• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Bukit Abah Menjadi Obyek Ekowisata.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Bukit Abah Menjadi Obyek Ekowisata."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN BUKIT ABAH

MENJADI OBYEK EKOWISATA

OLEH

COKORDA GEDE ALIT SEMARAJAYA

NANIEK KOHDRATA

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR PERTAMANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

1 DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... 1

PENGEMBANGAN BUKIT ABAH MENJADI OBYEK EKOWISATA ... 2

Pendahuluan ... 2

Potensi Bukit Abah dan Wilayah Sekitarnya ... 9

Potensi Fisik ...10

Potensi Sosial, Ekonomi dan Budaya ...13

Keanekaragaman Hayati dan Sumberdaya Alam ...20

Manfaat Ekonomi, Upaya Konservasi, dan Keterlibatan Masyarakat ....24

(3)

2

PENGEMBANGAN BUKIT ABAH MENJADI OBYEK EKOWISATA

Pendahuluan

Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan (ekowisata) dapat

didefinisikan sebagai pengembangan pariwisata yang bertujuan untuk

mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan

manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat. Sedangkan ditinjau dari segi

pengelolaannya, ekowisata dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan

kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan/ atau

daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, secara ekonomi

berkelanjutan disertai upaya-upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat setempat. Jadi ekowisata merupakan suatu bentuk

wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Dengan demikian ekowisata

sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian

ekosistem di areal yang masih alami, dan dengan ekowisata pelestarian alam

dapat ditingkatkan kualitasnya karena desakan dan tuntutan dari para

eco-traveler (Buultjens, 1999).

Ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh organisasi The International

Ecotourism Society (1990) adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami

yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan, melestarikan

kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Semula

ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di daerah

tujuan wisata tetap utuh dan lestari, disamping budaya dan kesejahteraan

masyarakatnya tetap terjaga. Namun dalam perkembangannya, bentuk

ekowisata berkembang di samping wisatawan ingin berkunjung ke area alami,

(4)

3

didefinisikan sebagai bentuk perjalanan bertanggungjawab atau bertualang ke

area alami yang dapat menciptakan industri pariwisata (Sproule, 2000). Bahkan

di beberapa wilayah berkembang suatu pemikiran bahwa aspek pendidikan

sangat diperlukan dalam kegiatan wisata ini. Hal ini seperti didefinisikan oleh

The International Ecotourism Society (1990), bahwa ekowisata adalah wisata

berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan dengan pengelolaan

kelestarian ekologis. Definisi ini memberi penegasan bahwa aspek yang terkait

tidak hanya bisnis seperti halnya bentuk pariwisata lainnya, tetapi lebih dekat

dengan pariwisata minat khusus, alternative tourism atau special interest tourism

dengan obyek dan daya tarik wisata alam. Dalam kaitan itu, strategi pengelolaan

sumber daya alam dan budaya harus berupaya mensinergikan kearifan

tradisional dengan sains dan teknologi modern melalui pemberdayaan

kelembagaan (Linberg dan Hawkins, 2003).

Pendekatan pengelolaan ekowisata adalah konservasi, kelestarian

lingkungan dan keberpihakan kapada masyarakat setempat. Konservasi

dimaksudkan sebagai upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya

alam untuk waktu kini dan masa mendatang, meliputi konservasi alam

(kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan

alam) dan konservasi budaya (peka dan menghormati nilai-nilai sosial-budaya

dan tradisi keagamaan masyarakat setempat). Hal ini sesuai dengan pendapat

Goodwin (1998), bahwa konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan

biosphere dengan berusaha memberikan hasil yang besar dan lestari untuk

generasi kini dan mendatang. Pendekatan lain adalah bahwa ekowisata harus

dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini

adalah : (1) menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis dalam mendukung

sistem kehidupan, (2) melindungi keanekaragaman hayati flora dan fauna, dan

(5)

4

rangka menjamin kelestarian, pemanfaatan areal alam untuk ekowisata

mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan

ini dilaksanakan dengan lebih menitikberatkan pada pelestarian dibanding

pemanfaatan. Selanjutnya pendekatan keberpihakan kepada masyarakat

setempat dimaksudkan agar mereka mampu mempertahankan budaya lokal,

sekaligus kesejahteraannya meningkat dengan melibatkan masyarakat secara

optimal.

Prinsip pengembangan ekowisata adalah menitikberatkan pada

persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem untuk menjamin pembangunan

yang ecological friendly berbasis kerakyatan (commnnity based). Menurut The

International Ecotourism Society (1990) terdapat 8 prinsip yang harus

dipertimbangkan dalam pengembangan ekowisata, yaitu : (1) Mencegah dan

menanggulangi dampak negatif dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan

budaya. Pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter

alam dan budaya setempat; (2) Pendidikan konservasi lingkungan, yaitu

mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi.

Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam; (3) Partisipasi

masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan

pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran

masyarakat diharapkan ikut secara aktif; (4) Menjaga keharmonisan dengan

alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan

utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya

disharmonize dengan alam maka akan merusak produk wisata ekologis ini.

Sebagai contoh, diupayakan untuk menghindari sejauh mungkin penggunaan

minyak tetapi mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya

masyarakat setempat; (5) Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan

(6)

5

buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah

yang membatasi; (6) Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar

kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan

pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi

dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina,

melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam; (7)

Penghasilan masyarakat. Masyarakat setempat harus mendapatkan hasil yang

proporsional, karena keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat

dari kegiatan ekowisata akan mendorong masyarakat menjaga kelestarian

kawasan alam, dan (8) Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap

negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata,

maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh

negara atau pemerintah daerah setempat.

