• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Masyarakat Adat dan Otonomi Khusus Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Masyarakat Adat dan Otonomi Khusus Papua"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Masyarakat Adat dan Otonomi Khusus Papua

Istilah ‘adat’ dalam bahasa Indonesia memiliki arti ‘kebiasaan’ atau ‘tradisi’

dan mengandung konotasi tata tertib yang tenteram dan konsensus. Menurut Sangaji (2010), sebutan masyarakat adat cenderung merupakan terjemahan dari indigenous people dan atau tribal people. Kingsbury (1995) dalam Sangaji (2010) memberikan ciri untuk mengenali kelompok-kelompok yang disebut Indigenous people, dengan sejumlah karakteristik pokok, yaitu : (1) mengindentifikasi dirinya secara otonom sebagai kelompok suku yang berbeda; (2) pengalaman historis dalam hubungan dengan kerentanan kondisi kehidupan mereka terhadap gangguan, dislokasi, dan eksploitasi; (3) memiliki hubungan yang panjang dengan wilayah yang didiaminya;

dan (4) berkeinginan mempertahankan ideologi yang berbeda. Moniaga (2010) mendefinisikan masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal- usul (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan wilayah sendiri.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mendefinisikan adat sebagai kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun- temurun. Sedangkan definisi Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya. Terdapat kurang lebih 250 suku atau masyarakat adat yang mempunyai bahasa berbeda dengan jumlah penduduk dalam tiap kelompok suku yang relatif kecil.

Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua merupakan suatu kebijakan yang mendukung pemberdayaan masyarakat adat, hal ini didukung dengan adanya pembentukan lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) yang beranggotakan wakil dari kelompok adat. Menurut Widjojo (2009), Undang-Undang Otsus Papua merupakan kebijakan afirmatif (affirmative action policy) yang diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat adat Papua yang belum memiliki sumberdaya yang memadai guna menghadapi persaingan yang sehat dan normal. Menurut Wanggai (2009), Undang-Undang Otsus merupakan sarana rekonsiliasi paling realistis yang dapat menjembatani antara kepentingan pemerintah

(2)

dengan aspirasi merdeka, dan memberikan pengakuan identitas kultural masyarakat Papua.

2.2. Pembuatan Kebijakan

Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijabarkan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap di tengah (Dunn, 1994).

Pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan tidak hanya didorong oleh kepentingan pemerintah, tetapi juga melibatkan proses pembelajaran bagi pembuat kebijakan dimana gagasan kebijakan memainkan peran utama (Lindayati, 2003). Sutton (1999) menjelaskan tentang urutan pembuatan kebijakan dalam model rasional sebagai berikut :

1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah.

2. Merumuskan tindakan untuk mengatasi masalah.

3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi.

Perumusan Masalah

Peramalan

Rekomendasi

Pemantauan

Penyusunan Agenda

Penilaian

Formulasi Kebijakan Adopsi Kebijakan Implementasi Kebijakan Penilaian Kebijakan Gambar 2. Prosedur Pembuatan Kebijakan (Dunn,1994)

(3)

4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang paling tepat.

5. Pelaksanaan kebijakan.

6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.

Pembuatan kebijakan di bidang kehutanan menurut Kartodihardjo (2006) menggunakan kerangka pemikiran yang lebih bertumpu pada aspek-aspek teknis dan teknologi dan belum memperhatikan arah perilaku aktor-aktor yang terlibat sebagai unit-unit pengambil keputusan. Kebijakan kehutanan lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu kehutanan yang menggunakan pendekatan ilmiah misalnya penerapan manajemen hutan yang mengatur waktu rotasi optimal dengan asumsi hutan milik individu bukan sumberdaya milik publik. Bahkan konsep pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal belum pernah diadopsi pemerintah sebagai bentuk pengelolaan hutan secara legal. Pembuatan kebijakan membutuhkan penyempurnaan visi tentang keberadaan dan pemanfaatan fungsi sumberdaya hutan sebagai sumberdaya milik publik.

