• Tidak ada hasil yang ditemukan

USAHATANI GUREM DAN KEPUTUSAN ALOKASI TENAGA KERJA DALAM KEGIATAN PRODUKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "USAHATANI GUREM DAN KEPUTUSAN ALOKASI TENAGA KERJA DALAM KEGIATAN PRODUKSI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

USAHATANI GUREM DAN KEPUTUSAN ALOKASI TENAGA KERJA DALAM KEGIATAN PRODUKSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ekonomi Produksi Pertanian Dosen pengampu : Dr. Umi Barokah, S.P., M.P.

TUGAS

Disusun Oleh :

Dwi Putri Jeng Ivo N H0816041 Ferlyan Cahaya Justiceo H0818031

Karlina Yuliati H0818051

Nafa Laila Wahidah H0818074 Riris Prabaningrum H0818088 Shalsha Afifah Ayumi H0818094 Umma Rizqi Marfu'ah H0818102

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2020

(2)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Petani adalah sebagian dari masyarakat Indonesia yang menggunakan tanah sebagai lahan untuk melakukan usaha-usaha pertaniannya. Petani yang dimaksudkan disini adalah orang yang mengusahakan usaha pertanian (tanaman pangan dan tanaman perkebunan) diatas lahan pertanian atas resiko sendiri dengan tujuan untuk dijual, baik sebagai petani pemilik lahan maupun petani penggarap (sewa/kontrak/bagi hasil) (BPS, 2006 dalam Ruauw Eyverson, 2011). Tanah sebagai lahan pertanian merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting perannya dalam pertanian jika dibandingkan dengan faktor produksi yang lain, karena lahan merupakan tempat dimana kegiatan pertanian tersebut dapat berjalan (Mustopa Zaenil, 2011).

Lahan pertanian dewasa ini menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin kuat terutama oleh persaingan peruntukan bagi pengembangan industri dan pemukiman, yang semua itu mengancam eksistensi sektor pertanian dalam hal ketahanan pangan nasional. Masalah penguasaan lahan telah banyak dikaji, terutama di negara-negara berkembang, yang berkaitan dengan proses transformasi perekonomian suatu negara.

Pola penggunaan tenaga kerja dan struktur pendapatan rumah tangga di pedesaan pada umumnya masih terkait erat pada lahan pertanian dan sangat dipengaruhi oleh keadaan lahan pertanian tersebut. Dengan semakin berkurangnya lahan pertanian akan berpengaruh terhadap ketersediaan tenaga kerja di pedesaan, sektor non pertanian semakin berkembang dan pertanian semakin mengarah kepada kegiatan yang hemat lahan dan intensif. Perbedaan keadaan sumberdaya lahan menentukan jenis komoditas yang diusahakan, dan pada gilirannya juga menentukan kegiatan di sektor non pertanian yang berkaitan dengan komoditas tersebut.

(3)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi lahan usahatani pertanian gurem?

2. Bagaimana penggunaan alokasi tenaga kerja dalam kegiatan produksi pertanian gurem?

3. Bagaimana efisiensi teknis dan ekonomi pertanian gurem?

C. Tujuan

1. Mengetahui kondisi lahan usahatani gurem

2. Mengetahui penggunaan alokasi tenaga kerja dalam kegiatan produksi pertanian gurem?

3. Mengetahui efisiensi teknis dan ekonomis pertanian gurem

(4)

II. PEMBAHASAN A. Lahan Usahatani Gurem

Menurut BPS (2013), petani gurem adalah petani yang memiliki atau menyewa lahan pertanian kurang dari 0,5 ha. Pada 2013, jumlah rumah tangga petani gurem di Indonesia adalah 14.250.000 rumah tangga atau sekitar 55,53% dari total rumah tangga petani di Indonesia. Pertanian skala kecil semakin menjadi perhatian terutama semenjak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui keberadaan dan peran pentingnya dalam mengatasi krisis pangan dunia. Di Indonesia, pada tanggal 9 Juli 2013 , RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah disahkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2013. Lahirnya UU tersebut memberikan kessadaran bahwa petani relatif belum memperoleh perlindungan dan pemberdayaan sebagaimana mestinya, terutama petani gurem. Menurut BPS(2013), rumah tangga petani gurem adalah rumah tangga pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar, perhitungan jumlah rumah tangga petani gurem berdasarkan jumlah luas lahan yang dukuasai oleh rumah tangga petani gurem, baik lahan pertanian dan bukan lahan pertanian.

