• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Potensi dan Daya Dukung Taman Wisata Alam Bukit Kelam untuk Strategi Pengembangan Ekowisata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Potensi dan Daya Dukung Taman Wisata Alam Bukit Kelam untuk Strategi Pengembangan Ekowisata"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN POTENSI DAN DAYA DUKUNG

TAMAN WISATA ALAM BUKIT KELAM

UNTUK STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA

SIGIT PURWANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Potensi dan Daya Dukung Taman Wisata Alam Bukit Kelam untuk Strategi Pengembangan Ekowisata adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Sigit Purwanto

(4)

Bukit Kelam untuk Strategi Pengembangan Ekowisata. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan ANDI GUNAWAN.

Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dapat dilaksanakan di Taman Wisata Alam Bukit Kelam (TWABK). Ekowisata diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya alam. Pengembangan ekowisata di TWABK harus sesuai dengan fungsi kawasan dan daya dukungnya, untuk itu harus diketahui karakteristik dan potensi obyek dan daya tarik wisata alam (ODTWA) di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi dan menganalisis potensi ODTWA TWABK; (2) menganalisis daya dukung TWABK untuk pengembangan ekowisata; (3) mengidentifikasi dan menganalisis stakeholder TWABK; dan (4) merumuskan strategi pengembangan ekowisata di TWABK.

Analisis potensi obyek dan daya tarik wisata alam menggunakan pedoman Analisis Daerah Operasi – Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA) Dirjen PHKA 2003. Analisis daya dukung TWABK menggunakan kriteria daya dukung fisik (PCC), daya dukung riil (RCC) dan daya dukung efektif (ECC). Analisis stakeholder menggunakan Stakeholder Grid, dan strategi pengembangan ekowisata TWABK disusun menggunakan analisis SWOT.

TWABK memiliki potensi obyek dan daya tarik wisata alam yang layak untuk dikembangkan, namun memiliki beberapa hambatan dan kendala untuk dikembangkan sebagai destinasi ekowisata. Obyek dan daya tarik wisataalam yang berpotensi untuk dikembangakan yaitu : (1) panorama alam Bukit Kelam; (2) jalan lingkar kelam; (3) jalur pendakian; (4) puncak Bukit Kelam; (5) daerah kaki Bukit Kelam; (6) lereng tebing Bukit Kelam; (7) wisata rohani Goa Maria; dan (8) wisata agro.Daya dukung efektif (ECC) kawasan TWABK untuk ekowisata adalah sebesar 196 orang/hari, dengan faktor koreksi kelerengan, kepekaan erosi tanah, potensi lanskap, iklim, dan gangguan satwa liar (musim bertelur burung walet). Stakeholder TWABK terbagi dalam empat kategori, yaitu

Key players, Context setters, Crowd, dan Subjects. Key players terdiri dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sintang dan masyarakat. Context setters terdiri dari LSM.

Crowd terdiri dari swasta. Subjects terdiri dari pengunjung, akademisi dan perusahaan air minum isi ulang. Perumusan strategi pengembangan ekowisata TWABK menghasilkan 9 strategi, yaitu : (1) pemantapan kawasan; (2) penyusunan rencana pengelolaan; (3) pengembangan ekowisata sesuai potensi dan daya dukung kawasan; (4) publikasi dan promosi; (5) perlindungan dan pengamanan kawasan; (6) kolaborasi pengelolaan; (7) pendidikan lingkungan dan penyuluhan; (8) pembinaan masyarakat; dan (9) monitoring dan evaluasi dampak ekowisata.

(5)

SIGIT PURWANTO. Study of Potency and Carrying Capacity of Bukit Kelam Natural Tourism Park for Ecotourism Development Strategy. Supervised by LAILAN SYAUFINA and ANDI GUNAWAN.

Ecotourism is an activity that can be carried out in Bukit Kelam Natural Tourism Park (TWABK). It is believed that ecotourism can increase the community welfare and natural resources sustainability. Ecotourism development in TWABK need to be based on the function and carrying capacity of the area, so that it must be discovered the object potential and natural tourism attraction. The research aimed to: (1) identify and analyze the object potential and natural tourism attraction in TWABK; (2) analyze the carrying capacity of TWABK for ecotourism development, (3) identify and analyze the stakeholders of TWABK; and (4) formulate the strategies of ecotourism development in TWABK.

Analysis of potential object and natural tourism attraction by using the guidlines of Area Operation Analysis – objects and natural tourism attraction, published by Directorat General of Forest Protection and Nature Conservation 2003. The criteria of physical carrying capacity (PCC), real carrying capacity (RCC) and efective carrying capacity (ECC) are used to analyze the carrying capacity of TWABK. Stakeholder Grid are used to analyze the stakeholders and the ecotourism development strategies of TWABK which formulated by using SWOT analysis.

Some objects in TWABK are feasible for ecotourism development, but they have some barriers and obstacles to be developed as ecotourism destination. Objects and natural tourist attraction that have potential to be developed are: (1) Bukit Kelam landscape; (2) Kelam ring road;, (3) climbing transect; (4) hill peak; (5) foothills area; (6) hillside; (7) spiritual tourism of Maria cave; and (8) agro tourism. The ECC of TWABK area for ecotourism is 196 persons/day, taking into account the slope, soil erosion sensitivity, landscape potential, climate and wildlife disturbance (swallow birds spawn season) as a correction factor. Stakeholders of TWABK are divided into four categories, such as: key players (Ministry of Forestry, Ministry of Tourism and Creative Economy, Agency of Cultural and Tourism of Sintang District, Agency of Forestry and Plantation of Sintang District and the communities), context setters (NGOs), the crowd (private sectors) and the subjects (visitors, academics and refill water company). The ecotourism development strategy formulation of TWABK results 9 strategies, which are: (1) strengthening the area, (2) management plan formulation, (3) ecotourism development in accordancewith the potency and carrying capacity of the area, (4) publication and promotion, (5) protection area, (6) management collaboration, (7) environmental education and counseling, (8) community development, and (9) monitoring and evaluation of ecotourism impacts.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

KAJIAN POTENSI DAN DAYA DUKUNG

TAMAN WISATA ALAM BUKIT KELAM

UNTUK STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA

SIGIT PURWANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

NIM : P052100191

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Lailan Syaufina, MSc Dr Ir Andi Gunawan, MAgrSc Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Kajian Potensi dan Daya Dukung Taman Wisata Alam Bukit Kelam untuk Strategi Pengembangan

Ekowisata” telah berhasil diselesaikan. Terima kasih diucapkan kepada Ibu Dr Ir Lailan Syaufina, MSc dan Bapak Dr Ir Andi Gunawan, MAgrSc selaku Komisi Pembimbing, Bapak Dr Ir Aris Munandar, MS selaku penguji, serta semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang dan jerih payahnya.

Semoga karya yang jauh dari kesempurnaan ini dapat memberikan kebaikan dan manfaat bagi semua.

Bogor, Agustus 2014

(11)

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Kerangka Pemikiran 2

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Daerah Tujuan Wisata 4

Pengertian Ekowisata 7

Konsep Daya Dukung 10

Taman Wisata Alam 12

Pengembangan Ekowisata di Taman Wisata Alam 12

Perumusan Strategi dengan Analisis SWOT 16

3 METODOLOGI 17

Lokasi dan Waktu Penelitian 17

Bahan dan Alat 18

Jenis Data yang Dikumpulkan 18

Metode Pengumpulan Data 19

Analisis Data 19

Strategi Pengembangan Ekowisata TWABK 21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23

Penilaian Potensi Taman Wisata Alam Bukit Kelam 23

Daya Dukung TWABK 39

Analisis Stakeholder TWABK 43

Strategi Pengembangan Ekowisata TWABK 49

5 SIMPULAN DAN SARAN 57

Simpulan 57

Saran 57

DAFTAR PUSTAKA 58

(12)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan Sumber Data berdasarkan Tujuan Penelitian 18 2 Interpretasi Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder (Abbas 2005) 20 3 Matriks Evaluasi Faktor Internal (Rangkuti 2000) 22 4 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (Rangkuti 2000) 22

