6
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL
A. Analisis Karakteristik Responden
Tabel 1 Distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)
- Laki-laki 28 43,1%
- Perempuan 37 56,9%
Jumlah 65 100%
Umur Jumlah (n) Persentase (%)
- 20 – 25 tahun 53 81,5%
- > 25 tahun 12 18,5%
Jumlah 65 100%
Pendidikan Terakhir Jumlah (n) Persentase (%)
- SMA/ SMK 36 55,4%
- Akademi/ Sarjana 26 40,0%
- SMP 1 1,5%
- Tidak Sekolah 2 3,1%
Jumlah 65 100%
Pekerjaan Jumlah (n) Persentase (%)
- IRT (Ibu Rumah Tangga) 2 3,1%
- Mahasiswa 20 30,8%
- Pelajar 4 6,2%
- Wiraswasta 2 3,1%
- Pegawai Swasta 2 3,1%
- PNS (Pegawai Negeri Sipil)
5 7,7%
- Petani 2 3,1%
- Lain-lain 6 9,2%
- Tidak bekerja 22 33,8%
Jumlah 30 100%
Penghasilan Jumlah (n) Persentase (%)
- Rp 0 – 500.000 41 63,1%
- Rp 500.000 – 1.000.000 11 16,9%
- Rp 1.000.000 – 1.500.000 3 4,6%
- Rp 1.500.000 – 2.000.000 3 4,6%
- Rp 2.000.000 – 3.000.000 3 4,6%
- > Rp 6.000.000 4 6,2%
- Jumlah 65 100%
Pernah mendapat informasi terkait TB Paru
Jumlah (n) Persentase (%)
- Pernah 59 90,8%
- Tidak pernah 6 9,2%
Jumlah 65 100%
Sumber informasi terkait TB paru
Jumlah (n) Persentase (%)
- Orang tua 5 7,7%
7
- Petugas kesehatan 24 36,9%
- Media
elektronik/TV/Radio
17 26,2%
- Guru 7 10,8%
- Media cetak 2 3,1%
- Teman 2 3,1%
- Internet 2 3,1%
- Kerabat 4 6,2%
- Tidak pernah dapat 2 3,1%
Jumlah 30 100%
B. Analisis RAL (Rancangan Acak Lengkap)
Tabel 2 Daftar Sidik Ragam Variabel Pengetahuan Masyarakat Terkait TB Paru
DB Jumlah Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Hitung F Tabel 5%
F Tabel 1%
Perlakuan 3 2883,35 961,12 32,09 3,24 5,29 Galat Acak 16 479,20 29,95
Total 19 3362,55
Kesimpulan dari uji RAL untuk mengetahui sejauh mana responden mengetahui tentang informasi Tuberkulosis. Adapun penarikan kesimpulan menggunakan hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis:
Fhitung < Ftabel, maka H0 ditolak Fhitung ≥ Ftabel, maka H0 diterima
Pada hasil uji menggunakan RAL dengan tingkat kebermaknaan 5% dan 1% didapatkan nilai Fhitung > Ftabel, yang mana mengindikasikan bahwa baik pada tingkat kebermaknaan 5% maupun 1% menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat di Sumba Barat (sebanyak 90,8% dari populasi) sudah mengetahui informasi terkait TB Paru.
8
Tabel 3 Daftar Sidik Ragam Variabel Perilaku Pencegahan Penularan TB Paru oleh Keluarga
DB Jumlah Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Hitung F Tabel 5%
F Tabel 1%
Perlakuan 3 869,50 289,83 1,71 2,72 4,05 Galat Acak 76 12887,70 169,57
Total 79 13757,20
Kesimpulan dari uji RAL diatas, menunjukan analisis hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan Tb oleh keluarga. Adapun analisis berdasarkan hipotesis sebagai berikut
Hipotesis:
Fhitung < Ftabel, maka H0 ditolak Fhitung ≥ Ftabel, maka H0 diterima
Pada hasil uji menggunakan RAL dengan tingkat kebermaknaan 5% dan 1% didapatkan nilai Fhitung < Ftabel, yang mana mengindikasikan bahwa sebagian besar keluarga di Sumba Barat (sebanyak 90,8% dari populasi) telah mengetahui informasi tentang TB Paru, namun meskipun demikian belum dapat menerapkan perilaku pencegahan penularan TB paru di keluarga.
PEMBAHASAN Karakteristik Responden
a. Berdasarkan Jenis kelamin
Berdasarkan data pada Tabel 1 diatas, dapat diketahui bahwa mayoritas responden (56,9%) adalah perempuan, yaitu sebanyak 37 orang, dan laki-laki sebanyak 28 orang (43,1%).
b. Berdasarkan usia
9
Berdasarkan pada data pada Tabel 1 diatas, dapat diketahui bahwa paling banyak responden pada rentang umur 20 – 25 tahun yaitu sebanyak 53 orang (93.3%). Usia responden diatas merupakan usia produktif, yang mana perlu dikahwatirkan dan perlu pengetahuan dan penerapan hidup sehat yang lebih baik, karena kelompok usia produktif cenderung akan melakukan aktivitas tinggi, sehingga kemungkinan akan keterpaparan bakteri mycobacterium tuberculosis lebih besar (Andayani & Astuti, 2017).