Petani gurem adalah petani kecil atau petani yang memiliki atau menyewa lahan pertanian kurang dari 0,5 H. Petani Gurem, dalam melaksanakan usahatani biasanya menggunakan tambahan faktor produksi tenaga kerja luar. Namun, kebanyakan petani gurem biasanya mengalami kesulitan untuk mencari tenaga kerja upahan lokal setempat. Hal tersebut dikarenakan kebanyakan tenaga kerja setempat bekerja secara lumintu (terus menerus) pada lahan yang cukup luas. Sedangkan petani gurem biasanya membutuhkan tenaga kerja luar untuk membantu dalam proses panen saja. Salah satu cara untuk mendapatkan tenaga kerja luar adalah dengan menggunakan tenaga kerja luar daerah, namun tenaga kerja luar biasanya dijemput dan diantar oleh pemilik (pengguna tenaga kerja).

Penggunaan tenaga kerja tersebut secara langsung dapat menambah

(5)

jumlah biaya produksi yang dikeluarkan untuk membayar upah tenaga kerja luar. Perhitungan upah panen yang terus meningkat ditambah biaya angkut juga membuat petani gurem kesulitan untuk menambah tenaga kerja luar. Hal inilah yang menyebabkan petani gurem kebanyakan hanya memanfaatkan tenaga kerja dalam (keluarga) dalam usahataninya.

Permasalahan terkait eksistensi lahan pertanian kebanyakan adalah alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Faktor utama dari terjadinya penyempitan lahan pertanian adalah fragmentasi atau penyusutan kepemilikan lahan pertanian karena pola warisan, Akibatnya, sebagian dari lahan tersebut dijual oleh ahli waris karena tidak mencukupi usaha yang optimal dan digunakan untuk modal usaha lain di luar sektor pertanian.

Alih fungsi lahan tersebut mengakibatkan fenomena adanya pola penguasaan milik yang terbatas skalanya, pola penguasaan lainnya adalah berupa hasil bagi, sewa dan bayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), dan gadai.

Sebaran petani menurut luas penguasaan menunjukkan bahwa bagian terbesar adalah petani dengan luas penguasaan antara 0,1±0,49 ha.

Dengan mengakumulasikan nilai pada setiap kelas luas penguasaan lahan, jika digunakan batas 1 ha untuk disebut dalam kategori petani kecil, maka jumlahnya sekitar 76 persen; dan jika angka diturunkan menjadi 0,5 ha sesuai dengan definisi Sayogyo, jumlahnya masih lebih dari separuh (53 persen). Di Pulau Jawa, lokasi dimana 58 persen petani Indonesia berada, dengan batas atas 1 ha sekitar 90 persen diantaranya termasuk dalam kategori petani kecil, dan selanjutnya jika batas atas yang digunakan adalah 0,5 ha maka persentase petani yang tercakup dalam kelompok tersebut jumlahnya lebih dari dua pertiga atau 69 persen

Istilah “guremisasi” cukup gencar di berbagai wilayah di Indonesia, terutama untuk petani padi sebagai pangan pokok. Dengan kata lain, skala kepemilikan lahan petani menjadi sempit, atau bahkan ada petani yang tidak memiliki lahan lagi (tuna lahan). Penurunan jumlah rumah tangga petani gurem menandakan banyaknya rumah tangga petani khususnya

(6)

petani gurem yang berganti mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor lain (non pertanian). Penurunan jumlah rumah tangga petani gurem boleh jadi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi perbaikan kesejahteraan rumah tangga petani atau yang terjadi justru sebaliknya, penurunan yang signifikan ini justru tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan petani, yang terjadi adalah kian kuatnya dominasi petani kaya dengan akses terhadap penguasaan lahan yang luas, dan pada\saat yang sama petani kecil (petani gurem) kian terpinggirkan (Ruslan Kadir, 2013).

B. Alokasi Penggunaan Tenaga Kerja Pertanian Gurem

Sektor pertanian merupakan tumpuan hidup tenaga kerja di perdesaan. Fakta-fakta berikut mendukung fenomena tersebut.