5 Matriks SWOT (Rangkuti 2000) 22

6 Hasil Penilaian Kriteria Potensi ODTWA di Kawasan TWABK 23

7 Nilai Faktor Koreksi Variabel PCC 42

8 Identifikasi Stakeholder pada Pengelolaan TWABK 43 9 Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder TWABK 44

10 Evaluasi Faktor Internal (EFI) TWABK 49

11 Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) TWABK 50

12 Matriks SWOT Pengembangan Ekowisata TWABK 51

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 2

2 Peta Lokasi Penelitian (sumber : BKSDA Kalimantan Barat) 17 3 Matriks Pengaruh dan Kepentingan (Reed et al 2009) 21

4 Pemandangan Alam Bukit Kelam 25

5 Jalur Pendakian ke Puncak Bukit Kelam 27

6 Pemandangan dari Atas Puncak Bukit dan Pondok Jaga Goa Punjung 28 7 Peta Jalur Wisata di Daerah Kaki Bukit Kelam 29 8 Lereng Tebing Bukit Kelam (sumber foto: BKSDA Kalbar) 30

9 Stakeholder Grid TWABK 45

10 Peta Topografi TWABK 75

11 Peta Aksesibilitas TWABK 75

12 Peta Tutupan Lahan TWABK 76

13 Peta Lokasi Wisata TWABK 76

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kriteria Penilaian Daya Tarik Obyek Wisata Berdasarkan Pedoman Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam, Dirjen

PHKA, 2003 62

2 Perhitungan daya dukung fisik (PCC), daya dukung riil (RCC) dan daya

dukung efektif (ECC) 70

3 Penilaian Pengaruh dan Kepentingan Stakeholder TWABK 73

4 Matriks SWOT Pengembangan Ekowisata TWABK 74

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Balakang

Pariwisata berbasiskan kelestarian ekologi dan sosial (ekowisata) saat ini semakin luas dikenal sebagai salah satu daya tarik ekonomi yang menguntungkan dan terus dipromosikan secara gencar dalam upaya konservasi hutan hujan tropika. Banyak daerah yang memiliki kondisi alam yang asli dan budaya lokal yang sangat potensial untuk kegiatan wisata telah rusak oleh karena ketidaktahuan dalam pemanfaatan, perencanaan dan pengelolaannya (Dit PP 2007).

Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kelam (TWABK) sebagai kawasan konservasi yang secara administrasi termasuk dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Propinsi Kalimantan Barat. Kawasan dengan luas 520 ha yang semula berstatus sebagai Hutan Lindung pada tahun 1992 telah dikukuhkan sebagai Taman Wisata Alam sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 594/Kpts-II/1992 tanggal 6 Juni 1992. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, pengelolaan kawasan ini harus mengacu pada pengelolaan kawasan taman wisata alam, yaitu dimanfaatkan terutama untuk kepentingan pariwisata alam dan rekreasi.

Kawasan konservasi merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Menurut UU RI No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sistem kawasan konservasi di Indonesia terdiri atas (1) Kawasan Suaka Alam (KSA), terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa; (2) Kawasan Pelestarian Alam (KPA), terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya dan Taman Buru.

(14)

Taman Wisata Alam Bukit Kelam (TWABK) memiliki potensi ekowisata yang cukup tinggi, tetapi sampai saat ini belum dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu, perumusan strategi pengembangan ekowisata di kawasan ini sangat penting untuk dilakukan bagi pemanfaatan yang berkelanjutan dan pelestarian keanekaragaman hayati yang dimiliki.

Kerangka Pemikiran

Daya tarik utama dari wisata alam adalah ketersediaan obyek dan daya tarik wisata alam (ODTWA) yang bersumber dari keindahan dan keunikan obyek sumber daya alam dan sosial budaya masyarakat setempat, baik berupa flora, fauna dan lanskap serta juga nilai tambah dari atraksi budaya yang ada. Semakin beragam ODTWA semakin menarik minat wisatawan karena produk yang ditawarkan beragam pula. Oleh karena itu dalam menganalisis suatu ODTWA di suatu kawasan terlebih dahulu dilakukan inventarisasi dari obyek-obyek yang ada.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam pengembangan wisata alam di kawasan konservasi dalam hal ini TWABK adalah menjaga kelestarian ekosistemnya. Untuk itu harus diketahui karakteristik dari obyek-obyek yang

Faktor Supply, Faktor Demand dan Faktor Penunjang Potensi ODTWA Potensi pasar

Amenitas dan Aksesibilitas

Stakeholder Peran, kepentingan dan

pengaruh

Daya Dukung

Daya dukung fisik Daya dukung riil Daya dukung efektif

Konsep Ekowisata

Pengelolaan TWA Bukit Kelam

Strategi Pengembangan Ekowisata Sesuai Kondisi dan Daya Dukung Kawasan

(15)

terdapat di kawasan TWABK agar produk yang ditawarkan pada wisatawan sesuai dengan karakteristik (fungsi) kawasan dan daya dukungnya. Pengembangan wisata alam dengan konsep ekowisata diharapkan dapat mensinergikan kepentingan konservasi dan sosial ekonomi serta menjadikan masyarakat sebagai subyek dan obyek pembangunan pariwisata. Pada kawasan wisata alam dimana sumberdaya alam atau biodiversity merupakan basis utama wisata, keberlanjutan dan pelestarian alam merupakan hal yang sangat penting. Hal ini tidak bisa berjalan tanpa adanya dukungan dan peran serta masyarakat lokal. Masyarakat lokal, terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan wisata, menjadi salah satu pemain kunci dalam pariwisata. Pengembangan wisata alam juga menuntut koordinasi dan kerjasama serta peran yang berimbang antara berbagai unsur stakeholders termasuk pemerintah, swasta dan masyarakat. Agar kegiatan wisata alam di TWABK dapat berjalan secara optimal dengan memberikan manfaat dan nilai tambah serta meningkatkan kesadaran pentingnya pelestarian kawasan bagi masyarakat maka diperlukan pengelolaan yang sesuai dengan tujuan penetapan taman wisata alam.

Pengembangan kawasan konservasi untuk tujuan ekowisata hendaknya melibatkan masyarakat sekitar, dimulai dengan mengumpulkan data dan informasi obyek dan daya tarik wisata dalam kawasan melalui pengamatan langsung dan studi literatur; melakukan penilaian terhadap obyek dan daya tarik wisata, sarana dan prasarana, aksessibilitas, lingkungan dan masyarakat, dan potensi pasar; menghitung daya dukung kawasan; mengidentifikasi peran, kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam pengelolaan, dan penyusunan strategi pengembangan ekowisata. Pengembangan kawasan untuk kegiatan ekowisata merupakan salah satu alternatif dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan, terlebih dalam pengelolaan kawasan TWABK.

Perumusan Masalah

Secara filosofis, suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan konservasi untuk dapat memberikan 3 dimensi manfaat, yaitu : 1) Manfaat ekologis yang berarti mampu melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. 2) Manfaat ekonomi yang berarti mampu memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia, dan 3) Manfaat sosial yang berarti mampu menciptakan kesempatan kerja dan berusaha serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi secara optimal (Widada 2008). Namun demikian keberadaan TWABK saat ini sering dianggap sebagai sumber masalah atau konflik antar berbagai pihak. Munculnya konflik tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang terhadap TWABK yang kaya akan potensi sumber daya alam. Hal ini ditunjukkan dengan adanya gangguan terhadap kawasan dan konflik dalam pemanfaatan ruang dan sumber daya alam yang mengakibatkan kerusakan pada beberapa bagian kawasan.

(16)

produk yang selaras dengan kecenderungan pasar tanpa mengabaikan fungsi perlindungan kawasan. Pengelola juga dituntut untuk mampu mengembangkan suatu pariwisata kawasan yang memberikan kebanggaan masyarakat setempat akan nilai-nilai alam yang dimiliki, kesempatan ikut memperoleh manfaat dan meraih kesejahteraan dan peningkatan mutu hidupnya melalui pariwisata (Sekartjakrarini 2009). Ekowisata menjadi sangat penting dalam menyelesaikan berbagai permasalahan lingkungan dengan melibatkan masyarakat lokal untuk turut aktif dalam pengembangan ekowisata. Pilihan kebijakan pengelolaan kolaborasi, pemerintah dan masyarakat merupakan ragam pengelolaan yang diambil berdasarkan keadaan spesifik lokal, mensikronkan kepentingan pemerintah dan masyarakat, meminimalkan resistensi dan memaksimalkan sinergitas pemangku kepentingan diharapkan dapat diimplementasikan dalam mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan.

Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana kondisi obyek dan daya tarik wisata alam yang ada di TWABK?

2. Bagaimana daya dukung TWABK untuk pengembangan ekowisata?

3. Bagaimana pengaruh dan kepentingan stakeholder terhadap pengembangan ekowisata TWABK?

4. Bagaimana strategi pengembangan ekowisata TWABK?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengidentifikasi dan menganalisis potensi ODTWA di TWABK.

2. Menganalisis daya dukung TWABK untuk pengembangan ekowisata.

3. Menganalisis tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder terhadap pengembangan ekowisata TWABK.

4. Merumuskan strategi pengembangan ekowisata TWABK.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memberi masukan dan sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan dalam pengelolaan Taman Wisata Alam Bukit Kelam, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistemnya. Penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangan pemikiran tentang konsep pengembangan kawasan ekowisata yang berkelanjutan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Tujuan Wisata

(17)

dalam meningkatkan pelayanan bagi wisatawan sehingga wisatawan bisa lebih lama tinggal di daerah yang dikunjungi. Adapun unsur pokok tersebut antara lain :

1. Obyek dan daya tarik wisata 2. Prasarana wisata

3. Sarana wisata

4. Tatalaksana/infrastruktur 5. Masyarakat/lingkungan

Daerah tujuan wisata juga menempati bagian ruang wilayah yang sangat luas, mencakup dari satu wilayah administrasi pemerintahan, memiliki sejumlah daya tarik wisata yang menarik, mampu menawarkan beragam kegiatan pariwisata yang unik, memiliki akses yang tinggi dengan daerah tujuan wisata yang lain sehingga membentuk jaringan DTW. Daerah tujuan wisata yang ideal harus memiliki daya tarik wisata, mempunyai cukup fasilitas, menawarkan atraksi/wisata, menyediakan sesuatu yang dapat dibeli (Suwena dan Widyatmaja 2010).

Gunn (1988) dalam Warpani dan Warpani (2007) menyebutkan bahwa definisi Daya Tarik Wisata adalah “sesuatu” yang ada di lokasi destinasi atau/tujuan pariwisata yang tidak hanya menawarkan/menyediakan sesuatu bagi wisatawan untuk dilihat dan dilakukan, tetapi menjadi magnet penarik seseorang untuk melakukan perjalanan. Ciri utama daya tarik wisata adalah tidak dapat dipindahkan dan untuk menikmatinya wisatawan harus datang ke tempat tersebut.

Daya tarik wisata yang juga disebut obyek wisata merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata. Menurut Suwena dan Widyatmaja (2010), umumnya daya tarik suatu obyek wisata berdasarkan pada :

1. Adanya sumberdaya yang dapat menimbulkan rasa senang, indah, nyaman dan bersih.

2. Adanya aksessibilitas yang tinggi untuk mengunjunginya.

3. Adanya ciri khusus/prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang hadir.

4. Obyek wisata alam mempunyai daya tarik tinggi karena keindahan alam pegunungan, sungai, dll.

5. Obyek wisata budaya mempunyai daya tarik tinggi karena memiliki nilai khusus dalam bentuk atraksi kesenian, upacara adat, bangunan bersejarah dan lain-lain.

Wisatawan yang melakukan perjalanan ke daerah tujuan wisata (DTW) memerlukan berbagai kebutuhan dan pelayanan mulai dari keberangkatan sampai kembali ke tempat tinggalnya. Aktivitas pariwisata sangat terkait dengan kehidupan sehari-hari. Sama seperti yang kita lakukan setiap hari. Wisatawan juga butuh makan dan minum, tempat menginap, serta alat transportasi yang membawanya pergi dari suatu tempat ke tempat lainnya (Suwena dan Widyatmaja 2010).

Cooper et al. (1993) dalam Suwena dan Widyatmaja (2010) menyebutkan untuk dapat memenuhi kebutuhan dan pelayanan tersebut, daerah tujuan wisata harus didukung oleh keempat komponen utama atau yang dikenal dengan istilah

“4A” yaitu : a) Atraksi (atraction); b) Amenitas; c) Aksessibilitas; d) Pelayanan

(18)

Atraksi (atraction)

Ada banyak alasan mengapa orang berwisata ke suatu daerah. Beberapa yang paling umum adalah untuk melihat keseharian penduduk setempat, menikmati keindahan alam, menyaksikan budaya yang unik, atau mempelajari sejarah budaya daerah tersebut. Intinya, wisatawan datang untuk menikmati hal-hal yang tidak dapat mereka temukan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Atraksi di sebut juga obyek dan daya tarik wisata, merupakan komponen yang signifikan dalam menarik wisatawan (Suwena dan Widyatmaja 2010).

Modal kepariwisataan mengandung potensi untuk dikembangkan menjadi atraksi wisata, sedangkan atraksi wisata itu sudah tentu harus komplementer dengan motif perjalanan wisata. Oleh karena itu untuk menemukan potensi kepariwisataan di suatu daerah orang harus berpedoman pada apa yang dicari wisatawan. Terdapat tiga modal atraksi yang menarik kedatangan wisatawan, yaitu :

1. Natural resources (alami) 2. Atraksi budaya

3. Atraksi buatan

Amenitas

Suwena dan Widyatmaja (2010) menjelaskan, secara umum pengertian amenitas adalah segala macam prasarana dan sarana yang diperlukan oleh wisatawan selama berada di daerah tujuan wisata. Sarana dan prasarana yang dimaksud seperti :

1. Akomodasi (penginapan) adalah tempat di mana wisatawan bermalam untuk sementara di suatu daerah wisata.

2. Usaha makanan dan minuman merupakan salah satu komponen

pendukung penting. Wisatawan akan kesulitan apabila tidak menemukan fasilitas ini pada daerah yang dikunjungi.

3. Transportasi dan Infrastruktur. Wisatawan memerlukan alat transportasi baik itu transportasi udara, laut dan darat untuk mencapai daerah wisata yang menjadi tujuannya. Prasarana (infrastruktur) yaitu semua hasil konstruksi fisik, baik yang di atas maupun di bawah tanah, yang diperlukan sebagai pembangunan. Sedangkan sarana (suprastruktur) adalah pemanfaatan prasarana dengan membangun apa saja yang sifatnya khusus (khusus hotel, khusus perdagangan, khusus lapangan golf. Dengan menggunakan prasarana yang cocok dibangunlah sarana-sarana pariwisata seperti hotel, atraksi wisata, marina, gedung pertunjukkan, dsb. Adapun prasarana yang diperlukan untuk pembangunan sarana-sarana pariwisata ialah jalan, persediaan air, tenaga listrik, tempat pembuangan sampah, bandara, pelabuhan, telepon, dll.

Prasarana pariwisata merupakan fasilitas yang memungkinkan proses kegiatan pariwisata berjalan dengan lancar sehingga dapat memudahkan setiap orang yang terlibat dalam kegiatan berwisata.

Aksessibilitas

(19)

bergerak dari daerah satu ke daerah lainnya. Tanpa adanya kemudahan transferabilitas tidak akan ada pariwisata. Adapun faktor-faktor yang memungkinkan transferabilitas ialah :

1. Konektivitas antar daerah yang satu dengan daerah yang lain. Konektivitas atau hubungan antar daerah itu ada kaitannya dengan determinan perjalanan wisata yaitu komplementaris antara motif perjalanan dengan atraksi wisata.

2. Tidak adanya penghalang yang merintangi adanya transferabilitas antar daerah

3. Tersedianya sarana angkutan antar daerah.

Pelayanan tambahan

Pelayanan tambahan atau sering disebut juga pelengkap yang harus disediakan oleh pemerintah daerah dari suatu daerah tujuan wisata, baik untuk wisatawan maupun pelaku pariwisata (Suwena dan Widyatmaja 2010). Pelayanan yang disediakan termasuk : pemasaran, pembangunan fisik (jalan raya, rel kereta, air minum, istrik, telepon, dll) serta mengakomodir segala macam aktivitas dan dengan peraturan perundang-undangan baik di obyek wisata maupun di jalan raya. Suantoro (1997) dalam Suwena dan Widyatmaja (2010) menerangkan bahwa pembangunan obyek wisata harus dirancang dengan bersumber pada potensi daya tarik yang dimiliki obyek tersebut denga mengacu pada kriteria keberhasilan pengembangan yang meliputi berbagai kelayakan, yaitu :

1. Kelayakan finansial

Studi kelayakan ini, menyangkut perhitungan secara komersial dari pembengunan obyek wisata tersebut. Perkiraan untung rugi sudah harus diperkirakan dari awal.

