HASIL DAN PEMBAHASAN
Identitas dan Pemilahan Sponge
Sponge dalam penelitian ini diambil dari koleksi Departemen Kelautan dan Perikanan yang berasal dari dua lokasi yaitu perairan Pulau Nias (Sumatera Utara) dan perairan Binuangeun (Ujung Kulon, Banten) (Peta Lokasi di Lampiran 1). Kedua perairan ini termasuk dalam Samudera Hindia. Pada satu lokasi perairan dapat ditumbuhi beragam sponge, karena larva dan sponge muda kecil dapat bergerak bebas sepanjang lautan dan tumbuh di tempat dia menempel untuk menjadi sponge dewasa. Larva ini dapat berenang beberapa jam sampai beberapa hari di lautan bebas atau di dasar laut (Brusca dan Brusca 1990).
Dari perairan Binuangeun diambil dua sampel, yaitu Sponge ST1 dan ST2. Dari perairan Pulau Nias diambil 7 sampel sponge (Sponge ST3, ST4, ST5, ST6, ST7, ST8 dan ST9) (Tabel 2) yang diambil dari tiga lokasi yang berbeda.
Sponge mempunyai spikula yang terdiri dari silika atau kalsium karbonat. Sponge ST1, ST2, ST3, ST4, ST5, ST6, ST7 mempunyai spikula dari silika, sedangkan Sponge ST8 dan ST9 mempunyai spikula dari kalsium karbonat. Pembahasan mengenai spikula ini akan ditemukan pada uraian selanjutnya.
Sponge ST1
Sponge ini berbentuk seperti bongkahan padat, berukuran relatif besar, berwarna abu-abu, berongga dan mempunyai struktur yang sangat keras sulit untuk dipotong. Dilihat dari strukturnya, sponge ini mirip dengan Sponge Tethya aurantia, sponge yang pertama kali dipelajari dan diisolasi protein yang terlibat dalam pembentukan silika spikula (Shimizu et al. 1998). Gambar 14 merupakan potongan sebagian dari badan sponge ST1.
Sponge ST1 ini mempunyai spikula dari bahan dasar silika dan merupakan sponge yang pertama diisolasi silika spikula dan proteinnya dalam penelitian ini.
Sponge ini mempunyai berat silika yang relatif tinggi sehingga memungkinkan untuk melakukan isolasi protein pembentuk silika. Sponge ini mempunyai potensi untuk menjadi sumber protein untuk pengembangan biosilika.
Tabel 2 Lokasi dan Ciri Fisik Sponge
Sampel
Sponge Lokasi Ciri-ciri Kondisi Perairan
Tempat Tumbuh ST1 Binuangeun Berbentuk seperti roti/
bongkahan, kaku/keras, berwarna abu-abu, berongga
pH :8,33 Suhu : 27,3oC Salinitas :33 ppm ST2 Binuangeun Berwarna orange, berserabut
halus, struktur lunak
pH :8,33 Suhu : 27,3oC Salinitas :33 ppm ST3 Bagian Utara
Gosong Lahewa
Berwarna merah, panjang bercabang dan berpori, kaku
pH : 8,26 Suhu : 29,1oC Salinitas 34 ppm ST4 Pulau Lafau Berwarna warna hitam
kemerahan, bertekstur keras dan berongga
Tumb uh di karang vertikal
pH : 8,214 Suhu : 29,5oC Salinitas 34 ppm ST5 Bagian Utara
Gosong Lahewa
Berwarna coklat keunguan, berduri dan bercabang
pH : 8,26 Suhu : 29,1oC Salinitas 34 ppm ST6 Gosong
Lahewa
Berbentuk bulat dengan permukaan seperti durian, berwarna kemerahan dan bagian dalamnya berwarna kuning.
Tumbuh di karang vertikal.
pH : 8,14 Suhu : 29,5oC Salinitas 34 ppm ST7 Bagian Utara
Gosong Lahewa
Berwarna hijau dan bergerigi pH : 8,26 Suhu : 29,1oC Salinitas 34 ppm ST8 Bagian Utara
Gosong Lahewa
Berwarna merah, kecil dan bercabang
pH : 8,26 Suhu : 29,1oC Salinitas 34 ppm ST9 Bagian Utara
Gosong Lahewa
Berwarna coklat kemerahan, pipih dan berduri
pH : 8,26 Suhu : 29,1oC Salinitas 34 ppm
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan (2005)
Gambar 14 Sebagian dari Sponge ST1; di Atas Permukaan Air.
Sponge ST2
Sponge ini diambil dari perairan Binuangeun; merupakan sponge yang terakhir kali terakhir diisolasi silikanya. Sponge ini berwarna merah oranye, berserabut halus dan strukturnya lunak (Gambar 15). Jumlah silika pada sponge ini relatif kecil, sehingga diduga sulit untuk melakukan isolasi dan pengendapan protein dari sponge ini. Sponge ini kurang potensial untuk menjadi sumber protein untuk pengembangan biosilika.
Gambar 15 Sebagian dari Sponge ST2; di Atas Permukaan Air.
Sponge ST 3
Sponge ST3 (Gambar 16) diambil dari Perairan Pulau Nias, tepatnya di Lokasi Bagian Utara Gosong Lahewa pada kedalaman 13-15 m. Sponge ini berwarna merah orange, berbentuk memanjang dengan diameter yang relatif besar, berpori dan bercabang.
a b Gambar 16 Sponge ST3.a. di Bawah Permukaan Air
b. di Atas Permukaan Air.
