• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI PENYAKIT PADA BUAH KAKAO MENGGUNAKAN HUE SATURATION VALUE DAN MOMENT INVARIANT DENGAN ALGORITMA BACKPROPAGATION SKRIPSI SYAFRIZAL LUBIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IDENTIFIKASI PENYAKIT PADA BUAH KAKAO MENGGUNAKAN HUE SATURATION VALUE DAN MOMENT INVARIANT DENGAN ALGORITMA BACKPROPAGATION SKRIPSI SYAFRIZAL LUBIS"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

ALGORITMA BACKPROPAGATION

SKRIPSI

SYAFRIZAL LUBIS 121402013

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INFORMASI

FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(2)

ALGORITMA BACKPROPAGATION

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat memperoleh ijazah Sarjana Teknologi Informasi

SYAFRIZAL LUBIS 121402013

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INFORMASI

FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(3)
(4)

PERNYATAAN

IDENTIFIKASI PENYAKIT PADA BUAH KAKAO MENGGUNAKAN HUE SATURATION VALUE DAN MOMENT INVARIANT DENGAN

ALGORITMA BACKPROPAGATION

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing telah disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2018

SYAFRIZAL LUBIS 121402013

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komputer, pada Program Studi S1 Teknologi Informasi Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi Universitas Sumatera Utara. Selama penyelesaian tugas akhir ini, banyak bantuan dan kerja sama serta doa dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Allah SWT, karena Rahmat dan Ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir ini.

2. Kedua Orang tua penulis Ayahanda Amri Lubis, S.H., M.Hum, dan Ibunda Maysarah yang telah memberikan dukungan, semangat, kasih sayang, nasehat, dan doa semangat yang tiada putusnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Adik penulis Mayang Sari Lubis yang memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

4. Seluruh keluarga besar dari Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan dukungan, semangat dan doa semangat yang tiada putusnya kepada penulis.

5. Bapak Dedy Arisandi, S.T., M.Kom selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Indra Aulia, S.TI. M.Kom selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Dr. Erna Budhiarti Nababan, M.IT selaku Dosen Pembanding I, Ibu Sarah Purnamawati, S.T., M.Sc selaku Dosen Pembanding II yang telah memberikan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.

7. Bapak Muhammad Anggia Muchtar, ST., MM.IT selaku dosen Pembimbing akademik yang telah membimbing penulis dari semester awal hingga semester akhir.

8. Ketua dan Sekretaris Program Studi S1 Teknologi Informasi, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, dan seluruh dosen serta staff kepegawaian di lingkungan Program Studi S1 Teknologi Informasi yang telah membantu dan membimbing penulis selama waktu perkuliahan.

(6)

9. Wudda Rohimah wanita yang selalu setia menemani, memberikan doa, nasehat, dukungan dan semangat juga selalu mendengarkan keluh kesah, membantu penulis saat pengerjaan skripsi ini.

10. Sahabat penulis Renato Rashidi Siahaan, Ainul Husna, Tamrin Imanuel yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis saat pengerjaan skripsi ini.

11. Sahabat penulis Hendro Prastyo yang telah berbaik hati meminjamkan laptop dan jas nya dan memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

12. Sahabat penulis Mayya Noor Lubis, Chairina Ulfa, Misbah, Nani, Hasna, Siti Hasanah, Zandhio sebagai teman seperjuangan dalam berbagai pengerjaan tugas selama perkuliahan yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis saat pengerjaan skripsi ini.

13. Sahabat penulis Nngapsss!! Squad Tito Aulia Astari, Ari Munandar, Bayu Hidayah, Azrina Hudaya, Chika Mahlyda, Erlina Yustika Sari yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

14. Teman-teman Teknologi Informasi USU Efraim, Panca, Arsandi, Franco, Tommy, Zai, Ikram, Doli, Rizky Yuda, Bagus, Wandy, Mutiara, Novira, dan lain-lain terkhusus angkatan 2012, abangda Akira Saito yang membimbing dan membantu penulis, dan kakanda senior dan adik-adik junior Zaki, yang juga memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

(7)

ABSTRAK

Tanaman kakao (Theobroma cacao, L.) atau yang biasa disebut coklat merupakan tanaman perkebunan yang tumbuh di lahan kering. Tanaman kakao merupakan salah satu komoditas unggulan nasional yang berperan penting bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Namun, dalam budidayanya petani kakao seringkali menghadapi masalah yang dapat menyebabkan penurunan hasil produksi kakao.

Masalah yang dihadapi petani kakao antara lain adalah serangan penyakit maupun hama. Sehingga diperlukannya suatu sistem yang dapat mengidentifikasi penyakit pada buah kakao. Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah backpropagation.

Citra buah kakao digunakan sebagai masukkan untuk proses pengolahan citra. Cara kerja sistem ini adalah membandingkan sampel buah kakao yang akan diteliti dengan referensi yang ada pada database. Tahapan-tahapan yang dilakukan sebelum identifikasi yaitu proses pengolahan citra, deteksi warna menggunakan hue saturation value (HSV), ekstraksi fitur menggunakan invariant moment. Berdasarkan hasil pengujian pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa sistem dapat mengidentifikasi jenis penyakit pada buah kakao dengan akurasi 89,2%.

Kata Kunci : Buah kakao, pengolahan citra, Backpropagation, Hue Saturation Value (HSV), Invariant Moment.

(8)

IDENTIFICATION OF DISEASE IN COCOA PLANT USING HUE SATURATION VALUE AND INVARIANT MOMENT WITH

BACKPROPAGATION ALGORITHM

ABSTRACT

Cocoa plant (Theobroma cacao, L.) or the main raw material used to make chocolate is a plant that grows in a dry land. Cocoa is one of national’s flagship commodities which plays an important role in the economic growth. However, in its cultivation process, farmers often face certain problems that results in the decrease of cocoa production. One of the most common problem faced by farmers is pest. In the era of technology, a system is needed to identify what kind of pest or illness the cocoa plant is having. This research used image as its input and implemented backpropagation method to process it. The system works by comparing the sample image of the cocoa with the reference image in the database. Steps taken before the identifying process are image processing, colour detection using Hue Saturation Value (HSV) and feature extraction using invariant moment. Based on the result of this research, it can be concluded that the system are able to identify the type of pest the cocoa is having with an accuracy level of 89,2%.

Keywords : cocoa plant, image processing, Backpropagation, Hue Saturation Value (HSV), Invariant Moment.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Ucapan Terima Kasih iv

Abstrak vii

Abstract viii

Daftar Isi ix

Daftar Tabel xii

Daftar Gambar xiii

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 4

1.4. Batasan Masalah 4

1.5. Manfaat Penelitian 4

1.6. Metodologi Penelitian 4

1.7. Sistematika Penulisan 5

Bab 2 Landasan Teori 2.1. Kakao (Theobroma cacao, L) 7

2.2. Penyakit kakao 7

2.2.1. Penyakit Busuk Buah (Phytophthira palmivora) 7

2.2.2. Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) 9

2.2.3. Penghisap Buah Kakao (Helopeltis antonii sp) 9

2.2.4. Kelayuan Pentil (Cherelle Wilt) 10

2.2.5. Ciri-ciri penyakit pada buah kakao 12

2.3. Android 13

(10)

2.4. Pengenalan Citra 15

2.4.1. Citra Warna 15

2.4.2. Citra Keabuan 15

2.5. Pengolahan Citra 16

2.5.1. Akuisisi Citra 16

2.5.2. Resizing 17

2.5.3. Tingkat Keabuan (Grayscale) 17

2.5.4. Binerisasi (Thresholding) 18

2.6. Ekstraksi Fitur 19

2.6.1. Invariant Moment 19

2.6.2. Deteksi warna HSV 20

2.7. Identification 22

2.8. Jaringan Syaraf Tiruan (JST) 22

2.9. Metode Backpropagation 24

2.10. Penelitian Terdahulu 27

Bab 3 Analisis dan Perancangan Sistem 3.1. Arsitektur Umum 30

3.2. Dataset 31

3.3. Image Aquisition 32

3.4. Pre-processing 33

3.4.1. Resizing 33

3.4.2. Grayscaling 33

3.5. Hue Saturation Value (HSV) 33

3.6. Grayscaling 41

3.7. Segmentasi 41

3.7.1. Otsu Threshold 42

3.8. Ekstraksi Fitur (Invariant Moment) 43

3.9. Klasifikasi Neural Network Backpropagation 44

3.9.1. Tahap Perancangan Arsitektur Backpropagation 45

3.9.2. Tahap Pelatihan Backpropagation 47

3.9.3. Tahap Pengujian Backpropagation 51

3.10. Perancangan Sistem 53

(11)

