• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T."

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI ANAK DI YOGYAKARTA

TERHADAP FIGUR AYAH BERDASARKAN HASIL C.A.T

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Stella Cindy Touresia 089114074

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Janganlah Takut Untuk Mengambil Langkah Besar.

Anda Tidak Bisa menyeberangi Sebuah Jurang Dengan Lompatan Kecil.

David Lloyd George

Penelitian ini dipersembahkan untuk:

Bapaku yang sungguh luar biasa, Tuhan Yesus Kristus.. I Can Do All Things through Christ which strengtheneth me..

Phillippins 4:13

Yang Tersayang Papa, Mama, Ko Rio dan Yoyo.. Serta

My Breath, My Life and My Everything,, Kokoku yang Tercinta dan Tersayang, Ko Yoseph..

(5)
(6)

vi

PERSEPSI ANAK DI YOGYAKARTA

TERHADAP FIGUR AYAH BERDASARKAN HASIL C.A.T

Stella Cindy Touresia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T. Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah anak usia enam hingga sebelas tahun dan tinggal di Yogyakarta. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumen yang menggunakan laporan praktikum Children’s Apperception Test (C.A.T) yang tersedia di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tahun 2009 / 2010 sebanyak 60 dokumen. Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis tematik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) persepsi mengenai figur ayah dapat dilihat secara tradisional dan modern. Figur ayah yang tradisional tampak pada persepsi ayah yang mencari nafkah, ayah yang bekerja dan menjalankan otoritasnya serta tidak terlibat atau tidak dekat dengan anak. Sedangkan figur ayah yang modern tampak pada persepsi ayah yang bekerja tetapi tetap terlibat atau dekat dengan anak, ayah yang mengurusi-merawat anak dan terlibat dengan anak serta ayah yang memberikan perhatian atauterlibat dalam kegiatan bersama anak, 2) pada masa sekarang ini, figur ayah cenderung lebih banyak menerapkan perspektif modern, 3) persepsi yang muncul juga dapat dilihat dari segi positif dan negatif berdasarkan dampak yang diberikan terkait dengan peran ayah. Peran yang memberikan dampak positif antara lain peran yang terkait dengan ayah yang memiliki atau memegang otoritas, hadir atau menemani-melakukan kegiatan bersama anak atau terlibat dengan anak serta mengurusi dan merawat anak. Peran yang memberikan dampak yang negatif antara lain, ayah yang mengabaikan atau melakukan sesuatu yang buruk pada anak serta ayah yang bersantai dan tidak terlibat atau tidak dekat dengan anak, 4) terdapat juga persepsi yang bersifat ambivalen yaitu ayah yang terlibat dalam keluarga atau bersama anak tetapi juga kurang memperhatikan anak.

(7)

vii

PERCEPTIONS OF CHILDREN IN YOGYAKARTA ABOUT THE FIGURE OF FATHER BASED FROM C.A.T

Stella Cindy Touresia

ABSTRACT

This research aims to describe Yogyakarta’s children perception about father figure based of C.A.T. Subjects included in this research are children aged six to eleven years old and lived in Yogyakarta. The data was collected from document report of C.A.T that available at the Faculty of Psychology, Sanata Dharma University, Yogyakarta on 2009 / 2010 and the amount are 60 documents. Data was analyzed using thematic analysis method. The results showed that 1) the perception of a father figure can be viewed in traditional and modern. Traditional father figure perceptions are father as a breadwinner, a father who works and runs his authority and not involved or not close to the child. While the modern father figure perceptions are fathers who work but stay involved or close to the child, father who provide caregiving to the child and involved with the child and father who provide care or involved in activities with their children, 2) now a days, father put the modern perspective in their life especially in relation with their children, 3) there are also a perception based on the positive and negative impacts presented in connection with the role of fathers. Positive impact’s roles are associated with a father who owns or holds authority, attend or accompany and doing activities with children, or involved with children and provide caregiving to their children. Negative impact’s roles are fathers who ignore or do something bad to the child and father relax and not involved or close to the child, 4) there is are also an ambivalent perception of father involved in the family or with the child but with little regard to the child.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Skripsi yang berjudul “Persepsi Anak di Yogyakarta Terhadap Figur Ayah Berdasarkan Hasil C.A.T” ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T. Peneliti berharap agar hasil penelitian ini dapat menjadi masukan yang berguna bagi pembaca maupun bagi peneliti selanjutnya.

Banyak sekali hal dan pengalaman-pengalaman yang dialami oleh peneliti dalam proses penyelesaian penelitian ini. Pengalaman-pengalaman tersebut menjadikan penelitian ini menjadi salah satu pencapaian terbesar dalam hidup peneliti. Dalam pencapaian salah satu hal terbesar ini, peneliti menyadari bahwa tanpa campur tangan Bapa di Sorga, peneliti tak dapat melakukan penelitian ini dengan baik dan lancar. Peneliti menyadari bahwa kasih setiaNya selalu dicurahkan dan Roh KudusNya selalu menyertai setiap proses yang boleh peneliti lalui hingga semuanya dipersembahkan kembali bagi kemuliaan Bapa di Sorga. Selain itu, penyelesaian penelitian ini tak luput juga dari dukungan-dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, secara khusus peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Christina Siwi H., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang memberikan semangat baru bagi penulis lewat kata-kata motivasinya.

(10)

penyusunan penelitian ini hingga selesai. Terimakasih banyak bu untuk semuanya. Semua pengalaman-pengalaman ini telah menjadi bagian hidup bagi penulis dan tak akan pernah dapat dilupakan.

3. V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si., atas masukan-masukan dan waktu yang diberikan untuk menyempurnakan hasil penelitian ini.

4. Sylvia Carolina M.Y.M., S.Psi., M.Si., yang juga telah memberikan waktu pada penulis untuk menyempurnakan hasil penelitian ini. Senyum, ucapan selamat dan pelukan Ibu pada penulis tak akan pernah penulis lupakan.

5. Semua Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman.

(11)

7. Papa dan mama tercinta yang dengan tulus selalu memberikan doa, semangat, kepercayaan, kesabaran, dan waktunya. Semua yang telah papa mama lakukan dan korbankan selalu menjadi motivasi penulis dalam menyelesaikan hingga akhir.

8. Kakak dan adikku tersayang, Rio Bangun Sutiksno dan Yoyo Dody Sutiksno, atas perhatian, dukungan, semangat, dan keusilan yang selalu membuat penulis merasa lebih “hidup” dan membuat penulis menyadari bahwa hidup ini harus dinikmati dan disyukuri.

9. Kokoku yang tersayang, Yoseph Setyawan Budiono yang telah dengan sangat sabar dan penuh sayang menemani hari-hari penulis. Terima kasih atas ketulusan dan pengorbanan yang telah koko berikan. Thank you for your love, honey.. You’re my life and my everything. All i wanna do is grow old with

you.

(12)

11. Sahabat-sahabat lain yang telah mendukung penulis. Terima kasih buat Ade yang selalu membuat suasana menjadi menyenangkan lewat cerita-cerita konyolnya. Terima kasih buat Dessy untuk perhatiannya. Terima kasih buat Ayu dan Tiwi yang telah bersama-sama dengan penulis berjuang dalam menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih juga untuk Lukas yang mau meluangkan waktu untuk membaca semua penelitian ini dan membantu penulis dalam mempersiapkan ujian pendadaran.

12. Teman-teman di Fakultas Psikologi 2008 yang telah berjuang bersama selama empat tahun ini: Puji, Sari, Anggit, Dian, Bora, Ledita, Benoni, Selly, Vale, Devi dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. I miss you all. 13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah mendukung

dalam penyelesaian penelitian ini.

Penulis menyadari dengan rendah hati bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Peneliti juga meminta maaf bila terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca. Penulis berharap agar karya ini dapat bermanfaat bagi para orang tua dalam mengasuh anak-anaknya.