Konsep pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan cara

pengembangan pariwisata pada umumnya. Perbedaannya adalah

pengembangan ekowisata memperhatikan aspek konservasi (konservasi alam

dan budaya), partisipasi masyarakat (perencanaan dan pengembangannya

melibatkan masyarakat setempat secara optimal) dan aspek edukasi (dapat

meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan

sejarah dan budaya serta memberikan nilai tambah dan pengetahuan bagi

wisatawan, masyarakat, dan para pihak yang terkait) disamping

mempertimbangkan aspek ekonomi (dapat memberikan manfaat yang optimal

kepada masyarakat setempat dan berkelanjutan) dan aspek wisata (dapat

memberikan kepuasan dan menambah pengalaman bagi pengunjung).

Ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa

(7)

6

psikologis wisatawan. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi

sehingga ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar (Fandeli, 2000).

Dalam konteks ekowisata, maka sumber daya alam jangan dipandang

hanya sebagai suatu sumber daya, karena ini akan melahirkan pandangan dan

kegiatan-kegiatan yang sifatnya ekstraktif. Akan tetapi sumber daya alam harus

dipandang sebagai aset, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilahirkan akan

bersifat non-ekstraktif dan mengelola sumber daya alam sebagai aset yang miliki

nilai ekonomi tinggi. Pendekatan yang kemudian muncul dan digunakan dalam

pengembangan ekowisata adalah yang bersifat simbiotik, dimana para pelaku

wisata berinteraksi positif dengan kawasan yang dikelolanya dan bukan bersifat

parasitik, seperti yang banyak terlihat di kawasan pariwisata Indonesia

termasuk di Bali.

Selama ini pengembangan pariwisata di Bali lebih diorientasikan pada

peningkatan pendapatan, terutama pendapatan negara (devisa), pendapatan

pemerintah (pajak) dan terlalu diwarnai oleh komersialisme. Dengan kata lain,

pariwisata senantiasa dipersepsikan sebagai instrumen untuk meningkatkan

pendapatan saja, sementara fakta implementasinya sering terlihat

memarginalisasikan masyarakat yang tinggal disekitar daerah tujuan wisata.

Sebagai suatu fenomena yang ditimbulkan oleh salah satu bentuk kegiatan yang

bersifat konsumtif maka pariwisata memang memiliki potensi untuk

peningkatkan pendapatan negara, pendapatan pemerintah baik pusat maupun

daerah, pendapatan dunia usaha, bahkan pendapatan masyarakat, sehingga

mempunyai nilai ekonomi dan nilai komersial yang tinggi. Namun dibalik itu

pariwisata sebenarnya memiliki berbagai potensi lain yang tidak bersifat

ekonomi dan komersial, seperti peningkatan kualitas nilai-nilai sosial budaya,

integritas dan jati diri, perluasan wawasan, persahabatan, konservasi alam dan

(8)

7

pemerintah, sehingga harus dirumuskan suatu kebijakan dan membuat

pendekatan yang berbeda di dalam pengembangan sistem pemanfaatan

keanekaragaman hayatinya, terutama kebijakan dalam pengembangan

pariwisata yang secara langsung memanfaatkan sumber daya alam sebagai aset.

Pengembangan sumber daya alam yang non-ekstraktif, non-konsumtif dan

berkelanjutan perlu diprioritaskan dan dalam bidang pariwisata pengembangan

seperti ekowisata harus menjadi pilihan utama. Oleh karena itu maka sangatlah

tepat bahwa konsep ekowisata dapat dijadikan sebagai salah satu bagian dari

visi dan misi pengembangan pariwisata di Indonesia pada umumnya dan Bali

pada khususnya.

Kabupaten Klungkung memiliki kawasan Bukit Abah yang sangat potensial

untuk dikembangkan sebagai objek ekowisata. Hal tersebut didukung oleh

diversitas berbagai jenis tanaman di lokasi tersebut, termasuk tanaman yang

bernilai sosial budaya, dipadu keindahan panorama alam dengan udara bersih,

sejuk dan segar seperti udara pegunungan padahal lokasinya dekat pantai.

Disamping itu didukung oleh budaya lokal yang kuat dan mudah diakses dari

segala penjuru termasuk dari Ibu Kota Kabupaten dan Ibu Kota Provinsi Bali.

Keberadaan Bukit Abah yang dilengkapi dengan Bumi Perkemahan dan Kebun

Botani Plasma Nutfah (Arboretum) serta dikelilingi oleh kondisi lingkungan

alami merupakan faktor pendukung penting dalam pengembangan obyek

ekowisata. Hal ini sesuai dengan pendapat Fandeli (2000) bahwa destinasi yang

diminati wisatawan eco-treveller adalah daerah alami dan kawasan konservasi

seperti Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dan

Taman Wisata. Kawasan lain seperti hutan lindung, hutan produksi, hutan

rakyat, ekosistem sungai, danau, rawa, gambut, daerah hulu atau muara sungai

(9)

8

untuk pengembangan ekowisata. Namun pendekatan yang harus dilaksanakan

adalah tetap menjaga area tersebut tetap lestari sebagai areal alam.

