12 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Tindak Pidana Narkotika
a. Pengertian Hakim
Hakim sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP adalah Pejabat pengadilan negara yang diberi wewenang oleh Undang- Undang untuk mengadili. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (5) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan Hakim adalah Hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan Hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
Hakim dalam hal mengadili dapat diartikan sebagai serangkaian tindakan dari Hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan berdasarkan tata cara yang telah diatur dalam Undang-Undang (Wantu, 2011 : 20).
b. Dasar Pertimbangan Hakim
Sebelum putusan sampai pada uraian pertimbangan yang menyimpulkan pendapatnya tentang kesalahan Terdakwa, fakta, dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dalam pemeriksaan sidang, semestinya dipertimbangkan secara argumentatif, sehingga jelas terbaca jalan pikiran yang logis dan reasoning yang mantap, yang mendukung kesimpulan pertimbangan hakim (Yahya Harahap, 2012 : 361).
Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan aspek yuridis
dan non yuridis. Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus perkara, hakim akan menarik fakta- fakta dalam proses persidangan yang merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti.
Pertimbangan non yuridis yaitu latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatannya, kondisi dirinya, keadaan sosial ekonomi, dan faktor agama terdakwa. Seorang hakim harus membuat keputusan-keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.
Pertimbangan hakim juga diatur dalam Pasal 50 ayat (1) jo Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa :
“Hakim dalam putusannya selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga harus memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang- undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis guna dijadikan dasar untuk mengadili, dan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya, maka penetapan dan putusan tersebut harus memuat pertimbangan hukum yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.”
Adapun pertimbangan aspek sosiologis yang menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Di dalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti-bukti yang ada. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara, yaitu:
1) Memperhatikan sumber hukum tak tertulis dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat;
2) Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilainilai yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan terdakwa;
3) Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian, kesalahan, peranan korban,
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.
Hal ini diatur pula dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan sesuai dan adil dengan kesalahan yang dilakukannya. Selain itu, KUHAP juga mengatur pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan Terdakwa sebelum dijatuhi putusan, yaitu terdapat pada ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f :
“Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.”
Berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP, menjelaskan bahwa pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan, beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Pertimbangan yang disusun ringkas, bukan berarti putusan itu benar-benar ringkas tanpa argumentasi dan kesimpulan yang jelas, terperinci, dan utuh. Penguraian fakta dan keadaan serta alat pembuktian, bukan semata-mata berupa uraian deskriptif, tetapi di samping diuraikan secara deskriptif, semuanya dipertimbangkan secara argumentatif sebelum sampai kepada kesimpulan pendapat.
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana narkotika melalui segi yuridis dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan fakta-fakta yang di dapat selama persidangan, dan segi non yuridis hakim dapat
mempertimbangkan alasan mengapa terdakwa melakukan tindak pidana tersebut, sifat baik dan buruk terdakwa, dan latar belakang agama terdakwa.
c. Jenis-Jenis Putusan Hakim
Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana yang dikenal selama ini terdapat 2 (dua) macam, yaitu putusan sela dan putusan akhir. Berikut adalah penjelasannya:
1) Putusan Sela
Masalah terpenting dalam peradilan pidana adalah mengenai surat dakwaan Penuntut Umum, sebab surat dakwaan merupakan dasar atau kerangka pemeriksaan terhadap Terdakwa di suatu persidangan. Sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat berupa antara lain sebagai berikut:
a) Menyatakan Keberatan (eksepsi) Diterima
Keberatan (eksepsi) Terdakwa atau penasihat hukum Terdakwa diterima, maka pemeriksaan terhadap pokok bergantung kepada jenis eksepsi mana yang diterima oleh Hakim. Jika eksepsi Terdakwa yang diterima mengenai kewenangan relatif, maka perkara tersebut dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dilimpahkan kembali ke wilayah Pengadilan Negeri yang berwenang mengadilinya.
b) Menyatakan Keberatan (eksepsi) Tidak Dapat Diterima
Hakim menyatakan bahwa keberatan dari Terdakwa atau penasihat hukum Terdakwa dinyatakan tidak dapat diterima atau Hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan perkara a quo dalam putusan selanya, maka dakwaan Penuntut Umum dinyatakan sah sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP dan persidangan dapat dilanjutkan untuk pemeriksaan materi pokok perkara (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).
2) Putusan Akhir
a) Putusan Bebas
Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP bahwa Putusan Bebas dapat dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di persidangan, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka Terdakwa diputus bebas.