2. Kelayakan sosial ekonomi regional

Studi kelayakan ini dilakukan untuk melihat apakah investasi yang ditanamkan untuk membangun suatu obyek wisata juga akan memiliki dampak soasial ekonomi regional serta menciptakan lapangan pekerjaan/kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan devisa dan lain-lain.

3. Kelayakan teknis

Pembangunan obyek wisata harus dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dengan melihat daya dukung yang ada.

4. Kelayakan Lingkungan

Analisis dampak lingkungan dapat dipergunakan sebagai acuan kegiatan pembangunan suatu obyek wisata. Pembangunan obyek wisata bukanlah untuk merusak lingkungan, tetapi sekedar memanfaatkan sumber daya alam untuk kebaikan manusia dan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Pengertian Ekowisata

(20)

antropologi dan budaya, serta keinginan untuk melihat bentang alam yang indah (Hakim 2004).

Pariwisata alam pada hakekatnya mempunyai pengertian suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat (Fandeli dan Mukhlison 2000). Atas dasar pengertian itu, bentuk pariwisata alam pada dasarnya merupakan gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia.

Australian Department of Tourism (Black 1999 dalam Fandeli dan Mukhlison 2000) mendefinisikan pariwisata alam adalah wisata yang berbasis pada alam dan mengikutsertakan aspek pendidikan, interpretasi terhadap lingkungan alami, budaya dalam masyarakat dengan obyek lingkungan yang lestari dan ekologis. Definisi ini memberikan penjelasan bahwa aspek yang terkait tidak hanya bisnis seperti wisata lainnya tetapi lebih dekat dengan pariwisata minat khusus, alternative tourist atau special interest tourist dengan banyak obyek dan daya tarik wisata alam.

Definisi ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh organisasi The International Ecotourism Society (1990) yaitu suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh pencinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh lestari, disamping budaya dan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga (Fandeli 2002).

Ekowisata didefinisikan sebagai suatu jenis pariwisata yang kegiatannya semata-mata menikmati aktifitas yang berkaitan dengan lingkungan alam dengan segala bentuk kehidupan dalam kondisi apa adanya dan kecenderungan sebagai ajang atau sarana lingkungan bagi wisatawan dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan proyek ekowisata (Yoeti 2000).

Fandeli (2002) menjelaskan ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini bentuk ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Selanjutnya Fandeli (2002) menjelaskan bahwa ekowisata merupakan suatu bentuk perjalanan yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Ekowisata sangat tepat dan berdaya guna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekowisata di areal yang masih alami serta pelestarian alam dapat ditingkatkan kualitasnya.

Fennell (2002), mendefinisikan ekowisata sebagi bentuk wisata berbasiskan sumber daya alam secara berkelanjutan dengan fokus utama pengalaman dan pengetahuan dari alam, etika dalam mengelola alam yang berdampak negatif rendah, tidak konsumtif, berorientasi pada kepentingan masyarakat lokal. Memperhatikan kekhasan kawasan alami, berkontribusi terhadap konservasi dan kawasan.

(21)

kualitas hubungan antar manusia, kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan. Pengertian ini mengandung arti bahwa ekowisata selain memberi manfaat bagi masyarakat yang berwisata, juga bermanfaat bagi masyarakat lokal yang juga harus memberi kontribusi langsung bagi kegiatan konservasi lingkungan.

Berbeda dengan wisata konvensional, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata. Masyarakat ekowisata internasional mengartikannya sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengkonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES 2000 dalam Damanik dan Weber 2006).

Berdasarkan definisi tersebut, ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni ekowisata sebagai produk, sebagai pasar dan sebagai pendekatan pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan.

Sedangkan dalam penerapannya, pengembangan ekowisata sebaiknya juga mencerminkan dua prinsip lainnya yakni prinsip edukasi dan prinsip wisata. Prinsip edukasi bahwa pengembangan ekowisata harus mengandung unsur pendidikan untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang menjadi milik kepedulian, tanggung jawab dan komitmen pelestarian terhadap pelestarian lingkungan dan budaya. Sedangkan prinsip wisata bahwa pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan pengalaman orisinil kepada pengunjung serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan.

Istilah ekowisata yang telah dikenal luas di Indonesia dipahami sebagai : suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan pariwisata berbasis (a) pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan dan pelestarian; (b) berintikan partisipasi aktif masyarakat; (c) dengan penyajian produk bermuatan pendidikan, pembelajaran dan rekreasi; (d) berdampak negatif minimal; (e) memberikan sumbangan positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, yang diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya (Sekartjakrarini 2009).

Menurut Gunn (1994), suatu kawasan dikembangkan untuk tujuan wisata karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dari suplai. Atraksi merupakan alasan terkuat untuk perjalanan wisata, bentuknya dapat berupa ekosistem, tumbuhan langka atau satwa langka. Atraksi biasanya adalah hasil dari pengembangan dan pengelolaan. Atraksi terdapat di daerah pedesaan (rural) dan perkotaan (urban), keadaan di kedua tempat tersebut sangat berbeda. Daerah pedesaan menyajikan suatu atraksi yang lebih tenang dan alami, sedangkan daerah perkotaan menyediakan atraksi yang lebih berupa budaya dan hasilnya, seperti sungai kota, museum, dan sebagainya. Kawasan wisata tergantung pada sumber daya alami dan budaya, dimana distribusi dan kualitas dari sumber daya ini dengan kuat mendorong pengembangan wisata. Bentuk-bentuk wisata dikembangkan dan direncanakan berdasarkan hal berikut :

(22)

dan perusahaan komersial.

2. Sumber daya, yaitu : alam atau budaya. 3. Perjalanan wisata/ lama tinggal.

4. Tempat kegiatan yaitu di dalam ruangan atau di luar ruangan. 5. Wisata utama/wisata penunjang

6. Daya dukung tapak dengan tingkat penggunaan pengunjung yaitu : intensif, semi intensif dan ekstensif.

Kegiatan utama ekowisata tertumpu pada usaha-usaha pelestarian sumber daya alam dan budaya sebagai obyek wisata yang dapat dijadikan sumber ekonomi yang berkelanjutan, dikelola secara adil dan bijaksana bagi bangsa dan negara. Ekowisata seharusnya menjadi filosofi dasar bagi pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan (Soedarto 1999).

Memperhatikan ciri-ciri ekowisata sebagaimana dari berbagai forum diskusi dan kajian di Indonesia serta pemahaman pariwisata berkelanjutan yang digariskan oleh WTO, ekowisata Indonesia dipahami sebagai suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan pariwisata berbasis lingkungan alam dan budaya masyarakat setempat dengan azas pemanfaatan dan penyelenggaraan yang diarahkan pada :

1. Perlindungan sumber-sumber alam dan budaya untuk mempertahankan kelangsungan ekologi lingkungan dan kelestarian budaya masyarakat setempat.

2. Pengelolaan penyelenggaraan kegiatan dengan dampak negatif sekecil mungkin.

3. Keikutsertaan dan pemberdayaan masyarakat setempat sebagai bagian

dari upaya menyadarkan, memampukan, memartabatkan dan

memandirikan rakyat menuju peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup, dengan bertumpu pada kegiatan usaha masayarakat itu sendiri, dan peningkatan keahlian profesi.

4. Pengembangan dan penyajian daya tarik wisata dalam bentuk program-program penafsiran lingkungan alam dan budaya setempat dengan muatan pembelajaran dan rekreasi (Sekartjakrarini 2009).

Konsep Daya Dukung

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

(23)

bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor pembatas dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai.

Evaluasi daya dukung wilayah diperlukan untuk mengelompokkan daya dukung kawasan, sehingga dalam suatu wilayah dapat ditentukan kawasan yang mampu mendukung kegiatan budidaya atau kawasan yang seharusnya berfungsi lindung. Pada dasarnya evaluasi daya dukung wilayah sangat terkait erat dengan evaluasi sumberdaya lahan, dimana suatu lahan yang memilki hambatan tinggi akan sesuai untuk menjadi kawasan lindungdan sebaliknya menjadi kawasan budidaya (Rustiadi et al 2011).