Berbagai tempat/lokasi di sekitar Bukit Abah di Lingkungan Kecamatan

Dawan memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk mendukung

pengembangan Bukit Abah sebagai obyek ekowisata, seperti budaya kerajinan

keris di Kusamba, keanekaragaman hayati/tanaman kelapa langka di

Pesinggahan, industri kecil dan kerajinan penunjang upakara berbahan baku

sumberdaya alam lokal di Paksebali, Besan, Pikat, Gunaksa, Sulang, dan lain-lain,

proses produksi garam secara tradisional di Goalawah, proses produksi Gula

Merah di Desa Dawan, Bandungan Kali Unda dengan terjunan airnya sebagai

tempat shooting film di Desa Paksebali,wisata spiritual ke Makam Habib Ali di

Kelurahan Kampung Kusamba, dan berbagai atraksi budaya dan ritual

keagamaan di seputar Kecamatan Dawan yang unik dan menarik. Dalam

pengembangan ekowisata, pengelolaan sumberdaya alam, budaya lokal dan

peran keunggulan kearifan tradisional perlu dikedepankan. Geriya (2003)

menyatakan bahwa kearifan tradisional memiliki beberapa keunggulan antara

lain: mengedepankan filosofi harmoni dalam keragaman, bertumpu pada

paradigma keseimbangan yang dinamik, berpola partisipasi masyarakat yang

bersifat bottom up, dan berbasis komunitas dengan dukungan kelembagaan

(tradisional) yang mengkhalayak. Dalam kaitan pengembangan Bukit Abah

sebagai obyek ekowisata maka potensi lokal yang ada di sekitar Bukit Abah

harus dioptimalkan, diberdayakan dan dilestarikan sehingga pengembangan

Bukit Abah dapat terinegrasi dan menjadi satu kesatuan secara holistik dengan

wilayah sekitarnya. Namun demikian, ketangguhan sains, teknologi dan

nilai-nilai baru juga perlu diadopsi untuk memberikan wawasan, manajerial dan

(10)

9

Menurut Hector Ceballos-Lascurain, wisata alam atau pariwisata ekologis

adalah perjalanan ketempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu

atau terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi

dan menikmati pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta

bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau

maupun masa kini. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan

sekaligus melestarikan pontensi sumber-sumber alam dan budaya untuk

dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan. Dengan kata

lain ekowisata adalah kegiatan wisata alam plus plus. Menurut TIES (The

International Ecotourism Society) dalam kegiatan ekowisata terkandung

unsur-unsur kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian

lingkungan dan kesejahtraan penduduk setempat (Anon., 2009).

Menurut Departemen Kehutanan, dalam pengembangan ekowisata perlu

memperhatikan prinsip-prinsip : (a). konservasi, (b) pendidikan, (c) ekonomi,

(d) peran serta masyarakat, dan (e) wisata (Kemungkinan Meningkatkan

Ekowisata. http://www.dephut.go.id/informasi/phpa /EWISATa. htm.)

Potensi Bukit Abah dan Wilayah Sekitarnya

Dalam rincian sebaran kawasan pariwisata yang tertuang dalam Perda

Provinsi Bali No 3 tahun 2005, di wilayah Kabupaten Klungkung antara lain

disebutkan dikembangkannya Objek Daya Tarik Wisata (ODTW) Bukit Abah dan

Gunaksa (Pemerintah Kabupaten Klungkung, 2008) (sumber : Status

Lingkungan Hidup Kab. Klungkung 2008).

Bukit Abah memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obyek

ekowisata karena dilandasi oleh diversitas berbagai jenis tanaman di lokasi

tersebut, termasuk tanaman yang bernilai sosial budaya, dipadu keindahan

(11)

10

padahal lokasinya dekat pantai. Di samping itu didukung pula oleh berbagai

tempat/lokasi di sekitar Bukit Abah di Lingkungan Kecamatan Dawan yang

memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk mendukung pengembangan

Bukit Abah sebagai obyek ekowisata. Dalam rangka mengembangkan Bukit

Abah maka potensi-potensi wilayah sekitarnya ikut diberdayakan dengan

maksud agar pengembangan Bukit Abah dapat terintegrasi dan menjadi satu

kesatuan secara holistik dengan wilayah sekitarnya. Adapun potensi fisik, sosial,

ekonomi dan budaya serta potensi lainnya yang dimiliki Bukit Abah dan wilayah

sekitarnya adalah seperti berikut.

Potensi Fisik

Wilayah Kecamatan Dawan secara geografis terletak didaerah dengan

topografi mulai dari kawasan perbukitan hingga pantai. Kekayaan fisik bentang

alam yang dimiliki Kecamatan Dawan berupa pemandangan topografi yang

sangat beragam dan kaya. Tidak banyak wilayah yang memiliki kondisi alam

semacam ini. Bentuk alam semacam ini juga memungkinkan beragam vegetasi

dapat dijumpai di Kecamatan Dawan. Secara fisik, potensi kawasan Bukit Abah

dan wilayah sekitarnya yang mendukung pengembangan Bukit Abah menjadi

obyek ekowisata seperti berikut.

1. Di Bukit Abah dikembangkan dan dibangun Bumi Perkemahan dan Kebun

Botani (arboretum) yang merupakan bagian dari wisata alam yang

mengandung makna antara lain pendidikan dan pelestarian plasma nutfah.

2. Lokasi bumi perkemahan yang strategis, karena terletak di puncak bukit

yang memiliki nice view . Pemandangan yang spesifik adalah terlihatnya

tiga pulau di Nusa Penida secara terpisah dan berbagai object of interest

lainnya. Lokasi untuk mencapai titik pandang membutuhkan perjalanan

(12)

11

3. Ketersediaan akses jalan menuju bumi perkemahan dan menuju Bukit Abah

secara memadai. Akses tersebut dapat melalui Desa Dawan Kelod, Desa

Pesinggahan atau Desa Gunaksa. Dalam perencanaan ke depan lalulintas

akses ke dan dari Bukit Abah dapat diatur sedemikian rupa agar wisatawan

dapat menikmati seluruh potensi unggulan yang ada di sekitar kawasan

Bukit Abah.