Sponge ST3 mempunyai berat silika spikula yang relatif besar. Sama seperti Sponge ST1, sponge ini mempunyai potensi untuk menjadi sumber protein untuk pengembangan biosilika.
Sponge ST 4
Sponge ST4 berasal dari lokasi Pulau Lafau, perairan Pulau Nias, diambil pada kedalaman 3,1 m. Sponge ini tumbuh di karang vertikal dan mempunyai warna merah dan berongga (Gambar 17).
Sponge ini mempunyai berat silika spikula yang relatif kecil, sehingga sulit untuk mengisolasi protein silicatein dari sponge ini. Sponge ini kurang potensial untuk dijadikan sumber protein untuk pengembangan biosilika.
Gambar 17 Sponge ST4; di Bawah Permukaan Air.
Sponge ST5, ST6 dan ST7
Sponge ST5 dan ST7 (Gambar 18) diambil dari Perairan Pulau Nias, tepatnya di Lokasi Bagian Utara Gosong Lahewa pada kedalaman 13-15 m.
Sponge ST5 berwarna kecoklatan, berduri dan bercabang. Sponge ST7 berwarna hijau, bentuk permukaan bergerigi dan bercabang dengan struktur yang sangat lunak. Sponge ST6 berasal dari lokasi Gosong Lahewa pada kedalaman 4 m,
a
b c
Gambar 18 a. Sponge ST5, b. Sponge ST6 dan c. Sponge ST7 ; di Bawah Permukaan Air
sponge ini tumbuh di karang vertikal, berbentuk bulat dengan permukaan seperti durian, berwarna kemerahan dan bagian dalamnya berwarna kuning. Ketiga sponge ini mempunyai berat silika yang relatif kecil, karena sebagian silikanya berbentuk microcleres (berukuran kecil) sehingga berat totalnya rendah. Isolasi protein silicatein pada Sponge ST5 dan ST6 tidak mendapatkan protein yang diharapkan.
Bentuk unik dari silikanya memungkinkan sponge ini mempunyai protein silicatein yang dapat mangkatalisis pembentukan biosilika dengan mempunyai morfologi tertentu. Walaupun sulit untuk memperoleh proteinnya, tetapi ketiga sponge ini potensial untuk dijadikan sumber protein untuk pengembangan biosilika dengan struktur yang unik.
Sponge ST 8 dan ST 9
Sponge ST8 dan ST9 (Gambar 19) diambil dari Perairan Pulau Nias, tepatnya di Lokasi Bagian Utara Gosong Lahewa pada kedalaman 13-15 m.
Sponge ST8 berwarna kemerahan, panjang, dengan diamater yang relatif kecil dan bercabang dengan tekstur yang lunak. Sponge ST9 berwarna coklat kemerahan, berbentuk pipih dan berduri.
a b
Gambar 19 a. Sponge ST8 dan b. Sponge ST9; di Bawah Permukaan Air.
Pada saat isolasi silika spikula, setelah tahap perendaman asam, tidak ditemukan adanya endapan silika. Kemungkinan sponge ini tidak mempunyai
silika spikula. Spikula yang membentuk tubuhnya kemungkinan tersusun dari kalsium karbonat atau kolagen saja. Sponge seperti ini tidak potensial untuk dijadikan sumber protein silicatein, walaupun berlaku sebaliknya protein silicatein diduga dapat melakukan polimerisasi ion kalsium.
Dari hasil penelitian awal ini diketahui bahwa struktur sponge dapat menjadi ciri adanya kandungan silika dan protein silicatein. Struktur sponge yang kaku dan keras seperti Sponge ST1 mempunyai potensi yang tinggi untuk menghasilkan jumlah silika dan protein silicatein yang tinggi. Sebaliknya struktur yang lunak seperti Sponge ST2 dan ST7 kurang berpotensi untuk menghasilkan protein silicatein dengan jumlah yang tinggi. Ciri fisik tersebut menjadi faktor pertimbangan dalam pemilahan sampel sponge yang telah dikoleksi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Sehingga beberapa sponge yang bertekstur sangat lunak dan berbentuk seperti daun tidak digunakan untuk penelitian ini.
Seperti umumnya produk laut, sponge berbau amis dan cepat rusak, sehingga setelah diambil, sponge segera disimpan beku sampai dibawa ke laboratorium. Sebelum diisolasi proteinnya, sponge ini tetap dipertahankan dalam keadaan beku untuk menghindari adanya kerusakan protein yang menyebabkan hilangnya aktivitas.
Silika Spikula
Spikula merupakan organ skeleton dari sel sponge yang menopang struktur jaringan dan tubuh sponge. Pada sponge, spikula ini tersusun atas kalsium karbonat (calcareous spicule) atau silika (silica spicule) dan sebagian kecil kolagen. Walaupun pada beberapa sponge, skeleton hanya terdiri dari kolagen saja. Spikula ini dibentuk oleh sel yang terletak di bagian mesohyl yang disebut sclerocytes (Gambar 1). Sel yang terdiri dari mitokondria, mikrofilamen sitoplasma dan vakuola kecil ini dapat menyimpan kalsium karbonat atau silika dan menyusunnya menjadi spikula.
Pembentukan silika spikula ini dimulai dari pembentukan protein filamen di dalam sitoplasma sel sclerocytes. Protein silicatein ini kemudian disekresikan ke membran vakuola tempat terdepositnya asam silikat. Di dalam vakuola protein terus memanjang dan dilapisi dengan silika yang terkondensasi dan
terpolimerisasi olehnya, kemudian setelah membentuk spikula dengan panjang yang cukup protein dan spikula ini disekresikan ke luar sel.