2.3. Analisis Isi Kebijakan

Kebijakan publik merupakan instrumen yang dibuat untuk memberikan solusi atas permasalahan, namun seringkali kebijakan yang diambil tidak menyelesaikan masalah bahkan melahirkan masalah baru. Permasalahan atau perilaku bermasalah yang berkaitan dengan suatu kebijakan dapat ditelusuri melalui evaluasi isi kebijakan dengan menggunakan pendekatan Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, Ideology / ROCCIPI (Seidman, et al. 2001).

1. Rule (Peraturan), suatu perilaku bermasalah timbul justru karena peraturan perundang-undangannya sendiri. Peraturan perundang-undangan berpotensi menjadi pemicu munculnya perilaku bermasalah karena beberapa faktor, antara lain : (a) Rumusan normanya rancu dan membingungkan; (b) Peraturan yang bersangkutan malah memberi peluang terjadinya perilaku bermasalah; (c) Peraturan tidak menghilangkan penyebab perilaku bermasalah; (d) Peraturan membuka peluang terjadinya perilaku tidak transparan, tidak akuntabel, dan tidak partisipatif; (e) Peraturan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada pelaksana.

2. Opportunity (peluang), suatu perilaku bermasalah timbul karena peraturan perundang-undangan yang dibuat ternyata tidak dapat mempersempit peluang (baik peluang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun geografis) pelaku yang menjadi

(4)

sasaran (adressat) untuk tidak mentaati suatu peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain peraturan perundang-undangan justru memberi peluang untuk tidak ditaati.

3. Capacity (kapasitas), suatu peraturan perundang-undangan tidak berhasil diimplementasikan karena aktor pelaksana, lembaga pelaksana, pendukung peraturan perundang-undangan yang terkait tidak memiliki kemampuan (baik dari segi politik, ekonomi, yuridis ataupun sosial) untuk mengimplementasikan peraturan perundang- undangan.

4. Communication (komunikasi), pelaku dan para pihak yang menjadi adressat peraturan perundang-undangan seringkali tidak mentaati aturan karena tidak mengetahui adanya suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan negara sering tidak tertib dalam mengumumkan peraturannya.

5. Interest (kepentingan), tingkat dukungan dan ketaatan para pelaku yang menjadi adressat suatu peraturan dipengaruhi oleh penilaiannya tentang manfaat dan kerugian politik, ekonomi maupun sosial budaya yang diperolehnya dari suatu peraturan perundang-undangan.

6. Proceess (proses), tingkat ketaatan dan partisipasi terhadap suatu peraturan perundang-undangan sangat dipengaruhi oleh tingkat akses informasi, partisipasi dan keadilan yang dibangun baik dalam proses pembentukan maupun dalam penormaan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

7. Ideology (ideologi), pembentukan peraturan perundang-undangan harus memastikan (a) nilai yang dianut masyarakat untuk merasa berfikir dan bertindak; (b) sikap, baik sikap mental, pandangan hidup, pemahaman keagamaan, budaya, dsb dari para aktor/pelaku yang jadi penyebab perilaku bermasalah masuk dalam objek pengaturan. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan aktor tersebut sampai pada kesimpulan bahwa pemahamannya terhadap nilai dan sikap yang dianut tersebut tidak tepat dan kemudian undang-undang mampu mengarahkan pada nilai dan sikap yang benar.

2.4. Analisis Para Pihak (Stakeholder Analisis)

Analisis Stakeholder adalah suatu pendekatan dan prosedur untuk mencapai pemahaman suatu sistem dengan cara mengidentifikasikan aktor-aktor kunci atau stakeholder kunci di dalam sistem, dan menilai kepentingan masing-masing di dalam sistem tersebut. Stakeholder dapat bersifat individual, masyarakat, kelompok sosial

(5)

atau institusi dalam berbagai ukuran, kesatuan, atau tingkat dalam masyarakat.

Analisis stakeholder memandu kita untuk dapat sampai pada persoalan dan memahami alasan yang ada di balik konflik kepentingan yang mengancam keberhasilan suatu proyek atau kebijakan (Grimble dan Chan, 2005).

Selanjutnya Grimbe dan Chan (2005) menjelaskan bahwa analisis stakeholder cenderung relevan jika :

1. Ada Eksternalitas, contohnya jika pengguna air bagian hilir sungai terpengaruh oleh pemanfaatan dan polusi air di daerah hulu. Tidak selalu eksternalitas bersifat negatif.