Pemandangan alam dari Bukit Abah

4. Di lokasi Bumi Pekemahan dan di Bukit Abah terdapat sumber air dan telah

(13)

12

5. Adanya terjunan air di Sungai Unda yang menjadi objek wisata para

wisatawan yang secara kebetulan melewati jembatan lama dan tempat ini

seringkali digunakan sebagai lokasi shooting film .

Sumber air dekat lokasi Bumi Perkemahan (kiri) dan

terjunan air Tukad Unda (kanan)

6. Desa Pikat yang merupakan batas bagian Timur Desa Besan dan secara

topografi lokasinya berbukit, diketahui memiliki sumber mata air, walaupun

mata air yang dimaksud lebih banyak merupakan rembesan, sehingga pada

saat musim kemarau debit rembesan sangat kecil.

(14)

13 Potensi Sosial, Ekonomi dan Budaya

Dari aspek sosial dan budaya, Bali dikenal mempunyai keunikan dibanding

propinsi lain di seluruh Indonesia. Perjalananan masyarakat adat sangatlah

panjang yang hasilnya dapat dirasakan dan dinikmati berupa produk sosial

budaya yang dijiwai oleh agama Hindu. Demikian pula halnya di wilayah

Kecamatan Dawan.

Secara sosial, ekonomi, dan budaya Kecamatan Dawan juga kaya dengan

keragaman dan keunikan yang mungkin hanya dapat ditemui di tempat tersebut.

Kondisi alam yang cukup bervariasi telah membentuk masyarakat dengan sosial,

ekonomi, dan budaya yang telah beradaptasi dengan lingkungannya dalam

rentang waktu yang sangat panjang. Aktivitas sosial dan budaya dapat dijumpai

di desa-desa atau banjar dengan kelompok masyarakat yang memiliki keahlian

khusus, dan dari aktivitas tersebut menghasilkan nilai ekonomi serta nilai sosial

dan budaya yang kuat untuk mendukung pengembangan ekowisata di kawasan

tersebut. Secara lebih rinci, aspek sosial, ekonomi dan budaya yang dimiliki dan

berkembang di kawasan Kecamatan Dawan, khususnya di wilayah yang

berdekatan dengan Bukit Abah yang mendukung pengembangan obyek

ekowisata adalah :

1. Masih tetap eksis dan bahkan semakin berkembangnya berbagai kegiatan

sosial budaya seperti kelompok kegiatan kesenian serta produk kesenian

yang dihasilkan di masing-masing desa/banjar. Asset dan keunggulan lokal

berupa keberagaman nilai sosial budaya tersebut merupakan perekat

kesatuan dan persatuan serta menjadi asset dalam meningkatkan

kepariwisataan berbasis nilai budaya lokal. Berdasarkan data Kecamatan

Dawan Dalam Angka (2009), sebaran kelompok kegiatan kesenian di

Kecamatan Dawan terdiri atas kesenian Barong 7 buah, gong kebyar 24

(15)

14

unit, pesantian 22 kelompok. Di luar yang sudah disebutkan ini tentu masih

banyak lagi atraksi kesenian yang berkembang di wilayah perencanaan.

2. Pura Goa Lawah merupakan objek wisata yang sudah dikenal di manca

negara. Objek wisata ini bukan saja sebagai objek fisik, namun juga sangat

diyakini sebagai tempat pelaksanaan upacara/yadnya bagi umat Hindu Bali.

Banyaknya kunjungan wisata ke Pura Goa Lawah dapat dijadikan sebagai

entry point untuk mendorong pengembangan ekowisata di Kecamatan

Dawan.

3. Pura Bukit Sangmong merupakan salah satu pura yang terdapat di

Kabupaten Klungkung. Secara administratif terletak di Desa Dawan Kelod,

Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Pura ini disungsung oleh krama

(sekelompok masyarakat) Subak Dawan. Pura ini banyak menyimpan

peninggalan arkeologi, dalam bentuk arca dan sejumlah fragmen bangunan.

Situs ini berada di tempat ketinggian yang dikelilingi oleh persawahan, jauh

dari pemukiman penduduk (Suwita Utami, 2009).

4. Pande Keris berpamor di Desa Kusamba. Salah seorang dari pande keris

tersebut dengan proses pembuatan produknya sesuai dengan pakem dari

para leluhur pande telah terkenal sampai ke manca Negara, konsumennya

berasal dari berbagai Negara seperti Eropa, Amerika, dan lain-lain.

Spesifikasi jenis keris yang diproduksi secara garis besar ada dua jenis yakni

keris biasa/pasaran dengan nilai ekonomi yang relatif murah karena materi

dan proses pembuatannya lebih mudah. Sedangkan keris berpamor

membutuhkan bahan baku yang spesial (mengandung batu meteor) dan

bahkan proses produksinya menggunakan pakem-pakem dan anggah -ungguh dewasa waktu mulai dibuat sangat ketat sesuai dengan tujuan

dibuatnya keris yang bersangkutan. Proses produksi keris berpamor yang

(16)

15

wisata untuk mendukung pengembangan ekowisata Bukit Abah. Hingga

saat ini hanya ada 3 buah perapen yang masih aktif berproduksi, sehingga

dirasakan perlu untuk dilestarikan keberadaannya. Keris bagi masyarakat

Indonesia, terkadang dikonotasikan sebagai benda pusaka yang

mengandung kekuatan magis. Keris merupakan media penghubung dunia

nyata dan maya. Tidaklah heran bila keris begitu lekat dengan keseharian

masyarakat di nusantara, terutama berkenaan dengan ritual-ritual adatnya.