3.10.1. Perancangan Menu Sistem 53

3.10.2. Perancangan Antarmuka 53

3.10.2.1. Rancangan Halaman Awal 53

3.10.2.2. Rancangan Halaman Utama 54

3.10.2.3. Rancangan Halaman Menu Navigasi 55

3.10.2.4. Rancangan Halaman Pengujian Citra 55

3.10.2.5. Rancangan Halaman Hasil Pengujian 56

3.10.2.6. Rancangan Halaman Awal Pelatihan 57

3.10.2.7. Rancangan Halaman Pelatihan 57

3.10.2.8. Rancangan Halaman Hasil Ekstraksi 58

Bab 4 Implementasi dan Pengujian 4.1. Implementasi Sistem 59

4.1.1. Spesifikasi Perangkat Keras dan Perangkat Lunak 59

4.1.2. Implementasi Perancangan Antarmuka 59

4.1.3. Implementasi Data 62

4.2. Prosedur Operasional 62

4.2.1. Prosedur Operasional pada Halaman Pelatihan 62

4.2.2. Prosedur Operasional pada Halaman Pengujian 63

4.3. Pengujian Sistem 66

Bab 5 Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan 73

5.2. Saran 73

Daftar Pustaka 74

Lampiran 77

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Ciri-ciri penyakit pada buah kakao 12

Tabel 2.2. Penelitian tedahulu 29

Tabel 3.1. Pembagian data latih dan data uji 32

Tabel 3.2. Pembagian citra berdasarkan penyakit 32

Tabel 3.3. Nilai piksel normalisasi RGB citra kakao 36

Tabel 3.4. Nilai piksel HSV 37

Tabel 3.5. Kuantisasi ruang warna dari histogram HSV-162 Bin (1) 38

Tabel 3.6. Kuantisasi ruang warna dari histogram HSV-162 Bin (2) 39

Tabel 3.7. Target keluaran jaringan backpropagation 45

Tabel 3.8. Input 48

Tabel 3.9. Bobot awal (Centeroid) 48

Tabel 3.10. Bobot awal (Output) 48

Tabel 3.11. Data uji 51

Tabel 3.12. Bobot baru (Centeroid) 51

Tabel 3.13. Bobot baru (Output) 52

Tabel 4.1. Parameter backpropagation 67

Tabel 4.2. Hasil pengujian pada buah kakao 67

Tabel 4.3. Akurasi pengujian 70

Tabel 4.4. Pengujian nilai maksimum epoch 71

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Beberapa gambar penyakit busuk buah 8

Gambar 2.2. Beberapa gambar penyakit antraknosa 9

Gambar 2.3. Beberapa gambar penyakit helopeltis 10

Gambar 2.4. Beberapa gambar penyakit cherelle wilt 11

Gambar 2.5. Arsitektur android 14

Gambar 2.6. (a) dengan 2 nilai intensitas (b) dengan 5 nilai intensitas 18

Gambar 2.7. Model warna HSV 21

Gambar 2.8. Arsitektur Backpropagation Algorithm 24

Gambar 3.1. Arsitektur umum 31

Gambar 3.2. Citra asli 33

Gambar 3.3. Representasi piksel citra kakao 34

Gambar 3.4. Citra buah kakao 25 (5x5) piksel 34

Gambar 3.5. Citra grayscaling 41

Gambar 3.6. Citra otsu threshold 42

Gambar 3.7. Arsitektur jaringan syaraf tiruan 46

Gambar 3.8. Struktur menu sistem 53

Gambar 3.9. Rancangan halaman awal 54

Gambar 3.10. Rancanagan halaman utama 54

Gambar 3.11. Rancanagan halaman menu navigasi 55

Gambar 3.12. Rancanagan halaman pengujian citra 56

Gambar 3.13. Rancanagan halaman hasil pengujian citra 56

Gambar 3.14. Rancanagan halaman awal pelatihan 57

Gambar 3.15. Rancanagan halaman pelatihan 57

Gambar 3.16. Rancanagan halaman hasil ekstraksi fitur 58

Gambar 4.1. Tampilan halaman awal 60

Gambar 4.2. Tampilan halaman pelatihan citra 60

Gambar 4.3. Tampilan halaman pengujian citra 61

Gambar 4.4. Tampilan halaman hasil ekstraksi 61

(14)

Gambar 4.5. Tampilan halaman utama pelatihan 62

Gambar 4.6. Tampilan halaman pelatihan 63

Gambar 4.7. Tampilan halaman awal pengujian 64

Gambar 4.8. Tampilan halaman utama pengujian 64

Gambar 4.9. Tampilan halaman pemrosesan 65

Gambar 4.10. Tampilan halaman identifikasi 65

Gambar 4.11. (a) Citra hasil grayscale (b) Citra hasil threshold 66

Gambar 4.12. Pengujian nilai maksimum epoch 72

(15)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman Kakao (Theobroma Cacao, L.) merupakan satu-satunya spesies diantara 22 jenis dalam genus Theobroma yang diusahakan secara komersial. Di Indonesia tanaman kakao merupakan salah satu komoditas unggulan nasional selain dengan tanaman perkebunan lainnya seperti tanaman karet, kelapa dan sawit. Kakao berperan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia dalam bentuk devisa dari ekspor biji kakao dan hasil industri kakao.

Namun dalam pembudidayaan, petani kakao seringkali menghadapi masalah yang dapat menyebabkan penurunan hasil produksi kakao. Masalah yang dihadapi petani kakao antara lain adalah serangan penyakit maupun hama, karena tanaman ini sangat rentan terhadap serangan penyakit maupun serangan hama. Penyakit pada kakao tersebut dapat menyerang bagian buah, daun, maupun batang kakao yang menyebabkan pembusukan pada buah sehingga menurunkan hasil panen petani kakao.

Selama ini pengecekan penyakit pada kakao masih dilakukan secara manual dengan hanya mengandalkan tenaga ahli, cara ini membutuhkan waktu yang relatif lebih lama karena luasnya lahan perkebunan kakao yang harus dievaluasi. Begitu juga pada perkebunan kakao milik warga yang tidak memiliki tenaga ahli sehingga warga hanya menduga penyakit apa yang menyerang kakao tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem yang dapat mengidentifikasi penyakit pada tanaman kakao dan memberikan cara menanganinya, sehingga dapat membantu para petani kakao ataupun warga yang memiliki kebun kakao dalam manangani masalah tersebut dan diharapkan dapat meningkatkan hasil panen.

Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan identifikasi diantaranya yaitu dilakukan oleh V. A. Gulhane, et al

(16)

(2011) adalah melakukan pengidentifikasian dan mendiagnosis penyakit pada daun kapas dengan menggunakan metode fuzzy, Artificial Neural Network (ANN), dan Support Vector Machine (SVM). Peneliti menggunakan ekstraksi warna dan tekstur pada penelitian ini. Peneliti menggunakan 20 citra daun berpenyakit dan 25 citra daun normal. Menggunakan segmentasi warna dan kualitas gambar yang baik akan meningkatkan hasil diagnosis. Pada penelitian ini didapatkan akurasi sebesar 85%.

Selanjutnya, Dubey S.R, et al pada tahun 2014 adalah melakukan klasifikasi terhadap buah apel menggunakan Support Vector Machine (SVM). Sedangkan untuk ekstraksi fitur menggunakan Global Color Histogram (GHC), Color Coherence Vector (CCV) dan Local Binary Pattern (LBP). Adapaun data yang digunakan adalah 391 citra yang dibagi ke dalam 4 kategori. Pada penelitian ini didapatkan akurasi 93%.

Penelitian berikutnya Tan, et al pada tahun 2016 melakukan penelitian menggunakan algoritma K-Means dan Support Vector Machine (SVM) untuk mendeteksi dan pengelompokan penyakit kakao. Sedangkan untuk ekstraksi fitur menggunakan warna L*a*b*. Data yang digunakan diambil dari internet dan Universitas Central Luzon. Adapun data yang digunakan sebanyak 35 citra, 30 citra untuk data pelatihan dan 5 citra untuk data pengujian. Pada penelitian ini didapatkan akurasi sebesar 89,2%.