Untuk mengisolasi protein silicatein, perlu dilakukan pemisahan silika spikula dari sponge terlebih dahulu. Pemisahan silika spikula ini dilakukan berdasarkan ketahanan silika terhadap beberapa pelarut seperti larutan natrium hipoklorit jenuh dan larutan asam kuat. Larutan natrium hipoklorit dapat merusak jaringan sponge sehingga silika spikula terlepas dan mengendap pada dasar wadah. Pemisahan silika spikula dari debris sel, lemak dan protein lain dilakukan dengan perendaman oleh asam pekat, di mana bagian lainnya larut asam dan meninggalkan silika spikula sebagai endapan. Komposisi silika spikula yang merupakan lapisan dari polimer dioksida ini membuat beberapa senyawa berukuran besar tidak dapat menembus ke dalam lapisan silika. Komposisi dan struktur seperti inilah yang diinginkan untuk apilikasi polimer silika pada beberapa peralatan.
Sponge yang diamati mempunyai berat silika yang berbeda-beda (Tabel 3). Perbedaan berat relatif silika spikula pada beberapa sponge ini diduga tergantung pada faktor (terutama) jenis sponge dan umur. Habitat sponge dan kedalaman sponge mungkin tidak menjadi faktor dominan penyebab perbedaan jumlah silika spikula.
Tabel 3 Perbandingan Berat Silika antar Sponge
Sampel Asal Berat
basah sampel (g)
Berat kering sampel (g)
Berat silika spikula (g)
Yield silika (%) / berat kering
ST1 Binuangeun 100 25,9 3.6 13.9
ST2 Binuangeun 50 8,6 0.075 0.9
ST3 Pulau Nias 81 16,45 0.3 1.8
ST4 Pulau Nias 34,5 6,9 0.1 1.43
ST5 Pulau Nias 50 11,8 0.09 0.89
ST6 Pulau Nias 16,5 9 0.038 0.42
ST7 Pulau Nias 37,8 4,1 0.0003 0.007
ST8 Pulau Nias 50,9 Tidak ada -
ST9 Pulau Nias 62 Tidak ada -
Sponge ST1 yang diambil dari perairan Binuangeun dimungkinkan telah berumur lebih tua dibandingkan dengan sponge lainnya, hal ini dapat dilihat dari ukuran sponge dan berat silika spikula (13,9% dari berat kering sponge). Berat
silika spikula ini berhubungan erat dengan berat protein yang dapat kita isolasi.
Sponge Tethya aurantia mempunyai yield silika spikula yang besar, yaitu 75,3%
dari berat kering sponge, dengan berat protein sekitar 0,1% dari berat silika spikula (Shimizu et al. 1998).
Sponge ST3 dan ST4 yang diambil dari perairan Pulau Nias mempunyai yield silika spikula di atas 1%, yaitu 1,8% dan 1,43%. Sponge dari perairan Kepulauan Nias lainnya mempunyai yield kurang dari 1%, sehingga sangat sulit untuk mengisolasi protein silicatein. Grafik perbandingan berat silika per berat kering sponge dapat dilihat pada Gambar 20. Pada dua sampel (ST8 dan ST9) tidak terdapat endapan silika spikula, sponge ini kemungkinan mempunyai spikula dari karbonat dan termasuk dalam kelas Calcareous atau hanya terdiri dari spongin seperti sebagian kecil kelas Demospongiae.
0 2 4 6 8 10 12 14
Persentasi silika/bk
sponge
ST1 ST2 ST3 ST4 ST5 ST6 ST7
Gambar 20 Grafik Perbandingan Berat Silika Beberapa Sampel.
Berdasarkan bentuknya, spikula dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu microscleres dan megacleres (Gambar 3). Demospongiae dan hexactinellids mempunyai kedua tipe sel tersebut, sedangkan calcareous hanya mempunyai megascleres. Tipe spikula pada kelas hexactinellids, mempunyai ciri khas yaitu mempunyai 6 sudut, inilah yang menyebabkan struktur sponge ini seperti silinder gelas.
Sponge yang diambil dari perairan Binuangeun dan Pulau Nias sama- sama mempunyai tipe spikula megacleres berbentuk jarum (monakson) (Gambar 21) dan tidak mempunyai struktur khas kelas hexactinellids, sehingga
dimungkinkan semua sponge ini termasuk kelas Demospongiae. Ukuran spikula monakson yang ditemukan pada semua sampel bervariasi antara 1-2 mm (Tabel 4), variasi ukuran ini hampir sama dengan ukuran silika spikula dari Tethya aurantia yang mempunyai panjang sekitar 1-2 mm (Shimizu et al. 1998).
Sponge ST4 mempunyai silika spikula microscleres dengan struktur yang unik (Gambar 22). Sponge ST5 dan ST6 mempunyai bentuk silika spikula microscleres yang unik yaitu starburst, silika spikula berbentuk bintang yang sangat unik (Gambar 23) seperti yang juga ditemukan pada Sponge T. aurantia (Black 2003). Bentuk silika spikula ini mempunyai ukuran yang lebih kecil dari pada silika monakson.
1 mm 1 mm
a b
1 mm
1 mm 1 mm
c d
Gambar 21 Silika Spikula dari Sponge: a. ST1, b. ST2, c.ST3 dan d. ST4 (Pembesaran 100x).