Berdasarkan data Sakernas, secara agregat (perdesaan dan perkotaan) pada periode tahun 1985-2013, penyerapan tenaga kerja pertanian cenderung menurun dari 54 persen menjadi 46 persen, walaupun secara absolut meningkat sebesar 23 persen (Malian et al., 2014; Rusastra dan Suryadi, 2014 dalam Bappenas, 2016). Sementara itu, pekerja sektor pertanian di perdesaan selama kurun waktu 1985-2013 relatif tidak berubah. Pangsa tenaga kerja pertanian di perdesaan masih berkisar pada angka 60-67 persen (Malian et al., 2014). Fenomena semakin banyaknya tenaga kerja di sektor pertanian, dapat diperjelas dengan melihat pangsa tenaga kerja setengah pengangguran sektor pertanian di perdesaan yang mencapai 80 persen lebih dibandingkan dengan sektor nonpertanian. Kondisi ini menunjukkan bahwa daya dukung sektor pertanian kurang seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat di dalamnya. Berkaitan dengan curahan jam kerja, Simatupang dan Mardianto (1996) menyatakan bahwa sifat yang akomodatif dari sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja, telah mengakibatkan sektor pertanian terpaksa menampung tenaga kerja yang melebihi kapasitasnya, sehingga menanggung beban pengangguran yang tinggi. Hal ini paling tidak terlihat dari masih tingginya pekerja pertanian yang bekerja tidak penuh

(7)

Dalam menjalankan usahatani, petani gurem biasanya bekerja bersama dengan anggota keluarga yang tidak diupah. Oleh karena itu banyak model produksi pertanian berskala kecil dibangun dengan asumsi ketiadaan pasar tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan sumberdaya yang penting setelah lahan usahatani khususnya bagi petani gurem. Keputusan alokasi tenaga kerja keluarga berdasarkan merupakan keputusan manajerial penting dalam produksi pertanian.

Tidak adanya pasar tenaga kerja merupakan asumsi kunci teori Chayanov. Hal ini dimaksudkan agar produksi rata-rata dan produksi marginal tenaga kerja dapat diprediksi. Selain itu dalam model berlaku asumsi fleksibilitas terhadap lahan pertanian sehingga dampak diminishing marginal return tenaga kerja dapat dianggap tidak berubah selama periode analisis. Dengan asumsi ini, rumahtangga petani dianggap mampu menyesuaikan luas usahatani dengan banyaknya anggota rumahtangga sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup. Model Chayanov ini dibangun untuk menjelaskan pengambilan keputusan rumahtangga petani pada pasar tenaga kerja.

Salah satu alternatif penggunaan tenaga kerja keluarga adalah untuk kegiatan rumah tangga dan leisure(non working time). Dengan demikian telah ada upaya untuk meredefinisi kerja dengan memasukkan aktivitas domestik sebagai kegiatan kerja tak berupah yang juga membutuhkan alokasi waktu dan curahan tenaga kerja anggota keluarga.

Dalam jangka panjang hal ini dilakukan untuk menghilangkan beberapa konotasi negatif bahwa satu-satunya alternatif alokasi tenaga kerja selain bekerja diluar usahatani adalah menganggur, bersantai atau leisure (non working time).

Dampak masuknya aspek biaya opportunitas tenaga kerja adalah bahwa alokasi tenaga kerja rumahtangga tidak lagi hanya ditentukan oleh variabel struktur keluarga, tetapi sudah lebih berorientasi pada pasar.

Selanjutnya hal ini membuka peluang analisis keputusan petani dalam

(8)

memaksimumkan utilitas alokasi penggunaan tenaga kerja dan pendapatan sebagai dua variabel penyusun kurva indiferen petani gurem.

Kehadiran pasar tenaga kerja dengan demikian sangat berpengaruh dalam kinerja model usahatani keluarga. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa selengkap apapun informasi mengenai alternatif konsumsi dan produksi yang dimiliki petani, apabila pasar tenaga kerja tidak ada maka respon output dan penggunaan tenaga kerja terhadap perubahan harga dan biaya cenderung negatif (Barnum & Squire, 1979: 26-36). Sebaliknya, apabila aspek pasar dimasukkan pada sistem pengambilan keputusan petani, maka keputusan tersebut bersifat independen terhadap keputusan konsumsi dan respon rumahtangga terhadap perubahan pasar akan dapat diprediksi dengan jelas.