Penelitian berikut Yogiswara pada tahun (2016) melakukan penelitian menggunakan K-Nearest Neighbor (KNN) untuk mengidentifikasi penyakit kakao.

Untuk ekstraksi fitur menggunakan Principal Component Analysis (PCA) dan diimplementasikan menggunakan aplikasi Matlab R2009a. Total jumlah citra yang digunakan sebanyak 90 citra, terdiri dari 30 citra buah kakao normal, 30 citra kondisi busuk buah, dan 30 citra kondisi helopeltis. Sedangkan untuk data uji digunakan 10 citra untuk setiap jenis penyakit kakao. Pada penelitian ini didapatkan akurasi sebesar 86,67%.

Penelitian Selanjutnya Aniket Gharat, et al (2017) melakukan penelitian menggunakan Convolutional Neural Network (CNN) untuk mendeteksi penyakit pada daun tanaman melalui pendektan jaringan saraf tiruan. Selain itu juga peneliti menggunakan invariant moment sebagai esktraksi fitur. Pada penelitian ini didapatkan akurasi sebesar 88%.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode Backpropagation untuk mengidentifikasi penyakit pada buah kakao. Algoritma Backpropagation pertama kali

(17)

dirumuskan oleh Werbos dan dipopulerkan oleh Rumelhart dan McClelland yang digunakan pada jaringan syaraf tiruan yang dengan lapisan jamak atau multi-layer.

Algoritma Backpropagation adalah algoritma yang melatih jaringan dengan cara menyebarkan error dari lapisan output hingga ke input, yang mempunyai fungsi untuk mengevaluasi turunan agar mendapatkan target yang diinginkan (Puspitaningrum, 2006). Algoritma ini banyak digunakan dan dikombinasikan dengan yang algoritma lain dan diterapkan pada aplikasi yang berbeda (Alsmadi et al, 2009).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengajukan proposal penelitian dengan judul “IDENTIFIKASI PENYAKIT BUAH THEOBROMA CACAO MENGGUNAKAN ALGORITMA BACKPROPAGATION” sebagai cara alternatif dalam identifikasi penyakit pada buah Theobroma Cacao atau kakao.

Metode yang digunakan adalah Backpropagation dengan ekstraksi warna HSV, dan ekstraksi fitur Moment Invariant sehingga diharapkan dapat memberikan akurasi yang baik.

1.2 Rumusan Masalah

Tanaman kakao (Theobroma cacao, L.) atau yang biasa disebut coklat merupakan tanaman perkebunan yang tumbuh di lahan kering. Tanaman kakao merupakan salah satu komoditas unggulan nasional setelah tanaman karet, kelapa, sawit, kopi, dan teh yang berperan penting bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Namun, dalam budidayanya petani kakao seringkali menghadapi masalah yang dapat menyebabkan penurunan hasil produksi kakao. Masalah yang dihadapi petani kakao antara lain adalah serangan penyakit maupun hama, karena tanaman ini sangat rentan terhadap serangan penyakit maupun serangan hama. Penyakit pada kakao tersebut dapat menyerang bagian buah, daun, maupun batang kakao yang menyebabkan pembusukan pada buah dan menurunkan hasil panen petani kakao. Selama ini pengecekan penyakit pada kakao masih dilakukan secara manual dengan hanya mengandalkan tenaga ahli, cara ini membutuhkan waktu yang relatif lebih lama karena luasnya lahan perkebunan kakao yang harus dievaluasi. Maupun pada perkebunan kakao milik warga yang tidak memiliki tenaga ahli sehingga terkadang warga hanya menduga penyakit apa yang menyerang kakao tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem yang dapat mengidentifikasi penyakit pada tanaman kakao dan memberikan cara menanganinya.

Sehingga dapat membantu para petani kakao ataupun warga yang memiliki kebun

(18)

kakao dalam manangani masalah tersebut. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil panen.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyakit tumbuhan Theobroma Cacao menggunakan Algoritma Backpropagation dan memberikan saran untuk menanganinya.

1.4 Batasan Masalah

Ada beberapa hal yang akan dijadikan batasan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Citra yang akan diinput yaitu citra buah kakao dalam bentuk file digital dengan ekstensi .jpeg ataupun .jpg.

2. Data latih diambil menggunakan kamera smartphone 16 MP.

3. Identifikasi dilakukan berdasarkan tekstur dan warna.

4. Jenis penyakit kakao yang akan diidentifikasi antara lain busuk buah (Phytophthora palmivora), antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides), penghisap buah kakao (Helopeltis sp), dan kelayuan pentil (Cherelle Wilt).

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Membantu pengguna dalam mengenal jenis-jenis penyakit pada kakao.

2. Membantu pengguna dalam menangani penyakit pada kakao.

3. Memberikan masukkan kepada peneliti lain dalam bidang image processing maupun Backpropagation.

1.6 Metodologi Penelitian

Adapun tahapan-tahapan yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah:

a. Studi Literatur

Metode ini diawali dengan terlebih dahulu melakukan pembelajaran literatur pada sejumlah buku, artikel, paper, jurnal, makalah, maupun situs internet mengenai pembahasan pengenalan objek, citra, image processing, HSV, algoritma Backpropagation.

(19)

b. Analisis

Pada tahap ini dilakukan analisis masalah terhadap berbagai informasi yang terkait dengan penelitian dari berbagai sumber yang didapatkan agar dapat memilih metode yang tepat untuk menyelesaikan masalah pada penelitian ini.

c. Perancangan Perangkat Lunak

Pada tahap ini, digunakan seluruh hasil analisa terhadap studi literatur yang dilakukan untuk merancang perangkat lunak yang akan dihasilkan. Dalam tahapan ini juga dilakukan perancangan model antarmuka serta proses kerja sistem untuk memudahkan dalam proses implementasi.

d. Implementasi

Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap citra buah kakao yang diinput kedalam sistem untuk memastikan hasil identifikasi sesuai dengan yang diharapkan.

e. Pengujian Sistem

Pada tahap ini dilakukan dokumentasi dan penyusunan laporan hasil analisis dan implementasi Backpropagation pada identifikasi penyakit buah kakao.

1.7 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membuat sistematika sebagai berikut:

Bab: 1 Pendahuluan

Bab ini membahas latar belakang, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang dilakukan serta sistematika penulisan.

Bab: 2 Landasan Teori

Bab ini membahas tentang citra, penyakit pada buah kakao, jaringan syaraf tiruan, ekstraksi fitur dan warna, serta algoritma Backpropagation.

(20)

Bab: 3 Analisis dan Perancangan Sistem

Bab ini berisi mengenai cara kerja jaringan syaraf tiruan dalam pengenalan citra buah kakao mulai dari tahap akuisisi citra, prapengolahan, serta metode ekstraksi fitur, identifikasi, flow chart sistem, dan perancangan antar muka pengguna.

BAB 4 Implementasi dan Pengujian Sistem

Bab ini berisi tentang implementasi dari analisis dan perancangan. Selain itu, juga berisi tentang pengujian terhadap sistem yang telah dibangun.

BAB 5 Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dari keseluruhan rancangan dan saran yang ditujukan bagi para pembaca atau pengembang untuk penelitian berikutnya.

(21)

LANDASAN TEORI

2.1 Kakao (Theobroma cacao, L.)

Tanaman Kakao (Theobroma Cacao, L.) merupakan satu-satunya spesies diantara 22 jenis dalam genus Theobroma yang diusahakan secara komersial. Di Indonesia tanaman kakao merupakan salah satu komoditas unggulan nasional selain dengan tanaman perkebunan lainnya seperti tanaman karet, kelapa dan sawit. Kakao berperan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia dalam bentuk devisa dari ekspor biji kakao dan hasil industri kakao (Poedjiwidodo Y, 1996).

Di Indonesia, tanaman kakao diperkenalkan oleh orang Spanyol pada tahun 1560 di Minahasa, Sulawesi. Ekspor dari pelabuhan Manado ke Manila dimulai tahun 1825 hingga 1838 sebanyak 92 ton. Nilai ekspor tersebut dikabarkan menurun karena adanya serangan hama dan penyakit pada tanaman kakao. Tahun 1919 Indonesia masih mampu mengekspor sampai 30 ton, tetapi setelah tahun 1928 ternyata ekspor tersebut terhenti (Pusat Penelitian Kakao Indonesia, 2004)

Kualitas dari biji kakao dipengaruhi baik atau buruk buah kakao itu sendiri.

