• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "3 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

16

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Garut yang secara geografis terletak pada -60 57‟ 34”-70 44‟ 57” Lintang Selatan dan 1070 24‟ 33”-1080 7‟ 34” Bujur Timur.

Lokasi penelitian difokuskan pada kecamatan-kecamatan pesisir yang termasuk dalam Kawasan Strategi Kabupaten (KSK) Lintas Jabar Selatan meliputi tujuh kecamatan yaitu Kecamatan Caringin, Kecamatan Bungbulang, Kecamatan Mekarmukti, Kecamatan Pakenjeng, Kecamatan Cikelet, Kecamatan Pameungpeuk dan Kecamatan Cibalong. Penelitian dilaksanakan pada Bulan April-Oktober 2013.

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder meliputi:

(1) Data Potensi Desa (PODES) Kecamatan Pesisir Tahun 2011. Data yang digunakan adalah (a) data jarak wilayah ke pusat pelayanan, (b) data jumlah dan jenis sarana kesehatan, (c) data jumlah dan jenis sarana pendidikan, (d) data sarana transportasi, (e) data jumlah dan jenis sarana komunikasi, (f) data jumlah dan jenis industri, (g) data jumlah dan jenis sarana perdagangan, (h) data jumlah dan jenis koperasi serta (i) data jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kredit/perbankan. Data diperoleh dari BPS Kabupaten Garut.

(2) Data indikator perkembangan sektor-sektor ekonomi Kabupaten Garut. Data yang digunakan adalah data PDRB Kabupaten Garut Tahun 2011 atas dasar harga konstan Tahun 2000 yang merupakan data paling baru berdasarkan laporan BPS Tahun 2012.

(3) Data indikator perkembangan sektor-sektor ekonomi kecamatan di Kabupaten Garut. Data yang digunakan adalah data PDRB tiap Kecamatan di Kabupaten Garut Tahun 2007 atas dasar harga konstan tahun 2000. Data ini merupakan data PDRB terbaru yang dirilis BPS karena sejak Tahun 2009, BPS tidak lagi mempublikasikan data PDRB per kecamatan.

(4) Data indikator perkembangan sektor-sektor ekonomi kecamatan di wilayah pesisir.Data yang digunakan adalah data PDRB Tahun 2000 dan Tahun 2008 yang merupakan data terakhir berdasarkan kajian BPS terhadap PDRB 9 kecamatan di Kabupaten Garut yang dipublikasikan pada Tahun 2009.

(5) Peta dasar meliputi peta batas administrasi wilayah, peta penggunaan lahan, peta jalan dan peta lainnya. Peta diperoleh dari Bappeda Kabupaten Garut.

Data primer yang digunakan adalah data preferensi responden. Data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner untuk mengetahui pendapat responden terkait sarana pelayanan publik dan faktor-faktor produksi yang perlu ditingkatkan.

Responden yang dimaksud adalah stakeholder yang terdiri dari unsur pemerintahan serta pengguna atau mereka yang menerima manfaat/dampak dari

(2)

17 hasil-hasil pembangunan baik dari kalangan swasta maupun masyarakat.

Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode Purposive Sampling.

Alat analisis yang digunakan adalah software pengolah data (Excell, SANNA dan Win4DEAP) serta software pengolah peta (ArcGIS). Jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran yang diharapkan untuk masing-masing tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Bagan Alir Penelitian disajikan pada Gambar 3.

Tabel 1 Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Keluaran

No. Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis

Output yang diharapkan

1. Mengetahui Tingkat Perkembangan Ekonomi Kecamatan Pesisir

Mengetahui perkembangan ekonomi wilayah berdasarkan sebaran (diversitas) tiap sektor.

PDRB

BPS,

BAPPEDA Entropy

Tingkat perkembangan ekonomi wilayah pesisir dibanding wilayah lainnya di

Kab. Garut 2. Mengidentifikasi Sektor Ekonomi Unggulan

a. Identifikasi keunggulan komparatif

PDRB BPS,

BAPPEDA LQ Informasi sektor basis b. Identifikasi

keunggulan kompetitif

PDRB BPS,

BAPPEDA SSA Informasi sektor unggulan 3. Penentuan Hirarki dan Efisiensi Wilayah Pembangunan

a. Mengetahui hirarki wilayah berdasarkan ketersediaan sarana pelayanan

Data Potensi Desa (PODES)

BPS Skalogram

Hirarki perkembangan

wilayah berdasarkan konsep wilayah

nodal

b. Mengetahui efisiensi

pemanfaatan SDM dan SDA

PDRB, serapan tenaga

kerja tiap sektor, luas pemanfaatan

lahan

BAPPEDA,

BPS DEA

Efisiensi pembangunan

wilayah

4. Arahan Pembangunan

Menentukan arahan prioritas

pengembangan wilayah dan pembangunan sektor ekonomi

Hasil analisis dan hasil

tabulasi preferensi responden

Hasil analisis, Kuisioner

Analisis MCDM- TOPSIS

Arahan pembangunan

(3)