Permasalahan ekonomi ketenagakerjaan pertanian sampai saat ini, antara lain adalah : (1) Semakin meningkatnya Rumah Tangga Pertanian (RTP), sementara lahan pertanian mengalami penurunan akibat adanya konversi lahan sehingga pemilikan lahan semakin menurun; (2) Tenaga kerja muda dan berpendidikan tinggi semakin enggan bekerja di sektor pertanian; (3) Peranan sektor pertanian pada PDB semakin menurun, namun tidak diikuti menurunnya penyerapan tenaga kerja, sehingga produktivitas tenaga kerja pertanian menurun; dan (4) Upaya-upaya peningkatan produksi masih menghadapi berbagai kendala

Rata-rata pencurahan tenaga kerja keluarga antar kelompok rumah tangga pada usahatani lahan berkorelasi positif dengan luas lahan yang dimilikinya. Sebaliknya pencurahan tenaga kerja berburuh tani berkorelasi negatif dengan lahan yang dimiliki. Secara keseluruhan perbedaan antar kelompok dalam pencurahan kerja untuk sektor pertanian tidak banyak, akan tetapi kelompok rumah tangga tuna lahan dan berlahan kecil lebih banyak berburuh, sedangkan pemilik lahan luas sebaliknya lebih banyak bekerja pada lahan pertaniannya. Di semua tipe desa kegiatan berburuh tani terutama dilakukan oleh rumah tangga yang tidak memiliki lahan atau lahan yang dimiliki kecil. Rumah tangga pemilik lahan kurang dari 0,25 ha

(9)

mencurahkan tenaga di sektor pertanian terutama untuk berburuh tani.

Secara rata-rata hampir 50 persen tenaga di sektor pertanian dan kelompok ini adalah untuk berburuh tani. Pemilik lahan lebih dan 0,25 ha hanya sedikit mencurahkan tenaga untuk berburuh. Rumah tangga di dataran rendah menggunakan antara 18 — 56 persen tenaga keluarga mereka untuk usahatani padi, sedangkan di daerah padi dataran tinggi antara 41—

50 persen.

Peran tenaga kerja pertanian Indonesia dalam penyerapan tenaga kerja nasional tidak terbantahkan memiliki kontribusi terbesar, sekitar 35,3%, namun sampai saat ini masih terdapat permasalahan serius di bidang ketenagakerjaan pertanian. Permasalahan utama yaitu perubahan struktur demografi yang kurang menguntungkan bagi sektor pertanian, yaitu petani berusia tua (lebih dari 55 tahun) jumlahnya semakin meningkat, sementara tenaga kerja usia muda semakin berkurang.

Fenomena semakin menuanya petani (aging farmer) dan semakin menurunnya minat tenaga kerja muda di sektor pertanian tersebut menambah permasalahan klasik ketenagakerjaan pertanian selama ini, yaitu rendahnya rata-rata tingkat pendidikan dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor lain.

Kurangnya lahan pertanian juga merupakan salah satu penyebab kurangnya tenaga kerja pertanian seperti petani gurem. Petani gurem adalah petani yang memiliki ataupun menyewa lahan kurang dari 0,5 ha.

Hal tersebut terjadi. Pertanian saat ini semakin ditinggalkan oleh tenaga kerja terlebih lagi tenaga kerja usia muda. Hal tersebut terjadi dikarenakan beberapa faktor, salah satunya yaitu rata-rata luas lahan yang sempit atau tidak memiliki lahan seperti petani gurem. Petani gurem hanya memiliki lahan yang kecil bahkan tidak memiliki lahan sehingga harus menyewa lahan. Tingkat upah dan pendapatan di pertanian dengan status petani gurem relatif rendah. Alokasi tenaga kerja yang digunakan petani gurem relatif sedikit, biasanya petani gurem menggunakan tenaga kerja dalam untuk mengolah hasil panennya.