Salah satu parameter dari kualitas buah kakao yaitu ada tidaknya penyakit yang dihasilkan oleh hama ataupun patogen yang menyerang tanaman kakao. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas kakao yang dihasilkan. Besarnya kerugian sangat berbeda antar kebun, bervariasi antara 26% hingga 50% (Fauzan, et al. 2013).

2.2 Penyakit Kakao

2.2.1. Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora)

Penyakit busuk buah kakao adalah salah satu penyakit yang sering menyerang tanaman kakao. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi cendawan Phythoptora palmivora pada buah. Cendawan Phythoptora palmivora sebenarnya juga dapat menginfeksi

(22)

pada bagian tanaman kakao lainnya seperti batang, daun, tunas, bahkan bunga.

Walaupun demikian, dampak negatif serangan pada bagian tanaman lainnya tersebut tidak sebesar jika cendawan ini menginfeksi buah. Penyakit busuk buah kakao sering menyerang tanaman yang memiliki sistem kekebalan yang rentan serta dipengaruhi oleh keberadaan kebun yang lembab dan gelap.

Gambar 2.1. Beberapa gambar penyakit busuk buah (Riyadi, 2010)

Penyakit ini dapat menyerang semua fase pertumbuhan buah, mulai dari buah pentil hingga buah dalam fase kemasakan. Buah yang terserang penyakit busuk buah akan tampak hitam dan jika disentuh akan terasa basah membusuk. Penyakit ini dapat menyebar dari satu buah yang terinfeksi ke buah lainnya melalui beberapa media seperti sentuhan langsung antarbuah, percikan air, dibawa oleh hewan (semut atau tupai), bahkan oleh tiupan angin. Penyebaran busuk buah akan semakin cepat jika kondisi kebun terlalu lembab karena cendawan Phythoptora palmivora dapat tumbuh subur pada daerah yang lembab.

Buah yang terserang awalnya ditandai pembusukan dan disertai bercak coklat kehitaman dengan batas yang tegas gejala ini biasanya dimulai dari pangkal buah kemudian menjadi busuk basah, dan selanjutnya gejala menyebar menutupi seluruh permukaan buah. Dampak yang diakibatkan oleh serangan P. palmivora pada buah muda dapat menyebabkan buah membusuk sehingga tidak mungkin dapat dipanen.

Sedangkan serangan pada buah yang hampir masak mengakibatkan turunnya kualitas biji kakao (Wahyudi dkk., 2008).

(23)

2.2.2. Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides)

Penyebab penyakit antraknosa pada pembibitan tanaman kakao adalah jamur Colletorichum gleosporioides. Penyakit antraknosa melakukan serangan ringan pada daun dan buah yang masih muda. Setelah daun berkembang, bintik nekrosis menjadi bercak berlubang dengan jalur di sekitar bercak akibat klorofil yang rusak berwarna kuning.

Gambar 2.2. Beberapa gambar penyakit antraknosa (Riyadi, 2010)

Daun-daun muda yang terserang penyakit cukup berat mudah mengalami kerontokan dan menyebabkan ranting menjadi gundul. Apabila serangan penyakit terjadi berkali-kali, ranting-ranting akan berbentuk menyerupai kipas dengan ruas yang pendek.

Buah-buah kakao yang baru tumbuh lebih rentan terhadap infeksi jamur daripada yang dewasa. Infeksi jamur pada buah muda menimbulkan gejala kelayuan dengan bintik-bintik coklat. Bintik tersebut segera berkembang menjadi bercak coklat.

Akhirnya buah mengering menjadi mumi (buah yang mengeras, mengecil, dan kering). Buah dewasa yang terinfeksi tidak menjadi layu, hanya mengalami antraknosa dan mengerut pada bagian ujungnya.

2.2.3. Penghisap Buah Kakao (Helopeltis antonii sp)

Helopeltis antonii digolongkan sebagai hama karena menyerang tanaman kakao dengan cara merusak dan menghisap cairan buah muda menyebabkan matinya buah

(24)

tersebut. Sedangkan serangan pada buah berumur sedang mengakibatkan terbentuknya buah abnormal (Atmaja, 2003).

H. antonii merupakan hama penting pada tanaman kakao di Jawa dan Sumatera.

Bagian tanaman yang diserang adalah daun muda, tangkai daun, pucuk, dan buah.

Pucuk yang terserang terutama yang masih lunak dan daun belum membuka. Buah yang disenangi adalah yang masih muda dan yang mendekati matang. Buah yang terserang menunjukkan bekas tusukan berupa bercak-bercak hitam pada permukaan buah. Pada serangan berat, seluruh permukaan buah di penuhi oleh bekas tusukan berwarna hitam dan kering, kulitnya mengeras serta retak-retak (Atmaja, 2012).

Gambar 2.3. Beberapa gambar penyakit Helopeltis antonii (Riyadi, 2010) Kehilangan hasil akibat serangan H. Antonii pada tanaman kakao beragam.

Serangan pada buah muda yang berukuran kurang dari 5 cm menyebabkan buah kering dan rontok. Serangan berat juga menyebabkan kesehatan tanaman terganggu dan menurunkan produksi hingga 60 %. Apabila buah kakao tidak tersedia, hama ini juga dapat menyerang pucuk, tangkai dan daun yang masih muda.

2.2.4. Kelayuan Pentil (Cherelle Wilt)

Salah satu masalah yang dihadapi dalam usaha meningkatkan produksi kakao adalah kematian pentil kakao (buah yang masih sangat muda) yang diatur oleh tanaman itu sendiri dalam usaha untuk mengurangi jumlah buah sampai ke tingkat yang sesuai dengan daya dukung tanaman. Dari segi fisiologi, gejala layu pentil kakao serupa dengan gugur pada beberapa tanaman seperti apel, mangga, dan jeruk. Perbedaannya adalah bahwa pentil kakao yang layu tidak gugur melainkan tetap tergantung pada tanaman. Buah yang mengalami layu pentil kakao secara visual ditandai oleh

(25)

perubahan warna dari semula hijau atau merah muda menjadi kuning muda, kemudian cokelat dan akhirnya berubah menjadi hitam, keras dan kering.

Layu pentil kakao dapat terjadi pada setiap pentil yang umurnya kurang dari 85 hari, dan stadium yang paling peka adalah sewaktu pentil berada dalam periode umur

± 5 hari sejak terjadinya pembuahan. Buah yang mampu tumbuh sampai umur 70 hari mempunyai peluang besar untuk tumbuh terus sampai masak, dengan catatan tidak rusak oleh sebab lain seperti serangan hama atau penyakit. Ukuran buah yang berumur sekitar 70 hari bervariasi tergantung dari tipe tanaman kakao, periode pembentukan buah, dan tingkat kesuburan tanah ditempat tumbuh tanaman tersebut. Pada kakao tipe Forastero, buah yang berumur 70 hari berukuran panjang sekitar 10 cm. Sedangkan pada kakao tipe Trinitario ukuran panjang buah berkisar antara 11 cm sampai 15 cm.

Buah yang terbentuk dalam periode lebih awal, pada umur yang sama lebih panjang daripada buah yang terbentuk dalam periode berikutnya (Wahyudi, et. al., 2008).

Gambar 2.4. Beberapa gambar penyakit Cherelle Wilt

Tinggi rendahnya persentase buah kakao yang mengalami layu pentil dipengaruhi oleh tipe dan umur tanaman kakao. Tingkat layu pentil umumnya juga tinggi. Sewaktu tanaman kakao terdapat banyak buah-buah besar, tingkat layu pentil juga tinggi. Timbulnya layu pentil kakao diperkirakan karena adanya persaingan dalam memperoleh hara mineral, dan air antar pucuk dan buah yang masing-masing sedang tumbuh aktif, atau antar buah yang ada pada tanaman tersebut. Selain itu, layu pentil kakao terjadi diduga karena adanya persaingan dalam memperoleh karbohidrat hasil proses fotosintesis. Adanya stess air pada saat tanaman tumbuh aktif dapat meningkatkan layu pentil kakao.

Ada juga yang menduga bahwa layu pentil kakao berkaitan dengan fitohormon.

