• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KESESUAIAN PRINSIP-PRINSIP EKOWISATA DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM BUKIT TANGKILING PALANGKA RAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN KESESUAIAN PRINSIP-PRINSIP EKOWISATA DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM BUKIT TANGKILING PALANGKA RAYA."

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

KAJIAN KESESUAIAN PRINSIP-PRINSIP

EKOWISATA DALAM PENGEMBANGAN

EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM

BUKIT TANGKILING PALANGKA RAYA

DANIEL PANDU MAU

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

TESIS

KAJIAN KESESUAIAN PRINSIP-PRINSIP

EKOWISATA DALAM PENGEMBANGAN

EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM

BUKIT TANGKILING PALANGKA RAYA

DANIEL PANDU MAU NIM 1491061018

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

KAJIAN KESESUAIAN PRINSIP-PRINSIP

EKOWISATA DALAM PENGEMBANGAN

EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM

BUKIT TANGKILING PALANGKA RAYA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Kajian Pariwisata, Program Pascasarjana Universitas Udayana

DANIEL PANDU MAU NIM 1491061018

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 3 MEI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Ir. M. S. Mahendra, M. App. Sc., Ph. D. Dr. I Nyoman Sukma Arida, S. Si., M. Si. NIP 19561102198303 1 001 NIP 19750710200501 1 003

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

(5)

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 28 April 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No: 1971/UN14.4/HK/2016, Tanggal 22 April 2016

Ketua : Prof. Ir. M. S. Mahendra, M. App. Sc., Ph. D.

Sekretaris : Dr. I Nyoman Sukma Arida, S. Si., M. si. Anggota :

1. Prof. Dr. I Wayan Ardika, M. A.

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih penyertaan, berkat

dan juga pimpinan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “Kajian Kesesuaian Prinsip-prinsip Ekowisata dalam Pengembangan

Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling Palangka Raya”.

Tesis ini disusun guna melengkapi salah satu syarat dalam menempuh ujian akhir pada Program Studi Magister Kajian Pariwisata Program Pascasarjana Universitas

Udayana.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Ir. M. S. Mahendra, M. App. Sc., Ph. D. selaku pembimbing tesis I yang dengan penuh perhatian telah meluangkan waktu dalam

membimbing penulis, memberikan dorongan dan semangat, serta masukan dan saran kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

2. Dr. I Nyoman Sukma Arida, S. Si., M. Si. selaku pembimbing tesis II atas masukan dan saran, serta dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing penulis dalam menyelesaiakan tesis ini.

3. Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp. P. D. (KHOM) selaku Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis

untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Studi Magister Kajian Pariwisata Program Pascasarjana Universitas Udayana.

4. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S. (K) selaku Direktur Program

(7)

diberikan kepada penulis untuk menjadi karyasiswa Program Studi Magister Kajian Pariwisata Program Pascasarjana Universitas Udayana.

5. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M. Litt. selaku Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata Program Pascasarjana Universitas Udayana

yang sudah memberikan dukungan, saran dan masukan kepada penulis hingga menyelesaikan studinya.

6. Para dosen penguji yaitu Prof. Dr. I Wayan Ardika, M. A., Dr. Ir.

Syamsul Alam Paturusi, MSP., dan Dr. Drs. I Nyoman Sunarta, M. Si. yang telah memberikan banyak masukan, saran dan koreksi untuk

menyempurnakan tesis ini.

7. Para pihak yang terlibat dalam penelitian yakni Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi

Kalimantan Tengah, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Palangka Raya, Kepala Kelurahan Tangkiling, Tokoh Masyarakat

Tangkiling, wisatawan dan masyarakat lokal yang telah bersedia menjadi informan atas segala bantuan informasi dan kesempatan yang diberikan untuk penelitian ini.

8. Orang tua tercinta, Nico Pandu Mau dan Ruseni sebagai ‘the teachers in the journey of his life’, Kakanda tersayang Berbahana Pandu Mau dan

(8)

sehingga penulis lebih bersemangat dan terpacu untuk menyelesaikan tesis ini.

9. Semua teman-teman penulis di Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana khususnya tahun akademik 2014 atas

kerjasama, bantuan, dukungan dan motivasi selama studi penulis.

10. I Nyoman Kariana, S. Sos., selaku Kepala Administrasi Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana berserta para staff: Luh

Putu Dewi Udayani, S. Sos., Ida Ayu Ari Pradnyani, SST. Par., dan Made Arsani yang selalu membantu dalam urusan administrasi selama

kuliah.

Sungguh menjadi suatu kebanggaan bagi penulis sudah menjadi karyasiswa di Universitas Udayana. Tesis ini dipersembahkan kepada Program

Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana. Besar harapan penulis agar karya ini dapat diterima dan bermanfaat.

Denpasar, 10 Mei 2016

(9)

ABSTRACT

CONFORMITY ASSESSMENT OF ECOTOURISM PRINCIPLES IN THE DEVELOPMENT OF ECOTOURISM IN THE AREA OF BUKIT

TANGKILING NATURE PARK IN PALANGKARAYA

This research examines the suitability of the principles of ecotourism in the development of ecotourism in the area of Bukit Tangkiling Natural Park, Palangka Raya. The reason of this research for the Bukit Tangkiling Natural Park has unique Natural and culture that has been developed into a tourist attraction, but the problems have obstacles during its development. In addition, the criterias of ecotourism have not been implemented optimally. Even the level of tourist arrivals decreased significantly over the last three years.

The purpose of this research are (1) to determine the obstacles occurred related to the development of ecotourism in the area of Bukit Tangkiling Natural Park, (2) to find out how the implementation of the principles of ecotourism in the area of Bukit Tangkiling Natural Park, and (3) to determine the steps that can be done as a recommendation to the management of ecotourism in the area of Bukit Tangkiling Natural Park is closer to the principles of ecotourism. This research used descriptive analysis of qualitative and quantitative as supporting data by using the technique of collecting data through observation and interviews.

The results of this study indicated that the principles of ecotourism have not been implemented properly. This is evident from the many problems that occur during the development area of the Bukit Tangkiling Natural Park as a tourist attraction, such as land legal standing and stone mining are still happening. Community involvement in tourism activity is still very low, because they do not understand much about tourism, especially ecotourism. Support facilities associated with inadequate attractions, such as the information center, the inn accommodation facilities, souvenir center, and other supporting facilities. Even the customs and cultures of potential not yet developed as a tourist attraction. These issues cause the level of tourist arrivals decreased and affecting the income of local people who work in the tourism sector.

Based on these results, it is necessary to raise the local communities’ awareness about conservation and tourism through socialization. Then increase the knowledge of local communities in the management of ecotourism through training that includes knowledge of tourism training, development and management of a tourist attraction, as well as to develop products such as the development of tourism support facilities and systems development and access to marketing and promotion.

(10)

ABSTRAK

KAJIAN KESESUAIAN PRINSIP-PRINSIP EKOWISATA DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN WISATA

ALAM BUKIT TANGKILING PALANGKA RAYA

Penelitian ini mengkaji kesesuaian prinsip-prinsip ekowisata dalam pengembangan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling, Palangka Raya. Alasan penelitian ini dilakukan karena Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling memiliki keunikan alam dan budaya yang sedang dikembangkan menjadi daya tarik wisata. Namun banyak kendala yang terjadi terkait dengan pengembangan kawasan tersebut sebagai daya tarik wisata. Disamping itu, kriteria ekowisata juga belum diimplementasikan secara optimal. Bahkan tingkat kunjungan wisatawan menurun secara signifikan selama tiga tahun terakhir.