(10)

C. Efisiensi Teknis dan Ekonomis Pertanian Gurem

Definisi efisiensi ekonomi tidak dapat dipisahkan dari pasar persaingan, sebab tak satupun pelaku pasar akan efisien jika mereka menghadapi tingkat harga yang berbeda atau jika terdapat pelaku ekonomi tertentu yang dapat mempengaruhi harga dan pendapatan pelaku ekonomi lainnya. Di sisi lain sesuai dengan definisi petani gurem yang telah dibangun sebelumnya, kelompok ini selalu menghadapi pasar persaingan tidak sempurna. Terdapat tiga hal penting yang harus diklarifikasi terlebih dahulu dalam upaya mengkaji perilaku efisiensi ekonomi petani gurem yakni:

a. Hipotesis maksimal keuntungan mensyaratkan kondisi dimana tidak terdapat lagi peluang untuk meningkatkan penggunaan input dan perolehan output yang dapat memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga petani gurem. Dalam hipotesis ini keuntungan tidak harus dinyatakan dalam ukuran finansial.

b. Maksimisasi keuntungan harus meliputi aspek perilaku (motivasi rumah tangga petani) dan aspek teknis ekonomis.

c. Meskipun secara alamiah petani gurem terkendala dalam mencapai efisiensi ekonomi, dalam konteks ekonomi klasik, tidak berarti petani gurem tidak menggunakan perhitungan ekonomi dalam mengelola usahatani mereka.

Asumsi memaksimalkan keuntungan bagi petani gurem adalah anggapan bahwa petani gurem beroperasi pada batas kemungkinan produksi (PPF) yang tersedia bagi mereka. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa petani gurem beroperasi pada batas luar dari fungsi produksi yakni fungsi produksi dengan tingkat teknologi paling unggul yang tersedia bagi mereka. Permasalahan yang kemudian muncul adalah bahwa asumsi ini mengabaikan beberapa jenis efisiensi yang diperoleh dari kegiatan fungsi produksi inferior. Akibatnya model maksimisasi keuntungan cenderung lebih memusatkan salah satu aspek efisiensi.

(11)

III. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Bedasarkan makalah ini memiliki kesimpulan yaitu:

1. Rumah tangga petani gurem adalah rumah tangga pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar, perhitungan jumlah rumah tangga petani gurem berdasarkan jumlah luas lahan yang dukuasai oleh rumah tangga petani gurem, baik lahan pertanian dan bukan lahan pertanian.

2. Dalam menjalankan usahatani, petani gurem biasanya bekerja bersama dengan anggota keluarga yang tidak diupah. Oleh karena itu banyak model produksi pertanian berskala kecil dibangun dengan asumsi ketiadaan pasar tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan sumberdaya yang penting setelah lahan usahatani khususnya bagi petani gurem. Keputusan alokasi tenaga kerja keluarga berdasarkan merupakan keputusan manajerial penting dalam produksi pertanian.

3. Asumsi memaksimalkan keuntungan bagi petani gurem adalah anggapan bahwa petani gurem beroperasi pada batas kemungkinan produksi (PPF) yang tersedia bagi mereka. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa petani gurem beroperasi pada batas luar dari fungsi produksi yakni fungsi produksi dengan tingkat teknologi paling unggul yang tersedia bagi mereka.

4. Berdasarkan alokasi tenaga kerja pada usahatani gurem padi dengan pola kepemilikan lahan milik sendiri menggunakan jumlah tenaga kerja terbanyak diikuti dengan lahan sewa dan bagi hasil menggunakan tenaga kerja paling sedikit

(12)

B. Saran

Saran untuk pengolahan lahan dan alokasi tenaga kerja antara lain ;

1. Sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan lagi kehidupan para petani karena walaupun mendapatjjulukansebagai negara agraris, kehidupan petani masih rendah

2. Seharusnya petani tidak hanya kalangan usia lanjt. Perlu adanya peningkatan minat generasi muda dalam pertanian, sehingga dapat menerapkan inovasi dan meningkatkan efsiensi dalam hasil pertanian

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Ayesha, Ivonne. 2016. Optimalisasi Lahan Sawah Melalui Diversifikasi Dengan Tanaman Hortikultura Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Gurem. UNES Journal Of Scientech Research. Vol 1(1): 1-14

Hery, Sri S. 2016. Fenomena Penuaan Petani dan Berkurangnya Tenaga Kerja Muda Serta Implikasinya Bagi Kebijakan Pembangunan Pertanian. J Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol 34(1).