Bila memasuki dunia pecinta Keris, baik kolektor, pedagang, perantara, atau

pembuat keris, seseorang akan dihadapkan pada cerita sensasi dan

fantastisnya harga keris. Ditambah pula dengan keunggulan, keindahan,

keadiluhungan, dan cerita-cerita berbau mistik yang menyertai sebuah

senjata. Tak heran bila yang memandang keris sebagai produk sebuah

jaman, menganggap keris yang punya kelas adalah yang berasal dari Jaman

Majapahit. Diyakini saat itu motivasi empu pembuat keris begitu tinggi,

sehingga hasilnyapun berkualitas.

(17)

16

Batu meteor sebagai salah satu bahan pembuatan keris bertuah

oleh salah seroang pengerajin keris di Desa Kusamba

5. Adanya upacara adat yang disakralkan berupa Joli Mepalu / Adu Joli yang

pelaksanaannya dilakukan setiap 210 hari, momennya jatuh pada setiap

Hari Raya Kuningan di Desa Paksebali.

6. Adanya wisata spiritual dalam bentuk Ziarah Rohani ke pemakaman Habib

bin Abu Bakar al-Hamid sebagai penyebar agama Islam di Kampung

Kusamba. Kunjungan ke makam ini merupakan perjalanan wisata ziarah

yang masih berkaitan dengan kunjungan ke obyek-obyek wisata di

lingkungan Klungkung. Kegiatan ziarah secara masal umumnya terjadi

setahun sekali, walaupun secara sporadis kunjungan terjadi setiap hari.

Diyakini oleh umat muslim yang berasal bukan saja dari Klungkung dan

sekitarnya bahkan dari luar Bali. Makam ini dipugar pada 1 Oktober 1995

dengan bangunan permanen serta dilengkapi dengan patung berkuda,

(18)

17

Wisata spiritual/Ziarah Rohani ke pemakaman Habib bin Abu Bakar al-Hamid di

Desa Kampung Kusamba

7. Aktivitas ekonomi berupa kegiatan rumah tangga tenun ikat di Desa

Paksebali dan pembuatan alat-alat rumah tangga perpandean seperti pisau

di Desa Paksebali dan Kusamba.

8. Industri rumah tangga pembuatan anyaman ate oleh beberapa masyarakat

di Desa Besan, Gunaksa, dan lain-lain. Hal ini dimungkinkan karena bahan

baku relatif masih mudah diperoleh di lahan desa dan sekitarnya.

Disamping itu, nampaknya masih terlihat juga potensi industri anyaman

kurungan dan produk anyaman dipasarkan ke luar kabupaten yakni ke

daerah Subagan.

9. Adanya industri rumah tangga pembuatan gula merah, gula semut dan

minuman arak berbahan baku nira kelapa di Desa Besan, Dawan Kaler, dan

Dawan Kelod.

10. Kegiatan pembuatan anyaman tembikar berbahan baku daun pandan di

Desa Pesinggahan. Produksi daun pandan dapat dipanen sepanjang tahun

namun panen raya hanya setahun sekali. Kegiatan anyaman oleh pengrajin

masih merupakan kegiatan sambilan dalam keseharian masyarakat

(19)

18

rata-rata produksi sehelai tembikar per hari atau penghasilan Rp

15.000,00/hari. Sistem pemasarannya sangatlah sederhana yakni pengepul

mendatangi para pengrajin untuk membeli produknya.

11. Adanya kegiatan kerajinan berbahan baku batok kelapa di Desa Kusamba.

12. Terdapat kegiatan industri rumah tangga pembuatan tedung atau payung

adat di Desa Paksabali

13. Adanya kegiatan industri pembuatan garam tradisional yang jumlahnya

sudah terdegradasi. Hingga saat studi ini dilakukan hanya terdapat 2 (dua)

unit yang masih beraktivitas. Produksi garam secara tradisional ini sangat

potensial sebagai komponen untuk mendukung pengembangan obyek

ekowisata.

14. Potensi galian-C terdapat di Desa Gunaksa, namun keberadaan sumberdaya

alam galian sudah mulai menipis, sehingga masyarakat yang beraktivitas

pada galian kiranya harus berancang-ancang untuk mulai memikirkan jenis

kegiatan lainnya, terlebih lagi adanya upaya pihak Pemda Klungkung untuk

menalih fungsikan lahan lokasi galian. Potensi lain yang dimiliki oleh Desa

Gunaksa adalah terhamparnya kawasan persawahan yang paling luas di

Kecamatan Dawan. Selain padi menjadi produk utama, komoditi cabai rawit

menjadi produk unggulan pada musim kemarau.

15. Desa Dawan Kelod, secara ekonomi memiliki areal persawahan yang

keberadaannya semakin terdegradasi dengan adanya pembukaan jalan baru.