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui kendala yang terjadi terkait dengan pengembangan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling, (2) untuk mengetahui bagaimana implementasi prinsip-prinsip ekowisata yang ada di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling, dan (3) untuk menentukan langkah-langkah yang dapat dilakukan sebagai rekomendasi agar pengelolaan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling lebih mendekati dengan prinsip-prinsip ekowisata. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif sebagai data pendukung dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip ekowisata belum diimplementasikan dengan baik. Hal ini terlihat dari banyaknya persoalan yang terjadi dalam pengembangan Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling sebagai daya tarik wisata, seperti persoalan hak kepemilikan tanah dan penambangan batu belah yang masih terjadi hingga saat ini. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pariwisata juga masih sangat rendah, karena mereka belum begitu memahami tentang pariwisata, khususnya ekowisata. Fasilitas pendukung terkait dengan objek wisata belum memadai, seperti pusat informasi, fasilitas akomodasi penginapan, pusat cenderamata, dan fasilitas penunjang lainnya. Bahkan potensi adat dan budaya belum dikembangkan secara optimal sebagai daya tarik wisata. Persoalan-persoalan tersebut menyebabkan tingkat kunjungan wisatawan menurun, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat lokal yang bekerja di sektor pariwisata.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka perlu untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai konservasi dan pariwisata melalui sosialisasi. Kemudian meningkatan pengetahuan masyarakat lokal dalam pengelolaan ekowisata melalui pelatihan yang meliputi pelatihan pengetahuan kepariwisataan, pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata, serta melakukan pengembangan produk seperti pengembangan fasilitas pendukung kepariwisataan dan juga pengembangan sistem dan akses pemasaran dan promosi.

(11)

RINGKASAN

Kajian Kesesuaian Prinsip-prinsip Ekowisata dalam Pengembangan Ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam bukit Tangkiling Palangka Raya

Seiring dengan pembangunan pariwisata yang semakin berkembang,

mendorong adanya kesadaran untuk mengembangkan pariwisata yang ramah terhadap lingkungan. Pariwisata alternatif yang identik dengan keberlanjutan muncul sebagai kritik terhadap berbagai penyimpangan praktik pariwisata massal

(mass tourism). Pariwisata alternatif menekankan bahwa pariwisata harus didasarkan pada kriteria yang bersifat kontinuitas. Hal ini diharapkan dapat berimplikasi terhadap keuntungan ekonomi yang adil terhadap masyarakat lokal

secara etika dan sosial.

Ekowisata yang merupakan bagian konsep dari pariwisata alternatif telah

berkembang sebagai salah satu industri yang potensial dan menjadi mekanisme pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Konsep ekowisata

mempunyai kekhususan, yaitu mengedepankan konservasi lingkungan, pendidikan lingkungan dan menguntungkan masyarakat lokal dalam hal meningkatkan perekonomian.

Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling yang merupakan ikon pariwisata di Kalimantan Tengah adalah salah satu kawasan pelestarian alam yang

menerapkan konsep ekowisata. Kawasan yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Palangka Raya ini dinilai memiliki keunikan tersendiri karena menyimpan banyak

(12)

Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling antara lain: Batu Banama, pendakian dan panjat tebing, wisata alam hutan hujan tropika dataran rendah, pengamatan

aktifitas satwa, penangkaran buaya, dan pentas kesenian dan budaya. Atraksi-atraksi tersebut merupakan daya tarik yang membuat Taman Wisata Alam Bukit

Tangkiling seharusnya banyak dikunjungi wisatawan. Selain itu, di kawasan ini terdapat tempat sakral bagi pemeluk agama Kaharingan maupun Hindu. Ada beberapa bangunan miniatur rumah adat Dayak Kaharingan sebagai lambang

tempat persemayaman arwah yang telah meninggal dan pura persembahyangan agama Hindu-Bali.

Namun seiring dengan perkembangannya, tingkat kunjungan wisatawan di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling masih relatif rendah. Bahkan dalam tiga tahun terakhir kunjungan wisatawan menurun secara signifikan sekitar

39,16% - 72, 15% per tahun (Sumber: data Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Selain itu, kawasan yang eksotik tersebut sampai saat ini masih menyimpan

banyak persoalan besar yang cepat atau lambat dapat mengancam keberadaan dan fungsinya sebagai kawasan konservasi. Seperti isu penambangan batu belah secara liar yang masih terjadi hingga sekarang. Selain itu, isu kepemilikan lahan

dan perubahan guna lahan yang membuat kawasan ini menjadi rusak. Dilihat dari potensi-potensi yang dimiliki oleh Kawasan Taman Wisata Alam Bukit

(13)

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1)Apa kendala yang terkait dengan pengembangan

ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling?, 2) Bagaimana implementasi prinsip-prinsip ekowisata dalam pengembangan ekowisata yang ada

di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling?, 3) Apa langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian kesesuaian prinsip-prinsip ekowisata agar pengelolaan ekowisata di Kawasan

Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling lebih mendekati dengan prinsip-prinsip ekowisata?. Lebih lanjut berdasarkan permasalah tersebut, penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui kendala yang terkait dengan pengembangan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling, untuk mengetahui bagaimana implementasi prinsip-prinsip ekowisata dalam pengembangan ekowisata yang ada

di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling, dan menentukan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memberikan rekomendasi berdasarkan hasil

kajian kesesuaian prinsip-prinsip ekowisata agar pengelolaan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling lebih mendekati dengan prinsip-prinsip ekowisata. Permasalahan tersebut dianalisis berdasarkan kajian

sebelumnya yang dianggap relevan dengan teori siklus hidup destinasi pariwisata, teori pariwisata berbasis masyarakat, dan teori strategi perencanaan dan

pengembangan.

Penelitian ini sebagian besar menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif serta interpretatif dengan menggunakan teknik pengamatan (observasi),

(14)

deskriptif kualitatif, penelitian ini juga menggunakan pendekatan analisis kuantitatif yang dijadikan sebagai data pendukung seperti data jumlah kunjungan

wisatawan, jenis atraksi, aktifitas ekowisata, dan lain sebagainya.

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah Kawasan Taman

Wisata Alam Bukit Tangkiling Kecamatan Bukit Batu Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah. Penentuan informan dilakukan secara purposive sampling. Setelah itu, data yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara

deskriptif kualitatif. Dengan demikian, seluruh hasil analisis data disajikan baik secara formal yaitu teknik penyajian dalam bentuk beberapa tabel maupun dengan

cara informal yaitu disajikan dengan bentuk naratif atau menggunakan kata-kata dan kalimat verbal sebagai sarana dengan ragam bahasa maupun menggunakan foto-foto sebagai salah satu data autentik yang bisa dikemukakan.

Berdasarkan permasalahan, hasil dan pembahasan tentang kajian kesesuaian prinsip-prinsip ekowisata dalam pengembangan ekowisata di Kawasan

Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling Palangka Raya, maka dapat disimpulkan bahwa ada berbagai kendala yang terkait dengan pengembangan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling seperti terjadinya perambahan

Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling oleh masyarakat lokal akibat belum adanya batas kawasan yang jelas di kawasan tersebut. Selain itu, kesadaran

(15)

Partisipasi masyarakat lokal juga masih sangat rendah dalam kegiatan pariwisata. Masyarakat hanya berperan sebagai penjaga parkir dan penjual

makanan dan minuman. Meskipun ada beberapa masyarakat lokal yang diberdayakan dan dikontrak sebagai pemandu lokal. Hal tersebut menunjukkan

bahwa adanya kesenjangan antara kesejahteraan masyarakat lokal dengan potensi pariwisata yang ada, karena potensi pariwisata yang terdapat di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling tidak dijadikan sebagai peluang oleh masyarakat

lokal. Rendahnya peran serta masyarakat lokal menunjukkan bahwa kurangnya kesiapan masyarakat menuju pengembangan keparwisataan

Isu-isu pariwisata dalam pengembangan kawasan ekowisata Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling, seperti banyaknya sampah yang berserakan di sekitar kawasan yang berasal dari sampah-sampah wisatawan, serta minimnya

penyediaan fasilitas persampahan dan minimnya fasilitas pendukung kepariwisataan. Selain itu, daya tarik yang ada di Kawasan Taman Wisata Alam

Bukit Tangkiling kurang melibatkan wisatawan secara aktif berinteraksi dengan alam dan masyarakat, sehingga belum memberikan unsur edukasi untuk kualitas pengalaman kunjungan wisatawan. Potensi adat dan budaya yang seharusnya

dapat dijadikan sebagai potensi untuk memperkaya atraksi wisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling belum dikembangkannya secara optimal.