Penulis

(13)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I.PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II.DASAR TEORI ... 7

A. Persepsi ... 7

B. Anak Usia Pertengahan ... 8

(14)

D. Teori Object Relation ... 15

E. Figur Ayah Bagi Anak-anak di Yogyakarta... 17

1. Keluarga Jawa ... 17

2. Figur Ayah dalam Keluarga Jawa ... 19

F. Persepsi Anak terhadap Figur Ayah di Yogyakarta ... 21

G. Pertanyaan Penelitian ... 23

BAB III.METODE PENELITIAN ... 24

A. Jenis Penelitian ... 24

B. Fokus Penelitian ... 24

C. Subjek Penelitian ... 24

D. Pengumpulan Data Penelitian ... 24

E. Metode Analisis Data ... 26

F. Keabsahan Data Penelitian ... 28

BAB IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 29

A. Pelaksanaan Penelitian ... 29

1. Pengumpulan Data ... 29

2. Pengolahan Data ... 29

a. Pemilihan Cerita ... 29

b. Interpretasi Cerita ... 29

c. Penyimpulan Data ... 30

B. Hasil Penelitian ... 30

1. Deskripsi Subjek ... 30

(15)

3. Persepsi Komposit Figur Ayah ... 38

C. Pembahasan ... 46

BAB V.KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

A. KESIMPULAN ... 56

B. SARAN ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Deskripsi Usia Subjek Penelitian ... 31

Tabel 2. Deskripsi Pekerjaan Orang Tua ... 31

Tabel 3. Jumlah Kartu yang Muncul ... 32

Tabel 4. Ragam Persepsi, Jumlah dan Kategorisasi ... 32

Tabel 5. Persepsi Komposit ... 39

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Interpretasi Cerita – Analisis Tematik ... 62

Lampiran 2. Deskripsi Subjek ... 84

Lampiran 3. Ragam Persepsi dan Jumlah Persepsi ... 87

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Setiap hubungan atau relasi yang dijalin seseorang dengan orang lain memiliki dampak potensial yang dapat menguntungkan atau justru merugikan perkembangan hidup orang tersebut. Relasi yang paling memberikan konsekuensi atau akibat dalam kehidupan seorang anak adalah relasi dengan keluarga. Hal ini disebabkan karena keluarga adalah salah satu konstruksi paling dasar dalam hubungan manusia dan memiliki dampak besar pada perkembangan seseorang (Childers, 2010). Ketika orang tua menjadi distress pada emosi negatif anak-anaknya dan menghukumnya, nantinya anak akan berekspresi lebih marah, menampakkan sikap bermusuhan, mempunyai masalah perilaku yang lebih banyak dan mempunyai fungsi sosial di sekolah yang rendah (Eisenberg, Fabes, et al., Fabes, Leonard, et al. Dalam Bukatko, 2008). Relasi yang telah terbentuk dalam keluarga akan ikut mempengaruhi relasi terhadap orang lain di luar keluarga yang nantinya relasi tersebut akan menjadi pola yang terus menerus diulang sehingga menetap pada diri anak (Friedman, Howard. S & Schustack, Miriam. W, 2008).

(19)

mengembangkan penelitian tentang relasi antara anak dengan figur ayah. Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Dyer, dkk (2009) mengatakan bahwa adanya peran yang aktif dari seorang ayah dalam merawat anak-anaknya dengan cara melakukan interaksi dengan jumlah dan kualitas yang baik selama masa kanak-kanak awal dapat mengarahkan anak pada perkembangan sosial yang positif (Updegraff, McHale, Crouter, & Kupanoff), sedikitnya masalah perilaku (Jaffee, Moffitt, Caspi, & Taylor), pengaturan emosi diri yang lebih baik (Roggman, Boyce, Cook, Christiansen, & Jones), meningkatkan perkembangan bahasa (Magill-Evans & Harrison) dan meningkatkan fungsi kognitif untuk anak-anak yang masih atau lebih muda (Gauvain, Fagot, Leve, & Kavanagh).

Pentingnya peran ayah juga dinyatakan oleh studi lain yang dilakukan oleh Radin, Wagner & Phillips (dalam Bukatko, 2008), yang menunjukkan bahwa ayah yang memiliki kehangatan dan terlibat dengan anak-anaknya berasosiasi dengan kompetensi dan prestasi akademik anak-anaknya serta memiliki kekakuan stereotip peran gender yang lebih rendah. Biller dan Lamb (dalam Bukatko, 2008) menyatakan bahwa anak, khususnya anak laki-laki yang tumbuh tanpa seorang ayah akan bermasalah pada bidang akademis atau kognitif, perkembangan peran gender dan kontrol terhadap agresi.

(20)

orang lain kita baru bisa memperoleh informasi-informasi baik verbal maupun nonverbal yang nantinya informasi-informasi tersebut digunakan untuk menyimpulkan tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain (Sarwono, 2009). Persepsi anak terhadap keluarga, khususnya ayah, penting dilihat sebab persepsi yang muncul merupakan indikator dari sesuatu yang telah terjadi menyangkut ayah di dalam keluarga. Ketika persepsi yang muncul adalah persepsi yang positif maka dapat disimpulkan bahwa relasi yang terjadi juga baik atau positif.

Secara garis besar, persepsi itu sendiri dipengaruhi oleh faktor psikologis dan faktor budaya. Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi persepsi seseorang meliputi kebutuhan, kepercayaan, emosi dan ekspektasi atau harapan yang ada di dalamnya, serta dipengaruhi oleh masa lampau orang tersebut. Faktor selanjutnya yang ikut mempengaruhi persepsi adalah budaya. Budaya tempat tinggal seseorang mempengaruhi kebutuhan, kepercayaan, emosi dan ekspektasi orang tersebut. Budaya mempengaruhi persepsi seseorang melalui stereotip. Stereotip mengarahkan seseorang dan mengatakan pada diri orang tersebut apa yang penting untuk disadari atau diabaikan (Wade & Tavris, 2007). Hal ini membuat orang memberikan tanggapan yang berbeda-beda walaupun dengan objek yang sama.

(21)

disimbolkan secara dekat sebagai model kekuasaan dan otoritas, yang seharusnya mempunyai sedikit pengasuhan terhadap anaknya. Selain itu, ayah dilihat sebagai pencari nafkah, dihormati tetapi ditakuti oleh anak-anak.

Parsons dan Bales (dalam Skolnick & Skolnick, 1983) menggunakan perspektif tradisional yang melihat laki-laki dalam keluarga sebagai figur yang bertanggung jawab pada keluarga sedangkan ibu lebih sebagai “pemberi kasih sayang” di rumah. Tanggung jawab laki-laki pada keluarganya berkaitan dengan dunia luar atau pekerjaan.

Walaupun perspektif tradisional memandang ayah sebagai pencari nafkah, perspektif modern tidak beranggapan seperti itu. Perspektif modern melihat bahwa ketika ayah ikut berperan dalam pengasuhan anaknya maka anaknya akan memiliki identitas peran seks, performansi akademis, dan perkembangan sosial yang baik.

(22)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gambaran figur ayah pada anak-anak merupakan hal menarik dan cukup penting untuk diketahui. Terkait hal tersebut, peneliti ingin mengetahui tentang gambaran figur ayah di Yogyakarta saat ini mengingat bahwa Yogyakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan Jawa dan di dalamnya berlaku perspektif tradisional.

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak usia enam hingga sebelas tahun atau anak usia pertengahan. Subjek tersebut dipilih sebab anak dalam usia pertengahan telah mampu untuk mempersepsikan orang-orang disekitarnya termasuk orang tua. Pernyataan ini didukung oleh Santrock (1995) yang menyatakan bahwa pada masa usia pertengahan ini anak-anak dan orang tua akan saling memberi cap. Mereka akan bereaksi satu sama lain tidak hanya atas dasar perilaku mereka di masa lampau tetapi juga berdasarkan atas bagaimana mereka menginterpretasikan perilaku dan harapan-harapan mereka atas perilaku-perilaku tersebut.

(23)

B. Rumusan masalah

Bagaimana persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui gambaran persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T.

D. Manfaat Penelitian

1. Menambah khazanah ilmu pengetahuan di bidang Psikologi Perkembangan khususnya mengenai persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T.

2. Menambah pengetahuan atau wawasan pada masyarakat umum (orang tua) tentang persepsi seorang anak terhadap figur orang tua khususnya figur ayah. Wawasan atau pengetahuan yang didapat tersebut, kemudian dapat dijadikan sebagai pertimbangan atau pedoman oleh orang tua dalam mengasuh anak-anak.

(24)

7 BAB II DASAR TEORI

A. Persepsi

Persepsi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah persepsi terhadap figur ayah. Persepsi terhadap figur ayah digali dengan menggunakan teknik proyektif yaitu C.A.T. Dalam C.A.T persepsi yang dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman masa lampau atau pengalaman sebelumnya dan bersifat subjektif disebut sebagai apersepsi (Bellak & Abrams, 1997).

Apersepsi menurut Kant, merupakan penyatuan persepsi. Dengan apersepsi, persepsi-persepsi yang disatukan disebut sebagai diri yang sadar atas diri mereka dalam berbagai saat atau waktu. Persepsi-persepsi tersebut dipersatukan merujuk pada objek-objek eksternal yang terdapat dalam satu dunia. Selain itu, menurutnya persepsi hanya merupakan suatu objek tunggal sedangkan apersepsi berkaitan dengan persepsi dan dunia (Monroe, 1911).

(25)

diberikan tersebut merupakan interpretasi yang dinamis dan penuh makna dari individu terhadap suatu persepsi (Edwin & Bellak, 1959).

B. Anak Usia Pertengahan

Anak-anak pada masa tahun-tahun sekolah dasar ini berkisar antara usia enam hingga sebelas tahun. Dalam tahun-tahun ini, anak sudah memiliki ketrampilan-ketrampilan fundamental seperti membaca, menulis, dan berhitung. Selain itu, anak juga mulai secara formal berhubungan dengan dunia yang lebih luas beserta kebudayaannya.