2. Hak-hak milik terbuka atau tidak jelas (hak kepemilikan), analisis stakeholder cocok untuk situasi dimana sumber daya (contohnya hutan) dikelola sebagai hak bersama dan bukan merupakan sumberdaya milik pribadi.

3. Level Stakeholder yang berbeda-beda dengan kepentingan dan agenda yang berbeda. Ini meliputi kepentingan makro dan mikro dan mulai dari pemerintah, LSM, swasta sampai dengan masyarakat lokal.

4. Trade offs yang perlu dibuat pada tingkat kebijakan atas pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya. Contohnya jika tujuan kebijakan nasional mendorong pelestarian hutan, tetapi masyarakat lokal justru berminat atau berkepentingan terhadap pembabatan hutan untuk lahan perkebunan.

Meyers (2005) menyatakan bahwa dalam analisis stakeholder diperlukan pemahaman tentang posisi orang lain menghadapi isu yang ada, sehingga dapat menakar tingkat dukungan atau oposisi dari orang lain, dan memprediksi langkah yang akan diambil jika terjadi perubahan. Diperlukan suatu pendekatan terorganisir yang disebut analisis kekuatan stakeholder. Analisis stakeholder adalah suatu piranti untuk membantu memahami bagaimana masyarakat mempengaruhi kebijakan dan lembaga dan sebaliknya bagaimana kebijakan dan lembaga mempengaruhi mereka.

Selanjutnya menurut Meyers (2005) stakeholder mempunyai derajat kekuatan yang berbeda-beda untuk mengontrol keputusan yang berpengaruh pada kebijakan dan lembaga, dan mereka memiliki derajat potensi yang berbeda untuk disumbangkan atau derajat kepentingan yang berbeda untuk mencapai tujuan tertentu.

(6)

1. Kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan atau lembaga berakar dari kontrol keputusan dengan efek positif atau negatif. Kekuatan stakeholder dapat dimengerti pada tingkat kemampuan stakeholder untuk membujuk atau memaksa orang lain membuat keputusan, dan mengikuti serangkaian tindakan tertentu.

Kekuatan dapat berasal dari sifat organisasi stakeholder atau posisi mereka dalam hubungannya dengan stakeholder lain.

2. Potensi untuk mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan dan lembaga berada pada karakteristik yang spesifik terhadap konteks dan lokasi, seperti halnya ilmu pengetahuan dan hak. Yang menjadi perhatian khusus disini adalah stakeholder yang mempunyai potensi besar tetapi kekuatan lemah. Persoalan kebutuhan dan kepentingan stakeholder paling penting dalam banyak inisiatif untuk meningkatkan proses kebijakan dan lembaga.

2.5. Saluran Pemasaran

Dalam pemasaran hasil hutan kayu dari hutan alam terdapat pelaku ekonomi yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam menjalankan fungsi pemasaran dan membentuk saluran pemasaran. Pelaku dalam saluran pemasaran dapat berupa perorangan maupun badan usaha yang berfungsi menyalurkan produk maupun penyediaan jasa dalam mendukung pemasaran hasil hutan kayu serta mampu menjawab keinginan konsumen untuk memperoleh produk yang sesuai dengan waktu (time utility), tempat (place utility), dan bentuk (form utility).

Dalam saluran pemasaran kayu dari hutan alam terdapat beberapa lembaga pemasaran, yaitu: (1) Produsen, lembaga ini sebenarnya tidak memiliki produk tetapi menguasai produk, termasuk dalam kategori ini adalah masyarakat adat, dan pemegang ijin pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu; (2) Pedagang perantara, lembaga ini memiliki jaringan/hubungan yang baik dengan produsen maupun konsumen; (3) Konsumen, lembaga ini terdiri dari pemegang Ijin Usaha Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dengan tujuan ekspor dan pemilik kios kayu dengan tujuan pemenuhuan kayu untuk kebutuhan lokal.

(7)

2.6. Pendapatan Masyarakat Adat dan Pemerintah Daerah

Masyarakat adat tidak memperoleh pendapatan dari kegiatan pemanfaatan kayu yang dilakukan oleh pemegang ijin (investor). Pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat adat berupa kompensasi atas pemanfaatan kayu oleh investor.

