Saksi BUSA’I, yaitu santri terdakwa;

p. Saksi MARSUKI als. P. MATSIRI, yaitu santri terdakwa;

q. Saksi MINA als. B. SUMAIDAH, yaitu tetangga terdakwa;

r. Saksi ZULHAN. yaitu teman terdakwa.

Dalam melaksanakan proses pemeriksaan pembuktian di muka persidangan, maka majelis Hakim Pengadilan Negeri Sampang telah memberikan kesempatan bagi terdakwa dan penasehat hukumnya untuk mengajukan saksi yang meringankan untuk memberikan keterangannya di depan pengadilan. Terdakwa dan penasehat hukumnya mengajukan 16 orang saksi di muka pengadilan untuk menyangkal dakwaan Penuntut Umum dan memperkuat pembelaannya, di persidangan menghadirkan saksi-saksi tersebut.

Pada kenyataannya, keterangan saksi yang meringankan yang telah diajukan oleh terdakwa tersebut telah didengarkan oleh majelis Hakim. Hal tersebut membuktikan bahwa hak untuk menghadirkan saksi yang meringankan ini telah sesuai dengan ketentuan KUHAP. Namun putusan Hakim pada ahkhirnya memutus terdakwa Tajul Muluk Als. H. Ali Murtadha terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ Melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap agama Islam”. Sesuai dengan Pasal 197 ayat (1) huruf f tentang ketentuan surat putusan pemidanaan dimana Hakim harus mempertimbangkan hal-hal

(10)

yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa, meskipun menurut Hakim terdakwa bersalah, namun fakta di persidangan, banyak hal yang meringankan terdakwa yang menjadi pertimbangan Hakim. Diantaranya keterangan saksi yang dihadirkan oleh pihak terdakwa. Terlihat di dalam putusan Pengadilan Negeri Sampang, Majelis Hakim menimbang, tentang taqiyah yang di maksudkan oleh Terdakwa dan saksi yang dimaksudkan terhadap orang lain semata-mata hanya untuk menjaga perasaan orang lain bukanlah berbohong yang mengarah pada keburukan.

Walaupun saksi yang diajukan oleh pihak Terdakwa pada ahkirnya tidak dapat diterima karena saksi berasal saudara kandung Terdakwa juga santri Terdakwa.

Hakim melihat ini bahwa saksi tersebut bukan merupakan alat bukti yang sah bagi Terdakwa. Namun dengan alasan Hakim sudah mendengarkan keterangan para saksi yang diajukan oleh Terdakwa dan mengambil kesimpulan atas apa yang telah saksi katakan di muka persidangan tentunya Hakim telah mempunyai pertimbangan sendiri. Putusan Hakim di pengadilan sangat berpengaruh dalam memenuhi rasa keadilan terhadap perkara ini adil terhadap Terdakwa maupun umat Islam lainnya yang merasa agama Islam yang dianutnya secara umum telah dinodai. Untuk menentukan bahwa terdakwa terbukti bersalah atau tidak, Hakim harus berpedoman pada sistem pembuktian. Pembuktian dalam perkara pidana (hukum acara pidana) bertujuan mencari kebenaran material, yaitu kebenaran sejati atau yang sesungguhnya (Andi Sofyan, 2012 : 241).

Pada perkara ini terdakwa telah mengahdirkan saksi yang meringankan atau a de charge baik yang di sumpah ataupun tidak disumpah. Untuk saksi yang tidak disumpah dalam memberikan keterangannya di muka persidangan harus memenuhi unsur ataupun syarat keterangan saksi yang sah. Mengenai nilai kekuatan pembuktian saksi yang tidak disumpah sebaiknya melihat kembali masalah yang berhubungan dengan keterangan saksi ditinjau dari sah atau tidaknya keterangan saksi sebagai alat bukti. Apabila dari segi ini, keterangan saksi yang di berikan tanpa di sumpah di muka persidangan karena :

a. Saksi termasuk dalam ketentuan Pasal 171 KUHAP. Dalam Pasal 171 KUHAP menjelaskan yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah adalah anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin dan orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

b. Saksi menolak untuk disumpah

c. Karena keterangan yang diberikan tanpa di sumpah d. Karena adanya hubungan keluarga

