BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Dalam era pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sekarang ini, transaksi jual beli barang dan jasa semakin meningkat keberadaannya, dimana dalam transaksi tersebut terdapat dua subjek hukum yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya sehingga terjadi suatu hubungan hukum jual beli barang dan/atau jasa , satu subjek hukum berperan sebagai pihak yang menjalankan aktifitas usaha dengan memproduksi dan/atau menjual barang dan/atau jasa dinamakan sebagai Produsen/Pelaku Usaha dan satu subjek hukum berperan sebagai pihak yang membutuhkan dengan membeli barang dan/atau jasa dinamakan sebagai Konsumen.
Dalam hubungan hukum tersebut walaupun terdapat suatu kebutuhan yang
saling betergantungan, namun dalam kenyataan sehari-hari sering ditemukan
kedudukan antara Pelaku Usaha dan Konsumen tersebut tidak berimbang, dalam hal
mana Pelaku Usaha mempunyai posisi yang lebih dominan daripada Konsumen, hal
ini dapat terlihat ketika Konsumen membutuhkan suatu barang dan/atau jasa,
terkadang dihadapkan pada suatu kondisi dimana Konsumen tidak bisa menentukan
pilihan atau menawar, karena Pelaku Usaha sudah menerapkan standar transaksi baku
yang sudah disiapkan dan diatur oleh Pelaku Usaha melalui suatu perjanjian baku
yang tentunya perjanjian ini hanya menguntungkan Pelaku Usaha saja dengan mengabaikan hak dan kepentingan konsumen, sehingga dalam kondisi tersebut diatas posisi konsumen demikian lemah dan terkadang cenderung dirugikan.
Posisi konsumen sebagai pihak yang lemah diakui secara internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB, No. A/RES/39/249 Tahun 1985 tentang Guidelines For Consumer Protection yang menyatakan bahwa :
“Taking into account the interests and needs of consumers in all countries, particularly those in developing countries, recognizing that consumers often face imbalances in economics term, educational levels, and bargaining power, and bearing in mind that consumers should have the right of access to non hazard ous products, as well as the right to promote just, equaitable and sustainable and social development.”
1Sehubungan dengan posisi yang lemah tersebut terdapat tiga agenda yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah masing-masing yaitu :
1. Pemerintah harus menetapkan perangkat-perangkat hukum dan administratif yang memungkinkan konsumen atau organisasi-organisasi terkait lainnya untuk memperoleh penyelesaian melalui prosedur-prosedur formal dan informal yang cepat (expeditious), adil (fair), murah (inexpensive), dan terjangkau (accessible) untuk menampung, terutama kebutuhan-kebutuhan konsumen berpenghasilan rendah (the needs of low income consumers).
_____________________
1. Resolusi Majelis Umum PBB, No.A/RES/39/248 Tahun 1985 tentang Guidelines for Consumer Protection,dalam buku Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen, Susanti Adi Nugroho,2008, Praneda Media Group:Jakarta, hlm 2
2. Pemerintah harus mendorong semua pelaku usaha (enterprises) untuk menyelesaikan sengketa-sengketa konsumen dengan secara adil,murah dan informal, serta menetapkan mekanisme sukarela (voluntary mechanism), termasuk jasa konsultasi (advisory sevices) dan prosedur penyelesaian informal (informal complaints procesdures) yang dapat membantu konsumen.
3.
Tersedia informasi penyelesaian ganti rugi dan prosedur penyelesaian
sengketa lainnya bagi konsumen.
2Oleh karena itu, kehadiran Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diharapkan dapat memberikan iklim yang sehat dalam aspek perlindungan konsumen di Indonesia, dimana sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 yang dimaksud Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Sebagaimana diamanatkan dalam UUPK, pasal 4 butir e bahwa : Hak Konsumen adalah untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Untuk menjamin hak sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan undang-undang dimaksud diatas, dalam pasal 49 UUPK ditentukan bahwa Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di daerah tingkat II sebagai badan penyelesaian di luar pengadilan untuk kepentingan perlindungan terhadap konsumen.
_______________________________
2. Ibid.,hlm 4