Berdasarkan hasil kajian kesesuaian prinsip-prinsip ekowisata dalam pengembangan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling menunjukkan bahwa pada dasarnya sebagian besar kriteria dari prinsip-prinsip

(16)

kriteria dari prinsip tersebut yang sudah dijalankan tetapi baru merintis, seperti penyediaan fasilitas pendukung yang belum memadai terkait dengan objek wisata

termasuk fasilitas dan media untuk memperoleh umpan balik dari konsumen, sehingga pelayanan kepada wisatawan belum prima. Selain itu, materi pemasaran

yang digunakan juga belum sesuai dengan target mareketnya. Kriteria lainnya adalah rendahnya keterlibatan masyarakat Kelurahan Tangkiling dalam kegiatan pariwisata di kawasan tersebut. Secara manajemen pariwisata di kawasan tersebut

juga masih belum tertata dengan baik. Masyarakat Kelurahan Tangkiling belum berorientasi pada pariwisata meskipun dari segi alam dan budaya sudah sangat

mendukung. Sehingga yang terjadi pariwisata terkesan belum terjamah.

Beberapa rekomendasi berdasarkan hasil kajian kesesuaian prinsip-prinsip ekowisata agar pengelolaan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam

Bukit Tangkiling lebih mendekati dengan prinsip-prinsip ekowisata dan menciptakan ekowisata yang berkelanjutan:

1) Meningkatkan pemahaman masyarakat Kelurahan Tangkiling tentang ekowisata dan pengembangannya yang dapat dilakukan melalui pelatihan dan sosialisasi.

2) Meningkatkan pemahaman masyarakat Kelurahan Tangkiling mengenai konservasi dan juga sebagai upaya dalam penyelesaian perambahan dan

(17)

3) Meningkatkan pengetahuan dalam pengelolaan ekowisata untuk masyarakat Kelurahan Tangkiling yang dapat dilakukan melalui

pelatihan.

4) Melakukan pengembangan produk seperti pengembangan fasilitas

pendukung kepariwisataan, meningkatkan kemudahan akses, meningkatkan komunikasi dan informasi terhadap pasar melalui berbagai media serta melakukan kerjasama dengan pihak pelaku

industri, pengembangan pertunjukan budaya, dan pengembangan fasilitas penjualan cinderamata/souvenir.

(18)

DAFTAR ISI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN ... 9

2.1 Tinjauan Pustaka ... 9

2.2 Konsep ... 14

2.2.1 Ekowisata ... 14

2.2.2 Prinsip-prinsip Ekowisata ... 17

2.2.3 Strategi Pengembangan Kawasan Ekowisata ... 21

2.2.4 Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan ... 24

2.3 Landasan Teori ... 28

2.3.1 Teori Siklus Hidup Destinasi Pariwisata ... 28

2.3.2 Teori Pariwisata Berbasis Masyarakat ... 31

2.3.3 Teori Strategi Perencanaan dan Pengembangan ... 35

(19)

3.3.2 Sumber Data ... 50

4.2.3 Komposisi Penduduk Kelurahan Tangkiling Menurut Umur dan Jenis Kelamin ... 61

4.2.4 Komposisi Penduduk Kelurahan Tangkiling Menurut Pendidikan ... 62

4.2.5 Sarana dan Prasarana ... 63

4.3 Gambaran Umum Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling ... 64

4.3.1 Kondisi Kepariwisataan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling ... 74

BAB V KENDALA YANG TERKAIT DENGAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM BUKIT TANGKILING ... 77

BAB VI IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP EKOWISATA DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN TAMAN WISATA ALAM BUKIT TANGKILING ... 87

6.1 Prinsip-prinsip Ekowisata yang Sudah Diimplementasikan Secara Optimal ... 88

6.2 Prinsip-prinsip Ekowisata yang Belum Diimplementasikan Secara Optimal ... 93

BAB VII LANGKAH-LANGKAH YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MEMBERIKAN REKOMENDASI BERDASARKAN HASIL KAJIAN KESESUAIAN PRINSIP-PRINSIP EKOWISATA 104 7.1 Aspek Lingkungan ... 105

7.2 Aspek Pemberdayaan Masyarakat ... 107

(20)

7.4 Aspek Pemasaran ... 111

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ... 113

8.1 Simpulan ... 113

8.2 Saran ... 116

(21)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Pengembangan yang Sustainable dan Non Sustainable ... 27 4.1 Komposisi Penduduk Kelurahan Tangkiling Menurut Jenis Pekerjaan

Tahun 2015 ... 60 4.2 Komposisi Penduduk Kelurahan Tangkiling Menurut Umur dan Jenis

Kelamin Tahun 2015 ... 61 4.3 Komposisi Penduduk Kelurahan Tangkiling Menurut Pendidikan

Tahun 2015 ... 62 4.4 Perkembangan Kunjungan Wisatawan ke Daya Tarik Wisata Taman

(22)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 Pedoman Wawancara ... 121 Lampiran 2 Ringkasan Hasil Kajian Kesesuaian Prinsip-prinsip

(24)
(25)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan pembangunan pariwisata yang semakin berkembang, mendorong adanya kesadaran untuk mengembangkan pariwisata yang ramah

terhadap lingkungan. Sekitar tahun 1996, pembangunan pariwisata alternatif muncul sebagai kritik terhadap berbagai penyimpangan praktik pariwisata massal

(mass tourism). Pariwisata alternatif tersebut identik dengan keberlanjutannya dimana paradigma pariwisata berkelanjutan (Insula dalam Arida, 1995) menekankan bahwa pariwisata harus didasarkan pada kriteria yang bersifat

kontinuitas. Hal ini diharapkan dapat berimplikasi terhadap keuntungan ekonomi yang adil terhadap masyarakat lokal secara etika dan sosial. Oleh sebab itu, perlu

adanya alternatif pendekatan kegiatan pariwisata yang ramah terhadap lingkungan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat lokal.

Ekowisata yang merupakan bagian konsep dari pariwisata alternatif telah

berkembang sebagai salah satu industri yang potensial dan menjadi mekanisme pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Konsep ekowisata

mempunyai kekhususan, yaitu mengedepankan konservasi lingkungan, pendidikan lingkungan dan menguntungkan masyarakat lokal dalam hal meningkatkan perekonomian. Pada dasarnya, penyelenggaraan ekowisata

dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian adat istiadat, kebiasaan hidup (the way of life), menjaga

(26)

2

suatu keseimbangan antara kehidupan manusia dengan lingkungan alam (Arida, 2009).

Konsep ekowisata yang memanfaatkan kecenderungan pasar back to nature ini merupakan usaha pelestarian keanekaragaman hayati dengan

menciptakan kerjasama yang erat antara masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan yang perlu dilindungi dengan industri pariwisata. Ekowisata adalah gabungan antara konservasi dan pariwisata dimana pendapatan yang diperoleh

dari pariwisata seharusnya dikembalikan kepada kawasan yang perlu dilindungi untuk perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati serta perbaikan sosial

ekonomi masyarakat sekitarnya.

Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling yang merupakan ikon pariwisata di Kalimantan Tengah adalah salah satu kawasan pelestarian alam yang

menerapkan konsep ekowisata. Kawasan yang berada di Kelurahan Tangkiling Kecamatan Bukit Batu ini telah ditetapkan menjadi kawasan wisata sejak tanggal

25 Januari 1977 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 046/kpts/um/1/1997 dengan luas cagar alam 2.061 Ha dan luas Kawasan Taman Wisata Alam 533 Ha. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor: 529/MENHUT-II/2012 pada tanggal 25 September 2012 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor:

759/KPTS/UM/10/1982 tentang Penunjukkan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah seluas ±15.300.000 Ha sebagai kawasan hutan, maka luas TWA/CA Bukit Tangkiling berkurang menjadi 593,5 Ha (hasil

(27)

3

dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Palangka Raya dinilai memiliki keunikan

tersendiri karena menyimpan banyak spesies flora dan fauna. Sebagian besar Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling termasuk tipe ekosistem hutan hujan

tropika dataran rendah/ hutan rawa. Beberapa atraksi menarik yang terdapat di kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling antara lain: Batu Banama, pendakian dan panjat tebing, wisata alam hutan hujan tropika dataran rendah,

pengamatan aktifitas satwa, penangkaran buaya, dan pentas kesenian dan budaya. Atraksi-atraksi tersebut merupakan daya tarik yang membuat Taman Wisata Alam

Bukit Tangkiling seharusnya banyak dikunjungi wisatawan.

Namun seiring dengan perkembangannya, tingkat kunjungan wisatawan di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling masih relatif rendah. Bahkan

dalam tiga tahun terakhir kunjungan wisatawan menurun secara signifikan sekitar 39,16% - 72, 15% per tahun (Sumber: data Balai Konservasi Sumber Daya Alam).

Selain itu, kawasan yang eksotik tersebut sampai saat ini masih menyimpan banyak persoalan besar yang cepat atau lambat dapat mengancam keberadaan dan fungsinya sebagai kawasan konservasi. Seperti isu penambangan batu belah

secara liar yang masih terjadi hingga sekarang. Persoalan tersebut berawal dari keberadaan kawasan bukit-bukit berbatu yang tidak hanya unik, tetapi juga

berpotensial dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi untuk dieksploitasi sebagai bahan bangunan (material), baik untuk pemukiman maupun pembuatan jalan. Aktifitas penambangan batu (Galian tipe C) yang dilakukan tanpa ijin atau secara

(28)

4

berbagai isu lain, seperti terjadinya persoalan kepemilikan lahan dan perubahan guna lahan yang membuat kawasan ini menjadi rusak. Semakin maraknya aksi

penambangan batu belah telah membuka aksesibilitas ke dalam kawasan dan memicu aksi okupasi kawasan. Bahkan okupasi tersebut tidak hanya dilakukan

oleh masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan untuk berladang, namun berkembang menjadi pengkaplingan tanah dan areal berbatu oleh kalangan bermodal di kota.

Hal yang paling fatal terjadi akibat dari aktifitas penambangan batu belah secara liar adalah terkoyaknya sebuah situs langka yang kaya akan sejarah dan

legenda, yaitu situs Batu Banama yang terletak di ceruk sebelah barat lembah Bukit Tangkiling yang diapit oleh dua bukit batu lainnya. Situs ini terdiri dari satu bongkahan batu besar yang menyerupai perahu (‘Banama’ dalam bahasa dayak)

dan beberapa bongkahan batu lainnya. Di bagian tengah batu mengalir anak sungai dari lereng bukit menuju ke desa di bawahnya dan bermuara di Sungai

Rungan. Tempat ini sekaligus menjadi tempat yang sakral bagi pemeluk agama Kaharingan maupun Hindu. Di bagian tengah situs terdapat beberapa bangunan miniatur rumah adat Dayak Kaharingan sebagai lambang tempat persemayaman

arwah yang telah meninggal dan di bagian atas ke arah bukit terdapat pura persembahyangan agama Hindu-Bali. Namun keaslian dan keasrian pemandangan

tersebut seakan terusik ketika melihat bagian bawah Batu Banama dan beberapa batu lainnya telah dirusak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dilihat dari potensi-potensi yang dimiliki oleh Kawasan Taman Wisata

(29)

5

masih asli atau alami, seharusnya kawasan ini sudah menjadi pusat kegiatan ekowisata yang paling popular di Kalimantan Tengah dibandingkan dengan objek

wisata lainnya. Namun dalam tahap pemanfaatan potensi, kawasan ini belum menyentuh pada tingkat kesejahteraan masyarakat lokal. Bahkan masih belum

menuju pada tahap ekowisata yang berkelanjutan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling saat ini masih relatif belum banyak dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara. Pengelolaan

Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling yang belum optimal menjadi kritikan bagi pariwisata di Kelurahan Tangkiling yang terkesan belum memberikan kontribusi

yang cukup berarti bagi masyarakat lokal. Inilah permasalahan-permasalahan yang harus dipecahkan.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Seksi Konservasi

Wilayah I Palangka Raya yang berperan sebagai pengelola dalam rangka untuk melindungi Kawasan Taman Wisata Bukit Tangkiling telah melaksanakan ide

penataan Kawasan tersebut. Namun, upaya yang telah dilaksanakan oleh BKSDA yaitu pelestarian alam dan pengembangan kawasan belum dapat meningkatkan perekonomian masyarakat lokal maupun pelestarian budaya, meskipun

pemerintah daerah telah berupaya untuk mengembangkan Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling sebagai daya tarik wisata alam. Di samping itu

juga, pemerintah daerah mengharapkan adanya peningkatan pendapatan daerah dan peningkatan perekonomian masyarakat lokal.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penelitian ini mengkaji

(30)

6

Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling Palangka Raya. Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan masukan dan manfaat yang positif demi

keberlangsungan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling. Selain itu, penelitian ini juga dapat memberikan manfaat kepada para pemangku

kepentingan (stakeholders) agar dapat mengembangkan Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling ke arah yang lebih baik dan dapat menjaga kawasan ini agar berkelanjutan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka

dibuat beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1) Apa kendala yang terkait dengan pengembangan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling?

2) Bagaimana implementasi prinsip-prinsip ekowisata dalam pengembangan ekowisata yang ada di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling?

3) Apa langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian kesesuaian prinsip-prinsip ekowisata agar pengelolaan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam

Bukit Tangkiling lebih mendekati dengan prinsip-prinsip ekowisata?

1.3 Tujuan Penelitian

(31)

7

1.3.1 Tujuan umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan

langkah-langkah yang dapat dilakukan sebagai rekomendasi berdasarkan hasil kajian kesesuaian prinsip-prinsip ekowisata agar pengelolaan ekowisata di kawasan

tersebut lebih mendekati dengan prinsip-prinsip ekowisata, sehingga dapat menciptakan ekowisata yang berkelanjutan. Prinsip-prinsip ekowisata tersebut merupakan rumusan hasil revisi pada pelatihan dan lokakarya ekowisata nasional

di Sanur, Bali pada tahun 2006 yang sudah mengacu pada The International Ecotourism Society (TIES) dan sudah dipasarkan oleh Green Globe 21.

1.3.2 Tujuan khusus

1) Untuk mengetahui kendala yang terkait dengan pengembangan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling.

2) Untuk mengetahui bagaimana implementasi prinsip-prinsip ekowisata dalam pengembangan ekowisata yang ada di Kawasan Taman Wisata

Alam Bukit Tangkiling.

3) Untuk menentukan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian kesesuaian

prinsip-prinsip ekowisata agar pengelolaan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling lebih mendekati dengan prinsip-prinsip

(32)

8

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu manfaat, baik

manfaat akademis maupun manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademik dalam memperkaya sumber referensi ilmu tentang kepariwisataan, khususnya yang menyangkut tentang ekowisata yang saat ini menjadi salah satu

sektor andalan pariwisata Indonesia. Selain itu, tema dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti-peneliti lain untuk menambah pemahaman tentang pentingnya mengkaji kesesuaian prinsip-prinsip ekowisata dalam pengembangan

ekowisata serta menentukan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menciptakan ekowisata yang berkelanjutan di Kawasan Taman Wisata Alam

Bukit Tangkiling Kecamatan Bukit Batu Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah.