Bahar (2004) menyebutkan bahwa pendugaan nilai daya dukung suatu kawasan, apakah akan digunakan untuk areal rekreasi, lahan pertanian, areal pemukiman, dan lainnya ditentukan oleh tiga aspek utama, yaitu :

1. Kepekaan sumberdaya alam dan site productivity, yang terkait dengan karakteristik biofisiknya yang antara lain meliputi : kualitas udara, tanah, air, stabilitas ekosistem dan erosi tanah.

2. Bentuk, cara dan laju penggunaan serta tingkat apresiasi dari pemakai sumberdaya alam dan liingkungan. Misalnya perilaku dan tingkat vandalisme pemakai, citra dan persepsinya terhadap suatu area.

3. Bentuk pengelolaan (fisik dan non fisik), bertujuan jelas dan berjangka panjang. Hal ini terkait erat dengan kapasitas sistem infrastruktur atau fasilitas yang antara lain meliputi jalan raya, persediaan air, pengolahan limbah, pengolahan sampah padat, dsb.

Menurut Soemarwoto (2004), daya dukung lingkungan obyek wisata alam adalah kemampuan obyek wisata alam untuk dapat menampung jumlah wisatawan pada luas dan satuan waktu tertentu. Daya dukung wisata juga merupakan daya dukung biogeofisik, sosial ekonomi dan sosial budaya dari suatu lokasi atau tapak wisata dalam menunjang kegiatan pariwisata tanpa menimbulkan penurunan kualitas lingkungan dan kepuasan wisatawan dalam menikmati lokasi dan tapak wisata. Faktor geobiofisik di lokasi wisata alam mempengaruhi kuat rapuhnya suatu ekosistem terhadap daya dukung wisata alam. Ekosistem yang kuat mempunyai daya dukung yang tinggi yaitu dapat menerima wisatawan dalam jumlah besar, karena tidak cepat rusak kalau pun rusak, dapat pulih dengan cepat.

Menurut Purnomo (2013), daya dukung wisata merupakan “batas dimana kehadiran wisatawan dan fasilitas pendukungnya tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan fisik atau kehidupan masyarakat”. Konsep daya dukung merupakan sebuah konsep yang mudah untuk dimengerti akan tetapi sangat sulit untuk dapat dihitung sehingga tidak terdapat standar baku untuk menghitung nilai daya dukung tersebut. Konsep tersebut juga sangat bervariasi terhadap waktu, iklim dan karakteristik dilakukannya wisata seperti pesisir, kawasan lindung, rural, gunung, kawasan sejarah. Terdapat beberapa komponen untuk dapat mengukur daya dukung wisata diantaranya :

1. Daya dukung fisik yang berhubungan dengan kemampuan lingkungan. Komponen ini sangat tergantung pada kapasitas dari sumberdaya, sistem dan kemampuan lingkungan untuk mengasimilasi dampak seperti kemampuan ekologis lahan, iklim seperti pengaruh frekuensi dan curah hujan.

2. Daya dukung biologi yang berhubungan dengan ekosistem dan

(24)

habitat alamiah dan bentang alam.

3. Daya dukung sosial budaya masyarakat terutama masyarakat penerima wisatawan sebagai contoh : keragaman budaya dan kebiasaan penduduk. Cifuentes (1992) telah mengembangkan penghitungan kapasitas daya dukung dari suatu kawasan konservasi. Penerapan kapasitas daya dukung ini dapat digunakan untuk mengetahui jumlah wisatawan yang dapat diterima secara optimal/efektif tanpa mengakibatkan kerusakan pada kawasan konservasi.

Taman Wisata Alam

UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan kawasan konservasi sebagai kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Menurut UU No. 5 tahun 1999 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Wisata Alam adalah kawasan konservasi yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Pasal 31 dari UU No. 5 menyebutkan bahwa dalam taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya dan wisata alam. Pasal 34 menyebutkan pula bahwa pengelolaan taman wisata alam dilaksanakan oleh pemerintah.

MacKinnon et al. (1990), menjelaskan bahwa kawasan yang dilindungi seperti taman wisata alam, dapat memberikan kontribusi yang banyak pada pengembangan wilayah dengan menarik wisatawan ke wilayah pedesaan. Kawasan yang dilindungi memiliki daya tarik yang besar bagi banyak negara tropika, mendatangkan keuntungan ekonomi yang berarti bagi negara dan dengan perencanaan yang benar dapat bermanfaat bagi masyarakat lokal.

Pengembangan Ekowisata di Taman Wisata Alam

Dephut (2007), menjelaskan bahwa pengembangan Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) sangat erat kaitannya dengan peningkatan produktifitas sumber daya hutan dalam konteks pembangunan ekonomi regional maupun nasional, sehingga selalu dihadapkan pada kondisi interaksi berbagai kepentingan yang melibatkan aspek kawasan hutan, pemerintah, aspek masyarakat, dan pihak swasta di dalam suatu sistem tata ruang wilayah.

Strategi pengembangan ODTWA meliputi :

1. Aspek Perencanaan Pembangunan ODTWA yang antara lain mencakup sistem perencanaan kawasan, penataan ruang (tata ruang wilayah), standarisasi, identifikasi potensi, koordinasi lintas sektoral, pendanaan, dan sistem informasi ODTWA.

2. Aspek Kelembagaan meliputi pemanfaatan dan peningkatan kapasitas institusi, sebagai mekanisme yang dapat mengatur berbagai kepentingan, secara operasional merupakan organisasi dengan SDM dan PP yang sesuai dan memiliki efisiensi tinggi.

(25)

sarana dan prasarana dapat meningkatkan daya dukung sehingga upaya pemanfaatan dapat dilakukan secara optimal.

4. Aspek Pengelolaan, yaitu dengan mengembangkan profesionalisme dan pola pengelolaan ODTWA yang siap mendukung kegiatan pariwisata alam dan mampu memanfaatkan potensi ODTWA secara lestari.

5. Aspek Pengusahaan yang memberi kesempatan dan mengatur

pemanfaatan ODTWA untuk tujuan pariwisata yang bersifat komersial kepada pihak ketiga dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat.

6. Aspek Pemasaran dengan mempergunakan teknologi tinggi dan bekerja sama dengan berbagai pihak baik dalam negeri maupun luar negeri. 7. Aspek Peran Serta Masyarakat melalui kesempatan-kesempatan usaha

sehingga ikut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 8. Aspek Penelitian dan Pengembangan yang meliputi aspek fisik

lingkungan, dan sosial ekonomi dari ODTWA. Diharapkan nantinya mampu menyediakan informasi bagi pengembangan dan pembangunan kawasan, kebijaksanaan dan arahan pemanfaatan ODTWA.

Ditjen PKKH (2001), menyebutkan bahwa pengelolaan suatu obyek wisata di taman wisata alam merupakan bagian dari strategi perlindungan alam. Dengan demikian, pengelolaan yang akan diterapkan harus sejalan dengan tujuan pengelolaan suatu kawasan konservasi. Perencanaan merupakan tahap awal dari pengembangan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Antisipasi dan regulasi dari perubahan yang akan terjadi dalam suatu sistem yang akan dikembangkan, dirancang atau disusun dalam perencanaan. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa pengembangan dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi setiap pelakunya. Proses perencanaan diharapkan terpadu, melibatkan semua pihak dan mengacu kepada rencana pengembangan lokal, regional dan nasional. Adapun kriteria yang perlu diperhatikan pada tahap perencanaan ini meliputi:

1. Rencana pengembangan ekowisata harus mengacu pada rencana

pengelolaan kawasan.

2. Memperhatikan kondisi ekologi/lingkungan.

3. Memperhatikan daya tarik, keunikan alam dan prospek pemasaran daya tarik tersebut.

4. Memperhatikan kondisi sosial, budaya dan ekonomi. 5. Tata Ruang.

6. Melakukan analisis potensi dan hambatan yang meliputi analisis terhadap potensi sumberdaya dan keunikan alam, analisis usaha, analisis dampak lingkungan, analisis ekonomi (cost & benefit), analisis sosial dan analisis pemanfaatan ruang.