Tabel 4 Bentuk dan Ukuran Silika Spikula
Sampel Asal
Bentuk silika
Panjang silika spikula monakson (mm)
ST1 Binuangeun Monakson 1,9-2,3
ST2 Binuangeun Monakson 2,1-2,4
ST3 Pulau Nias Monakson 1,4-1,5
ST4 Pulau Nias Monakson 1,1-1,3
ST5 Pulau Nias Monakson,
microscleres
1,1-1,2 ST6 Pulau Nias Monakson, starburst 1,1-1,8 ST7 Pulau Nias Monakson, starburst 1,2-2,3
0,1 mm b
1 mm
a
Gambar 22 a. Silika Spikula Sponge ST5 (Pembesaran 100x) b. Bentuk Unik Microscleres (Pembesaran 1000x).
1 mm
0,1 mm
1 mm
a b
Gambar 23 Silika Spikula dari Sponge: a. ST6, b. ST7 (Pembesaran 100x) c. Bentuk microscleres starburst (pembesaran 1000x).
c
Pada Sponge ST6 hampir sebagian besar sponge ini adalah starburst.
Belum ditemukan laporan penelitian yang menyebutkan bahwa silika berbentuk starburst dibentuk oleh protein yang sama (filamen silicatein), kemungkinan besar silika ini dibentuk oleh protein filamen yang berukuran lebih kecil.
Protein Silicatein
Isolasi Protein
Isolasi protein dari suatu bahan tergantung dari lokasi protein tersebut, dimana protein yang disekresikan lebih mudah diisolasi dibandingkan dengan protein intraselular. Seperti telah diungkap di atas, protein silicatein ini disekresikan ke luar sel dan diselimuti oleh silika spikula yang dikondensasi dan dipolimerisasi oleh protein ini sendiri. Isolasi protein diawali dengan isolasi silika spikula dari sponge. Silika spikula tidak larut dalam larutan Na-hipoklorit, Na- hipoklorit merupakan senyawa pereduksi kuat yang biasanya digunakan sebagai pemutih (bleaching agent) pada industri kertas. Senyawa ini dapat mendegradasi karbohidrat kompleks, seperti selulosa atau lignin yang berada dalam tubuh sponge. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan sisa-sisa sel sponge dan sisa larutan Na-hipoklorit.
Silika spikula tidak larut asam, pemisahan dengan komponen sponge lainnya terutama lemak dan protein dilakukan dengan melarutkan komponen tersebut dalam asam kuat HNO3/ H2SO4 (1:4). Kalsium karbonat larut dalam asam kuat tersebut, akan terbentuk ion Ca2+ dan CO32-
. Spikula yang tersusun dari kalsium karbonat tidak akan mengendap setelah perendaman asam ini, seperti yang terjadi pada Sponge ST8 dan ST9. Perendaman dalam larutan asam ini juga sekaligus sebagai tahap awal pemurnian protein silicatein, hal ini terlihat dari hasil elektroforesis dengan SDS-PAGE hanya ada satu pita protein, yaitu protein silicatein dan tidak ada pita protein lainnya.
Pelarutan Silika dalam Buffer HF
Silika spikula yang telah diperoleh kemudian dilarutkan dalam buffer hidrogen fluoride 2M / ammonium fluoride 8 M (2M HF/ 8M NH4F) sambil
distirrer selama lebih dari 1 jam. Kedua larutan ini merupakan pelarut silika yang sangat kuat. Hidrogen fluoride (HF) merupakan senyawa penting yang sering digunakan dalam industri. Senyawa ini dihasilkan dari reaksi antara senyawa fluorite (misalnya kalsium fluorite) dengan H2SO4 (Encyclopædia Britannica 1997) melalui reaksi double replacement (Chemtutor 1997). Aktivitas kimia dari senyawa ini dikenal dengan kemampuannya menyerang elektron yang sangat ekstrim (sangat elektronegatif) dan mempunyai ukuran atom (ion F-) yang sangat kecil. Karena ukurannya yang sangat kecil, ia dapat membentuk kompleks yang sangat stabil dengan beberapa ion positif seperti Si4+ dan Al3+ membentuk kompleks hexafluorosilicate(IV) (SiF62-
) atau hexafluoroaluminate(III) (AlF63-
) (Encyclopædia Britannica 1997).
Kemampuan senyawa HF tersebut, menyebabkan senyawa ini dapat menyerang ikatan antara Si dan Oksigen pada polimer SiO2 (dalam silika spikula) menyebabkan polimer silika terdegradasi dan atom Si membentuk kompleks dengan flourine dari HF membentuk hexafluorosilicate(IV) (SiF62-
). Proses ini dibantu dengan gerakan pengadukan (stirrer).
Larutan HF 2M mempunyai pH yang sangat rendah sekali (kurang dari 1,0) sehingga protein silicatein yang terlepas dari polimer silika tentu akan rusak pada pH yang sangat asam ini. Untuk menjaga hal tersebut digunakan garam NH4F untuk menjaga keseimbangan pH sehingga pH larutan buffer ini sekitar pH 5. pH 5 ini diduga merupakan pH titik isoelekrik protein silicatein seperti pH isoelektrik kebanyakan protein cathepsin-L. Pada pH isoelektrik, umumnya protein enzim mempunyai kelarutan yang paling rendah (Chaplin 2004), sehingga protein mudah diendapkan.
Dialisis
Kompleks hexafluorosilicate(IV) selanjutnya harus dihilangkan karena akan mengganggu aktivitas protein. Penghilangan ini dilakukan dengan cara dialisis (Gambar 24), suatu cara yang sering digunakan untuk memisahkan senyawa dengan ukuran yang berbeda melalui membran dengan ukuran tertentu.
Pada proses ini terjadi difusi senyawa berukuran lebih kecil dari cut-off membran dari konsentrasi yang tinggi (dalam tabung dialisis) kepada larutan yang
konsentrasinya lebih rendah (luar tabung dialisis) (Blaber 1998) (Gambar 25).