(26)

Di samping itu, anak-anak dengan tahap operasional konkret ini mampu untuk memahami keterhubungan antara kumpulan dan sub kumpulan, seriation dan transivity. Memahami keterhubungan antara kumpulan dan sub kumpulan dapat ditunjukkan ketika seorang anak dapat melihat seseorang dengan peran yang berbeda dalam saat bersamaan, misalnya seorang laki-laki yang dapat berperan sebagai ayah, saudara, anak dan cucu. Seriation merupakan kemampuan anak untuk mengurutkan stimuli sepanjang dimensi kuantitatif seperti panjang. Transivity adalah kemampuan untuk memikirkan relasi gabungan secara logis, yang berarti jika ada relasi objek yang pertama dan kedua, dan ada relasi antara objek kedua dan ketiga, maka pasti ada relasi antara objek pertama dan ketiga.

Masih dalam area kognitif, pemrosesan dan penyimpanan informasi pada anak dalam usia pertengahan ini semakin berkembang atau mengalami kemajuan. Selain itu juga terjadi peningkatan dalam waktu reaksi dan kecepatan memproses tugas. Pemrosesan yang makin cepat dan efisien ini meningkatkan jumlah informasi yang dapat diproses di memori kerja anak. Hal ini membuat anak memiliki kemungkinan mengingat yang lebih baik dan memiliki pemikiran ke level yang lebih tinggi serta kompleks (Papalia, et al., 2010).

(27)

tersebut antara lain seperti apakah orang tua memberikan kesempatan pada anaknya untuk menjadi semakin emosional atau untuk menjadi tenang, serta apakah yang anak pelajari dari konsekuensi yang mereka terima dari emosi yang ditunjukkannya seperti, apakah yang terjadi ketika aku marah dengan tantrum atau saat aku hanya menggunakan kata-kata. Ketika orang tua menjadi distress pada emosi negatif anak-anaknya dan menghukumnya, maka sebagai akibatnya nantinya anak akan berekspresi lebih marah dan menampakkan sikap bermusuhan serta mempunyai masalah perilaku yang lebih banyak dan rendahnya fungsi sosial di sekolah (Eisenberg, Fabes, et al.; Fabes, Leonard, et al.,dalam Bukatko, 2008). Di sisi lain, ketika orang tua memberikan pengarahan yang mendukung ekspresi emosi anak, seperti dengan membantu anak untuk berbicara tentang apa yang mereka rasakan dan memberi saran atau jalan keluar tentang emosinya, maka anak akan menjadi lebih baik dalam menenangkan diri mereka dan mengatur emosi negatif mereka (Gottman, Katz, & Hooven dalam Bukatko, 2008).

Nada interaksi yang digunakan ketika berinteraksi dengan orang tua juga ikut berperan. Nancy Eisenberg dan koleganya, dalam buku Bukatko (2008) ini menyatakan bahwa ibu dengan ekspresi emosi yang positif mempunyai anak yang lebih baik atau lebih dapat mengatur emosi mereka dan juga sebaliknya.

(28)

anak Amerika cenderung untuk tersenyum lebih banyak daripada anak-anak China sewaktu bayi (Camras et al., dalamBukatko, 2008) sedangkan sisi lain dari spektrum emosional, anak-anak China lebih baik dalam mengidentifikasi ketakutan dan situasi sedih dari anak-anak Amerika, dan mereka lebih sedikit menangis (Borke; Camras et al.,dalamBukatko, 2008). Perbedaan ini dapat merefleksikan penggabungan dari kepercayaan budaya tentang emosi.

Selama masa tahun-tahun sekolah ini, hubungan antara orang tua dan anak tidak lagi satu sisi. Orang tua sekarang mulai menerapkan pengasuhan yang lebih bebas, khususnya saat anak memasuki sekolah. Para orang tua dan anak mulai untuk bernegosiasi seperti membuat keputusan dan memecahkan masalah keluarga.

C. The Children’s Apperception Test (C.A.T)

The Children’s Apperception Test atau yang sering disingkat

sebagai C.A.T adalah sebuah metode proyektif untuk melihat kepribadian seseorang dengan melihat makna dari dinamika individual differences dalam persepsi yang dibentuk berdasarkan stimulus yang terstandar (Abram, 1993a, 1995; Bellak & Siegel, 1989; Boekholt, 1993 dalam Bellak & Abrams, 1997). C.A.T juga merupakan salah satu bentuk dari tes proyektif yang berdasarkan pada hipotesis projective dari Freud.

(29)

seseorang untuk mengarahkan perasaannya kepada dunia luar tetapi mengimajinasikan perasaan-perasaannya tersebut diekpresikan oleh dunia luar terhadap dirinya. Tes proyektif ini merupakan tes dengan stimulus yang ambigu dan tidak terstruktur yang bertujuan agar seseorang dapat mengekspresikan keinginan, kecemasan dan konflik yang dimilikinya.

C.A.T dibuat dengan tujuan untuk memahami hubungan atau relasi antara anak dengan figur-figur penting atau significant other beserta dorongan-dorongannya. Alat tes yang terdiri dari sepuluh gambar ini juga dibuat untuk memperoleh respon-respon yang berkaitan dengan masalah oral, persaingan saudara kandung dan hubungan atau relasi antara anak dan orang tua sebagai pasangan, agresi, penerimaan orang dewasa, kesendirian yang berkaitan dengan masturbasi, toilet training, bagaimana orang tua merawat dan bagaimana responnya. Berdasarkan hal tersebut maka diharapkan dapat mengetahui pertahanan diri anak dan bagaimana cara ia bereaksi dan menangani masalah. Secara klinis, C.A.T juga berguna untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang mungkin dapat berhubungan dengan perilaku anak di dalam suatu kelompok, sekolah atau rumah.

(30)

1. Tema deskriptif

Yaitu ringkasan makna dari cerita dan disajikan kembali dalam bentuk yang singkat dan dengan kata-kata yang sederhana. 2. Tema interpretif

Tema interpretif ini berupa arti umum cerita 3. Tema diagnostik

Tema diagnostik ini dapat memberitahukan masalah psikologi yang muncul dalam cerita tersebut (Bellak & Abrams, 1997) Dalam proses analisis C.A.T, juga sering digunakan Bellak scoring system untuk mendapatkan interpretasi secara lebih cermat dan lengkap. Bellak scoring system ini terdiri dari sepuluh variabel yang terdiri dari:

1. Tema utama

Tema utama berisi uraian yang sama dengan tema interpretif. 2. Hero utama

Hero utama dalam cerita adalah seseorang atau orang yang paling banyak berbicara atau diceritakan serta pikiran dan perasaan yang paling sering dibahas atau diceritakan.

3. Kebutuhan dan dorongan utama hero

Dalam variabel yang ketiga ini terdapat tiga tipe data, meliputi:

a) Behavioral needs, yang ditunjukkan dalam perilaku dan

(31)

b) Figur atau objek yang dilibatkan. Objek yang dimaksud adalah alat – alat yang muncul dalam cerita walaupun tidak digunakan untuk memuaskan kebutuhan.

c) Figur atau objek yang diabaikan. Figur atau objek yang diabaikan meliputi mereka yang nampak jelas di dalam gambar tetapi tidak disebutkan dalam cerita.

4. Konsep tentang lingkungan atau dunia.

Konsep ini berisi tentang realitas yang dialami seseorang. 5. Figur dilihat sebagai

Variabel yang kelima ini mengungkap sikap tokoh utama kepada orang-orang yang lebih tua, sebaya dan lebih muda atau orang-orang yang lebih kecil atau inferior serta berisi tentang reaksi seseorang terhadap persepsinya.

6. Konflik-konflik yang menonjol

Melalui variabel ini, dapat melihat konflik-konflik yang muncul dan juga pertahanan diri seseorang dalam menghadapi atau menyikapi konflik tersebut. Konflik yang muncul bisa antara superego dan dorongan-dorongan lain atau bisa saja antar dorongan-dorongan.

7. Asal kecemasan

(32)

dirasa tidak diterima oleh lingkungan, misalnya kecemasan mendapat hukuman, kehilangan kasih sayang, menjadi kekurangan, dll.

8. Mekanisme pertahanan diri

Dalam menghadapi konflik yang muncul subjek akan memberikan reaksi-reaksi tertentu. Reaksi-reaksi tertentu atau usaha subjek dalam menghadapi konflik tersebut merupakan mekanisme pertahanan diri yang dilakukan oleh subjek.

9. Kuatnya superego

Adekuasi ego ditunjukkan oleh bagaimana tokoh mendapatkan akibat dari tindakannya.

10.Integrasi ego

Menunjukkan seberapa baik fungsi seseorang, seberapa seseorang dapat mengkompromikan kebutuhan atau dorongan dengan tuntutan realita atau superego di sisi lain.