Molina Soleman, Suprih Sudrajat, Ari Astuti, M.S.2017. Pengaruh Penguasaan lahan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani gurem di kecamatan kalasan Kabupaten Sleman Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Agraria Vol 1 (1) Nirwana N, Budiyono, Sudarmi. 2017. Deskripsi Sosial Ekonomi Keluarga Petani Gurem Di Desa Sidosari Kecamatan Natar Jurnal Penelitian Geografi Vol 5(6): 1-13

Rondhi, Mohammad., Adi, Hariyanto. 2018. Pengaruh Pola Pemilikan Lahan terhadap Produksi, Alokasi Tenaga Kerja, dan Efisiensi Usahatani Padi Agraris : Journal od Agribusiness and Rural Development Vol. 4 No. 2 Saputra, HY. 2018. Eksistensi dan transformasi petani gurem: kasus pertanian

wilayah pinggiran kota bandung. J. SEPA 14(2): 146-158.

Supriyati. 2016. Dinamika Ekonomi Ketenagakerjaan Pertanian : Permasalahan dan Kebijakan Strategis Pengembangan Petani Gurem. Jurnal Kebijakan Strategis Ketenagakerjaan Pertanian Vol. 15 (1)

(14)

LAMPIRAN

(15)

JUDUL ARTIKEL

1. Eksistensi Dan Transformasi Petani Gurem: Kasus Pertanian Wilayah Pinggiran Kota Bandung

Sumber :https://jurnal.uns.ac.id/sepa/article/view/25006 DOI:https://doi.org/10.20961/sepa.v14i2.25006

2. Deskripsi Sosial Ekonomi Keluarga Petani Gurem Di Desa Sidosari Kecamatan Natar

Sumber :http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/jpg/article/view/14054

3. Fenomena Penuaan Petani dan Berkurangnya Tenaga Kerja Muda Serta Implikasinya Bagi Kebijakan Pembangunan Pertanian.

Sumber:

http://repository.pertanian.go.id/bitstream/handle/123456789/7554/710- 24718-3-PB.pdf?sequence=1&isAllowed=y

4. Pengaruh Pola Pemilikan Lahan terhadap Produksi, Alokasi Tenaga Kerja, dan Efisiensi Usahatani Padi Agraris

Sumber:

https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/89544/F.%20P_Jurn al_M.Rondhi_Pengaruh%20Pola%20Pemilikan%20Lahan.pdf?sequence=1 5. Pengaruh Penguasaan lahan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani gurem di

kecamatan kalasan Kabupaten Sleman Yogyakarta.

Sumber:

http://jurnal.ustjogja.ac.id/index.php/agritas/article/download/2802/1717 6. Optimalisasi Lahan Sawah Melalui Diversifikasi Dengan Tanaman

Hortikultura Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Gurem Sumber:http://ojs.ekasakti.org/index.php/UJSR/article/view/91/79

7. Dinamika Ekonomi Ketenagakerjaan Pertanian : Permasalahan dan Kebijakan Strategis Pengembangan Petani Gurem

Sumber:http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/akp/article/view/4207

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai informasi, upaya konservasi di DAS Keduang ini dilakukan dengan pendeka- tan vegetatif, dimana metode vegetatif dalam strategi konservasi tanah dan air

Aspek internal yaitu sifat SDM dari ketiga unit yang bertanggung jawab dalam pelayanan dan adanya kekurang disiplinan petugas pelayanan, sementara itu dari aspek

Apakah ada perbedaan pendapat atau konflik atas akses hutan atau alokasi lahan dengan pihak lain di luar desa ini selama lima tahun terakhir. Jika ya,

Badan Pemeriksa Harta Milik Jemaat dilantik dalam Kebaktian Minggu dengan menggunakan liturgi yang ditetapkan oleh Majelis Sinode. Badan Pemeriksa Harta Milik Klasis

Gianyar 17.00 wita Lomba Melukis Areal taman budaya Pagelaran Arja oleh RRI Denpasar 20.00 wita Tari dan Karawitan Inovatif oleh Kabupate n Badung 20.00 wita Lomba

Berdasarkan tabel 5 dari 86 responden yang mempunyai pengetahuan baik dan tidak menerima perubahan psikologis yang terjadi pada saat masa pubertas sebanyak 27

• Adanya sumber daya yang dapat menimbulkan rasa senang, indah, nyaman dan bersih. • Adanya aksesibilitas yang tinggi untuk dapat mengunjunginya. • Adanya