Dalam hal ini larutan di luar tabung digunakan air bebas ion.
Pada studi awal melalui literatur telah diketahui bahwa ukuran protein silicatein sekitar 27-29 kDa. Tabung dialisis yang digunakan selain harus dapat mengeluarkan senyawa hexafluorosilicate(IV) tadi, juga harus dapat mempertahankan protein agar tidak ikut keluar. Oleh karena itu, dialisis dilakukan dengan menggunakan kantung dialisis dengan cut-off 10 kDa.
Protein ±50 ml dalam Buffer HF
Tabung dialisis
Air bebas ion 2L
Gambar 24 Dialisis Larutan Protein dan Buffer HF.
Sumber :http://wine1.sb.fsu.edu/C:/My%20Documents/mailto:[email protected]
Gambar 25 Difusi yang Terjadi saat Dialisis.
Hexafluorosilicate(IV) dikeluarkan saat dialisis karena ukuran molekul lebih kecil dari cut-off membran. Pengeluaran kompleks silikat ini berlangsung terus sampai terjadi kesetimbangan di dalam dan di luar tabung. Oleh karena itu, larutan di luar tabung harus diganti berulang kali untuk menggeser lagi
Bagian dalam kantung dialisis
Bagian luar kantung dialisis
kesetimbangan, sehingga kompleks silikat di dalam tabung dialisis didifusikan lagi ke luar. Pengeluaran kompleks silikat saat dialisis ini diamati dengan pengukuran jumlah silikat pada larutan yang ada di luar tabung dialisis (pada pergantian air bebas ion ke-1, 2, 3 dan pada pergantian terakhir, ke-9) dengan menggunakan colorimetric molybdate assay.
Hasil assay ini menunjukkan adanya penurunan konsentrasi silikat pada larutan di luar tabung dialisis (dilihat pada Gambar 26) selama beberapa kali pergantian air bebas ion. Pada dialisis terakhir dan pada cairan enzim (dialisat) sudah tidak terdeteksi lagi adanya silikat dengan colorimetric molybdate assay (data absorbansi pada Lampiran 5).
Gambar 26 Penurunan Jumlah Silikat yang Diukur pada Cairan di Luar Tabung Dialisis.
Sentrifugasi
Sentrifugasi merupakan cara pengendapan melalui tenaga gravitasi buatan (Mangunwidjaja 1994). Metode ini digunakan untuk memisahkan partikel dari cairan suspensi.
Dialisat disentrifugasi pada kecepatan 6000xg (12.000 rpm pada sentrifugasi Merk TOMY) untuk mengendapkan protein silicatein. Proses ini termasuk dalam tahapan kritis dalm isolasi protein ini. Kecepatan pengendapan
0 200 400 600 800 1000 1200 1400
Cairan Dialisis I
Cairan Dialisis II
Cairan Dialisis III
Cairan Dialisis akhir
4 jam ke-9
Jumlah TEOS (nmol)
4 jam ke-1 pert
4 jam ke-2 4 jamke-3
dengan sentrifugasi tergantung banyak faktor, yang tergambar dalam fungsi kecepatan pengendapan, yaitu :
Vt = dp2 (ρs-ρ) ω2r , di mana : 18µ
Vt= kecepatan pemisahan dp= diameter partikel
(ρs-ρ) = selisih densitas padatan dan cairan ω = kecepatan sudut
r = radius sampel ke pusat lingkaran µ = kekentalan cairan
Dari fungsi tersebut, diketahui bahwa kecepatan pemisahan/ pengendapan sebanding dengan diameter partikel (dalam hal ini diameter protein) dan kerapatan protein. Sentrifugasi yang dilakukan terhadap Sponge ST1 dan ST3, menghasilkan endapan protein dengan jumlah endapan terbanyak ditemukan pada Sponge ST3. Hal ini sesuai dengan kerapatan filamen protein (jumlah protein / ml yang dihitung dengan haemacytometer) protein ST3 sebanyak 6,0 x 106/ ml, sedangkan protein ST1 sebanyak 2,25x106/ ml.
Sentrifugasi yang dilakukan pada Sponge ST4, ST5 dan ST6 tidak menghasilkan endapan protein. Hal ini kemungkinan karena jumlah protein per ml yang sangat kecil sehingga tidak terendapkan pada kondisi kecepatan dan waktu sentrifugasi tersebut. Kemudian untuk Sponge ST5 dan ST6 yang banyak mengandung silika spikula berbentuk microscleres kemungkinan protein pembentuknya merupakan filamen dengan ukuran dan diameter yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan protein pembentuk silika spikula monakson, sehingga sulit untuk melakukan isolasi protein dengan sentrifugasi pada 6000xg. Perlu dicari kecepatan sentrifugasi untuk dapat mengendapkan protein tersebut dan mempelajari karakteristik proteinnya lebih lanjut.
Bentuk Protein
Hasil penelitian Shimizu et al. (1998), protein silicatein dari Tethya aurantia terdiri dari 3 subunit α, β dan γ dengan berat molekul masing-masing 29, 28 dan 27 kDa. Ketiga subunit ini tersusun secara bergantian membentuk
filamen protein yang dapat diamati secara mikroskopis dan berukuran panjang sekitar 1 mm dan diameter 2 µm. Pada Sponge ST1 dan ST3 dapat teramati adanya filamen protein ini di bawah mikroskop, dengan ukuran yang hampir sama, yaitu panjang 0,1 mm dan diameter 10 µm.