D. Teori Object Relation

Teori object relation menjadi dasar pikiran dari variabel Bellak nomor lima, yaitu pandangan dan reaksi terhadap figur-figur penting.Teori

object relation merupakan perkembangan dari teori psikoanalisis yang

(33)

penting sebab menurut Melanie Klein, W.R.D. Fairbairn, inner image seorang anak terhadap keluarganya akan menciptakan suatu persepsi pada anak terhadap figur-figur di keluarganya. Persepsi anak terhadap keluarganya tersebut kemudian mempengaruhi hubungan atau relasinya terhadap orang lain di luar keluarganya. Hubungan atau relasi dengan orang lain tersebut kemudian akan menjadi pola yang terus diulang sehingga menetap pada diri seorang anak. Dengan kata lain, hubungan dengan individu atau orang lain merupakan hal yang penting dalam mendefinisikan kepribadian dan self dibentuk secara sosial melalui interaksi interpersonal (Friedman, Howard. S & Schustack, Miriam. W, 2008). Teori object relation mengatakan bahwa faktor sosial dan lingkungan mempengaruhi kepribadian. Dalam hubungannya dengan figur-figur anggota keluarganya, anak akan melakukan internalisasi objek, yaitu anak melakukan introyeksi yang berarti anak memasukkan aspek eksternal kemudian mengolahnya menjadi rangka kerja yang bermakna secara psikologis (Feist, Jess & Feist, Gregory. J, 2009).

Dalam variabel Bellak, object relation mengungkap bagaimana tokoh utama atau hero dalam cerita berelasi dengan karakter figur ayah, ibu, sebaya atau saudara kandung dan orang yang lebih kecil. Selain itu, mengungkapkan juga tentang macam atau tipe kepribadian dari masing-masing karakter yang diceritakan dan kualitas interaksi dengan hero.

(34)

representations of people, affect tone of relationship paradigms, capacity

of emotional investment in relationship and moral standards dan

understanding of social causalty.

Berkaitan dengan penelitian ini, maka pendekatan skoring Westen yang sesuai adalah pendekatan complexity of representations of people. Dalam pendekatan ini, internalisasi diri dan representasi objek semakin berkembang menjadi lebih terpisah dan terdiferensiasi dari satu sama lain sejalan dengan perkembangan anak menuju dewasa. Kapasitas anak untuk merepresentasikan secara mental suatu self image dan suatu image orang lain juga berkembang menjadi lebih kompleks. Perasaan-perasaan ekstrim mengenai diri dan representasi objek yang “semua baik” dan “semua buruk” serta perasaan yang ekstrim tentang cinta dan benci menjadi lebih terdiferensiasi dari karakter-karakter cerita dan meningkat menjadi individu yang dapat melihat dirinya dan orang lain sebagai individu yang seimbang, memiliki kualitas yang beraneka segi dan pengalaman-pengalaman subjektif.

E. Figur Ayah Bagi Anak-anak di Yogyakarta 1. Keluarga Jawa

(35)

mampu untuk mencari nafkah. Hal ini membuat anak laki-laki dibebaskan dari pekerjaan atau tugas-tugas rumah tangga. Pengasuhan semacam ini mengakibatkan anak laki-laki tidak memiliki ketrampilan praktis untuk mengelola rumah. Berbeda dengan anak perempuan, orang tua mendidik mereka untuk dipersiapkan menjadi seorang ibu dan istri yang berbakti bagi suaminya nanti (Handayani & Ardhian, 2008).

Dipendidikan keluarga dalam kultur Jawa, didikan tersebut selalu menuntut anak untuk mampu menahan dorongan hati serta menunda pemuasan dorongan hati. Sedari kecil para orang tua akan mengajarkan pada anak-anaknya dalam mempergunakan sikap-sikap hormat. Anak akan diajarkan untuk memiliki rasa wedi pada orang yang harus dihormati. Setelah anak memiliki rasa wedi, maka anak diajarkan untuk memiliki rasa isin yang artinya malu dan merasa bersalah. Menurut pendidikan keluarga dalam kultur Jawa, setelah anak diajarkan untuk tahu malu dan kemudian mempunyai malu merupakan langkah awal untuk mendidik anak menuju ke kepribadian Jawa yang matang.

(36)

atasan atau sesama yang belum dikenal merupakan perasaan yang hendaknya tidak dicegah.

Dalam hubungan dengan saudara-saudaranya, keluarga Jawa mengajarkan akan kerukunan. Kerukunan dalam hal ini mengacu pada menjaga hubungan yang harmonis, yaitu mampu mencegah segala kelakuan yang dapat menimbulkan konflik atau pertikaian dengan sesama sehingga tercipta suatu kedamaian. Adapun ajaran tentang kerukunan tersebut, lantas tidak berarti bahwa seseorang menomor duakan hak-hak dan kepentingan pribadinya. Seseorang masih dapat mengalami pertentangan dalam dirinya mengenai kepentingannya namun harus diselesaikan dengan halus dan tidak agresif serta tidak ada konfrontasi emosional yang terbuka. Dengan kata lain, masyarakat Jawa menuntut seseorang untuk selalu dapat mengontrol diri, membawa diri dengan sopan, tenang dan rukun (Handayani & Ardhian, 2008).

2. Figur Ayah dalam Keluarga Jawa

(37)

mendapat giliran untuk menggendong anaknya sengaja untuk memberikan kesempatan pada ibu untuk melakukan hal-hal yang lain. Walaupun begitu, ayah belum menjadi bagian yang penting bagi anak.

Berkisar dari akhir tahun pertama sampai umur lima tahun, anak-anak dekat dengan ayahnya, namun setelah berumur lebih dari lima tahun dimungkinkan anak tidak lagi dekat dengan ayahnya. Dari masa itu, anak akan mulai hormat dengan mengambil jarak dari ayahnya, berbicara dengan seksama serta merendah terhadap ayahnya. Selain itu, tradisi di Yogyakarta yang masih kejawen memiliki aturan-aturan atau tata kramanya sendiri dalam hubungan antara anak dan ayah. Diantaranya, orang tua akan tampak semakin mengharapkan anaknya untuk menjadi seorang yang penurut, pandai dalam mengendalikan diri dan sopan. Anak-anak juga segera mengetahui bahwa orang yang lebih tua harus dihormati, terutama ayah mereka. Adanya aturan atau tata krama seperti ini membuat hubungan antara anak-anak dengan ayahnya tampak ada jarak, basa-basi dan hampir seperti hendak menjauhi.

(38)

tersebut berkisar dari tatapan ancaman atau peringatan tajam untuk dipermalukan di depan orang lain, serta dari cubitan hingga pukulan walaupun jarang terjadi.

F. Persepsi Anak terhadap Figur Ayah di Yogyakarta

Anak dengan usia enam hingga sebelas tahun sudah mulai berhubungan secara formal dengan lingkungan dan kebudayaannya. Hal itu mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan anak, salah satunya adalah interaksi dengan lingkungan yaitu relasi anak dengan orang tua dan orang lain. Dalam hal ini relasi antara anak dan orang tua atau orang lain di sekitarnya menjadi penting karena anak sudah mulai mampu menyerap inforrmasi-informasi yang diberikan oleh lingkungannya.

Dalam hubungannya dengan orang lain, anak sudah mulai mampu melakukan persepsi sosial dengan mengenali tanda-tanda atau tingkah laku nonverbal dan verbal yang ditampilkan orang lain. Informasi-informasi tersebut kemudian digunakan untuk membentuk persepsi terhadap orang lain.

(39)

mempersepsi serta yang dipersepsi. Ketiga hal tersebut saling berkaitan dalam membentuk persepsi terhadap orang lain.

Dalam penelitian ini, objek yang dipersepsi adalah figur ayah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat sensoris objek yang dalam hal ini ayah sebagai seorang yang menjadi objek persepsi bagi anaknya dapat memberikan pengaruh pada anaknya tersebut. Dalam budaya Jawa di Yogyakarta, ayah dilihat sebagai seorang yang harus dihormati dan memiliki jarak. Hal ini tentunya akan mempengaruhi persepsi anak terhadap ayahnya tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi persepsi anak terhadap ayahnya adalah pengalaman masa lampau anak itu sendiri. Ketika seorang anak mempersepsi ayahnya, anak itu memiliki ingatan-ingatan tentang figur ayahnya, seperti tentang relasinya dengan ayah, kedekatan dengan ayah, cara pengasuhan ayahnya dan sikap-sikap ayahnya pada dirinya yang kemudian diintegrasikan dalam diri anak tersebut sehingga memunculkan persepsi terhadap figur ayahnya. Sikap diri seseorang terhadap figur ayah seperti pikiran anak terhadap ayahnya juga ikut mempengaruhi persepsinya. Apa yang dipikirkan seorang anak tentang ayahnya dapat merupakan hasil dari pengalaman yang didapat dengan ayahnya.

Selain itu, di Yogyakarta orangtua menggunakan nilai-nilai

kejawen dalam mengasuh anak atau berelasi dengan anak-anaknya.

(40)

hal tersebut, peneliti akan melihat lebih dalam tentang bagaimana persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur ayah berdasarkan hasil C.A.T.

G. Pertanyaan Penelitian

(41)

24 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif interpretif. Metode kualitatif interpretif dipilih sebab metode ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman personal seorang individu dan menekankan pada persepsi atau pendapat personal seorang individu tentang suatu objek atau peristiwa (Smith, 2009).

B. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat persepsi anak di Yogyakarta terhadap figur ayah. Data persepsi terhadap figur ayah berupa cerita atau respon terhadap gambar-gambar C.A.T yang mengandung cerita tentang figur ayah.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak berusia enam hingga sebelas tahun dan tinggal di Yogyakarta.

D. Pengumpulan Data Penelitian

(42)

dokumen ini disebut juga sebagai metode unobstrusive atau tidak reaktif sebab peneliti tidak melakukan hubungan langsung dengan orang-orang yang meninggalkan dokumen tersebut sehingga tidak menimbulkan reaksi ataupun respon khusus dari individu yang diteliti. Kelebihan penggunaan metode dokumen ini meliputi peneliti mampu memperoleh bahasa dan kata-kata dari peserta dan merupakan bukti tertulis, menghemat waktu peneliti serta menghemat biaya transkrip (Creswell, 2003).

Sumber atau bahan penelitian yang digunakan merupakan sumber sekunder yaitu laporan praktikum Chlidren’s Apperception Test (C.A.T) yang tersedia di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Metode yang digunakan dalam pengambilan data C.A.T tersebut menggunakan metode proyektif, yaitu konstruksi cerita atau storry telling. Peneliti memilih respon cerita C.A.T sebagai data sebab cerita C.A.T dapat mengungkap hubungan atau relasi antara anak dengan figur-figur penting beserta dorongan-dorongannya.

(43)

a. Apa yang sedang terjadi dalam gambar ini atau apa yang sedang dilakukan oleh tokoh dalam gambar ini.

b. Apa yang terjadi sebelum tokoh melakukan hal tersebut. c. Apa yang terjadi sesudah kejadian tersebut.

d. Apa atau bagaimana pikiran dan perasaan tokoh.

E. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis cerita C.A.T adalah metode analisis tematik yang kemudian dilanjutkan dengan penyimpulan secara menyeluruh terhadap semua hasil interpretasi yang muncul. Metode analisis tematik merupakan analisis yang bertujuan untuk memecah tema menjadi tiga tema, yaitu:

a. Tema deskriptif

yaitu ringkasan makna dari cerita dan disajikan kembali dalam bentuk yang singkat dan dengan kata-kata yang sederhana. b. Tema interpretif

tema interpretif ini berupa arti umum cerita. c. Tema gambaran figur ayah

tema ini memberitahukan gambaran tentang figur ayah bagi anak.

(44)

kebutuhan utama hero, konsepsi lingkungan atau dunia dilihat sebagai apa, figur yang muncul dilihat sebagai apa, konflik yang menonjol, asal kecemasan, mekanisme pertahanan diri, adekuasi superego dan intergrasi ego. Dari kesepuluh variabel tersebut, peneliti berfokus pada variabel kelima, yaitu figur yang muncul dilihat sebagai apa atau biasa juga disebut sebagai object relation, yang dalam hal ini figur tersebut adalah figur ayah. Object relation menurut skoring Westen dalam Bellak dan Abrams (1997), terdiri dari empat komponen, yang meliputi:

a. Tingkat dan jenis relasi anak dengan orang lain dan menjaga realasi tersebut dengan baik.

b. Relasi yang terbentuk sekarang ini, baik yang adaptif atau maladaptif dipengaruhi oleh pola orang yang lebih tua dan orang yang hadir dalam hidup anak saat ini.

c. Tingkat seseorang menerima orang lain sebagai suatu kesatuan yang terpisah dan bukan lagi perluasan dari dirinya.

d. Tingkat seseorang dapat menjaga ketetapan objek.

(45)

F. Keabsahan Data Penelitian

Keabsahan data penelitian ini diperoleh melalui objektivitas dalam bentuk transparansi dan kesamaan pandangan atau analisis. Objektivitas dalam bentuk transparansi merupakan kesediaan peneliti untuk menguraikan atau menjabarkan secara terbuka dari elemen-elemen penelitian hingga prosesnya dengan tujuan agar pihak lain dapat melakukan penilaian. Dalam objektivitas dalam kesamaan pandangan, keabsahan data diperoleh melalui persetujuan diantara peneliti-peneliti mengenai aspek yang dibahas dalam penelitian (Sarantakos, 1993 dalam Poerwandari, 2005).

(46)

29 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Berikut adalah penjelasan proses pelaksanaan penelitian: 1. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah dokumen berupa laporan hasil tes C.A.T yang tersedia di Laboratorium Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Dokumen yang diperoleh sebanyak 60 dokumen yang didapat dari pengetesan atau praktikum pada semester gasal tahun ajaran 2009 / 2010. Dokumen laporan yang dikumpulkan adalah dokumen dari subjek yang berusia enam hingga sebelas tahun. 2. Pengolahan Data

a. Pemilihan Cerita

Cerita yang dipilih untuk penelitian ini adalah cerita yang berisi atau menceritakan tentang figur ayah.

b. Interpretasi Cerita

(47)

Proses pengolahan data atau interpretasi ini melibatkan dua orang interpreter yang masing-masing peneliti menginterpretasi data-data tersebut secara mandiri kemudian didiskusikan untuk memperoleh kesepakatan makna setiap cerita. Interpretasi tersebut menghasilkan ragam persepsi mengenai figur ayah.

c. Penyimpulan Data

Setelah menemukan kesepakatan ragam persepsi dalam tiap cerita, peneliti kemudian mengkategorikan ragam persepsi tersebut menjadi satu kategori.

Istilah-istilah kategori yang telah dirumuskan kemudian digunakan dalam perumusan persepsi komposit mengenai figur ayah pada setiap subjek. Persepsi komposit ini kemudian dikategorikan lagi dengan tujuan memperoleh kesimpulan persepsi komposit tetang figur ayah.

Sebagai tambahan, secara kuantitatif juga dilakukan penghitungan prosentase terhadap kategori persepsi yang muncul dan terhadap kategori persepsi komposit.

B. Hasil Penelitian 1. Deskripsi subjek

(48)

deskripsi usia subjek, data pekerjaan orang tua subjek dan jumlah kartu yang muncul.

Tabel 1

Deskripsi Usia Subjek Penelitian

No. Usia Jumlah Subjek

1. 6 tahun 2

2. 7 tahun 6

3. 8 tahun 5

4. 9 tahun 21

5. 10 tahun 16

6. 11 tahun 10

Subjek yang paling banyak ikut dalam pelaksanaan tes adalah subjek yang berumur sembilan tahun yaitu sebanyak 21 subjek.

Data orang tua dalam hal pekerjaan dijabarkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2

Deskripsi Pekerjaan Orang Tua

No. Pekerjaan

Ayah Jumlah Pekerjaan Ibu Jumlah 1. Wiraswasta 25 Wiraswasta 17

2. Pegawai 18 Pegawai 10

3. Buruh 6 Buruh 2

4. Dosen – guru 3 Dosen – guru 4

5. Polri 1 Petani 1

6. Pensiunan 3 Ibu rumah

tangga

26

7. Rohaniwan 1

8. Seniman 2

9. Tidak bekerja 1

(49)

Berkaitan dengan kartu yang diberikan pada anak sebagai stimulus, rata-rata jumlah kartu yang muncul atau yang direspon pada setiap subjek adalah tiga kartu. Secara rinci jumlah kemunculan kartu yang direspon subjek terdapat di tabel 3.

Tabel 3

Jumlah Kartu yang Muncul

No. Nomor Kartu Jumlah Subjek yang Merespon

1. I 27

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kartu ketiga merupakan kartu yang paling banyak direspon oleh subjek.

2. Ragam Persepsi Figur Ayah

Berdasarkan interpretasi yang telah dilakukan, maka ditemukan hasil yang terdapat pada tabel 4 sebagai berikut:

Tabel 4.

Ragam Persepsi, Jumlah dan Kategorisasi

No. Persepsi

Jumlah Kemunculan

Persepsi

(50)

No. Persepsi

Ayah yang senang anaknya

Ayah yang senang anak-anaknya menurut

1

15. Ayah yang

(51)

No. Persepsi

Jumlah Kemunculan

Persepsi

Kategori Jumlah Kemunculan 16.

Ayah yang marah (atas pelanggaran

menghukum anak 4

18. anak / keluarga

3

(52)

No. Persepsi

Jumlah Kemunculan

Persepsi

Kategori Jumlah Kemunculan

melindungi anak 1

30. Ayah yang

menyayangi anak 3

(53)

No. Persepsi

Jumlah Kemunculan

Persepsi

Kategori Jumlah Kemunculan

boleh ditentang 1

45. Ayah yang memiliki materi 8

Ayah yang

berperilaku baik 1

(54)

No. Persepsi

Jumlah Kemunculan

Persepsi

Kategori Jumlah Kemunculan 57.

Ayah yang tidak bersama / tidak menemani anak

14

Ayah yang tidak hadir atau

menemani-Ayah yang tidak melakukan

aktifitas bersama anak

1

59.