Putusan bebas berarti Terdakwa dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum. Pengertian Terdakwa diputus bebas adalah Terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya Terdakwa tidak dipidana (M. Yahya Harahap, 2012 : 347).
b) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging), yang dinamai juga putusan lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (Andi Hamzah, 2002 : 289).
Dimana putusan tersebut masuk kedalam putusan bebas tidak murni.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah suatu pembebasan. Pengadilan berpendapat, bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sedangkan pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti, tetapi itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana tertuang di dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
Bebas tidak murni pada hakikatnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terselubung. Lepas dari segala tuntutan hukum bisa dikatakan ada, apabila dalam suatu dakwaan unsur dari delik dirumuskan dengan istilah yang sama dalam perundang-undangan, sedangkan hakim menafsirkan dan
memandang dakwaan tersebut tidak terbukti secara kurang tepat (Oemar Seno Adji, 1984:167).
Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan kepada Terdakwa cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian, menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Tegasnya perbuatan yang didakwakan dan telah terbukti itu, tidak diatur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana (M. Yahya Harahap, 2012:352).
Tertutup kemungkinan untuk mengajukan upaya hukum Banding terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum, tetapi dapat diajukan upaya hukum kasasi (Andi Hamzah, 2002:292)
c) Putusan pemidanaan
Putusan yang mengandung pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “jika pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”
Penjatuhan putusan pemidanaan terhadap Terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakannya, maka pengadilan akan menjatuhkan putusan pemidanaan sesuai dengan ancaman yang
ditentukan dalam Pasal tindak pidana yang didakwakan terhadap Terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012 : 354).
2. Tinjauan tentang Tindak Pidana Narkotika a. Tindak Pidana Narkotika
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka penggunaan narkotika diluar Pasal tersebut merupakan suatu penyalahgunaan narkotika yang diancam dengan pidana sesuai yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.
Ancaman pidana dalam hal penyalahgunaan narkotika tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yakni terdapat dalam Bab XV.
b. Pengertian Narkotika
Pengertian yang paling umum dari narkotika adalah zat-zat (obat) baik dari alam atau sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Efek narkotika disamping membius dan menurunkan kesadaran, adalah mengakibatkan daya khayal/stimulant (cocaine). Narkotika tersebut dapat menimbulkan ketergantungan (depence). Narkotika yang dibuat dari alam yang kita kenal adalah candu (opium), ganja dan cocaine (Hari Sasangka, 2003:
35).
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 butir 1, narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. Sedangkan, pengertian narkotika secara etimologi berasal dari kata “Narkoties” yang
sama artinya dengan kata “Narcosis” yang berarti membius (Makarao, 2003:21). Bius membuat kita dapat menenangkan otak dan kehilangan kesadaran, apabila dalam pemakaiannya terlalu berlebihan akan menimbulkan halusinasi dan dapat menjadi kecanduan.
c. Jenis-jenis Narkotika dan Golongannya
1) Menurut Kusno Adi (2015:5) jenis-jenis narkotika dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
(a) OPIAT atau Opium (candu)
Berasal dari sejenis tumbuhan yang dinamakan Papaver Somniferum, nama lain dari candu selain opium adalah madat.
(b) Morfin
Adalah zat utama yang berkhasiat narkotika yang terdapat pada candu mentah, diperoleh dengan jalan mengolah secara kimia, Morfin termasuk jenis narkotika yang membahayakan dan memiliki daya eskalasi yang relatif cepat, di mana seseorang pecandu untuk memperoleh rangsangan yang diingini selalu memerlukan penambahan dosis yang lambat laun membahayakan jiwa.
(c) Heroin (putaw)
Berasal dari tumbuhan Papaver Somniferum. Heroin disebut juga dengan sebutan putaw, zat ini sangat berbahaya bila dikonsumsi kelebihan dosis bisa mati seketika.
(d) Cocaine
Berasal dari tumbuh-tumbuhan yang disebut Erythroxylon Coca. Untuk memperoleh Cocaine yaitu dengan memetik daun coca, lalu dikeringkan dan diolah di pabrik dengan menggunakan bahan-bahan kimia.
(e) Ganja
Berasal dari bunga dan daun-daun sejenis tumbuhan rumput bernama Cannabis Sativa. Sebutan lain dari ganja yaitu marijuana, sejenis dengan mariyuana adalah hashis yang dibuat
dari damar tumbuhan tersebut. efek hashis lebih kuat dari ganja.