0,1 mm 0,1 mm
a b
Gambar 27 a. Protein Filamen Sponge ST3 (Pembesaran 400x) dan b. Protein Filamen Sponge ST1 (Pembesaran 400x).
Jumlah Protein dalam Larutan
Konsentrasi protein diukur dengan menggunakan metode Bradford.
Prinsip metode ini adalah pengikatan pewarna pada ikatan glikosidik dan gugus aromatik dari protein. Protein dari sponge ini sangat kecil konsentrasinya sehingga tidak terdeteksi oleh metode ini. Konsentrasi protein ini diperkirakan dibawah 5 µg/ml yang merupakan batas bawah metode Bradford.
Untuk menghitung jumlah filamen protein per ml digunakan alat haemacytometer sebagai gelas objek dan diamati di bawah mikroskop. Metode ini biasanya digunakan untuk menghitung jumlah sel atau spora di bawah mikroskop (Fardiaz 1989). Jumlah filamen protein/ml dihitung dengan haemacytometer untuk protein Sponge ST1 sebanyak 2,25x106/ml dan Sponge ST3 sebanyak 6,0 x 106/ ml (cara perhitungan pada Lampiran 5).
Berat Molekul Protein
Berat molekul protein ditentukan dengan elektroforesis menggunakan SDS-PAGE. Hasil elekroforesis ini menunjukkan adanya satu pita protein pada protein Sponge ST1 dan ST3. Berat molekul protein ini dihitung berdasarkan
perbandingan jarak migrasinya dengan marker (Lampiran 6). Protein dari Sponge ST1 dan ST3 mempunyai berat molekul 21,4 kDa (Gambar 28), sedangkan protein dari Sponge ST4 dan ST5 tidak terdeteksi, kemungkinan protein dari kedua sponge ini tidak terisolasi atau konsentrasinya sangat kecil sekali berada di bawah 2 ng/ml yang merupakan batas deteksi oleh silver staining (Amersham Biorad).
M ST1 ST3 ST4 ST5
Gambar 28 Hasil SDS-PAGE Protein Silicatein
Reaksi Protein Silicatein dengan Substrat
Aktivitas protein diuji dengan menggunakan substrat tetraethoxyorthosilicate, yang merupakan senyawa Si dengan empat tangan mengikat O-Etanol. Substrat ini digunakan karena mempunyai kemiripan dengan substrat alami protein ini yaitu silicic acid (Si(OH)4) tetapi lebih stabil stabil pada pH netral (Cha et al. 1999) dibandingkan dengan silicic acid sendiri. Silisic acid kurang stabil karena gugus OH yang reaktif yang mampu melakukan reaksi kondensasi dan polimerisasi sendiri pada suhu kamar, tetapi sampai derajat polimerisasi tertentu polimer ini dapat terurai kembali (Coradin 2003). Selain itu, penambahan silisic acid selanjutnya dapat menurunkan pH medium sehingga terjadi pelarutan silika dan kembali membentuk monomer (Iler 1979).
Substrat lain yang dapat digunakan oleh protein ini, yaitu silicon triethoxide dan tetramethoxyorthosilicate (TMOS). Silicon triethoxide digunakan untuk membuat polimer silsesquixanes (Cha et al. 1999). TMOS merupakan
21,4 kDa 97,0 kDa
66,0 kDa 45,0 kDa 30,0 kDa 20,1 kDa 14,4 kDa
substrat yang digunakan pada pembuatan polimer silika oleh protein silaffin yang diisolasi dari diatom (Kroger 2002), tetapi TMOS ini mempunyai volatilitas yang tinggi (Awazu dan Onuki 1996).
Mekanisme reaksi kondensasi dan polimerisasi TEOS oleh silicatein yang diusulkan oleh Cha et al. (1999) seperti pada Gambar 29. Mekanisme reaksi ini diambil berdasarkan model struktur tiga dimensi silicatein yang mirip dengan protease dengan sisi aktif yang sama untuk His. Sedangkan sisi aktif sistein pada protease digantikan serin pada silicatein (Shimizu et al. 1998). Mekanisme reaksi diawali oleh atom N nukleofil pada gugus imidazole dari histidin menarik atom H dari gugus hidroksil serin, hal ini menyebabkan atom O bersifat reaktif dan memutuskan gugus etanol dari substrat TEOS. Proses ini disebut proses kondensasi substrat TEOS. Proses kondensasi ini diiringi dengan proses polimerisasi membentuk struktur tiga dimensi berbentuk "ring" (Gambar 6).
Mekanisme polimerisasi secara detil belum diketahui, tetapi diduga proses ini dibantu oleh ion positif Na+; dimana ion ini banyak terdeposit di dalam silika spikula (Aizenberg 2004).
Protein yang diuji aktivitasnya hanya protein yang terdeteksi pada SDS PAGE, yaitu protein dari Sponge ST1 dan ST3. Reaksi ini dilakukan pada suhu kamar dan pH mendekati netral (pH 6,8); hasil reaksi berupa polimer silika diukur dengan colorimetric molybdate assay. Pada assay ini digunakan larutan ammonium molibdat ((NH)4. Mo7.O24.4H2O) dalam air bebas ion yang ditambah dengan larutan HCl pekat. Ammonium molibdat merupakan senyawa yang sering digunakan untuk pemberi warna (dye) pada beberapa assay terutama untuk logam (Mitchel 2003), karena kemampuannya untuk membentuk kompleks dengan beberapa logam tersebut. Si(OH)4 yang terbentuk dari pelarutan polimer silika, akan kehilangan gugus OH karena adanya atom H dari HCl pekat. Ammonium molibdat mengkelat Si yang terlepas dan membentuk kompleks berwarna kuning.