7. Menyusun Action Plan/Rancang Tindak Terintegrasi atas dasar analisis yang telah dilakukan.

8. Melakukan Public Hearing/Konsultasi Publik terhadap rencana yang akan dikembangkan.

Dephut (2007), menyebutkan dalam rangka menemukenali dan

(26)

pengembangan serta ketersediaan dana dan tenaga.

Kebijakan pengembangan hutan untuk pariwisata alam yang berlandaskan UU No.5 tahun 1990 dan PP No. 18 dan No.13 tahun 1994 adalah sebagai berikut: 1. Kegiatan pengusahaan pariwisata alam harus melibatkan masyarakat

setempat dalam rangka pemberdayaan ekonomi.

2. Pengusahaan pariwisata alam tidak dibenarkan melakukan perubahan mendasar pada bentang alam dan keaslian habitat.

3. Pengusahaan pariwisata alam dilaksanakan pada sebagian kecil areal blok pemanfaatan dan tetap memperhatikan pada aspek kelestarian. 4. Pengusahaan pariwisata alam harus melaporkan semua aktivitasnya

secara berkala untuk memudahkan kegiatan monitoring, pengendalian dan pembinaan.

5. Pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka penusahaan pariwisata alam harus bercorak pada bentuk asli tradisional dan tidak menghilangkan ciri khas atau identitas etnis setempat.

Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecologically friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan (Community based). The Ecotourism Society (Eplerwood 1999) menyebutkan ada delapan prinsip, yaitu :

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya.

Pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi Lingkungan.

Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat langsung dilakukan di alam. 3. Pendapatan langsung untuk kawasan.

Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelolaan kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan kualitas kawasan pelestarian alam.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan.

Masyarakat diajak dalam merencanakan pengemabangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif.

5. Penghasilan masyarakat

(27)

Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonis dengan alam akan merusak produk ekowisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonversi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. 7. Daya Dukung Lingkungan

Pada umumnya lingkungan akan mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi. 8. Peluang Penghasilan pada promosi yang besar terhadap negara

Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa belanja wisatawan didorong sebesar-besarnyadinikmati oleh negara atau pemerintah daerah setempat.

Keberhasilan pengelolaan banyak tergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masayarakat sekitarnya. Di tempat di mana kawasan yang dilindungi dipandang sebagai penghalang, penduduk setempat dapat menggagalkan pelestarian. Tetapi bila pelestarian dianggap sebagai suatu yang posistif manfaatnya, penduduk setempat sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan dari pengembangan yang membahayakan (MacKinnon et al. 1990).

Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem dan menjadi salah satu stakeholder kunci di samping unsur pemerintah, tim ahli dan swasta. Inisiatif untuk mencapai tujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan harus menjadi dasar bagi pengembangan ekowisata (Sulthoni 2000).

Ada tiga alasan utama mengikutsertakan masyarakat dalam pengembangan pariwisata, yaitu : alasan moral, ekonomi dan lingkungan. Pemanfaatan nilai dan jasa lingkungan yang tersedia, keunikan seni dan budaya masyarakat sebagai obyek dan daya tarik wisata harus dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat yang dapat dirasakan secara langsung disamping ikut menunjang pengembangan wilayah dan pelestarian lingkungan. Keuntungan ekonomi yang diperoleh masyarakat secara langsung akan menumbuhkan motivasi untuk tujuan konservasi sumber daya alam, seni dan budayanya (Sulthoni 2000).

Pengembangan ekowisata semestinya tidak semata dipandang sebagai sebuah aktifitas pembangunan biasa saja. Ekowisata semestinya dikembangkan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat lokal. Dengan demikian ekowisata akan menjadi piranti demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus sebagai bentuk apresiasi terhadap kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat lokal.

Pengembangan kepariwisataan alam khususnya ekowisata perlu

(28)

Pembangunan pariwisata yang berhasil adalah pembangunan pariwisata yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi, sosial maupun budaya kepada masyarakat setempat. Dalam pembangunan pariwisata berbasis komunitas, masyarakat lokal dapat dilibatkan dalam berbagai kegiatan usaha seperti menjual makanan dan minuman serta cinderamata, yang hasilnya dapat membantu mereka memperoleh pemasukan tambahan. Perputaran keuntungan ekonomi ini dapat meningkatkan multiplier effect di dalam masyarakat tersebut sehingga perekonomian lokal dapat semakin berkembang. Pada jangkauan yang lebih luas hal ini dapat memotivasi masyarakat di kawasan tersebut untuk tetap melestarikan aset wisata yang mereka miliki.

Perumusan Strategi dengan Analisis SWOT

Strategi didefinisikan sebagai pola tujuan, kebijakan program atau alokasi sumberdaya yang dapat menentukan apakah sebuah organisasi itu, apa yang dikerjakan dan mengapa organisasi melakukan itu. Dengan demikian strategi merupakan perpanjangan dari misi membentuk jembatan antara sebuah organisasi dengan lingkungannya (Bryson 1999).

Tahapan pembuatan strategi merupakan tahapan yang paling menantang sekaligus menarik dalam proses manajemen strategi. Inti dasar tahap ini adalah menghubungkan organisasi dengan lingkungannya dan merupakan strategi yang paling sesuai dengan misi organisasi (Tangkilian 2004). Proses pembuatan strategi terdiri dari 4 (empat) elemen yaitu:

1. Identifikasi masalah strategik yang dihadapi organisasi. 2. Pengembangan alternatif strategi yang ada

3. Evaluasi dari alternatif

4. Penentuan pemilihan strategi baik dari berbagai alternatif yang tersedia Berdasarkan uraian di atas, maka proses perencanaan strategi sudah barang tentu membutuhkan kerangka kerja gabungan dari berbagai tingkat manajer dengan harapan bahwa masing-masing dari mereka dapat mengemukakan apa yang menjadi masalahnya, sehingga dapat ditentukan strategi pemecahan yang tepat dan memiliki implikasi luas dan berjangka panjang. Perencanaan strategis bertujuan agar lembaga atau organisasi dapat melihat secara objektif kondisi-kondisi internal dan eksternal sehingga perusahaan dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal.

Analisis SWOT adalah suatu metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang mungkin terjadi dalam mencapai tujuan dari suatu proyek kegiatan organisasi dalam skala yang lebih luas. Untuk keperluan tersebut diperlukan kajian dari aspek lingkungan baik yang berasal dari lingkungan internal maupun eksternal yang mempengaruhi pola strategi organisasi dalam mencapai tujuan (Rangkuti 2000).

Terdapat beberapa metodologi dalam penyusunan SWOT, yaitu:

(29)

2. Mengidentifikasi perubahan lingkungan yang dihadapi institusi dan masih mungkin terjadi di masa mendatang.

3. Membuat cross tabulation antara strategi yang ada pada saat ini dengan perubahan lingkungan yang ada.

4. Menentukan kategorisasi kekuatan dan kelemahan berdasarkan penilaian apakah strategi yang ada saat ini masih sesuai dengan perubahan lingkungan dimasa mendatang.

SWOT merupakan instrumen sederhana dalam menentukan strategi untuk mencapai tujuan. SWOT membantu memberikan arah tujuan secara realistis dan fokus pada bagian tertentu. Analisis SWOT dimulai dengan memperhitungkan setiap aspek yang dimiliki objek penelitian (kawasan TWABK). Aspek tersebut berupa kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. SWOT seringkali digunakan untuk melengkapi analisis stakeholder (Start dan Hovland 2004). Fungsi analisis SWOT adalah mendapatkan informasi yang bersumber dari analisis situasi. Berdasarkan analisis tersebut kemudian dipisahkan ke dalam faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) terpenting dalam organisasi (Ferrel dan Hartline 2005).

3

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kelam (TWABK) di Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Kalbar, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Propinsi Kalimantan Barat (Gambar 2.) Penelitian dilakukan pada periode bulan Januari 2014 sampai dengan Agustus 2014.

(30)

Bahan dan Alat

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peta-peta tematik kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kelam (Lampiran 5), GPS (Global Positioning System) receiver, kamera, tally sheet, teropong binokuler, kuisioner wawancara, digital voice recorder, komputer dan perangkat lunak pendukungnya.

Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Jenis dan sumber data berdasarkan tujuan penelitian ditunjukkan pada Tabel 1. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian merupakan seluruh data hasil pengamatan di lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder yang dikumpulkan meliputi seluruh informasi pendukung yang berhubungan dengan penelitian.