McKelvie (1956) memperkirakan bahwa layu pentil kakao timbul karena kurangnya

(26)

zat pengatur tumbuh yang dibentuk dalam endosperma. Karena kurangnya zat pengatur tumbuh kemampuan buah dalam menyerap air dan hara berkurang, sehingga buah mengalami layu. Nichols (1960), menduga bahwa kandungan auksin yang rendah dalam buah kakao berkaitan erat dengan tingkat layu pentil yang tinggi.

Dugaan tentang kaitan fitohormon dan layu pentil diperkuat oleh percobaan penyerbukan buatan pada kakao. Dengan penyerbukan buatan diperoleh buah lebih banyak daripada dengan penyerbukan alami. Dalam penyerbukan buatan diperkirakan bahwa kepala putik menerima tepung sari lebih banyak daripada dalam penyerbukan bunga secara alami. Sebagai akibat lebih banyak ovule yang menerima tepung sari, sehingga jumlah biji yang terbentuk lebih banyak. Dengan demikian pasokan zat hara ke buah tersebut diperkirakan lebih banyak, sehingga kemungkinan buah menjadi layu cukup kecil.

Serangga hama dapat menjadi salah satu faktor biotik terjadinya layu pentil kakao, terutama apabila serangan terjadi pada buah yang masih sangat muda.

Berdasarkan pengetahuan tersebut para ahli melakukan berbagai percobaan dalam usaha menekan tingkat layu pentil kakao dengan harapan produksi tanaman kakao dapat ditingkatkan. Percobaan yang pernah dilakukan anatara lain dengan mengurangi persaingan melalui pengurangan bunga pada tanaman kakao. Pengurangan bunga ternyata tidak mempengaruhi jumlah buah yang dapat di panen. Banyaknya bunga berkaitan erat dengan jumlah pentil yang terbentuk pada tanaman kakao.

2.2.5. Ciri-ciri penyakit pada buah kakao

Penyakit buah kakao biasanya disebabkan oleh gangguan hama maupun patogen yang menyerang buah kakao. Bagian yang terinfeksi seperti batang, daun, tunas bahkan bunga. Buah yang terinfeksi akan terserang penyakit. Adapun ciri-ciri buah kakao yang terinfeksi penyakit dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1. Ciri-ciri penyakit pada buah kakao

No Jenis Penyakit Ciri-Ciri

Tekstur Warna

1 Busuk Buah (Phytophthora palmivora)

 Permukaan kulit retak

 Busuk terjadi dibagian pangkal dan ujung

 Coklat kehitaman

 Permukaan buah akan muncul serbuk berwarna putih

(27)

No Jenis Penyakit Ciri-Ciri

Tekstur Warna

2 Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides)

 Menyerang buah muda yang masih berukuran kecil

 Buah yang

terserang menjadi retak

 Buah mengeras, mengecil dan kering

 Berwarna hitam dan mengering

3 Penghisap Buah Kakao (Helopeltis antonii sp)

 Timbul bercak- bercak atau bintik- bintik melingkar bulat.

 Bintik-bintik coklat kehitaman

4 Kelayuan Pentil (Cherelle Wilt)

 Buah mengeras dan mengering

 Timbul bercak- bercak putih

 Buah muda berukuran kecil

 Coklat Kehitaman

2.3 Android

Android adalah sistem operasi berbasis Linux yang dirancang untuk perangkat layar sentuh seperti telepon pintar dan komputer tablet. Android merupakan perangkat open source yang dikembangkan oleh Android, Inc., dengan dukugan finansial dari Google, yang bebas untuk digunakan dan dikembangkan.

Android dikembangkan dalam bahasa pemrograman Java menggunakan Android SDK (Software Development Kit). Android SDK mengompilasi semua kode program beserta dengan data-datanya menjadi sebuah file arsip dan disimpan dengan ekstensi .apk.

Bagian-bagian yang terdapat dalam sistem operasi ini dapat dilihat pada arsitektur android seperti pada gambar 2.5.

(28)

Gambar 2.5. Arsitektur android 1. Application

Application adalah layer yang berhubungan dengan aplikasi yang berjalan seperti kontak, telepon, browser, SMS, kalender, dan lain-lain.

2. Application Framerork

Application framework adalah layer yang disediakan bagi pengembang (developer) untuk mengembangkan aplikasi karena pada layer ini pengembang bebas untuk mengakses hardware, informasi resources, menjalankan service background, mengatur alarm, menambahkan status notifications, dan sebagainya.

3. Libraries

Libraries adalah layer dimana fitur-fitur android berada. Libraries diakses untuk menjalankan aplikasi. Beberapa contoh library diantaranya surface manager untuk mengatur akses pada tampilan, media framework untuk mendukung berbagai format gambar, audio dan video, SQLite untuk dukungan database, OpenGL | ES untuk grafik 2 dimensi maupun 3 dimensi, FreeType untuk menerjemahkan font, WebKit untuk mesin browser dan sebagainya.

4. Android Run Time

Android Run Time adalah layer yang membuat aplikasi android bisa dijalankan.

Terbagi atas dua bagian yaitu :

(29)

a. Core Libraries berfungsi untuk menerjemahkan bahasa Java/C.

b. Dalvik Virtual Machine yaitu sebuah mesin virtual berbasis register yang dioptimalkan untuk menjalankan fungsi-fungsi pada Android secara efisien.

5. Linux Kernel

Linux Kernel adalah layar inti sistem operasi android karena pada layer ini berisi fungsi-fungsi seperti manajemen memori, manajemen daya (baterai), driver, dan sebagainya.

2.4 Pengenalan Citra

Citra adalah salah satu komponen multimedia yang mempunyai peran sangat penting untuk memberikan suatu informasi yang bersifat visual dan mempunyai karektiristik yang tidak dimiliki oleh teks maupun audio (Hermawati, 2013). Citra didefinisikan sebagai fungsi dua dimensi f(x,y), dimana x dan y merupakan koordinat spasial dengan nilai f pada koordinat tersebut yang diberi nama intensitas (intensity) atau gray level (Gonzales, et al. 2002). Sedangkan citra digital adalah citra dua dimensi yang dapat diolah oleh beberapa perangkat lunak tertentu (Kadir, et al. 2013) yang mempunyai nilai digital yang disebut pixel (picture elements).

2.4.1 Citra Warna

Setiap citra warna memiliki piksel untuk mewakili warna yang merupakan gabungan dari warna dasar yaitu RGB (Red Green Blue). Setiap 1 piksel warna diwakili oleh 3 byte yang pada setiap byte-nya mereprentasikan warna merah (Red), hijau (Green), dan biru (blue). Pada setiap warna dasarnya memerlukan tempat penyimpanan 8 bit = 1 byte atau sama dengan gradasi warna sebanyak 255 warna yang berarti setiap piksel mempunyai 224 = 16 juta warna lebih (Sutoyo, et al. 2009).

2.4.2 Citra Keabuan

Citra skala keabuan menggunakan tingkatan warna keabuan. Warna hitam adalah warna minimum, warna putih adalah warna maksimum dan warna diantara hitam dan putih adalah warna abu-abu. Warna abu-abu terbentuk jika komponen merah, hijau dan biru pada ruang RGB memiliki nilai intensitas yang sama (Hasmiati, 2013).

Banyaknya warna pada citra ditentukan oleh jumlah bit piksel pada citra. Jika citra

(30)

skala keabuan memiliki jumlah bit 8, maka jumlah warna pada citra adalah 28 atau 256, dimana nilai intensitas berkisar antara 0 sampai 255. Nilai 0 merupakan warna hitam, nilai 255 merupakan warna putih dan nilai di antara 0 - 255 adalah warna keabuan.

2.5 Pengolahan Citra

Pengolahan citra digital adalah teknologi yang menerapkan sejumlah algoritma komputer untuk memproses citra digital. Hasil keluaran dari proses tersebut dapat berupa gambar atau karakteristik yang merepresentasikan citra. (Zhou, et al. 2010).

Menurut (Efford, 2000), pengolahan citra adalah istilah umum untuk berbagai teknik yang keberadaannya untuk memanipulasi dan memodifikasi citra dengan berbagai cara. Biasanya gambar dua dimensi yang bisa diolah dengan mudah adalah foto, setiap foto dalam bentuk citra digital bisa diolah dengan melalui perangkat lunak tertentu.