(f) Narkotika sintetis atau buatan
Adalah sejenis narkotika yang dihasilkan dengan melalui proses kimia secara farmakologi yang sering disebut dengan istilah Napza, yaitu kependekan dari Narkotika Alkohol Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Napza tergolong zat psikoaktif, yaitu zyang terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, atau pendapat dan kesadaran.
2) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika di kategorikan ke dalam tiga golongan, yaitu:
(a) Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan seperti ganja, herion, kokain, sabu-sabu, morfin, opium.
(b) Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan seperti petidin, benzetidin dan betametadol.
(c) Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan seperti kodein dan turunanya.
d. Penyalah Guna Narkotika
1) Pengertian Penyalah Guna Narkotika
Penyalah guna narkotika menurut Pasal 1 butir 15 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika orang yang menyalahgunakan narkotika dapat dibedakan menjadi:
a) Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
b) Korban Penyalahgunaan Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.
c) Penyalah guna narkotika, orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Aturan mengenai penyalah guna yang menyalahgunakan narkotika terdapat pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 127 :
“(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”
2) Penyalahgunaan Narkotika
Penyalahgunaan narkoba atau narkotika adalah pemakaian
narkoba di luar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter dan pemakaiannya bersifat patologik dan menimbulkan hambatan dalam aktivitas di rumah, sekolah, atau kampus, tempat kerja dan lingkungan sosial (Mardani, 2008 : 2).
Faktor-faktor penyebab timbulnya penyalahgunaan narkotika, terdiri dari:
a) Faktor Individu Tiap individu memiliki perbedaan tingkat resiko untuk menyalahgunakan NAPZA. Faktor yang mempengruhi individu terdiri dari faktor kepribadian dan faktor konstitusi.
Alasan-alasan yang biasanya berasal dari diri sendiri sebagai penyebab penyalahgunaan NAPZA antara lain:
(1) Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berpikir panjang mengenai akibatnya.
(2) Keinginan untuk bersenang-senang.
(3) Keinginan untuk mengikuti trend atau gaya.
(4) Keinginan untuk diterima oleh lingkungan atau kelompok.
(5) Lari dari kebosanan, masalah atau kesusahan hidup.
(6) Pengertian yang salah bahwa penggunaan sekali-sekali tidak menimbulkan ketagihan.
(7) Tidak mampu atau tidak berani menghadapi tekanan dari lingkungan atau kelompok pergaulan untuk menggunakan NAPZA.
(8) Tidak dapat berkata TIDAK terhadap NAPZA.
b) Faktor Lingkungan, meliputi:
(1) Lingkungan Keluarga, Hubungan ayah dan ibu yang retak, komunikasi yang kurang efektif antara orang tua dan anak, dan kurangnya rasa hormat antar anggota keluarga merupakan faktor yang ikut mendorong seseorang pada gangguan penggunaan zat.
(2) Lingkungan Sekolah, Sekolah yang kurang disiplin, terletak dekat tempat hiburan, kurang memberi kesempatan pada
siswa untuk mengembangkan diri secara kreatif dan positif, dan adanya murid pengguna NAPZA merupakan faktor kontributif terjadinya penyalahgunaan NAPZA.
(3) Lingkungan Teman Sebaya, Adanya kebutuhan akan pergaulan teman sebaya mendorong remaja untuk dapat diterima sepenuhnya dalam kelompoknya. Ada kalanya menggunakan NAPZA merupakan suatu hal yng penting bagi remaja agar diterima dalam kelompok dan dianggap sebagai orang dewasa (http://dedihumas.bnn.go.id /read/section/artikel/2013/07/23/704/faktor-penyebab- penyalahgunaan-narkotika, diakses pada tanggal 20 Desember 2018 pukul 02.05 WIB di Surakarta).
3. Tinjauan Rehabilitasi Medis dan Sosial a. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya hanya orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat memasuki area ini (Soeparman, 2000 : 37). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Rehabilitasi adalah suatu pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula).
Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan penyalahguna narkoba baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang yang bertujuan mengubah perilaku mereka agar siap kembali ke masyarakat (Kepmenkes RI, 2010).
b. Pengertian Rehabilitasi Narkotika
Rehabilitasi narkoba adalah tempat yang memberikan pelatihan ketrampilan dan pengetahuan untuk menghindarkan diri dari narkoba (Soeparman, 2000 : 37). Program rehabilitasi narkotika merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya- upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan, pendidikan dan latihan vokasional untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri,
kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba dan kembali berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Para pecandu narkoba dapat menjalani proses rehabilitasi di tempat-tempat yang khusus disediakan untuk merehabilitasi pecandu narkoba, yang biasa disebut dengan panti rehabilitasi ataupun Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ada dua jenis rehabilitasi narkotika, yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
c. Pengertian Rehabilitasi Medis dan Sosial
Menurut Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Namun juga bukan suatu keanehan bila Penyalah Guna narkotika juga mendapatkan layanan rehabilitasi medis dan sosial karena menurut Pasal 4 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika huruf d, Undang- Undang Narkotika bertujuan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.
1) Rehabilitasi Medis
Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
Tujuan dari rehabilitasi medis ini ada dua, yaitu:
a) Jangka panjang, dimana pasien segera keluar dari tempat tidur dapat berjalan tanpa atau dengan alat paling tidak mampu memelihara diri sendiri.
b) Jangka pendek, dimana pasien dapat hidup kembali ditengah masyarakat, paling tidak mampu memelihara diri sendiri, ideal dan dapat kembali kepada kegiatan kehidupan semula atau mendekati.
2) Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Dukungan sosial dapat bermanfaat positif bagi kesehatan bila individu merasakan dukungan tersebut sebagai dukungan yang layak dan sesuai dengan apa yang individu butuhkan. Setiap korban narkoba berhak memperoleh kesehatan dan kesembuhan yang didambakannya, maka sudah seharunya tersedia dukungan dan pertolongan bagi harapannya itu dengan perlengkapan-perlengkapan teknis lainnya. Penyembuhan pecandu narkoba harus meliputi usaha- usaha dan dukungan yang diberikan hari demi hari agar bermanfaat secara fisik, mental, spiritual dan sosial (Somar, 2001 : 20).
Rehabilitasi sosial dimaksudkan dalam kaitannya dengan layanan kepada individu yang membutuhkan layanan khusus di bidang sosial, yaitu meningkatkan kemampuan bersosialisasi, mencegah agar kemampuan sosialnya tidak menurun atau lebih parah dari kondisi sosial sebelumnya. Tujuan dari rehabilitasi sosial yaitu Memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat, atau lingkungan sosialnya, dan Memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk mendapatkan fungsi sosial secara wajar.
Individu yang memiliki kualitas hidup baik akan memiliki kesehatan jasmani dan rohani yang baik, dan dapat menjalankan hidup di dalam masyarakat sesuai perannya masing-masing. Kualitas kehidupan dapat membantu menentukan masalah tertentu yang mungkin muncul pada pasien. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas hidup adalah adanya dukungan sosial, apabila dukungan sosial berkurang maka kualitas hidup akan menurun
(Matthias C. Angermeyer dkk, 2002 : 189-190).
Pecandu narkoba seringkali stres dan berpikiran negatif karena tertekan oleh apa yang sedang dihadapinya sehingga sulit untuk mencapai kesembuhan. Berdasarkan hal tersebut, akan lebih baik bila para pecandu ditanamkan sikap pantang menyerah dalam menghadapi rintangan, stres yang sedang dihadapi karena hal tersebut dapat menghasilkan emosi positif yang baik untuk kesembuhannya.
3) Pelaksanaan Rehabilitasi Medis dan Sosial
Dalam pelaksanaannya metode rehabilitasi medis dan sosial dibagi menjadi beberapa proses pemulihan pemakai narkotika, yaitu:
a) Tahap pemeriksaan kesehatan, pada tahap ini seorang dokter dan perawat mempunyai peranan yang sangat penting untuk memeriksa awal apakah kondisi kesehatan pasien/narapidana baik atau tidak, riwayat penyakit yang pernah diderita dan selanjutnya seluruh data tentang ciri fisik sampai dengan kesehatannya dicatat dalam lembar medical record.
b) Tahap detoksifikasi, terapi lepas narkotika dan terapi fisik yang ditujukan untuk menurunkan dan menghilangkan racun dari tubuh, mengurangi akibat putus dari narkotika serta mengobati komplikasi mental penderita. Ada beberapa cara seperti cold turkey (berbicara terus terang tentang hal-hal yang tidak menyenangkan), konvensional (simptomatik), substitusi (penggantian zat).