Standarisasi kompensasi diatur sesuai Keputusan Gubernur Propinsi Papua, dan Peraturan Bupati Kabupaten Jayapura. Besarnya kompensasi dibedakan menurut kelompok jenis, yaitu : merbau, non merbau, kayu indah, dan kayu bakau, seperti dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1. Standarisasi Kompensasi bagi Masyarakat Adat sesuai Keputusan Gubernur Kel. Jenis Kep.Gub No.50/2001

(Rp./m3)

Kep.Gub No.184/2004 (Rp./m3)

Kayu Indah 50.000 100.000

Kayu Merbau 25.000 50.000

Kayu Non Merbau 10.000 10.000

Kayu Bakau 1.000 3.000

Keputusan Bupati Jayapura No.41 tahun 2002 dan Keputusan Bupati Jayapura No.13 tahun 2005 merupakan penjabaran Keputusan Gubernur Papua yang lebih detail mengatur tentang distribusi kompensasi dalam kelompok masyarakat adat/pemilik ulayat. Distribusi kompensasi sesuai Keputusan Bupati Jayapura diatur sebagai berikut :

1. Pemilik hak ulayat dari blok penebangan : 75 % 2. Pemilik hak ulayat jalan logging : 10 % 3. Tempat Penimbunan Kayu (TPK),logpond: 10 % 4. Penunjang Pembangunan Desa/Kampung : 5 %

Besar kecilnya pendapatan masyarakat dari kegiatan pemanfaatan kayu dengan perijinan yang sah maupun tanpa perijinan sah dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat (pengenalan jenis, pengukuran volume kayu), komitmen investor (transparansi), dan peran pemerintah dalam mengawasi jalannya suatu kebijakan dan kesepakatan yang dibangun antara masyarakat dan investor.

Pendapatan Pemerintah Kabupaten Jayapura dari Sektor Kehutanan bersumber dari Dana Perimbangan sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pendapatan

(8)

pemerintah daerah diperoleh dari badan bagi hasil sesuai hasil pungutan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi yang disesuaikan dengan volume produksi. Proporsi pembagian antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dijelaskan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Proporsi PNBP Sektor Kehutanan antara Pemerintah Pusat dan Daerah No. Sumber PNBP Alokasi Keuangan

Keterangan Pusat (%) Daerah (%)

1. PSDH 20 80 32 % Kab. Penghasil

32 % Kab. Pengahasil dlm Prop.

16 % Propinsi

2. DR 60 40 Daerah penghasil/kabupaten

Sumber : UU No. 33 Tahun 2004

Tarif Dana Reboisasi (DR) diatur sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 tentang Perubahan kedua atas PP No. 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Tarif DR disesuaikan peraturan tersebut untuk wilayah Irian Jaya (Papua) adalah sebagai berikut :

1. Kelompok Jenis Meranti : US $ 13 / meter3 2. Kelompok Rimba Campuran : US $ 10,5 / meter3 3. Kelompok Kayu Indah : US $ 18 / meter3

Untuk PSDH diatur sesuai Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang penetapan harga patokan PSDH sesuai pengelompokan jenis, seperti dijelaskan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Penetapan Harga Patokan PSDH untuk Wilayah Irian Jaya (Papua)

Kelompok Jenis

Harga Patokan PSDH dalam rupiah/meter3 SK.Menperindag

No. 268/2000

SK.Menperindag No. 57/2001

SK.Menperindag No. 444/2003

Permendag No.

08/2007

Meranti 530.000 530.000 414.000 504.000

Rimba Campuran

265.000 265.000 221.000 270.000

Merbau - - - 1.500.000

Kayu Indah 905.000 905.000 905.000 1.086.000

(9)

Pola Penguasaan Tanah oleh Masyarakat Adat di Kabupaten Jayapura

Pola penguasaan tanah di Papua umumnya menggambarkan adanya hak pemilikan oleh marga dan pengaturan penggunaan suatu areal untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup suatu kelompok suku yang terdiri dari beberapa marga.

Pemilikan tanah adat oleh marga biasanya merupakan warisan generasi sebelumnya.