Tabel 1 Jenis dan Sumber Data Berdasarkan Tujuan Penelitian

(31)

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi lapang, kuesioner, wawancara mendalam dan studi literatur yang berkaitan dengan TWABK. Responden penelitian diambil dari para stakeholder yang berperan dalam pengelolaan TWABK. Responden terdiri dari instansi pemerintah (Kementerian Kehutanan dalam hal ini BKSDA Kalimantan Barat 2 orang; Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 1 orang; Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sintang 1 orang; Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sintang 3 orang; Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sintang 1 orang); masyarakat 50 orang; swasta 5 orang; LSM 3 orang; akademisi 2 orang; dan pengunjung 50 orang. Pengambilan data responden dilakukan dengan metode purposive sampling.

Analisis Data

Analisis Penilaian Potensi Obyek dan Daya tarik Wisata Alam

Analisis Daerah Operasi - Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA) merupakan suatu kegiatan analisis terhadap suatu obyek wisata alam dengan menggunakan instrumen kriteria penilaian dan pengembangan untuk mendapatkan penilaian dapat atau tidaknya suatu obyek dikembangkan menjadi obyek wisata. Hasil rekapitulasi penilaian dapat mengindikasikan unsur-unsur dan sub unsur yang tidak mendapat nilai maksimal dan perlu ditingkatkan, meskipun lokasi daya tarik wisata yang bersangkutan memperoleh nilai tertinggi di antara lokasi-lokasi daya tarik wisata lainnya yang dinilai secara bersamaan, sehingga akan diperoleh rekomendasi berupa upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pengelolaan obyek dan daya tarik wisata selanjutnya. Analisis potensi obyek daya tarik wisata alam menggunakan sistem nilai skoring dan pembobotan berdasarkan pedoman analisis ADO-ODTWA yang ditetapkan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2003.

Analisis Daya Dukung

Analisis daya dukung berdasarkan kriteria dan indikator yang berhubungan dengan penerapan konsep ekowisata dengan perhitungan sebagai berikut :

1. Daya Dukung Fisik/Physical Carrying Capacity (PCC) adalah jumlah maksimum pengunjung secara fisik tercukupi oleh ruang yang disediakan pada waktu tertentu. Untuk menghitung PCC digunakan rumus yang dimodifikasi Fandeli dan Muhammad (2009) sebagai berikut :

PCC = A x 1/B x Rf

Dimana :

A = Luas areal yang digunakan untuk wisata

B = Luas areal yang dibutuhkan seorang wisatawan untuk berwisata dengan tetap memperoleh kepuasan

Rf = Faktor rotasi

(32)

koreksi diperoleh dengan mempertimbangkan variabel biofisik, lingkungan, ekologi dan manajemen. RCC dihitung dengan rumus sebagai berikut :

RCC = PCC x (100-Cf1/100) x (100-Cf2/100) x ... x (100-Cfn/100) Adapun untuk menghitung faktor koreksi (Cf) : faktor koreksi diperoleh dengan mempertimbangkan variabel yang diperoleh berdasarkan data lapangan yaitu : kelerengan, kepekaan tanah terhadap erosi, potensi lanskap, iklim (curah hujan) dan gangguan terhadap musim kawin satwa liar Burung Walet (Collocalia fuciphagus). Kemudian dihitung faktor koreksinya dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Cf = Mi/Mt x 100% Dimana :

Mi = Batas besaran variabel. Mt = Batas variabel total.

3. Daya Dukung Efektif/Efective Carrying Capacity (ECC) adalah jumlah kunjungan maksimum dimana obyek tetap lestari pada tingkat manajemen yang tersedia. Kapasitas manajemen merupakan penjumlahan dari semua kondisi pada kawasan perlindungan yang dapat difungsikan secara obyektif dan sesuai dengan tujuan dari pengelolaan kawasan, Fandeli dan Mukhlison (2000). Kapasitas manajemen dibatasi oleh kriteria : sistem pengelolaan, jumlah staf pengelola dengan perhitungan sebagai berikut :

ECC = RCC x faktor koreksi (MC)

MC (Management Capacity) adalah jumlah petugas pengelola kawasan. MC = Rn/Rt x 100%

Dimana :

Rn adalah sumberdaya yang aktif di lokasi Rt adalah jumlah sumberdaya tetap pengelola

Analisis pengaruh dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan TWABK

Analisis stakeholder dilakukan untuk mengungkapkan kepentingan dan pengaruh stakeholder, untuk memahami sinergi dan konflik antara stakeholder dalam pengelolaan TWABK. Reed et al. (2009) menyatakan analisis stakeholder dilakukan dengan: 1) melakukan identifikasi stakeholder dan kepentingannya; 2) mengelompokkan dan mengkategorikan stakeholder; dan 3) menyelidiki hubungan antara stakeholder.

Tabel 2 Interpretasi Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder (Abbas 2005)

Kriteria Skor

Kepentingan Stakeholder

Ketergantungan sangat tinggi pada sumberdaya 5

Ketergantungan tinggi pada sumberdaya 4

Cukup bergantung pada sumberdaya 3

Ketergantungan kecil terhadap sumberdaya 2

Tidak tergantung pada sumberdaya 1

Pengaruh Stakeholder

(33)

Analisis stakeholder dilakukan dengan penafsiran matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pengelolaan TWABK. Penetapan skoring menggunakan pertanyaan untuk mengukur tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder disajikan pada Tabel 2. Selanjutnya tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder dianalisis dengan menggunakan stakeholder grid dengan bantuan Microsoft Excel (Gambar 3). Untuk menentukan angka pada setiap indikatornya, kemudian disandingkan sehingga membentuk koordinat. Posisi kuadran dapat menggambarkan ilustrasi posisi dan peranan yang dimainkan oleh masing-masing stakeholder terkait dengan pengelolaan TWABK

K Tinggi Subjects Key players E

P Kuadran I Kuadran II E

N T I N

G Crowd Context setters A

N Kuadran III Kuadran IV

Rendah

Rendah Tinggi

PENGARUH

Gambar 3 Matriks Pengaruh dan Kepentingan (Reed et al. 2009)

Strategi Pengembangan Ekowisata TWABK

Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal

Analisis lingkungan merupakan pemahaman mendalam terhadap faktor internal dan eksternal TWABK. Analisis tersebut mencakup segala hal mengenai kondisi lingkungan internal dan eksternal yang terjadi di sekitarnya. Faktor internal dan eksternal adalah faktor-faktor yang diperkirakan berhubungan atau berpengaruh terhadap pengembangan ekowisata TWABK. Identifikasi seluruh faktor tersebut kemudian dianalisis sehingga diketahui kondisi terkini kawasan TWABK dalam memanfaatkan sisi positif dan negatif yang dimilikinya.

(34)

TWABK. Variabel kekuatan dan peluang bersifat positif sehingga nilai 1 berarti kekuatan atau peluang yang dimiliki rendah dan nilai 4 berarti kekuatan atau peluang tinggi. Skala variabel kelemahan dan ancaman bersifat negatif sehingga diberikan nilai sebaliknya. Hasil identifikasi ditampilkan seperti pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 Matriks Evaluasi Faktor Internal (Rangkuti 2000)

Faktor Internal Bobot Rating Skor

(Bobot x Rating) Kekuatan

1 2 Kelemahan

1 2

Total 1,0

Tabel 4 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (Rangkuti 2000)

Faktor Eksternal Bobot Rating Skor

(Bobot x Rating) Peluang

1 2 Ancaman

1 2

Total 1,0

Formulasi Strategi

Tahap formulasi strategi merupakan langkah untuk menentukan alternatif-alternatif strategi yang mungkin dapat diambil dalam pengembangan ekowisata TWABK, dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats) (Rangkuti 2000). Analisis SWOT dikerjakan dengan mengidentifikasi setiap kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki TWABK. Tahap ini dilakukan dengan membuat matrik SWOT seperti Tabel 5. Matrik SWOT adalah pencocokan kondisi internal dan eksternal TWABK. Berdasarkan matrik SWOT dapat diperoleh empat strategi pengelolaan, diantaranya strategi SO, strategi ST, strategi WO dan strategi WT.