1.4.2 Manfaat praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih kepada masyarakat yang berada di Kelurahan Tangkiling Kecamatan Bukit

Batu dalam mengelola ekowisata menuju pariwisata berkelanjutan pada khususnya, dan Kota Palangka Raya pada umumnya dalam membuat

(33)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

MODEL PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini belum pernah diadakan sebelumnya, namun ada beberapa

penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini yang dijadikan sebagai pembanding antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang diangkat penulis, sehingga akan menghasilkan penelitian yang lebih akurat. Adapun

penelitian-penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai acuan adalah penelitian-penelitian dari Astiti (2003), Sutiarso (2004), Danendra (2005), Sulistyawati (2011) dan Geovani

(2014).

Penelitian Astiti (2003) tentang “Penerapan Tri Hita Karana dalam Pengembangan Ekowisata pada Waka Gangga Resort Tabanan” menunjukkan

bahwa penerapan Tri Hita Karana dalam pengembangan ekowisata lebih banyak mempunyai kekuatan (sawah yang luas berterasering dan pemandangan laut),

peluang (kegiatan penanam padi, perahu dan memancing), kelemahan (tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan alam, sosial dan budaya masyarakat lokal).

Penelitian yang dilakukan oleh Sutiarso (2004) tentang “Ekowisata di

Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Jawa Timur” menyebutkan bahwa

(34)

10

langsung hasil pariwisata melalui keterlibatan tersebut. Hal yang menarik dalam penelitian ini bahwa masyarakat lokal tetap mendapatkan keuntungan ekonomi

secara langsung dari pariwisata di daerahnya dengan mengontrol dengan ketat terhadap kepemilikan jasa-jasa pariwisata. Hal ini merupakan kunci utama untuk

mendapatkan kesejahteraannya. Pemanfaatan Taman Nasional untuk tujuan pariwisata secara finansial dan ideologis dapat didukung sepanjang tidak merusak lingkungan. Pemanfaatan pariwisata itu penting untuk mendukung eksistensi

Taman Nasional dan juga eksistensi masyarakat lokal yang tinggal di kawasan tersebut.

Menurut Cochrane (dalam Sutiarso, 2004:13) yang meneliti wisata alam Bromo-Tengger mengatakan bahwa kegiatan pariwisata alam tidak mungkin secara sendirian dapat mendukung konservasi pada area yang ditargetkan.

Dukungan pemerintah dalam bentuk peraturan-peraturan dan insentif masih esensial dilakukan. Unsur nilai-nilai tradisional yang hidup di masyarakat,

perencanaan yang terintegrasi, dan dorongan pemegang kebijakan dalam wujud peraturan-peraturan dan insentif sangat penting dilakukan sehingga pengembangan dan pengelolaan suatu wilayah dapat menekan bahkan

menghilangkan konflik-konflik kepentingan sosial, ekonomi, lingkungan dan budaya yang mungkin terjadi.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Danendra (2005) dengan judul “Evaluasi Perkembangan Kawasan Pariwisata Lovina di Kabupaten

Buleleng”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi perkembangan

(35)

11

berkelajutan. Permasalahan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab turunnya jumlah kunjungan wisatawan ke Lovina, untuk mengetahui dampak

yang ditimbulkan dari kunjungan wisatawan dan untuk mengevaluasi perkembangan kawasan pariwisata Lovina dari aspek fisik, ekonomi, sosial dan

budaya. Data yang terkumpul diperoleh dari kelompok diskusi, observasi, dan wawancara serta data hasil penelitian yang dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa aspek

fisik, ekonomi, sosial dan budaya mengalami telah kemunduran. Dampak dari penurunan tersebut berdampak terhadap penurunan ekonomi masyarakat lokal.

Secara garis besar, penelitian ini banyak memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, baik itu dari segi konsep dan metode yang digunakan. Penelitian ini juga memberikan banyak inspirasi untuk melakukan

evaluasi pengembangan ekowisata menuju keberlanjutan. Namun hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah jenis objek yang

diteliti dan teori yang digunakan, dimana Danendra melakukan mengambil daya tarik wisata pantai sebagai objek penelitian, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah ekowisata.

Penelitian Sulistyawati (2011) tentang “Pengembangan Ekowisata di

Banjar Nyuh Kuning Kelurahan Mas Ubud Gianyar Bali dilihat dari Prinsip dan Kriteria Ekowisata Bali” bertujuan untuk mengevaluasi pengembangan ekowisata

di Banjar Nyuh Kuning serta alternatif pengembangan produk ekowisata yang ideal dikembangkan di Banjar Nyuh Kuning. Hasil dari penelitian ini

(36)

12

dengan hasil Lokakarya dan Pelatihan Ekowisata Nasional di Bali tahun 2006 sudah terpenuhi seperti prinsip menyediakan pemahaman yang dapat memberikan

peluang kepada wisatawan untuk menikmati alam dan meningkatkan kecintaan terhadap alam, prinsip memberdayakan dan mengoptimalkan partisipasi serta

sekaligus memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat lokal, prinsip peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat lokal, prinsip mentaati perundang-undangan yang berlaku, prinsip

pengembangan harus didasarkan atas musyawarah dan dengan persetujuan masyarakat lokal, prinsip secara konsisten memberikan kepuasan kepada

konsumen, serta prinsip sistem pengelolaan yang serasi dan seimbang sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Namun, Sulistyawati menambahkan bahwa alternatif pola pengembangan ekowisata yang ideal dapat dilakukan yaitu dengan

memenuhi dua kriteria tambahan yang belum terpenuhi yaitu prinsip memiliki kepedulian, komitmen dan tanggung jawab terhadap konservasi dan warisan

budaya dan prinsip dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai dengan harapan (pemasaran yang bertanggung jawab).

Tujuan dari penelitian Sulistyawati (2011) memiliki kesamaan dalam

penelitian ini yaitu mengkaji kesesuaian dari prinsip-prinsip ekowisata di suatu kawasan wisata. Namun yang membedakannya adalah kawasan wisata yang

dijadikan sebagai objek penelitian. Sulityawati mengambil objek di Banjar Nyuh Kuning Kelurahan Mas Ubud Gianyar Bali. Sedangkan dalam penelitian ini mengkaji kesesuaian prinsip-prinsip ekowisata dalam pengembangan ekowisata di

(37)

13

Penelitian yang dilakukan oleh Geovani (2014) berjudul “Pengembangan Potensi Ekowisata di Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling Kecamatan Bukit Batu Provinsi Kalimantan Tengah” bertujuan untuk mengetahui potensi ekowisata

yang dimiliki oleh Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling, persepsi

wisatawan terhadap aspek produk wisata di kawasan tersebut, dan bagaimana pengembangan potensi ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa potensi atraksi ekowisata

yang dimiliki Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling Kalimantan Tengah termasuk dalam kategori “menarik”. Aktifitas sosial budaya masyarakat, kesenian

tradisional, menjelajah hutan, pura agama Hindu-Kaharingan, penangkaran buaya, dan lainnya sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata yang berkonsep ekowisata. Kesamaan dalam penelitian ini adalah meneliti

Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling. Namun yang membedakannya adalah fokus penelitian yang menjadi tujuan khusus dari penelitian. Geovani

(2014) berfokus pada pengembangan potensi ekowisata di TWA Bukit Tangkiling, sementara penelitian ini mengkaji kesesuaian prinsip-prinsip ekowisata dalam pengembangan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam

Bukit Tangkiling.

Manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian-penelitian tersebut adalah

(38)

14

2.2 Konsep 2.2.1 Ekowisata

Ekowisata (eco-tourism) dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah Nomor 33 Tahun 2009 pasal 1

menyebutkan bahwa ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur pendididkan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam serta peningkatan

masyarakat lokal, kemudian diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 bahwa ekowisata adalah perjalanan untuk menikmati segala keunikan

alam di Taman Nasional, Huta Raya dan Taman Wisata Alam. Beberapa pendapat lain tentang ekowisata adalah Ceballos-Lascurain (1988:33) yang lebih menekankan pada faktor daerah alami. Selanjutnya The International Ecotourism

Society (1993:5) mendefinisikan ekowisata sebagai suatu perjalanan yang bertanggung jawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi dan

meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat.