Pengolahan citra dilakukan untuk memperbaiki kualitas gambar atau citra digital agar menghasilkan gambar atau citra yang sesuai dengan keinginan dari pengguna atau menghasilkan citra dengan kualitas yang lebih baik. Pengolahan citra juga dilakukan agar informasi yang terkandung di dalam citra tersebut dapat tersampaikan dengan baik dan jelas kepada pengguna (user). Sebuah citra dapat mengandung banyak informasi, namun seringkali citra yang kita miliki mengalami penurunan kualitas ataupun penurunan mutu (degradasi), misalnya mengandung cacat (noise), warna yang terlalu kontras, kurang tajam, ataupun kabur (blur). Hal semacam ini menyebabkan citra menjadi sulit untuk diinterpretasikan karena informasi yang disampaikan oleh citra tersebut menjadi berkurang (Efford, 2000).

2.5.1 Akuisisi Citra

Akuisisi citra merupakan tahap awal dari proses pengolahan citra untuk mendapatkan suatu citra digital. Tujuan dari akuisisi citra ini adalah untuk menentukan data yang diperlukan dan memilih metode perekaman citra digital. Citra digital bukan sebuah data digital seperti biasanya, namun sebuah representasi dari citra asal yang bersifat analog. Analog yang dimaksud adalah bersifat kontinyu, dihasilkan dari sistem optik Citra digital ditampilkan komputer dengan berbagai macam susunan warna dan

(31)

tingkat kecerahan yang berbeda, susunan warna inilah yang menyebabkan citra bersifat analog.

2.5.2 Resizing

Resizing merupakan salah satu operasi yang paling banyak digunakan dalam pengolahan citra. Resizing digunakan untuk mengubah ukuran citra, baik memperbesar ataupun memperkecil resolusi citra (Pratt, 1991). Resizing juga dapat digunakan untuk menormalisasi ukuran semua citra sehingga memiliki ukuran yang sama.

2.5.3 Tingkat Keabuan (Grayscale)

Tingkat keabuan adalah proses pengubahan warna citra menjadi format warna yang hanya berdasarkan tingkat keabuan. Proses ini menghilangkan informasi hue dan saturation dari piksel dan hanya meninggalkan nilai brightness. Setiap piksel dari tingkat keabuan citra memiliki nilai brightness antara 0 (hitam) sampai 255 (putih).

Foto hitam putih merupakan contoh umum dari model warna tingkat keabuan.

Walaupun disebut hitam putih, sesungguhnya foto tersebut terbentuk dari banyak warna abu-abu yang berbeda (Kadir & Susanto, 2012).

Tujuan dari perhitungan tingkat keabuan ini adalah untuk memudahkan dalam proses selanjutnya, yaitu (thresholding). Menurut (Kadir & Susanto, 2012) algoritma perhitungan tingkat keabuan, piksel dari suatu citra yang mengandung warna-warna RGB (Red, Green, dan Blue) dengan menjumlahkan nilai warna merah, hijau, dan biru kemudian dibagi tiga sehingga didapatkan nilai rata-rata dari ketiga warna. Dalam rangka mendapatkan nilai rata-rata tersebut, persamaan yang digunakan seperti pada persamaan 2.1.

(2.1)

Dimana:

I = nilai intensitas keabuan sebuah piksel citra hasil grayscale R = nilai komponen merah pada sebuah piksel

G = nilai komponen hijau pada sebuah piksel B = nilai komponen biru pada sebuah piksel

(32)

2.5.4 Binerisasi (Thresholding)

Menurut J.R Parker (1994), thresholding adalah mengubah citra menjadi citra biner. Thresholding melihat pada setiap piksel kemudian memutuskannya apakah dibuat putih (255) atau hitam (0). Keputusan ini secara umum dibuat dengan cara membandingkan nilai numerik piksel dengan nilai tertentu yang disebut dengan threshold. Jika nilai piksel lebih kecil daripada threshold, maka piksel tersebut diubah menjadi 0; sebaliknya yang lain diubah menjadi 255. Thresholding adalah proses penyederhanaan citra dari tingkat keabuan menjadi warna biner sehingga berdasarkan tingkat keabuannya piksel-piksel dibagi menjadi latar dan objek interest.

Tujuan thresholding adalah untuk memisahkan objek dengan latar belakang. Hal ini dilakukan dengan cara mengubah intensitas piksel-piksel dari suatu citra yang ada menjadi hanya 2 intensitas yaitu hitam dan putih. Thresholding dapat dikatakan sebagai modifikasi tingkat keabuan yang mengubah intensitas-intensitas piksel yang ada menjadi hanya 2 intensitas saja, yaitu hitam dan putih.

Menurut Antti Nurminen (1996), thresholding merupakan cara termudah untuk membagi citra tingkat keabuan. Dengan memilih suatu nilai tertentu, dan mengatus semua piksel yang bernilai di bawahnya menjadi (putih), dan sumua piksel diatasnya menjadi 0 (hitam), maka akan didapatkan citra biner.

Sebagai contoh gambar yang di threshold dengan 8-bit maka akan memiliki kemungkinan nilai intesitas sebanyak 28 = 256 kemungkinan nilai intensitas, biasanya nilai intensitas berkisar diantar [0, 255].

(a) (b)

Gambar 2.6. (a) dengan 2 nilai intensitas (b) dengan 5 nilai intensitas (J.R Parker 1994)

(33)

2.6 Ekstraksi Fitur (Feature Extraction)

Ekstrasi fitur adalah pengambilan ciri atau fitur pada sebuah citra yang nantinya nilai yang didapatkan akan diproses atau dianalisis untuk mendapatkan suatu informasi yang penting dan berguna (Kadir & Susanto, 2013). Ekstraksi fitur dilakukan dengan cara menghitung jumlah piksel yang ada pada sebuah citra.

2.6.1. Invariant Moment

Invariant moment merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk ekstraksi ciri dalam pengolahan citra. Metode ini pertama kali dipublikasikan oleh Hu pada 1961. Hasil dari metode ekstraksi ciri ini terdapat tujuh nilai pada setiap objek citra. Nilai-nilai tersebut bersifat independen terhadap translasi, rotasi, dan perskalaan.

Momen yang mentransformasikan fungsi citra f(i, j) pada sistem diskrit dinyatakan dalam persamaan 2.2.

(2.2) Dimana : = momen

H = tinggi citra W = lebar citra x dan y = baris dan kolom = nilai intensitas citra

Momen pusat (central moment) µ adalah momen yang bersesuaian dengan pusat area yang didefenisikan pada 2.3.

̅ ̅

(2.3)

Dimana : ̅

̅

Dan momen pusat tersebut dilakukan normalisasi dengan menggunakan persamaan 2.4.

(2.4)

(34)

Dimana : = =

Kemudian momen yang telah dinormalisasi tersebut dapat didefenisikan sebagai sekumpulan momen-momen invariant (invariant moment). Persamaan dari momen tersebut dilakukan dengan persamaan 2.5.

(2.5)

2.6.2. Deteksi Warna HSV

Model warna HSV adalah model warna yang mendefenisikan warna hue, saturation dan value. Pada model warna ini, hue menyatakan nilai warna yang sebenarnya, seperti merah, kuning, dan violet. Hue digunakan untuk menentukan kehijauan (greenness), kemerahan (redness), dsb dari sebuah cahaya. Hue berasosiasi dengan panjang gelombang cahaya. Saturation digunakan untuk menyatakan tingkat kemurnian warna dengan mengindikasi berapa banyak warna putih yang ada pada sebuah warna. Value adalah atribut yang digunakan untuk menyatakan banyaknya cahaya yang diterima oleh mata tanpa memperdulikan warna. Hue bernilai antara 0 sampai 1 yang berarti warna dimulai dari merah melewati kuning, cyan, biru, hijau dan magenta dan kembali menjadi merah. Saturation bernilai antara 0 sampai 1 yang berarti dimulai dari tidak tersaturasi (keabuan) sampai menjadi tersaturasi penuh (tidak putih). Nilai value antara 0 sampai 1 yang berarti warna menjadi cerah.

(35)

Gambar 2.7 Model Warna HSV (Rakhmawati, 2013)

Hue adalah variable yang menyatakan warna merah hingga violet. Hue berguna untuk mengukur sudut sekitar roda warna (merah pada 0°, hijau 120°, dan biru di 240°). Nilai pada hue berkisar antara 0° sampai dengan 360°. Saturation, yang bisa juga disebut purity, merupakan variable untuk menyatakan vibrancy dari sebuah warna. Semakin kecil nilai pada saturation, maka warna yang ditampilkan mengarah ke warna abu. Skala nilai dari saturation berkisar antara 0% hingga 100%. Value menunjukkan nilai kecerahan dari suatu warna berkisar antara 0% hingga 100%

(Rakhmawati, 2013). Untuk mendapakan nilai fitur pada warna dimulai dengan mengkonversi citra RGB menjadi citra HSV. Sebelum citra RGB dikonversi menjadi citra HSV maka nilai RGB perlu dinormalisasikan terlebih dahulu dengan persamaan berikut 2.6.