18

Metode Analisis Data Analisis Perkembangan Ekonomi Wilayah

Perkembangan suatu wilayah dapat dipahami dari semakin meningkatnya jumlah komponen sistem serta penyebaran (jangkauan spasial) komponen sistem tersebut. Kedua hal tersebut pada dasarnya bermakna peningkatan kuantitas komponen serta perluasan hubungan spasial dari komponen di dalam sistem maupun dengan sistem luar. Suatu sistem dikatakan berkembang jika jumlah dari komponen/aktifitas sistem tersebut bertambah atau aktifitas dari komponen sistem

Gambar 3 Bagan Alir Penelitian

ARAHAN PEMBANGUNAN KECAMATAN WILAYAH PESISIR

PDRB per sektor tiap Kecamatan

Analisis Entropi

Perkembangan Ekonomi Wilayah

PDRB per sektor di Kecamatan

Pesisir

Analisis LQ dan SSA

Persepsi Stakeholder

Keunggulan kompetitif dan komparatif

Data jarak dan jumlah fasilitas

pelayanan (PODES)

Analisis Skalogram

Hirarki Perkembangan

Wilayah

Analisis DEA

Prioritas Wilayah Pembangunan

Analisis Deskriptif

PDRB, luas wilayah, jumlah penduduk, luas

pemanfaatan lahan

Tingkat Efisiensi Pembangunan

Analisis MCDM

Arahan Pengembangan Sektor Ekonomi

(4)

19 tersebar lebih luas. Perkembangan suatu wilayah dapat ditunjukkan dari semakin meningkatnya komponen wilayah, misalnya alternatif sumber pendapatan wilayah dan aktifitas perekonomian di wilayah tersebut, semakin luasnya hubungan yang dapat dijalin antara subwilayah-subwilayah dalam sistem tersebut maupun dengan sistem sekitarnya. Perluasan jumlah komponen aktifitas ini dapat dianalisis dengan menghitung indeks diversifikasi dengan konsep entropy (Panuju dan Rustiadi, 2012).

Prinsip pengertian indeks Entropi adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi Entropi wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Semakin tinggi Entropi semakin berkembang suatu sistem. Entropi selalu lebih besar dari 0 dengan pola hubungan antara peluang komponen dengan nilai Entropinya berbentuk kurva kuadratik dengan nilai maksimum 1/n. Artinya Entropi akan maksimum pada saat peluang di seluruh komponen sama dengan 1/n. Nilai Entropi maksimumnya adalah sebesar ln (n).

Model Analisis Entropi merupakan salah satu konsep analisis yang dapat menghitung tingkat keragaman (diversifikasi) komponen aktivitas. Keunggulan dari konsep ini karena dapat digunakan untuk: (1) memahami perkembangan suatu wilayah, (2) memahami perkembangan atau kepunahan keragaman hayati, (3) memahami perkembangan aktivitas perusahaan, (4) memahami perkembangan aktivitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain. Dalam perkembangannya, metode Entropi juga bisa digunakan sebagai metode pembobotan untuk mengkombinasikan perhitungan analisis kuantitatif dan kualitatif. Entropi dapat digunakan untuk mengukur informasi-informasi dari data yang diperoleh serta besar-kecilnya bobot Entropi dari suatu indikator (Dong dan Gao, 2012).

Persamaan umum Entropi adalah sebagai berikut:

dimana :

S : nilai entropi

Pij : nilai rasio frekuensi kejadian pada kategori ke-i di sub wilayah ke-j terhadap total kejadian di n kategori

i : kategori aktivitas ekonomi ke-i j : kategori wilayah ke-j

n : total kategori i dan j

Jika tabel terdiri dari baris dan kolom yang cukup banyak, maka persamaan untuk menghitung peluang titik pada kolom ke-i dan baris kej adalah :

Pij=Xij/Xij, dimana: i = 1,2,...,p ; j = 1,2,...,q



n

i n

j

ij

ij

P

P S

1 1

ln

(5)

20

Dalam identifikasi tingkat perkembangan sistem dengan konsep Entropi ini berlaku bahwa semakin tinggi nilai Entropi maka tingkat perkembangan suatu sistem akan semakin tinggi. Nilai Entropi selalu lebih besar atau paling tidak sama dengan 0 (S ≥ 0). Jika digambarkan dalam suatu grafik, hubungan antara nilai S dengan seluruh kemungkinan peluangnya akan berbentuk kurva kuadratik seperti pada Gambar 4.

Dari Gambar 4 diketahui nilai maksimum Entropi diperoleh pada saat nilai peluangnya sama dengan 1/n, dimana n adalah jumlah seluruh titik (sektor/

komponen/ jangkauan spasial). Nilai Entropi maksimum tersebut akan sama dengan ln (n). Nilai ln(n) maksimum terjadi dalam kondisi seluruh lokasi dan atau aktifitas memiliki nilai sama. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa seluruh aktifitas berkembang dengan peluang perkembangan yang sama. Sementara itu nilai minimum sama dengan 0 yang terjadi pada saat seluruh aktifitas dan atau seluruh lokasi sama dengan 0.

Dalam penelitian ini, indeks entropi digunakan untuk mengukur perkembangan ekonomi wilayah kecamatan pesisir berdasarkan sebaran (diversitas) PDRB tiap sektor. Data yang digunakan adalah data indikator perkembangan sektor-sektor ekonomi tiap Kecamatan. Data yang digunakan adalah data PDRB 42 Kecamatan di Kabupaten Garut hasil kajian BPS dan BAPPEDA Kabupaten Garut yang terakhir dipublikasikan pada Tahun 2008.