Mengenai kedudukan saksi yang tidak disumpah yang digunakan sebagai pertimbangan Hakim didasari ketentuan Pasal-Pasal yang mengaturnya. Untuk mengambil suatu kesimpulan umum dalam hal ini ialah Pasal 185 ayat (7) KUHAP dengan tanpa mengurangi ketentuan lain yang diatur dalam Pasal 161 ayat (2), maupun Pasal 169 ayat (2) dan penjelasan Pasal 171, secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 2012:293) :

a. Semua keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah dinilai “bukan merupakan alat bukti yang sah”. Walaupun keterangan yang diberikan tanpa sumpah itu saling bersesuaian dengan yang lain, namun sifatnya tetap “bukan merupakan alat bukti”.

b. Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Karena sifatnya bukan merupakan

(11)

alat bukti yang sah, maka dengan sendirinya tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian

c. Akan tetapi “dapat” dipergunakan sebagai “tambahan” alat bukti yang sah.

Sekalipun keterangan tanpa sumpah bukan merupakan alat bukti yang sah dan juga tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian, pada umumnya keterangan itu menyempurnakan kekuatan pembuktian alat bukti yang sah, yang sah dapat

“menguatkan keyakinan Hakim” seperti yang disebutkan dalam Pasal 161 ayat (2) KUHAP dan dapat dipakai “sebagai petunjuk” seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 171 KUHAP.

Dalam perkara ini terdakwa mengajukan saksi yang meringankan atau a de charge yang memiliki hubungan saudara kandung dengannya dan mereka tidak disumpah dalam memberikan keterangan di muka persidangan. Namun dalam keterangannya saksi tersebut keterangannya sesuai dengan keterangan saksi lain yang memberikan keterangan di bawah sumpah. Walapun saksi yang memiliki hubungan saudara tersebut tidak sah, namun dapat digunakan Hakim sebagai petunjuk tambahan dalam mempertimbangkan keputusannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memang mengakui 5 agama dalam sebuah Negara kesatuan ini. Agama Islam merupakan Negara yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat yang lebih sensitif terhadap agama Islam karena banyak dianut. Sensitif disini karena ada beberapa pandangan atau mazhab bagaimana untuk menganut Islam. Ulama yang ada di Indonesia pun berusaha agar masyarakat tetap satu lingkaran dan tidak mencolok perbedaannya. Perkara penodaan agama ini dirasa sangat mengancam kala seorang yang mengaku ulama dan menyebarkan agama Islam dengan cara yang menyimpang dari umat Islam kebanyakan. Seperti perbedaan beribadah atau penyebaran isu-isu yang lain. Hal ini meresahkan banyak warga lainnya yang merasa agama Islam telah di lecehkan atau dinodai.

D. KESIMPULAN DAN SARAN 1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka penulis mengambil simpulan sebagai berikut :

1. Implementasi hak terdakwa untuk menghadirkan alat bukti berupa saksi dan ahli yang meringankan dalam perkara penodaan agama Islam telah sesuai dengan ketentuan KUHAP. Dalam ketentuan Pasal 65 KUHAP menentukan bahwa “ tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”. KUHAP telah mengatur dengan jelas bahwa bagi tersangka dalam perkara apapun berhak megajukan saksi yang dapat meringankan bagi dirinya baik dalam penyidikan dan dimuka persidangan.

Dalam perkara penodaan agama Islam ini Hakim telah memberikan hak terdakwa untuk menghadirkan saksi yang meringankan. Ketentuan yang mengatur tentang mengajukan saksi yang meringankan terdakwa di persidangan juga diatur dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan dalam hal ada saksi yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau

(12)

penasehat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, Hakim ketua sidang wajib mendengarkan keterangan saksi tersebut.

Mencermati dalam perkara tindak pidana penodaan agama Nomor : 69/Pid.B/2012/PN.Spg. terdakwa menghadirkan 18 saksi sebagai saksi a de charge bagi dirinya. Seluruh saksi dihadirkan ke persidangan untuk di dengarkan kesaksiannya di bawah sumpah dan memberikan keterangan yang sebenar- benarnya guna menyangkal segala dakwaan dari penuntut umum. Hak terdakwa untuk menghadirkan alat bukti berupa saksi dan ahli yang meringankan ini telah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP. Terbukti dengan didukungnya banyak Pasal dalam KUHAP yang mengatur tentang menghadirkan saksi yang meringankan. Dan dalam perkara ini saksi yang meringankan telah memberikan keterangannya dimuka persidangan dan sudah memenudi ketentuan dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c dan Pasal 116 ayat (3) KUHAP.