(2.6)

r : nilai red yang dinormalisasi

g : nilai green yang dinormalisasi b : nilai blue yang dinormalisasi R : nilai red awal

G : nilai green awal B : nilai blue awal

(36)

Kemudian citra akan dikonversi menjadi citra HSV. Pertama akan dicari nilai Hue dengan persamaan 2.7 sebagai berikut.

{

( ) * + * +

(2.7)

Dimana H adalah hasil nilai hue, nilai didapat dengan rumus . Setelah mendapatkan hasil dari hue akan dilakukan penghitungan untuk mencari hasil nilai dari saturation dan value dengan menggunakan persamaan 2.8.

{

(2.8)

2.7 Identification

Identifikasi merupakan proses pendeteksian objek yang terdapat didalam sebuah citra untuk kemudian dicocokkan dengan data yang sudah ada untuk pengambilan keputusan terhadap jenis objek yang diinginkan (Munir, 2004).

2.8 Jaringan Syaraf Tiruan (JST)

Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) adalah bagian dari Computer Science yang mencoba memberikan kemampuan manusia (seperti manusia) kepada komputer. Salah satu cara untuk memberikan komputer kemampuan manusia adalah dengan menggunakan jaringan saraf tiruan. Otak manusia merupakan contoh dari jaringan saraf tiruan. Otak manusia terdiri dari jaringan yang terdiri dari miliaran neuron yang saling terhubung. Neuron adalah sel individual yang dapat memproses informasi dan kemudian mengaktifkan neuron yang lain untuk melanjutkan proses (Heaton, 2005).

(37)

Menurut Haykin (1999), jaringan syaraf tiruan adalah prosesor yang terdistribusi secara paralel dalam jumlah besar yang sebenarnya merupakan processing unit sederhana, memiliki kecenderungan alami untuk menyimpan pengetahuan (knowledge) yang sudah dilatih sebelumnya dan dapat dipakai kapan saja. Neural network memiliki sifat seperti otak manusia dalam dua macam bentuk, yaitu:

Knowledge diperoleh dari jaringan setelah melalui proses pembelajaran (learning process).

Hubungan antar-neuron yang juga dikenal sebagai sypnatic weight digunakan untuk menyimpan knowledge yang sudah diperoleh sebelumnya.

Jaringan saraf tiruan (JST) adalah sistem yang memiliki komputasi dengan kesamaan tertentu dengan cara kerja sistem saraf manusia. JST mengadaptasi cara kerja sistem saraf manusia dengan beberapa asumsi yaitu sebagai berikut (Darmawan, 2010).

1. Unit pemroses informasi disebut neuron.

2. Sinyal ditransmisikan antar neuron melalui penghubung (sinapsis).

3. Setiap penghubung memiliki bobot dimana akan dilakukan operasi perkalian antara sinyal yang disalurkan dengan bobot.

4. Setiap neuron memiliki fungsi aktivasi. Fungsi aktivasi adalah fungsi yang memproses input sehingga menghasilkan output tertentu.

Komponen utama pada jaringan saraf tiruan adalah sebagai berikut.

1. Neuron

Neuron atau node merupakan tempat untuk memproses informasi. Setiap neuron akan menerima input, memproses input lalu menghasilkan sebuah output (Purnamasari, 2013).

2. Bobot

Bobot atau weight adalah nilai yang merepresentasikan koneksi antar-neuron (Purnamasari, 2013). Pada setiap penghubung akan dilakukan operasi perkalian bobot dengan sinyal yang melewati penghubung tersebut.

3. Fungsi Aktivasi

Fungsi aktivasi adalah fungsi yang menentukan output dari suatu neuron berdasarkan sinyal masukan yang diterima. Setiap neuron akan menerapkan fungsi aktivasi (Wicaksono, 2008).

(38)

4. Layer

Layer adalah lapisan pada JST. Arsitektur jaringan JST terdiri atas jaringan layer tunggal dan jaringan layer jamak. Jaringan layer tunggal terdiri dari lapisan input dan lapisan output. Sedangkan jaringan layer jamak terdiri atas lapisan input, lapisan output serta lapisan tersembunyi yang terletak di antara lapisan input dan lapisan output.

2.9 Metode Backpropagation

Algoritma backpropagation pertama kali dirumuskan oleh Werbos dan dipopulerkan oleh Rumelhart dan McClelland yang digunakan pada jaringan syaraf tiruan yang dengan lapisan jamak atau multi-layer. Algoritma backpropagation adalah algoritma yang melatih jaringan dengan cara menyebarkan error dari lapisan output hingga ke input, yang mempunyai fungsi untuk mengevaluasi turunan agar mendapatkan target yang diinginkan (Puspitaningrum, 2006). Algoritma ini banyak digunakan dan dikombinasikan dengan yang algoritman lain dan diterapkan pada aplikasi yang berbeda (Alsmadi et al, 2009).

Gambar 2.8 Arsitektur Backpropagation Algorithm (Fausset, 1994)

Arsitektur algoritma backpropagation terdiri dari tiga layer, yaitu input layer, hidden layer dan output layer. Gambar 2.8 adalah arsitektur backpropagation dengan n buah masukkan (ditambah sebuah bias), sebuah layar tersembunyi yang terdiri dari p unit (ditambah sebuah bias) serta m adalah buah unit keluaran.

(39)

Dimana vji merupakan bobot garis dari unit masukkan xi ke unit layar tersembunyi zj (vj0 merupakan bobot garis yang menghubungkan bias di unit masukkan ke unit layar tersembunyi zj). wkj merupakan bobot dari unit layar tersembunyi zj ke unit keluaran yk (wk0 merupakan bobot dari bias di layar tersembunyi ke unit keluaran zk).

Pada input layer tidak terjadi proses komputasi, namun terjadi pengiriman sinyal input X ke hidden layer. Pada hidden dan output layer terjadi proses komputasi terhadap bobot, bias dan dihitung pula besarnya output dari hidden dan output layer tersebut berdasarkan fungsi aktivasi tertentu. Dalam algoritma backpropagation ini digunakan fungsi aktivasi sigmoid biner, karena output yang diharapkan bernilai antara 0 sampai 1.

Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan algoritma backpropagation, antara lain:

1. Inisialisasi bobot

Bobot awal menentukan apakah jaringan akan mencapai global minima atau local minima kesalahan, dan seberapa cepat jaringan akan konvergen.

2. Laju pembelajaran

Laju pembelajaran merupakan parameter jaringan dalam mengendalikan proses penyesuaian bobot. Nilai laju pembelajaran yang optimal bergantung pada kasus yang dihadapi. Laju pembelajaran yang terlalu kecil menyebabkan konvergensi jaringan menjadi lebih lambat, sedang laju pembelajaran yang terlalu besar dapat menyebabkan ketidakstabilan pada jaringan.

3. Momentum

Momentum digunakan untuk mempercepat pelatihan jaringan. Metode momentum melibatkan penyesuaian bobot ditambah dengan faktor tertentu dari penyesuaian sebelumnya.

Berikut ini adalah algoritma pelatihan backpropagation (Puspitaningrum, 2006) :

Langkah 0 : Inisiasi bobot (ambil bobot awal bilangan kecil bernilai random).

Langkah 1 : Jika kondisi belum berhenti, lakukan langkah 2-9.

Langkah 2 : Lakukan langkah 3-8 pada setiap data pelatihan.

(40)

Fase 1 : Propagasi Maju (feed forward)

Langkah 3 : Setiap unit input menerima sinyal kemudian meneruskan sinyal tersebut ke semua unit selanjutnya (lapisan tersembunyi).

Langkah 4 : Hitung z_netj dengan persamaan 2.9 pada setiap unit lapisan tersembunyi. Kemudian hitung nilai dari zj (j=1,2,…,p) dengan menggunakan persamaan 2.10. NIlai output zj diperoleh dengan menggunakan aktivasi sigmoid biner.

(2.9)

( )

(2.10)

Langkah 5 : Hitung seluruh output jaringan pada unit yk (k = 1,2,…,m).