Ekowisata merupakan konsep baru dalam ranah kepariwisataan yang memiliki penekanan pada kelestarian lingkungan dan merupakan paradigma baru

tentang kegiatan pariwisata yang pro terhadap lingkungan dengan berbagai kegiatan partisipasi wisatawan dan masyarakat lokal yang meliputi usaha

konservasi dan penyelamatan lingkungan. Seperti yang diungkapkan oleh Dhanoa (2013) bahwa “Eco-tourism means responsible travel to nature areas that safeguards the integrity of the ecosystem and produces economic benefits for

(39)

15

marrying the goals of ecological conservation and economic development”.

Ekowisata terlahir dari konsep sebelumnya yang lebih dikenal dengan pariwisata

alternatif yang artinya bahwa ekowisata merupakan konsep baru, turunan dari konsep pariwisata alternatif tentang pariwisata masa kini.

The International Ecotourism Society (1990) mendefinisikan ekowisata

sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan

penduduk setempat. Bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan yang ingin berkunjung ke area alami, yang dapat menciptakan

kegiatan bisnis. Manu dkk. (2012) mengatakan bahwa “Ecotourism has the potential to become a driver of sustainable tourism development and also provide

opportunities for the development of the disadvantaged, marginalized and rural

areas leading to poverty alleviation”. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai

bentuk baru dari perjalanan bertanggung jawab dan berpetualang ke area alami,

yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999). The International Ecotourism Society menyebutkan bahwa ada delapan prinsip pengembangan ekowisata, yaitu:

1) Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan

sifat dan karakter alam dan budaya setempat.

2) Mengadakan pendidikan konservasi lingkungan dengan tujuan mendidik wisatawan dan masyarakat lokal akan pentingnya arti konservasi. Proses

(40)

16

3) Pendapatan langsung untuk kawasan.

Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen

untuk pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat

dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan.

4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan.

Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut

secara aktif.

5) Penghasilan masyarakat.

Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan

ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. 6) Menjaga keharmonisan dengan alam.

Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat.

7) Daya dukung (carrying capacity) lingkungan.

Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih

(41)

17

8) Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara.

Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka

devisa negara dari belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dan dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah

setempat.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka secara operasional konsep ekowisata dalam penelitian ini diartikan sebagai sebuah konsep pariwisata yang

selalu berdasarkan pada asas keberlanjutan dan prinsip-prinsip penyelamatan lingkungan baik lingkungan alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui tindakan

nyata terhadap pelestarian dan konservasi sumber daya yang ada.

2.2.2 Prinsip-prinsip ekowisata

Evaluasi formatif digunakan dalam menjawab rumusan masalah kedua

mengenai pengimplementasian dari prinsip-prinsip dan kriteria ekowisata. Pendekatan yang digunakan dalam hal ini yaitu menggunakan alat evaluasi dari

prinsip-prinsip dan kriteria ekowisata menurut rumusan hasil revisi Lokakarya dan Pelatihan Ekowisata Nasional di Bali tahun 2006 yang sudah mengacu pada TIES (The International Ecotourism Society) yang sudah dipasarkan oleh Green Globe

21. (Dalem, 2006:41).

Berikut beberapa dasar pertimbangan dalam menggunakan rumusan

tersebut sebagai alat evaluasi (Dalem, 2006): 1) Credible

Organisasi ekowisata tersebut dapat dipercaya oleh konsumen dan

(42)

18

Indonesia seperti Bali, Kalimantan, Sumatera, dan beberapa daerah lainnya.

2) Affordable

Produk wisata mudah dipahami atau dipakai.

3) Accessible

Produk ekowisata terjangkau oleh konsumen atau wisatawan. 4) Instantly Recognizable

Produk ekowisata mudah dikenali oleh konsumen.

Adapun rumusan, prinsip-prinsip dan kriteria ekowisata nasional (1996)

yang telah berhasil diperbaharui atau direvisi berdasarkan hasil Lokakarya dan Pelatihan Ekowisata Nasional yang dilaksanakan di Sanur, Bali tahun 2006 (Dalem, 2006) menghasilkan rumusan sebagai berikut:

Prinsip Ekowisata:

Prinsip I: Memiliki kepedulian, komitmen, dan tanggung jawab terhadap konservasi alam dan warisan budaya.

Kriteria-kriteria:

1. Tercapainya keseimbangan dalam pemanfaatan lahan. 2. Penggunaan teknologi yang ramah lingkungan.

3. Pemanfaatan areal warisan budaya sebagai objek ekowisata yang disesuaikan dengan peruntukan dan fungsinya.

4. Melestarikan keanekaragaman hayati dan cagar budaya yang disesuaikan dengan daya dukung setempat.

5. Memperhatikan keberadaan endemisitas.

(43)

19

Kriteri-kriteria:

1. Menyediakan pramuwisata professional dan berlisensi.

2. Menyediakan fasilitas pendukung dan informasi yang memadai terkait dengan objek ekowisata.

3. Melibatkan lembaga adat setempat.

Prinsip III: Ada proses pembelajaran/ edukasi dialogis antara masyarakat dan wisatawan.

Kriteria-kriteria:

1. Melibatkan unsur akademis, pemerhati lingkungan serta lembaga terkait (langsung atau tidak langsung).

2. Memberi pemahaman mengenai keanekaragaman hayati, cagar budaya dan nilai-nilai budaya lokal. Menumbuhkan kesadaran dan kecintaan terhadap alam dan budaya.

Prinsip IV: Pengembangan harus didasarkan atas persetujuan masyarakat setempat melalui musyawarah.

Kriteria-kriteria:

1. Perencanaan, pengembangan, pengelolaan, dan pengawasannya perlu mendapat persetujuan dari masyarakat setempat.

2. Melakukan koordinasi dengan masyarakat setempat dalam setiap tahap pengembangannya.

3. Melibatkan masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berdampak luas terhadap masyarakat, lingkungan, dan perusahaan. Prinsip V: Memberdayakan dan mengoptimalisasi partisipasi serta

sekaligus memberikan kontribusi secara kontinyu terhadap masyarakat setempat.

Kriteria-kriteria:

1. Memprioritaskan pemanfaatan tenaga kerja lokal sesuai dengan keahlian. 2. Memprioritaskan pemanfaatan produk lokal untuk operasional objek

ekowisata.

(44)

20

Prinsip VI: Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kriteria-kriteria:

1. Mentaati peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

2. Mentaati dan menghormati kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat setempat.

PrinsipVII: Secara konsisten memberikan kepuasan kepada konsumen. Kriteria-kriteria:

1. Memberikan pelayanan informasi yang akurat kepada konsumen.

2. Menyediakan fasilitas dan memberikan pelayanan prima kepada konsumen.

3. Memanfaatkan masyarakat setempat sebagai local guide.

4. Menyediakan fasilitas dan media untuk memperoleh umpan balik dari konsumen.

Prinsip VIII: Dipasarkan dan dipromosikan dengan jujur dan akurat sehingga sesuai dengan harapan/ pemasaran yang bertanggung jawab.

Kriteria-kriteria:

1. Materi pemasaran harus akurat, jelas, berkualitas, dan sesuai dengan kenyataan.

2. Materi pemasaran harus melalui media promosi yang dipilih sesuai dengan target market.

Prinsip IX : Peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat.

Kriteria-kriteria:

1. Sistem pengelolaan yang serasi dan seimbang sesuai dengan konsep masyarakat setempat, atau seperti Tri Hita Karana: memperhatikan keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), hubungan antara manusia dengan manusia (pawongan), hubungan antara manusia dengan lingkungan (palemahan).