Analisis Keunggulan Komparatif dan Keunggulan Kompetitif

Dalam konteks ilmu perencanaan pengembangan wilayah, upaya untuk mengidentifikasi aktivitas ekonomi basis sangat penting untuk memetakan komoditas atau sektor unggulan. Keunggulan komparatif wilayah dapat didekati melalui analisis Location Quotient (LQ). Analisis LQ merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah

Gambar 4 Nilai Entropi pada Berbagai Nilai Peluang

(6)

21 dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Untuk mengetahui keunggulan kompetitif suatu wilayah dapat digunakan analisis shift-share (SSA). Suatu wilayah dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila dalam waktu tertentu mengalami peningkatan dibandingkan dengan wilayah lain (Rustiadi, 2009).

Untuk menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif kecamatan-kecamatan di wilayah pesisir, dalam penelitian ini digunakan data indikator perkembangan sektor-sektor ekonomi tujuh kecamatan pesisir dengan menggunakan data PDRB. Data yang digunakan adalah data PDRB tahun 2000 dan Tahun 2008 (data terakhir yang dikeluarkan BPS Kabupaten Garut).

1) Analisis Location Quotient (LQ)

Analisis LQ dapat digunakan untuk melihat sektor basis atau non basis pada suatu wilayah perencanaan dan dapat mengidentifikasi sektor basis atau keunggulan komparatif suatu wilayah (Rustiadi et al., 2011). Metode analisis LQ pada penelitian ini. menggunakan data PDRB per sektor dari tiap sub-wilayah.

Metode LQ dirumuskan sebagai berikut :

Dimana :

LQij : Indeks kuosien lokasi sub-wilayah i untuk sektor j.

Xij : PDRB masing-masing sektor j di sub-wilayah i.

Xi. : PDRB total di sub-wilayah i.

X.j : PDRB total sektor j di wilayah.

X.. : PDRB total seluruh sektor di wilayah.

Perhitungan nilai indeks LQ menggunakan beberapa asumsi berikut: (1) digali dari kondisi geografis wilayah yang menyebar relatif seragam, (2) pola-pola aktifitas di seluruh unit analisis bersifat seragam, dan (3) produk yang dihasilkan dari setiap aktifitas sama dan diukur dalam satuan yang sama. Implikasi dari asumsi tersebut adalah bahwa seluruh data representasi aktifitas yang diukur dapat dijumlahkan dan nilai penjumlahannya bermakna. Beberapa catatan untuk menginterpretasikan hasil analisis LQ, adalah sebagai berikut:

1. Jika nilai LQij > 1, maka terdapat indikasi konsentrasi aktifitas ke-j di sub wilayah ke-i atau terjadi pemusatan aktifitas ke-j di sub wilayah ke-i. Dapat juga diterjemahkan bahwa wilayah ke-i berpotensi untuk mengekspor produk aktifitas ke-j ke wilayah lain karena secara relatif produksinya di atas rata-rata produksi di seluruh cakupan wilayah analisis.

2. Jika nilai LQij = 1, maka sub wilayah ke-i mempunyai pangsa aktifitas ke-j setara dengan pangsa sektor ke-j di seluruh wilayah. Jika diasumsikan sistem perekonomian tertutup, dimana pertukaran produk atau perdagangan hanya terjadi dalam wilayah yang dianalisis dan bisa dicukupi secara internal dalam cakupan wilayah tersebut, maka wilayah i secara relatif mampu memenuhi

X X

X LQ X

J I IJ IJ

..

.

.

/

 /

(7)

22

kebutuhan internalnya, namun tidak memiliki surplus produksi yang potensial bisa diekspor ke wilayah lain.

3. Jika LQij < 1, maka sub wilayah ke-i mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan pangsa aktifitas ke-j di seluruh wilayah, atau pangsa relatif aktifitas ke-j di wilayah ke-i lebih rendah dari rataan aktifitas ke-j di seluruh wilayah.

2) Shift Share Analysis (SSA)

Menurut Bowen (2012), Shift Share Analysis (SSA) biasanya digunakan sebagai analisis yang sensitif terhadap periode waktu, regionalisasi dan agregasi level industri. Saat ini teknik SSA banyak digunakan karena kesederhanaan prosedurnya sehingga mudah dipahami oleh mereka yang mendapatkan pelatihan minimal dalam analisis kuantitatif. SSA sangat bermanfaat untuk membandingkan antara ekonomi regional dengan nasional serta mengidentifikasi sektor yang paling pesat tumbuh atau paling lambat berdasarkan pola nasional.

Shift Share Analysis merupakan salah satu analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu yang dibandingkan dengan suatu referensi (cakupan wilayah yang lebih luas) dalam dua titik waktu, juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah tertentu serta menjelaskan kinerja aktivitas tertentu di wilayah tertentu. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis, yaitu :

1. Komponen Laju Pertumbuhan Total (komponen regional share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah.

2. Komponen Pergeseran Proporsional (komponen proportional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif,dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah.