Daerah ini merupakan sentra produksi komoditi sawo, sistem

pemasarannya lebih banyak dilakukan melalui pengepul masyarakatnya

(20)

19

Kerajinan pembuatan gula merah dari nira kelapa

Kerajinan tenun ikat di Desa Paksebali (kiri) dan kerajinan pembuatan tikar dari daun pandan di Desa Pikat (kanan)

(21)

20

Kerajinan berbahan baku batok kelapa di Desa Kusamba (kiri) dan pembuatan

tedung/payung untuk perlengkapan upacara (kanan)

Kerajinan pembuatan kelangsah dari daun kelapa (kiri) dan kios pemasaran hasil kerajinan untuk upacara agama di Desa Paksebali (kanan)

Keanekaragaman Hayati dan Sumberdaya Alam

Keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam merupakan anugerah

terbesar bagi umat manusia. Manfaat keanekaragaman hayati antara lain adalah:

(1) merupakan sumber kehidupan, penghidupan dan kelangsungan hidup bagi

umat manusia, karena potensial sebagai sumber pangan, papan, sandang,

obat-obatan serta kebutuhan hidup yang lain, (2) merupakan sumber ilmu

pengetahuan dan teknologi, (3) mengembangkan sosial budaya umat manusia,

dan (4) membangkitkan nuansa keindahan yang merefleksikan penciptanya.

Keanekaragaman hayati merupakan ungkapan pernyataan terdapatnya

(22)

21

berbagai tingkatan persekutuam makhluk hidup yaitu tingkatan ekosisitem,

tingkatan jenis dan tingkatan genetik. Keanekaragaman hayati menurut UU NO 5

Tahun 1994 adalah keanekaragaman diantara mahluk hidup dari semua sumber

termasuk di antaranya daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain, serta

komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya,

mencakup keanekaragaman dalam spesies, antara spesies dengan ekosisitem.

Bukit Abah dan wilayah sekitarnya memiliki keanekaragaman hayati yang

cukup tinggi. Keanekaragaman hayati yang dimiliki tersebut sangat bermanfaat

dan mempunyai nilai tertentu meliputi nilai ekonomi, nilai biologis, nilai

ekologis/lingkungan, serta nilai sosial budaya, keilmuan dan keindahan.

Dari aspek nilai ekonomi, keanekaragaman hayati dapat dijadikan sebagai

sumber pendapatan (dapat mendatangkan devisa untuk industri). Misalnya

untuk bahan baku industri, rempah-rempah, dan perkebunan. Bahan-bahan

industri misalnya berbagai macam kayu untuk industri kosmetik dan untuk

perkakas rumah tangga serta meubel, kakao dan kopi untuk industri minuman,

kelapa untuk minyak, dan lain sebagainya.

Keanekaragaman hayati memiliki nilai biologis atau penunjang kehidupan

bagi makhluk hidup termasuk manusia. Tumbuhan menghasilkan gas oksigen

(O2) pada proses fotosintesis yang diperlukan oleh makhluk hidup untuk

pernafasan, menghasilkan zat organik misalnya biji, buah, umbi sebagai bahan

makanan makhluk hidup lain. Hewan dapat dijadikan makanan dan sandang

oleh manusia. Jasad renik diperlukan untuk mengubah bahan organik menjadi

bahan anorganik, untuk membuat tempe, oncom, kecap, dan lain-lain. Nilai

biologis lain yang penting adalah hutan sebagai gudang plasma nutfah (plasma

benih).

Dari aspek nilai ekologis/lingkungan, keanekaragaman hayati merupakan

(23)

22

bumi dari kegiatan fotosintesis tumbuhan dapat menurunkan kadar

karbondioksida (CO2) di atmosfer, yang berarti dapat mengurangi pencemaran

udara dan dapat mencegah efek rumah kaca. Disamping itu,

keanekaragamanhayati dapat menjaga kestabilan iklim global, yaitu

mempertahankan suhu dan ke lembaban udara.

Dari aspek nilai sosial budaya, keanekaragaman hayati dapat

dikembangkan sebagai tempat rekreasi atau pariwisata serta samping untuk

mempertahankan tradisi. Disamping itu keanekaragaman hayati juga

bermanfaat untuk keilmuan karena Keanekaragaman hayati dapat dijadikan

sebagai lahan penelitian dan pengembangan ilmu yang sangat berguna untuk

kehidupan manusia, sedangkan manfaat keindahan adalah manfaat

keanekaragaman hayati dari bermacam-macam tumbuhan dan hewan yang

dapat memperindah lingkungan.

Berdasarkan hasil survey dan data sekunder, keanekaagaman hayati

spesifik yang ada di Bukit Abah dan wilayah sekitarnya adalah sebagai berikut:

1. Bukit Abah memiliki 165 jenis plasma nutfah yang memiliki manfaat bagi

kehidupan manusia dan secara ekosistem bertstatus stabil dengan nilai

indeks keanekaragaman jenis tumbuhan rata-rata >1,5 pada berbagai

level ketinggian tempat. Sumber plasma nutfah yang spesifik di kawasan

Bukit Abah adalah Juwet Putih (Syzygium cumini) dan pohon Kayu

Jeleme/kayu badarah (Knema glauca) yang disakralkan oleh masyarakat

sekitarnya karena diyakini bagian tanaman dapat digunakan sebagai

bahan obat (Bapeda Kab. Klungkung, 2007: Studi Taksonomi Tumbuhan

(24)

23

Tanaman langka Juwet Putih (kiri) dan Kayu Jelema (kanan) di kawasan Bukit Abah Desa Besan

2. Adanya berbagai jenis (13 jenis) tanaman kelapa yang spesifik (di Desa

Pesinggahan) dan dibutuhkan untuk keperluan upacara khususnya untuk

di Pura Besakih. Jenis kelapa yang paling spesifik adalah jenis kelapa

ancak. Spesifikasi yang menonjol dari kelapa ini adalah tak pernah

berbuah, karena posisi buah berubah menjadi tempat munculnya anakan.