(45)

21

3. Keberadaan dan kegiatan objek ekowisata tidak mengganggu aktifitas keagamaan masyarakat setempat.

2.2.3 Strategi pengembangan kawasan ekowisata

Pengertian strategi yang diuraikan oleh beberapa ahli adalah suatu rencana permainan untuk mencapainya Kotler (2002:91). Menurut Marpaung (2000:52), strategi adalah suatu proses penentuan nilai pilihan dan pembuatan

keputusan dalam pemanfaatan sumber daya yang menimbulkan suatu komitmen bagi organisasi yang bersangkutan kepada tindakan-tindakan yang mengarah

kepada masa depan. Di dalam bidang manajemen, strategi sering diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan, dalam hal ini keuntungan yang maksimal. Chander dalam (Rangkuti, 2001:3) mengatakan bahwa strategi

merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut, serta prioritas alokasi sumber daya.

Pengembangan adalah suatu proses atau cara untuk menjadikan sesuatu

untuk menjadi maju, baik, sempurna, dan berguna (Poerwadarminto, 2002:45). Sedangkan menurut Badudu dan Zain (1994:24), pengembangan adalah hal cara

atau hasil kerja mengembangkan. Menurut Suwantoro (2002:88-89), pengembangan adalah memajukan dan memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Jadi, pengembangan dalam hal ini dapat diartikan sebagai suatu

kegiatan untuk membuat dari yang belum ada menjadi ada, dari yang sudah ada menjadi lebih baik dan dari yang sudah baik menjadi lebih baik, dan seterusnya.

(46)

22

mengembangkan segala potensi yang telah ada dalam usaha meningkatkan dan memperbaiki kondisi objek wisata, sehingga keberadaan objek wisata tersebut

tetap diminati wisatawan yang nantinya dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Dalam pengembangan suatu kawasan ekowisata, tujuannya tidak hanya untuk mengejar kebutuhan material semata, akan tetapi memilik landasan pijak yang kokoh dalam menata, memanfaatkan dan mengembangkan ekowisata pada

prinsip-prinsip pengembangan ekowisata yang berkelanjutan dan hal ini menjadi bagian penting dalam pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan sebagai

konsep dan pendekatan yang telah diakui secara nasional maupun internasional. Perkembangan ekowisata di Indonesia hingga akhir tahun 1999 masih terbilang lamban yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti belum adanya

pedoman yang dapat mendorong ekowisata menjadi kegiatan pelestarian alam dan ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, masih rendahnya pemahaman mengenai

ekowisata oleh berbagai stakeholder terutama dari kaum birokrat yang dapat dianggap penting sebagai pendorong maupun pelaksana kegiatan ekowisata. Hal lain yang menyebabkan perkembangan ekowisata di Indonesia terbilang lamban

adalah karena masih adanya keraguan terhadap kebenaran konsep ekowisata yang dapat dijadikan sebagai ekonomi berkelanjutan yang sekaligus mampu

memberdayakan masyarakat lokal.

Usman (1999) mengatakan bahwa dalam pengembangan ekowisata di Indonesia perlu melibatkan masyarakat lokal dalam setiap kegiatan

(47)

23

masyarakat yang tinggal di daerah-daerah daya tarik wisata untuk mengelola jasa-jasa pelayanan bagi wisatawan.

Untuk menetapkan pengembangan bisnis ekowisata perlu memperhatikan beberapa syarat- syarat seperti yang dinyatakan oleh Denman (2001), sebagai

berikut:

1) Kerangka ekonomi dan politik yang mendukung perdagangan efektif dan investasi yang aman.

2) Perundang-undangan di tingkat nasional yang tidak menghalangi pendapatan wisata yang diperoleh dan berada di tingkat komunitas lokal.

3) Tercukupinya hak-hak kepemilikan yang ada dalam komunitas lokal. 4) Terjaminnya keamanan pengunjung.

5) Resiko kesehatan yang relatif rendah, akses yang cukup mudah terhadap

pelayanan medis dan persediaan air bersih yang cukup.

6) Tersedianya fasilitas fisik dan telekomunikasi dari dan ke wilayah

tersebut.

Ketersediaan dan kualitas dari komponen produk wisata tersebut sangat ditentukan oleh kesiapan para pelaku wisata, seperti pemerintah, dunia usaha dan

masyarakat (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2002).

Hidayati dkk. (2003) menyebutkan bahwa dalam mencapai ekowisata

yang berkelanjutan diperlukan monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan ekowisata. Monitoring dan evaluasi dapat dilakukan secara internal yang dilakukan oleh pengelola sendiri dan secara eksternal yang dilakukan oleh

(48)

24

Hidayati dkk. juga menyebutkan bahwa usaha pengembangan ekowisata di Indonesia masih dalam taraf wacana. Hal ini diindikasikan dari belum terbitnya

secara tersendiri peraturan perundang-undangan untuk pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata masih mengacu pada peraturan yang berkaitan dengan

wisata alam dan konservasi.

Pengembangan ekowisata berpengaruh posistif pada perluasan peluang usaha dan kerja yang lahir karena adanya permintaan wisatawan. Kedatangan

wisatawan ke suatu daerah akan membuka peluang bagi masyarakat lokal untuk menjadi pengusaha hotel, wisma homestay, restoran, warung, angkutan, dagang

asongan, sarana olahraga, jasa dan lain sebagainya.

Dalam penerapannya, pengembangan ekowisata sebaiknya juga mencerminkan dua prinsip lainnya, yaitu prinsip edukasi dimana pengembangan

ekowisata harus mengandung unsur pendidikan untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang menjadi memiliki kepedulian, tanggungjawab, dan komitmen

terhadap pelestarian lingkungan dan budaya. Selain itu, tentunya penerapan pengembangan ekowisata sebaiknya mencerminkan prinsip wisata dimana pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan pengalaman

orisinal kepada pengunjung, serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan.

2.2.4 Pembangunan pariwisata berkelanjutan

The world Conservation Union (WCU) menyatakan bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan proses pembangunan suatu tempat atau

(49)

25

dapat dicapai dengan pengawasan dan pemeliharaan terhadap sumber-sumber daya yang ada sekarang, agar dapat dinikmati untuk masa yang akan datang.

Pembangunan kepariwisataan akan dapat bertahan lama apabila menghubungkan wisatawan sebagai penyokong dana terhadap fasilitas pariwisata dengan

pemeliharaan lingkungan.

Menurut The World Commisions for Environmental and Development (WCED) dalam Damanik dan Weber (2006), konsep dari pariwisata berkelanjutan

merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan antara kebutuhan sekarang dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup generasi di

masa yang akan datang. Artinya, dalam pembangunan hendaknya jangan menghabiskan atau menguras sumber daya pariwisata untuk jangka pendek, namun juga harus memperhatikan keberlanjutan pembangunan pariwisata jangka

panjang di masa mendatang.

Tourism Stream, Action Strategy yang diambil dari Globe ’90

Conference Vancouver, Canada (Swarbroke dalam Wirawan, 1998:10) menyatakan bahwa kepariwisataan berkelanjutan merupakan bentuk dari pengembangan ekonomi yang dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup dari

masyarakat lokal, memberikan image yang positif bagi wisatawan, pemeliharaan kualitas lingkungan hidup yang tergantung dari masyarakat lokal dan wisatawan

itu sendiri.

Dalam pengembangan kepariwisataan, daya dukung (carrying capacity) menjadi kunci dari sustainable tourism. Konsep ini mengacu pada penggunaan

(50)

26

sumber-sumber yang ada, mengurangi kepuasan turis atau menambah masalah sosial dan ekonomi bagi masyarakat.

Kingdoms Department of the Environment dalam Magdalena (2002:22) juga memaparkan prinsip-prinsip dari pariwisata berkelanjutan, antara lain:

1) Lingkungan hidup mempunyai nilai yang tersirat sebagai asset dari pariwisata dan keberadaannya harus dipertimbangkan untuk jangka panjang.