c) Tahap stabilitas suasana mental dan emosional penderita, sehingga gangguan jiwanya yang menyebabkan perbuatan penyalahgunaan narkotika dapat diatasi. Pada tahap ini dilakukan dengan cara melibatkan beberapa keahlian seperti petugas pembimbing dan pembina serta psikolog, yaitu melalui metode pekerjaan sosial :
(1) Bimbingan Sosial/Terapi Individu Bimbingan sosial dalam
bentuk terapi individu dilakukan untuk mengungkapkan atau menggali permasalahan-permasalahan yang bersifat mendasar yang sedang dialami oleh narapidana sehingga dapat membantu proses rehabilitasi selanjutnya. Selain itu juga, dilakukan untuk menemukan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang sedang dihadapi pasien/
narapidana. Metode ini dilakukan dengan cara tatap muka antara petugas pembimbing dengan narapidana.
(2) Bimbingan Sosial/Terapi Kelompok Bimbingan ini dilakukan dengan menggunakan kelompok, yaitu dengan adanya pembagian-pembagian kelompok narapidana/
tahanan berdasarkan usia, lama pidana/ hukuman. Latar belakang masalah, jenis kelamin dan sebagainya. Kelompok ini dimaksudkan sebagai media pengembangan nilai orientasi dan perubahan sikap menjadi pro-sosial yang produktif. Petugas disini diharapkan mampu mendorong untuk memecahkan suatu permasalahan.
d. Tujuan Rehabilitasi Narkotika
Narkotika dapat menimbulkan ketagihan bahkan ketergantungan karena sifat adiktifnya. Pengguna narkotika akan menambahkan dosis pemakaian terus menerus dan dapat berakibat kematian karena efek sampingnya dan over dosis. Rehabilitasi Narkotika menjadi sarana pemulihan pecandu narkotika, korban penyalahgunaan narkotika, maupun pengguna narkotika. Rehabilitasi narkotika dibutuhkan sebab kondisi Lembaga Pemasyarakatan bila dilihat saat ini tidaklah mendukung, karena bila dalam Lembaga Pemasyarakatan dampak negatif yang ditimbulkan dari perilaku kriminal lainya dapat membuat semakin buruk kondisi kejiwaan, kesehatan nara pidana narkotika semakin berat (Butir 2 SEMA Nomor 07 Tahun 2009).
Drs. Heru Winarko, S.H. dalam kunjungannya ke RS Jiwa Bangli Bali menyampaikan bahwa penanganan korban narkotika melalui
rehabilitasi narkotika ialah penting. Rehabilitasi narkotika yang dalam hal ini rehabilitasi medis dan sosial dipercaya dapat mengembalikan kepulihan penggunanya agar dapat berdaya guna kembali ditengah masyarakat (https://bnn.go.id/blog/rehabilitasi/rehabilitasi-narkoba- untuk-kembalikan-penyalahguna-kembali-berdaya-guna/ di akses pada tanggal 1 Mei 2019 pukul 00.33 WIB di Surakarta). Selain itu, rehabilitasi narkotika dapat menyelamatkan hidup korban narkotika, sebab narkotika dapat memicu berbagai penyakit seperti HIV/AIDS, hepatitis, kerusakan otak, jantung, hingga paru-paru yang jika dibiarkan bisa berujung pada kematian.
e. Pengaturan Rehabilitasi Medis dan Sosial
Mengenai seseorang yang dapat diberikan layanan rehabilitaasi medis dan sosial telah diatur melalui beberapa aturan, antara lain:
1) SEMA Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial.
SEMA tersebut mengatur klasifikasi syarat seseorang dapat diberikan layanan rehabilitasi medis dan sosial, yaitu:
a) Terdakwa pada saat tertangkap dalam keadaan tertangkap tangan oleh penyidik Polri dan BNN.
b) Pada saat tertangkap tangan tersebut ditemukan barang bukti pemakaian satu hari, yang mana menurut SEMA tersebut perinciannya ialah sebagai berikut :
(1) Kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram (2) Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram = 8
butir
(3) Kelompok Heroin : 1,8 gram
(4) Kelompok Kokain : 1,8 gram
(5) Kelompok Ganja : 5 gram
(6) Daun Koka : 5 gram
(7) Meskalin : 5 gram
(8) Kelompok Psilosybin : 3 gram (9) Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) : 2 gram (10) Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram
(11) Kelompok Fentanil : 1 gram
(12) Kelompok Metadon : 0,5 gram
(13) Kelompok Morfin : 1,8 gram
(14) Kelompok Petidin : 0,96 gram
(15) Kelompok Kodein : 72 gram
(16) Kelompok Bufrenorfin : 32 mg
c) Terdakwa positif menggunakan Narkotika yang didukung oleh surat uji Laboratorium yang berdasarkan permintaan penyidik.
d) Diperlukan juga surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh Hakim guna mengetahui keadaan sosial Terdakwa.
e) Tidak terdapat bukti bahwa terdakwa terlibat dalam peredaran gelap Narkotika.