Agen pereduksi metol sulfit merupakan pereduksi yang sangat kuat.
Kompleks molibdat yang mengalami perubahan tingkat oksidasi akan berwarna biru (Mitchel 2003). Larutan metol sulfit mudah teroksidasi dan apabila pereduksi sudah teroksidasi sebelum digunakan, warna biru ini tidak terbentuk
tetapi hanya warna hijau saja dan terukur sebagai nilai absorbansi yang kecil pada panjang gelombang 810 nm.
Gambar 29 Mekanisme Reaksi Silicatein terhadap Substrat TEOS.
Pelarutan Polimer Silika
Hasil reaksi polimerisasi diukur dengan colorimetric molybdate assay.
Pengukuran ini dilakukan setelah polimer dilarutkan terlebih dahulu menjadi monomernya kembali. Pelarutan ini dilakukan karena yang dapat membentuk kompleks dengan ammonium molibdat adalah monomer silika, bukan polimernya.
Dimer silika juga dapat membentuk kompleks dengan ammonium molibdat, tetapi memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan monomer silika (Ning 2002).
Polimer silika dari hasil reaksi ini tidak mudah larut. Pelarutan polimer silika dilakukan dengan perendaman dalam basa dan kondisi suhu yang tinggi selama beberapa waktu (dalam penelitian ini 30 menit), kemudian dibiarkan melarut sampai waktu tertentu (dalam penelitian ini 24 jam).
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran silikat pada tiga tahapan, yaitu 1) setelah pembentukan polimer 12 jam dan pencucian polimer dengan etanol, 2) setelah polimer tersebut diberi perlakuan perendaman basa dan suhu tinggi selama 30 menit dan 3) setelah proses 2 disertai pelarutan selama 24 jam. Hasil pengukuran silikat ditunjukkan oleh Tabel 5. Hasil ini memperlihatkan bahwa pada tahapan pertama belum ada atom silikat, sedangkan polimer silika tidak memperlihatkan reaksi dengan ammonium molibdat maupun pereduksi. Polimer silika memerlukan waktu untuk melarut menjadi monomernya kembali.
Tabel 5 Hasil Pengukuran Silikat pada Beberapa Tahapan
Tahapan Kondisi Nilai absorbansi Interpretasi 1 Polimer silika < A blanko Tidak ada silikat 2 Perendaman basa
dan suhu tinggi
< A blanko Tidak ada silikat 3 Pelarutan 24 jam Jauh di atas A
blanko
Silikat terukur sangat tinggi (seperti hasil reaksi oleh ST1)
Aktivitas Protein Sponge ST1 dan Protein Sponge ST3
Untuk menentukan jumlah monomer TEOS yang dapat terpolimerisasi oleh aktivitas protein Sponge ST1 dan ST3 diperlukan suatu kurva yang dapat menghubungkan antara nilai absorbansi yang terukur melalui colorimetric molybdate assay dengan konsentrasi TEOS. Kurva ini disebut kurva standar yang memuat hubungan antara nilai absorbansi (pada sumbu y) dengan konsentrasi TEOS (pada sumbu x) (Gambar 30). Kurva standar dibuat dengan menggunakan beberapa konsentrasi TEOS (20, 40, 60, 80, 100, 120, 140, 160, 180, 200, 220 dan 225 µmol TEOS /ml DMSO). Kurva standar yang dibuat mempunyai persamaan linier y=0,00181x+0,01167; dengan nilai r2 yang cukup tinggi sebesar 0,994, yang menunjukkan korelasi yang baik.
Sebanyak 0,25 ml protein Sponge ST1 (dengan konsentrasi protein di bawah 5 µg/ml) yang direaksikan selama 12 jam, pada suhu kamar menghasilkan polimer silika dari 15,9 µmol monomer TEOS; sedangkan protein Sponge ST3, pada kondisi yang sama, menghasilkan polimer silika dari 3,0 µmol monomer
TEOS (Tabel 6) (data absorbansi dan perhitungan pada Lampiran 7). Bila dibuat dalam satuan menit, protein Sponge ST1, mampu melakukan polimerisasi dari 22,3 nmol monomer TEOS; sedangkan protein Sponge ST3 mampu melakukan polimerisasi dari 4,2 nmol monomer TEOS. Dari uji aktivitas ini, menunjukkan bahwa kedua protein tersebut mampu menjadi katalis dalam reaksi polimerisasi silika dari substrat TEOS. Protein ST1 menghasilkan polimer silika per menit yang lebih tinggi dibandingkan dengan protein ST3. Sebagai perbandingan, Cha et al. (1999) melakukan reaksi polimerisasi silika dengan menggunakan protein silicatein subunit α dari Sponge Tethya aurantia, protein rekombinan silicatein subunit α yang diekspresikan pada Eschericia coli, protein BSA, papain dan tripsin. Hasil pengukuran reaksi polimerisasi dari beberapa protein tersebut ditampilkan pada Tabel 7.
Gambar 30 Kurva Standar TEOS.