3. Komponen Pergeseran Diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/

ketakunggulan) suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain.

Persamaan SSA adalah sebagai berikut :

dimana :

a : Komponen share

b : Komponen proportional shift





 





 





 

X

X X

X X

X X

X X

SSA X

t j

t j

t ij

t ij

t t

t j

t j

t t

) 0 ( .

) 1 ( . ) 0 (

) 1 ( )

0 (

) 1 ( )

0 ( .

) 1 ( . )

0 (

) 1 (

..

..

..

..

1

a b c

(8)

23 c : Komponen differential shift

X.. : Nilai total aktivitas dalam total wilayah

X.j : Nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah Xij : Nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah tertentu t1 : Titik tahun akhir

t0 : Titik tahun awal

Pergeseran nilai PDRB per-sektor menggambarkan pergeseran daya tarik suatu sektor dalam meningkatkan produksi sekaligus untuk meningkatkan serapan tenaga kerja. Data yang digunakan dalam analisis SSA adalah data PDRB per- sektor di wilayah kecamatan pesisir dalam dua titik tahun yaitu Tahun 2000 dan Tahun 2008. Data ini merupakan data terakhir PDRB kecamatan di wilayah pesisir yang dipublikasikan BPS Kabupaten Garut pada Tahun 2009.

Analisis Hirarki dan Efisiensi Wilayah Pembangunan

Untuk menetapkan prioritas wilayah pembangunan, dalam penelitian ini digunakan dua metode analisis yaitu analisis hirarki wilayah dengan menggunakan metode skalogram dan analisis efisiensi wilayah menggunakan DEA (Data Envelopment Analysis). Analisis Skalogram digunakan untuk menentukan prioritas wilayah pembangunan desa di tiap kecamatan berdasarkan ketersediaan jumlah dan jenis sarana pelayanan. Sementara analisis DEA digunakan untuk menentukan prioritas wilayah pembangunan kecamatan berdasarkan tingkat efisiensi wilayah.

1) Analisis Skalogram

Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan wilayah, perlu diidentifikasi wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan yang mampu menggerakan ekonomi wilayah di sekitarnya. Melalui pendekatan konsep wilayah nodal, dapat diketahui wilayah yang menjadi pusat-pusat (inti) dan wilayah yang menjadi pendukung (hinterland). Asumsi yang digunakan adalah bahwa penduduk mempunyai kecenderungan untuk bergerombol di suatu lokasi dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang secara relatif terbaik untuk komunitasnya.

wilayah dengan fasilitas umum terlengkap memiliki kecenderungan sebagai pusat bagi wilayah di sekitarnya.

Metode yang banyak digunakan untuk menentukan hierarkhi wilayah adalah analisis struktural berdasarkan Guttman Scales. Metode ini mengidentifikasi hierarkhi pusat dari fasilitas umum yang dimiliki suatu wilayah. Identifikasi dan perankingan yang dilakukan didasarkan pada tingkat kelengkapan fasilitas yang ada di suatu wilayah dan membandingkannya dengan wilayah lain.

Salah satu metode yang merupakan gabungan atau penyederhanaan dari Guttman Scales adalah metode Skalogram. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap unit wilayah didata dan disusun dalam satu tabel. Metode skalogram ini bisa digunakan dengan menganalisis jumlah fasilitas yang dimiliki oleh setiap wilayah, atau menganalisis ada/tidaknya fasilitas tersebut di suatu wilayah (Saefulhakim, 2004)

(9)

24

Penyusunan tabel skalogram menggunakan asumsi bahwa masing-masing fasilitas mempunyai bobot dan kualitas yang bersifat indifferent. Proses analisis skalogram didasarkan pada struktur tabel sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.

Rumus umum analisis skalogram berdasarkan Indeks Hirarki adalah sebagai berikut:

Indeks Hirarki( 1) ( . )

ak F n

I n

k ik



dimana :

ak

n adalah bobot fasilitas/faktor penentu hirarki.

Tahap-tahap dalam penyusunan skalogram adalah sebagai berikut:

1. Menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam unit-unit wilayah. Fasilitas yang tersebar merata di seluruh wilayah diletakkan dalam urutan paling kiri dan seterusnya sampai fasilitas yang terdapat paling jarang penyebarannya di dalam seluruh unit wilayah. Angka yang dituliskan adalah jumlah fasilitas yang dimiliki setiap unit wilayah.

2. Menyusun wilayah sedemikian rupa dimana unit wilayah yang mempunyai ketersediaan fasilitas paling lengkap terletak di susunan paling atas, sedangkan unit wilayah dengan ketersediaan fasilitas paling tidak lengkap terletak di susunan paling bawah.

3. Menjumlahkan seluruh fasilitas secara horizontal baik jumlah jenis fasilitas maupun jumlah unit fasilitas di setiap unit wilayah.

Tabel 2 Struktur Tabel Analisis Skalogram

No Sub- Wilayah

Pendd

k

Infrastruktur

Fasilitas

 Total Jenis Fasilitas

Rasio Jenis Fasilitas

Indeks Hirarki F1 F2 F3 ..Fk... Fm

1 B1 F11 F12 F13 F1k F1m m #

kFk C1 C1/m Σ (F1.k) *(n/ ak)

2 B2 F21 . C2 C2/m

3 B3 F31 . . .

. . . .