Hitung nilai dari y_netk pada lapisan output dengan menggunakan persamaan 2.11 dan kemudia hitung seluruh keluaran output jaringan yk (k = 1,2,…,m) dengan menggunakan persamaan 2.12.

(2.11)

(

)

(2.12)

Fase II : Propagasi Mundur (backward)

Langkah 6 : Hitung faktor di unit output yk (k = 1,2,…,m) dengan menggunakan persamaan 2.13.

(

)

(2.13)

Kemudian koreksi bobot (digunakan untuk memperbaiki nilai) :

(2.14)

Langkah 7 : Hitung faktor unit tersembunyi berdasarkan error pada lapisan tersembunyi zj( j = 1,2, …,p)

(2.15)

Kalikan nilai tersebut dengan turunan dari fungsi aktivasi untuk mendapatkan nilai errornya dengan menggunakan persamaan 2.16.

( )

(2.16)

(41)

Kemudian hitung koreksi bobot dengan menggunakan persamaan 2.17.

(2.17)

Fase III : perubahan bobot.

Langkah 8 : Hitung semua perubahan bobot

Perubahan bobot pada unit output Yk(k=1,2,…,m) untuk memperbaiki bobot dan bias j(0,1,2,…,p) yang ditunjukkan pada persamaan 2.18.

(2.18) Perubahan bobot pada unit tersembunyi ditunjukkan pada persamaan 2.19

(2.19)

2.10 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan identifikasi diantaranya yaitu dilakukan oleh V. A. Gulhane, et al (2011) adalah melakukan pengidentifikasian dan mendiagnosis penyakit pada daun kapas dengan menggunakan metode fuzzy, Artificial Neural Network (ANN), dan Support Vector (SVM). Peneliti juga menggunakan ekstraksi warna dan tekstur pada penelitian ini.

Peneliti menggunakan 20 citra daun berpenyakit dan 25 citra daun normal.

Menggunakan segmentasi warna dan kualitas gambar yang baik akan meningkat hasil diagnosis. Pada penelitian ini didapatkan akurasi sebesar 85%.

Selanjutnya, Dubey S.R, et al pada tahun (2014) adalah melakukan klasifikasi terhadap buah apel menggunakan Support Vector Machine (SVM). Sedangkan untuk ekstraksi fitur menggunakan Global Color Histogram (GHC), Color Coherence Vector (CCV) dan Local Binary Pattern (LBP). Adapaun data yang digunakan adalah 391 citra yang dibagi ke dalam 4 kategori. Pada penelitian ini didapatkan akurasi 93%.

Penelitian berikutnya Tan, et al pada tahun (2016) melakukan penelitian menggunakan algoritma K-Means dan Support Vector Machine (SVM) untuk mendeteksi dan pengelompokan penyakit kakao. Sedangkan untuk ekstraksi fitur menggunakan warna L*a*b*. Data yang digunakan diambil dari internet dan Universitas Central Luzon. Adapun data yang digunakan sebanyak 35 citra, 30 citra untuk data pelatihan dan 5 citra untuk data pengujian. Pada penelitian ini didapatkan akurasi sebesar 89,2%.

(42)

Penelitian berikut Yogiswara pada tahun (2016) melakukan penelitian menggunakan K-Nearest Neighbor (KNN) untuk mengidentifikasi penyakit kakao.

Untuk ekstraksi fitur menggunakan Principal Component Analysis (PCA) dan diimplementasikan menggunakan aplikasi Matlab R2009a. Total jumlah citra yang digunakan sebanyak 90 citra, terdiri dari 30 citra buah kakao normal, 30 citra kondisi busuk buah, dan 30 citra kondisi helopeltis. Sedangkan untuk data uji digunakan 10 citra untuk setiap jenis penyakit kakao. Pada penelitian ini didapatkan akurasi sebesar 86,67%.

Penelitian berikutnya Soltani, et al (2016) melakukan penelitian menggunakan Probabilistic Neural Network (PNN) untuk mendiagnosis penyakit diabetes tipe II.

Penelitian ini diterapkan dalam bidang data mining dan dataset yang digunakan berasal dari Pima Indians Diabetes dan akurasi yang dicapai sebesar 81,49%.

Penelitian Selanjutnya Aniket Gharat, et al (2017) melakukan penelitian menggunakan Convolutional Neural Network (CNN) untuk mendeteksi penyakit pada daun tanaman melalui pendektan jaringan saraf tiruan. Selain itu juga peneliti menggunakan invariant moment sebagai esktraksi fitur. Pada penelitian ini didapatkan akurasi sebesar 88%.

Penelitian berikutnya Fahreddin, et al (2016) melakukan penelitian meggunakan Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation untuk mengidentifikasi Biometric retina. Penelitian ini menggunakan Aplikasi Matlab. Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu 40 citra data uji. Epoch pada penelitian ini dilakukan dengan 10 kali percobaan dengan nilai yang semakin meningkat. Epoch akhir pada penelitian ini 10000 dengan nilai RMSE 0,017694 dan hidden layer 35. Akurasi yang didapatkan pada penelitian ini sebesar 97.50%.

Penelitian selanjutya Nurul, et al (2016) melakukan penelitian menggunakan Backpropagation Neural Network untuk mengidentifikasi jenis kayu tropis. Penelitian ini menggunakan 200 citra data latih dan 50 citra data uji dengan 5 jenis kayu. Tiap jenis kayu memiliki 40 citra data latih dan 10 citra data uji. Ekstraksi fitur pada penelitian ini menggunakan Grey Level Co-Occurrence Matrix (GLCM) dan Normalisasi menggunakan Decimal Scaling. Akurasi pada penelitian ini didapatkan sebesar 94%.

(43)

Tabel 2.2. Penelitian Terdahulu

No Peneliti Tahun Metode Akurasi

1 V. A. Gulhane,

et al 2011 Fuzzy, Artificial Neural Network

(ANN) 85%

2 Dubey S.R, et al 2014

Support Vector Machine (SVM), Global Color Histogram (GHC), Color Coherence Vector (CCV) dan Local Binary Pattern (LBP)

93%

3 Tan, et al 2016 K-Means dan Support Vector

Machine (SVM) 89,2%

4 Yogiswara, et al 2016 Principal Component Analysis

(PCA), K-Nearest Neighbor 86,67%

5 Soltani , et al 2016 Probabilistic Neural Network

(PNN) 81,49%

6 Aniket Gharat,

et al 2017

Convolutional Neural Network (CNN)

Invariant Moment

88%

7 Fahreddin, et al 2016 Backpropagation 97,50%

8 Nurul, et al 2016

Backpropagation

Grey Level Co-Occurrence Matrix (GLCM)

94%

Gambar

Gambar 2.2. Beberapa gambar penyakit antraknosa (Riyadi, 2010)
Gambar 2.3. Beberapa gambar penyakit Helopeltis antonii (Riyadi, 2010)  Kehilangan  hasil  akibat  serangan  H
Gambar 2.5. Arsitektur android  1.  Application
Gambar 2.7 Model Warna HSV (Rakhmawati, 2013)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) terdapat kontribusi yang signifikan antara gaya kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru dengan koefisien korelasi

subkelompok akun. Analisis ini menekankan pada dua faktor penting yaitu sumber pendanaan dan komposisi dari aset. Analisis rasio adalah suatu metode perhitungan dan interpretasi

Skripsi ini berjudul Penentuan Status Trofik Waduk Koto Panjang Propinsi Riau Berdasarkan Kandungan Klorofil-a dan Beberapa Parameter Lingkungan; disusun berdasarkan

Faktor determinan yang berhubungan dengan kejadian leptospirosis di Kota Semarang tahun 2009 adalah keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, dimana model ini bermakna

Masih dalam penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 yang dimaksud dengan rumah susun sederhana sewa yang juga disebut Rusunawa adalah bangunan gedung

Dari hasil uji korelasi spearman’s rho, variabel X yang B memiliki hubungan signifikan dengan kejadian i stunting adalah G panjang lahir anak, pendapatan keluarga,

Seluruh bahan baku yang digunakan harus dicantumkan dalam daftar terlampir deskripsi produk, pemasok, dan jika diperlukan: nomor serti- fikat OEKO-TEX®, tanggal kadaluwarsa,

Dengan metode deskriptif ini, penulis mendeskripsikan tingkat pencemaran tanah di Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung, sumber pencemaran tanah dan selanjutnya