Dalam setiap suku terdapat beberapa marga yang dalam struktur kelembagaan adat terdiri dari beberapa level antara lain level pemimpin/kepala suku yaitu marga-marga besar yang menguasai lebih banyak tanah adat, level bawah yaitu marga-marga kecil yang dalam struktur adat bukan merupakan pemimpin namun memiliki hak pemilikan atas tanah adat dengan luasan yang lebih rendah. Dalam suatu marga biasanya telah dilakukan pembagian penguasaan lahan kepada masing-masing individu penerus marga.

Menurut Kawer (2007) terdapat lima pola penguasaan tanah masyarakat hukum adat Namblong (genyem), yaitu :

1. Tanah Warisan (Kunare Sip), yaitu tanah yang dimiliki berdasarkan garis keturunan ayah/tanah warisan dari generasi sebelumnya.

2. Tanah Pinjaman (Ambuangdong Usu Sip), yaitu tanah yang diberikan sementara dengan jangka waktu tertentu atau dipinjamkan oleh pihak pemilik suku/marga kepada pihak lain diluar marga untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila tanah tersebut sudah tidak dimanfaatkan maka tanah tersebut kembali kepada pihak pemilik (marga).

3. Tanah Hadiah/Tanda Jasa (Ulu Didong Usu Sip), yaitu tanah yang diserahkan atau dipindahtangankan oleh pemilik ulayat/marga kepada orang lain diluar marga karena jasa baik dan prestasi yang diberikan kepada para pemilik ulayat.

4. Tanah dikuasai karena Perkawinan (Ki Tang De Sip), yaitu tanah yang dimiliki karena perkawinan. Pemilik tanah adalah anak perempuan, hak anak perempuan atas tanah berlaku hanya selama dia masih hidup. Setelah anak perempuan meninggal hak itu tidak dapat dipindahkan ke pihak suaminya,tetapi dikembalikan kepada saudara laki-laki penerus marga.

(10)

5. Tanah Denda (Lugeambu / Rumdu), yaitu tanah yang diserahkan sebagai pembayaran atau sebaliknya diterima sebagai pembayaran atas suatu perkara pembunuhan dari pihak marga kepada keluarga korban dan kemudian dikuasai secara turun-temurun.

2.7. Analisis Efektivitas Kelembagaan Adat

Analisis ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan modal sosial (social capital) yang dimiliki dan diterapkan oleh masyarakat adat pada kegiatan pengelolaan hutan.

Masyarakat adat sesuai Moniaga (2010) adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan wilayah sendiri. Tata aturan adat adalah aturan yang diproduksi oleh masyarakat sendiri, diwarisi dan dipelajari dari generasi sebelumnya, diajarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya, bukan diproduksi oleh pemerintah.

Menurut Uphoff (2000) untuk memahami modal sosial dapat dilakukan dengan memperhatikan dua fenomena yaitu struktural dan kognitif. Kategori struktural dikaitkan dengan berbagai bentuk organisasi yang mengatur tentang peran, aturan, preseden, dan prosedur serta berbagai macam jaringan yang berkontribusi kepada kerjasama atau tindakan kolektif yang saling menguntungkan (mutually beneficial collective action,MBCA). Kategori kognitif yaitu norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang dipakai untuk menjalankan tindakan kolektif yang saling menguntungkan (MBCA).

Terdapat dua orientasi dalam penerapan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan, yaitu orientasi kearah pihak lain dan orientasi untuk mewujudkan tindakan sendiri.

Orientasi kearah orang lain dengan melihat bagaimana orang lain menerapkan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan sehingga hubungan sosial dapat berjalan sebagai hasil dari tindakan solidaritas. Orientasi untuk tindakan sendiri dengan kepercayaan bahwa pembalasan (reciprocation) terhadap sikap orang lain yang menjunjung norma, nilai, sikap, dan kepercayaan akan tercipta kerjasama yang bersifat kedermawanan.

Kedermawanan dalam melaksanakan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan memberikan harapan bahwa moralitas yang tinggi akan mendapatkan pahala (virtue will be rewarded).

(11)

2.8. Bentuk Pelanggaran dalam Pemanfaatan Kayu

Pemanfaatan kayu dalam konteks ilegal adalah kegiatan pemanfaatan kayu yang tidak sesuai dengan perangkat hukum atau peraturan yang berlaku. Dalam kegiatan pengelolaan hutan termasuk pemanfaatan kayu, peraturan atau kebijakan yang digunakan selalu mengacu pada penetapan fungsi suatu kawasan hutan.