Ayah yang tidak di rumah karena mempunyai keperluan di luar rumah

Ayah yang tidak dekat dengan anak

5

64.

(55)

No. Persepsi

Jumlah Kemunculan

Persepsi

Kategori Jumlah Kemunculan

Berdasarkan tabel di atas, ditemukan 21 kategori berdasarkan pendekatan makna terhadap ragam-ragam persepsi yang muncul. Kategori persepsi yang paling banyak muncul adalah ayah yang tidak hadir atau menemani-mengabaikan-tidak dekat dengan anak atau keluarga-mementingkan pekerjaan yaitu sebanyak 32 persepsi atau sebesar 13%. Jumlah kemunculan kategori persepsi tersebut hanya terpaut dua poin lebih banyak dari kategori persepsi ayah yang hadir atau menemani anak-melakukan kegiatan bersama anak atau keluarga yaitu sebanyak 30 persepsi atau sebesar 12,2%. Sebaliknya, persepsi yang paling jarang muncul adalah ayah yang tidak menyayangi anak yaitu hanya 1 persepsi atau sebesar 0,4%.

3. Persepsi Komposit Figur Ayah

(56)

Tabel 5. Persepsi Komposit

Subjek Persepsi

1

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang mengurusi keperluan anak / keluarga ayah yang memenuhi kebutuhan keluarga Ayah yang memiliki materi

Ayah yang mengabaikan anak

2

Ayah yang melihati anak Ayah yang tidak bersama anak Ayah yang tidak dekat dengan anak Ayah yang bersantai

3

Ayah yang bekerja

Ayah yang marah atas pelanggaran atau kesalahan Ayah yang mengurusi keperluan anak atau keluarga Ayah yang tidak bersama anak

Ayah yang tidak melakukan aktifitas bersama anak Ayah yang tidak dekat dengan anak

4

Ayah yang bekerja

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang mengurusi keperluan anak

Ayah yang bersantai

5

Ayah yang bekerja

Ayah yang mengurusi keperluan anak

Ayah yang melakukan sesuatu untuk anak atau menuruti keinginan anak

6

Ayah yang bekerja

Ayah yang menyuruh anak

Ayah yang mengurusi keperluan anak Ayah yang bersantai

7

Ayah yang mengingatkan atau menasehati Ayah yang memberi perhatian

Ayah yang mengharapkan keberhasilan anak 8 Ayah yang bersantai

9

Ayah yang menyuruh anak

Ayah yang marah atas pelanggaran Ayah yang menuruti keinginan anak

Ayah yang memaksa anak untuk melakukan sesuatu Ayah yang tidak boleh ditentang

Ayah yang memiliki materi Ayah yang tidak bersama anak Ayah mementingkan pekerjaan 10 Ayah yang marah atas pelanggaran

(57)

Subjek Persepsi 11

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang bermain bersama anak

Ayah yang menemani anak 12

Ayah yang mengabaikan anak Ayah yang tidak dekat dengan anak Ayah yang bersantai

13 Ayah yang marah atas pelanggaran Ayah yang melindungi anak

14 Ayah yang tidak menyayangi anak Ayah yang mengabaikan

15

Ayah yang bekerja Ayah yang menghukum Ayah yang bersantai

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak

16

Ayah yang senang anaknya menurut Ayah yang menyuruh anak

Ayah yang mengabaikan anak Ayah yang bersantai

17

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang berkumpul bersama anak

Ayah yang sakit

18

Ayah yang memenuhi kebutuhan anak Ayah yang mendidik anak

Ayah yang marah Ayah yang menghukum

Ayah yang memiliki kekuatan atau keberanian Ayah yang bijaksana

Ayah yang tidak berdaya Ayah yang gagal

Ayah yang memaksa anak untuk melakukan sesuatu

19

Ayah yang berkumpul bersama keluarga Ayah yang berpenampilan baik

Ayah yang tidak dekat dengan anak Ayah yang bersantai

Ayah yang memiliki masalah dengan anak 20 Ayah yang tidak menemani anak

Ayah yang dilayani

21

Ayah yang bekerja

Ayah yang mengingatkan atau menasehati

Ayah yang melakukan melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang bekerja sama dengan anak

(58)

Subjek Persepsi 21

Ayah yang bangga pada anak

Ayah yang memberikan kesenangan pada anak Ayah yang senang dibantu

22

Ayah yang menyayangi anak

Ayah yang tidak dirumah karena punya keperluan di luar rumah Ayah yang tidak berdaya

23

Ayah yang bekerja

Ayah yang senang anaknya berperilaku baik

Ayah yang mengurusi keperluan anak atau keluarga Ayah yang menolong

Ayah yang menginginkan anak dalam keadaan baik Ayah yang menjaga anak

Ayah yang mengkhawatirkan anak Ayah yang tidak bersama anak Ayah yang mengabaikan

24

Ayah yang bekerja

Ayah yang mengatasi masalah atau kesulitan dalam keluarga Ayah yang memarahi anak

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang memenuhi kebutuhan keluarga Ayah yang mengkhawatirkan anak

Ayah yang memberikan kesenangan pada anak Ayah yang tidak bersama anak

Ayah yang tidak berdaya

25

Ayah yang bekerja

Ayah yang mengarahkan anak

Ayah yang mengingatkan atau menasehati Ayah yang memberikan kesenangan pada anak Ayah yang memiliki materi

Ayah yang mempunyai kemampuan Ayah yang berperilaku baik

Ayah yang tidak bersama anak

26

Ayah yang bekerja

Ayah yang bekerja sama dengan anak

Ayah yang memikirkan kebutuhan anak atau keluarga Ayah yang bersantai

27

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang menuruti keinginan anak

Ayah yang bersantai

28

Ayah yang bekerja

(59)

Subjek Persepsi 29

Ayah yang senang anaknya berperilaku baik Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang menyukai atau menikmati kesenangan Ayah yang kesepian

30 Ayah yang merawat anak 31

Ayah yang bersantai Ayah yang bekerja

Ayah yang tidak menemani anak 32 Ayah yang bersantai

Ayah yang tidak menemani anak

33

Ayah yang tidak bersama keluarga karena bekerja Ayah yang menasehati

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang melakukan kesenangan

Ayah yang memarahi Ayah yang bekerja

Ayah yang memenuhi kebutuhan keluarga Ayah yang menyelamatkan anak atau keluarga Ayah yang senang anaknya berperilaku baik Ayah yang mempertahankan anak

Ayah yang mendidik

34

Ayah yang mengurusi keperluan anak Ayah yang mengasihani anak

Ayah yang menyayangi anak Ayah yang memiliki materi 35

Ayah yang bekerja Ayah yang bersantai

Ayah yang bermain bersama anak

36

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang memperhatikan

Ayah yang menemani anak

Ayah yang ingin anak dalam keadaan baik Ayah yang menyuruh anak

Ayah yang mengajari anak Ayah yang bekerja

Ayah yang menolong anak 37 Ayah yang memarahi anak

Ayah yang menyayangi 38 Ayah yang bersantai

Ayah yang tidak menemani anak 39

(60)

Subjek Persepsi 39

Ayah yang mengurusi keperluan anak Ayah yang membuat anak takut Ayah yang tidak menemani anak

40 Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak 41

Ayah yang tidak mengalah

Ayah yang tidak bersama atau menemani Ayah yang jahat

42

Ayah yang menyuruh anak Ayah yang menolong Ayah yang memaafkan Punya kekuasaan 43 Ayah yang bekerja

Ayah yang memberi materi

44

Ayah yang merawat anak

Ayah yang memaksa anak melakukan sesuatu Ayah yang mengawasi anak

Ayah yang tidak bersama atau menemani anak

45

Ayah yang berkumpul bersama keluarga Ayah yang merawat anak

Ayah yang mengurusi keperluan anak Ayah yang bersantai

46

Ayah yang memberikan pemecahan masalah dikeluarga Ayah yang mengajarkan anak untuk mandiri

Ayah yang menyuruh anak Ayah yang menemani anak

Ayah yang mendoakan keselamatan anak Ayah yang menyukai kesenangan

47 Ayah yang menemani anak 48

Ayah yang mengajari anak

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang bersantai

49

Ayah yang bekerja

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak Ayah yang merawat anak

Ayah yang tidak bersama atau menemani anak Ayah yang kurang memperhatikan anak 50

Ayah yang bermain bersama anak Ayah yang menemani anak

Ayah yang melakukan aktifitas bersama anak

51

Ayah yang bekerja

Ayah yang memikirkan kebutuhan anak atau keluarga Ayah yang mempertahankan anak

(61)

Subjek Persepsi 51 Ayah yang tidak di rumah karena memiliki keperluan di luar

rumah

52

Ayah yang memiliki materi Ayah yang mengawasi anak Ayah yang mengabaikan anak Ayah yang membuat anak takut

53

Ayah yang bekerja

Ayah yang menghukum anak Ayah yang mengasihani anak Ayah yang bersantai

Ayah yang sakit

54 Ayah yang mementingkan atau mengutamakan pekerjaan 55 Ayah yang memarahi

56

Ayah yang bekerja Ayah yang mencari uang Ayah yang menghukum Ayah yang mengekang anak Ayah yang mempunyai kekuasaan Ayah yang melakukan kejahatan

57 Ayah yang berkumpul bersama keluarga

Ayah yang memikirkan kebutuhan anak atau keluarga 58 Ayah yang bekerja

Ayah yang melakukan kegiatan bersama anak

59

Ayah yang bekerja

Ayah yang berusaha agar anaknya berperilaku baik Ayah yang marah

Ayah yang mengurusi keperluan anak atau keluarga Ayah yang memiliki materi

Ayah yang dilayani

60

Ayah yang mengatasi masalah dalam keluarga Ayah yang punya kekuasaan

Ayah yang memiliki materi

Ayah yang tidak dekat dengan anak

Berdasarkan tabel di atas, persepsi komposit yang muncul meliputi: 1. Ayah yang mencari nafkah (subjek 43, 51, 54).