2) Kepariwisataan harus dapat dikenalkan sebagai aktifitas yang positif dan dapat memberikan keuntungan yang potensial kepada masyarakat di

tempat-tempat lain sekitarnya.

3) Hubungan antara pariwisata dan lingkungan harus dikelola, sehingga lingkungan hidup dapat bertahan untuk jangka panjang dan kegiatan

pariwisata tidak boleh membawa dampak yang tidak diharapkan.

4) Kegiatan kepariwisataan dan pengembangan-pengembangannya harus

mempertimbangkan derajat kealamian dan karakter dari tempat dimana mereka berlokasi.

5) Keserasian antara kebutuhan wisatawan, tempat dan penduduk sekitar

harus dicari dan dipertemukan.

Dari beberapa konsep yang dipaparkan mengenai konsep pariwisata

(51)

27

Tabel 2.1

Pengembangan yang Sustainable dan Non Sustainable

Sustainable Non Sustainable

5. Pengembang (developer) lokal 6. Arsitektur asli 7. Arsitektur tidak asli (non

vernacular) Perilaku Turis/Wisatawan:

1. Bernilai tinggi 2. Maturity

3. Ada beberapa pengetahuan mengenai bahasa lokal

(52)

28

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Teori siklus hidup destinasi pariwisata

Pengembangan adalah suatu proses atau cara untuk menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna dan berguna (Poerwadarminta, 2002:474). Dalam

penelitian ini, pengembangan diartikan sebagai suatu proses atau perbuatan pengembangan dari yang sudah ada menjadi lebih baik dan dari yang sudah baik menjadi lebih baik, demikian seterusnya.

Tahapan pengembangan merupakan suatu tahapan siklus evolusi yang terjadi dalam pengembangan pariwisata, sejak suatu daerah tujuan wisata baru

ditemukan (discovery), kemudian berkembang hingga pada akhirnya terjadi penurunan (decline). Menurut Buttler (dalam Pitana, 2005:103) ada 7 fase pengembangan pariwisata (Destination Area Life Cycle) yang membawa implikasi

serta dampak yang berbeda, secara teoritis diantaranya: 1) Fase Explorasi/Penemuan (Exploration)

Fase ini berkaitan dengan discovery yaitu daerah pariwisata yang baru mulai ditemukan, dikunjungi secara terbatas dan sporadis, khususnya bagi wisatawan petualang. Dalam fase ini terjadi kontak yang tinggi

antara wisatawan dan masyarakat lokal karena wisatawan menggunakan fasilitas lokal yang tersedia. Dampak sosial ekonomi pada tahap ini

(53)

29

2) Fase Keterlibatan (Involvement)

Seiring meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan, maka sebagian

masyarakat lokal mulai menyediakan berbagai fasilitas yang memang khusus diperuntukan bagi wisatawan. Kontak antara wisatawan dan

masyarakat lokal masih sangat tinggi. Masyarakat mulai mengubah pola-pola sosial yang ada untuk merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Disinilah mulainya suatu daerah menjadi suatu destinasi wisata yang

ditandai dengan mulai adanya promosi.

3) Fase Pengembangan dan Pembangunan (Development)

Dalam fase ini terlihat mulai munculnya pasar wisata secara sistematis dan investasi dari luar mulai masuk. Selain itu, daerah semakin terbuka secara fisik, dan promosi semakin intensif, fasilitas lokal sudah tersisih

atau digantikan oleh fasilitas yang benar-benar berstandar internasional, dan atraksi buatan sudah mulai dikembangkan dan mulai menambahkan

atraksi yang asli atau alami. Berbagai barang dan jasa diimpor termasuk tenaga kerja asing untuk mendukung perkembangan pariwisata yang pesat.

4) Fase Konsolidasi (Consolidation)

Dalam struktur ekonomi daerah, pariwisata sudah mulai dominan dan

(54)

30

diperluas untuk mengisi fasilitas yang sudah dibangun dan fasilitas lama sudah mulai ditinggalkan.

5) Fase Kestabilan (Stagnation)

Munculnya masalah ekonomi, sosial dan lingkungan akibat dari kapasitas

berbagai faktor sudah terlampaui di atas daya dukung (carrying capacity). Kalangan industri sudah mulai bekerja keras untuk memenuhi kapasitas dari fasilitas yang dimiliki, khususnya dengan mengharapkan

repeater guest dan wisata konvensi/bisnis. Pada fase ini, atraksi buatan sudah mendominasi atraksi alam yang masih alami (baik budaya maupun

alam), citra awal sudah mulai luntur dan destinasi sudah tidak lagi popular.

6) Fase Penurunan (Decline)

Dalam fase ini, wisatawan sudah mulai beralih ke destinasi wisata baru atau pesaing dan yang tertinggal hanya ‘sisa-sisa’, khususnya wisatawan

yang hanya berakhir pekan. Banyak fasilitas pariwisata sudah beralih atau dialihkan fungsinya untuk kegiatan non-pariwisata, sehingga destinasi semakin tidak menarik bagi wisatawan. Partisipasi lokal

mungkin meningkat lagi terkait dengan harga yang merosot turun dengan melemahnya pasar. Destinasi bisa berkembang menjadi destinasi kelas

rendah atau jati diri sebagai destinasi wisata kehilangan secara total. 7) Fase Peremajaan (Rejuvenation)

Perubahan secara dramatis bisa terjadi sebagai hasil dari berbagai usaha

(55)

31

ini bisa terjadi karena inovasi dan pengembangan produk baru, atau menggali atau memanfaatkan sumber daya alam dan budaya yang

sebelumnya belum dimanfaatkan. Siklus hidup destinasi wisata (Destination Area Life Cycle) tersebut bila digambarkan adalah seperti

Gambar 2.1.

Gambar 2.1

Destination Area Life Cycle

Sumber: Butler (1980)

Strategi pengembangan ekowisata di Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Tangkiling sudah berada pada tahap pengembangan dan pembangunan (Development). Namun pengelolaan kawasan tersebut masih belum maksimal dan

kunjungan wisatawan baik itu domestik maupun macanegara masih relatif rendah.

2.3.2 Teori pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism) Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat adalah aktifitas masyarakat lokal untuk mendorong pertukaran dan menciptakan sebuah masyarakat yang

Gambar

Tabel Halaman
Tabel 2.1
Gambar 2.1 Destination Area Life Cycle
Gambar 2.2 Model penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Uzunu Khair : Kapasitas Daya Dukung Fisik Kawasan Ekowisata Di Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit…, 2006 USU Repository © 2008... Uzunu Khair : Kapasitas Daya Dukung Fisik

terdapat di kawasan TWABK agar produk yang ditawarkan pada wisatawan sesuai dengan karakteristik (fungsi) kawasan dan daya dukungnya. Pengembangan wisata alam dengan

Setelah semua faktor strategis yang mempengaruhi pengembangan obyek wisata alam Resort Balik Bukit Pekon Kubu Perahu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Setelah semua faktor strategis yang mempengaruhi pengembangan obyek wisata alam Resort Balik Bukit Pekon Kubu Perahu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Taman Nasional Bukit Tigapuluh memiliki potensi pariwisata yang besar untuk dikembangkan terutama dua kawasan, yakni kawasan Camp Granit kearah ekowisata serta

Kawasan Wisata Alam Bukit Tangkiling sebagai lokasi dalam penelitian kali.. ini adalah karena kawasan ini merupakan kawasan yang menjadi

Kawasan Wisata Alam Sangkima merupakan salah satu obyek wisata yang terletak di Taman Nasional Kutai yang memiliki kekayaan dan daya tarik yang beranekaragam sehingga prospektif

Kemudian hasil dari kesesuaian lahan pada kawasan ekowisata Bukit Sewu Sambang yaitu termasuk dalam kategori S2 (Sesuai) dengan nila indeks kesesuaian wisata