c. Berdasarkan tingkat pendidikan
Berdasarkan pada data pada Tabel 1 diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai latar belakang pendidikan SMA/SMK yaitu sebanyak 36 orang (55,4 %). Tinggi rendahnya suatu pendidikan masyarakat dapat secara siginifikan mempengaruhi pengambilan keputusan responden seperti patuh untuk minum obat, pelaksanaan perilaku pencegahan penularan TB paru, dan lain sebagainya. Tingkat pendidikan yang rendah akan berpengaruh ke penerimaan informasi gejala serta pengobatan mengenai TB paru (Departemen Kesehatan, 2009). Hal tersebut dibuktikan dari mayoritas responden sudah mengetahui informasi terkait TB paru.
d. Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan pada data diatas, dapat diketahui bahwa mayoritas (33,8%) dari populasi responden tidak memiliki pekerjaan yaitu sebanyak 22 orang, dan susul dengan masyarakat yang berstatus sebagai mahasiswa yaitu 20 orang (30,8%).
e. Berdasarkan Penghasilan
10
Berdasarkan pada data diatas, diketahui bahwa mayoritas pendapatan daripada responden lebih dari 50% adalah pada rentang angka Rp 0 – 500.000 atau dibawah UMR setiap bulannya dengan jumlah 41 orang (63,1%). Pendapatan merupakan penghasilan berupa uang yang diterima oleh anggota keluarga. Masih minimnya penghasilan yang didapat oleh anggota keluarga dapat mempengaruhi ke pemenuhan kebutuhan akan sandang dan pangan. Hal tersebut akan memicu penurunan kekebalan tubuh individu akibat tidak terpenuhi gizi secara optimal, sehingga akan dapat meningkatkan risiko individu terpaparnya TB paru bahkan memperparah kondisi penderita TB paru.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sangadji et al (2018), dimana kondisi sosial terbesar yang berpengaruh ke terjangkitnya TB paru adalah penghasilan keluarga. Kepala keluarga yang memiliki penghasilan dibawah UMR akan cenderung untuk mengonsumsi makanan dengan kadar gizi yang kurang memenuhi kebutuhan gizi harian setiap anggota keluarga, sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terpapar penyakit infeksi diataranya adalah TB paru (Suryo, 2010).
f. Berdasarkan Keterpaparan Informasi Terkait TB Paru
Berdasarkan pada data diatas, sebanyak 90,8% responden pernah mendapatkan informasi terkait TB paru yaitu sebanyak 59 responden. Sehingga dapat diketahui bahwa informasi terkait TB paru di Sumba Barat sudah cukup merata.
g. Berdasarkan Sumber Informasi Terkait TB Paru
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan dengan menggunakan metode analisis RAL (Rancangan Acak Lengkap) atau Completely Randomized Design, menghasilkan fakta yang berbanding terbalik dimana meskipun informasi terkait tuberkulosis paru sudah diketahui oleh sebagian besar masyarakat (sebanyak 90,8% dari populasi), namun pada praktiknya masyarakat atau terkhusus anggota keluarga
11
belum dapat menerapkan perilaku pencegahan penularan tuberkulosis paru. Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kurniasih dan Widianingsih (2017), dimana di dalam penelitiannya disebutkan bahwa terdapat hubungan linier antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan pada pasien TB.
Indonesia merupakan suatu negara dengan beragam budaya didalamnya, dimana masyarakatnya masih melestarikan adat istiadat yang secara turun-temurun masih dilakukan hingga saat ini, yaitu tradisi cium hidung di Sumba (Claudia, Marta, & Cahyanto, 2020).
Tradisi cium hidung yang dilakukan oleh masyarakat Sumba merupakan suatu tanda kekeluargaan atau dapat diartikan sebagai pertalian yang sangat erat, tradisi tersebut dilakukan dengan cara saling menempelkan hidung satu sama lain (Karwanto, 2020). Budaya tersebut masih kental diterapkan di wilayah Sumba sebagai pengganti salam dan sebagai simbol kedekatan antar sesama warga, meskipun penularan tuberkulosis paru tidak secara langsung sesaat berjabat tangan atau melakukan kontak fisik, namun tradisi cium hidung dapat dimungkinkan menjadi prasangka utama yang dapat mendongkrak naiknya pertambahan kasus infeksi tuberkulosis paru di daerah Sumba.
Dilansir dari Profil Kesehatan NTT (2016), bahwa Provinsi Nusa Tenggara Timur menempati urutan ke-12 dari 34 provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus pada tahun 2016. Kemudian, angka keberhasilan pengobatan TB paru di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2017 yaitu masih di angka 83,0% yang mana masih dibawah target yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan yaitu ≥ 90% (Riskesdas, 2017). Hal ini sejalan dengan penelitan yang dilakukan oleh Hutama, et al (2019) yang didalamnya menjelaskan bahwa masih banyaknya masyarakat yang kurang peduli dengan penularan tuberlkulosis paru.
Stigma yang terbentuk sebagai berikutlah yang dapat menghambat keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru. Beranjak ke sisi lain, Kabupaten Sumba Barat menduduki urutan ketiga dengan kasus tertinggi di Nusa Tenggara Timur. Jumlah kasus TB paru di Kabupaten
12
Sumba Barat berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Sumba Barat tahun 2016 adalah 92 kasus. Data yang didapat dari Dinas Kesehatan Sumba Barat (2018), menyatakan bahwa kasus putus minum obat di Sumba Barat pada tahun 2016 adalah sebanyak 8 kasus, pada tahun 2017 mengalami penurunan menjadi 2 kasus, dan pada 2018 mengalami peningkatan kembali menjadi 6 kasus. Hal tersebut mendukung pernyataan sebelumnya terkait dengan masih belum tercapainya keberhasilan pengobatan TB paru di Nusa Tenggara Timur.