Tabel 5 Matriks SWOT (Rangkuti 2000)

Faktor Eksternal

Faktor Internal

Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness)

Peluang (Opportunity) Strategi SO Strategi WO

(35)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penilaian Potensi Taman Wisata Alam Bukit Kelam

Penilaian potensi ODTWA kawasan TWABK menggunakan pedoman Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ADO-ODTWA) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2003, untuk mengetahui kondisi ODTWA dan menentukan skala prioritas pengembangan kawasan TWABK. Kriteria yang dipakai sebagai dasar penilaian potensi kawasan TWABK (Lampiran 1) meliputi: daya tarik obyek wisata darat, potensi pasar, kadar hubungan/aksesibilitas, kondisi sekitar kawasan, pengelolaan dan pelayanan, iklim, akomodasi, sarana dan prasarana penunjang, ketersediaan air bersih, hubungan dengan obyek wisata di sekitarnya, keamanan, daya dukung kawasan, pengaturan pengunjung, pemasaran, dan pangsa pasar. Hasil klasifikasi penilaian potensi ODTWA kawasan TWABK disajikan pada Tabel 6, yang merupakan indeks dari hasil penilaian tiap-tiap kriteria tersebut di atas.

Tabel 6 Hasil Penilaian Kriteria Potensi ODTWA di Kawasan TWABK

Kriteria Nilai Maksimal

Daya tarik obyek wisata darat 1440 1290 89.58 Tinggi

Potensi pasar 950 365 38.42 Rendah

Kadar hubungan/ Aksesibilitas 900 250 27.78 Rendah

Kondisi sekitar kawasan 1200 900 75 Sedang

Pengelolaan dan pelayanan 360 300 83.33 Tinggi

Iklim 480 320 66.67 Sedang

Akomodasi 90 30 33.33 Rendah

Sarana dan prasarana penunjang 180 180 100 Tinggi

Ketersediaan air bersih 900 840 93.33 Tinggi

Hubungan dengan obyek wisata di sekitarnya

100 100 100 Tinggi

Keamanan 600 500 83.33 Tinggi

Daya dukung kawasan 450 345 76.67 Tinggi

Pengaturan pengunjung 90 30 33.33 Rendah

Pemasaran 120 120 100 Tinggi

Pangsa Pasar 270 210 77.78 Sedang

5780 Sedang

(36)

Pariwisata tidak dapat dibangun dan dikembangkan tanpa memahami hubungan antara produk pariwisata dengan pasar. Hubungan antara pasar dan produk pariwisata akan menjadi rumit karena pariwisata merupakan suatu sistem yang kompleks dan tidak terlepas dari pengaruh faktor luar (seperti finansial, tenaga kerja, kewiraswastaan, masyarakat, persaingan, kebijakan pemerintah, sumberdaya alam dan budaya, dan kepemimpinan) yang sepenuhnya di luar kendali sistem. Di antara faktor luar yang paling berpengaruh adalah sumberdaya alam dan budaya. Pelaku usaha pariwisata yang lebih berorientasi kepada ekonomi, seringkali mengabaikan landasan utama pengembangan pariwisata adalah sumberdaya tersebut. Keberadaan sumberdaya alam dan budaya adalah pull factors yang menyebabkan wisatawan berkunjung ke suatu destinasi. Keberhasilan pengembangan pariwisata suatu daerah juga menuntut keterlibatan pelaku semua sektor, baik pemerintah, swasta dan masyarakat, serta pemahaman mereka terhadap unsur-unsur penyusun sistem pariwisata yang meliputi atraksi, transportasi, akomodasi, fasilitas layanan lainnya, kelembagaan dan promosi (Dit PP 2007).

Keberhasilan pengusahaan ODTWA sangat ditentukan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi. Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah sumber daya alam atau lingkungan, sumber daya manusia dan sumber daya buatan (fisik dan budaya) sebagai elemen dasar produk wisata. Ketiga faktor ini mesti menjadi perhatian utama dari segenap pihak untuk mencapai keberhasilan yang diharapkan dalam suatu pengembangan ekowisata.

Potensi Obyek Daya Tarik Wisata Alam

Ada banyak alasan mengapa orang berwisata ke suatu daerah. Beberapa yang paling umum adalah untuk melihat keseharian penduduk setempat, menikmati keindahan alam, menyaksikan budaya yang unik, atau mempelajari sejarah budaya daerah tersebut. Intinya, wisatawan datang untuk menikmati hal-hal yang tidak dapat mereka temukan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Atraksi di sebut juga obyek dan daya tarik wisata, merupakan komponen yang signifikan dalam menarik wisatawan (Suwena dan Widyatmaja 2010).

Obyek dan daya tarik wisata alam merupakan komponen sistem kepariwisataan yang terpenting, menjadi motivator utama perjalanan wisata dan inti dari produk wisata di kawasan TWABK. Obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan (Gunawan et al. 2000). Obyek dan daya tarik wisata merupakan pertimbangan pertama dalam melakukan perjalanan. Tanpa keberadaan obyek dan daya tarik wisata tidak akan ditemui pelayanan penunjang kepariwisataan lainnya (Spillane 1985). Berdasarkan hasil inventarisasi, kawasan TWABK memiliki beberapa potensi ODTWA yang dapat dikembangkan dan ditawarkan sebagai destinasi ekowisata, diantaranya adalah :

1. Panorama alam Bukit Kelam

(37)

puncaknya dengan bagian lereng berupa dinding batu yang curam dan terjal, sangat kontras sekali dengan pemandangan di sekitarnya berupa sawah dan perkebunan sawit yang mengelilingi bukit (Gambar 4). Tersingkapnya hutan pada bagian lereng bukit akibat kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997. Kegiatan ekowisata yang dapat dikembangkan berupa bina cinta alam, fotografi, jogging, sepeda santai mengelilingi Bukit Kelam melalui jalan lingkar kelam dengan suguhan keindahan alam dan suasana kehidupan tradisional masyarakat setempat. Keberadaan Bukit Kelam sebagai “land

mark” kota Sintang menyimpan cerita tersendiri di masyarakat. Menurut cerita

masyarakat Bukit Kelam konon terkait dengan legenda Bujang Beji dan Tumenggung Marubai.

Gambar 4 Pemandangan Alam Bukit Kelam

2. Jalan lingkar kelam

Jalan lingkar kelam adalah jalan kabupaten berupa jalan beraspal yang lebarnya ± 6 meter, mengelilingi Bukit Kelam melewati perkampungan penduduk. Jika melintasi sepanjang jalan ini, pengunjung dapat melihat dengan jelas Bukit Kelam dari segala arah. Selain itu pada bagian sebelah timur Bukit Kelam pengunjung disuguhi pemandangan Bukit Luid dan Bukit Rentap yang berjarak ± 3 km dari Bukit Kelam, sehingga pemandangan di sekitar jalan lingkar kelam semakin menarik.

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian (sumber: BKSDA Kalimantan Barat)
Tabel 1 Jenis dan Sumber Data Berdasarkan Tujuan Penelitian
Tabel 2 Interpretasi Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder (Abbas 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh yang positif bagi Pekon Kuala Stabas ini diantaranya sejak adanya destinasi wisata di Pekon ini membuat nama Kampung yang berada di Tengah- tengah

Pembangunan Jaringan Pipa Air Minum Desa Mulya Abadi Kecamatan Muara Belido. ( HPS =

mengenai pentadbiran daerah dan tanah di Balik Pulau oleh kerajaan kolonial yang

Pada analisis gambar diketahui pengaruh yang sama Green Marketing (X) mau membeli (Y) nilainya -0,061 sedangkan diketahui pengaruh tidak langsung Green Marketing

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar matematika yang dialami siswa kelas VIII SMP Negeri 17

KEEMPAT Dengan berlakunya Keputusan Bupati ini maka Keputusan Bupati Bantul Nomor 11 F Tahun 2008 tentang Pembentukan Tim Penerbitan Tabloid/Majalah Sejada

Menurut Darusman, selaku Tokoh Agama mengemukakan bahwa Tradisi Tari Lulo ini sah-sah saja dilakukan karena tarian ini adalah salah satu tarian khas di daerah

Permasalahan kondisi sector ini diakibatkan oleh lemahnya tiga sector yang kontribusiya paling besar terhadap tingkat keselamatan pelayaran yang terjadi disuatu daerah yakni