2. Saran

Berkaitan dengan pembahasan mengenai bagaimana implementasi hak terdakwa untuk menghadirkan alat bukti berupa saksi dan ahli yang meringankan dalam perkara penodaan agama Islam berdasarkan studi putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor : 69/Pid.B/2012/Pn.Spg maka saran dari penulis antar lain : 1. Kepada Penegak Hukum baik penyidik kepolisian, penuntut umum, maupun

hakin hendak nya memperhatikan hak-hak yang dipunyai terdakwa dan telah diatur oleh Undang-Undang. Mengingat dalam hal ini hak terdakwa tentang menghadirkan saksi yang meringankan (a de charge) bagi terdakwa tidak ditentukan secara limitatif di dalam KUHAP, maka aparat penegak hukum harus mencari dasar peraturan lain yang mendukung untuk dihadirkannya saksi yang meringankan ini (a de charge).

2. Kepada pihak yang berwenang membuat Undang-Undang seharusnya pengaturan tentang saksi yang meringankan (a de charge) bagi terdakwa ini di buat lebih jelas. Sehingga dalam pelaksanaannya tidak ada permasalahan yang timbul dari ketidakjelasan aturan. Agar para penegak hukum juga memiliki keyakinan dalam memberikan hak bagi terdakwa dengan memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk menghadirkan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.

3. Kepada masyarakat Indonesia penulis berharap hendaknya tidak main Hakim sendiri dalam setiap masalah yang timbul di masyarakat. Karena Negara kita memiliki sistem hukum yang dapat digunakan alat mencari keadilan dan menegakkan kebenaran. Apabila ada perbedaan pendapat hendaknya dibicarakan dengan baik dan jika perlu memanggil aparat penegak hukum agar ada saksi dan untuk menengahi permasalahan. Sebaiknya juga masyarakat lebih berhati-hati dalam bertindak supaya tidak melakukan hal-hal yang tidak merugikan diri sendiri ataupun orang lain.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Andi Sofyan. 2012. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Yogyakarta: Rangkang Education.

Angus J Kennedy.2014. Crhristine De Pizan, Blasphemy, And The Dauphin, Louis D Geyene.VOL. LXXXIII

Barda Nawawi Arief. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

________. 2010. Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) Di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara. Semarang: BP UNDIP.

Bryan A. Garner. 2009. Black’s Law Dictionary 9th Edition. West Thomshon Reuters, St. Paul.

Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Departemen Pendidikan Nasional.

Juhaya S. Praja Dan Ahmad Syihabuddin. 1982. Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Angkasa

Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan, Mentalist, Dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia.

M. Yahya Harahap. 2009. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama.

Jakarta: Sinar Grafika.

______ . 2012. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan (edisi kedua). Jakarta: Sinar Grafika.

Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum (edisi revisi). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Syaiful Bakhri. 2009. Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana.

Yogyakarta: Total Media.

Wirjono Prodjodikoro. 1982. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung:

Refika.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan dari penelitian yaitu: tingkat relevansi antara SAP mata kuliah teknologi pengemasan dengan dokumen SKKNI Industri Pangan unit kompetensi pengemasan, yaitu:

[r]

Metode ini digunakan untuk mendapatkan data tentang upaya yang telah dilakukan Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta dalam melaksanakan Kurikulum Terpadu, meliputi:

Kebijakan khusus yang selalu kita ambil yang pasti kita menyiapkan kader- kader peduli lingkungan baik di tingkatan sekolah, mahasiswa maupun pemuda sehingga dengan

Kemudian baja diambil lalu dibersihkan terlebih dahulu dengan air biasa lalu ditimbang berat material baja tersebut (Wa), dan didapat hasil seperti pada Tabel 2.

“Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, regester-regester, surat-surat urusan rumah tangga dan

berjudul Analisis Pengakuan Pendapatan dan Beban pada KUD Dwi Karya Banyuwangi menurut SAK ETAP yang merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada

Setelah mendapatkan bekal pengetahuan mengenai berbagai hal tentang model bermain pada waktu istirahat untuk anak TK, dan memiliki pemahaman tentang aktivitas bermain