(62)

3. Ayah yang bersantai dan tidak terlibat atau dekat dengan anak (subjek 2, 8, 12, 16, 20, 32, 38).

4. Ayah yang bekerja dan mengurusi-merawat anak (subjek 3, 5, 34,59). 5. Ayah yang bekerja, mengurusi-merawat anak, dan mengarahkan anak

(subjek 6, 28, 42).

6. Ayah yang bekerja tetapi tetap terlibat atau dekat dengan anak (subjek 22, 35, 36, 58).

7. Ayah yang bekerja, mengarahkan atau mengatasi masalah dan terlibat dengan anak (subjek 15, 24, 33).

8. Ayah yang bekerja, mengurusi-merawat anak, mengarahkan dan terlibat dengan anak (subjek 1 dan 21).

9. Ayah yang mengurusi-merawat anak dan mengarahkan anak (subjek 30, 39, 44).

10.Ayah yang mengurusi-merawat anak dan terlibat dengan anak (subjek 4, 26, 45, 57).

11.Ayah yang memberikan perhatian atau terlibat dalam kegiatan bersama anak (subjek 7, 11, 17, 40, 47, 50).

12.Ayah yang bersantai tetapi masih memberikan pengarahan dan terlibat dengan anak (subjek 27, 29, 46, 48).

13.Ayah yang memarahi tetapi melindungi atau menyayangi anak (subjek 13 dan 37).

(63)

15.Ayah yang terlibat dalam keluarga atau bersama anak tetapi juga kurang memperhatikan anak (subjek 19, 23, 49).

C. Pembahasan

Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan banyak ragam persepsi mengenai figur ayah. Persepsi – persepsi tersebut meliputi figur ayah yang bekerja atau mencari nafkah, memiliki materi, memenuhi kebutuhan keluarga, memecahkan masalah, menyuruh-mengarahkan anak, mengawasi, memiliki kebaikan atau kemampuan dan ayah sebagai figur yang memiliki atau memegang dominansi. Selain itu, ayah juga dipersepsikan sebagai figur yang melindungi, mengurusi dan merawat, mempunyai harapan pada anak, memperhatikan anak, menyayangi anak serta figur ayah yang hadir atau menemani anak - melakukan kegiatan bersama anak. Disisi lain, ayah juga dipersepsikan sebagai figur yang tidak hadir atau menemani anak – mengabaikan – tidak dekat dengan anak – mementingkan pekerjaan, tidak menyayangi, memiliki sifat buruk, menyukai kesenangan, tidak berdaya dan dilayani bahkan memarahi - memberikan hukuman.

(64)

serta memiliki materi. Sedangkan secara afeksional, figur ayah dipandang sebagai figur yang berperan sebagai ayah yang hadir atau menemani anak-melakukan kegiatan bersama anak, memperhatikan, menyayangi, melindungi, mengurusi-merawat anak atau caregiving.

Dari persepsi-persepsi komposit yang muncul, figur ayah dapat dikaitkan dengan peran-peran ayah secara tradisional atau modern. Secara tradisional, berdasarkan artikel yang ditulis oleh divisi Families American

Psychological Association (2010), figur ayah mempunyai peran sebagai

seorang pencari nafkah, pendisiplin dalam keluarga, penegak nilai-nilai moral dan pendidikan agama kepada anak-anaknya. Selain itu, menurut John Hoffman (2005) secara tradisional ayah berperan dalam pekerjaan di luar rumah, memperbaiki sesuatu yang rusak dan memberitahu anak ketika mereka nakal. Menurut Geertz (1983), peran ayah secara tradisional meliputi ayah yang mengharapkan anak menjadi seorang yang penurut, pandai mengendalikan diri dan sopan. Jika anak tidak mematuhi harapan orang tua maka orang tua akan memberi hukuman.

Berdasarkan hasil penelitian dan mengacu pada referensi-referensi yang telah ditulis di atas, peran ayah secara tradisional dan modern beserta prosentasenya dijabarkan melalui tabel 6.

Tabel 6

Persepsi Komposit dari Perspektif Tradisional dan Modern, Prosentase

Perspektif

Tradisional Prosentase

Perspektif

Modern Prosentase Ayah yang mencari

nafkah 5%

Ayah yang bekerja dan mengurusi-merawat anak

(65)

Perspektif

Tradisional Prosentase

Perspektif

Modern Prosentase Ayah yang bekerja,

menjalankan

otoritasnya, tidak terlibat atau dekat dengan anak

13,3%

Ayah yang bekerja dan mengurusi-merawat anak serta mengarahkan anak

5%

Ayah yang bersantai atau tidak

terlibat atau tidak dekat dengan anak

11,67%

Ayah yang bekerja tapi tetap terlibat atau dekat dengan anak

6,67%

Ayah yang bekerja, mengarahkan atau mengatasi masalah dan terlibat dengan anak

5%

Ayah yang bekerja,

mengurusi-merawat anak dan mengarahkan anak

5%

Ayah yang

(66)

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 29,97% ayah di Yogyakarta menerapkan perspektif tradisional dan perspektif modern diterapkan sebanyak 55,01%.

Prosentase sebesar 29,97% pada perspektif tradisional menunjukkan bahwa perspektif tradisional masih diterapkan atau masih muncul. Prosentase sebesar 55,01% pada perspektif modern menunjukkan bahwa perspektif modern juga diterapkan oleh ayah di Yogyakarta bahkan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini berarti bahwa dengan seiring berjalannya waktu, peran ayah di Jawa khususnya di Yogyakarta mengalami perluasan ke perspektif modern. Sekarang ini peran ayah di Yogyakarta tidak hanya sebatas pada peran-peran pada perspektif tradisional saja tetapi sudah cenderung mengarah ke peran-peran pada perspektif modern. Adanya kecenderungan yang lebih besar pada penerapan perspektif modern memperlihatkan bahwa hal ini sama dengan budaya-budaya di Barat yang sudah cenderung menerapkan perspektif modern. Hal ini didukung oleh artikel yang ditulis oleh divisi Families

American Psychological Association (2010) yang menuliskan bahwa 20

sampai 30 tahun terakhir ini ayah pada masa modern tidak lagi selalu sebagai ayah yang bertugas mencari nafkah dan pendisiplin tetapi juga sebagai ayah yang merawat anak-anaknya atau sebagai caregiver.

(67)

Shwalb, dkk (2004) di Jepang, Cina dan Korea tidak menunjukkan akan hal ini. Ayah di Jepang masih lebih tradisional dan terasing dari kehidupan keluarga sehingga memiliki sedikit kontak dengan anaknya dan tidak terlibat dengan anak. Selain itu, ayah di Jepang juga termasuk ayah yang egosentris dan keras kepala. Di Cina, ayah lebih mengontrol anak-anaknya (Ho; Yamamoto) dan di Korea ayah relatif tidak terlibat dengan anak (Nihon Joshi Shakai Kyoiku Kai). Berbeda dengan Taiwan, ayah terlibat dalam kehidupan anak dan dipandang sebagai figur yang lembut tetapi tetap dihormati (Fukaya). Pengasuhan yang diberikan atau diterapkan di Jepang, Cina dan Korea mungkin berbeda dari budaya Barat. Hal ini dapat disebabkan oleh nilai-nilai yang dianut dan kognisi yang mungkin berelasi dengan perbedaan gaya pengasuhan (Shwalb, 2004).

(68)

lebih banyak menghabiskan waktu dalam area tradisional seorang laki-laki, yaitu bekerja di luar rumah.