Anakan yang terjadi memiliki kesulitan yang sangat tinggi untuk dapat

ditumbuhkan

(25)

24

3. Tanaman buah-buahan yang dikenal oleh masyarakat luas dari Kecamatan

Dawan adalah sawo (Manilkara achras), bahkan merupakan komoditi

primadona daerah. Kondisi tersebut sering muncul ungkapan ingat sawo,

ingat Kecamatan Dawan

Tanaman sawo di pinggir jalan dan di kebun/tegalan di Desa Dawan Kelod

4. Kecamatan Dawan diplot sebagai kawasan pertanian khusus/khas

(pelestarian plasma nuftah). Rancangan tersebut tercantum dalam draf

RTRW Kabupaten Klungkung yang kini masih dalam proses pembahasan

untuk kemudian disahkan sebagai peraturan daerah. Kekhususan

kawasan pertanian yang dirancang di Kecamatan Dawan dikarenakan

keberadaan pohon sawo yang menjadi ciri khas kecamatan tersebut (Bali

Post 13 September 2009, Dawan Diplot sebagai Kawasan Pertanian

Khusus).

Manfaat Ekonomi, Upaya Konservasi, dan Keterlibatan Masyarakat

Ekowisata merupakan bentuk wisata yang erat kaitannya dengan prinsip

konservasi/ pelestarian alam dan pemberdayaan masyarakat lokal (community

(26)

25

ekowisata dapat meningkatkan kualitas kehidupan dalam masyarakat (bidang

ekonomi) dan mengkonservasi warisan alam dan budaya.

Dalam Pertemuan Ekoturisme Dunia (WES) I yang berlangsung di Quebec,

Kanada, 19 hingga 22 Mei 2002, ekoturisme diyakini sebagai pendekatan yang

paling tepat dalam menggabungkan langkah-langkah pembangunan lingkungan

berkelanjutan dengan industri wisata yang diharapkan dapat mengangkat

kualitas hidup masyarakat setempat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa konsep

ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya

pariwisata yang ramah lingkungan dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai

salah satu pelaku wisata dan sudah seharusnya masyarakat lokal mendapatkan

dampak positif dari kegiatan ekowisata (Kiky Septina Kaesa, 2009).

Alur berpikir yang paling mudah mengapa dalam penerapan ekowisata

perlu melibatkan masyarakat lokal adalah bahwa kecil kemungkinan berbagai

kegiatan yang merusak sumberdaya alam dapat diminimalisir tanpa

meningkatkan kualitas kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Oleh

karena itu, agar dapat mencapai sasaran dan tujuan yang tepat yaitu terciptanya

sumberdaya alam yang lestari dan meningkatnya kondisi ekonomi, sosial, dan

budaya masyarakat maka dalam penerapan ekowisata sudah seharusnya

melibatkan masyarakat lokal. Dari kegiatan ekowisata diharapkan terjadi

perubahan yang signifikan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya

masyarakat lokal.

Ketika masyarakat sudah dilibatkan secara aktif maka dengan sendirinya

akan muncul rasa memiliki di dalam upaya konservasi sumberdaya alam melalui

kegiatan wisata alam. Partisipasi masyarakat lokal ini bisa menjadi key point

dalam pengembangan ekowisata sekaligus dapat memotivasi mereka untuk

lebih bertanggungjawab terhadap pemeliharaan lingkungan dan pelestarian

(27)

26

menekankan pada keseimbangan penggunaan sumberdaya alam dengan

usaha-usaha konservasi yang berkelanjutan (suistanable). Untuk mem-folow up hal ini

tentu saja dibutuhkan suatu teknik dan upaya dalam rangka menumbuhkan

semangat dan partipasi masyarakat lokal yang menjadi titik balik

Pasal 20 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 33 tahun 2009 tentang

pedoman pengembangan ekowisata daerah, mempertegas bahwa

pengembangan ekowisata wajib memberdayakan masyarakat setempat mulai

dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata. Lebih lanjut

disebutkan upaya pemberdayaan masyarakat dapat diselenggarakan melalui

kegiatan pendidikan dan bentuk keterampilan lainnya. Wujud manfaat yang

harus dapat dirasakan oleh masyarakat dengan adanya kunjungan wisatawan

dalam bentuk :

1. Pembentukan sentra-sentra produksi dan pemasaran potensi desa-desa

penyangga Bukit Abah yang diwujudkan dalam suatu wadah (kelompok)

kegiatan sejenis seperti pembuatan gula merah dan gula semut, pembuatan

tedun (payung adat), pembuatan anyaman tembikar/bambu, kerajinan batok

kelapa, pembuatan keris berpamor, pembuatan jajan tradisional (jajan sangut,

jajan koping), dan kegiatan industri kecil lainnya. Melalui pembentukan

sentra tersebut, masyarakat dapat menjual proses produksi dalam bentuk

paket wisata.

2. Homestay adalah sistem akomodasi yang sering dipakai dalam ekowisata.

Homestay bisa mencakup berbagai jenis akomodasi dari penginapan

sederhana yang dikelola secara langsung oleh keluarga sampai dengan

menginap di rumah keluarga setempat. Homestay bukan hanya sebuah

pilihan akomodasi yang tidak memerlukan modal yang tinggi, dengan sistem

homestay pemilik rumah dapat merasakan secara langsung manfaat ekonomi

(28)

27

terjamin. Sistem homestay mempunyai nilai tinggi sebagai produk ekowisata

di mana soerang turis mendapatkan kesempatan untuk belajar mengenai

alam, budaya masyarakat dan kehidupan sehari-hari di lokasi tersebut. Pihak

wisatawan dan pihak tuan rumah bisa saling mengenal dan belajar satu sama

lain, dan dengan itu dapat menumbuhkan toleransi dan pemahaman yang

lebih baik. Homestay sesuai dengan tradisi keramahan masyarakat lokal.