. . .

.

i Bi Fik Ci Ci/m

. .

. .

. .

n Bn Fn1 F2n Fmn

 Wil.

Memiliki Fasilitas

a1 a2 a3 ..ak.. am

Rasio Wil.

Memiliki Fasilitas

a1/

n a2/

n a3/

n ak/

n

Bobot n/

a1 n/

a2 n/

a3 n/

ak

(10)

25 4. Menjumlahkan masing-masing unit fasilitas secara vertikal sehingga

diperoleh jumlah unit fasilitas yang tersebar di seluruh unit wilayah.

5. Dari hasil penjumlahan ini posisi teratas merupakan sub wilayah yang mempunyai fasilitas terlengkap. Posisi terbawah merupakan sub wilayah dengan ketersediaan fasilitas umum paling tidak lengkap.

6. Jika dari hasil penjumlahan dan pengurutan ini diperoleh dua daerah dengan jumlah jenis dan jumlah unit fasilitas yang sama, maka pertimbangan ke tiga adalah jumlah penduduk. Sub wilayah dengan jumlah penduduk lebih tinggi diletakkan pada posisi di atas.

Data yang digunakan dalam analisis skalogram adalah data Potensi Desa (PODES) Kecamatan Pesisir Tahun 2011 yang bersumber dari BPS. Data yang dianalisis terdiri dari: (a) data jarak wilayah ke pusat pelayanan, (b) data jumlah dan jenis sarana kesehatan, (c) data jumlah dan jenis sarana pendidikan, (d) data jumlah dan jenis sarana transportasi, (e) data jumlah dan jenis sarana komunikasi, (f) data jumlah dan jenis industri, (g) data jumlah dan jenis sarana perdagangan, (h) data jumlah dan jenis koperasi serta (i) data jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kredit/perbankan.

2) Data Envelopment Analysis (DEA)

Dalam menetapkan prioritas wilayah pembangunan tingkat kecamatan, salah satunya bisa didekati berdasarkan tingkat efisiensi pembangunan wilayah dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Sejak diperkenalkan pada Tahun 1978, metode DEA mendapatkan perhatian komprehensif baik secara teori maupun aplikasi. Saat ini DEA menjadi alat analisis penting dalam riset terkait ilmu manajemen, penelitian operasional, sistem enjinering, analisis keputusan dan sebagainya (Wen dan Li, 2009).

Menurut Vazhayil dan Balasubramaniam (2013), analisis DEA banyak digunakan sebagai alat bantu pengambilan keputusan berdasarkan efisiensi suatu unit dalam berbagai bidang analisis. Salah satunya dapat digunakan untuk melakukan analisis efisiensi dalam mengoptimasi kekuatan sektor strategis.

Output yang digunakan diantaranya adalah tingkat pertumbuhan (growth), keberimbangan (equity) dan input yang digunakan bisa berupa biaya yang dikeluarkan (cost) dan hambatan/batasan (barrier) dari sektor tersebut.

DEA adalah sebuah teknik pemrograman matematis yang digunakan untuk mengevaluasi efisiensi relatif dari sebuah kumpulan unit-unit pembuat keputusan (decision making unit/DMUs) dalam mengelola sumber daya (input) dengan jenis yang sama sehingga menjadi hasil (output) dengan jenis yang sama pula, dimana hubungan bentuk fungsi dari input ke output tidak diketahui. Istilah DMU dalam metode DEA ini dapat bermacam‐macam unit, seperti bank, rumah sakit, retail store, dan apa saja yang memiliki kesamaan karakteristik operasional (Purwanto, 2006).

Data Envelopment Analysis (DEA) merupakan linier programming berbasis metode non-parametrik untuk menduga efisiensi relatif dari unit pengambilan keputusan. DEA membuat batasan fungsi frontir dengan membandingkan antara rasio multi input dengan multi output dari unit sejenis yang diambil dari hasil

(11)

26

pendugaan. DEA pertama kali diperkenalkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes pada Tahun 1978 (Bayyurt dan Yilmaz, 2012).

Model matematis umum metode DEA yang biasa digunakan dalam mengukur efisiensi relatif suatu DMU dibandingkan DMU sejenis dapat dituliskan sebagai berikut :

Min θ Subject to n

Σ xij λj ≤ θxi0 i = 1, 2, …, m ; j=1

n

Σ yrj λj ≥ yi0 r = 1, 2, …, s ; j=1

n

Σ λj ≥ 0 i = 1, 2, …, n ; j=1

Dalam metode DEA, data nilai input dan output adalah nilai angka tak terbatas yang nilainya tergantung satuan masing-masing. Misalnya, input jumlah tenaga kerja dalam orang maupun jumlah jam kerja dalam satuan detik yang nilainya dari satu sampai tak terhingga.Setiap DMU memiliki bobot input dan output yang memaksimumkan skor efisiensi. Secara umum, suatu DMU dianggap efisien jika skornya 1. Jika skornya dibawah satu, maka DMU tersebut dianggap tidak efisien. Untuk setiap DMU yang tidak efisien, DEA mengidentifikasi sejumlah DMU efisien terhubung yang bisa dijadikan acuan (benchmark) untuk peningkatan. DEA juga menghitung peningkatan-peningkatan input maupun output yang dibutuhkan untuk membuat sebuah DMU menjadi efisien (Talluri, 2000). Kanellopoulos et al. (2012) menggambarkan contoh sederhana analisis

Gambar 5 Grafik Representasi Satu Input dan Satu Output DEA Keterangan:

N : jumlah DMU m : jumlah input s : jumlah output

xij : nilai input ke-I DMU j yrj : nilai output ke-s DMU j λj : bobot DMU j untuk DMU yg dihitung

(12)

27 efisiensi DEA dengan menggunakan satu input dan satu output seperti pada Gambar 5.

Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa DMU A dan B merupakan DMU yang efisien (skor 1), DMU C efisien tetapi lemah karena membutuhkan input yang besar, sementara DMU D berada dibawah garis frontir sehingga dianggap tidak efisien dibanding DMU lainnya (Skor kurang dari 1). Agar efisien, DMU D bisa direfleksikan ke titik F yang merupakan kombinasi DMU A dan B yang memiliki output yang sama dengan titik D tetapi dengan input yang lebih sedikit. Titik D juga bisa diproyeksikan ke titik H (kombinasi antara DMU B dan C) yang memiliki input sama tapi dengan output yang lebih tinggi. Agar DMU D menjadi efisien, efisiensi berorientasi input dihitung dengan rumus θ–GF/GD. Sementara efisiensi orientasi output dihitung dengan rumus θ–ID/IH.

Menurut Hadinata dan Manurung (2010), pada dasarnya prinsip kerja model DEA adalah membandingkan data input dan output dari suatu organisasi data (Decision Making Unit-DMU) dengan data input dan output lainnya pada DMU yang sejenis. Perbandingan ini dilakukan untuk mendapatkan suatu nilai efisiensi.

Model DEA digunakan sebagai perangkat untuk mengukur kinerja dan memiliki keunggulan dibandingkan model lain. Keunggulan tersebut antara lain:

1. Model DEA dapat mengukur banyak variabel input dan variabel output;

2. Tidak diperlukan asumsi hubungan fungsional antara variabel-variabel yang diukur;

3. Variabel input dan output dapat memiliki satuan pengukuran yang berbeda.

Dalam penelitian ini, analisis DEA digunakan dengan tujuan untuk melihat wilayah mana yang yang efisien dan wilayah mana yang kurang efisien. Dari analisis ini dapat ditentukan wilayah-wilayah mana yang kurang efisien dan perlu diprioritaskan dalam pembangunan dengan mengacu pada wilayah yang efisien.

DMU (Decision Making Unit) dalam penelitian ini adalah tujuh kecamatan pesisir sebagai alternatif unit wilayah yang akan dianalisis dari sisi efisiensinya.

Selanjutnya ditetapkan kriteria-kriteria sebagai pembatas dalam menentukan wilayah mana yang memiliki kinerja paling efisien.

Kriteria untuk menentukan efisiensi wilayah digunakan kriteri output berupa hasil capaian pembangunan yaitu capaian PDRB tiap kecamatan. Kriteria input yang digunakan terdiri dari data serapan tenaga kerja tiap sektor dan data luas pemanfaatan lahan berdasarkan data BPS Kabupaten Garut Tahun 2011.

Arahan Pembangunan Wilayah dan Sektor Ekonomi

Penetapan arahan pembangunan kecamatan di wilayah pesisir dalam penelitian ini digunakan data hasil analisis dan data hasil tabulasi preferensi stakeholder. Tujuannya adalah untuk melakukan pemilihan alternatif keputusan terkait arahan pembangunan berdasarkan kriteria terbaik dengan menggunakan analisis MCDM (Multi Criteria Decision Making) dengan metode TOPSIS.

Untuk melihat sejauhmana preferensi masyarakat terkait kriteria dan alternatif pengambilan keputusan yang harus dilakukan dalam mendorong pengembangan ekonomi wilayah pesisir, dilakukan dengan analisis deskriptif

(13)

28

berdasarkan hasil tabulasi responden. Data diperoleh melalui teknik kuesioner dengan penyebaran angket untuk mengetahui pendapat responden terkait arahan pembangunan di wilayah pesisir. Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2005), kuesioner atau angket adalah teknik pengumpulan data dengan menyerahkan atau mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi sendiri oleh responden.

Hasil kuesioner selanjutnya ditabulasikan dan diranking berdasarkan jumlah persentase responden sehingga didapat alternatif dan kriteria arahan pembangunan serta nilai pembobotan untuk setiap kriteria. Pemilihan responden dan penentuan jumlah responden dilakukan dengan metode Purposive Sampling. Responden yang dimaksud adalah stakeholder yang terdiri dari unsur pemerintahan serta pengguna atau mereka yang menerima manfaat/dampak dari hasil-hasil pembangunan baik dari kalangan swasta maupun masyarakat.

Penentuan unsur responden dilakukan berdasarkan penetapan tingkat kepentingan terhadap permasalahan penelitian. Jumlah responden ditentukan berdasarkan tingkat keterwakilan responden sebagai pemangku kepentingan dan penerima manfaat pembangunan yang terdiri dari unsur pemerintah, swasta dan kelembagaan masyarakat dalam proporsi yang sama. Responden dan rinciannya

tertera pada Tabel 3.