Penambahan atau perluasan peran selanjutnya adalah ayah yang mengurusi dan merawat anak yang dahulu atau secara tradisional peran ini dilakukan oleh ibu. Adanya penambahan peran ini didukung oleh artikel yang ditulis oleh divisi Families American Psychological Association (2010) yang menuliskan bahwa dalam 20 – 30 tahun terakhir ini banyak peneliti yang berfokus pada figur ayah menemukan kenyataan bahwa peran ayah pada masa modern ini tidak lagi selalu ayah yang bertugas sebagai pencari nafkah dan pendisiplin tetapi juga sebagai ayah yang merawat anak-anaknya atau caregiver. Penambahan peran ayah dimasa modern ini menurut National Institude of Child Health and Human

Development (NICHD) dalam artikel yang sama, disebabkan oleh waktu

yang digunakan ibu untuk bekerja di luar rumah lebih lama daripada ibu yang lain, jam kerja ayah lebih sedikit dari jam kerja ayah–ayah yang lain, dan ayah memiliki karakteristik psikologis yang positif seperti mempunyai self esteem yang tinggi dan tingkat depresi yang rendah. Selain itu, ayah juga akan lebih terlibat dalam merawat anak-anaknya ketika anaknya adalah laki-laki.

(69)

at home”. Dalam kenyataannya angka ayah yang tinggal di rumah meningkat dengan cepat, yaitu sebanyak 50% diantara tahun 2003 dan 2006. Walaupun meningkat dengan cepat, adanya tradisi baru pada figur ayah ini tidak lepas dari konfrontasi. Hal ini disebabkan karena menurut norma sosial, ayah seharusnya berperilaku secara maskulin. Walaupun begitu, banyak dari ayah-ayah ini tidak merasa terikat dengan norma-norma sosial tersebut dan justru merasa nyaman dengan memberi afeksi dan merawat anak – anaknya, yang seharusnya secara tradisional hal itu merupakan perilaku feminim.

Ragam persepsi yang muncul dapat pula dilihat secara positif atau negatif berdasarkan dampak yang diberikan kepada anak. Beberapa referensi mengungkap dampak-dampak yang diberikan oleh peran ayah yang positif. Dampak tersebut antara lain, IQ anak yang lebih tinggi, kemampuan bahasa yang lebih baik, memiliki emotional secure, memiliki hubungan sosial yang lebih baik, dan berkontribusi dalam pembentukan identitas gender (Awilcox & Bradford, 2006).

(70)

muncul tersebut dipengaruhi oleh faktor pengalaman dan pengetahuan pada anak (Wade & Tavris, 2007).

Beberapa peran ayah yang digolongkan sebagai peran yang positif atau negatif didasarkan pada dampak-dampak yang diberikan dalam bidang prestasi akademik, kemampuan kognitif, psikologis dan sosial. Menurut Awilcox dan Bradford (2006), peran ayah yang mengurusi dan merawat anak atau caregiving akan menghasilkan anak dengan IQ lebih tinggi, dan kemampuan bahasa serta kognitif yang lebih baik. Selain itu, anak juga akan lebih sabar dan dapat menangani tekanan-tekanan dan frustasi yang berhubungan dengan sekolah. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Departemen Pendidikan Amerika Serikat tahun 2001 yang menemukan bahwa sebanyak 43% anak mampu mengikuti pelajaran dengan baik di sekolah oleh karena ayahnya sering terlibat dalam kegiatan sehari-hari anaknya, sedangkan 33% anak tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik sehingga harus mengulang tingkat atau tinggal kelas karena ketidakterlibatan ayah dalam keseharian anak.

(71)

bersama dengan anaknya atau melakukan kegiatan bersama anak juga mempunyai dampak yang penting bagi emosi dan perkembangan sosial anaknya. Dalam bermain dengan anaknya ayah akan lebih banyak berinteraksi secara tatap muka. Dari interaksi-interaksi tersebut, anak akan belajar bagaimana mengatur perasaan dan perilaku mereka, bagaimana menghadapi atau mengambil sikap terhadap dorongan-dorongan agresif dan kontak fisik tanpa kehilangan kontrol emosi. Dalam studi lainnya, ditemukan bahwa ketika anak mempunyai relasi atau hubungan yang baik dengan ayahnya mereka hanya akan mengalami sedikit pengalaman depresi, sedikit menunjukkan perilaku yang mengganggu dan akan lebih menunjukkan perilaku yang prososial. Selain itu, dituliskan juga bahwa anak laki-laki dengan ayah yang ikut terlibat akan memiliki sedikit masalah perilaku di sekolah dan untuk anak perempuan, mereka akan memiliki self esteem atau harga diri yang kuat. Dampak positif lain dari anak yang tinggal bersama dengan ayahnya adalah anak akan mempunyai fisik dan kesehatan emosional yang bagus serta menghindari hal-hal negatif seperti obat-obatan terlarang, kekerasan dan perilaku yang menyimpang.

(72)

perbedaan anatomi seksual. Peran ayah dalam membantu anak untuk membedakan anatomi seksual tersebut merupakan suatu bentuk kontribusi yang utama dan penting untuk membentuk identitas gender.

Melihat dari uraian di atas, berarti ayah yang tidak hadir atau menemani-mengabaikan-tidak dekat dengan anak-mementingkan pekerjaan, tidak menyayangi anak, memiliki sifat buruk, tidak berdaya, dilayani dan bahkan memberikan hukuman dapat memberikan dampak yang negatif pada perkembangan anak.

(73)

56 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Persepsi-persepsi yang muncul mengenai figur ayah dapat dilihat secara tradisional dan modern. Figur ayah yang tradisional tampak pada persepsi ayah yang mencari nafkah, ayah yang bekerja dan menjalankan otoritasnya serta tidak terlibat atau tidak dekat dengan anak. Figur ayah yang modern tampak pada persepsi ayah yang bekerja tetapi tetap terlibat atau dekat dengan anak, ayah yang mengurusi-merawat anak dan terlibat dengan anak serta ayah yang memberikan perhatian atau telibat dalam kegiatan bersama anak.

Pada masa sekarang ini, perspektif modern merupakan perspektif yang paling banyak digunakan atau diterapkan oleh figur ayah. Walaupun begitu, perspektif tradisional juga masih diterapkan oleh figur ayah. Hal ini menunjukkan bahwa peran ayah sekarang ini mengalami perluasan, yaitu tidak hanya menggunakan atau menerapkan perspektif tradisional saja tetapi juga telah cenderung lebih banyak menerapkan perspektif modern.

(74)

memegang otoritas, hadir atau menemani-melakukan kegiatan bersama anak atau terlibat dengan anak serta mengurusi dan merawat anak. Persepsi yang memberikan dampak yang negatif antara lain, ayah yang mengabaikan atau melakukan sesuatu yang buruk pada anak serta ayah yang bersantai dan tidak terlibat atau tidak dekat dengan anak.

Selain dapat dilihat dengan perspektif di atas, ada beberapa persepsi yang agak khusus, yang bersifat ambivalen. Seperti misalnya ayah dilihat sebagai ayah yang terlibat dalam keluarga atau bersama anak tetapi juga kurang memperhatikan anak (5%).

B. Saran

1. Bagi penelitian selanjutnya

Mengingat dalam melakukan penelitian ini masih terdapat keterbatasan-keterbatasan maka berkaitan dengan keterbatasan pada objektifitas interpretasi terhadap cerita, maka disarankan untuk menggunakan lebih dari dua interpreter. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan ojektifitas sehingga interpretasi menjadi lebih akurat dan objektif.

(75)

sehingga data yang didapatkan dapat lebih mendalam jika dibandingkan dengan hanya menggunakan metode dokumen.

2. Bagi masyarakat khususnya orang tua Adapun saran yang dapat diberikan, yaitu:

Gambar

Tabel 1. Deskripsi Usia Subjek Penelitian .........................................................
gambar tetapi tidak disebutkan dalam cerita.
Tabel 1 Deskripsi Usia Subjek Penelitian
Tabel 3 Jumlah Kartu yang Muncul
+3

Referensi

Dokumen terkait

Merujuk data di tahun 2014, potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus mengindikasikan pada perebutan sumberdaya dan situasi sosial keamanan ditengah masyarakat

Dari uraian di atas disimpulkan bahwa pengembangan badan keramik stoneware dengan metode line blend yang merupakan campuran dua bahan tanah liat Bojonegoro dan abu

Hasil penelitian lain menurut Masturoh (2014) menunjukan bahwa ibu hamil dengan usia < 20 tahun dan > 35 tahun mempunyai resiko terjadi pre eklampsi 7,9

Dan untuk keterampilan berbicara bahasa Jawa krama ragam krama lugu siswa persentase meningkat dari 57,8% dengan kriteria baik (siklus I) menjadi 85% dengan kriteria sangat

tu, maupun batu lainnya (Sukendar, 1986: 171). Masyarakat Jeneponto, rupanya su- dah sejak lama mengenal susunan batu ya- ng demikian itu. Ada yang dibuat untuk

Gambar 4.17 Tampilan Layar Estimasi Level Mortalitas Penduduk Pria Sumatera Utara Tahun 2000 Menggunakan Data Anak Laki-laki. 93 Gambar 4.18 Tampilan Layar General Life Table

Setelah wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar diidentifikasi dengan cara melakukan delineasi batas berdasarkan data-data yang telah dianalisis, yang berupa kampung- kampung terluar

Hulmansyah, Huda, dan Bayu, Analisis Pengaruh Kepemimpinan ... menunjukkan nilai koefisien estimasi standar antar variabel laten dan nilai t signifikansi setelah dilakukan