2) SEMA Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial.
SEMA tersebut mengatur mengenai penempatan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam Lembaga rehabilitasi medis dan sosial secara sentral berada pada Hakim, khususnya terkait penempatan sejak dalam proses penyidikan, penuntutan, sampai proses pemeriksaan di persidangan. Namun dalam pemberian perintah penempatan tersebut Hakim tetap memperhatikan dan merujuk pada SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial.
3) Peraturan Bersama Mahkamah Agung, Kementerian Hukum Dan HAM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kejaksaan RI, Kepolisian, Dan Badan Narkotika Nasional tentang Penanganan
Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.
Pasal 2 Peraturan Bersama Mahkamah Agung, Kementerian Hukum Dan HAM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kejaksaan RI, Kepolisian, Dan Badan Narkotika Nasional tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi menyebutkan bahwa :
“Peraturan Bersama ini bertujuan untuk:
a. Mewujudkan koordinasi dan kerjasama secara optimal penyelesaian permasalahan Narkotika dalam rangka menurunkan jumlah Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika melalui program pengobatan, perawatan, dan pemulihan dalam penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau narapidana, dengan tetap melaksanakan pemberantasan peredaran gelap Narkotika;
b. Menjadi pedoman teknis dalam penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau narapidana untuk menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial;
c. Terlaksananya proses rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan, dan pemidanaan secara sinergis dan terpadu.”
B. Kerangka Pemikiran
.
Tindak pidana narkotika
Didakwa oleh penuntut umum dengan Pasal 114 ayat (1) atau Pasal 111 ayat (1) atau Pasal
127 ayat (1)
Putusan Pengadilan Negeri Sukadana Nomor 131/Pid.Sus/ 2016/PN.Sdn
Terdakwa mengajukan Banding
Putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang Nomor
80/PID/2016/PT TJK
Terdakwa mengajukan permohonan Kasasi
Hasil putusan menyatakan menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Sukadana Nomor 131/Pid.Sus/ 2016/PN.Sdn
Hasil putusan menyatakan Terdakwa terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
Putusan Mahkamah Agung Nomor 72 K/Pid.Sus/2017
Alasan Terdakwa mengajukan permohonan Kasasi karena beranggapan Judex Facti telah
salah menerapkan hukum dan Terdakwa beranggapan bahwa dirinya merupakan pecandu narkotika dan berhak diberikan
layanan rehabilitasi medis dan sosial
Pertimbangan Mahkamah Agung
Keterangan :
Kerangka pemikiran di atas menjelaskan tentang bagaimana alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum ini sehingga penulis dapat menyusun penelitian hukum mengenai Analisis Pertimbangan Hakim Tidak Menerapkan Rehabilitasi Medis dan Sosial Untuk Penyalahgunaan Narkotika Golongan I Bagi Diri Sendiri (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 72 K/Pid.Sus/2017). Diawali dengan terjadinya suatu tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Terdakwa Heriyanto Bin Parto Sumito, Terdakwa didakwa dengan Pasal 114 ayat (1) atau Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang pada akhirnya keluar putusan Pengadilan Negeri Sukadana Nomor 131/Pid.Sus/ 2016/PN.Sdn tanggal 28 Juli 2016 yang pada amarnya Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan dijatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sejumlah Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kemudian penasehat hukum Terdakwa mengajukan banding yang pada akhirnya keluar putusan Pengadilan Tinggi Tanjungkarang Nomor 80/PID/2016/PT TJK tanggal 13 Oktober 2016 yang pada amarnya menyatakan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sukadana Nomor 131/Pid.Sus/
2016/PN.Sdn tanggal 28 Juli 2016 yang dimintakan banding.
Mengenai hal itu penasehat hukum terdakwa mengajukan permohonan kasasi yang pada akhirnya keluar putusan Mahkamah Agung Nomor 72 K/Pid.Sus/2017 tanggal 29 Maret 2017 yang mengabulkan alasan permohonan kasasi terdakwa dan membatalkan putusan Judex Facti serta mengadili sendiri kasus tersebut.