Hasil tabulasi persepsi responden selanjutnya digunakan untuk menentukan alternatif pengambilan keputusan terkait arahan pembangunan kecamatan di wilayah pesisir. Pengambilan keputusan adalah proses untuk mencari pilihan terbaik dari seluruh alternatif yang tersedia. Kriteria-kriteria tersebut biasanya bertentangan satu sama lain sehingga kemungkinan tidak ada solusi yang memuaskan semua kriteria secara simultan. Itulah sebabnya, untuk banyak kasus, pengambil keputusan memerlukan pemecahan masalah dengan menggunakan Multi-Criteria Decision-Making (MCDM) (Jahanshahloo et al., 2009).

Menurut Simanaviciene dan Ustinovichius (2010), MCDM secara praktis digunakan dalam sistem pendukung keputusan kuantitatif. Metode ini sangat Tabel 3 Rincian Data Responden

No. Asal Responden Jumlah

(orang) 1. Unsur Pemerintah :

a. Bappeda Kabupaten Garut b. Dinas TPH Kab. Garut c. Disnakkanla Kab. Garut d. Disperindag Kab. Garut e. Badan Penanaman Modal f. Pemerintah Kecamatan Pesisir

1 1 1 1 1 2 2. Unsur Masyarakat (Kelompok Tani, Kelompok

Nelayan, LSM, Ormas)

7

3. Unsur Swasta (UKM, pengusaha) 7

Jumlah Responden 21

(14)

29 berbasis matematis. Metode MCDM berbasis kuantitatif yang umumnya digunakan diantaranya adalah Metode Linear Assignment, Metode Simple Additive Weighting, Metode Hierarchical Additive Weighting, Metode ELECTRE dan metode TOPSIS.

Menurut Shih, et al. (2007), TOPSIS (Technique for Order Performance by Similiarity to Ideal Solution) merupakan teknik yang sangat berguna dalam kaitannya dengan permasalahan pengambilan keputusan multi-atribut atau multi- kriteria di dunia nyata. TOPSIS membantu para pengambil keputusan untuk mengelola permasalahan-permasalahan untuk dipecahkan, menganalisis, membandingkan serta mengurutkan banyak alternatif sehingga dapat diseleksi mana alternatif yang layak untuk dilaksanakan. Berdasarkan pendapat Shih, ada empat kelebihan dari metode TOPSIS dibandingkan dengan metode lainnya yaitu:

(1) Logis dalam merepresentasikan pilihan-pilihan secara rasional;

(2) Sebuah nilai skalar yang dapat menghitung alternatif-alternatif terburuk dan terbaik secara simultan;

(3) Proses komputasi yang sederhana dan dapat diprogram secara mudah;

(4) Penilaian kinerja dari semua alternatif atau atribut dapat divisualisasikan dalam polihedron dan dua dimensi.

TOPSIS pertama kali diperkenalkan oleh oleh Hwang dan Yoon (1981) sebagai metode pengambilan keputusan multi-kriteria (MCDM), yang mengidentifikasi solusi dari pemilihan sejumlah alternatif. TOPSIS menggunakan prinsip bahwa alternatif yang terpilih harus mempunyai jarak terdekat dari solusi ideal positif dan terjauh dari solusi ideal negatif dari sudut pandang geometris dengan menggunakan jarak Euclidean untuk menentukan kedekatan relatif dari suatu alternatif dengan solusi optimal (Zhang, 2011).

Tahapan dalam Metode TOPSIS adalah:

(1) Membuat matriks keputusan yang ternormalisasi

(2) Membuat matriks keputusan yang ternormalisasi terbobot

(3) Menentukan matriks solusi ideal positif dan matriks solusi ideal negatif (4) Menentukan jarak antara nilai setiap alternatif dengan matriks solusi

ideal positif dan negatif

(5) Menghitung kedekatan dengan solusi ideal

(6) Menentukan nilai preferensi untuk setiap Alternatif

Berdasarkan konsep perhitungan dari Jahanshahloo et al. (2009), perhitungan normalisasi matriks keputusan TOPSIS dilakukan dimana nilai normalisasi (

n

ij) dihitung sebagai berikut:

dengan i=1,2,....m; dan j=1,2,...n.

(15)

30

Perhitungan matriks keputusan ternormalisasi terbobot dilakukan dimana pembobotan ditentukan oleh pengambilan keputusan. Nilai bobot ternormalisasi (Vij) dihitung sebagai berikut:

Penentuan matriks solusi ideal positif dan matriks solusi ideal negatif dilakukan dimana solusi ideal positif (A+) dan solusi ideal negatif (A-) dapat ditentukan berdasarkan ranking bobot ternormalisasi (Vij) dengan rumus sebagai berikut:

Penentuan jarak Euclidean antara nilai setiap alternatif dengan matriks solusi ideal positif dan negatif dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

Dasar dari metode Topsis adalah memilih alternatif yang memiliki jarak terdekat ke solusi ideal positif dan memiliki jarak terjauh ke solusi ideal negatif.