Menurut Casson (2007), di Indonesia fungsi kawasan hutan ditetapkan berdasarkan hasil analisis terhadap beberapa faktor antara lain kelerengan, intensitas curah hujan, kondisi tanah, dan faktor biofisik lainnya tanpa memperhitungkan faktor sosial (masyarakat dalam dan sekitar hutan). Minimnya pelibatan masyarakat dalam penetapan fungsi kawasan hutan menyebabkan hak masyarakat dalam mengakses sumberdaya hutan tidak terakomodasi peraturan/kebijakan pengelolaan hutan.

Selanjutnya Casson (2007) juga menjelaskan bahwa pelanggaran-pelanggaran dalam pemanfaatan kayu tidak hanya berasal dari kegiatan-kegiatan yang melanggar peraturan pengelolaan hutan sesuai fungsi kawasan hutan tetapi juga terjadi pada kegiatan pengangkutan kayu meliputi dokumen yang digunakan, kegiatan pengolahan, kegiatan perdagangan, dan administrasi keuangan termasuk pajak. Pelanggaran dalam pemanfaatan kayu juga terjadi sebagai akibat buruknya penegakan hukum.

Operasi penegakan hukum cenderung meresahkan masyarakat setempat dan mendorong mereka untuk tidak mendukung upaya mengatasi pembalakan liar, karena akan berdampak pada hilangnya kesempatan kerja, pendapatan dalam jangka pendek, dan masyarakat hanya akan menjadi korban dari aktifivitas aktor intelektual yang ada di balik kegiatan pembalakan liar dan operasi penegakan hukum. Penegakan hukum yang buruk cenderung memberikan ruang bagi terjadinya korupsi dan kolusi yang justru merugikan negara, sebagai contoh kegiatan Operasi Hutan Lestari II di Papua Tahun 2005 yang diperkirakan menghabiskan biaya sebesar Rp. 12 milyar tidak memberikan hasil yang maksimal karena hasil kayu yang disita selama operasi ini justru mengalami penurunan nilai karena proses hukum yang membutuhkan waktu lama serta metode pelelangan yang legal tetapi penuh dengan kolusi dan korupsi.

Sadino (2002) dalam Casson (2007) menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan polisi kehutanan bersifat apatis untuk menangkap atau menuntut pelaku tindak kejahatan hutan karena mereka terlibat secara langsung atau mendukung dan mendapatkan keuntungan dari kegiatan pembalakan liar, serta tidak memperoleh apapun dari operasi penegakan hukum.

Referensi

Dokumen terkait

Penambahan kalsium laktat terhadap sereal sarapan beras hitam pisang kepok merah berpengaruh nyata terhadap sifat fisikokimia dan organoleptik sereal sarapan

Pemilihan respirator harus berdasarkan pada tingkat pemaparan yang sudah diketahui atau diantisipasi, bahayanya produk dan batas keselamatan kerja dari alat pernafasan yang

B : bahan kemasan sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi K : bahan kemasan tidak dengan jenis pangan yang diproduksi Penilaian unsur hanya ada "B" dan

Bagi warga jemaat yang ingin memberikan persembahan Minggu, Bulanan, dan/atau untuk Penggalangan Dana Covid-19 dapat ditransfer melalui rekening gereja atau

Unjuk kerja dari ATS & AMF Berbasis PLC Omron Sysmac Cpm2a sebagai alat back up daya apabila ada PLN padam adalah dengan relai-relai detektor yang dipasang disetiap phase

Kesimpulan penelitian ini adalah: 1 Implementasi pendidikan agama Islam PAI berwawasan multikultural di SMAN 8 Malang, dilakukan melalui 2 tahap, yaitu: a Kegiatan pembelajaran

Terdapat hubungan antar pekerjaan yang tidak logis Banyaknya pekerjaan yang ditangani dalam waktu yang bersamaan namun tidak dapat di analisa pengaruh terhadap total durasi

Setelah mendengarkan dan mempelajari lirik-lirik lagu grup band yang ada di dunia musik Indonesia saat ini, dalam penelitian ini saya memilih untuk membahas relasi laki-laki