Tabel 6 Perbandingan Jumlah TEOS Terpolimerisasi
Kondisi Reaksi Jumlah TEOS Terpolimer Jenis
Enzim Lama
reaksi
Volume protein
Jumlah protein
Jumlah filament
protein
Total Per menit
per filament
protein Protein ST1 12 jam 250 µl td* 5,6x105 15900
nmol
22,3 nmol
1x1010 molekul Protein ST3 12 jam 250 µl td* 1,5x106 3000
nmol
4,2 nmol
7,6x108 molekul Tanpa
protein (kontrol)
jam 250 µl - - Tidak ada endapan silika
*td= tidak terdeteksi (di bawah batas deteksi Bradford; 5 µg/ml)
Kurva standar TEOS
y = 0.00181x + 0.01167 R2 = 0.994
0 0.05
0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4
0 50 100 150 200 250
Konsentrasi TEOS ( umol/ml)
Absorbansi
Tabel 7 Perbandingan Jumlah TEOS Terpolimerisasi Beberapa Protein
Kondisi Reaksi Jumlah TEOS Terpolimer Jenis
Enzim Lama
reaksi
Volume
protein Jumlah protein Total Per menit Silicatein
* T.aurantia
15 menit 600 µl µg 214 nmol 14,3 nmol
VLOLFDWHLQ rekombinan
menit 600 µl 60 µg 140 nmol 2,33 nmol
BSA 15 menit 600 µl µg 42,1 nmol 2,8 nmol
Papain 15 menit 600 µl µg 22,9 nmol 1,53 nmol
Tripsin 15 menit 600 µl µg 16,2 nmol 1,08 nmol Sumber : Cha et al. (1999) yang dimodifikasi
Dari Tabel 6 dan Tabel 7, terlihat bahwa protein dari Sponge ST1 dengan konsentrasi protein per ml (juga jumlah protein) yang lebih rendah dari protein yang digunakan dalam penelitian Cha et al. (1999), dapat melakukan polimerisasi silika dari monomer TEOS yang lebih banyak dibandingkan dengan protein lainnya. Perbandingan hasil reaksi polimerisasi silika dihitung dalam satuan menit digambarkan dalam bentuk grafik pada Gambar 31.
0 5 10 15 20 25
Jumlah monomer TEOS (nmol/menit)
ST1 ST3 Silicatein T.aurantia
silicatein rekombinan
BSA Papain Tripsin
Gambar 31 Grafik Perbandingan Hasil Reaksi Polimerisasi Oleh Protein Sponge ST1 dan ST3.
Model Pembentukan Silika Spikula Sponge
Model pembentukan silika spikula pada sponge dapat diduga dengan melihat perbandingan ukuran protein dan silika spikula. Perbandingan ukuran
protein dan silika spikula dapat dilihat dari hasil foto mikroskop dan foto Scanning Electron Microscopy. Dari foto mikroskop pada Gambar 32, perbandingan diameter protein dengan diameter silika spikula = 1:6, sedangkan perbandingan panjangnya= 1: 23.
0,1 mm b
0,1 mm
a
Gambar 32 Perbandingan Ukuran Protein dan Silika Spikula dari Sponge ST 1 (Pembesaran 400x)
a. Silika Spikula Sponge ST1; b. Protein Sponge ST1
Protein Sponge ST1 diamati dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (Gambar 33) sebagai kondisi awal sebelum direaksikan dengan substrat TEOS. Hasil reaksi polimerisasi oleh protein Sponge ST1 terhadap substrat TEOS selama 48 jam dianalisis secara mikroskopis dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy untuk melihat struktur biosilika yang terbentuk (Gambar 34). Dari Gambar tersebut terlihat protein Sponge ST1 dapat membentuk polimer silika yang menempel pada protein dan membungkus protein tersebut; dimana pembentukan silika pada bagian ujung lebih besar dibandingkan bagian lainnya. Hal ini sesuai dengan beberapa bentuk silika spikula dari sponge ST1 yang ujungnya berbentuk bundel seperti jarum pentul (Gambar 32).
Perbandingan diameter protein antara sebelum reaksi dan setelah reaksi 48 jam (setelah terlapisi silika) adalah sebesar 1: 4,2; dan perbandingan panjang sebesar 1: 1,5 (Gambar 35). Pembesaran diameter ini cukup besar dibandingkan dengan hasil reaksi polimerisasi oleh protein silicatein dari Tethya aurantia (Cha et al.
1999) dengan menggunakan substrat TEOS selama 12 jam yang baru
menghasilkan lapisan tipis polimer silika pada permukaan protein dan belum memperbesar diameter sampai beberapa kalinya (Gambar 36).
Gambar Hasil Scanning Electron Microscopy Protein ST1 (Pembesaran 5000x)
b
a
Gambar 34 Hasil Scanning Electron Microscopy Protein ST1 yang Telah Direaksikan dengan TEOS 48 Jam
a. Pada Pembesaran 2000x; b. Pada Pembesaran 5000x
Sumber : Cha et al (1999)
a b
Gambar 35 Hasil SEM dari Polimerisasi Silika oleh Silicatein T. aurantia; a. Protein Sebelum Reaksi; b. Protein
Setelah Reaksi.
Protein Sponge ST1 Silika yang melapisi protein
Gambar 36 Perbandingan Ukuran Protein Sponge ST1 dan Silika yang Terbentuk dari Analisis SEM .
Pembentukan silika spikula terjadi secara bidimensional, yaitu pertambahan panjang melalui penggabungan beberapa protein; dan pertambahan diameter melalui penempelan/ pelapisan silika (Croce 2004). Dari gabungan perbandingan ukuran hasil foto mikroskop dan SEM diperoleh dugaan penyusunan protein yang membentuk silika spikula dari sponge ST1 seperti pada Gambar 37. Satu buah silika diperkirakan terbentuk dari penggabungan 15-16 protein dengan silika yang mengelilinginya sehingga memperbesar diameter menjadi enam kali lipatnya.
0,06 mm 0,01 mm
0,1 mm
2,3 mm
Gambar 37 Susunan Protein yang Membentuk Silika Spikula Sponge ST1