Perhitungan kedekatan relatif ke solusi ideal dimana kedekatan relatif alternatif Aj ke A+ didefinisikan sebagai berikut:

Kriteria penetapan prioritas wilayah pembangunan tingkat kecamatan dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan prinsip pemerataan dan keberimbangan ekonomi. Wilayah yang harus diprioritaskan adalah wilayah yang secara ekonomi belum berkembang sehingga diharapkan terjadi keseimbangan pertumbuhan ekonomi antar wilayah. Pemilihan prioritss didasarkan pada 4 kriteria sebagai berikut:

1. wilayah yang memiliki diversitas dan keberimbangan ekonomi yang rendah.Semakin rendah tingkat perkembangan ekonomi wilayah, maka wilayah tersebut semakin diprioritaskan untuk dikembangkan;

dengan i=1,2,....m; dan j=1,2,...n.

dimana

w

i adalah bobot dari atribut atau kriteria ke i dan

untuk j =1,2,....m dimana:

(16)

31 2. wilayah yang memiliki jumlah desa yang kurang berkembang. Semakin banyak jumlah desa yang kurang berkembang (desa Hirarki III), maka wilayah tersebut semakin diprioritaskan untuk dikembangkan;

3. wilayah yang belum efisien dari sisi serapan tenaga kerja. Semakin wilayah tersebut tidak efisien, maka semakin diprioritaskan untuk dikembangkan; dan 4. wilayah yang belum efisien dari sisi pemanfaatan luas lahan. Semakin wilayah tersebut tidak efisien, maka semakin diprioritaskan untuk dikembangkan.

Kriteria digunakan untuk menganalisis pemilihan alternatif pembangunan sarana prasarana adalah:

1. ketersediaan jumlah sarana prasarana di tiap kecamatan. Semakin sedikit jumlah sarana prasarana yang tersedia, maka sarana prasarana tersebut semakin diprioritaskan untuk dipilih;

2. persepsi stakeholder (pemerintah, swasta dan masyarakat. Semakin banyak yang memilih sarana prasarana tersebut, maka sarana prasarana tersebut semakin penting untuk diprioritaskan.

Untuk menetapkan arahan pengembangan ekonomi, pemilihan sektor yang diprioritaskan untuk dikembangan didasarkan pada 4 (empat) kriteria pemilihan alternatif sebagai berikut:

1. Sektor yang dipilih adalah sektor yang unggul secara komparatif di banyak kecamatan. Semakin banyak kecamatan yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tersebut, maka sektor tersebut semakin diprioritaskan untuk dipilih;

2. Sektor yang dipilih adalah sektor yang unggul secara kompetitif di banyak kecamatan. Semakin banyak kecamatan yang unggul secara kompetitif di sektor tersebut, maka sektor tersebut semakin diprioritaskan untuk dipilih, 3. Sektor yang dipilih adalah sektor yang memiliki jumlah serapan tenaga kerja

paling besar. Semakin besar jumlah serapan tenaga kerja di sektor tersebut, maka sektor tersebut semakin diprioritaskan untuk dipilih,

4. Sektor yang dipilih adalah sektor yang paling diminati stakeholder. Semakin banyak sektor tersebut dipilih/diminati responden, maka sektor tersebut semakin diprioritaskan untuk dipilih.

Data yang digunakan adalah data yang terdiri dari (a) tingkat perkembangan ekonomi berdasarkan analisis entropi, (b) keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah berdasarkan hasil analisis LQ dan SSA, (c) perkembangan hirarki desa berdasarkan hasil analisis skalogram, (d) tingkat efisiensi wilayah hasil analisis DEA, (e) jumlah serapan tenaga kerja tiap sektor berdasarkan data BPS Tahun 2011 serta (f) persepsi stakeholder berdasarkan hasil tabulasi responden.

Gambar

Gambar 3 Bagan Alir Penelitian
Gambar 5 Grafik Representasi Satu Input dan Satu Output DEA Keterangan:

Referensi

Dokumen terkait

Kesepakatan bersama yang dibuat antara PT Pelindo II Cabang Cirebon dengan perusahaan Bongkar Muat batu Bara atau pelaku usaha lainnya akan penulis dalami dari

bermacam bentuk, seperti gerakan separatis dan lain-lain, antara lain: Gerakan Separatis dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia yang dimulai dengan

Zat ini diklasifikasikan sebagai sama berbahayanya dengan debu mudah terbakar oleh Standar Komunikasi Bahaya OSHA 2012 Amerika Serikat (29 CFR 1910.1200) dan Peraturan Produk

Memperoleh paling sedikit 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta termasuk pengalaman

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan di atas maka didapat simpulan tidak ada hubungan assosiatif antara gaya belajar dengan hasil

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 pada ayat (2) huruf a dengan ketentuan tidak mengganggu dominasi kawasan yang bersangkutan dan tidak

Dari tabel kecelakaan kerja pada area produksi diatas dapat dilihat kecelakaan yang terjadi adalah Kejepit tangki mixer sebanyak 1 kali, kesetrum mixer sebanyak 3

† Manajer pembelian dan produksi bersama dengan akuntan manajemen menggunakan informasi yang didapat dari langkah 3 sampai dengan langkah menggunakan informasi yang didapat