3. Dalam ekowisata, pemandu adalah orang lokal yang pengetahuan dan

pengalamannya tentang lingkungan dan alam setempat merupakan aset

terpenting dalam jasa yang diberikan kepada wisatawan. Demikian juga

seorang pemandu lokal akan merasakan langsung manfaat ekonomi dari

ekowisata, dan sebagai pengelola juga akan menjaga kelestarian alam dan

obyek wisata.

Penutup

Ekowisata yang dikembangkan adalah ekowisata yang berkelanjutan dan

mengupayakan konservasi terhadap perlindungan bentang alam yang memiliki

nilai biologis, ekologis dan nilai sejarah yang tinggi. Untuk itu, (1) prinsip daya

dukung lingkungan diperhatikan dimana tingkat kunjungan dan kegiatan

wisatawan pada suatu titik objek (misal : lokasi Batu Putih, Juwet Putih, ) sebuah

daerah tujuan ekowisata dikelola sesuai dengan batas-batas yang dapat diterima

baik dari segi alam maupun sosial-budaya Dalam perencanaan kawasan

ekowisata, soal daya dukung (carrying capacity) perlu diperhatikan sebelum

perkembanganya ekowisata berdampak negatif terhadap alam dan budaya

setempat. Aspek dari daya dukung yang perlu dipertimbangkan antara lain:

jumlah turis/tahun; lamanya kunjungan turis; berapa sering lokasi yang rentan

secara ekologis dapat dikunjungi; (2) Sedapat mungkin aktivitas dan kegiatan

(29)

28

tersebut dipelihara dan dilestarikan untuk kepentingan generasi kini dan

generasi yang akan datang, dan (3) sedapat mungkin menggunakan teknologi

ramah lingkungan yang selaras dengan kondisi setempat, misalnya listrik tenaga

surya, mikrohidro, biogas, dan lain-lain.

Sebagai penutup dari karya tulis ini, kami sampaikan ucapan terima kasih

kepada berbagai pihak atas perkenan dan kontribusinya.

DAFTAR PUSTAKA Abah dalam Menunjang Pengembangan Bumi Perkemahan. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Klungkung Dengan Lembaga Penelitian Universitas Udayana Denpasar Bali.

Bappeda Kabupaten Klungkung. 2008. Program Pengembangan Obyek Wisata dengan Konsep Ekowisata di Bukit Abah Kabupaten Klungkung Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Klungkung Dengan Lembaga Penelitian Universitas Udayana Denpasar Bali.

Buultjens, J. 1999. Tourism: A Prosperous )ndustry or A Lifestyle s Choice. In

Proceedings of the Ecotourism Association of Australia. Australia: Ecotourism Association of Australia.

Fandeli, C. 2000. Pengertian dan Konsep Dasar Ekowisata. Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. http://www.conservation.or.id/ office/images/album/File//Publikasi/pdf (Senin, 19 Januari 2009)

Fennel, D. A. 1999. Ecotourism: An Introduction. London:Routledge.

(30)

29

Masyarakat Pengamat Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana, di Gianyar, 15 Juli 2003.

Goodwin, H. 1998. Sustainable Tourism and Poperty Elimination. Peper on Workshop on Sustainable Tourism and Poperty. United Kingdom.

Kiky Septina Kaesa, 2009. Membangun Kemandirian Ekonomi Masyarakat Lokal Melalui Ekowisata, TN Bali Barat http://www.tnbalibarat. com/?p=113).

Linberg, K. and D.E. Hawkins. 1993. Ecotourism. North Bennington: The Ecotourism Society.

Sproule, K.W. 2000. Community-based Ecotourism Development. Identifying Partners in the Process. Wildlife Preservation Trust International.

Suwita Utami. 2009. http://www.purbakala bali.com/index.php?option=com_ content&view=article&120:konservasi-pura-bukit-sangmong-dawan-klungkung&catid=60: artikel&Itemid=82.

The International Ecotourism Society/TIES. 1990. Regional Prepatory Conference for the World Ecotourism Summit. Belize City.

Referensi

Dokumen terkait

I temadap kelestvian lingkungan dan I pengembangan ekowisata. Masyarakat sekitar mendukung pengembangan ekowisata. Ekowisata dapat menambah nilai ekonomi dan

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui kendala yang terjadi terkait dengan pengembangan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling, (2) untuk

Tujuan penelitian ini adalah Untuk menganalisa potensi pariwisata Pulau Palambak untuk dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari dalam konsep ekowisata dan

Strategi yang dilakukan untuk pengembangan kawasan ini adalah pengembangan potensi ekowisata yang berbasis edukasi serta potensi masyarakat dalam mendukung pengembangan

Potensi yang ada adalah suatu konsep pengembangan ekowisata karena kondisi mangrove yang sangat unik serta model wilayah yang dapat dikembangkan sebagai sarana ekowisata dengan

Maka dapat di simpulkan bahwa Obyek Wisata Pantai Balat jika dikembangkan dengan baik ternyata memiliki potensi sebagai obyek wisata alam pantai yang sangat menarik

SIMPUlAN Berdasarkan analisis yang dilakukan penulis baik data maupun keadaan empiris di lapangan, dapat dijadikan sebagai Strategi Pengembangan Obyek Wisata Talangindah Bukit

0,06 3,29 0,20 S2 Diwilayah Ekowisata Bukit Batu memiliki potensi unggulan tersendiri, yaitu tingginya jumlah jenis burung dengan kategori dilindungi 0,09 3,57 0,33 S3 Memiliki